Curahan hati seorang aktor (sesama aktor)

Sebagai seorang aktor ternama, aku memang memiliki kebebasan yang sangat terbatas.

Setiap gerak-gerik-ku selalu menjadi perhatian publik, terutama para wartawan pengincar berita.

Kadang aku merasa, aku hampir tidak punya privacy sama sekali.

Orang-orang selalu memperhatikan hampir setiap langkahku.

Kemana aku pergi? Dengan siapa aku pergi? Dan dengan siapa aku dekat saat ini?

Selalu saja akan muncul di media-media sosial, tentang semua peristiwa yang terjadi dalam hidupku.

Aku tidak membenci dunia selebriti, aku malah mengingingkannya sejak lama. Hanya saja aku tidak pernah menyangka, jika kehidupanku sebagai seorang aktor akan menjadi pusat perhatian.

Aku juga tidak ingin melepaskan semua ini begitu saja. Selain karena saat ini aku memang sedang berada di atas daun dan juga sedang banyak job, aku juga sudah memperjuangkan hal ini sejak lama.

Aku memulainya benar-benar dari nol. Dari aku yang tidak di kenal siapa-siapa, hingga aku menjadi seseorang yang terkenal seperti saat ini.

Sudah banyak film-film dan sinetron-sinetron yang aku perankan sebagai pemeran utama.

Aku juga sudah punya banyak penggemar, kehidupan yang mapan dan pergaulan yang luas.

Sebenarnya kehidupanku sebagai seorang aktor juga cukup nyaman. Hanya saja ada saat dimana aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tanpa akting, tanpa kepura-puraan.

Namun aku sudah kehilangan semua itu. Bukan saja karena jadwal-ku yang padat, tapi juga karena aku selalu menjadi sorotan publik saat ini.

Sebut saja namaku Gito, bukan namaku yang sebenarnya.

Saat ini aku sudah berusia 25 tahun lebih. Aku menjadi aktor sudah hampir lima tahun. Namun baru sekitar dua tahun belakangan ini, namaku sudah mulai di kenal banyak orang.

Aku memulainya dari ikut berbagai casting untuk berbagai peran, hingga aku mendapatkan peran-peran kecil di beberapa film, dan kemudian karena akting-ku yang cukup bagus, aku pun di percaya untuk mulai berperan sebagai pemeran utama.

Sejak film pertama yang aku perankan sebagai pemeran utama, yang berhasil meraih berbagai penghargaan, namaku sudah mulai dikenal publik. Hingga peran-peran berikutnya semakin banyak berdatangan.

Aku pun mulai sibuk menikmati dunia peranku, hingga aku hampir tidak punya waktu untuk diriku sendiri.

Aku memang seorang perantau, karena aku berasal dari sebuah kampung yang cukup jauh dari ibu kota.

Di ibu kota ini aku tinggal sendirian. Aku memang sudah bertekad untuk mengadu nasib di kota besar ini. Dan sepertinya perjuanganku tidak sia-sia. Sekarang aku sudah punya apartemen sendiri, mobil mewah dan keuangan yang jauh lebih dari pada cukup.

Sebagian dari hasil kerjaku memang aku kirimkan ke kampung untuk membantu perekonomian keluargaku di kampung.

Hidupku sebenarnya baik-baik saja dan bahkan aku sangat merasa bersyukur akan kehidupanku saat ini.

Tapi ada satu hal dalam diriku yang selama hanya aku pendam sendiri.

Satu-satunya rahasia dalam hidupku yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun.

Sejak aku beranjak remaja aku sudah menyadari kalau aku punya selera yang berbeda dari laki-laki pada umumnya.

Ketika SMA, aku pernah jatuh cinta pada salah seorang seniorku. Meski tentu saja, aku hanya bisa memendamnya. Karena orang yang aku cintai tersebut adalah seorang laki-laki, sama sepertiku.

Menyadari akan hal tersebut, aku mulai menyibukan diriku dengan melakukan berbagai kegiatan positif, agar aku tidak terlalu larut dalam dunia tersebut.

Aku memang berhasil melupakan sosok laki-laki seniorku tersebut, tapi aku tetap tidak bisa merasa tertarik pada lawan jenis-ku.

Berkali-kali aku mencoba untuk mendekatkan diri pada sosok perempuan, tapi tetap saja yang ada dala pikiranku adalah seorang laki-laki.

Aku bahkan pernah mencoba pacaran dengan seorang perempuan, tapi setelah berbulan-bulan aku tetap saja tidak merasakan perasaan apa-apa terhadap pacarku. Hingga aku pun akhirnya memutuskan pacarku, karena aku tidak ingin menyiksa diriku sendiri dan menyiksa perasaan pacarku.

Setelah disibukkan oleh kehidupanku yang baru sebagai aktor terkenal, aku semakin tidak punya waktu untuk memikirkan soal pacaran.

Tapi sebagai seorang aktor yang cukup terkenal, tentu saja banyak yang bertanya-tanya tentang hubungan asmaraku.

'tampan-tampan kok jomblo..' begitu salah satu komentar netizen padaku, saat aku mengakui kalau aku sedang tidak dekat dengan siapa pun.

Menjadi seorang selebriti ternama memang memiliki banyak resiko. Salah satunya ialah kita harus menghadapi berbagai komentar dari para netizen. Baik itu komentar positif atau pun komentar-komentar negatif.

Apa lagi jika kita punya wajah yang tampan, tapi tidak punya pacar, pasti para netizen akan sibuk mengomentari hidup kita.

Kadang aku merasa risih juga mendengar komentar-komentar tersebut. Karena bukan satu dua kali dan bukan satu dua orang yang berkomentar seperti itu.

Aku bukannya tidak mau pacaran, setidaknya untuk mengubah status jomblo-ku di depan publik. Tapi sampai saat ini, tidak ada seorang wanita cantik pun yang bisa membuatku jatuh hati.

Karena aku memang tidak punya ketertarikan pada perempuan. Justru aku lebih tertarik kepada para selebritis pria yang berwajah tampan dan bertubuh atletis.

****

"besok jadi, kan, To?" tanya salah seorang rekan seniorku, sebut saja namanya Antonio.

Antonio merupakan seorang aktor senior, usianya sudah mencapai kepala tiga.

Antonio juga seorang aktor yang cukup terkenal, ia sudah membintangi berbagai film dan sinetron.

"iya, jadi. Kan sudah pesan tiket.." jawabku lugas.

Aku dan Antonio memang berencana untuk pergi liburan ke Paris selama beberapa hari. Hanya kami berdua.

Meski sudah berusia 30 tahun dan memiliki kehidupan yang sangat mapan, Antonio juga belum menikah.

Tapi selama ini Antonio terkenal sebagai sosok yang suka gonta-ganti pacar.

Aku dan Antonio memang cukup dekat. Selain sebagai senior, Antonio juga sudah aku anggap sebagai sahabat. Dari sekian banyak rekan-rekan sesama artis, Antonio satu-satunya orang yang paling dekat denganku.

Karena itu juga kami berencana untuk pergi liburan berdua. Kebetulan juga aku belum pernah sampai ke Paris, salah satu kota yang menjadi impianku sejak lama.

Dan sesuai rencana, dua hari kemudian kami pun terbang ke Paris.

Sesampai di Paris, kami pun menginap di sebuah hotel mewah di tengah-tengah kota Paris.

Kami menyewa dua buah kamar, untuk kami tempati masing-masing selama beberapa hari ke depan.

Pada malam pertama kami menginap di sana, aku tak sengaja melihat Antonio membawa seorang pria bule masuk ke kamarnya.

Awalnya aku berpikir kalau pria bule tersebut adalah salah seorang teman Antonio. Tapi aku mulai curiga, saat aku tahu kalau pria bule tersebut justru menginap di kamar Antonio. Hal itu aku ketahui ketika paginya, pria bule itu baru keluar dari kamar Antonio.

"siapa laki-laki yang menginap di kamar kamu semalam, Ton?" tanyaku ketika kami sama-sama sarapan.

"laki-laki semalam? Kamu melihatnya?" Antonio justru balik bertanya.

Aku mengangguk ringan, "tak sengaja, sih" ujarku polos.

"oh, dia laki-laki bayaran." jawab Antonio tegas.

"laki-laki bayaran untuk apa?" tanyaku dengan nada heran.

"ya.. untuk tidur denganku lah.." balas Antonio terlihat santai.

"maksud kamu?" tanyaku semakin heran.

"kamu gak usah berlagak polos gitu lah, To. Kamu pasti tahu maksud ku apa.." jawab Antonio lagi masih dengan nada santai.

"tapi dia kan laki-laki?" ucapku dengan ragu.

"iya. emang kenapa?" Antonio justru balik bertanya.

"gak kenapa-kenapa, sih. Cuma... apa kamu penyuka sesama jenis?" aku bertanya lagi, kali ini keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

Di luar dugaan, Antonio justru mengangguk mantap. Ia terlihat tanpa beban.

"tapi bukannya selama ini kamu selalu pacaran dengan banyak perempuan?" tanyaku lagi.

"itu hanya topeng, To. Dan di sini aku bisa membuka topengku sendiri. Di sini aku bebas menjadi diriku sendiri.." balas Antonio terdengar mantap.

Aku terdiam. Aku benar-benar tidak menyangka sama sekali, jika laki-laki segagah dan setampan Antonio justru punya selera terhadap laki-laki.

Akh, lalu apa bedanya denganku? Bathinku bertanya.

"dan gimana dengan kamu sendir?" tanya Antonio tiba-tiba, setelah kami terdiam sesaat.

"aku? aku ... aku jelas suka perempuan lah.." balasku berbohong.

Biar bagaimana pun aku belum berani untuk jujur pada Antonio, meski Antonio sendiri sudah begitu terbuka padaku.

"kamu yakin suka perempuan? Kamu bahkan belum pernah pacaran.." timpal Antonio, yang membuatku sedikit salah tingkah.

"pernah, kok. Dulu.." jawabku cepat.

"iya. Tapi kan cuma sekali dan itu pun gak sampe satu tahun.." ucap Antonio lagi.

Aku terdiam kembali. Lalu segera bangkit untuk berdiri dan berlalu dari tempat tersebut. Tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

*****

Malam itu, tiba-tiba Antonio masuk ke kamarku.

"ada apa, Ton?" tanyaku berbasa-basi.

"gak ada apa-apa. Cuma pengen ngobro aja sama kamu.." jawab Antonio, sambil ia duduk di sisi ranjang.

"kamu gak takut, Ton. Kalau suatu saat kelakuan kamu tersebut diketahui orang-orang?" tanyaku, setelah beberapa saat kemudian.

Aku sebenarnya masih penasaran. Kenapa Antonio bisa memiliki ketertarikan pada laki-laki. Padahal sebagai laki-laki, ia terlihat sangat sempurna.

"selama ini aku selalu memilih untuk pergi liburan sendiri. Semua itu aku lakukan, agar aku bisa menikmati hal tersebut, tanpa diketahui siapa pun. Ke kota mana pun aku berlibur, aku selalu mencari laki-laki bayaran untuk bisa menumpahkan hasratku tersebut." cerita Antonio.

"hingga saat ini, hanya kamu satu-satunya yang mengetahui siapa aku sebenarnya, To. Itu karena aku menganggap kamu adalah orang yang bisa dipercaya. Jadi aku harap kamu bisa memegang kepercayaanku ini.." lanjut Antonio.

"aku.. aku juga pengen cerita sesuatu sama kamu, Ton. Tapi aku harap kamu juga bisa aku percaya.." ucapku kemudian.

"kamu cerita aja, To. Aku jamin rahasia kamu aman sama ku.." balas Antonio.

"aku.. aku ... aku juga sebenarnya penyuka sesama jenis, Ton." suaraku bergetar.

Aku memang berencana untuk jujur pada Antonio. Mengingat Antonio juga seorang gay, dan terlebih karena aku juga butuh teman untuk menceritakan ini semua. Selama ini aku merasa tersiksa karena selalu memendamnya sendiri. Aku butuh orang yang bisa aku percaya untuk mendengarkan ceritaku, dan Antonio saat ini adalah orang yang tepat.

Antonio terlihat tidak begitu kaget mendengar pengakuanku barusan. Sepertinya ia sudah menduga hal tersebut.

"tapi sejujurnya aku belum pernah melakukan hal tersebut dengan siapa pun, Ton. Jadi aku juga ingin merasakannya. Aku juga ingin kamu mencarikan aku laki-laki bayaran di sini.." lanjutku merasa mulai santai.

Terus terang aku merasa cukup lega telah berani untuk jujur pada Antonio, terutama pada diriku sendiri.

"kalau kamu memang ingin mencobanya, kenapa kamu tidak mencobanya saja denganku?" balas Antonio, yang membuatku sedikit membelalakan mata.

"dengan kamu? emangnya kamu mau?" tanyaku kembali bergetar.

"sebenarnya aku sudah lama menaruh perasaan padamu, To. Tapi tentu saja aku tidak berani untuk mengungkapkannya padamu. Karena setahuku selama ini, kamu adalah laki-laki normal."

"namun karena kamu sudah jujur tentang dirimu yang sebenarnya, aku jadi punya keberanian untuk mengatakan perasaanku padamu. Aku suka sama kamu, To." jawab Antonio panjang lebar.

Aku terdiam kembali. Aku tak menyangka kalau Antonio punya perasaan padaku selama ini, sama hal aku tidak menyangka kalau ia adalah seorang gay.

"tapi kalau kamu gak tertarik sama saya, gak apa-apa kok, To. Saya akan carikan pria bayaran buat kamu malam ini.." Antonio berucap lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

"aku gak tahu pasti apa yang aku rasakan sebenarnya, Ton. Selama ini aku selalu berusaha untuk menutup hatiku rapat-rapat, hingga tak membiarkan siapa pun untuk masuk. Baik itu perempuan mau pun perempuan." ucapku akhirnya, setelah berpikir sejenak.

"tapi kalau memang kamu mau, aku juga mau mencobanya dengan kamu, Ton. Dari pada aku harus melakukannya dengan orang yang tidak aku kenal. Apa lagi ini adalah pertama kali aku mencobanya.." lanjutku.

Antonio tersenyum senang mendengar kalimatku barusan.

"tapi seperti yang aku katakan aku belum pernah melakukannya. Jadi aku ingin, kamu yang mengajari aku, Ton." aku berucap lagi.

"kamu tenang saja, To. Aku pasti akan memperlakukanmu dengan lembut. Kamu pasti tidak akan menyesal, karena telah memilih aku menjadi orang pertama yang melakukannya denganmu.." balas Antoni terdengar berusaha meyakinkanku.

"aku juga tidak tahu harus berperan sebagai apa di sini, Ton. Karena aku tidak pernah benar-benar memikirkan hal tersebut. Yang aku tahu selama ini, aku hanya suka mengkhayalkan sosok laki-laki yang aku kagumi.." ucapku lagi.

"malam ini kita akan mengetahuinya, To. Apa peran kamu sebenarnya. Karena aku sendiri bisa berperan sebagai apa saja yang kamu inginkan.." balas Antonio kemudian.

Antonio pun mulai melakukan aksinya padaku. Meski dengan sedikit risih, aku mencoba menerima perlakuan Antonio padaku malam itu.

Hal yang selama ini hanya ada dalam khayalku, malam ini benar-benar menjadi nyata.

Antonio benar-benar sudah berpengalaman, yang membuatku semakin terkesan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, akhirnya aku bisa merasakan hal tersebut. Dan aku merasakan sebuah sensasi keindahan yang luar biasa malam ini.

Sungguh sebuah kesan yang teramat indah yang telah Antonio berikan padaku. Dan aku terlena.

Aku terlena dalam lautan cinta yang penuh warna keindahan.

Aku terbuai dalam gelora asmara yang selama ini hanya ada dalam lamunanku.

"terima kasih, Antonio.." bisikku, ketika semua keindahan itu pun berakhir.

Antonio membalas dengan sebuah senyuman yang tiba-tiba saja terlihat manis di mataku.

****

Malam-malam selanjutnya, kami lebih sering menghabiskan waktu berdua di kamar.

Sepertinya Antonio benar-benar berhasil membuatku ingin selalu melakukannya.

Hingga masa liburan kami pun berakhir.

"aku harap, setelah ini kita masih tetap bisa bersama, Gito." begitu ucap Antonio, sesaat sebelum kami keluar dari hotel, untuk segera menuju bandara.

"tapi ... apakah nanti di Indonesia kita tetap bisa melakukannya dengan aman?" tanyaku.

"sepertinya kita memang harus sering-sering pergi liburan berdua, To. Supaya lebih punya banyak waktu untuk bisa melakukannya lagi.." ucap Antonio, seakan mengabaikan pertanyaanku barusan.

"jadi saat kita berada di Indonesia, atau pun saat kita berada di kehidupan kita masing-masing, kita bisa menjaga diri agar tidak terlalu mengundang kecurigaan orang-orang.." lanjut Antonio lagi, yang membuatku mulai paham maksud dari kalimatnya barusan.

Ya, seperti yang aku duga, Antonio jelas tidak ingin hubungan kami diketahui oleh siapa pun. Yang artinya jika kami sudah kembali ke kehidupan artis kami, kami harus kembali menjadi orang lain.

"kita harus tetap bisa mempertahankan topeng kita di depan orang-orang, To. Setidaknya demi menjaga nama baik kita dan juga demi menjaga karir kita sebagai seorang aktor. Karena jika ada yang mengetahuinya, kehidupan kita berdua akan hancur, To. Aku harap kamu memahami ini.." Antonio berucap, sambil mulai melangkah keluar.

Aku paham. Aku sangat paham dengan apa yang dimaksud oleh Antonio. Hanya saja di dalam hatiku bertanya.

Sampai kapan semua ini akan terus terjadi?

Sampai kapan kami mampu menipu orang-orang?

*****

Waktu masih terus bergulir. Kami berdua kembali disibukan oleh kegiatan kami masing-masing.

Meski pun pada waktu-waktu tertentu kami juga punya kesempatan bertemu, namun pertemuan kami hanya sebatas pertemuan dua orang sahabat. Seperti yang orang-orang ketahui selama ini.

Tapi beberapa bulan kemudian, kami kembali membuat janji, untuk melakukan liburan berdua lagi.

Kali ini ke negara yang berbeda dan kota yang berbeda.

Tentu saja, kami pun kembali melakukan hal tersebut.

Kami manfaatkan waktu liburan kami, untuk saling melepaskan rindu. Melepaskan segala hasrat yang sudah terpendam selama berbulan-bulan.

Dan hal itu terus terjadi selama beberapa tahun.

Sampai akhirnya Antonio pun memutuskan untuk menikah. Meski hatiku sakit sebenarnya menerima keputusan Antonio tersebut. Tapi aku harus bisa merelakannya. Karena biar bagaimana pun, pada akhirnya kami memang harus menikah.

Bukan saja karena kami harus memenuhi keinginan keluarga kami, dan juga keinginan dari para penggemar kami, tentu saja juga karena kami harus menjalankan kodrat kami sebagai seorang laki-laki.

Sejak menikah, Antonio tidak pernah lagi berhubungan denganku. Ia sudah disibukan dengan keluarga barunya.

Namun aku sendiri, masih sering melakukan perjalanan liburan sendiri. Dan aku juga menyempatkan untuk menyewa laki-laki bayaran di kota yang aku kunjungi. Seperti yang sering Antonio lakukan, ketika ia belum bersamaku.

Aku hanya ingin menikmati masa-masa lajangku, sebelum akhirnya aku juga harus memilih untuk menikah nantinya.

Namun yang pasti saat ini aku harus bisa menikmati hidupku dengan cara ku dan menjadi diriku sendiri.

Memakai topengku lagi saat kembali menjalankan pekerjaanku, dan akan membuka topengku saat aku punya waktu untuk liburan sendiri.

Dan begitulah kisahku.

Kisahku bersama salah seorang aktor senior dan juga kisahku yang merupakan seorang aktor penyuka sesama jenis.

Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan seperti ini?

Namun yang pasti, suatu saat kelak aku pasti akan berubah..

Semoga saja..

****

Selesai...

Abang tukang sayur keliling

Namaku Rizky. Bukan Rizky Aditya, bukan pula Rizky Billar. Hanya Rizky.

Orangtuaku sedikit pelit memberiku nama yang panjang. Cuma Rizky. Mungkin orangtuaku berharap aku bisa menjadi sumber rejeki bagi mereka. Atau mungkin juga karena mereka tidak mau terlalu pusing memikirkan nama untuk anak mereka.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku berasal dari kampung dan sudah hampir tiga tahun merantau ke kota.

Di kota aku bekerja menjadi seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta. Kebetulan aku memang lulusan sebuah universitas jurusan keperawatan.

Sejak kecil aku memang bercita-cita menjadi seorang dokter, tapi karena kondisi ekonomi keluarga-ku yang pas-pasan, aku malah terjebak di universitas keperawatan.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku seorang laki-laki dan adikku perempuan.

Kakakku sudah menikah dan bekerja di kampung. Sebagai anak tertua kakakku memang hanya bisa sekolah hingga lulus SMA. Sementara adik perempuanku satu-satunya, saat ini sedang kuliah.

Aku tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di tengah-tengah kota sendirian.

Sebagai seorang perawat yang masih honor, aku memang belum mampu membeli rumah sendiri.

Di tempat aku tinggal ini terdapat banyak rumah kontrakan di sepanjang gang. Setiap rumah kontrakan yang ada di gang ini umumnya sudah ditempati. Jadi gang ini cukup ramai.

Rumah kontrakan ku berada di ujung gang. Jadi aku tidak terlalu terganggu oleh hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang.

Jadwal kerjaku juga kadang tidak menentu. Kadang aku masuk pagi, kadang masuk siang dan kadang juga masuk malam. Dan aku juga sering lembur menggantikan para perawat senior yang berhalangan datang.

Selain sebagai perawat, aku juga sangat hobi memasak. Kadang aku juga menerima orderan membuat kue dari para pelangganku. Setidaknya usaha sampinganku ini cukuplah membantu keuanganku.

Sebagian dari hasil kerjaku, aku kirimkan ke kampung untuk membantu ayah dan ibuku dan juga membantu biaya kuliah adikku.

Ayahku hanya seorang petani biasa, sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga dan kakakku juga hanya bekerja sebagai seorang buruh. Jadi mau tidak mau aku memang harus ikut andil membantu perekonomian keluargaku.

Di gang tempat aku tinggal ini, memang sering sekali para pedagang masuk untuk menjajakan dagangannnya. Mulai dari pedagang pakaian, perabotan rumah tangga dan juga tukang sayur keliling serta para pedagang asongan lainnya.

Seorang tukang sayur keliling yang aku ketahui bernama bang Juned, sudah menjadi langgananku beberapa bulan terakhir ini.

Bang Juned sendiri merupakan tukang sayur keliling yang baru masuk ke gang kami. Karena tukang sayur keliling sebelumnya sudah pindah.

Bang Juned memiliki paras wajah yang biasa saja sebenarnya, tapi postur tubuhnya lumayan atletis dan terlihat sedikit gagah.

Aku dan bang Juned sudah sering ngobrol, terutama saat aku belanja sayur-sayuran padanya.

Bang Juned memang selalu lebih lama menghabiskan waktu saat di rumah kontrakanku, karena memang rumahku yang berada di ujung adalah tujuan terakhirnya di gang itu. Sekaligus untuk tempat ia beristirahat sejenak, sebalum ia akan memasuki gang selanjutnya.

Aku suka ngobrol sama bang Juned. Selain murah senyum, bang Juned juga cukup pandai bercerita.

Hampir setiap pagi aku dan bang Juned selalu bercerita. Aku jadi merasa punya teman untuk berbagi.

Aku juga sering memesang beberapa keperluanku untuk membuat kue kepada bang Juned.

Intinya aku dan bang Juned tiba-tiba saja menjadi akrab dan dekat.

Dari bang Juned aku tahu, kalau ia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Usia bang bang Juned memang sudah hampir kepala empat, tapi ia masih kelihatan muda. Mungkin karena bang Juned memang termasuk orang yang periang dan suka bercanda.

"hidup tak usah terlalu dipikirkan, Ky. Jalani aja apa adanya. Karena kebahagiaan itu bersumber dari hati, bukan dari kemewahan.." begitu salah satu kalimat bijak yang pernah diucapkan oleh bang Juned padaku.

Bang Juned memang orang yang sangat bijak dalam menyikapi persoalan hidup. Dan aku perlahan namun pasti, mulai mengagumi sosok bang Juned. Bukan karena tampangnya yang biasa saja, bukan juga karena postur tubuhnya yang sedikit atletis dan terlihat kekar.

Tapi terlebih karena bang Juned orang yang baik, dan juga selalu suka memberi nasehat-nasehat penting tentang kehidupan padaku. Ia juga selalu bersedia meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan curhatanku.

Berawal dari rasa kagum itulah, aku jadi semakin sering memikirkan bang Juned. Mengkhayalkan di hampir setiap malamku.

Tiba-tiba saja ada rindu. Tiba-tiba saja ada keinginan untuk selalu bertemu dengan bang Juned. Aku mulai merasa nyaman saat bersamanya.

Semakin sering ngobrol dengannya, aku semakin merasa tidak ingin berpisah darinya.

Aku selalu setia menanti bang Juned setiap pagi, untuk berbelanja sayuran. Meski pun sebenarnya aku menantinya hanya untuk bisa mengobrol dengannya, melihat senyumnya dan mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya yang manis.

Akh, terkadang aku jadi merasa malu sendiri. Mengingat bang Juned sudah punya istri dan anak. Tapi perasaanku tidak bisa di bohongi, aku memang telah jatuh cinta kepada laki-laki paroh baya itu. laki-laki si tukang sayur keliling itu.

Ingin rasanya aku mengungkapkan itu semua. Ingin rasanya mas Juned tahu tentang perasaanku padanya.

Tapi aku tidak mungkin mengungkapkan itu semua. Terlalu besar resiko yang harus aku tanggung, jika aku nekat berbicara jujur kepada bang Juned.

****

Berbulan-bulan aku masih terus memendam perasaan cintaku kepada bang Juned. Berbulan-bulan aku masih belum berani untuk jujur padanya.

Sampai pada suatu malam, saat itu aku lagi sendirian di rumah karena aku memang tidak ada jadwal kerja malam itu.

Tiba-tiba bang Juned muncul di rumahku. Ia datang dengan motor bututnya yang biasa ia bawa untuk jualan sayur. Tapi kali ini ia datang tanpa membawa keranjang sayur. Dan tumbennya ia datang malam-malam.

"istriku lagi pulang kampung bersama anak-anak, ada keluarga yang mengadakan pesta pernikahan di kampung. Jadi aku hanya sendirian di rumah untuk beberapa hari ke depan.." jelas bang Juned menjawab keherananku, ketika ia akhirnya aku persilahkan masuk.

"karena merasa suntuk sendirian di rumah, saya kepikiran untuk mencari teman ngobrol, kebetulan tiba-tiba saya ingat kamu, Ky. Jadi saya putuskan untuk datang ke sini dan berharap kamu tidak kerja malam ini.." lanjut bang Juned lagi.

Kamu ngobrol di ruang tengah rumah kontrakanku yang kecil. Kami hanya duduk di lantai, karena memang rumah kontrakanku tidak ada kursi tamu.

Aku menyuguhkan minuman putih dan beberapa cemilan, untuk kami nikmati selagi kami mengobrol.

Bang Juned datang sekitar jam delapan malam. Ia hanya memakai baju kaos oblong dan celana training lusuhnya. Meski pun berpenampilan sesederhana itu, bang Juned selalu terlihat keren di mataku.

Lama kami ngobrol. Hingga jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bang Juned berniat untuk pamit pulang.

Tapi ...

"kenapa gak sekalian nginap di sini aja, bang?" tanyaku menawarkan.

Untuk sesaat bang Juned terdiam. Ia terlihat berpikir sejenak.

"emangnya boleh kalau saya nginap sini?" tanya bang Juned akhirnya.

"boleh aja sih, bang. Kalau abang mau tidur di rumah kontrakan yang berantakan ini.." jawabku.

"saya sih mau aja, Ky. Tapi nanti jam dua aku harus ke pasar untuk belanja sayuran. Takutnya malah merepotkan kamu, harus bangun jam dua dini hari.." balas bang Juned.

"gak apa-apa, bang. Gak merepotkan, kok. Justri saya senang kalau abang mau nginap di sini.." ucapku jujur.

Aku memang sangat ingin bang Juned menginap di rumahku. Setidaknya dengan begitu, aku jadi punya kesempatan untuk bisa tidur di dekat bang Juned, lelaki yang sangat aku dambakan tersebut.

"ya udah. Saya masukan motor dulu ya.." ucap bang Juned selanjutnya, sambil ia mulai berdiri untuk memasukan motornya ke dalam rumah kontrakanku.

Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam kamarku. Di dalam kamar hanya ada satu buah ranjang kecil.

Dengan perasaan yang berdebar-debar, aku berbaring di samping tubuh gagah bang Juned. Apa lagi saat itu, bang Juned sudah melepas bajunya dan hanya memakai celana pendek.

Tubuh kekarnya semakin terlihat jelas di mataku. Membuat jantungku semakin berdebar hebat.

Untuk pertama kalinya aku bisa melihat langsung dada bidang bang Juned.

"kamu kok melihat saya seperti itu, Ky?" tanya bang Juned tiba-tiba, yang membuatku sedikit kaget.

"ah, gak apa-apa, bang. Suka aja melihat tubuh bang Juned yang kekar.." jawabku polos.

"kalau suka jangan cuma dilihat dong. Peluk, kek.." imbuh bang Juned dengan nada sedikit bercanda, yang membuatku jadi salah tingkah.

"emangnya bang Juned mau di peluk?" tanyaku cukup berani.

"kalau dipeluknya sama kamu, saya pasti mau lah, Ky. Jangankan cuma di peluk di apa-apain sama kamu saya juga mau, kok.." balas bang Juned di luar dugaanku.

Aku menatap bang Juned setengah tak percaya. Aku tatap matanya, mencari setitik kejujuran dari kalimatnya barusan.

"yakin bang Juned mau?" tanyaku sedikit berbisik.

"udah.. kamu gak usah malu. Saya tahu, kalau kamu suka sama saya, Ky. Jadi jangan sia-siakan malam ini ya.." ucapan bang Juned membuat aku semakin yakin, kalau ia memang serius.

Akh, aku tak menyangka kalau bang Juned akan sebegitu mudahnya bersedia melakukan hal tersebut denganku.

"aku hanya penasaran, sih. Gimana rasanya melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki. Dan karena saya tahu, kamu suka sama saya. Makanya gak ada salahnya kan, kalau saya ingin mencobanya bersama kamu.." ucap bang Juned lagi.

"sebenarnya sudah lama saya tahu, kalau kamu sering memperhatikan saya diam-diam. Saya pun menyimpulkan kalau kamu memang tertarik sama saya. Karena itu, kebetulan istri saya lagi tidak di rumah, saya mencoba datang ke sini." bang Juned melanjutkan.

Aku terdiam kembali. Mencoba mencerna setiap kalimat yang di ucapkan bang Juned. Jadi selama ini bang Juned sudah tahu, kalau aku menyukainya?

Dan dia ingin melakukannya hanya karena penasaran, bukan karena ia juga tertarik padaku.

Tapi kenapa juga aku harus memikirkan apa alasan bang Juned mau melakukannya denganku? Jika ia mau, kenapa tidak aku manfaatkan saja kesempatan ini?

Terlepas dari apa pun alasannya, bang Juned sudah memberi aku kesempatan untuk melakukan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

"kok diam? Kamu mau gak nih?" suara bang Juned kembali mengagetkanku.

"iya... aku .. mau, bang. Tapi apa abang yakin?" balasku dengan nada ragu.

"abang yakin, Ky. Tapi abang gak tahu mesti ngapain. Jadi kamu aja yang memulainya.." jawab bang Juned.

Antara ragu dan sangat menginginkannya, aku pun mulai melakukan aksiku terhadap bang Juned.

Lelaki yang aku cintai dan selalu aku lamunkan setiap malam itu, sekarang benar-benar nyata berada di depanku.

Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus bisa menikmati malam ini dengan laki-laki yang sudah menghiasi fantasi-ku selama beberapa bulan ini.

Aku merasa bahagia malam ini. Laki-laki yang bahkan menurutku tidak akan mungkin bisa aku miliki, kini telah dengan begitu pasrah menyerahkan dirinya padaku.

"bang Juned sangat gagah. Aku sangat menyukai bang Juned. Aku sayang dan cinta sama bang Juned.." ucapku kemudian, sesaat sebelum aku benar-benar beraksi.

Bang Juned terlihat tersanjung mendengar pujiaku. Ia tersenyum manis.

Pelan namun pasti, bang Juned pun mulai menikmati setiap permainanku.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya bang Juned pun bercocok tanam denganku.

Sungguh sebuah pengalaman yang sangat indah bagiku.

Sebuah pengalaman yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

Kini laki-laki gagah si tukang sayur keliling itu, akhirnya mampu aku miliki dan aku taklukan.

Aku ingin memberi kesan yang mendalam kepada bang Juned, sehingga nantinya aku berharap, bang akan kembali datang untukku.

Aku tidak ingin cintaku kepada bang Juned hanya berakhir dalam satu malam, aku ingin memilikinya selamanya.

Bang Juned terlalu gagah, ia terlalu perkasa dan tangguh. Aku semakin menyukainya.

*****

Dan sesuai harapanku, sejak malam itu, bang Juned memang semakin rajin mengunjungiku untuk bercocok tanam kembali.

Kami melakukannya bukan hanya di malam hari, tapi kadang di pagi hari, saat bang Juned datang membawa dagangannya, ia akan menyempatkan diri untuk mampir dirumah kontrakanku.

Dengan alasan ingin beristirahat sebentar, bang Juned masuk ke kamarku dan kami pun melakukannya.

Sepertinya bang Juned memang terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya, sehingga ia menjadi ketagihan untuk bercocok tanam denganku.

Dan hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan. Hubunganku dengan bang Juned semakin dalam dan parah.

Kami selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk bisa menikmati kebersamaan kami.

Hari-hariku terasa menjadi indah. Hidupku terasa lengkap.

Bang Juned mampu membuatku merasa bahagia. Ia membuatku semakin mencintainya. Dan aku berharap, bang Juned juga bisa mencintaiku.

Namun harapanku kemudian sirna.

Setelah berbulan-bulan, tiba-tiba bang Juned menghilang.

Ia tak pernah lagi datang ke rumahku. Ia tak lagi berjualan sayuran. Ia menghilang.

Aku sudah coba untuk menghubunginya, tapi nomornya tak pernah aktif.

Karena penasaran aku pun mencoba mendatangi rumahnya.

Namun yang aku temukan hanyalah sebuah kepahitan.

Dari istri bang Juned, aku akhirnya tahu, kalau bang Juned sekarang sedang berada di penjara.

Bang Juned ditangkap karena ia ternyata adalah seorang pecandu obat-obatan terlarang.

"saya sudah berusaha mengingatkan bang Juned, untuk berhenti mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Tapi bang Juned malah memarahiku. Hingga akhirnya ia ditangkap, karena sudah lama menjadi incaran pihak polisi." begitu sebagian penjelasan dari istri bang Juned.

Aku merasa terpukul mengetahui hal itu semua. Aku merasa terpukul karena harus kehilangan bang Juned, laki-laki yang telah membuat aku ketagihan.

Tapi aku semakin terpukul, ketika mengetahui, kalau bang Juned ternyata adalah seorang pecandu.

Pantas saja, ia dengan begitu mudah memberi aku kesempatan untuk bisa bercocok tanam dengannya. Mungkin saja selama ini, ia melakukan hal tersebut denganku, karena ia dalam pengaruh obat-obatan tersebut.

Mungkin saja selama ini istrinya tidak bersedia melayaninya, jika ia dalam keadaan pengaruh obat-obatan, sehingga bang Juned menumpahkannya justru padaku.

Dan aku dengan polos dan bodohnya selalu saja bersedia bercocok tanam dengannya. Karena aku memang tidak tahu, kalau bang Juned adalah seorang pecandu.

Aku memang tidak bisa membedakan, kapan saat seseorang dalam pengaruh obat-obatan dan kapan ia dalam keadaan normal.

Mungkin juga karena aku terlalu mencintai bang Juned, sehingga aku tidak menyadari kelakuan bang Juned yang di luar batas kewajaran.

Aku terlalu menikmati kebersamaanku dengannya. Aku terlena dengan segala permainan indahnya.

Hingga aku tidak sadar, kalau semua itu bang Juned lakukan, hanya pada saat ia dalam pengaruh obat-obatan.

Dan terlepasa dari semua itu, pengalamanku bercocok tanam dengan bang Juned, merupakan salah satu hal terindah yang pernah terjadi dalam perjalanan hidupku.

Apa pun alasannya, bang Juned tetap mampu membuatku terkesan dan tak mudah melupakannya.

Aku akan selalu mengingatnya, sebagai salah satu bagian terindah dalam perjalanan hidupku.

****

Selesai....

Nasib cinta sang tukang panen ...

"ada apa, mas Adjie?" tanyaku sedikit heran, ketika seorang pria muda berdiri di depan pintu dan mengucapkan salam.

Pria muda tersebut terlihat sedikit kaget, sepertinya ia tak menduga kalau saya sudah mengetahui namanya.

cerpen Sang penuai mimpi

Dia adalah mas Adjie, setidaknya begitulah yang aku ketahui tentangnya.

Mas Adjie merupakan anak tunggal dari seorang pengusaha kebun sawit. Papanya seorang pengusaha yang sangat sukses dan juga punya beberapa kebun sawit yang cukup luas.

Aku bekerja di salah satu kebun sawit milik papa mas Adjie sebagai seorang tukang panen. Aku menjadi tukang panen di kebun ini baru sekitar satu tahun yang lalu.

Kebun sawit ini cukup luas. Biasanya papa mas Adjie yang selalu datang ke kebun ini untuk melihat kami bekerja, tapi entah mengapa kali ini justru mas Adjie sendiri yang datang. Dan ini merupakan pertama kalinya aku melihat sosok mas Adjie. Karena selama ini aku hanya tahu cerita tentang mas Adjie dari pak Darman, salah seorang orang kepercayaan papanya mas Adjie, yang juga tinggal di kebun ini.

"kamu gak kerja?" tiba-tiba mas Adjie bertanya, setelah cukup lama ia menatapku tanpa kedip. Aku tak mengerti mengapa mas Adjie menatapku seperti itu.

"oh, belum, mas Adjie." jawabku, "saya kan tukang panen, mas. Jadi kerjanya biasanya hanya empat atau lima hari dalam seminggu. Kebetulan hari ini saya libur.." lanjutku berusaha menjelaskan.

Mas Adjie terlihat manggut-manggut mendengar penjelasanku barusan. Ia masih berdiri di depan pintu.

"saya boleh numpang istirahat sejenak di sini?" tanya mas Adjie kemudian.

"iya, boleh. Silahkan masuk aja, mas." balasku spontan.

Di kebun sawit ini memang tersedia rumah-rumah tempat kami para pekerja tinggal. Kami biasa menyebutnya barak. Rumah-rumah ini tersusun rapi dan berdempetan satu sama lain. Meski hanya terbuat dari kayu, rumah-rumah ini sangat kokoh dan rapi.

Ada setidaknya sekitar sepuluh buah rumah yang berderetan di sini. Setiap rumah memiliki satu ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur di bagian belakang serta sebuah kamar mandi kecil di sudut belakang rumah.

Rumah yang aku tempati berada dipaling ujung. Aku tinggal di sini bersama dua orang temanku yang sama-sama masih lajang. Kebetulan pagi itu, kedua temanku sedang ikut bekerja di kebun. Jadi saya hanya sendirian di rumah, saat mas Adjie datang tadi.

Aku melihat jam di dinding, masih jam sepuluh pagi. Yang berarti kedua temanku baru akan pulang sekitar dua jam lagi. Aku cukup bingung harus menghadapi mas Adjie, yang merupakan anak pemilik kebun sawit tempat aku bekerja ini.

"kamu sendirian aja disini?" tanya mas Adjie lagi.
"gak, sih, mas. Saya bersama dua orang lainnya. Tapi sekarang mereka lagi kerja di kebun." jawabku.
"perumahan emang sunyi seperti ini ya?" mas Adjie bertanya lagi, sambil ia melangkah masuk.
"ya, mas. Soalnya kalau jam segini, anak-anak pada sekolah semua. Bapak-bapaknya dikebun dan para Ibu-ibu biasanya ke pasar atau ikut ke kebun." jelasku cukup panjang.

"istirahat di kamar aja, mas Adjie.." aku berujar lagi, karena melihat mas Adjie hanya berdiri di ruang tengah.

Mas Adjie pun segera masuk ke kamar. Di dalam kamar tersebut memang tidak ada ranjang, hanya terdapat dua buah kasur untuk tempat kami tidur.

"maaf ya, mas Aji. Kamarnya berantakan. Maklum, kami bertiga tinggal disini, belum ada yang berkeluarga. Jadi masih lajang semua, sehingga rumah beserta isinya agak berserakan.." aku berujar, karena merasa kurang nyaman melihat keadaan kamar yang berantakan.

"oh, gak apa-apa. Saya hanya mau tiduran sebentar, kok." balas mas Adjie, sambil ia langsung duduk di atas kasur.

"mas, mau saya ambilkan minum?" tanyaku lagi, karena melihat mas Adjie agak sedikit kelelahan.

"oh. gak usah..." balas mas Adjie cepat. "oh, ya. Nama kamu siapa?" tanyanya melanjutkan.

"Saya Arlan, mas. Saya udah hampir setahun bekerja jadi tukang panen disini." jawabku lugas.

"kamu jangan berdiri aja. Kamu duduk disini ya, temani saya ngobrol." ucap mas Adjie selanjutnya.

Saya pun dengan sedikit ragu mencoba melangkah masuk. Namun sebelum saya masuk, tiba-tiba mas Adjie meminta saya untuk menutup dan mengunci pintu kamar. Meski saya tidak begitu mengerti kenapa mas Adjie ingin pintunya tertutup, saya tetap melakukan perintahnya.

Setelah menutup dan mengunci pintu kamar, saya masuk dan duduk agak sedikit jauh dari mas Adjie.

Mas Adjie memperhatikan saya dengan seksama, saya cukup merasa risih. Tatapan mas Adjie seperti melumat setiap detail tubuh saya. Pandangannya tajam.

Saya merasa tidak begitu nyaman, apa lagi saat itu saya hanya memakai celana pendek dan baju singlet.

Saya mencoba membalas tatapan mas Adjie. Mas Adjie kemudian menundukan kepalanya. Ia terlihat sedikit capek, karena baru saja berkeliling melihat kebun sawit.

Saya tahu mas Adjie anak orang kaya yang pastinya sedikit manja. Dan berada di kebun sawit, apa lagi harus berjalan kaki melihat-lihat kebun tadi, pasti membuat ia kelelahan. Karena itu juga mungkin, ia ingin beristirahat disini.

"mas, mau saya pijitin...?" tanyaku menawarkan, karena saya tidak tahu harus menawarkan apa lagi pada mas Adjie.

Mas Adjie menatapku kembali. Kali ini cukup lama. Ia terlihat sedang berpikir. Mungkin juga ia tidak mengira kalau aku akan menawarkan hal tersebut.

"boleh. Kalau Arlan gak keberatan.." ucapnya akhirnya, sambil memasang senyum manisnya.

"ya udah, mas Adjie buka aja pakaiannya.." ucapku lagi.

Mas Adji pun mulai membuka pakaiannya satu persatu, ia hanya memakai celana boxer bercorak coklatnya.

"mas tengkurap, ya.." aku berujar lagi, setelah cukup lama menatap mas Adjie yang sudah setengah telanjang. Mas Adjie segera tengkurap, dan aku pun mulai memijat bagian kakinya.

Saya memang sudah sering memijat, terutama memijat rekan-rekan kerja saya sesama pemanen. Biasanya kalau siangnya kami memanen, malam harinya kami akan saling bergantian memijat.

Selesai memijat bagian kaki dan paha mas Adjie, saya pun berpindah ke bagian punggungnya.
Lalu kemudian meminta mas Adjie untuk telentang dan mulai memijat bagian kakinya lagi.
Memijat bagian tangannya, kemudian melanjutkan ke bagian dada dan perutnya.
 
Mas Adjie terlihat sangat menikmati setiap pijatan yang saya berikan. Ia terlihat nyaman dan rileks.

"kulit mas Adjie putih dan bersih..." ucapku tanpa sadar mengungkapkan kekagumanku, karena aku sendiri memiliki kulit yang cukup gelap. "Badan mas Adjie juga bagus, perut mas Adjie sangat six pack, dan dada mas Adjie juga bidang.." lanjutku jujur.
Sepertinya mas Adjie memang tipe orang yang rajin olahraga dan fitnes.
 
Hampir setengah jam saya memijat tubuh mas Adjie, saya mulai berkeringat. Karena merasa gerah, aku pun membuka baju singletku.
 
Aku melihat mas Adjie kembali menatap tubuhku yang tanpa baju. Aku merasa sedikit risih, tapi tetap berusaha melanjutkan tugasku.

"badan kamu juga bagus, Arlan. Kamu terlihat kekar dan berotot. Dada kamu bidang dan perutmu juga six pack." tiba-tiba mas Adjie berucap. Saya merasa sedikit tersanjung.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka olahraga. Tubuh saya terbentuk secara alami, karena sudah biasa kerja keras sejak kecil.

Saya masih terus memijat bagian dada dan perut mas Adjie. Lalu kemudian berpindah untuk memijat tangannya. Saya berusaha untuk tetap fokus melakukan pijatan saya, meski mas Adjie tak berhenti menatap saya.

Saat saya memijat bagian lengan mas Adjie, saya tanpa sengaja meletakkan telapak tangan mas Adjie di atas paha saya, agar lebih gampang untuk menjaga keseimbangannya. Saya biasa melakukan hal tersebut, setiap kali memijat orang.
 
Cukup lama saya melakukan gerakan tersebut, mas Adjie terlihat sedikit gelisah. Lalu kemudian saya merasakan tangan mas Adjie tiba-tiba mengelus paha saya yang masih terbalut celana kaos pendek tersebut.
 
Saya merasa geli dan sedikit kaget menyadari hal tersebut. Spontan saya pun menghentikan pijatan saya. Saya menatap mas Adjie cukup lama. Tapi mas Adjie malah membalas tersenyum.

"mas Adjie, mau apa?" tanyaku terdengar lugu.
 
Untuk sesaat ia hanya terdiam. Ia terlihat bingung. Namun sedetik kemudian, ia pun bangkit untuk duduk. Mas Adjie duduk tepat berada di depanku. Wajahnya sangat dekat. Saya merasa sedikit risih.
 
Mas Adjie menatapku dengan penuh perasaan, sambil ia berucap,
"saya ... saya ... ingin kamu..." suara mas Adjie terdengar bergetar.
"mas Adjie ... mas Adjie ingin saya bagaimana?" aku bertanya kembali, lalu kemudian menunduk, tak berani menentang tatapan tajam mas Adjie.
 
Sebenarnya saya mulai mengerti apa yang mas Adjie inginkan. Tapi selain karena saya tidak begitu yakin, saya juga merasa cukup takut harus menghindar dari mas Adjie.
 
Lalu kemudian, tanpa menjelaskan apa pun, tiba-tiba mas Adjie memegang dagu saya dan mengangkat wajah saya ke atas. Mas Adjie dengan pelan mulai mendekatkan bibirnya.
Aku spontan kaget, lalu dengan repleks segera mendorong tubuh mas Adjie.
 
Mas Adjie cukup kaget melihat reaksi saya barusan. Saya terus menjauh. Bergerak mundur, lalu berdiri dengan perlahan.
 
"maaf, mas Adjie. Saya ... saya ... tidak bisa... saya ... saya merasa geli..." aku berucap terbata, ketika aku sudah berdiri.

Mas Adjie terlihat terdiam. Ia seperti tak percaya dengan apa yang barusan saya ucapkan. Sepertinya mas Adjie terlanjur berharap dan ia seperti tak menerima apa yang aku ucapkan.

Mas Adjie kemudian menarik napas, ia seperti mencoba menahan sesuatu yang sudah terlanjur bangkit.

Saya semakin mengerti sekarang, siapa mas Adjie sebenarnya. Saya hanya tidak menyangka sama sekali kalau mas Adjie adalah laki-laki penyuka sesama jenis. Padahal secara fisik ia terlihat macho.

Tiba-tiba saya merasa menyesal, telah menawarkan mas Adjie untuk pijat. Mungkin saja ia salah mengartikan tawaran saya tersebut. Apa lagi tadi saya sempat memujinya. Mungkin juga mas Adjie berpikir, kalau saya juga menginginkan hal tersebut.
Padahal semua itu, murni sebagai bentuk rasa hormat saya kepada mas Adjie, karena ia adalah anak pemilik kebun sawit tempat saya bekerja.

Mas Adjie terlihat menarik napas dalam sekali lagi, kali ini lebih panjang.
Aku yakin, mas Adjie sedikit merasa malu padaku saat ini, karena sudah mengetahui siapa dia sebenarnya.
Meski aku pun yakin mas Adjie bisa saja memaksaku untuk melakukannya, karena ia punya kekuasaan akan hal tersebut.

Biar bagaimana pun mas Adjie adalah anak dari pemilik kebun sawit tempat aku bekerja.

Mas Adjie tiba-tiba ikut berdiri. Ia berdiri tepat di hadapanku. Jarak kami tak lebih hanya setengah meter. Aku pun perlahan mulai mundur, tapi aku merasakan tubuhku terbentur dinding kamar, yang membuatku harus terhenti.

Sementara mas Adjie terus melangkah mendekat. Aku mulai sedikit panik. Tapi mas Adjie terlihat tidak begitu peduli, ia seperti sudah kerasukan sesuatu. Sepertinya ia benar-benar menginginkanku. Mas Adjie sudah seperti kehilangan akal sehatnya.

Mas Adjie sudah berdiri kembali di hadapanku, ia sangat dekat. Aku segera mendorong tubuhnya, agar menjauh.

"jangan mas Adjie.." ucapku memohon, dengan nada sedikit menghiba.

Mas Adjie justru memegang tanganku yang coba mendorongnya.
 
"kalau kamu tetap tidak mau, saya akan minta pak Darman untu memecat kamu dari sini...!" kalimat ancaman itu akhirnya keluar juga dari mulut mas Adjie.
 
Saya tentu saja merasa kaget mendengar hal tersebut. Tak kusangkan mas Adjie akan berucap demikian.
Tiba-tiba perasaan takut menyelimutiku. Perasaan takut akan kehilangan pekerjaanku.
 
"tapi... tapi saya gak bisa, mas. Saya.. saya tidak pernah melakukan hal seperti ini..."ucapku akhirnya dengan suara terbata, "tadi saya berniat memijat mas Adjie karena mas Adjie kelihatan capek dan sedikit lesuh. Saya tidak ada maksud apa-apa. Tolong saya, mas. Jangan lakukan hal ini sama saya. Saya sangat butuh pererjaan ini..." aku terus berbicara panjang lebar dengan suara semakin menghiba. Berharap mas Adjie mau mengerti dan melepaskan saya.
 
Tapi sepertinya mas Adjie tidak begitu peduli dengan ucapan saya. Ia masih saja terus berusaha mendekati saya.
 
"justru karena kamu belum pernah melakukannya, biarkan saya menjadi yang pertama buatmu, Arlan!" ucapan mas Adjie terdengar semakin jahat.
"nanti saya akan kasih kamu uang yang banyak, asal kamu mau melakukannya sekarang..." ia melanjutkan, mencoba memberikan saya sebuah tawaran.
 
Kali ini aku terdiam. Aku harus berpikir lebih keras lagi untuk mempertimbangkan semua ini.
Terus terang saya merasa sangat jijik membayangkan akan melakukan hal tersebut dengan mas Adjie. Tapi saya juga tidak ingin kehilangan pekerjaan saya.

Dan  terlepas dari itu semua, saya juga tidak begitu berani menolak permintaan dari anak pemilik kebun sawit tempat saya bekerja selama ini. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Saya pasti tidak bisa lari begitu saja. Mas Adjie pasti tidak akan begitu saja melepaskan saya. Melihat dari caranya menatap saya saat ini. Dan lagi pula bahkan ia juga bersedia membayar saya mahal.
 
"baik... baiklah, mas Adjie. Saya mau. Asal saya di kasih uang, dan tolong jangan pecat saya dari sini. Saya juga ingin mas Adjie berjanji untuk tidak menceritakan semua ini kepada siapa pun..." jawabku akhirnya, setelah berpikir cukup panjang.
 
Bukan sebuah keputusan yang tepat sebenarnya. Tapi saat ini, aku memang tidak punya pilihan lain.
Apa lagi mas Adjie berjanji akan memberiku sejumlah uang. Saat ini aku memang sangat membutuhkan uang.
 
Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar dari kampung kalau ibuku sakit parah dan butuh biaya banyak. Aku ingin mengirimkan uang untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung, tapi saat ini aku benar-benar tidak punya uang. Dan tawaran dari mas Adjie, aku rasa bisa menjadi jalan keluar untukku saat ini.
 
Meski aku harus mengorbankan harga diriku sebagai seorang laki-laki. Meski aku harus menelan semua rasa jijik dan geliku.
Aku akan mencobanya, setidaknya demi sejumlah uang dan juga untuk mempertahankan pekerjaanku.
 
Aku melihat mas Adjie tersenyum penuh kemenangan, setelah mendengar jawabanku barusan. Ia bak anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan baru.

"tapi saya belum pernah melakuakn hal ini, mas Adjie. Apa lagi dengan sesama laki-laki.." aku berujar, ketika mas Adjie hendak menyentuh dadaku. "saya tidak tahu harus melakukan apa.." lanjutku jujur.

"kamu nikmati saja, apa yang saya lakukan sama kamu.." ucap mas Adjie membalas, sambil ia kembali memasang senyum mesumnya.
Ia mulai merapatkan tubuhnya mendekat. Saya merasa merinding. Sekuat mungkin saya berusaha menahan rasa geli dan jijik saya. Saya memejamkan mata dan menahan napas. Keringat dingin mulai membasahi dada saya.

Dan sedetik saat bibir mas Adjie hendak menyentuh bibir saya, saat itulah tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar.
Mas Adjie segera menghentikan tindakannya dan mulai menjauhi tubuh saya kembali.

Ternyata para pekerja telah kembali dari kebun. Suara mereka terdengar ramai berbincang-bincang.
Setengah bersyukur saya kembali membuka mata saya dan melihat jam di dinding. Sudah jam 12 siang, dan tentu saja ini adalah jam istirahat para pekerja.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu rumah terbuka. Mas Adjie dengan tergesa memungut pakiannya kembali dan segera memakainya, saya pun melakukan hal tersebut.

Mas Adjie meminta saya untuk membuka pintu kamar, lalu ia berbaring di kasur dan berpura-pura tertidur. Tapi sebelumnya ia sempat berucap,
"ini belum berakhir, Lan.." suaranya lirih.
 
Aku hanya terdiam. Berbagai perasaan mulai berkecamuk di benakku. Kali ini aku mungkin lolos dari memenuhi keinginan mas Adjie. Tapi sepertinya hal ini justru membuat mas Adjie semakin penasaran.
 
Aku yakin, setelah ini mas Adjie pasti akan mencari waktu yang tepat untuk bisa memenuhi hasratnya denganku.
 
Aku menarik napas dalam, dan ikut berpura-pura tertidur. Saat kedua temanku hendak masuk kamar, mereka mundur kembali, karena melihat mas Adjie yang sedang tertidur di dalam kamar kami.
 
Sebagian hatiku memang merasa cukup bersyukur siang itu, karena aku telah selamat dari keinginan bejat mas Adjie. Namun sebagian hatiku yang lain juga merasa kecewa. Karena dengan  begitu, aku tetap tidak bisa mengirimkan uang untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung.
 
*****
 
Beberapa hari kemudian, setelah kejadian menegangkan di kebun sawit tersebut, mas Adjie kembali datang ke barak tempat saya tinggal.
Kali ini ia datang bukan lagi atas perintah ayahnya, tapi hanya untuk menemuiku.
 
"saya hanya minta di temani ke kota sebentar, pak Darman. Nanti saya antar lagi Arlan ke sini.." begitu ucap mas Adjie, meminta izin kepada pak Darman.
 
Pak Darman tentu saja tidak bisa menolak permintaan dari anak majikannya tersebut. Meski pak Darman terlihat sedikit bingung dengan permintaan mas Adjie tersebut.
 
Akhirnya dengan sedikit terpaksa, saya pun ikut bersama mas Adjie ke kota menaiki mobilnya.
"tawaran saya masih berlaku buat kamu, Lan." ucap mas Adjie, ketika kami sudah berada di perjalanan.
"kalau kamu mau saya akan kasih kamu uang. Dan tentu saja pekerjaanmu akan aman." lanjutnya.
 
Aku masih terdiam. Aku memang terpaksa harus ikut bersama mas Adjie, karena saya tidak berani menolak.
 
"lalu sekarang kita mau kemana?" tanyaku akhirnya, setelah kami berada di keramaian kota.
"ke sebuah hotel." jawab mas Adjie terdengar tegas.
 
Tak lama kemudian mobil kami pun parkir di sebuah gedung hotel yang cukup mewah. Sepertinya mas Adjie memang sudah memesan hotel tersebut, mungkin secara online. Karena ketika kami sampai di hotel, mas Adjie langsung mengajak saya masuk ke salah satu kamar hotel tersebut.
 
Saya merasa sangat gugup ketika akhirnya kami sampai di dalam kamar hotel. Jujur, ini adalah kali pertamanya aku memasuki sebuah hotel. Seumur hidup aku belum pernah memasuki kamar hotel semewah ini.
 
"usia kamu berapa sih, Lan?" tanya mas Adjie, saat aku sudah duduk di atas ranjang. Sementara mas Adjie masih berdiri tepat di depan saya.
"19 tahun, mas." jawabku singkat.

Mas Adjie terlihat sedikit manggut-manggut. Ia sepertinya mulai memahami kenapa saya terlihat sedikit bingung dan ketakutan.
Hidup saya yang keras sejak kecil, membuat saya jadi terlihat sedikit dewasa dari usia saya yang sebenarnya.

Sesaat kemudian, mas Adjie pun duduk di sampingku. Lalu ia dengan sedikit memaksa meminta saya untuk bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga aku bisa sampai di kebun sawit tersebut.

"aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Kalau tidak boleh di bilang miskin, sih." ucapku memulai ceritaku.
 
"aku anak ke lima dari tujuh bersaudara. Aku memang berasal dari kampung, semua keluargaku tinggal di kampung. Pada saat usiaku masih empat belas tahun, aku sudah mulai merantau." lanjutku.

"Karena kehidupan kami yang selalu kekurangan, aku dan saudara-saudaraku yang lain hampir tidak bersekolah sama sekali. Kecuali hanya lulusan SD. Dan merantau bukanlah sesuatu yang asing dalam keluarga kami."
Aku menarik napas sejenak, lalu meneguk minuman dingin, yang sengaja mas Adjie pesan sejak tadi.

Mas Adjie memang sengaja memesan beberapa makanan ringan dan berbagai minuman, untuk kami. Sepertinya mas Adjie memang ingin membuatku merasa terkesan, dan tentu saja ia ingin, agar aku malam ini mau memenuhi permintaannya, yang sempat tertunda beberapa hari yang lalu.
 
"Kakak pertama saya sudah merantau sejak masih berusia enam belas tahun. Begitu juga kakak ketiga saya, ia sudah sejak lama tidak pulang ke kampung." aku melanjutkan ceritaku lagi.
 
"Alasanku merantau bukan saja karena mengikuti jejak kakak-kakakku. Tapi juga karena tuntutan hidup. Tidak banyak pilihan pekerjaan di kampungku, selain jadi petani dan buruh." lanjutku lagi, kali ini aku beranikan diri untuk melirik sekilas ke arah mas Adjie.

Terlihat mas Adjie cukup serius mendengarkan ceritaku, wajahnya memperlihatkan keperihatinan.
 
"Saya sempat beberapa tahun terlunta-lunta di kota. Sampai akhirnya saya bertemu pak Darman. Dan beliau pun mengajak saya ikut bekerja dengannya di perkebunan sawit itu..." lanjutku mengakhiri ceritaku.
 
Mas Adjie masih terdiam. Ia semakin menunjukkan wajah penuh rasa iba padaku. Aku yakin, kisah hidupku cukup menyentuh nurani mas Adjie.

"saya sudah terbiasa hidup susah, mas Adjie." ucapku kemudian. "tapi saya juga takut kehilangan pekerjaan saya. Jadi saya sudah pasti tidak bisa menolak apapun keinginan mas Adjie saat ini.." lanjutku dengan nada lirih.
 
Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran dari mas Adjie. Biar bagaimana pu naku memang sedang membutuhkan uang untuk biaya berobat ibuku di kampung. Selain itu, aku juga takut kehilangan pekerjaanku. Jadi jika dengan memenuhi keinginan mas Adjie, bisa menghasilkan uang dan juga bisa menyelamatkan pekerjaanku, tak ada salahnya aku mencoba. Meski perasaan jijik masih terus membayangiku.

"uang bukan tujuan utama saya, mas Adjie. Tapi yang penting saya tetap bisa bekerja di kebun sawit tersebut.." aku mengeluarkan suara kembali, masih dengan nada lirih. Dan dengan sedikit berbohong.

"sekarang mas Adjie, mau saya bagaimana?" tanyaku melanjutkan.

Mas Adjie masih terdiam. Berpikir panjang. Saya tidak tahu apa yang sedang mas Adjie pikirkan. Padahal ia yang bersikeras mengajak ke hotel ini. Ia bisa saja dengan begitu mudah memaksaku untuk melakukannya.

Namun tak lama kemudian, perlahan mas Adjie pun mulai mendekat. Memeluk tubuhku yang masih terasa sangat kaku. Aku memejamkan mata, mencoba menahan rasa geli dan jijik-ku padanya.

Namun pelan tapi pasti, mas Adjie mulai menguasai keadaan. Dan aku pun akhirnya mencoba untuk pasrah. Benar-benar pasrah. Kepasrahanku, justru membuat mas Adjie jadi lebih leluasa untuk mempermainkanku.
 
Siang itu, untuk pertama kalinya dalam hidup melakukan hal tersebut dengan mas Adjie. Dengan seorang laki-laki.
Meski pun awalnya aku benar-benar merasa tidak nyaman, namun mas Adjie mampu membuatku merasakan sensasi keindahan yang luar biasa.

Itu adalah pengalaman pertama dalam hidupku, meski terjadi bukan dengan orang yang aku inginkan. Tapi mas Adjie sepertinya sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut, yang membuat saya merasa sedikit lega.

Aku pikir semua itu telah berakhir, namun ternyata mas Adji justru mengajakku untuk menginap malam itu di hotel tersebut. Ia sengaja menelepon pak Darman, dan mengatakan bahwa kami akan pulang esok pagi.

Aku walau dengan perasaan berat terpaksa sekali lagi memenuhi permintaan mas Adjie. Dan malam itu, setelah mandi dan makan malam, mas Adjie kembai mengajakku untuk melakukannya.
Mas Adjie memang cukup liar, aku merasa kelelahan karenanya.

"kamu hebat, Arlan. Kamu benar-benar perkasa. Aku jadi semakin menyukaimu.." begitu bisik mas Adjie, saat kali keduanya kami terhempas.

Aku hanya tersenyum tipis. Tubuhku benar-benar merasa lelah. Sementara mas Adjie terlihat tersenyum bangga menatapku. Sepertinya ia merasa bangga telah berhasil menaklukkanku.

******

Hari-hari selanjutnya mas Adjie semakin sering mengajakku ke kota. Berbagai alasan ia berikan kepada pak Darman, untuk meminta izin.
Semakin lama hubunganku dengan mas Adjie semakin dalam dan parah.

Mas Adjie memang selalu memberi saya sejumlah uang setiap kali kami selesai melakukannya. Uang yang diberikan mas Adjie cukup banyak. Sebagian uang tersebut, aku kirimkan ke kampung untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Mas Adjie sepertinya benar-benar ketagihan denganku. Dan jika harus jujur, aku juga mulai menikmati hal tersebut.
Berkali-kali melakukan hal tersebut dengan mas Adjie, akhirnya menumbuhkan sebuah rasa di hatiku.
Kadang aku merasa rindu, jika mas Adjie tak datang menjemputku.

Saya belum berani menyimpulkan bahwa itu cinta, tapi yang pasti aku mulai merasa nyaman saat bersama mas Adjie. Aku mulai sering memikirkannya.

Sampai suatu saat aku mendapat kabar dari kampung, kalau penyakit parah. Aku mau tidak mau harus segera pulang ke kampung. Untuk itu, aku pun menyampaikan hal tersebut kepada mas Adjie.

"iya, gak apa-apa. Kamu pulang aja.." ucap mas Adjie, ketika aku menyampaikan niatku tersebut.

Jarak kampungku memang sangat jauh. Setidaknya butuh waktu dua hari dua malam naik bis, untuk bisa sampai kesana.

Sebenarnya mas Adjie terlihat berat melepaskan kepergianku. Tapi aku memang harus pulang.
Aku sendiri juga sebenarnya merasa sedikit berat harus berpisah dari mas Adjie.
Berbulan-bulan kami bersama, dan hal itu mampu menumbuhkan kesan yang mendalam di hatiku untuk mas Adjie.

"aku pasti kembali, mas Aji..." ucapku saat aku hendak menaiki bis yang aku tumpangi.
"aku pasti akan selalu menunggumu disini, Arlan.." balas mas Adjie dengan nada sedih.
 
Entah mengapa saat itu tiba-tiba aku merasa sedih. Aku merasa berat harus berpisah dari mas Adjie.
Namun aku berusaha tegar, aku tak ingin mas Adjie melihat raut kesedihanku.
 
Hingga bis itu pun segera berlalu, dan aku melihat mas Adjie masih berdiri menatap dari kejauhan.

*****

Sesampai di kampung, aku melihat kondisi ibuku semakin parah. Segala obat telah di coba, namun ibu tak kunjung membaik.
Hingga akhirnya beliau pun meninggal.
 
"Ibu meninggal, mas. Jadi saya mungkin masih cukup lama berada di kampung." ucapku kepada mas Adjie ditelpon.
Mas Adjie memang sering menghubungiku, dan ketika ibu akhirnya meninggal aku pun menceritakannya.
 
"iya, gak apa-apa, Lan. Aku akan tetap menunggu kamu disini.." balas mas Adjie terdengar lirih.
 
Meski pun aku dan mas Adjie tidak punya ikatan hubungan apa pun, tapi aku mulai merasa dekat dengan mas Adjie. Dan selama di kampung aku juga sering memikirkannya.
 
Ingin rasanya aku segera kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja. Ingin rasanya aku segera bertemu mas Adjie lagi. Tapi, selain karena ibuku baru saja meninggal, keadaan keluarga juga sedang sulit.
 
Ayah yang sudah mulai menua tidak mampu lagi bekerja terlalu berat, sementara kakak-kakakku juga tidak punya kehidupan yang baik.
 
Adikku yang paling bungsu, tahun ini baru saja lulus SMP, dan butuh biaya banyak untuk melanjutkan sekolahnya. Karena itu, meski dengan sedikit berat aku pun terpaksa menjual handphone-ku, untuk membantu biaya sekolah adikku tersebut.
 
Karena sudah tidak punya handphone, tentu saja mas Adjie sudah tidak bisa menghubungiku lagi.
Hubungan kami terputus begitu saja, meski pun sebenarnya kami belum punya hubungan apa pun, sampai saat ini.
 
Tapi hatiku selalu merindukannya. Aku selalu mengingatnya. Memikirkannya di hampir setiap malamku.
Mungkin aku memang telah jatuh cinta kepada mas Adjie, dan hal itu tanpa pernah aku sadari.
 
Tapi untuk saat ini, aku harus bisa menahan diriku untuk tidak bertemu dan berhubungan dengan mas Adjie.
Aku juga harus melakukan beberapa pekerjaan di kampung, agar aku bisa mengumpulkan uang untuk ongkos kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja.
 
Setelah berbulan-bulan, aku akhirnya bisa mengumpulkan uang, dan segera kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja.
 
Aku tak berharap bisa bertemu mas Adjie kembali. Aku yakin, setelah berbulan-bulan mas Adjie pasti sudah berubah. Ia pasti tidak akan mengharapkanku lagi. Ia pasti sudah menemukan pengganti diriku yang jauh lebih baik.
 
Karena itu aku tidak berusaha mengabarinya kalau aku sudah kembali. Aku langsung menuju kebun sawit, dan mulai bekerja lagi seperti biasa.
 
Namun setelah tiga hari aku mulai bekerja, tiba-tiba mas Adjie datang menemuiku. Katanya ia mendapat kabar dari pak Darman, kalau saya sudah kembali.
 
Saya merasa bahagia bisa melihat pria tampan itu lagi. Dan sore itu, mas Adjie meminta izin kepada pak Darman untuk membawaku ke kota. Ia mengajakku untuk menginap di hotel malam itu.
 
"kemana saja kamu, Arlan? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" mas Adjie memberondongiku dengan beberapa pertanyaan, saat kami sudah berada di dalam hotel.

"maaf, mas Adjie. Saya terpaksa menjual ponsel saya, untuk membantu biaya sekolah adik saya yang paling kecil. Ia baru saja lulus SMP tahun ini, jadi butuh biaya banyak." jelasku jujur.

"aku juga harus kerja dulu di kampung, mas Adjie. Untuk cari ongkos kembali kesini.." lanjutku.
 
Kemudian aku pun duduk di samping mas Adjie di atas ranjang.
"aku sangat merindukan mas Adjie.." ucapku pelan, yang membuat mas Adjie tersenyum senang.
"aku.. aku sayang sama mas Aji..." ucapku lagi dengan sedikit terbata.
"aku juga sayang kamu, Arlan.." balas mas Adjie tegas.
 
Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aroma harum napas mas Adjie tercium di hidungku.
Aku merasa begitu bahagia malam itu. Segala rasa rindu yang selama ini terpendam aku tumpahkan dengan segenap jiwaku.

Mas Adjie juga seperti enggan melepaskanku. Dia ingin kembali merasakan pendakian yang indah itu bersamaku.
 
"kamu begitu sempurna, mas Adjie. Aku tidak bisa melupakan kelembutan mas Adjie. Aku ingin selalu merasakannya. Tak peduli aku di bayar atau tidak, yang penting aku bisa terus bersama mas Adjie..." kali ini aku membisikkannya di telinga mas Adjie, sambil aku terus membuainya dalam lautan cinta yang indah.

Cinta kami pun akhirnya menyatu padu, melebur dalam sebuah rasa yang indah.
Pendakian-pendakian berikutnya semakin penuh rasa.
Hati kami menyatu, jiwa raga kami pun tak ingin terpisah.
Kami enggan untuk saling mengakhiri, kami ingin tetap menyatu dalam lautan cinta itu.
 
Kini hatiku benar-benar bahagia, akhirnya aku bisa memiliki pemuda tampan anak juragan sawit itu.
Aku yang dulunya hanya merasa terpaksa, kini benar-benar menginginkannya.
 
Kan ku serahkan seluruh hidupku hanya untuk mas Adjie. Aku akan selalu ada untuknya. Memberinya kebahagiaan yang tak akan pernah ia lupakan.
 
Kami akan tetap bersama, meski itu semua tidaklah akan selalu mudah.
Tapi aku percaya, kekuatan cinta bisa mengalahkan apapun.
Semoga saja..
 
*****
Sekian...

Cinta lelaki bodoh ..

"kamu serius, Nik?" suara Alan terdengar pelan.

Aku hanya mengangguk ringan. Karena menurutku apa yang barusan aku sampaikan sudah sangat jelas dan juga sangat serius.

"tapi aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu, Nik. Kecuali perasaan sebagai sahabat. Maaf ya, Nik. Dan mungkin setelah ini kita gak usah bertemu dulu. Saya masih belum siap.." Alan berucap lagi, suaranya cukup datar.

Aku merasa sakit sebenarnya mendengar kalimat Alan barusan. Tapi jauh sebelum aku memberanikan diri untuk jujur pada Alan tentang siapa aku dan bagaimana perasaanku padanya, aku sudah mempersiapkan hatiku untuk terluka.

Namun setidaknya aku sekarang merasa cukup lega, karena sudah berani untuk berterus terang kepada Alan. Meski pada akhirnya aku akan kehilangan Alan sebagai sahabat. Dan aku juga sudah siap untuk itu.

Namaku Niko, dan Alan adalah sahabatku sejak kecil. Sejak SD kami sudah berteman, hingga sekarang kami mulai kuliah. Kami selalu bersama-sama, selain karena rumah kami yang satu kompleks, kami juga punya hobi yang sama.

Sejak SD hingga SMA, kami selalu sekolah di tempat yang sama. Rumah Alan sudah menjadi rumah kedua bagiku, demikian juga sebaliknya. Aku sangat dekat orangtua Alan, begitu juga Alan, ia sudah seperti anak sendiri bagi ayah dan ibuku.

Kebetulan aku anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami, kedua adikku perempuan. Dan Alan sendiri merupakan anak tunggal.

Sejak aku SMP, aku mulai mengagumi sosok Alan. Alan anak yang cerdas, supel dan juga ramah. Selain itu, Alan juga tampan dan bertubuh atletis.

Perlahan dari rasa kagum, lalu tumbuh rasa cinta. Ya, aku jatuh pada Alan, pada sahabatku sendiri.

Aku sendiri tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja aku jatuh hati pada Alan. Padahal aku sendiri tahu, kalau Alan seorang laki-laki sama sepertiku. Tapi rasa itu tumbuh begitu saja.

Namun selama bertahun-tahun, aku hanya mampu memendamnya. Dan terkadang merasa sakit, saat alan justru berpacaran dengan perempuan. Tapi sebagai sahabat aku tetap berusaha untuk selalu ada buat Alan.

Hingga akhirnya kami lulus SMA dan mulai memasuki jenjang kuliah. Alan memilih untuk tidak satu jurusan denganku, meski kami tetap kuliah di kampus yang sama.

Karena berbeda jurusan aku dan Alan jadi sedikit jarang bertemu. Meski kami masih sering menghabiskan waktu berdua.

Cintaku kepada Alan kian hari justru kian membesar, dan aku sudah tidak sanggup lagi memendamnya.

Karena itulah aku pun menghimpun keberanianku untuk mengungkapnya pada Alan sore itu. Meski aku tahu, Alan pasti akan menolakku dan juga pasti akan menjauhiku. Namun aku hanya ingin Alan kalau aku sangat menyayanginya.

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Lan.." begitu ucapku awalnya.

"mau ngomong apa sih, Nik. Kok keliatannya serius banget.." balas Alan ringan.

"aku .. aku mau ngomong... kalau aku.. aku... aku suka.. sama kamu, Lan.." ucapku terbata.

"aku.. jatuh cinta sama kamu, bahkan sejak kita masih SMP.." lanjutku.

Alan terlihat terperangah, ia seperti tak percaya kalau aku akan berucap demikian.

Dan itulah jawaban Alan selanjutnya yang membuatku merasa terluka dan patah.

****

"tapi aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu, Nik. Kecuali perasaan sebagai sahabat. Maaf ya, Nik. Dan mungkin setelah ini kita gak usah bertemu dulu. Saya masih belum siap.." terngiang kembali ucapan Alan tempo hari.

Ya, setelah mendengar jawaban Alan tersebut, aku pun langsung pamit dengan perasaan yang sangat kecewa.

Kini jelas Alan sangat jijik melihatku, setelah ia tahu siapa aku sebenarnya. Aku mencoba menabahkan hatiku, menguatkan perasaanku dan berusaha menjalani hari-hariku meski tanpa ada Alan lagi.

Alan benar-benar menjauhiku dan bahkan ia selalu menghindar dariku. Tapi setidaknya aku yakin, Alan tidak mungkin menceritakan hal tersebut kepada siapa pun.

Berbulan-bulan hal itu terjadi, aku dan Alan semakin terasa jauh.

Namun pada suatu saat aku mendapat kabar dari papanya Alan kalau Alan masuk rumah sakit.

Sebagai sahabat aku mencoba menjenguknya. Dan disana aku melihat tubuh Alan yang terbaring lemas di kamar rumah sakit.

"Alan mengalami gagal ginjal, Nik. Ia butuh perawatan intensif..." keterangan dari papa Alan membuatku benar-benar syok.

"kata dokter hanya ada dua pilihan pengobatan untuk Alan. Yang pertama ia harus rutin cuci darah, Nik." cerita papa Alan lagi.

"dan pilihan kedua Alan harus melakukan transplantasi atau pencangkokan ginjal, tapi untuk itu ia butuh pendonor ginjal. Namun tidak mudah mencari orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya.." lanjut papa Alan lagi.

Aku semakin syok mendengar itu semua. Bagaimana mungkin di usianya yang masih muda dan dengan bentuk fisiknya yang atletis, Alan bisa mengalami penyakit tersebut.

"om akan bersedia membayar berapa saja, kalau seandainya ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya untuk Alan, Nik.." suara papa Alan terdengar lagi, suara itu semakin serak.

Aku tahu, betapa sayangnya papa dan mama Alan kepadanya, karena Alan adalah anak mereka satu-satunya. Mereka pasti sangat takut akan kehilangan Alan.

Dan terlepas dari itu semua, aku juga sangat takut kehilangan Alan. Meski akhir-akhir ini, Alan justru menjauhiku.

*****

"kamu yakin, Nik? mau melakukan ini semua?" tanya papa Alan, keningnya mengerut.

"saya yakin, Om. Asal om mau berjanji tidak akan menceritakan ini semua kepada siapa pun, terutama kepada Alan dan juga orangtuaku. Alan adalah sahabat baikku sejak kecil, Om. Dia juga sangat baik padaku selama ini. Mungkin ini saatnya aku membalas semua kebaikannya.." jawabku dengan sedikit beralasan.

"tapi kamu nantinya akan hidup dengan satu ginjal loh, Nik.." ucap papa Alan lagi.

"iya, aku tahu, Om. Mungkin resikonya cukup besar. Tapi saya siap, Om. Kata dokter kedua ginjalku cukup sehat. Jadi sekalipun nantinya aku hanya hidup dengan satu ginjal, aku masih tetap sehat kok, Om..." jelasku yakin.

"pengorbanan kamu terlalu besar, Nik. Om gak tahu bagaimana cara membalas ini semua.." suara papa Alan bergetar.

"om gak perlu memikirkan hal itu sekarang. Saat ini yang penting Alan bisa pulih kembali, Om.." balasku ringan.

Aku memang sudah bertekad untuk mendonorkan ginjalku untuk Alan. Aku sangat mencintai Alan. Apa pun akan aku lakukan agar Alan bisa pulih kembali. Meski aku tidak bisa memilikinya, tapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu yang penting untuknya.

"jika kamu memang bersikeras, Nik. Om akan mengatur semuanya dan menjadikan hanya rahasia kita berdua.." ucap papa Alan akhirnya.

Dan setelah kesepakatan kami tersebut, kami pun mengatur waktu untuk melakukan transplantasi ginjal pada Alan.

Aku sengaja izin kepada ayah dan ibu, untuk pergi ke luar kota, karena ada tugas kuliah. Karena menurut dokter, setelah operasi pendonoran dilakukan, aku harus istirahat selama seminggu.

Meski sebenarnya aku hanya bermalam dan tinggal di sebuah hotel, tentu saja atas bantuan dari papa Alan yang telah mengatur semuanya.

Semuanya diatur dengan baik, sehingga hanya aku, papa Alan dan dokter yang mengetahui hal tersebut. Sementara papa Alan sudah meyakinkan dokter tersebut, untuk menyembunyikan siapa orang yang telah mendonorkan ginjal untuk Alan.

*****

Sebulan kemudian, aku kembali melakukan rutinitasku seperti biasa. Kuliah seperti biasa.

Aku juga tahu, kalau Alan sudah mulai kuliah kembali. Keadaannya sudah membaik. Operasi yang dilakukan memang berjalan lancar dan tanpa ada kendala.

Aku merasa senang melihat Alan bisa pulih kembali. Meski aku tidak berani untuk mendekatinya lagi. Biar bagaimana pun Alan sudah pasti tidak menyukaiku, walau hanya sekedar sahabat.

Ya, siapa yang ingin punya sahabat seorang laki-laki gay seperti saya. Tapi setidaknya aku merasa cukup bahagia masih bisa terus melihat Alan.

Hari-hari kembali berlalu, waktu masih terus berputar. Dan aku masih terus memikirkan Alan setiap malamnya.

Mencintainya dalam diam, menyayanginya sepenuh hati dan menjadikannya satu-satunya orang yang mampu memberikan aku semangat setiap harinya. Meski pun aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan.

Cintaku untuk Alan terlalu besar. Aku tak akan pernah bisa menghapusnya.

Aku tak berharap bisa memilikinya. Aku hanya ingin bahagia, meski bukan denganku.

Aku mencintainya secara sederhana, seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh kayu kepada api yang menjadi abu. Seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh angin kepada hujan yang menjadi butiran mutiara di dasar lautan.

Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti mentari yang selalu setia menanti pagi.

Cinta adalah sebuah perasaan yang unik. Cinta terkadang tidak bisa wakilkan dengan kalimat apa pun, ia terlalu indah untuk tidak dinikmati. Dan mencintai tidak harus selalu memiliki.

Karena cinta sejati, selalu punya kekuatan untuk memberi tanpa keinginan untuk berharap.

Dan begitulah cintaku untuk Alan. Memberi tanpa menerima, berkorban tanpa mengharap apa pun.

Dan aku cukup bahagia dengan semua itu.

****

"kenapa kamu harus melakukan semua itu untukku, Nik?" tanya Alan dengan suara sedikit tinggi.

"melakukan apa?" tanyaku balik, dengan nada pelan.

"kamu gak usah pura-pura lagi, Nik. Saya sudah tahu semuanya.." balas Alan, kali ini suaranya mulai memelan.

"saya tahu, kalau kamu sudah mendonorkan ginjalmu untukku. Saya tahu semuanya dari papa. Saya yang memaksa papa untuk cerita.." lanjut Alan lagi, yang membuatku sedikit kaget.

Aku ingin sedikit protes, tapi Alan segera berucap lagi.

"kamu gak usah menyalahkan papa, karena udah cerita padaku. Saya tahu perjanjian kalian, tapi papa juga tahu kalau persahabatan kita sudah tidak seperti dulu."

"karena itu papa memaksa saya untuk kembali menjalin persahabatan dengan kamu, Nik. Tapi saya selalu menolak, karena saya merasa sudah tidak nyaman saat bersama kamu."

"hingga akhirnya papa pun menceritakan semuanya. Beliau menceritakan hal tersebut, hanya supaya saya tidak lagi menjaga jarak dari kamu. Agar saya bisa selalu berteman dengan kamu, Nik." cerita Alan panjang lebar.

"hanya saja saya tidak habis pikir, kalau kamu akan melakukan hal tersebut.." lanjutnya pelan.

"kita sudah bersahabat sejak kecil, Lan. Kamu juga sudah sangat baik padaku selama ini. Jadi sudah sewajarnya aku melakukan hal tersebut.." balasku akhirnya.

"tapi bagiku itu tetap bukan sesuatu yang wajar, Nik. Bagiku itu berlebihan untuk alasan sebuah persahabatan. Aku tahu, kamu melakukan itu semua, hanya karena kamu ingin membuktikan bahwa kamu benar-benar mencintaiku.." ucap Alan tajam.

Aku terkesima. Aku melakukan hal itu memang karena aku sangat mencintai Alan.

Tapi apa itu salah?

Apa aku salah berkorban untuk orang yang aku cintai?

"dengan melakukan semua itu, kamu justru membuatku menjadi bingung, Nik. Aku tak mungkin bisa mencintaimu, seperti yang kamu harapkan, tapi aku juga bukan orang yang tidak tahu terima kasih.." Alan berujar lagi, suaranya sedikit serak.

"sejujurnya aku melakukannya memang karena aku mencintai kamu, Lan. Tapi bukan berarti aku berharap kamu bisa membalas cintaku. Aku juga tidak ingin kamu tahu. Aku hanya mencoba melakukan sesuatu untuk orang yang aku sayangi dan untuk sahabatku sendiri. Apa itu salah?" suaraku bergetar, menahan perasaanku sendiri.

"gak. Kamu gak salah. Apa yang kamu lakukan juga tidak salah. Hanya saja kamu melakukannya untuk orang yang salah. Aku bukanlah orang yang tepat untuk menerima semua pengorbananmu itu, Nik." suara Alan semakin serak.

"hanya orang bodoh yang rela mengorbankan ginjalnya untuk orang yang egois seperti saya, Nik..." lanjutnya semakin serak, kulihat matanya mulai berkaca.

"aku memang bodoh, Lan. Aku memang bodoh karena terlalu mencintai kamu. Tapi aku bahagia dengan semua itu, Lan. Aku bahagia bisa melihat kamu pulih kembali. Dan bagiku apa yang aku lakukan tersebut, belum sebanding dengan besarnya rasa cintaku padamu.." suaraku ikut terdengar serak, mataku pun ikut berkaca.

"tapi apa yang bisa kamu dapatkan dari semua pengorbananmu itu, Nik. Aku bahkan tetap tak bisa mencintai kamu.." ucap Alan.

"kebahagiaan, Lan. Sebuah kebahagiaan yang hanya aku yang bisa merasakannya. Aku tak peduli betapa sakitnya tak bisa memiliki orang yang aku cintai. Tapi semua rasa sakit itu akan musnah ketika melihat orang yang aku cintai tersenyum bahagia. Meski aku sadar senyumnya itu bukan untukku dan bukan karena-ku.." aku berucap pelan, bak seorang penyair kesepian.

"dan hal itulah yang membuat aku semakin merasa bersalah, Nik. Aku tetap tak bisa mencintai kamu seperti kamu mencintaiku. Tapi aku juga tidak akan pernah sanggup melihat kamu terluka karena aku." balas Alan lagi.

"aku menyayangi kamu sebagai sahabat, Nik. Aku juga sangat menghargai segala pengorbanan kamu. Tapi aku tidak bisa mencintai kamu..." lanjutnya.

"kamu tak perlu mencintaiku, Lan. Kamu tak perlu melakukannya. Kamu hanya harus bahagia, Lan. Dan hal itulah yang membuatku juga bahagia.." aku membalas, suaraku lirih.

"tapi bagaimana aku bisa bahagia, sementara aku tahu bahwa cintamu terlalu besar untukku, Nik." ucap Alan lagi.

"jadi sekarang kamu inginnya bagaimana, Lan? sekarang justru aku yang jadi bingung.." keluhku kemudian.

"aku ingin kita bersahabat lagi seperti dulu, Nik. Dan aku akan pelan-pelan belajar untuk mencintai kamu..." balas Alan.

"kamu tak perlu melakukan itu, Lan. Kamu tak harus melakukannya, hanya karena kamu merasa berhutang budi padaku.." timpalku cepat.

"aku bukan hanya berhutang budi padamu, Nik. Tapi kita memang sudah bersahabat sejak lama. Aku ingin kita tetap terus bersahabat seperti dulu, dan biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.." ujar Alan, sambil ia merangkul pundakku.

****

Sejak saat itu, aku dan Alan dekat kembali. Persahabatan kami yang sempat terputus, kini kembali terjalin.

Aku tahu, butuh waktu bertahun-tahun untuk Alan bisa mencintaiku. Atau bahkan ia tidak akan pernah bisa mencintaiku. Aku juga tidak peduli dengan hal itu saat ini. Yang penting bagiku, aku bisa selalu bersama Alan. Menghabiskan waktu berdua dengannya.

Aku bahagia, bisa melewati hari-hari bersama Alan lagi. Meski tetap saja hanya sebatas hubungan persahabatan.

Aku hanya berharap, meski apa pun yang akan terjadi nanti, semoga aku tetap bisa terus bersama Alan.

Terlepas hanya sebagai sahabat atau bukan, Alan adalah hal terindah yang pernah hadir dalam perjalanan hidupku.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate