Pacar pertama

Namanya Arjun, dan dia adalah pacar pertama ku.

Meski pun Arjun bukan cinta pertama ku, namun aku sangat mencintainya.

Aku mengenal Arjun tak sengaja di sebuah mini market, saat kami sama-sama berbelanja di sana.

Arjun masih kuliah, semester lima. Ia tinggal sendiri di sebuah kamar kost.  Arjun memang berasal dari kampung, namun ia adalah sosok pemuda yang gagah dan tampan.

Arjun merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Dua orang adiknya juga tinggal di kampung dan masih bersekolah.

Di kampus, Arjun cukup terkenal karena merupakan salah seorang aktivis yang cukup berpengaruh.

Selain itu, Arjun juga terkenal pintar dan kharismatik.

Aku jatuh cinta kepada Arjun dengan segala kelebihannya itu. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali berkenalan dengannya.

Aku dan Arjun memang kuliah di kampus yang sama. Hanya saja aku dua semester di bawah nya.

Aku kenal Arjun pada awal masa orientasi, lalu kemudian kami pun saling dekat.

Arjun yang selalu berusaha untuk mendekati ku, terutama saat di kampus.

Sampai akhirnya aku pun luluh dan menerima cinta Arjun yang ku rasakan begitu tulus.

Aku dan Arjun pun pacaran. Kami sering jalan bareng, nonton bareng, makan bareng dan juga melakukan banyak hal berdua.

Sampai pada suatu malam, Arjun mengajak aku ke kamar kost nya.

Aku memang belum pernah masuk ke kamar kost Arjun sebelumnya, namun karena aku merasa kalau Arjun sudah begitu dekat dengan ku, aku pun mencoba mengikuti keinginan Arjun kali ini.

Kamar kost itu memang cukup kecil. Di dalamnya hanya ada satu tempat tidur kecil dan sebuah lemari pakaian.

Aku dan Arjun duduk di tepi ranjang tidur kecil itu.

Tiba-tiba Arjun menggenggam tanganku, kemudian berkata.

"aku sangat mencintai kamu Jeni." ucapnya penuh perasaan.

"aku juga sangat mencintai kamu Arjun." balasku yakin.

Untuk selanjutnya Arjun pun mulai mendkatkan wjahnya. Aroma npas Arjun menyeruak di hdungku.

Aku memjamkan mata. Aku memang blum prnah brciuomn seumur hidupku.

Namun aku siap menjadikan Arjun sebgai laki-laki prtama yang mnciuomi ku.

Karena itu aku membiarkan saja Arjun mlakukannya padaku mlam itu.

Aku brgtar. Tbuh ku mngejang. Tapi hal itu ternyata sangat indah.

Aku mncoba mmblasnya dengan lmbut.

Bbir kmi pun mnyatu, sling lmat. Dan aku bgitu trkesan dengan smua itu.

Sungguh sebuah ciuomn prtama yang indah.

Tapi ternyata Arjun tidak cukup hanya sampai di situ. Tngan Arjun mulai mryap di bagian tbuh ku.

Gerkan Arjun smkin lama semkin liyr. Tapi aku hanya mmbiarknnya.

Hingga akhirnya kamipun tak bsa lagi mengendalikn diri. Dan hal itu pun terjadi.

Arjun brhsil mrenggt keprawnn ku malm itu. Wlau pun ada rasa penyesalan, namun aku mencoba mengikhlaskannya.

Toh aku juga sangat mencintai Arjun. Dan dia adalah pacar pertama ku.

****

Hari-hari selanjutnya aku dan Arjun semakin lengket. Kami semakin sering menghabiskan waktu berdua.

Bahkan hampir setiap malam minggu, aku selalu mnginap di tempat kost Arjun.

Kami semakin sering melakukan hal tersebut.

Sampai akhirnya aku pun hmil.

Mengetahui hal itu, Arjun pun mulai berubah. Saat aku meminta pertanggungjawabannya, ia justru selalu menghindar.

Hingga kemudian Arjun benar-benar menghilang. Dia tidak ada lagi di kost nya, dia tidak bisa lagi di hubungi. Dia tidak pernah lagi masuk kuliah.

Aku sudah bertanya-tanya kepada teman-temannya, namun tidak seorang pun yang tahu, dimana Arjun berada.

Aku mulai putus asa untuk mencari Arjun. Aku ingin mendatangi kampung halamannya. Namun tidak ada satu pun petunjuk tentang di mana sebenarnya kampung halaman Arjun.

Selama pacaran dengannya, aku memang tidak pernah membahas hal tersebut. Dan dari semua teman kampus Arjun, tidak ada seorang pun yang tahu, kampung asli lelaki pengecut tersebut.

Bahkan semua datanya di administrasi kampus juga tidak lengkap. Sepertinya Arjun memang sengaja melakukan hal tersebut.

Dia sengaja menghilangkan sebagian data nya tersebut. Dia benar-benar lari dari tanggung jawabnya.

Dia rela berhenti kuliah, demi menghindari tanggungjawabnya.

Karena sudah tidak bisa lagi menemukan Arjun, aku pun akhirnya hanya bisa pasrah.

Aku menceritakan semuanya kepada orangtua ku. Mereka tentu saja sangat marah padaku.

Namun sebagai orangtua, mereka tetap melakukan yang terbaik untukku.

Aku pun dinikahkan dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Laki-laki itu sengaja di bayar oleh papa ku, untuk bersedia menjadi suami ku.

Aku terpaksa menerimanya, karena aku memang tidak punya pilihan lain.

Aku tidak mungkin melahirkan anakku tanpa seorang suami. Dan untuk menyelamatkan harga diri keluarga kami, aku pun menerminya.

Meski pun laki-laki yang di jodohkan denganku, tidaklah terlalu jelek, namun untuk saat ini aku belum bisa mencintainya.

Aku hanya berharap, kelak beriring berjalannya waktu, aku bisa mencintainya.

Semoga.

****

Selesai..

Aku dan Rio

Aku menatap pemuda itu dengan seksama. Mencoba mengenalinya.

Pemuda itu tersenyum. Senyum yang sangat menawan.

"kamu siapa?" tanya ku mengulang.

"saya Rio, bang. Saya temannya Kalila." jawab pemuda itu akhirnya. "teman kampusnya.." lanjutnya meyakinkan.

Aku mengangguk ringan, sambil membalas tersenyum.

"Kalila nya ada, bang?" tanya pemuda itu lagi.

"iya. Ada." jawabku jadi sedikit salah tingkah. "masuk aja." lanjutku menawarkan.

Begitulah awalnya aku mengenal Rio. Pemuda tampan dengan senyum menawan dan postur tubuh yang gagah.

Dia adalah teman kampus adik perempuan ku satu-satunya, Kalila.

Lalu seperti apakah kisah ku bersama Rio terjalin?

Silahkan simak kisah ini dari awal sampai akhir ya..

Namun sebelumnya bla.. bla...

*****

Namaku Jaka. Sebut saja begitu.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak pertama ku seorang laki-laki, sekarang sudah menikah dan sudah punya seorang putra.

Adik bungsu ku perempuan, masih kuliah.

Sedangkan aku sendiri, sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang karyawan.

Usia ku sudah 27 tahun saat ini, namun aku masih belum menikah.

Aku dan adikku, Kalila, tinggal bersama kedua orangtua kami. Ayahku seorang pegawai pemerintah yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Sedangkan ibu ku seorang guru di sebuah sekolah dasar.

Kakak pertamaku, karena sudah menikah, sekarang sudah tinggal di rumahnya sendiri.

Kehidupan ku sebenarnya biasa saja. Aku lahir, tumbuh dan besar sebagai seorang laki-laki biasa.

Sejak remaja, sebenarnya aku sudah menyadari kalau aku berbeda dari laki-laki pada umumnya. Aku lebih punya ketertarikan kepada sesama laki-laki dari pada perempuan.

Karena itu, aku tidak pernah dekat apa lagi pacaran dengan perempuan.

Aku pernah jatuh cinta dengan laki-laki, beberapa kali malah. Namun selama ini, aku hanya bisa memendamnya. Selain karena aku tidak punya keberanian untuk mendekati apa lagi mengungkapkan perasaan ku pada laki-laki yang aku suka.

Aku juga sebenarnya ingin mengubah itu semua. Aku merasa terjebak pada yang namanya kehidupan.

Aku merasa tidak pernah menjadi diri ku sendiri. Aku tak pernah mengekspresikan diri ku sesungguhnya.

Selama ini aku selalu berpura-pura menjadi laki-laki yang utuh. Laki-laki yang sama seperti laki-laki pada umumnya.

Namun semenjak mengenal Rio. Aku merasa kalau sudah saatnya aku untuk jujur pada diriku sendiri.

Sejak pertama kali mengenal Rio, aku sudah merasakan ketertarikan padanya. Aku mengaguminya.

Rio yang tampan, dengan senyumnya yang menawan dan postur tubuhnya yang kekar. Benar-benar sosok laki-laki yang sempurna. Dia lelaki terindah yang pernah aku kenal.

Hanya saja seperti biasa, aku hanya bisa memendam semua itu. Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa mendekati Rio.

Selain usia kami yang terpaut hampir lima tahun, Rio juga adalah teman adik perempuanku.

Mungkin saja Rio dekat dengan Kalila, justru karena ia menyukai adik ku itu. Dan mungkin juga Kalila juga menyukai Rio.

Tapi sebagai seseorang yang sudah terlanjur jatuh cinta, aku selalu memikirkan bagaimana caranya bisa kenal lebih dekat dengan Rio.

Hingga kesempatan itu pun akhirnya tiba.

Saat itu Rio datang ke rumah. Seperti biasa ia mencari Kalila. Namun kali Kalila tidak sedang berada di rumah.

Kebetulan Kalila dan kedua orangtua ku sedang berada di kampung halaman ibu ku, untuk menghadiri sebuah acara pesta keluarga. Dan aku tidak bisa ikut, karena tidak mendapat izin libur dari kantor ku.

****

"Kalila nya ada, bang?" tanya Rio, saat aku membuka pintu untuknya.

Aku menggeleng ringan.

"Kalila sedang berada di kampung bersama orangtua kami. Lagi ada pesta di sana." jawabku menjelaskan.

Rio membulatkan bibir.

"kalau begitu saya permisi pulang aja ya, bang." ucapnya.

"jangan pulang dulu.." cegah ku tanpa sadar.

Aku memang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini.

"kenapa, bang Jaka?" tanya Rio dengan raut heran.

"kita bisa ngobrol sebentar?" tanya ku ragu.

"bisa, bang." jawab Rio.

"lagian, kamu kan udah sampai sini, masa' iya mau langsung pulang aja.." timpal ku mencoba akrab.

Rio tersenyum. Sekali lagi, senyum yang menawan.

Aku pun kemudian mempersilahkan Rio masuk dan duduk di ruang tamu.

"bang Jaka sendiran aja di rumah?" tanya Rio.

Aku mengangguk ringan, sambil tersenyum ramah.

"kenapa gak ikut ke kampung?" Rio bertanya kembali.

"aku gak dapat izin libur dari kantor. Jadi aku harus masuk kerja hari ini. Ini pun aku baru aja pulang kerja." jelasku.

"oh." Rio sekali lagi membulatkan bibir, dan hal itu menambah pesona tersendiri bagi pemuda tampan itu.

"kemungkinan mereka akan pulang besok siang. Jadi ya malam ini, aku juga sepertinya akan tidur sendiri di rumah." aku berucap lagi menjelaskan, meski pun Rio tidak mempertanyakan hal tersebut.

Untuk sesaat suasana tiba-tiba menjadi hening. Aku kehabisan kalimat untuk di ucapkan.

Sampai akhirnya aku pun menawarkan minuman untuk Rio. Aku bergegas ke dapur, untuk mengambil minuman, sambil sedikit menenangkan hatiku,, yang tiba-tiba saja berdebar hebat.

"oh, ya. Bang Jaka mau ngobrol tentang apa?" tanya Rio, setelah ia meneguk minumannya.

"hmmm... aku... aku .. cuma butuh teman untuk ngobrol. Gak ada yang penting sebenarnya. Gak apa-apa, kan. Kita ngobrol-ngobrol sebentar di sini?" jawabku dengan sedikit terbata.

"gak apa-apa sih, bang." balas Rio ringan.

"kamu dan Kalila... pacaran?" tanya ku tiba-tiba, benar-benar ingin tahu.

"ya gak lah, bang. Kalila kan udah punya cowok di kampus. Aku dekat ama Kalila, karena kebetulan ada tugas kampus yang kami kerjakan bareng." jawab Rio terdengar santai.

Entah mengapa aku merasa lega mendengar hal itu. Mungkin karena aku merasa punya sedikit harapan, untuk bisa mendapatkan Rio.

Setidaknya aku tidak harus bersaing dengan adik ku sendiri.

Untuk selanjutnya kami pun mulai berbicara banyak hal. Yang membuat aku akhirnya berhasil membujuk Rio untuk menginap di rumahku.

****

Malam itu, sehabis mandi dan makan malam, kami kembali ngobrol.

Meski pun kami baru saling kenal, tapi aku merasa sudah cukup akrab dengan Rio.

Selain karena Rio memang cukup asyik untuk di ajak ngobrol, dia juga orangnya sangat terbuka.

"aku ini anak bungsu, bang. Tiga orang kakak-kakak ku semuanya perempuan." cerita Rio.

"ayahku sudah meninggal sejak aku masih berusia enam tahun. Ibu ku membesarkan kami sendirian. Ibu punya usaha toko kue di dekat rumah kami. Di bantu kakak-kakak ku, kami pun berhasil melewati masa-masa sulit. Hingga ketiga kakak-kakak ku, pun berhasil menjadi sarjana."

"ketiga kakak ku sekarang sudan berkeluarga, dan juga sudah punya pekerjaan serta sudah punya rumah sendiri. Jadi aku hanya tinggal berdua bersama ibu ku di rumah. Aku yang sekarang membantu ibu untuk mengelola toko kue." lanjut Rio bercerita.

"lalu bagaimana dengan pacar?" tanyaku kemudian, setelah untuk beberapa saat kami terdiam

"maksudnya, bang?" tanya Rio balik.

"maksud saya, sebagai laki-laki yang berparas tampan seperti kamu, pasti banyak kan cewek-cewek yang naksir sama kamu. Gak mungkin kan kamu belum punya pacar." ucapku menjelaskan, sengaja sedikit memujinya.

"aku gak suka cewek, bang." ucap Rio sedikit lebih pelan.

"maksud kamu?" tanya ku dengan raut penuh keheranan. Aku hanya tidak percaya, Rio akan berkata seperti itu.

"bang Jaka pasti ngerti maksudnya apa.." balas Rio yakin.

"ya.. aku ngerti.... tapi..." ucapan ku terbata, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

"kenapa? bang Jaka gak percaya kalau aku gay?" ucap Rio menjawab keraguanku.

"sulit di percaya, sih. Soalnya kamu kan orangnya terlihat maskulin dan gagah.." balasku jujur.

"gak ada jaminan, bang. Laki-laki yang terlihat gagah, belum tentu dia hetero kan? bang Jaka misalnya, padahal bang Jaka kan orangnya juga gagah dan atletis, tapi..." Rio sengaja menggantung kalimatnya.

"saya bukan gay.." ucapku lugas.

"kalau bukan gay, gak mungkin kan bang Jaka sering memperhatikan ku diam-diam, saat lagi ngobrol sama Kalila. Kalau bukan gay, gak mungkin kan bang Jaka, ngajak aku ngobrol bahkan sampai mengajak aku nginap segala." terang Rio, yang membuatku jadi sedikit tersipu.

Ternyata diam-diam selama ini Rio juga memperhatikan ku. Dan aku tidak pernah menyadari hal itu.

"udah, bang Jaka gak usah malu. Lebih baik bang Jaka jujur saja, sebelum saya berubag pikiran." Rio berucap lagi melihat keterdiamanku.

"aku... aku.. memang suka sama kamu, Rio. Bahkan sejak pertama kali aku melihat mu." ucapku akhirnya dengan suara bergetar.

"aku juga suka sama bang Jaka..." timpal Rio yakin, "bahkan sebenarnya aku kesini kali ini, memang berniat untuk bertemu bang Jaka. Aku sudah tahu kalau Kalila tidak di rumah, dia udah cerita di kampus kemarin. Karena itu aku nekat datang ke sini, dan berharap bisa bertemu bang Jaka." lanjut Riio lagi.

Aku terdiam. Sungguh semua itu di luar dugaanku. Aku tak menyangka kalau Rio diam-diam juga menyukai ku, dan aku merasa bahagia dengan semua itu.

Malam itu, setelah saling jujur dengan perasaan kami masing-masing, kami pun benar-benar tidur bersama.

Dan untuk pertama kalinya, bagiku dan Rio, kami pun melakukan hal tersebut.

Kami mencoba mengikuti segala naluri kami malam itu. Dan semuanya terasa sangat indah bagiku.

Lelaki terindah itu, Rio, akhirnya bisa aku miliki. Bukan sekedar mimpi. Bukan sekedar khayalan. Tapi benar-benar nyata.

Rio begitu indah, dia begitu sempurna. Dan aku tidak ingin melepaskannya walau pun sedetik pun malam itu.

Cinta kami menyatu. Berpadu dalam lautan rasa yang indah.

Kebahagiaan terpancar dari wajah kami yang tidak menutupi perasaan dan hati kami malam itu.

Benar-benar sebuah keindahan yang sempurna. Sebuah keindahan yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

Lelaki pertama dan kesan pertama yang begitu indah. Tak dapat ku lukiskan bahagia ku malam itu. Tak ada satu kalimat pun yang mampu mewakili perasaan ku.

Dan kami pun terlelap dalam keindahan mimpi yang sempurna.

*****

Sejak saat itu lah aku dan Rio menjalin hubungan cinta. Sebuah hubungan rahasia. Sebuah hubungan yang indah.

Kami punya jadwal dan tempat tersendiri untuk bisa bertemu. Kami selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, untuk bisa menikmati kebersamaan kami.

Dan cinta kami begitu indah, meski hanya kami berdua yang tahu, dan bisa merasakannya.

Namun seperti apakah akhir dari kisah kami?

Mungkinkah kami akan tetap bisa bertahan dalam hubungan cinta terlarang tersebut?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua.

*****

Part 2 

Setahun aku dan Rio menjalin hubungan asmara. Sungguh sebuah hubungan yang sangat indah bagiku.

Aku mencintai Rio lebih dari apa pun, dan begitu juga yang di rasakan Rio.

Meski pun kami tahu kalau hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Tapi bukankah cinta itu egois?

Cinta adalah sebuah misteri. Kita tidak pernah tahu, kapan dan kepada siapa cinta itu akan tumbuh.

Namun yang pasti selama cinta itu bisa kita miliki, kita berhak untuk bahagia akan hal itu.

Tapi seindah apa pun sebuah cinta di dunia gay, pada akhirnya akan menemukan jalan buntu.

Dan begitulah akhirnya yang aku rasakan bersama Rio.

Pada akhirnya kami memang harus berpisah. Bukan karena kami tidak lagi saling cinta. Tapi karena takdir tidak selalu seperti yang kita harapkan.

Namun perpisahan ku dengan Rio, bukanlah sebuah perpisahan yang biasa. Karena itu terjadi sungguh di luar kuasa kami sebagai manusia biasa.

Lalu seperti apakah akhir dari kisah ku bersama Rio?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla... bla...

*****

"kita liburan yuk, bang." ajak Rio suatu ketika, "berdua aja.." lanjutnya.

"kemana?" tanya ku.

"kemana aja, bang. Yang penting kita bisa menikmati waktu berdua." balas Rio.

Aku pun mengangguk setuju. Lagi pula, sejak aku jadian sama Rio, kami memang belum pernah melakukan perjalanan berdua.

"anggap aja honeymoon, bang." ucap Rio lagi, yang membuatku tersenyum.

Dan setelah mempersiapkan segala sesuatunnya, kami pun terbang menuju sebuah pulau yang berada cukup jauh dari kota tempat kami tinggal.

Sebuah pulau yang cukup terkenal dengan keindahan alamnya. Sebuah pulau nan eksotic.

Kami sengaja menyewa sebuah kamar hotel di dekat pulau tersebut, untuk kami menginap selama beberapa malam.

"disini kita bebas menjadi diri kita sendiri, bang. Tanpa rasa khawatir akan di pergoki oleh orang yang kita kenal." ucap Rio, saat kami sudah berada di dalam kamar hotel.

Kami memang tiba di sana saat hari sudah mulai gelap, karena itu kami pun memutuskan untuk langsung masuk ke kamar, untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.

"jadi malam ini kita di hotel aja kan?" tanya ku, sedikit mengabaikan pernyataan Rio barusan.

"besok baru kita keliling dan menikmati pulau ini." lanjutku.

"oke, bang. Aku setuju. Lagian yang terpenting itu, bukan pulau nya, tapi adalah kebersamaan kita. Dan hanya saat di hotel inilah kita benar-benar bisa berduaan, bang." balas Rio dengan nada riang.

Untuk selanjutnya kami pun mulai melakukan ritual malam kami. Sebuah ritual dari ungkapan cinta yang sesungguhnya. Puncak dari keindahan cinta itu sendiri.

Rio begitu sempurna. Dia begitu indah. Setiap jengkal kulitnya adalah lukisan maha karya yang indah.

Lekukan otot-otot yang menyembul dari lengan dan dadanya, menambah kesempurnaannya sebagai seorang laki-laki.

Aku terbuai dengan segala keindahan itu. Aku tak ingin melewatkan sedetik pun kesempatan untuk bisa menikmati kebersamaan ku dengan Rio.

Malam itu, meski pun kami sudah sering melakukannya, tetap saja hal itu terasa sangat indah bagiku. Apa lagi saat ini, kami benar-benar bebas menjadi diri kami seutuhnya.

Kami bebas mengekspresikan perasaan kami masing-masing, dan mengungkapkan segala rasa yang ada.

*****

Keesokan paginya, kami pun berjalan-jalan di pinggiran pantai pulau itu. Menikmati pemandangan alam yang begitu indah.

Berlari-larian mengejar ombak yang datang silih berganti.

Lalu kemudian kami pun berjemur diatas pasir pantia yang putih bersih itu.

"seandainya saja kita bisa selamanya seperti ini, bang." ucap Rio, ia duduk di sampingku.

"kita akan selamanya seperti ini, Rio." balasku pelan.

"kita akan tetap bersama, Rio. Walau apa pun yang akan terjadi." lanjutku, kali aku mencoba menatap Rio.

"aku juga ingin selamanya kita bersama, bang. Tapi ada satu hal yang bang Jaka belum tahu tentang aku." ucap Rio, ia memalingkan muka dari ku, menatap deburan ombak yang menerpa batu karang.

"apa maksud mu, Rio. Rahasia apa yang kamu sembunyikan dari ku?" tanya ku penasaran.

Setahun lebih aku mengenal Rio. Rasanya aku sudah benar-benar mengenalnya. Rasanya sudah tidak lagi rahasia di antara kami.

"nanti juga bang Jaka pasti tahu. Saat ini yang paling penting adalah menikmati kebersaman kita, bang." balas Rio penuh teka-teki.

"aku gak ngerti maksud kamu, Rio. Tapi kalau memang ada yang kamu sembunyikan, lebih baik kamu menceritakannya sekarang." ucapku pelan, sambil terus menatapi wajah tampan itu.

"jangan rusak kebahagiaan kita kali ini, bang. Aku benar-benar ingin menikmati saat ini dengan kebahagiaan.." timpal Rio, ia masih menatap ke arah lautan.

"tapi kamu yang memulai, Rio.." balasku.

"maaf, kalau gitu, bang. Lupakan saja kalimatku itu. Aku juga gak ngerti mengapa aku harus berkata seperti itu." ucap Rio lagi.

Lalu kemudian dia pun berdiri, dan segera berlari menerjang gulungan ombak yang datang cukup besar menerpa pantai itu.

Aku menatap pemuda gagah itu dari kejauhan. Kalimatnya barusan benar-benar mengganggu pikiran ku tiba-tiba. Tapi sepertinya Rio memang tidak ingin membahas hal itu saat ini.

Aku kemudian ikut berlari menuju deburan ombak tersebut, mengejar Rio. Mengikutinya yang sudah mulai berenang di air laut tersebut.

Dan setelah merasa cukup puas bermain-main  di pantai itu, kami pun memutuskan untuk kembali lagi ke kamar.

Hari pun terasa begitu cepat berlalu, hingga malam kembali menjelang.

Malam itu, seperti malam sebelumnnya, kami pun memutuskan untuk tetap berada di dalam kamar. Kami memutuskan untuk menghabiskan malam itu kembali hanya berdua di kamar.

Ini benar-benar terasa bagai bulan madu bagiku. Indah.

Rio juga terasa berbeda bagiku, dia lebih bersemangat dari biasanya. Tapi aku menyukainya. Aku menyukai setiap hal yang ia lakukan pada ku malam itu.

Aku merasa semakin mmencintainya. Aku semakin takut kehilangan dia.

****

Selama lebih kurang tiga hari tiga malam kami menikmati liburan kami.

Sampai akhirnya kami pun harus kembali ke kehidupan kami semula.

Aku harus kembali bekerja, sementara Rio harus kembali untuk kuliah.

Meski pun liburan itu terasa singkat bagiku, tapi kesan yang terjadi selama liburan itu benar-benar indah dan penuh warna.

Itu adalah liburan terindah yang pernah aku rasakan sepanjang perjalanan hidupku.

"kapan-kapan kita ulang lagi ya.." ucapku kepada Rio, saat di perjalanan pulang.

"semoga saja kita masih punya waktu untuk mengulanginya lagi, bang." balas Rio misterius.

"kita masih punya banyak waktu, Rio. Dan kita nanti akan pergi ke tempat yang lebih indah." ucapku yakin.

"entahlah, bang. Andai saja kita masih punya waktu untuk mengulanginya, bang." balas Rio lagi, seperti mengulang kalimat yang sama.

"maksud kamu apa sih, Rio. Mengapa kamu berkata seolah-olah kita tidak punya waktu untuk bersama lagi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ku?" tanyaku dengan nada ragu.

"aku ingin.... aku ingin ... setelah ini, kita tidak usah bertemu lagi, bang." ucap Rio tiba-tiba dengan terbata dan suara yang bergetar.

Aku menatapnya. Berharap Rio hanya sekedar bercanda. Dia memang suka bercanda bukan? bathinku.

"aku serius, bang. Aku ingin kita pisah.  Aku ingin kita udahan." ucap Rio lagi, seakan bisa menebak keraguanku.

"kenapa?" tanyaku tercekat. Hatiku tiba-tiba saja terasa perih.

"apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyaku lagi melanjutkan.

"aku sangat mencintai bang Jaka. Tapi..... aku tidak bisa selamanya bersama bang Jaka." jawab Rio terdengar yakin.

"kenapa?" tanyaku dengan nada penuh keheranan.

"aku gak bisa menjelaskannya sekarang, bang. Namun yang pasti mulai saat ini, bang Jaka gak usah menghubungi atau pun menemui aku lagi." ucap Rio, ia memalingkan muka.

Namun aku masih melihat sekelebat mendung di matanya.

Ada apa dengan Rio? Bathin ku penuh tanya.

Baru saja kami berliburan bersama. Semuanya berjalan-jalan dengan baik-baik saja, bahkan berjalan dengan sangat indah.

Lalu mengapa Rio tiba-tiba saja ingin mengakhiri hubungan kami?

Sungguh, aku tidak bisa menerima itu semua.

"apa salahku?" tanyaku dengan suara bergetar.

"gak ada yang salah, bang. Bang Jaka gak salah." balas Rio.

"lalu mengapa tiba-tiba saja kamu ingin kita udahan, Rio? Setelah baru saja kita menikmati manisnya cinta kita bersama. Kita bahkan belum sampai ke rumah loh, Rio." ucapku lirih. Pilu.

Hatiku benar-benar sakit.

"aku tidak bisa menjelaskannya saat ini, bang. Aku harap abang ngerti. Ini juga berat bagiku. Tapi itu satu-satu nya pilihan yang aku punya saat ini, bang." ucapan Rio kali ini lebih keras, meski pun suaranya terdengar mulai parau.

"kamu egois, Rio." balasku akhirnya, setelah tidak tahu harus berkata apa lagi.

Sepertinya Rio memang benar-benar serius dengan ucapannya.

Hanya saja aku tidak bisa menerima keputusannya begitu saja. Aku butuh penjelasan.

Namun percuma saja, aku meminta penjelasan Rio. Dia tidak akan mau berbicara saat ini.

Untuk selanjutnya kami lebih banyak diam. Sepanjang perjalanan. Kami sudah seperti dua orang asing yang tidak saling kenal.

Kami pun kembali ke rumah masing-masing, dengan masih menyimpan sejuta tanya di hatiku.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan Rio?

Kenapa ia tiba-tiba saja ingin mengakhiri hubungan kami?

Temukan jawabannya di part berikutnya ya, bisa lihat di channel ini, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.. muaaachhh..

****

Part 3

Seminggu setelah kepulangan kami dari liburan, Rio benar-benar sudah tidak bisa aku hubungi lagi.

Dia menghindari ku. Telpon ku tak pernah ia angkat, pesan ku pun tak pernah ia balas lagi.

Aku semakin dengan sikap Rio, yang tiba-tiba saja berubah.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan Rio?

Mengapa ia tiba-tiba saja ingin putus dari ku, sementara aku merasa hubungan kami baik-baik saja?

Simak kelanjutan kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya... bla... bla..

****

Pernah sekali aku datang ke rumah Rio, karena penasaran. Namun ibu nya bilang, kalau Rio sedang tidak di rumah.

"kemana Rio kira-kira ya, Tante?" tanya ku merasa kurang puas dengan jawaban ibunya Rio.

"tante juga kurang tahu, nak Jaka. Mungkin dia lagi sibuk dengan tugas kuliahnya." jawab ibu Rio.

Karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti, aku pun segera pamit.

Aku bahkan pernah bertanya tentang Rio kepada Kalila, adik perempuan ku itu.

"Rio sudah beberapa hari ini tidak pernah masuk kuliah, bang Jaka. Menurut kabar yang Kalila dapat, katanya Rio sedang berada di Singapur." jelas Kalila.

"Singapur? Ngapain Rio ke Singapur?" tanya ku heran.

"kurang tahu juga, bang." jawab Kalila santai.

"tapi kok tumben, bang Jaka tanya-tanya soal Rio." ucap Kalila lagi.

"gak. Gak apa-apa, kok. Cuma sekarang kok Rio jarang datang kesini ya?" tanya ku beralasan.

"ya, karena memang tugas kami kan udah selesai, bang. Jadi Rio gak punya alasan lagi dong untuk main kesini. Lagian kami kan juga gak terlalu dekat." jelas Kalila lagi.

Aku pun tidak bertanya lebih lanjut kepada Kalila. Aku takut Kalila curiga kalau kami ada apa-apanya.

Hal ini semakin membuat aku bingung.

Kemana Rio sebenarnya? Apa yang terjadi dengannya.

Semuanya benar-benar menjadi misteri bagiku.

Misteri yang tak bisa aku temukan jawabannya.

Tapi aku benar-benar butuh penjelasan. Aku benar-benar ingin tahu, dimana Rio sebenarnya.

Oh, Rio. Kenapa kamu membuat aku seperti ini?

Padahal aku sangat membutuhkan mu. Aku sangat mencintaimu Rio. Bathin ku lirih.

*****

Hampir sebulan, aku tak pernah lagi kontak dengan Rio.

Aku benar-benar kehilangan semangat. Aku kehilangan gairah hidup.

Aku merasa tidak punya tujuan saat ini. Aku hampir putus asa.

Sampai akhirnya, aku mendapat kabar dari Kalila, kalau Rio sudah pergi untuk selama-lamanya.

Rio sudah tidak ada. Rio meninggal.

Dan kabar itu benar-benar membuat aku syok.

"kabarnya Rio itu ternyata punya penyakit kanker otak sejak lama. Dia di bawa berobat ke Singapur, dan akhirnya meninggal." jelas Kalila kemudian.

Aku diam. Aku berpura-pura tidak terlalu terkejut mendengar cerita Kalila. Meski hatiku terasa pilu.

Rio selamanya ini tidak pernah cerita tentang penyakitnya. Dia selalu terlihat sehat.

Dengan perasaan hancur, aku pun mencoba mendatangi rumah Rio. Aku berharap masih sempat melihat jasadnya untuk yang terakhir kalinya.

Namun saat aku sampai disana, aku hanya bertemu dengan ibunya Rio dan juga tiga orang kakak-kakaknya. Jasad Rio baru saja di kubur.

"Rio memang tidak ingin siapa pun tahu tentang penyakitnya, kecuali kami." ucap ibu Rio bercerita.

Kami ngobrol di teras rumahnya, berdua.

Mata ibu Rio terlihat sembab karena habis menangis.

"Rio diagnosa kanker otak sekitar empat tahun yang lalu. Kanker itu sudah cukup parah, stadium akhir. Tapi Rio menolak untuk di operasi. Karena itu dokter hanya bisa menjamin kalau Rio hanya akan bertahan tidak lebih dari dua tahun."

"namun karena kuasa Tuhan, Rio mampu bertahan lebih dari dua tahun. Bahkan dia terlihat selalu sehat. Sampai akhirnya ia bertemu nak Jaka. Rio semakin terlihat penuh semangat dan semakin ceria. Dia seakan melupakan tentang penyakitnya."

"tante tahu, kalau Rio menyukai nak Jaka. Tante juga tahu, kalau kalian akhirnya menjalin hubungan. Tapi tante tak ingin melarangnya. Meski pun tante tahu itu salah. Namun Rio terlihat bahagia dengan semua itu."

"sebagai seorang ibu, yang mengetahui kalau usia anaknya tidak akan lama lagi, rasanya wajar, kalau tante membiarkan Rio menikmati kebahagiaannya. Bahkan tante pun memberi izin Rio untuk pergi berlibur bersama nak Jaka."

"saat itu sebenarnya, penyakit Rio mulai kambuh lagi. Saat kami periksa kembali ke dokter, kanker Rio semakin ganas, dan sudah tidak ada harapan untuk bisa sembuh kecuali dengan jalan operasi."

"kali itu Rio setuju untuk operasi ke Singapur, tapi dengan syarat tante harus mengizinkannya pergi berliburan bersama kamu, nak Jaka. Karena itu tante memberinya izin."

"Rio sebenarnya berharap dengan operasi penyakitnya bisa hilang. Meski pun dokter mengatakan kalau harapannya sangat tipis. Tapi Rio orang yang kuat, dia tidak pernah mau terlihat di depan orang-orang."

"Rio sangat mencintai kamu, nak Jaka. Karena itu juga ia setuju untuk operasi, dia berharap dia bisa sembuh dan bisa lebih lama lagi bersama nak Jaka."

"tapi ternyata Tuhan berkata lain. Rio tidak bisa di selamatkan. Setelah hampir sebulan berada di Singapur, untuk pengobatan dan operasinya, Rio ternyata tidak bisa bertahan lebih lama lagi."

Ibu Rio bercerita panjang lebar padaku.

Selama itu pula, hatiku bagai di sayat-sayat. Sakit sekali rasanya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa bersama orang yang aku cintai. Namun itu semua tidak bertahan lama.

Dan bahkan ibu Rio sendiri sudah setuju dengan hubungan kami. Meski pun itu ia lakukan, hanya untuk membuat Rio merasa bahagia di sisa akhir hidupnya.

Tapi aku tidak peduli dengan semua itu. Aku lebih memilih hubungan kami tidak di setujui oleh siapa pun, asalkan Rio masih ada. Asalkan dia tetap hidup.

Aku rela menjalin hubungan rahasia bersama Rio selamanya. Aku tidak butuh restu siapa pun. Aku hanya butuh Rio selalu ada.

Namun kenyataannya, Rio telah pergi untuk selama-lamanya.

Semua tanya ku selama ini sudah terjawab. Aku mengerti semua alasan dan sikap Rio padaku akhir-akhir ini.

Aku mengerti mengapa Rio ingin mengakhiri hubungan kami.

Aku mengerti mengapa tiba-tiba saja ia berubah.

Namun jawaban dari semua pertanyaan itu, sungguh sangat menyakitkan bagiku. Bahkan jau lebih sakit dari pertanyaan-pertanyaan itu sendiri.

Kalau aku boleh memilih, mungkin lebih Rio menghilang tanpa kabar. Lebih baik dia pergi dari ku dan hidup bersama orang lain. Lebih baik dia mengkhianati ku, dari pada dia harus pergi untuk selama-lamanya.

Aku menangis pilu. Semuanya terasa begitu menyakitkan. Aku tidak bisa menerimanya.

Mengapa orang yang aku cintai, harus pergi begitu cepat?

Mengapa Rio harus pergi?

Akh, aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Sakit, kecewa, perih dan berbagai rasa pilu bersarang di hatiku.

Maafkan aku Rio, karena terlalu mencintai dirimu.

Maafkan aku juga, karena belum siap kehilangan dirimu. Rintihku di pusara Rio.

Air mata ku sudah tidak bisa aku bendung lagi. Aku menangis. Benar-benar menangis.

****

Kini hari-hari ku semakin terasa berat. Rasanya aku sudah tidak punya semangat lagi, untuk terus melanjutkan hidup ini.

Kehilangan Rio bagai kehilangan separoh napas ku. Aku lebih sering menghabiskan waktu ku dengan bermuram durja.

Hidupku hancur, pekerjaan ku berantakan. Semua keluarga ku bingung melihat perubahan ku.

Kalian tahu, apa yang paling menyakitkan dari itu semua. Aku tidak punya tempat untuk mencurahkan perasaanku saat ini. Aku tidak punya orang yang mengerti, untuk bisa mendengarkan curahan hatiku.

Aku hanya bisa memendamnya sendiri. Aku hanya bisa merasakan sakit itu sendiri. Tanpa siapa pun yang tahu, dan tanpa siapa pun yang bisa mengerti.

Dan disinilah aku curahkan semuanya. Sekedar untuk mengurangi beban yang ada dalam hatiku.

Terima kasih sudah mendengarkan kisah ku ini, semoga terhibur.

Pesanku, jika saat ini kamu bersama seseorang yang kamu cintai dan juga mencintai mu, maka jangan pernah lewatkan setiap kesempatan yang ada untuk kalian bisa bersama.

Karena kita tidak pernah tahu, kapan perpisahan itu akan datang.

Salam sayang selalu untuk kalian semua, dan sampai jumpa lagi.. muach.

****

sekian...

Suami sahabat ku, yang membuatku ...

Namanya mas Arifin. Dan dia adalah suami sahabatku, Dena.

Aku dan Dena memang sudah bersahabat sejak lama, setidaknya sejak kami sama-sama kuliah.

Kami bahkan akhirnya juga bekerja di perusahaan yang sama. Hanya saja Dena lebih beruntung, karena setelah setahun bekerja, dia pun di lamar oleh manager di perusahaan kami bekerja.

Setelah menikah dengan mas Arifin, si manager perusahaan tersebut, Dena pun memutuskan untuk berhenti bekerja. Dia lebih memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga biasa.

Selain karena itu merupakan permintaan dari suaminya, Dena juga sejak dulu memang tidak suka menjadi wanita karir.

Dena dan mas Arifin sudah memiliki seorang putra dari hasil pernikahan mereka.

Aku sendiri masih betah dengan status lajang ku. Aku masih ingin mengejar impian ku. Meski pun saat ini, usia ku sudah 28 tahun.

Sebenarnya ada banyak laki-laki yang berusaha untuk mendekati ku, tapi selama ini aku selalu menutup diri. Aku tidak suka terikat. Aku lebih suka kebebasan.

Meski pun sebagai wanita dewasa, aku juga kadang sering merasa kesepian hidup sendirian. Apa lagi di kota ini, aku hanya tinggal sendiri di sebuah apartemen sewaan.

Semua keluarga ku ada di desa, dan aku sangat jarang pulang ke kampung halamanku. Selain karena aku sudah merasa betah tinggal di kota, aku juga tidak suka pulang ke kampung ku, karena selalu di tanyakan tentang 'kapan nikah?' oleh keluarga ku.

Dan selain itu juga, kedua orangtua ku sebenarnya sudah lama meninggal. Jadi selain dua orang kakak ku yang ada di kampung, aku tidak punya banyak famili lain.

Meski pun sudah menikah dan punya anak, Dena masih sering mengajak aku ketemuan. Kami masih sering ngobrol, saling curhat dan saling telpon-telponan. Aku bahkan juga sering main ke rumahnya.

Kehidupan Dena memang di bilang cukup mewah. Tinggal di rumah gedongan, punya mobil mewah, dan punya beberapa orang pembantu di rumahnya.

Kadang aku merasa cukup iri dengan kehidupan Dena tersebut.

Apa lagi Dena memiliki seorang suami seperti mas Arifin. Selain mapan, mas Arifin juga seorang pria yang tampan dan gagah. Dena beruntung mendapatkan mas Arifin, demikian juga mungkin sebaliknya.

Dena memang cantik, sejak dulu dia selalu menjadi incaran banyak cowok. Dia selalu menjadi primadona di kampus maupun di tempat kerja. Sampai akhirnya mas Arifin mampu meluluhkan hatinya.

Aku dan mas Arifin sebenarnya cukup dekat. Selain karena ia adalah suami sahabatku, mas Arifin juga atasan ku di kantor.

Mas Arifin bahkan pernah beberapa kali mengantar ku pulang ke apartemen. Meski pun selama ini, pembicaraan masih seputar tentang pekerjaan dan hal-hal umum lainnya.

Hingga pada suatu saat. Untuk kesekian kalinya, mas Arifin mengantar ku pulang ke apartemen ku.

"kenapa masih betah hidup sendiri sih?" tanya mas Arifin di perjalanan menuju apartemen ku.

Aku cukup kaget mendengar pertanyaan itu. Karena sebelumnya mas Arifin belum bertanya hal-hal pribadi seperti itu.

"sebenarnya bosan juga hidup sendiri. Tapi nyari laki-laki yang mau bertanggung jawab itu susah. Dan lagi pula aku kan gak secantik Dena, jadi jarang ada laki-laki yang mau mendekat." balas ku apa adanya.

"kamu tuh cantik loh, Reni. Kamu cantik dengan caramu sendiri. Kamu juga manis dan seksi.." ucap mas Arifin dengan suara beratnya.

Jujur aku jarang sekali mendengar pujian seperti itu dari laki-laki. Dan hal itu cukup membuatku merasa tersipu. Muka ku memerah pastinya.

"ah mas Arifin bisa aja. Tapi nyata nya sampai saat ini aku masih jomblo. Itu artinya aku tidak terlalu menarik di mata laki-laki." balas ku berusaha menahan gejolak di hatiku.

"tapi bukannya kata Dena, kamu lebih memilih untuk berkarir dari pada cepat-cepat nikah?" ucap mas Arifin lagi.

"sebenarnya iya sih mas. Tapi sekarang ini, aku mulai lelah berkarir. Pengen juga ngerasain, jadi seorang istri dan jadi seorang ibu." timpalku pelan.

Untuk beberapa saat suasana pun hening. Hingga mobil kami pun sampai ke halaman parkir apartemen ku.

"mampir dulu mas." tawar ku seperti biasa. Dan biasanya mas Arifin selalu menolak.

"kalau kamu gak keberatan aku mampir." ucap mas Arifin, yang membuat aku sedikit tercekat.

Aku belum pernah sekali pun mengajak seorang laki-laki masuk ke apartemen ku. Dan tadinya aku hanya berbasa-basi pada mas Arifin. Tapi jika mas Arifin benar-benar ingin mampir, aku rasa aku tidak enak hati untuk menolaknya.

Selain karena dia adalah atasanku, juga suami sahabatku, aku juga merasa tidak enak hati karena berkali-kali di antarnya pulang.

"mas serius mau mampir?" tanya ku ragu, "apartemen ku jelek loh mas." lanjutku berusaha mencegah hal itu terjadi.

"iya, aku serius. Aku pengen lihat apartemen kamu. Dan lagi pula aku merasa sedikit haus." ucap mas Arifin, yang membuat ku tercekat lagi.

"ya .. udah... kalau begitu mari kita ke atas.." ajak ku akhirnya, setelah berusaha mengatur napasku yang tiba-tiba saja tersengal.

Apartemen ku memang berada di lantai dua gedung tersebut, dan untuk sampai ke sana, kami harus menaiki tangga manual. Karena apartemen tempat aku tinggal ini, hanyalah sebuah apartemen murah dengan fasilitas seadanya.

Sesampai di atas aku pun mempersilahkan mas Arifin untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

"aku ambilkan minum dulu ya mas." ucapku memecah keheningan.

Tanpa menunggu persetujuan dari mas Arifin, aku pun segera melangkah ke dapur kecil apartemen ku tersebut.

Aku membawakan segelas air putih ke ruang tamu, dan menyerahkannya kepada mas Arifin.

"ini mas. Cuma ada air putih." ucapku, sambil ikut duduk di hadapan mas Arifin.

Mas Arifin segera menenggak minuman tersebut, kemudian menaruh gelas yang masih berisi separoh itu di atas meja tamu.

"sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan sama kamu, Reni. Sudah sejak lama sebenarnya aku ingin cerita. Tapi selama ini aku belum punya keberanian." mas Arifin berucap pelan.

"mas Arifin mau cerita tentang apa?" tanyaku penasaran.

"cerita tentang masa lalu sih. Tapi rasanya hal itu terus mengganjal di hatiku, jika aku tidak menceritakannya padamu." balas mas Arifin.

Aku diam. Menunggu mas Arifin memulai ceritanya.

"sebenarnya dulu, jauh sebelum aku menikah dengan Dena. Saat pertama kali kalian bekerja di perusahaan ku. Aku .... aku sebenarnya sudah suka sama kamu, Reni. Tapi waktu itu, ketika aku coba mendekati kamu, Dena pun cerita padaku, kalau kamu belum mau pacaran, karena masih mau fokus berkarir."

"karena itu, aku pun memilih untuk mundur. Aku masih mau menunggu sebenarnya, tapi karena aku dan Dena tiba-tiba saja menjadi dekat, aku malah jadi tertarik sama Dena. Hingga akhirnya kami pun pacaran dan menikah." cerita mas Arifin panjang lebar.

Aku tercekat lagi. Aku tidak tahu, apa mas Arifin berbicara jujur atau hanya sekedar menghiburku.

Namun yang pasti aku merasa tersanjung mendengar itu semua. Karena sejujurnya, sejak pertama kali melihat mas Arifin dulu, aku memang menyukainya.

Tapi karena aku merasa tidak pantas untuknya, dan karena memang aku lebih memilih untuk fokus pada karir dari pada pacaran, aku hanya bisa memendam semua itu.

Hingga pada akhirnya aku tahu, kalau mas Arifin dan Dena pacaran. Aku pun mengubur semua impian ku tentang mas Arifin.

"oh," desahku ringan, berusaha bersikap sewajar mungkin.

"lalu sekarang mas Arifin sudah merasa lega kan? Sudah cerita hal itu padaku?" ucapku akhirnya.

Mas Arifin menarik napas berat.

"jadi cuma itu? Cuma itu tanggapan kamu Reni?" tanya mas Arifin tiba-tiba.

"lalu mas Arifin maunya aku menanggapinya gimana?" tanyaku balik.

"aku juga gak tahu, apa yang aku inginkan sebenarnya dengan menceritakan hal tersebut. Tapi aku berharap, kamu punya reaksi lebih dari itu. Entah kenapa?" balas mas Arifin lemah.

"udahlah mas Arifin. Lagi pula itu semua kan sudah berlalu. Sekarang mas Arifin sudah bersama Dena. Jadi lupakan saja semua yang telah berlalu." ucapku membalas.

"tapi kalau seandainya, aku katakan, kalau sampai saat ini aku masih menyukai kamu?" ucap mas Arifin dengan nada tanyanya.

"ya tetap saja itu tidak mengubah apa pun mas. Kita tak mungkin kembali ke masa lalu kan? Dan sekali pun mas Arifin masih menyukai ku. Itu hak mas Arifin. Namun yang pasti sekarang ini, mas Arifin adalah seorang suami dan juga seorang ayah." ucapku berusaha sesantai mungkin.

"apa kamu tidak ingin mencobanya?" tanya mas Arifin lagi.

"mencoba apa mas?" tanyaku heran.

"mencoba menjalin hubungan denganku?" mas Arifin bertanya kembali.

"kamu jangan macam-macam mas. Dena adalah sahabatku. Aku tidak mungkin mengkhianatinya. Aku bukan tipe wanita seperti itu." ucapku tegas.

"tapi aku benar-benar menyukai kamu Reni. Aku ingin kamu menjadi istri kedua ku." balas mas Arifin dengan nada sedikit tinggi.

"aku gak mau mas. Apa lagi harus jadi istri kedua." balas ku tegas lagi.

"kalau kamu gak mau, aku akan pecat kamu dari perusahaanku." ucap mas Arifin dengan nada semakin tinggi.

Aku terdiam. Bukan karena aku takut akan ancamannya. Tapi aku tak menyangka kalau mas Arifin akan berkata seperti itu.

Itu seperti bukan mas Arifin yang aku kenal. Atau itulah sifat aslinya yang ia sembunyikan selama ini.

"pilihannya hanya dua Reni. Kamu menjadi istri kedua ku atau kamu aku pecat." mas Arifin berucap lagi. lebih tegas dan lebih kasar.

"aku tak sudi menjadi istri mas Arifin apa lagi menjadi istri kedua. Aku rela kehilangan pekerjaanku." balasku dengan nada bergetar menahan gejolak emosi di dadaku.

Tak aku sangka mas Arifin punya sifat seperti itu. Selama ini dia aku kenal sebagai laki-laki baik.

Aku pikir Dena beruntung bisa mendapatkannya, tapi ternyata...

"oke Reni. Jika itu pilihanmu, aku akan kabulkan. Dan aku harap kamu tidak akan pernah menyesal dengan pilihanmu itu." ucap mas Arifin lagi, lalu kemudian dia pun berdiri dan segera keluar dari apartemenku.

Aku terdiam. Aku merasa syok tiba-tiba.

****

Keesokan harinya, aku pun mendapat surat pemecatan.

Aku tidak bisa terima sebenarnya. Namun perusahaan itu adalah milik papanya mas Arifin, dan mas Arifin merupakan pewaris tunggal perusahaan tersebut.

Yang artinya, dia punya hak sepenuhnya untuk memecatku dengan alasan yang dia karang sendiri.

Aku pun akhirnya hanya bisa pasrah. Aku keluar dari perusahaan itu dengan perasaan campur aduk.

Aku tidak masalah sebenarnya berhenti bekerja dari perusahaan itu. Aku bisa cari kerja lain, atau sekurang-kurangnya, aku bisa kembali ke kampung halamanku dan memulai hidup baru.

Namun yang aku pikirkan adalah sahabatku, Dena. Betapa malangnya dia memiliki suami seperti mas Arifin.

Jika mas Arifin gagal mendapatkan ku, aku yakin akan ada wanita lain yang akan dia jadikan korban berikutnya.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk mengajak Dena ketemuan. Lalu kemudian aku pun menceritakan semuanya kepada Dena.

Tentu saja Dena tidak begitu saja percaya dengan ceritaku.

"kamu jangan ngarang deh Reni. Aku tahu, kamu iri kan melihat kebahagiaanku bersama mas Arifin." ucap Dena.

"tapi apa yang aku ceritakan adalah benar adanya Dena. Buktinya aku dipecat." balasku berusaha meyakinkan.

"kamu di pecat itu karena kesalahanmu sendiri Reni. Mas Arifin sudah minta pendapatku tadi malam tentang pemecatan kamu. Katanya kesalahan kamu sangat fatal, hingga tidak bisa ia pertahankan lagi." ucap Dena dengan nada yakin.

Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tentu saja Dena pasti akan lebih percaya kepada suaminya, dari pada aku, sekali pun aku ini adalah sahabatnya.

Karena itu aku pun memutuskan untuk tidak berbicara lagi dengan Dena. Karena untuk saat ini, semua itu hanya percuma.

Aku pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku dan memulai hidup baru disana.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Dena selanjutnya. Mudah-mudahan dia cepat sadar, kalau suaminya bukanlah laki-laki yang baik.

Meski pun aku yakin, itu mungkin butuh waktu sangat lama. Tapi setidaknya sebagai sahabat, aku telah memperingatkannya dari awal.

*****

Om Brata, Suami ibu mertua ku yang gagah

Aku memanggilnya om Brata. Dan dia adalah ayah suami kedua ibu mertua ku.

Ibu mertua ku menikah dengan om Brata, karena suami pertamanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Om Brata seorang laki-laki yang berparas cukup tampan dengan postur tubuh yang gagah. Usianya sudah 40 tahun, lima tahun lebih mudah dari ibu mertua ku.

Om Brata sebenarnya adalah seorang duda, yang sudah mempunyai dua orang anak. Dia bercerai dari istri pertamanya sudah lebih dari lima tahun. Kedua anaknya ikut bersama istri pertamanya, yang kabarnya juga sudah menikah dengan laki-laki lain.

Ibu mertua ku seorang wanita karir yang cukup sukses. Dia hanya memiliki seorang putra bernama mas Wisnu, yang merupakan suami ku.

Mas Wisnu sudah berusia 26 tahun, kami menikah baru sekitar setahun yang lalu. Sedangkan om Brata dan ibu mertuaku sudah menikah hampir tiga tahun.

Mas Wisnu suami ku itu, adalah seorang manager di perusahaan yang merupakan milik ibu mertua ku

Sebagai anak tunggal, mas Wisnu memang mendapatkan semua itu dengan mudah. Hidupnya sudah terbiasa mewah sejak kecil.

Aku sendiri hanyalah seorang wanita biasa. Dulu sebelum menikah dengan mas Wisnu, aku merupakan salah seorang karyawan yang bekerja di perusahaannya.

Saat ini aku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Dan aku juga sudah berusia 25 tahun.

Pernikahan ku dengan mas Wisnu, sebenarnya cukup bahagia. Semua kebutuhan ku terpenuhi dengan baik, terutama soal materi.

Namun mas Wisnu, karena kesibukannya, ia jadi jarang berada di rumah. Dan hal itu cukup membuat aku merasa kesepian. Apa lagi sampai saat ini, kami belum punya keturunan.

Meski pun demikian, aku mencoba menjadi istri yang baik untuk suamiku.

Tapi kenyataan yang terjadi, sungguh di luar dugaanku.

Suami ku ternyata selama ini telah mengkhianati ku. Aku mengetahui kalau mas Wisnu sedang menjalin hubungan dengan sekretaris barunya.

Mas Wisnu tak pernah mengakui hal itu. Dia justru memarahiku setiap kali aku mempertanyakan hal tersebut.

Aku mencoba menceritakan hal tersebut kepada ibu mertuaku. Tapi ibu mertuaku justru membela anaknya, dan mengatakan kalau aku tidak becus menjadi seorang istri.

Aku tahu, dari awal pernikahan kami, ibu mertua ku tidak pernah setuju. Dia sebenarnya tidak menyukai aku sebagai menantunya.

Dan tentu saja saat ini, dia sangat mendukung pilihan putranya yang memilih unutk berhubungan dengan sekrataris barunya itu.

Hal ini cukup membuat aku sangat kecewa. Aku ingin segera menuntut cerai dari suamiku.

Hingga pada suatu hari, om Brata, ayah tiri suami ku itu, tiba-tiba datang ke rumahku. Sendirian.

"ada apa om?" tanyaku, setelah mempersilahkannya masuk dan duduk di ruang tamu.

"gak ada apa-apa Dewi. Om hanya ingin sekedar mampir." balas om Brata.

"om turut prihatin mendengar tentang suami kamu itu Dewi." lanjutnya.

"Wisnu memang laki-laki yang bodoh. Ia rela mengkhianati istrinya yang cantik ini, hanya demi wanita murhan sekretarisnya itu." ucap om Brata lagi.

Aku hanya terdiam. Pasti ibu mertua ku sudah cerita tentang semua itu pada om Brata.

"padahal kamu sangat cantik Dewi. Kamu benar-benar seperti Dewi dari khayangan." om Brata berucap lagi.

"maksud om Brata apa, ngomong seperti itu?" tanyaku dengan kening berkerut.

"om suka sama kamu Dewi. Kamu sangat cantik. Kalau Wisnu bisa mengkhianati kamu, kenapa kamu hanya berdiam diri saja. Bukankah lebih baik, kalau kamu mencari laki-laki lain. Om siap menerima kamu Dewi." balas om Brata terdengar yakin.

"tapi... om Brata kan suami ibu mertua ku. Aku gak mungkin menjalin hubungan dengan ayah tiri suami ku sendiri." ucapku.

"apa salahnya? kalau kita memang saling suka." balas om Brata.

Om Brata memang laki-laki yang tampan, hidungnya mancung dengan rahanganya yang kokoh. Postur tubuhnya gagah dan kekar. Meski pun ia sudah berumur kepala empat.

Aku terlalu tertarik sebenarnya dengan om Brata. Tapi mengingat saat ini, aku merasa sakit hati dengan suami ku dan juga ibu mertua ku. Tak ada salahnya aku memanfaatkan om Brata untuk sekedar melepaskan rasa sakit hatiku saat ini.

Dan lagi pula, sejak aku mengetahui kalau suami ku selinguh, aku tidak pernah lagi tidur dengannya. Hal itu cukup membuat aku merasa kesepian.

Sekarang ada om Brata disini, dengan segala pesonanya.

Jadi untuk melepaskan rasa sakit hatiku pada suami dan ibu mertua ku, dan juga untuk menumpahkan segala kesepian ku, aku pun menyambut kedatangan om Brata.

Siang itu, aku dan om Brata pun b3rgmul dlam lautn kemsraan. Aku menyambut kedatang laki-laki gagah itu dengan pnuh g4irh.

Segala kespian ku selma ini, aku curhkan sepenuhnya pda om Brata.

Om Brata mmang lelaki yang luar biasa. Dia mmpu mmbuatku trbuayi dalm lautn pnuh cinta.

Hingga kmi mlakuknnya beberpa kali siang itu. Om Brata mmang gagh. Sungguh seorng laki-laki yang semmpurna.

Pendkian demi pendkian itu trus kmi lakukan brsama. Kmi benar-benar sperti sepsang keksih yang di mbuk asmra. Kmi tak ingin sling melpaskan. Kmi bnar-benar bersmbah kringat.

Dan aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Hal itu justru membuat aku jadi menyukai om Brata.

****

Sejak kejadian siang itu, aku dan om Brata pun jadi sering bertemu dan melakuakan hal itu lagi.

Hingga lama kelamaan aku pun terlena dengan hubunagn terlarang itu. Aku pun merasa telah jatuh cinta kepada om Brata.

Setelah cukup yakin dengan perasaan ku pada om Brata. Aku pun memutuskan untuk menuntut cerai dari suami ku.

Suami ku tentu saja sangat setuju dengan permintaan ku itu. Hingga kami pun resmi bercerai.

Sementara itu, aku terus menjalin hubungan diam-diam dengan om Brata.

Hingga akhirnya om Brata pun menceraikan istrinya yang merupakan mantan ibu mertua ku itu.

Dan beberapa bulan kemudian, aku dan om Brata pun menikah.

Kami memutuskan untuk pindah dari kota itu. Aku tak mau lagi bertemu mas Wisnu dan juga ibunya.

Aku merasa lega. Setidaknya rasa sakit hatiku terbalas, karena telah berhasil merebut om Brata dari mantan ibu mertua ku itu.

*****

Cowok gagah si penjual bakso keliling

Cinta bagi ku adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan.

Dulu, aku berpikir seperti itu. Jauh sebelum aku benar-benar merasakan jatuh cinta.

Jauh sebelum aku mengenal bang Agus. Seorang laki-laki gagah, yang merupakan penjual bakso keliling langganan ku.

 

Cerpen gay  sang penuai mimpi

Aku mengenal bang Agus, karena ia hampir setiap sore singgah di depan rumahku.

Bang Agus seorang penjual bakso keliling, dengan mendorong gerobaknya ke sekeliling perumahan tempat aku tinggal.

Kebetulan aku tinggal di salah satu perumahan tersebut. Rumahku itu tepat berada di persimpangan jalan. Karena itu bang Agus selalu singgah di sana, untuk menanti beberapa orang langganan baksonya. Yang salah satunya adalah aku.

Rumah tempat aku tinggal itu sebenarnya, adalah rumah yang sudah lama di beli oleh ayahku, namun selama ini tidak di tempati.

Karena sekarang aku sudah kuliah, ayah ku mempercayai ku untuk menempati rumah itu sendiri. Agar aku bisa lebih dekat dengan kampus tempat aku kuliah.

Sementara orangtua dan dua orang adik-adikku tinggal di rumah kami yang lain, yang berjarak cukup jauh dari rumah tempat aku tinggal.

Karena tinggal sendiri dan juga tidak suka masak, aku memang lebih sering membeli makanan siap saji di luar. Salah satu nya ialah bakso bang Agus.

Bakso bang Agus sudah menjadi langganan ku sejak lama, setidaknya sejak aku pindah ke rumah ini, sekitar setahun yang lalu.

Pertama kali melihat dan bertemu bang Agus, aku mulai merasa tertarik dengannya. Aku tidak tahu, entah mengapa aku begitu mengagumi sosok bang Agus.

Wajahnya yang tampan, senyumnya yang selalu ramah terukir dari bibirnya yang manis. Tubuhnya yang atletis dan gagah. Semua itu benar-benar telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Semakin hari perasaan itu semakin berkembang aku rasakan. Dan aku selalu memikirkan bang Agus di hampir setiap malamku.

Bang Agus selalu ramah kepada setiap pelanggannya, dan hal itu terkadang membuat aku jadi salah paham akan keramahannya padaku.

Lalu seperti apakah kisah ku bersama bang Agus si penjual bakso keliling itu?

Mungkinkah aku mempu merebut hati laki-laki gagah itu?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Bang Agus sudah berusia 27 tahun, dan menurut pengakuannya juga, ia masih lajang.

Hal itu sedikit memberi harapan padaku, untuk bisa mendapatkan cinta bang Agus.

Untuk menarik perhatiannya, terkadang aku sengaja berlama-lama ngobrol denganya saat membeli bakso. Saat hanya kami berdua di sana.

"bang Agus kenapa belum nikah?" tanyaku suatu sore, saat itu hanya kami berdua di situ.

"siapa yang mau sama seorang penjual bakso keliling seperti saya ini, Wisnu." lemah suara bang Agus menjawab.

"gak ada yang salah dengan berjualan bakso, bang. Justru saya kagum sama bang Agus. Selain bang Agus seorang pekerja keras, bang Agus juga tampan dan gagah. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama bang Agus." ujarku jujur.

"ah, kamu bisa aja, Wisnu. Tapi nyatanya sampai saat ini aku masih jomblo." balas bang Agus.

"mungkin karena bang Agus terlalu pemilih.." ucapku pelan.

"gak juga. Aku hanya cari orang yang bisa terima aku apa adanya." balas bang Agus lagi.

"seandainya aku ini cewek, aku pasti mau sama bang Agus.." ucapku tanpa sadar.

"kamu gak perlu jadi orang lain, untuk menyukai seseorang, Wisnu. Lebih baik kamu jadi diri kamu sendiri. Karena aku lebih menyukai kamu sebagai Wisnu, bukan sebagai orang lain." ucap bang Agus dengan nada sedikit pelan.

"aku bisa menyukai bang Agus sebagai diri ku sendiri. Tapi aku tidak bisa memiliki bang Agus, jika tetap menjadi diri ku yang seperti ini." timpalku kemudian.

"siapa bilang tidak bisa? Jika kamu memang benar-benar menginginkannya, bisa saja hal itu menjadi mungkin kan?" balas bang Agus terdengar serius.

"maksud bang Agus bagaimana?" tanya ku benar-benar tidak mengerti.

"kalau kamu belum mengerti, itu artinya kamu belum benar-benar mengenalku, Wisnu." balas bang Agus lagi.

"tapi..." kalimat ku terhenti, saat tiba-tiba seorang anak remaja datang untuk membeli bakso.

Bang Agus kemudian sibuk melayani pembeli, yang mulai berdatangan cukup ramai.

Aku terpaksa menyimpan rasa penasaran ku, atas kalimat bang Agus barusan.

Aku kembali ke rumah dengan masih menyimpan tanda tanya di benakku.

*****

Ke esokan sorenya, dengan tidak sabar, aku menunggu kedatangan bang Agus di depan rumahku.

Semalaman aku hampir tidak tidur, karena terus bertanya-tanya maksud dari pernyataan bang Agus sore kemarin.

Apa mungkin bang Agus juga menyukai ku?

Apa mungkin bang Agus juga penyuka sesama jenis seperti ku?

Akh, rasanya itu sangat mustahil. Mengingat bang Agus, sangat terlihat maskulin dan jantan.

Meski pun tidak menutup kemungkinan, bahwa seorang laki-laki segagah apa pun, juga bisa saja adalah penyuka sesama jenis.

Tapi masa' iya, bang Agus seperti itu?

Aku terus bertanya-tanya sepanjang malam dan bahkan sepanjang hari ini. Aku benar-benar tak sabar menunggu sore.

Dan ketika akhirnya bang Agus datang, aku pun segera menghampirinya.

"bakso?" ucap bang Agus menyambut kedatangan ku.

"iya. Sekalian aku mau menanyakan maksud dari pernyataan bang Agus kemarin sore." balasku cukup berani.

"apa lagi yang ingin kamu tanyakan, Wisnu?" balas bang Agus bertanya.

"bang Agus pasti ngerti apa yang aku maksud." balasku pelan.

"aku hanya ingin kamu jujur pada dirimu sendiri, Wisnu. Aku juga ingin agar kamu jujur padaku. Kamu katakan saja, apa yang kamu rasakan padaku." ucap bang Agus membalas.

"aku... aku,... bang Agus... " aku terbata, tidak tahu harus berkata apa.

"mungkin lebih baik, kalau kita atur waktu dan tempat yang tepat untuk kita ngobrol lebih lanjut, Wisnu. Sekarang ini aku lagi kerja. Jadi lebih baik kita bicarakan lagi nanti." ucap bang Agus melihat ketergagapan ku.

"kapan?" tanya ku spontan.

"bagaimana kalau nanti malam?  Aku bisa datang ke rumah mu kan?" tanya bang Agus.

"bisa, bang. Abang datang aja. Aku tunggu ya..." balas ku cepat.

"oke. Nanti sehabis jualan, aku akan datang ke rumah kamu. Tapi mungkin itu sudah jam sepuluh malam, gak apa-apa kan?" ucap bang Agus lagi.

"gak apa-apa, bang. Aku juga sendirian di rumah. Dan lagi pula, aku benar-benar ingin berbicara berdua bersama bang Agus." ucapku lugas.

Bang Agus hanya mengangguk ringan, karena beberapa orang pembeli sudah mulai datang mendekat.

Aku pun kembali ke rumah, dengan membawa semangkok bakso dan segumpal harapan.

Semoga saja harapan ku kali ini akan menjadi nyata.

****

Waktu bergulir, namun jarum jam terasa begitu lambat berputar bagiku.

Aku menunggu. Aku menunggu bang Agus, laki-laki yang telah membuat aku jatuh cinta padanya.

Aku menunggunya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih.

Padahal aku dan bang Agus sampai saat ini, masih hanya sekedar berteman. Tapi entah mengapa, aku jadi punya harapan lebih padanya.

Mungkin karena aku terlalu mencintainya. Mungkin juga karena bang Agus sepertinya sudah memberi harapan padaku.

Namun cinta tetaplah sebuah misteri. Ia tidak mudah di tebak. Kita tidak pernah tahu, kapan rasa itu tumbuh. Kita juga tidak pernah tahu, kepada siapa rasa itu akan tumbuh. Dan kita juga tidak akan tahu, bagaimana perasaan orang lain kepada kita. Bahkan perasaan orang yang paling dekat dengan kita sekali pun.

Aku tetap menunggu. Hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Debaran di jantung ku semakin tak beraturan.

Dan aku semakin gelisah, ketika jarum jam sudah melewati beberapa menit dari jam sepuluh.

Mungkinkah bang Agus akan datang?

Atau aku hanya menunggu sesuatu yang tak pasti?

Aku mungkin terlalu berharap. Namun harapan itu, sepertinya belum berpihak padaku.

Lalu bagaimanakah akhirnya kisah ku bersama bang Agus, si penjual bakso keliling itu?

Apakah yang terjadi selanjutnya jika bang Agus datang?

Saksikan kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.. muaachhh.

****

 Part 2 (Malam penuh kesan)

Bang Agus adalah seorang perantau. Orangtua dan adik-adiknya tinggal di kampung. Orangtua nya adalah seorang petani, yang hanya punya penghasilan pas-pasan.

Bang Agus di kota ini tinggal bersama pamannya, yang merupakan seorang pengusaha bakso. Dan bang Agus adalah salah seorang pekerjanya, yang menjajakan bakso tersebut berkeliling.

Setidaknya begitulah sedikit tentang hidupnya yang bang Agus pernah ceritakan padaku.

Namun terlepas dari apa pun latar belakang kehidupannya. Di mata ku bang Agus adalah sosok laki-laki sempurna. Dia adalah laki-laki terindah.

Aku mencintainya. Aku menyayanginya dengan sepenuh hatiku.

Namun menunggunya malam ini, hingga hampir jam sebelas malam, aku menjadi kian gelisah.

Aku ragu. Mungkinkah bang Agus serius dengan ucapannya sore tadi, untuk datang ke rumahku?

Atau ia hanya sekedar memberi harapan padaku?

Simak kelanjtan dari kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, selanjutnya ya ...

Namun sebelumnya bla.. bla...

****

Jam sebelas malam kurang lima menit. Bang Agus akhirnya datang.

"maaf, Wisnu. Saya terlambat." ucap bang Agus, sesaat setelah aku persilahkan ia masuk dan duduk di ruang tamu rumahku.

"tadi dagangan ku belum habis, jadi aku harus berkeliling lebih lama dari biasanya." bang Agus melanjutkan kalimatnya.

"gak apa-apa, bang." jawabku berusaha sesantai mungkin, berusaha menahan debaran yang bergejolak di dada ku.

"jadi gimana? Kamu udah siap untuk jujur, Wisnu?" tanya bang Agus kemudian.

Aku mengangguk ragu. Aku juga tidak yakin, akan berani untuk jujur tentang perasaanku pada bang Agus. Aku takut, kejujuran ku justru akan membuat bang Agus semakin jauh dari ku.

Namun aku memang harus mengatakan semuanya pada bang Agus. Selain karena aku sudah tidak bisa memendamnya lagi. Aku berpikir, mungkin inilah saatnya untuk aku bisa mengungkapkan perasaanku pada bang Agus.

Apa lagi saat ini, hanya kami berdua di rumah ini.

"aku gak tahu, kapan perasaan itu tumbuh, bang. Namun yang pasti sejak aku mengenal bang Agus, aku jadi sering memikirkan bang Agus. Aku selalu mengkhayalkan bang Agus setiap malamnya. Lalu kemudian aku sadar, kalau aku telah jatuh cinta kepada bang Agus."

"tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku cukup sadar, kalau bang Agus tidak mungkin punya perasaan yang sama denganku. Aku hanya bisa mencintai bang Agus dalam diam, tanpa berani untuk aku ungkapkan.." ucapku panjang lebar.

"lalu mengapa malam ini kamu berani mengungkapkannya?" tanya bang Agus.

"seperti kata bang Agus, kalau aku harus jujur pada diriku sendiri. Aku harus jujur dengan perasaanku, dan aku harus jujur pada bang Agus. Karena jika tidak, aku tidak akan pernah tahu seperti apa perasaan bang Agus padaku." jawabku lugas.

Untuk sesaat suasana pun hening. Bang Agus terlihat menarik napas beberapa kali.

"bertahun-tahun aku berusaha untuk menghindari semua ini, Wisnu. Aku merantau ke kota, sebenarnya ingin menjauh dari orang yang aku cintai. Di kampung aku punya seorang kekasih. Namanya Alan. Dia seorang pemuda yang tampan namun lembut."

"aku dan Alan pacaran sudah hampir dua tahun. Ketika akhirnya Alan harus menerima perjodohannya dengan gadis pilihan orangtuanya." bang Agus memulai ceritanya.

"Alan adalah putra seorang juragan kaya di desa kami. Dia anak tunggal. Karena itu dia tidak bisa menolak keinginan orangtua nya tersebut. Namun meski pun Alan akhirnya menikah, kami tetap menjalin hubungan secara diam-diam."

"tapi kemudian, hubungan kami pun mulai di curigai oleh istri Alan. Karena itu kami pun sepakat untuk berpisah dan saling melupakan. Namun tidak mudah bagiku, karena aku terlalu mencintai Alan. Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi dari kampung halaman ku."

"aku ingin belajar melupakan Alan. Aku ingin memulai hidupku yang baru. Aku ingin hidup sebagai mana layaknya seorang laki-laki. Tapi ternyata hal itu tidak mudah. Meski pun akhirnya aku bisa melupakan Alan, namun aku tidak bisa menolak pesona seorang laki-laki."

"saat pertama kali aku melihat kamu, Wisnu. Aku kembali merasakan getaran keindahan sebuah rasa. Sebuah rasa cinta yang telah lama tidak aku rasakan, semenjak aku berhasil melupakan Alan. Namun sejak aku mulai mengenal kamu, rasa cinta itu kembali tumbuh."

"aku berusaha memendamnya. Aku berusaha menutupinya. Aku takut jatuh cinta lagi pada laki-laki, karena pada akhirnya hubungan sesama laki-laki, tidak akan pernah berakhir dengan indah. Karena pada akhirnya, salah satu dari kita, harus menjalankan kodrat kita sebagai seorang laki-laki."

"dari awal, aku juga sudah tahu, kalau kamu menyukai ku, Wisnu. Namun karena trauma yang pernah aku rasakan di masa lalu, membuat ku berusaha untuk tidak menanggapi kehadiran mu. Aku tidak ingin lagi pacaran denga laki-laki."

"tapi kemudian aku sadar, cinta bukanlah sesuatu yang harus di sembunyikan, terlebih karena aku tahu kalau kamu juga menyukai ku. Karena itu, aku ingin kamu jujur, Wisnu. Bukan saja tentang perasaanmu padaku, tapi juga tentang harapan mu padaku untuk ke depannya."

Bang Agus mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku terdiam. Sungguh semua itu di luar dugaanku. Mungkin selama ini, aku bisa merasakan kalau bang Agus juga menyukai ku. Tapi aku tak pernah berpikir, kalau bang Agus punya cerita pahit di masa lalunya.

"aku mencintai, bang Agus. Terlepas dari apa pun yang pernah terjadi di masa lalu bang Agus. Dan aku berharap, jika kita memang saling mencintai, kelak hubungan kita tidak akan pernah berakhir, meski apa pun yang akan terjadi." ucapku akhirnya, setelah terdiam beberapa saat.

*****

"aku juga mencintai kamu, Wisnu. Dan aku juga berharap, hubungan kita tidak akan pernah berakhir nantinya. Tapi apa kamu yakin, akan menghabiskan sepanjang hidupmu untuk bersama ku?" bang Agus berucap dengan sambil menatapku tajam. Ia seperti mengharapkan sebuah kejujuran dariku.

"aku yakin, bang. Bagi ku cinta adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang tidak bisa di permainkan. Jika aku sudah jatuh cinta, maka pantang bagi ku untuk memupusnya walau dengan alasan apa pun. Sejak aku mengerti cinta, aku selalu menanamkan keyakinan pada hatiku, bahwa hanya ada satu cinta yang akan aku pelihara, dan tidak akan mencintai siapa pun lagi, kecuali kekasihku." ucapku membalas penuh keyakinan.

"tapi bukankah hubungan seperti ini akan penuh resiko, Wisnu. Akan banyak tantangan yang harus kita hadapi ke depannya, terutama dari keluarga dan orang-orang di sekitar kita." ujar bang Agus.

"iya. Aku tahu, bang. Dan aku siap menghadapi itu semua. Aku siap kehilangan apa pun, jika itu adalah pengorbanan yang harus aku lakukan, untuk bisa bersama orang yang aku cintai." balasku yakin.

"namun tidak ada satu tempat pun yang bisa menerima hubungan seperti hubungan kita ini, Wisnu. Biar bagaimana pun, pada akhirnya kita memang harus menjalankan hidup sesuai dengan takdir dan kodrat kita sebagai seorang laki-laki." ucap bang Agus.

"jika kita memang saling mencintai, bang. Aku rasa kita tidak butuh tempat yang bisa menerima hubungan kita. Namun kita tetap bisa bersama, karena cinta itu tumbuhnya di hati, bang. Cinta bukan sesuatu yang harus di umbar. Biarkan cinta kita tetap hanya menjadi rahasia. Biarkan hubungan kita, hanya kita berdua yang tahu dan bisa merasakannya." balasku lagi.

"dan lagi pula, menurutku, kita tak perlu mencemaskan masa depan yang belum tentu terjadi, bang. Labih baik kita nikmati saja saat ini. Kita nikmati saja setiap kesempatan yang ada." ucapku melanjutkan.

"iya. Kamu benar, Wisnu. Mungkin karena aku pernah merasakan sakitnya berpisah dengan orang yang aku cintai, membuatku menjadi sedikit berlebihan dalam hal ini. Aku hanya tidak ingin merasakan rasa sakit itu lagi, Wisnu. Tapi aku juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa bersama orang yang aku cintai, yaitu kamu Wisnu." ucap bang Agus penuh perasaan.

Perlahan kami pun mendekat. Saling tatap. Lalu kemudian saling tersenyum penuh makna.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Agus pun menjalin hubungan asmara. Hampir setiap malam, bang Agus selalu datang ke rumahku, bahkan ia pun sering menginap di tempat ku.

Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa merasakan di cintai oleh orang yang aku cintai.

"aku bahagia, akhirnya bisa bersama kamu, Wisnu. Aku harap kamu tak akan pernah meninggalkan ku." bisik bang Agus suatu malam padaku.

"aku juga sangat bahagia, bang. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan bang Agus, walau dengan alasan apa pun." balasku ikut berbisik.

Cinta adalah sesuatu yang indah, ia hanya bisa dirasakan oleh dua hati yang telah menyatu.

Bang Agus begitu tampan, dia sangat gagah. Dan aku sangat mencintainya.

Namun mungkinkah hubungan kami dapat bertahan selamanya?

Mungkinkah cowok gagah si penjual bakso keliling itu bisa aku miliki selamanya?

Atau mungkin pada akhirnya hubungan kami harus berakhir?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaach...

****

Part 3 (Pertemuan di sawah)

Hubungan ku dengan bang Agus terus berjalan dengan indah. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Mencintai bang Agus adalah keindahan dan memilikinya adalah sebua anugerah bagi ku.

Berbulan-bulan bahkan hingga setahun lebih kami bersama. Hampir setiap malam kami menghabiskan waktu berdua, di rumah ku.

Bang Agus si penjual bakso keliling itu, sungguh mampu membuat ku terlena dengan cintanya yang  sempurna. Sesempurna lukisan maha karya keindaha dari raut wajahnya yang tampan, tubuhnya yang gagah dan atletis.

Aku begitu mengaguminya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tidak ingin melepaskannya, walau dengan alasan apa pun.

Aku hanya berharap, semoga cinta kami tetap utuh selamanya.

Namun biar bagaimana pun, hubungan seperti hubungan kami ini, akan selalu banyak batu sandungan yang akan menghalanginya.

Akan banyak rintangan yang harus kami hadapi.

Lalu mungkinkah kami akan tetap bertahan dengan segala rintangan tersebut?

Mampukah kami tetap bersama mempertahankan cinta kami?

Simak kelanjutan kisah ku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling selanjutnya ya..

Namun sebelumnya ... bla... bla...

*****

Bulan berganti, tahun pun berlalu, hingga sudah hampir dua tahun aku dan bang Agus menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan yang indah, meski hanya kami berdua yang tahu.

Kami menikmati setiap kebersamaan kami. Merajut kasih dengan penuh kemesraaan.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami bisa bertahan selama itu. Selama dua tahun ini, hubungan kami baik-baik saja. Tanpa ada persoalan yang berarti.

Namun hubungan indah kami, pada akhirnya harus merasakan sebuah kepahitan.

Berawal dari bang Agus yang meminta izin padaku untuk pulang kampung selama beberapa hari.

"aku sudah lebih dari dua tahun tidak pulang kampung, Wisnu. Lagi pula aku mendapat kabar dari kampung, kalau ibu ku sedang sakit parah saat ini, jadi aku harus pulang sekarang juga." ucap bang Agus.

"iya, bang. Aku ngerti. Abang juga gak harus minta izin seperti pada ku. Asalkan bang Agus kembali lagi kesini untukku, aku rela melepaskan bang Agus untuk pulang." balasku sendu.

Sebenarnya aku merasa sangat berat harus berpisah dengan bang Agus, meski hanya untuk sementara. Aku sudah terlanjur biasa melewati malam bersamanya. Aku pasti akan sangat merindukannya.

"aku pasti akan sangat merindukanmu, Wisnu." ucap bang Agus, seakan bisa membaca pikiranku.

"aku juga, bang." balasku lirih.

"tapi ini hanya untuk sementara, Wisnu. Hanya beberapa hari. Aku pasti akan kembali lagi kesini untukmu, Wisnu." ucap bang Agus parau.

"iya, bang. Aku juga pasti akan menunggu bang Agus di sini." balasku.

Beberapa saat kemudian, kami pun saling mendekat. Aku mendekap tubuh kekar bang Agus. Aku mendekapnya erat, seakan tak ingin melepaskannya.

Mungkin beberapa malam ke depan, bang Agus tak ada lagi disini. Aku pasti akan merasa kesepian. Karena itu, malam ini, aku tak ingin melewatkannya begitu saja. Aku ingin menghabiskan malam ini hanya berdua bersama bang Agus.

Menikmati setiap detik kebersamaan kami. Keindahan raga bang Agus, bagai sebuah ukiran maha karya yang sempurna. Setiap centinya. Setiap hembusan napasnya.\

Aku terlena dalam cinta yang begitu sempurna. Aku terbuai dalam lautan keindahan penuh warna.

Hingga pagi pun datang, meninggalkan kelamnya malam.

Dan aku merasa berat saat akhirnya aku harus melepas bang Agus untuk pergi meninggalkan ku pagi itu.

Entah mengapa aku merasa kalau kepergian bang Agus kali ini, akan terasa sangat lama bagiku.

Bahkan mungkin kami tidak akan pernah bertemu lagi.

****

Seminggu bang Agus pergi. Dia belum juga kembali.

Meski dia masih rutin memberi aku kabar melalui ponselnya. Dia mengabarkan kalau dia belum bisa pulang, karena penyakit ibunya semakian parah.

Aku mencoba bersabar menunggunya. Mencoba menjalani hari-hari sepi ku, tanpa bang Agus.

Namun hingga hampir sebulan, tiba-tiba aku kehilangan kontak dengannya. Nomor bang Agus tidak bisa aku hubungi lagi.

Aku merasa cemas, takut dan bimbang. Entah apa yang terjadi dengan bang Agus di kampung halamannya.

Mungkinkah dia baik-baik saja? bathin ku penuh tanya.

Dua bulan, tiga bulan dan hampir setengah tahun berlalu. Aku benar-benar kehilangan kabar dari bang Agus. Aku benar-benar telah kehilangan dia.

Karena penasaran, aku pun nekat untuk mendatangi desa bang Agus.

Dan setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh empat jam naik motor, aku pun sampai di desa bang Agus.

Aku bertanya kepada beberapa orang yang aku temui di jalan, untuk mengetahui di mana rumah bang Agus.

Hingga akhirnya aku bisa sampai di rumahnya.

"cari siapa?" tanya seorang wanita muda menyambut kedatangan ku di rumahnya.

"maaf, apa benar ini rumah bang Agus?" tanyaku ragu.

"iya, benar. Kamu siapa? Dan ada perlu apa dengan bang Agus?" tanya wanita itu lagi.

"saya... saya teman bang Agus ketika di kota dulu. Apa bang Agus ada di rumah?" balasku bertanya.

"oh.." wanita itu membulatkan bibir. "bang Agus sedang berada di sawah sekarang. Jika kamu gak keberatan kamu bisa nunggu di rumah." lanjut wanita itu.

"kira-kira bang Agus masih lama pulangnya?" tanyaku lagi.

"biasanya sih sore. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa susul dia ke sawah. Letaknya gak jauh kok dari sini, hanya sekitar satu kilo lagi." balas wanita itu.

"iya, gak apa-apa. Saya susul dia aja." ucapku kemudian memutuskan.

"tapi maaf, kalau boleh tahu, mbak ini siapa nya bang Agus?" lanjutku bertanya.

"saya istrinya. Kami baru menikah sekitar dua bulan yang lalu. Mungkin bang Agus belum cerita sama kamu." jelas wanita yang berparas cukup cantik itu.

Aku bagai mendengar suara petir siang itu. Sungguh tidak aku sangka kalau bang Agus telah menikah diam-diam, tanpa memberitahuku.

Dengan perasaan terluka aku pun pamit pada wanita itu.

Ingin rasanya saat itu aku menangis. Ingin rasanya aku segera kembali ke kota. Aku tak ingin menemui bang Agus lagi. Tapi aku butuh penjelasan.

Untuk itu, aku menuju sawah tempat bang Agus bekerja.

Sesampai di sana, bang Agus pun menyambutku dengan wajah penuh keterkejutan.

Aku yakin, dia tak menyangka kalau aku akan sampai ke kampungnya.

"Wisnu?" ucapnya, "kenapa kamu bisa sampai kesini?" tanyanya.

"itu gak penting, bang. Yang penting sekarang bang Agus harus menjelaskan semuanya padaku." ucapku dengan nada lemah.

"apa yang harus aku jelaskan, Wisnu?" tanya bang Agus.

"bang Agus gak usah pura-pura lagi. Aku sudah tahu kalau bang Agus sudah menikah." ucapku.

"aku tak masalah sebenarnya, kalau bang Agus menikah. Tapi kenapa bang Agus tak menceritakannya padaku. Bahkan bang Agus sengaja tak pernah menghubungiku, berbulan-bulan. Aku menunggu bang Agus dengan penuh harap, bang. Tapi kenyataannya bang Agus tak pernah kembali."

"dan saat aku nekat datang kesini, aku justru mendapatkan kabar yang sangat menyakitkan. Kenapa bang Agus setega itu padaku? Padahal bang Agus sendiri tahu, betapa aku sangat mencintai bang Agus. Dan bang Agus sendiri juga sudah berjanji, kalau abang pasti akan kembali untuk ku lagi." ucapku lagi dengan nada pilu.

"maafkan aku, Wisnu. Aku tak berdaya dengan semua ini. Aku terpaksa menikah dengan gadis pilihan orangtua ku. Itu merupakan permintaan terakhir dari ibuku, sebelum akhirnya beliau meninggal." ucap bang Agus membalas.

"tapi setidaknya abang bisa memberi aku kabar, bang. Bukan malah menghilang seperti ini." ucapku.

"aku takut memberi kabar padamu, Wisnu. Aku takut kamu kecewa." balas bang Agus.

"lalu apa abang pikir dengan begini, aku tidak kecewa?" tanya ku sedikit sengit.

"maaf, Wisnu. Aku tak berpikir kalau kamu akan nekat datang kesini. Aku pikir, kamu pasti akan bisa melupakanku, beriring berjalannya waktu." balas bang Agus.

"aku tak akan pernah bisa melupakan bang Agus. Sekali pun saat ini aku tahu, kalau bang Agus sudah menikah." ucap ku lugas.

"tapi kita sudah tidak mungkin bersama lagi, Wisnu. Maafkan aku untuk semua itu. Lebih baik kalau kita saling melupakan.." ucap bang Agus dengan nada lemah.

"andai saja bang Agus jujur dari awal padaku, aku mungkin tidak perlu sampai kesini, bang. Abang bisa saja menjelaskan semuanya padaku melalui handphone." ucapku berat.

Aku benar-benar tidak tahu, apa yang aku rasakan saat ini. Sakit, kecewa, marah, benci dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatiku.

Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada.

"sekali lagi aku minta maaf, Wisnu. Aku minta maaf untuk semuanya..." bang Agus berucap pelan.

"kamu boleh marah padaku, Wisnu. Kamu boleh membenciku. Tapi aku hanya manusia biasa, Wisnu. Aku juga tak berdaya menghadapi ini semua." lanjutnya.

Aku tidak tahu, apa aku harus marah pada bang Agus? Atau aku harus membencinya?

Semua tanya itu tak pernah bisa aku jawab.

Aku dan bang Agus memang saling mencintai. Tapi takdir dan kodrat, tidak akan pernah membiarkan kami menyatu.

Pada akhirnya aku hanya bisa merelakan. Merelakan orang yang aku cintai hidup bersama orang lain. Dan itu adalah tingkat tertinggi dari mencintai.

Aku pun pergi meninggalkan bang Agus, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Aku ingin segera kembali ke kota. Aku ingin melanjutkah hidupku lagi, meski tanpa bang Agus.

Bang Agus hanyalah serpihan dari kisah masa lalu ku. Dia hanya tinggal kenangan sekarang. Dan aku harus bisa melupakannya.

Setidaknya aku pernah merasakan bagaimana rasanya di cintai oleh orang yang aku cintai. Setidaknya aku pernah hidup bersama orang yang aku cintai.

Bang Agus, si penjual bakso keliling itu, akan tetap menjadi salah satu cerita termanis dalam perjalanan hidupku.

Demikian kisahku bersama cowok gagah si penjual bakso keliling, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang selalu buat kalian semua muaaachhh..

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate