Guru les private-ku

Namaku Andri Marto Saputra. Biasa dipanggil Aan.

Sekarang aku masih duduk di kelas 12. Aku sekolah di sebuah sekolah negeri yang cukup populer di kota tempat aku tinggal.

Sekolah tersebut termasuk salah satu sekolah favorit. Untuk bisa masuk kesitu, setidaknya kita harus punya nilai yang tinggi dan prestasi yang menonjol.

Sang penuai mimpi

 

Atau seperti saya, bisa masuk kesana, karena kebetulan kepala sekolahnya merupakan sahabat lama papaku.

Aku tidak pintar dan tidak juga punya prestasi yang menonjol. Namun papaku merupakan salah seorang yang cukup berpengaruh di kota.

Jadi aku masuk sekolah tersebut, bukan karena lulus tes. Tapi karena papaku yang berusaha keras agar aku bisa diterima disana, meski daya otakku hanya pas-pasan.

Dari tahun pertama sampai tahun kedua, aku selalu rangking terakhir di kelasku. Meski aku sudah berusaha untuk belajar melebihi kemampuanku.

Hingga pada tahun terakhir ini, papa akhirnya mendatangkan seorang guru les pribadi untukku.

"papa ingin kamu jadi anak yang pintar, An." begitu ucap papa, ketika aku coba protes.

Dan aku dengan sangat terpaksa harus menerima tambahan belajar di rumah, yang membuatku jadi hampir tidak punya waktu untuk bermain.

Aku diharuskan les private setiap tiga kali seminggu, yakni setiap sore selasa, kamis dan sabtu.

Meski dengan ogah-ogahan awalnya, aku mencoba menuruti keinginan papa dan mama.

Namun ketika hari pertama guru les private-ku datang, aku cukup terkesan.

Ya, karena ternyata guru les ku tersebut, adalah seorang laki-laki muda yang sangat tampan dan terlihat atletis.

"Asrul.." begitu guru les tersebut menyebut namanya ketika kami berkenalan.

"Andri, pak.." balasku sambil tersenyum.

"panggil bang Asrul aja, ya. Saya masih 27 tahun, kok." guru tersebut berucap lagi.

Bang Asrul memang masih kelihatan muda. Wajahnya bersih terawat. Tubuhnya tegap dan kekar.

Terus terang aku mulai menyukai bang Asrul, setidaknya secara fisik dia sangat menarik.

"bang Asrul udah nikah?" tanyaku, di sela-sela pembelajaran kami.

"baru sekitar enam bulan yang lalu saya menikah, sekarang istri saya sedang hamil muda.." jelas bang Asrul.

"jadi selain ngajar les seperti ini, bang Asrul kerja apa?" aku bertanya lagi.

"saya seorang guru di sebuah sekolah swasta.." jawab bang Asrul.

Dan aku terkesan. Sosok bang Asrul mulai memenuhi dunia khayalku.

Aku mulai berimajinasi tentang bang Asrul. Dia benar-benar telah menyita perhatianku.

Hari-hari selanjutnya aku jadi semakin semangat mengikuti les bersama bang Asrul.

Bukan karena aku menyukai pelajaran yang diberikannya, tapi karena aku merasa bahagia bisa dekat-dekat dengan bang Asrul.

Menatap wajahnya yang tampan, tubuhnya yang kekar dan mendengar suaranya yang maskulin.

Oh, aku jatuh cinta pada bang Asrul. Dan aku merasa bahagia dengan semua itu.

Namun aku menyadari, bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Biar bagaimana pun, bang Asrul jelas seorang laki-laki normal. Dia sudah menikah dan akan segera punya anak.

Karena itu aku hanya bisa memendam perasaanku, setidaknya sampai aku punya kesempatan dan keberanian untuk mengungkapkannya.

******

Papa dan mama merupakan orang yang super sibuk, mereka lebih sering menghabiskan waktu di luar untuk bekerja, dari pada berada di rumah.

Papa dan mama pulang selalu hampir larut malam.

Aku di rumah hanya ditemani beberapa orang pembantu.

Ketika bang Asrul datang untuk memberi les padaku, aku sengaja mengajaknya belajar di kamar.

Setidaknya dengan begitu, aku merasa lebih leluasa menikmati indahnya pemandangan wajah tampan bang Asrul.

"kamu kanapa sering menatap saya seperti itu?" tanya bang Asrul suatu sore, ketika ia mengakhiri pembelajarannya.

"bang Asrul sangat tampan.." ucapku tanpa sadar. Aku kemudian buru-buru menunduk, karena merasa malu sudah keceplosan berbicara.

"kalau saya tampan, emang kenapa?" bang Asrul bertanya, nada suaranya seakan memancing kejujuranku.

"saya jadi suka sama bang Asrul.." jawabku cukup nekat. Aku sudah terlanjur mengungkapkan kekagumanku kepada bang Asrul, mungkin sudah saatnya aku untuk jujur tentang perasaanku.

"maksudnya?" tanya bang Asrul, keningnya berkerut.

Saya beranikan diri untuk menatap kembali wajah tampan itu.

"saya.. saya mungkin sudah jatuh cinta pada bang Asrul.." ucapku terbata.

"kamu jatuh cinta sama saya?! Kok bisa?!" suara bang Asrul sedikit meninggi.

"saya juga gak tahu kenapa saya bisa jatuh cinta pada bang Asrul. Namun yang pasti hal itulah yang saya rasakan saat ini.." jawabku semakin berani.

"kamu gay?" bang Asrul bertanya lagi.

"mungkin, bang. Dulu ketika SMP saya juga jatuh cinta sama salah seorang guru laki-laki saya. Tapi saya hanya bisa memendamnya. Dan ketika pertama kali saya melihat bang Asrul, saya kembali merasakan perasaan itu.." ceritaku.

"tapi saya belum pernah pacaran loh, bang. Apa lagi sama laki-laki. Jika jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa disebut sebagai gay. Maka iya, saya gay, bang.." lanjutku, dengan suara sedikit bergetar.

"ini gak boleh terjadi, An. Kamu gak boleh jatuh cinta sama saya. Itu sebuah kesalahan.." ucap bang Asrul pelan.

"iya. Saya tahu, bang. Tapi ini sudah terjadi, dan saya tidak bisa menghindarinya.." balas saya lebih pelan.

Kali ini bang Asrul terdiam.

Kemudian ia segera membenahi buku-bukunya, lalu kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

*****

"saya punya penawaran buat kamu, An." ucap bang Asrul, ketika akhirnya ia datang lagi untuk memberiku les, setelah dua kali pertemuan ia tak datang, sejak aku mengungkapkan perasaanku padanya.

"penawaran apa?" tanyaku tanpa semangat.

Sejujurnya sejak kepergian bang Asrul dan ketidakdatangannya selama dua kali pertemuan, membuatku kehilangan gairah.

Aku merasa patah dan kecewa.

"saya akan memberi kamu kesempatan untuk menjalin hubungan denganku, namun ada syarat yang harus kamu penuhi.." bang Asrul berucap kembali.

"syarat? syarat apa?" tanyaku penasaran.

"jika pada ujian semester ini, kamu bisa masuk lima besar, saya bersedia jadi pacar kamu.." suara bang Asrul terdengar cukup tegas.

"lima besar? ya jelas gak bisa lah, bang. Selama ini saya selalu rangking terakhir loh.." balasku cepat.

"makanya kamu belajar lebih giat lagi, An. Dan lagi pula kamu serius kan suka sama saya?" ucap bang Asrul.

"iya. Saya serius, bang. Tapi syaratnya terlalu berat, saya pasti gak bisa.." jawabku.

"terserah kamu, sih. Kalau kamu memang benar-benar menginginkan saya, kamu harus bisa membuktikannya.." bang Asrul berucap tegas lagi.

Aku merenung sejenak. Memikirkan tawaran dari bang Asrul.

Terus terang aku memang sangat mencintai bang Asrul dan sangat berharap bisa berpacaran dengannya.

Tapi untuk bisa memenuhi syarat yang di berikannya, jelas hal terasa sangat mustahil bagiku.

"gak ada yang gak mungkin, An. Asal kamu percaya dan mau berusaha lebih keras lagi, kamu pasti bisa, kok.." suara bang Asrul mengagetkanku, ia seolah-olah bisa membaca jalan pikiranku.

Aku menarik napas berat seketika. Mungkin bang Asrul, aku memang harus berusaha lebih keras lagi.

Setidaknya dengan begitu, aku sudah berusaha untuk membuktikan kepada bang Asrul, bahwa betapa aku sangat menginginkannya.

"jadi gimana? Kamu bersedia kan, menerima tawaran dari saya?" suara bang Asrul terdengar lagi.

"kalau memang itu sudah menjadi syarat dari bang Asrul, saya akan berusaha semampu saya, bang. Tapi tentu saja, saya juga ingin bang Asrul lebih rutin lagi memberi saya les." jawabku ringan.

"iya, An. Saya juga akan berusaha untuk memberikan yang terbaik buat kamu.." ucap bang Asrul.

****

Sejak perjanjian tersebut, aku jadi semakin sering menghabiskan waktu untuk belajar. Aku harus bisa membuktikan kepada bang Asrul, kalau aku benar-benar mencintainya.

Aku jadi semakin fokus pada setiap pelajaran yang diberikan oleh bang Asrul. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bang Asrul terlalu tampan, terlalu gagah. Aku terlalu mencintainya. Ia terlalu sempurna untuk tidak dimiliki.

"jika saysa nantinya bisa memenuhi syarat dari bang Asrul, bang Asrul yakin bisa menyukai saya, karena setahu saya bang Asrul kan bukan seorang gay?" tanyaku suatu sore, di sela-sela les kami.

"kamu tenang aja. Saya bukan orang yang suka ingkar janji. Kamu fokus aja belajar, dan buktikan pada saya hal tersebut." balas bang Asrul.

Hasil-hasil dari ulangan harian saya, sebenarnya sudah mulai meningkat. Tapi tentu saja, aku masih harus belajar lebih giat lagi, untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Kadang ada rasa ingin menyerah, namun setiap kali membayangkan wajah tampan bang Asrul, segala rasa lelah dan perasaan ingin menyerah tersebut segera kutepis.

Aku harus bisa mendapatkan bang Asrul, meski aku harus mengorbankan waktu bermainku.

Papa dan mama juga mulai terlihat bangga melihat semangat belajarku.

Bang Asrul juga selalu memberikan support yang lebih padaku.

Aku tak tahu pasti, kenapa bang Asrul begitu ingin aku bisa memenuhi syarat darinya.

Jika ia tak menyukaiku, seharusnya ia justru melakukan hal sebaliknya.

Tapi untuk saat ini, aku tak perlu memikirkan hal tersebut. Aku harus fokus belajar.

*****

Berbulan-bulan berlalu, hingga akhirnya masa ujian semester pun tiba.

Tak seperti biasanya, kali ini aku menghadapi ujian semester dengan perasaan campur aduk dan hati yang berdebar-debar hebat.

Ada banyak hal yang harus aku perjuangkan disini.

Pertama, aku harus bisa membuktikan kepada papa dan mama bahwa aku juga bisa berprestasi.

Kedua, aku juga tidak ingin waktu yang telah aku habiskan hanya untuk belajar menjadi sia-sia, jika hasilnya tidak memuaskan.

Dan yang paling terpenting, ini adalah kesempatanku untuk bisa memiliki bang Asrul, guru les private-ku yang tampan tersebut.

Ujian pun berakhir, tibalah saatnya untuk pembagian hasil nilai raport semester ini.

Dadaku bergemuruh saat membuka isi raport tersebut.

Untuk peringkat satu, dua dan tiga sudah pasti bukan saya, karena sudah diumumkan di depan kelas tadi.

Sekarang hanya tersisa dua peringkat yang aku harapkan, yakni peringkat empat atau peringkat lima.

Dan aku kecewa, karena ternyata aku hanya berhasil berada diperingkat sembilan.

Meski sebenarnya itu jauh lebih baik dari hasil-hasil ujianku di tahun-tahun sebelumnya. Namun itu belum memenuhi syarat untuk aku bisa memiliki bang Asrul.

"selamat ya, nak. Mama dan papa bangga sama kamu. Gak sia-sia kamu menghabiskan waktu untuk belajar selama ini.." suara mama, dengan nada bangganya.

Tapi aku tidak memperlihatkan raut kebanggaan sedikitpun. Meski hasilnya cukup memuaskan, namun tidak cukup untuk membuktikan pada bang Asrul akan betapa besarnya cintaku padanya.

"kamu gak perlu merasa kecewa seperti itu.." ucap bang Asrul, ketika kami bertemu di sebuah kafe.

Aku memang sengaja mengundang bang Asrul untuk makan, sebagai bentuk ucapan terima kasihku padanya.

"tapi aku sudah berusaha dengan keras, bang. Dan bukan berarti juga, cintaku pada abang tidak cukup besar." ucapku terdengar lemah.

"iya, aku tahu. Kamu sudah berusaha, An. Karena itu juga, aku ingin memberi kamu kesempatan." balas bang Asrul.

"kesempatan? Kesempatan apa, bang?" tanyaku penasaran.

"jika kamu memang ingin memiliki saya, saya bersedia, kok. Tapi hanya untuk satu kali saja, ya. Setelah itu, kamu harus belajar melupakanku." ucap bang Asrul ringan.

"maksudnya, bang?" tanyaku lagi.

"kamu pasti penasaran kan sama saya? Karena itu, saya bersedia untuk tidur satu malam saja bersama kamu. Namun setelah itu, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi."

"saya bersedia melakukan hal tersebut, bukan karena saya suka sama kamu, An. Tapi ini bentuk penghargaan saya atas perjuangan kamu selama ini." jelas bang Asrul.

Saya merenung sejenak. Memikirkan tawaran bang Asrul.

Bukan itu yang saya inginkan sebenarnya. Saya ingin bang Asrul benar-benar menjadi pacar saya selamanya, bukan hanya untuk satu malam.

Tapi, jika bang Asrul bersedia seperti itu, aku rasa tidak ada salahnya aku mencoba. Setidaknya aku bisa merasakan kehangatan dari orang yang aku cintai, meski ia tak mencintaiku.

"ok, bang. Saya setuju.." ucapku akhirnya.

Dan kami pun sepakat untuk membuat janji bertemu di sebuah hotel pada malam berikutnya.

****

"sebelum kita melakukannya, ada satu hal yang ingin aku ceritakan sama kamu, An." ucap bang Asrul, ketika keesokan malamnya, kami akhirnya bertemu di sebuah kamar hotel.

"cerita apa, bang?" tanyaku pelan.

"sebenarnya, ketika saya memberi syarat supaya kamu bisa meraih lima besar waktu itu, saya juga punya tanggungjawab besar kepada papa kamu, An."

"ketika kamu mengungkapkan perasaanmu padaku waktu itu, sebenarnya aku kemudian mengajukan pengunduran diri pada papamu, An. Meski aku tidak mengatakan alasan ku yang sebenarnya."

"karena itu aku tidak datang selama dua kali pertemuan. Namun papamu terus mendesak agar aku tetap mengajarkan les sama kamu."

"beliau juga tidak bersedia membayarku, jika aku berhenti saat itu. Karena itu, aku akhirnya kembali memberi les untuk kamu."

"lalu kemudian papa kamu, memberi tantangan untukku, yang aku sendiri tidak yakin bisa memenuhinya."

bang Asrul menarik napas cukup panjang, sambil ia menatapku tajam.

"tantangan apa, bang?" tanyaku tiba-tiba.

"jika saya berhasil membuat kamu meraih sekurang-kurangnya sepuluh besar, maka beliau akan membayarku dua kali lipat. Namun jika aku gagal, maka beliau tidak akan membayarku sepeser pun." jelas bang Asrul lagi.

Aku cukup kaget mendengar semua cerita bang Asrul barusan. Meski aku juga tidak begitu paham akan semua hal tersebut.

"jadi sebenarnya kita saling bantu, An. Saya bantu kamu untuk belajar, dan kamu bantu saya untuk membuktikan kepada papa kamu, kalau saya berhasil membuat kamu lebih baik." ucap bang Asrul kembali.

"dan karena itu juga, malam ini aku bersedia tidur sama kamu. Sebagai bentuk ucapan terima kasih sekaligus penghargaan buat keberhasilan kamu bisa masuk sepuluh besar.." lanjutnya.

"jadi bang Asrul, benar-benar tidak punya perasaan apa-apa padaku?" tanyaku penasaran.

"terus terang aku salut dengan perjuangan kamu, An. Tapi itu belum bisa membuatku jatuh cinta padamu. Apa lagi aku sudah menikah dan juga sudah punya anak."

"jadi setelah malam ini, saya harap kamu bisa belajar untuk melupakanku. Saya yakin kamu bisa, kok. Seperti kamu bisa meningkatkan hasil belajarmu, dari rangking terakhir menjadi rangking sembilan."

kalimat bang Asrul benar-benar membuatku terpuruk.

Aku bisa saja setuju dengan permintaan bang Asrul, untuk tidur dengannya malam ini, lalu kemudian belajar untuk melupakannya.

Namun sekali lagi, bukan itu yang aku inginkan.

Aku tidak ingin melakukannya, jika bang Asrul hanya terpaksa.

Aku memang mencintai bang Asrul, dan aku ingin ia juga mencintaiku.

Namun jika ia melakukan semua ini hanya karena terpaksa, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya.

Aku memang penasaran, seperti apa rasanya semua itu. Tapi aku tidak ingin melakukannya, dengan orang yang tidak menginginkannya sepertiku. Apa lagi ini adalah pertama kalinya dalam hidupku.

Aku ingin hal pertama tersebut, aku lakukan dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku.

"maaf, bang Asrul. Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku ingin pengalaman pertamaku dengan orang yang juga mencintaiku. Jika bang Asrul tidak menginginkan ku, aku tidak bisa melanjutkan ini.." ucapku akhirnya.

Setelah berkata demikian, aku segera bangkit lalu melangkah untuk segera keluar dari kamar tersebut.

"bang Asrul gak usah khawatir, aku akan belajar melupakan abang.." ucapku lagi, sambil mulai melangkah keluar.

Aku sadar, mungkin keputusanku ini salah. Aku seharusnya tetap mencoba hal tersebut.

Tapi aku takut, jika aku tetap nekat melakukannya, aku justru semakin tidak bisa melupakan bang Asrul.

Jadi lebih baik, aku tidak pernah merasakannya sama sekali, dari pada harus membuatku semakin terluka parah.

Semoga saja kelak suatu saat, aku bisa bertemu dengan orang yang juga mencintaiku.

Ya, semoga saja....

****

Sekian ...

Sang nelayan...

Namaku Angga. Saat ini usia ku sudah dua puluh enam tahun lebih.

Aku bekerja di sebuah perusahaan, sebagai salah seorang karyawan swasta, sudah hampir dua tahun.

Aku belum menikah, dan belum punya rencana juga untuk segera menikah. Meski secara ekonomi kehidupanku sudah lumayan mapan.

Sang nelayan

 

Aku anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakak pertama laki-laki, sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Sedangkan adik bungsuku juga seorang laki-laki dan masih kuliah.

Mamaku sudah lama meninggal, saat aku masih berusia belasan tahun. Sedangkan papa baru dua tahun yang lalu menyusul mama.

Aku tinggal berdua dengan adik bungsuku di rumah. Meski sebenarnya kami lebih jarang berada di rumah.

Sebagai laki-laki yang masih lajang, kami memang lebih sering menghabiskan waktu di luar.

Rumah peninggalan orangtua kami memang cukup luas, untuk kami tempati berdua. Sementara kakak sulungku, sudah tinggal di rumah mereka sendiri.

Kehidupanku sebenarnya biasa-biasa aja. Tidak ada hal istimewa yang bisa aku ceritakan.

Hidupku terlalu mudah. Kadang aku merasa hambar dengan hidupku.

Terlalu datar. Tidak pernah ada tantangan yang berarti.

Semua yang terjadi dalam perjalana hidupku, benar-benar biasa.

Aku lahir, tumbuh, sekolah, kuliah dan kemudian mendapatkan pekerjaan dengan mudah.

Dan berbicara tentang pacaran, aku belum pernah pacaran sama sekali.

Tapi aku pernah beberapa kali jatuh cinta, hanya saja aku selama ini selalu jatuh cinta kepada orang yang salah. Karena itu aku tidak pernah berani mengungkapkannya apa lagi mewujudkannya.

Segala rasa cintaku hanya bisa aku pendam, tanpa mampu aku ungkapkan.

Aku hanya bisa berimajinasi tentang sebuah hubungan dengan orang yang aku cintai.

Sebagian besar hidupku, lebih sering aku habiskan di dunia khayalku.

Tapi itulah aku, dan aku tidak merasa menyesal terlahir seperti ini. Setidaknya ada begitu banyak hal yang masih bisa aku syukuri dalam hidupku.

Aku tidak punya banyak teman, kecuali teman-teman kerja yang hanya bertemu ketika jam kerja.

Selebihnya aku lebih sering menghabiskan waktu sendiri, menikmati indahnya dunia khayalku.

*****

Untuk mengisi kekosongan hari-hariku, terutama saat hari libur, aku punya sebuah hobi yang aku lakoni sejak kecil.

Yakni memancing. Bukan memancing keributan, ya...

Memancing seperti sebuah hobi keturunan bagiku. Karena sejak kecil aku paling sering diajak papa untuk ikut dengannya pergi memancing.

Hal itu terus berlanjut hingga aku dewasa dan papa akhirnya pun meninggal.

Sejak papa meninggal, aku tetap menjalankan hobiku tersebut. Hanya saja, aku selalu pergi sendirian.

Jarak desa tempat aku memancing, dengan kota tempat aku tinggal hanya lebih kurang 60 km. Atau sekitar satu jam perjalanan naik mobil.

Setiap minggu aku selalu rutin pergi memancing. Hingga aku punya langganan sendiri untuk menyewa pompong di desa tersebut.

Oh, ya. Bagi yang belum tahu, pompong itu adalah sejenis kendaraan air yang digunakan oleh masyarakat desa untuk trasportasi mereka di sungai.

Pompong adalah sejenis kapal kecil, yang menggunakan mesin diesel. Pompong terbuat dari kayu yang diolah sendiri oleh masyarakat desa.

Pompong memiliki rumah di bagian atasnya, untuk tempat berteduh.

Biasanya pompong bermuatan untuk empat atau lima orang.

Tapi karena aku yang lebih suka pergi memancing sendiri, aku hanya berdua dengan supir pompong tersebut untuk pergi memancing di sepanjang sungai.

Biasanya pompong tersebut di sewa oleh para pemancing dari kota, beserta sopirnya.

Karena sudah teramat sering datang ke desa tersebut untuk memancing, aku punya sebuah pompong langganan setiap minggunya.

Pemilik sekaligus sopir pompong tersebut sudah sangat kenal denganku, bahkan juga dengan almarhum papa.

Pemilik pompong tersebut memang sudah cukup tua, tapi beliau masih kelihatan sehat dan bugar.

Sebagian besar penduduk di desa tersebut memang bekerja sebagai nelayan di sungai.

*****

Pada suatu minggu, seperti biasa aku berniat untuk pergi memancing sendiri.

Namun kali ini aku tidak pergi dengan bapak pemilik pompong yang biasa aku sewa.

Karena pada saat itu, beliau sedang berada di rumah sakit, untuk menemani istrinya berobat.

Untuk menggantinya membawa pompong tersebut, beliau sengaja meminta seorang pemuda yang masih merupakan keluarganya, untuk menemaniku memancing.

Pemuda tersebut berperawakan sedang, denga kulit sawo matangnya.

"Dani, bang." begitu pemuda tersebut menyebut namanya, ketika kami berkenalan.

"Angga.." jawabku ringan.

Dani memiliki belahan tipis di dagunya, yang membuat ia jadi manis dilihat.

Tubuhnya cukup kurus tapi sangat berotot, terlihat kekar.

Dani kalau kuperkirakan, baru berusia 20 tahun.

"kamu masih kuliah?" tanyaku berbasi-basi, ketika akhirnya pompong tersebut berlabuh di pinggiran sungai tempat biasa aku memancing.

"saya gak kuliah, bang." jawab Dani datar.

"oh.." ucapku manggut-manggut, sambil mulai mengeluarkan peralatan mancingku.

"jadi kegiatan kamu sehari-hari apa?" tanyaku lagi.

"ya, seperti kebanyakan penduduk disini, bang. Cari ikan di sungai, atau sekali-kali bawa orang mancing seperti ini.." jelas Dani.

Aku mulai memasang pancingku. Suasana sungai pagi itu cukup sunyi.

Biasanya memang seperti itu. Karena kami pergi memancing agak sedikit jauh dari pemukiman penduduk.

Dengan menggunakan pompong, kami para pemancing memang bisa pergi sejauh yang kami inginkan sepanjang sungai tersebut.

Dalam satu hari, kami biasanya berpindah-pindah untuk mencari lubuk ikan yang banyak.

Disepanjang aliran sungai tersebut, masih dikelilingi hutang belantara di pinggiran sungainya.

Penduduk di desa tersebut sangat jarang berlalu lalang di sungai, apa bila sudah terlalu jauh dari perkampungan.

Biasanya para penduduk yang bekerja mencari ikan, lebih sering berada di anak-anak sungai.

Dani terlihat santai berbaring di bagian dalam pompong, sambil menungguku memancing.

Di dalam pompong juga tersedia peralatan memasak, seperti kompor, kuali dan peralatan lainnya.

Namun biasanya, aku lebih memilih membawa nasi yang aku beli di rumah makan terdekat.

"bang Angga mau saya bikinin kopi?" tanya Dani tiba-tiba, ia sudah duduk di belakangku.

"boleh, kalau kamu gak keberatan, sih.." jawabku ringan.

Dani bersegera untuk membuat kopi untuk kami berdua. Biasanya si pemilik pompong juga melakukan hal tersebut, setiap kali aku pergi memancing dengannya.

Itu memang sudah menjadi salah satu tugas dari mereka, untuk melayani kami para pemancing, selagi masih dalam batas kewajaran.

"kamu gak suka mancing?" tanyaku berbasa-basi lagi, setelah Dani menyediakan secangkir kopi di sampingku.

"gak terlalu suka, bang. Kalau kami kan sudah hampir setiap hari, berususan dengan ikan. Meski kami menangkapnya dengan cara yang berbeda.." jawab Dani lugas.

"kamu udah nikah?" aku bertanya lagi, sekedar menghilangkan kejenuhanku, karena ikan agak jarang makan pagi itu.

"belumlah, bang. Kan masih 20 tahun. Bang Angga sendiri udah nikah?" balas Dani bertanya balik.

"belum." jawabku singkat.

"kenapa? bang Angga kayaknya udah cukup mapan untuk berumah tangga." balas Dani lagi.

"bukan kenapa-kenapa, sih. Memang lagi belum kepengen aja..." aku menjawab pelan.

"emang bang Angga udah berapa usianya?" tanya Dani.

"saya udah 26 tahun.." jawabku.

Suasana kembali hening, aku sedikit menyibukkan diriku dengan mengangkat pancing dan mengganti umpannya.

"mau pindah, bang?" Dani bertanya, melihat aku belum mendapatkan satu ekor ikan pun.

"gak usah. Di sini aja. Memancing itu memang butuh kesabaran lebih.." jawabku ringan.

"sama seperti halnya hidup ini ya, bang. Butuh kesabaran.." ucap Dani, yang membuatku meliriknya.

"emang hidup kamu seperti apa?" tanyaku.

"yah, beginilah, bang. Saya harus bekerja keras, agar tetap bisa bertahan hidup." suara Dani pelan.

"orang tua kamu gimana?" aku bertanya lagi, aku mulai penasaran dengan Dani.

"Ayahku sudah meninggal, sejak aku masih kecil. Aku dan kedua adikku, dibesarkan oleh ibuku sendirian. Karena itu juga, aku hanya bisa sekolah hingga lulus SMP."

"setelah lulus SMP, aku sudah mulai bekerja sebagai nelayan.." suara Dani masih pelan.

Tiba-tiba aku merasa tersentuh dengan cerita kehidupan Dani. Hidupnya jauh lebih berantakan dari yang aku jalani.

"sekarang saya harus bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk biaya berobat Ibuku." Dani melanjutkan.

"emangnya Ibu kamu sakit apa?" tanyaku benar-benar ingin tahu.

"gagal ginjal, bang. Ia harus menjalani cuci darah, setidaknya sekali dalam seminggu. Sementara penghasilanku sebagai nelayan hanya pas-pasan."

"selain itu, kedua adikku masih butuh biaya banyak untuk sekolah.." jawab Dani, dengan nada terdengar lemah.

Aku tersentuh kembali mendengarnya. Di usianya yang masih cukup muda, Dani sudah harus menanggung beban seberat itu.

*****

Terus terang, aku terkesan dengan Dani. Bukan saja karena cerita hidupnya yang pilu, tapi juga karena sejujurnya Dani cukup menarik secara fisik. Dan hatinya juga lembut.

Aku mulai berpikir untuk bisa membantu Dani. Setidaknya dengan begitu, aku jadi punya tujuan.

Hanya saja, aku agak ragu menawarkan bantuan kepada Dani. Aku takut ia tersinggung.

"saya akan melakukan apa pun, bang. Asal Ibu bisa sembuh." cerita Dani lagi.

"kata dokter, Ibu bisa sembuh, jika ia segera dioperasi. Namun biaya untuk operasi sangat besar. Aku tak sanggup membayarnya." lanjut Dani.

Aku terdiam, sambil terus memikirkan cara paling tepat untuk menawarkan bantuan kepada Dani.

"saya punya penawaran buat kamu, Dan." ucapku akhirnya.

"penawaran apa, bang?" tanya Dani, keningnya berkerut penuh tanya.

"tapi kamu jangan tersinggung, ya.." balasku.

Dani hanya mengangguk. Sepertinya ia memang benar-benar ingin tahu.

"aku... aku.. aku ingin membantu kamu, Dan. Aku ingin menawarkan pinjaman tanpa bunga sama kamu, untuk biaya operasi ibu kamu. Kebetulan saya masih punya banyak tabungan." ucapku sedikit ragu.

"gak usah, bang. Saya cerita ini, bukan untuk dikasihani. Tapi saya cerita hanya sekedar, untuk meluahkan perasaan saya.." ucap Dani pelan.

Seperti yang aku duga, tidak mudah menawarkan bantuan kepada orang seperti Dani.

"ini bukan karena aku kasihan sama kamu, Dan. Saya hanya coba membantu kamu, karena menurut saya, saya mampu. Kamu gak perlu merasa sungkan. Saya tulus, kok. Kamu bisa membayarnya dengan di cicil, Dan..." ucapku lagi, dengan sedikit penuh harap.

Kali ini Dani terdiam. Aku yakin, Dani sangat membutuhkan bantuan. Namun karena kami yang baru saja saling kenal, tentu saja Dani masih merasa ragu.

"saya setiap minggu pasti datang kesini, Dan. Jadi kamu usah khawatir. Lagi pula, kamu bisa menyicilnya seberapa pun kamu mampu, setiap minggunya atau bahkan sebulan sekali juga gak apa-apa.." jelasku lagi, mencoba meyakinkan Dani.

Dani masih terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"kenapa bang Angga tiba-tiba ingin membantu saya? Padahal kita baru saja saling kenal. Dan kenapa bang Angga bisa percaya sama saya, dengan meminjamkan uang sebanyak itu?" Dani bertanya juga akhirnya.

"saya juga seorang yatim, Dan. Seorang yatim piatu malah. Meski saya baru kehilangan orangtuaku ketika saya sudah besar, tapi saya tahu persis bagaimana rasanya hidup tanpa orangtua.." balasku dengan nada lirih.

"dan lagi pula tabungan saya juga belum ingin saya gunakan untuk apa-apa. Jadi lebih baik saya gunakan untuk membantu orang yang membutuhkan." lanjutku.

****

"makasih ya, bang Angga.." pelan suara Dani.

"bang Angga sudah sangat membantu saya. Sekarang Ibu sudah selesai di operasi, dan sudah bisa kembali ke rumah. Beliau juga tidak perlu lagi melakukan cuci darah. Setidaknya itu sudah cukup mengurangi biaya hidup kami.." Dani melanjutkan.

Kali ini kami bercerita, di dalam pompong seperti biasa.

Sejak Dani akhirnya memutuskan menerima tawaran pinjaman uang dariku, sebulan yang lalu, aku memang semakin sering pergi memancing bersama Dani.

Bahkan ketika bukan hari libur pun, saya masih menyempatkan diri untuk pergi memancing.

Ya, harus saya akui, Dani telah mampu menyita perhatianku.

Aku mulai menyukai sosoknya. Aku diam-diam mulai mengagumi Dani. Bunga-bunga cinta mulai tumbuh perlahan di hatiku.

Tapi hingga saat ini, aku hanya mampu memendamnya. Membayangkan wajah manis Dani hampir setiap malam. Memimpikannya di setiap tidurku.

"udah.. santai aja, Dan. Selama hal itu bisa membuatmu merasa senang, saya turut senang, kok." ucapku membalas ucapan Dani barusan.

Aku memang terkadang harus berusaha sekuat mungkin, untuk bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya kepada Dani.

"kenapa bang Angga begitu baik padaku, bang?" Dani bertanya lagi.

Aku terdiam. Terus terang aku tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Aku tidak mungkin jujur pada Dani tentang perasaanku. Setidaknya tidak untuk saat ini.

Namun aku juga tidak punya alasan yang kuat, untuk bisa meyakinkan Dani.

"aku... aku... sebenarnya aku suka sama kamu, Dan." ucapku akhirnya.

Dani menatapku setengah tak percaya. Dahinya mengerut.

"apa yang membuat bang Angga begitu menyukai saya. Padahal saya hanya seorang nelayan miskin.." suara Dani terdengar lirih.

"saya juga gak tahu kenapa, Dan. Tapi yang pasti sejak pertama kali melihat kamu, aku mulai tertarik sama kamu." jawabku pelan.

"dimataku kamu begitu manis. Kamu juga terlihat kekar. Dan terlepas dari itu semua, kamu juga punya hati yang lembut.." lanjutku masih terdengar pelan.

"tapi, bang. Aku bukan siapa-siapa, bang. Aku yakin begitu banyak orang yang tertarik pada abang, terutama orang-orang kota. Kenapa abang justru memilih aku?" suara Dani terdengar lemah.

"cinta adalah sesuatu yang rumit, Dan. Kita tidak pernah tahu kapan dan kepada siapa kita akan jatuh cinta. Dan ketika cinta itu tumbuh, kita tidak bisa begitu saja menghindar.." ucapku.

"pertanyaannya adalah, apa kamu juga menyukaiku?" lanjutku bertanya.

Kali ini Dani terdiam. Ia terlihat berpikir keras. Dahinya mengerut dua kali lipat dari biasanya.

"aku gak tahu pasti apa yang aku rasakan terhadap bang Angga. Namun bang Angga begitu baik padaku. Bang Angga juga tampan. Dan terlepas dari itu semua, aku juga merasa nyaman bisa dekat dengan abang.." Dani berucap juga akhirnya.

"aku belum bisa menyimpulkan bahwa apa yang aku rasakan terhadap bang Angga adalah sebuah perasaan cinta. Namun yang pasti, aku tetap bersedia kok, untuk menjalin hubungan cinta dengan bang Angga.." Dani melanjutkan.

Dan aku merasa bahagia mendengarnya. Setidaknya aku punya sedikit harapan, untuk bisa menjalin hubungan dengan Dani, sang nelayan manis tersebut.

*****

Dua bulan berlalu, aku dan Dani sudah sepakat untuk menjalin hubungan asmara.

Setiap malam minggu, aku selalu datang ke desa Dani, dan mengajaknya pergi memancing dengan pompongnya.

Di dalam pompong itulah kami melakukan hubungan intim.

Aku bahagia dengan semua itu, dan sepertinya Dani juga sangat menikmati hubungan kami.

Aku benar-benar tidak menyangka, kalau aku akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya punya pacar.

Aku akhirnya bisa merasakan dicintai oleh orang yang aku cintai. Merasakan indahnya sebuah jalinan asmara.

Hingga hubungan kami terus terjalin sampai saat ini.

Semoga saja hubunganku dengan Dani, bisa terus bertahan selamanya..

Ya, semoga saja...

******

Sekian...

Bersama pak Kades muda nan tampan

"katanya pak Kades itu, orangnya masih muda dan masih lajang.." bisik salah seorang perempuan rekan sesama KKN ku, kepada seorang rekan perempuan yang duduk di sampingnya.

Aku duduk tepat dibelakang mereka berdua.

Pembicaraan dua orang cewek teman KKN ku itu terdengar sayup-sayup di kupingku.

Sang penuai mimpi

 

Beberapa menit kemudian seorang laki-laki gagah masuk ke ruang aula tersebut.

Laki-laki tersebut tersenyum menatap kami semua. Senyum yang sungguh sempurna di mataku.

"perkenalkan nama saya Jaka Putra, saya kepala desa di sini.." suara laki-laki itu lantang dan terdengar sangat maskulin.

Setelah ia duduk di barisan meja depan menghadap kami.

"saya ucapkan selamat datang kepada adik-adik KKN semuanya di desa kami ini, semoga kita bisa bekerja sama ke depannya.." lanjutnya.

Selanjutnya sang Kades mulai menjelaskan beberapa hal kepada dan juga sekaligus memperkenalkan para perangkatnya, yang juga sudah hadir sejak tadi di ruangan aula desa tersebut.

Sepanjang penjelasan pak Kades tersebut, saya memperhatikan pria tampan itu dengan perasaan kagum.

Ya, harus saya akui, kalau pak Jaka, sang kades tersebut, memang sangat tampan.

Hidungnya mancung dengan dagu yang sedikit lancip. Rahangnya kokoh.

Di tambah pula dengan postur tubuhnya yang terlihat atletis dan kekar.

Aku terpesona pada pandangan pertama terhadap sang kades.

Hingga akhirnya sesi perkenalan tersebut berakhir. Kemudian kami diantar oleh salah seorang staff kantor menuju rumah tempat kami tinggal selama KKN.

Rumah tersebut ternyata bersebelahan dengan rumah kediaman pak kades.

Rumah tempat kami tinggal merupakan rumah salah seorang warga, yang ditempati oleh hanya sepasang suami istri tua, yang menurut keterangan mereka, ketiga anaknya sudah berkeluarga dan sudah punya rumah sendiri di desa tersebut.

Rumah itu cukup luas, dengan tiga kamar tidur.

Kami mahasiswa KKN berjumlah sepuluh orang, tujuh orang cewek dan tiga orang cowok.

Satu kamar ditempati oleh pasangan tua si pemilik rumah tersebut, satu kamar disediakan untuk para cewek dan satu kamar lagi untuk kami para cowok.

Kami melaksanakan KKN selama lebih kurang dua bulan ke depan.

Dan kebetulan saya di tunjuk sebagai ketua dalam rombongan kami.

Sebagai ketua, tentu saja saya harus lebih aktif dan lebih sering berurusan dengan perangkat desa dan juga pak kades.

Dan karena itu jugalah, aku akhirnya bisa sering-sering dekat dan ngobrol bersama pak kades.

Bahkan pak kades sering memintaku untuk menemaninya keluar, untuk belanja keperluan kantor.

"kamu udah punya pacar?" tanya pak kades suatu saat, ketika ia kembali memintaku menemaninya belanja.

"belum pak.." jawabku lugas.

"gak usah bapaklah, emang saya kelihatan tua banget ya?" ucap pak kades kemudian.

"bukan kelihatan tua, pak. Tapi kan bapak seorang kepala desa. Jadi lebih sopan aja kalau dipanggil bapak.." balasku diplomatis.

"iya, kalau lagi di depan orang-orang gak apa-apa panggil bapak, tapi kalau lagi berdua seperti ini, panggil abang ajalah.." pak kades berucap, sambil sesekali melirikku, dengan tetap berfokus menyetir mobilnya.

"emangnya pak kades ehh bang Jaka udah berapa usianya?" tanyaku mencoba sedikit akrab.

"kalau menurut kamu usia saya berapa?" pak kades balik bertanya.

"hmm.. menurut saya... mungkin sekitar dua puluh delapan tahun.." jawabku setengah ragu.

"hampir benar, sih. Tepatnya saya udah tiga puluh tahun.." ucap pak kades masih dengan suara maskulinnya.

"masih muda ya bang Jaka, udah bisa jadi kades.." ucapku lagi.

"iya, alhamdulillah perjalanan hidup saya cukup lancar. Tapi sayang untuk urusan jodoh saya masih jauh ketinggalan.." suara itu sedikit memelan.

"padahal bang Jaka orangnya tampan, gagah, keren dan juga sudah sukses. Kenapa bang Jaka belum menikah?" tanyaku memberanikan diri.

"karena... karena saya.... mungkin belum ketemu yang cocok.." jawab pak kades terdengar ragu.

"mungkin bang Jaka terlalu pemilih orangnya.." ucapku selanjutnya.

"gak juga sih sebenarnya. Hanya saja, saya memang tipe orang yang susah jatuh cinta.." balas pak kades lagi.

"atau mungkin..." ucapku sengaja menggantung kalimatku.

"atau mungkin apa?" balas pak kades cepat, "kamu curiga kalau saya tidak suka perempuan?" lanjutnya, sambil sekali lagi melirikku.

"gak, kok. Bukan itu maksud saya.." aku berucap cepat, takut kalau pak kades tersinggung.

"emangnya kalau saya gak suka perempuan, kamu mau kalau saya malah suka sama kamu?"

ucapan pak kades kali ini membuatku menatapnya lama.

"ah, bang Jaka bisa-bisa aja. Emangnya apa yang bisa membuat bang Jaka tertarik sama saya?" tanyaku memancing.

"ya, mungkin karena kamu terlihat menarik secara fisik. Kamu tampan dan manis. Kulit kamu putih dan terawat. Saya suka melihat cowok yang berkulit putih. Kesannya orangnya bersih.."

jawaban pak kades benar-benar membuatku tersanjung. Jarang-jarang ada cowok setampan dan segagah pak kades memujiku.

******

"kamu suka gak sama saya?" tanya pak kades, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

Aku kembali menatap wajah tampan pak kades, mencoba mencari makna dari pertanyaannya tersebut.

Aku tak ingin segera menjawab. Aku harus tahu dulu, apa maksud dari pertanyaan tersebut.

Kalau pak kades hanya sekedar menguji perasaanku, aku tak ingin menjawabnya jujur.

Tapi kalau ia benar-benar ingin tahu perasaanku padanya, aku akan menjawab jujur.

"tergantung sih bang. Suka nya seperti apa?" tanyaku akhirnya.

"suka seperti rasa ingin memiliki..?!" balas pak kades dengan nada bertanya.

"saya suka sih bang, melihat bang Jaka. Abang orangnya tampan dan kekar. Dan yang pasti abang orangnya baik.." jawabku akhirnya, mencoba untuk jujur.

"kamu mau gak tidur sama saya malam ini?" tanya pak kades kemudian.

"tidur? tidur sama bang Jaka? maksudnya?" tanyaku dengan kening berkerut. Bukan karena pertanyaannya, tapi lebih karena aku hampir tak percaya dengan kalimatnya tersebut.

"iya,tidur sama saya. Lalu kita melakukan hal tersebut hingga pagi.." jawab pak kades tegas.

Akh, aku terkesima. Tak pernah terpikir olehku, jika pak kades akan menawarkan hal tersebut.

Itu merupakan penawaran yang sangat menggiurkan. Aku tidak mungkin menolaknya. Terlepas apa pun tujuan pak kades dari semua itu.

"bang Jaka serius?" tanyaku meyakinkan.

"iya. Saya serius. Kalau kamu mau kita bisa cari hotel sekarang. Mumpung kita lagi di kota.." jawab pak kades terdengar sangat yakin.

"saya mau, bang. Saya gak mungkin bisa menolak ajakan abang. Abang sangat menarik. Saya malah sejak awal sering mengkhayalkan hal tersebut." balasku jujur.

"oke. Kita segera cari hotel sekarang. Tapi ada beberapa syarat yang ingin saya ajukan sebelum kita melakukannya.." ucap pak kades.

"syarat? syarat apa itu?" tanyaku penasaran.

"pertama, kamu gak boleh ceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena biar bagaimanapun nama baik saya yang menjadi taruhannya."

"kedua, ini tidak boleh berlanjut lebih lama lagi. Ini hanya akan terjadi selama kamu melaksanakan KKN di desa kami, setelah kamu selesai KKN nanti, hubungan kita juga selesai sampai di situ.."

jelas pak kades terdengar tegas.

Aku terdiam beberapa saat. Sepintas persyaratan dari pak kades terdengar mudah. Karena memang setahu saya, hubungan seperti ini memang tidak pernah bertahan lama.

Namun yang aku takutkan, bagaimana kalau pada akhirnya aku justru benar-benar jatuh cinta pada pak Kades. Hal itu tentu saja, akan membuatku sedikit sulit untuk berpisah dengannya, dan juga melupakannya.

Tapi untuk apa aku harus memikirkan hal itu sekarang. Yang penting saat ini, aku punya kesempatan untuk bisa merasakan kehangata dari pak kades muda yang tampan dan gagah itu.

"oke. Saya setuju dengan syarat tersebut.." ucapku tegas.

****

Satu jam kemudian, kami berdua sudah berada di dalam sebuah kamar hotel.

Pak kades terlihat sudah biasa memasuki hotel tersebut.

Aku yakin, ini bukanlah pertama kali nya bagi pak kades melakukan pertemuan dengan para lelaki di hotel.

Ia pasti sudah sangat sering melakukannya. Apa lagi di kota yang saya ketahui, banyak laki-laki bayaran yang selalu siap sedia untuk dibayar, untuk sekedar menemani tidur.

"kamu sudah pernah melakukan hal ini sebelumnya?" tanya pak kades, ketika kami sudah sama-sama duduk di ranjang hotel.

"sejujurnya aku pernah melakukannya dulu dengan pacarku, tapi itu sudah sangat lama, sudah hampir dua tahun yang lalu.." jawabku jujur.

"setelah itu?" tanya pak kades lagi.

"itu pertama dan terakhir kali aku melakukannya. Sejak putus dengan pacarku, aku tidak pernah lagi melakukannya.." jawabku lagi.

"bang Jaka sendiri, pasti sudah sering ya melakukan ini?" tanyaku setelah beberapa saat kami saling terdiam.

"sering sih gak, tapi pernah sih beberapa kali dengan laki-laki bayaran. Tapi saya tidak pernah pacaran dengan laki-laki, karena takut ketahuan." jawab pak kades terdengar jujur.

Kami kembali terdiam.

Sebagai seseorang yang masih awam dengan hal tersebut, aku memilih untuk tetap berdiam diri.

Aku menunggu pak kades melakukan aksinya.

Dan ternyata pak kades sangat mengerti akan hal tersebut.

Ia pun akhirnya memulai aksinya. Aku tetap memilih untuk pasrah dan membiarkan pak kades melakukan apa pun yang ingin ia lakukan padaku malam ini.

Aku memang menginginkan hal tersebut, bahkan sejak pertama melihat pak kades.

Dan malam ini semua khayalku tentang pria kekar nan tampan itu, telah menjadi nyata.

Tapi aku tidak ingin larut dengan perasaanku. Biar bagaimana pun aku ingat syarat yang diajukan oleh pak kades tadi.

Karena itu aku memutuskan untuk bermain aman, tanpa perasaan yang terlalu dalam.

Malam itu, untuk pertama kalinya aku dan pak kades melakukan hal tersebut.

Bahkan kami melakukannya beberapa kali sebelum akhirnya kami tertidur pulas.

*****

Sejak kejadian malam itu, aku dan pak kades jadi semakin sering ke kota, sekedar melepaskan hasrat kami.

Selama dua bulan aku melaksanakan KKN di sana, setidaknya hampir setiap malam minggu kami melakukan hal tersebut.

Dan seperti yang aku takutkan dari awal, aku akhirnya memang jatuh cinta kepada pak kades muda itu.

Ya, perasaanku sudah terlalu dalam padanya. Aku semakin kagum padanya. Aku semakin mencintai dan menyayangi sang kades tampan itu.

Tapi sesuai perjanjian kami dari awal, aku harus bisa menepis semua rasa itu.

Hingga ketika masa KKN ku selesai, perasaan berat berpisah dengan pak kades justru menghantuiku.

Tapi sekali lagi, aku tidak boleh larut. Aku harus bisa menganggap semua kejadian tersebut, hanyalah sebuah sensasi sesaat yang akan segera berlalu.

"apa kita memang tidak akan pernah bertemu lagi, bang?" tanyaku pada pak kades, saat malam terakhir kami bersama.

"sesuai kesepakatan kita dari awal, Rul. Saat KKN mu selesai, hubungan kita juga selesai." jawab pak kades tegas.

"dan lagi pula, dalam tahun ini saya akan segera menikah.." lanjutnya.

Entah mengapa mendengar kalimat tersebut, hatiku terasa perih.

Sakit rasanya, harus berpisah dengan orang yang sudah terlanjur membuatku jatuh cinta.

Tapi mau gimana lagi, pak kades sudah menentukan pilihan hidupnya.

Dan aku tidak berhak untuk meminta apa pun padanya.

Mungkin semua memang harus seperti ini.

Kami bertemu, saling tertarik, dan saling mencoba untuk menikmati hubungan singkat tersebut.

Lalu kemudian, kami akhirnya harus saling melupakan.

Setidaknya saya pernah merasakan berhubungan dengan seorang kades muda yang tampan dan gagah.

Setidaknya kegiatan KKN saya jadi punya warna dan punya cerita tersendiri yang hanya menjadi rahasia antara aku dan sang kades.

Semoga kelak, aku kemudian dipertemukan dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat.

Ya, semoga saja..

****

bersambung..

Cowok penjual tissue part 2 (kesempatan ketiga)

Sejak kehilangan jejak Jeff untuk yang kedua kalinya di kota Medan, asa ku kembali memudar.

Sempat terpikir untuk mencari Jeff ke Batam atau Jakarta, tapi bagaimana mungkin aku bisa menemukan Jeff di kota sebesar itu.

Apa lagi sepertinya Jeff juga sengaja menghilang dariku.

 

kisah gay

Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah, melanjutkan perjalanan hidupku yang masih sangat panjang.

Pelan, aku harus bisa belajar melupakan Jeff, seperti apa yang coba ia lakukan terhadapku.

Namun cinta bukanlah sesuatu yang mudah hilang dari hatiku. Aku masih sering memikirkan Jeff.

Tapi apalah dayaku, jika Jeff sendiri yang memutuskan untuk pergi, meski aku tahu, ia masih mencintaiku.

Berbulan-bulan berlalu sejak Jeff pergi. Aku mulai mencoba menata hatiku kembali. Mencoba menghapus bayangan Jeff, belajar untuk melupakannya.

Dalam kekosongan hatiku itulah, aku bertemu dan berkenalan dengan bang Ikhsan.

Bang Ikhsan tidak tampan, setidaknya tidak setampan Jeff. Bang Ikhsan juga bukan dari keluarga berada.

Ia hanya seorang perantau, dan bekerja di sebuah supermarket di tengah-tengah kota Medan.

Bang Ikhsan tinggal sendiri di sebuah kamar kost.

Aku mengenal bang Ikhsan karena sering berbelanja di supermarket tempat ia bekerja.

Diam-diam ternyata bang Ikhsan sering memperhatikanku, hingga akhirnya ia berani mengajakku kenalan.

Bang Ikhsan sangat baik padaku, apa lagi saat ini aku memang butuh teman untuk sekedar menghiburku.

Semakin lama aku dan bang Ikhsan semakin dekat dan akrab.

Bang Ikhsan jauh lebih tua dariku. Usianya sudah hampir kepala tiga, sementara aku sendiri masih 22 tahun.

Namun perbedaan usia itu, tidak membuat jarak apa pun diantara kami. Terutama karena bang Ikhsan sangat pengertian.

Setelah hampir tiga bulan kami saling kenal dan akrab, bang Ikhsan akhirnya berterus terang tentang perasaannya padaku.

"aku suka sama kamu, Jim. Bahkan sejak awal aku melihat kamu.." begitu ucapnya suatu malam, saat kami bertemu kembali di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu.

Aku tidak begitu kaget mendengar hal tersebut, karena aku cukup yakin dari awal, kalau bang Ikhsan memang menyukaiku.

Dan sebenarnya kami juga sudah berterus terang tentang siapa kami sebenarnya dari awal-awal kedekatan kami beberapa bulan yang lalu.

Tapi ada satu hal yang belum berani aku ceritakan kepada bang Ikhsan, yakni mengenai hubunganku dengan Jeff.

"maaf bang Ikhsan, saya belum bisa menjawabnya sekarang.." ucapku akhirnya.

"kenapa? Apa kamu sudah punya pacar? Atau saya ini bukan tipe kamu?" bang Ikhsan bertanya dengan nada lirih.

"bukan.. bukan karena itu, bang. Aku tidak punya pacar saat ini, dan bang Ikhsan juga termasuk tipe saya, kok. Hanya saja, ada bagian dari masa laluku yang belum sempat aku ceritakan kepada bang Ikhsan." jawab cepat.

"masa lalu seperti apa?" tanya bang Ikhsan datar.

"panjang ceritanya, bang. Saya harap abang bisa mengerti ya.." balasku kemudian.

"oke, gak apa-apa, kok, Jim. yang penting kita masih bisa terus seperti ini kan?" suara bang Ikhsan masih terdengar datar.

"iya, bang. Saya hanya lagi sedang belajar melupakan masa lalu, bang." ucapku pelan.

*****

Kehadiran dan ketulusan hati seorang Ikhsan telah mampu membuatku menjadi dilema.

Antara melupakan Jeff dan segala kisah tentangnya, lalu menyambut cinta tulus dari bang Ikhsan.

Atau tetap bertahan, berharap dan menanti saat dimana aku bisa bertemu kembali dengan Jeff dan melanjutkan kisah kami. Meski aku sendiri tidak begitu yakin, kalau aku akan menemukan Jeff lagi.

Aku dan Jeff memang sempar pacaran hampir tiga tahun, namun Jeff memilih pergi ketika keadaan keluarganya menjadi kacau, hingga kami terpisah selama dua tahun.

Namun setelah pertemuan dua tahun itu, Jeff kembali memilih untuk pergi tanpa memberi kabar apa pun padaku.

Dan sekarang aku sendiri tidak tahu dimana keberadaan Jeff sebenarnya.

Sementara kehadiran bang Ikhsan mengisi hari-hariku, telah mampu membasuh luka karena kepergian Jeff.

Haruskah aku menerima kehadiran bang Ikhsan dan membangun mimpi baru dengannya?

Atau aku harus tetap sabar menanti Jeff yang tidak pernah pasti?

Jeff adalah cinta sekaligus pacar pertamaku, karena itu aku tidak mudah melupakannya.

Apa lagi kepergiannya, tidak sepenuhnya kesalahan Jeff.

Tapi Jeff terlalu pengecut, dan aku kecewa karenanya.

Dan pergantian waktu akhirnya menyadarkanku, bahwa hidup berjalan ke depan. Aku tidak ingin lagi terbuai oleh masa lalu.

Aku harus bisa menghapus jejak Jeff di hatiku, dan menggantinya dengan bang Ikhsan.

Karena itulah akhirnya aku memutuskan untuk menerima cinta bang Ikhsan, meski separoh hatiku masih menyimpan nama Jeff.

"makasih ya, Jim. Sudah memberi aku kesempatan.." ucap bang Ikhsan lembut, saat aku bersedia menjalin hubungan cinta dengannya.

"lalu bagaimana dengan Jeff? Apa kamu sudah melupakannya?" tanya bang Ikhsan kemudian.

Aku memang telah berterus terang kepada bang Ikhsan tentang Jeff, tentang semuanya.

Dan sepertinya bang Ikhsan juga sangat mengerti.

"entahlah, bang. Sejujurnya aku masih belum bisa melupakannya. Tapi aku juga tidak ingin selamanya terjerat akan cinta masa laluku.." jawabku akhirnya, berusaha untuk jujur.

Bang Ikhsan hanya tersenyum, senyum yang sangat manis. Dan aku merasa bahagia melihat senyum itu.

"makasih ya, bang. bang Ikhsan sudah sangat baik dan sangat mengerti akan diriku.." aku berucap lagi.

"aku mencintai kamu, Jim. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik buat kamu, aku hanya ingin kamu bahagia.." bang Ikhsan berucap penuh perasaan, yang membuatku merasa tersanjung.

Dan begitulah...

Aku dan bang Ikhsan akhirnya menjalin hubungan asmara.

Hari-hari menjadi berbeda bagiku saat ini.

Meski tidak sepenuhnya aku bisa menerima kehadiran bang Ikhsan, tapi setidaknya aku tidak perlu lagi memikirkan sosok Jeff.

Dan aku mulai menemukan kebahagiaan bersama bang Ikhsan.

****

Setahun hubunganku dengan bang Ikhsan berjalan. Kebersamaan kami semakin terasa indah.

"jadi selesai kuliah kamu mau kemana, Jim?" tanya bang Ikhsan suatu hari.

"gak tahu juga, bang. Tapi papa udah menawarkan untuk bekerja di perusahaannya. Karena aku anak satu-satunya, jadi jelas aku lah yang akan melanjutkan perusahaan tersebut nantinya.." balasku.

"baguslah.." ucap bang Ikhsan lagi, "lalu bagaimana dengan hubungan kita? Kalau kamu kembali ke Pekanbaru, kita pasti akan sangat sulit untuk bertemu.." lanjutnya.

"aku sudah memikirkan hal tersebut, bang. Aku ingin bang Ikhsan ikut denganku ke Pekanbaru. Aku akan meminta papa untuk memberi abang pekerjaan di perusahaan kami.." ucapku.

"dengan hanya mengandalkan ijazah SMA, dan hanya punya pengalaman bekerja di supermarker, pekerjaan apa yang bisa saya lakukan disana, Jim.?" tanya bang Ikhsan.

"abang tenang aja, yang penting abang mau ikut denganku.." balasku ringan.

****

Setelah menyelesaikan kuliah, setahun kemudian, aku pun mengajak bang Ikhsan untuk ikut denganku kembali ke Pekanbaru, kota asalku.

Setelah perdebatan hebat dengan papa, akhirnya bang Ikhsan bisa bekerja di perusahaan meski hanya sebagai seorang OB.

"kamu gak malu, Jim. Punya hubungan dekat dengan seorang OB?" tanya bang Ikhsan suatu hari, setelah hampir sebulan ia bekerja.

"udahlah, bang. Kita udah bahas ini berkali-kali loh, bang. Dan abang juga udah janji untuk tidak mengungkit-ungkitnya lagi.." balasku.

"iya, aku tahu, Jim. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku rela pindah kesini hanya untuk bisa selalu bersama kamu. Aku rela meninggalkan pekerjaanku disana, hanya demi cinta kita. Aku harap ini semua akan setimpal, Jim.." suara bang Ikhsan terdengar lirih.

Harus aku akui, kalau bang Ikhsan memang telah berkorban banyak untukku selama ini.

"abang tenang aja. Kita akan selalu bersama-sama, bang. Walau apapun yang akan terjadi.." balasku akhirnya.

"lalu bagaimana dengan keluarga kamu, teman-teman kantor kamu?" tanya bang Ikhsan lagi.

"selama kita bisa menjaga rahasia, bang. Hubungan kita aman, kok." balasku yakin.

"aku sangat mencintai kamu, Jimmy.." ucap bang Ikhsan tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"aku juga mencintaimu, bang Ikhsan.." balasku lembut.

*****

"Jimmy..!" sebuah suara memaku langkahku, ketika aku hendak memasuki lobi hotel.

Aku hendak bertemu bang Ikhsan yang sudah menungguku di salah satu kamar hotel tersebut.

Sejak pindah ke Pekanbaru, hampir setahun yang lalu, aku dan bang Ikhsan memang sering melakukan pertemuan di hotel-hotel yang berbeda.

Kami harus bisa mengatur jadwal dan tempat pertemuan kami, agar hubungan kami tidak terlalu dicurigai.

Aku memutar tubuh untuk menatap orang yang barusan memanggil namaku.

Seorang laki-laki berdiri tak jauh dariku. Matanya tajam menatapku.

Aku memicingkan mata, mencoba mengenali laki-laki tersebut.

"Jeff.." suaraku tertahan.

Jeff berdiri hanya dua langkah dariku. Penampilannya jauh berbeda dari terakhir kali aku melihatnya di Medan.

Sangat berbeda!

Jeff yang sekarang sudah tidak kumuh lagi, tubuhnya terlihat semakin berisi dan terawat dengan baik.

Penampilannya benar-benar terlihat seperti seorang pengusaha kaya, dengan setelan jasnya yang terlihat mewah.

"kenapa? Kamu gak percaya kalau saya Jeff?!" suara Jeff mengagetkanku.

"gak.. aku... aku hanya pangling. Kamu sangat berbeda, Jeff.." ucapku terbata.

Sebenarnya, bukan hanya karena penampilan Jeff yang berubah 180 derajat saja yang membuatku terpaku, tapi juga karena aku belum siap untuk bertemu Jeff lagi.

Hampir lima tahun, aku tidak bertemu Jeff. Aku bahkan tidak pernah mendengar kabarnya lagi.

Dan sekarang tiba-tiba ia berada disini, dihadapanku dengan penampilan yang berbeda.

"apa kabar kamu, Jim?" pertanyaan Jeff membuatku terkaget kembali.

"uh..oh.. aku.. aku.. aku baik, kok. Kamu sendiri apa kabar?" suaraku masih terasa kaku.

"ya, seperti yang kamu lihat, Jim. Aku baik-baik saja.. dan aku sekarang udah pindah lagi ke Pekanbaru Jim. Ke kota kita ini.." jawab Jeff terlihat santai.

*****

"kemana aja kamu, Jeff?" tanyaku memulai pembicaraan, ketika akhirnya Jeff mengajak ngobrol di kafe hotel tersebut.

Aku sengaja mengirimkan pesan kepada bang Ikhsan bahwa aku akan terlambat datang ke kamarnya.

"setelah bertemu kamu di Medan, aku memutuskan untuk pindah ke Batam, Jim. Di sana aku tetap bekerja sebagai penjual tissue di lampu merah. Sampai akhirnya setahun kemudian, aku bertemu salah seorang mantan rekan bisnis papaku.."

"setelah tahu, apa yang menimpa keluargaku, beliau akhirnya menawarkanku untuk bekerja bersamanya. Kebetulan beliau punya beberapa hotel di sana."

"lebih setahun aku bekerja sebagai room service di sana, dan karena melihat kerjaku yang disiplin, beliau mengangkatku sebagai manager di salah satu hotelnya di kota Batam."

"dan beberapa bulan yang lalu beliau juga membuka cabang hotelnya di kota Pekanbaru ini. Karena beliau tahu, saya berasal dari sini, beliau pun menawarkan untuk aku pindah kesini, dan mengelola hotelnya ini.."

"jadi baru seminggu ini aku di sini.." jelas Jeff panjang lebar.

"jadi kamu sekarang manager hotel ini?" tanyaku meyakinkan.

Jeff hanya mengangguk ringan.

"kamu nginap disini?" tanyanya kemudian.

Untuk sesaat, aku hanya terdiam.

Aku tidak mungkin mengatakan, kalau aku akan bertemu bang Ikhsan di hotel ini. Tapi aku juga tidak punya alasan yang tepat, mengapa aku harus menginap di hotel ini. Sementara Jeff sendiri tahu, kalau tempat tinggalku tidak jauh dari sini.

"sebenarnya saya ada janji bertemu dengan salah seorang rekan bisnis papa disini, tapi tadi orang tersebut sudah mengabarkan kalau pertemuannya di tunda besok.." jawabku akhirnya, penuh kebohongan.

Tak lama kemudian, aku pun pamit untuk pulang, karena hari juga sudah malam.

Aku mengirim pesan kepada bang Ikhsan bahwa aku tidak jadi datang, karena ada keperluan mendadak.

Aku tidak mungkin bertemu bang Ikhsan di hotel tersebut. Aku tidak ingin Jeff memergokiku disana.

*****

Pertemuanku dengan Jeff kemarin, telah mengobrak-abrik perasaanku.

Tidak bisa aku pungkiri, kalau aku merasa bahagia bisa bertemu Jeff kembali.

Apa lagi melihat kondisinya saat ini, yang jauh lebih baik.

Tapi aku juga tidak mungkin mengabaikan kehadiran bang Ikhsan.

Bang Ikhsan telah menemaniku melewati hari-hari selama bertahun-tahun.

Tiba-tiba saja aku merasa dilema, meski aku sendiri tidak pasti seperti apa sebenarnya perasaan Jeff padaku saat ini.

"apa aku masih punya kesempatan?" tanya Jeff, ketika pada akhirnya ia mengajakku bertemu kembali di sebuah kafe.

Aku tidak bisa menolak ajakan Jeff, setidaknya sebagai seseorang yang pernah dekat dengannya.

"kesempatan apa yang kamu inginkan dariku, Jeff?" ucapku balik bertanya.

"semuanya, Jim. Terutama kesempatan untuk memulai lagi hubungan kita dari awal. Atau sebenarnya aku sudah terlambat?" balas Jeff kembali bertanya.

Kali ini aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Karena sejujurnya Jeff memang sudah terlambat, bahkan sangat terlambat.

Tapi aku tidak mungkin menceritakan tentang bang Ikhsan padanya.

"lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Jeff. Sudah berapa banyak orang lain yang singgah di hatimu, selama bertahun-tahun ini?" tanyaku akhirnya.

"sejak aku mengerti cinta, aku selalu menanamkan keyakinan pada hatiku, bahwa hanya ada satu yang akan aku pelihara dan tidak akan mencintai siapa pun, kecuali kekasihku.."

"dan sejak aku jatuh cinta padamu, Jim. Aku sudah berjanji tidak akan mencintai siapa pun lagi, kecuali kamu, sampai kapan pun.." ucap Jeff terdengar puitis.

"lalu mengapa dulu kamu pergi lagi?" tanyaku parau.

"karena aku cukup sadar kamu terlalu tinggi untuk aku jangkau saat itu.." balas Jeff, masih dengan nada puitisnya.

"dan kenapa sekarang kamu kembali lagi?" aku bertanya lagi, aku merasakan mataku mulai berkaca.

"karena sekarang aku sudah yakin, bahwa aku telah mampu menggapai cintamu lagi, Jim.."

ucapan Jeff berusan benar-benar membuatku terenyuh.

Betapa Jeff mampu bertahan dengan kesetiaannya selama ini, sementara aku sendiri sudah menjalin hubungan dengan orang lain.

"aku mohon, Jim. Beri aku kesempatan ya.." kali ini suara Jeff memelas.

Oh, aku kembali terenyuh. Miris rasanya.

"maaf, Jeff. Aku.... aku.. aku gak bisa.." ucapku sedikit terbata.

"kenapa? Apa karena di hatimu sudah ada orang lain?" Jeff bertanya dengan nada pelan.

"bukan!" jawabku berbohong, "tapi aku takut, kamu akan menghilang lagi Jeff, seperti yang telah dua kali kamu lakukan padaku sebelumnya.." lanjutku mencoba jujur.

"aku janji, Jim. Kali ini aku tidak akan pernah meninggalkan kamu lagi. Hidup tanpamu selama bertahun-tahun, telah mengajarkanku bahwa betapa pentingnya dirimu bagiku." suara Jeff sedikit memelas namun terdengar tegas di telingaku.

Aku menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Aku mengusap wajahku beberapa kali, sekedar menenangkan pikiranku sendiri.

Oh, Jeff! Kenapa engkau harus datang lagi, setelah sekian lama menghilang?

Kenapa kamu datang, saat hatiku sudah terisi oleh nama orang lain?

Aku terus membathin, sementara Jeff terus memperhatikanku sejak tadi.

"kamu gak harus jawab sekarang, Jim." ucap Jeff tiba-tiba, setelah untuk sesaat suasana hening.

Aku melirik Jeff sekilas, lalu kembali tertunduk. Aku tak sanggup menentang tatapan mata teduh Jeff.

Mata teduh yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Dan hingga saat ini, mata itu masih terlalu indah.

Beberapa saat kemudian, Jeff pun pamit untuk pulang.

Kebekuan dan kekakuan diantara kami, membuat suasana sore itu menjadi terasa hambar.

*****

Aku dilema! Benar-benar dilema!

Jeff adalah cinta pertamaku, dan sejujurnya sampai saat ini aku masih mencintainya. Apa lagi mengingat betapa setianya Jeff padaku.

Namun di sisi lain, ketulusan cinta bang Ikhsan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Aku terpaku sendiri memikirkan hal tersebut.

Sampai sebuah sentuhan di bahu ku mengagetkanku.

"sering melamun sekarang?!" suara lembut bang Ikhsan, sambil ia duduk di hadapanku.

Aku dan bang Ikhsan memang sudah janjian untuk bertemu di sebuah kafe, tak jauh dari kantor tempat kami bekerja, saat jam makan siang.

"udah dengar berita pagi ini?" tanya bang Ikhsan melanjutkan, melihat reaksi ku yang tanpa suara.

"berita apa?" tanyaku tanpa selera.

"berita tentang kecelakaan seorang laki-laki muda, seorang manager hotel.." bang Ikhsan berucap santai.

"tidak. Belum. Lagian apa pentingnya berita seperti itu.." balasku masih tanpa selera.

"kamu lihat dulu videonya. Nih." balas bang Ikhsan, sambil ia menyodorkan hp-nya padaku.

Video tersebut menayangkan sebuah kejadian kecelakaan naas, yang menimpa seorang laki-laki muda.

Di beritakan bahwa sang laki-laki akhirnya tewas di tempat.

Dan tubuhku tiba-tiba terasa lemas tak berdaya, laki-laki tersebut adalah Jeff.

"Jeff..." desisku tanpa sadar. 

"kamu kenapa? Wajahmu pucat, Jim.." bang Ikhsan berucap dengan nada cemas.

"ini Jeff, bang.." balasku.

"ya, aku tahu. Karena itu ingin memperlihatkannya padamu, Jim." ucap bang Ikhsan.

"kenapa abang tahu, kalau ini Jeff?" tanyaku kemudian.

"kamu lihat di bagian akhir video itu, Jim. Kamu fokus pada tangan kanan laki-laki tersebut.." jelas bang Ikhsan yang membuatku bingung.

Tapi aku segera mengikuti perintahnya.

Dan betapa kagetnya aku, ketika melihat di genggaman tangan Jeff yang sudah tak bernyawa tersebut, terdapat selembar photo.

Dan photo itu adalah photo-ku yang aku berikan pada Jeff ketika kami masih pacaran dulu.

"bahkan hingga akhir hayatnya, Jeff masih terus mengingat kamu, Jim.." suara bang Ikhsan pelan.

Oh... Mataku berkaca. Air  mataku jatuh menetes tanpa sadar.

Jeff... kenapa kamu harus pergi lagi? Bathinku pilu.

Aku baru saja berencana untuk memberimu kesempatan Jeff. Tapi kenapa kamu harus pergi?

Kenapa kamu harus pergi secepat itu Jeff?

Dan kali ini, kamu pergi untuk selama-lamanya. Kamu tidak akan pernah kembali lagi Jeff.

Dan itu membuat luka di hatiku kian parah.

Aku terus membathin, tak pedulikan reaksi kebingungan bang Ikhsan melihat aku yang menangis tersedu-sedu.

Aku akan kehilangan Jeff untuk selama-lamanya. Dan aku belum siap untuk itu.

Jeff memang sudah beberapa kali menghilang tanpa kabar. Tapi selama ini aku masih punya harapan untuk bisa bertemu lagi dengannya.

Tapi kali ini Jeff pergi dengan kabar yang cukup jelas, tapi justru membuatku merasa kehilangannya jauh lebih parah dari kepergian-kepergiannya dulu.

Mengapa Jeff hanya sekedar singgah di hidupku, ia tak pernah benar-benar menetap.

Dan yang paling menyakitkan dari semua itu, Jeff pergi dengan membawa cintanya yang begitu besar untukku.

Jeff pergi dengan meninggalkan sejuta kenangan untukku.

Maafkan aku Jeff! Andai saja engkau tahu, betapa aku juga sangat mencintaimu...

Semoga kamu tenang di alam sana...

Dan semoga saja aku mampu melanjutkan hari-hariku kembali, meski tanpa harapa untuk bisa bertemu dengan Jeff lagi...

ya, semoga saja...

*****

Sekian..

Cinta untuk Aditya...

Aku menatap Aditya tanpa kedip, seolah tak percaya dengan apa yang barusan diucapkannya.

"kamu serius, Dit?" tanyaku setengah mendesah.

Aditya membalas tatapanku, senyum manisnya mengembang.

"iya, aku serius.." ucapnya pelan.

Meski aku sudah menduga hal ini akan terjadi, namun tetap saja aku merasa belum siap untuk mendengarnya.

Cinta untuk Aditya

Aditya adalah sahabatku sejak SMA, hingga kini kami sudah memasuki tahun kedua kuliah.

Persahabatan kami selama ini memang cukup erat. Ditambah pula kami kuliah di kampus dan fakultas yang sama, membuat kedekatan kami kian terasa.

Aditya merupakan sahabat terbaikku, dia selalu ada kapan pun aku membutuhkannya.

Aditya adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya. Kehidupannya memang terbilang mewah dan serba berkecukupan.

Sementara aku sendiri hanyalah anak seorang pedagang asongan. Aku anak kedua dari empat bersaudara.

Kakakku perempuan sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya sendiri, meski masih kontrak. Suaminya hanya seorang buruh bangunan.

Kedua adikku juga perempuan dan masih sekolah.

Secara ekonomi kehidupan keluargaku memang sangat jauh berbeda dengan kehidupan Aditya yang serba ada.

Namun hal itu tidaklah membuat perbedaan apapun dalam persahabatan kami.

Aditya dan kedua orang tua nya sangat baik padaku. Aditya sering mengajakku ke rumahnya dan bahkan aku sering menginap disana.

Aku juga sering mendapatkan bantuan finansial dari Aditya, meski aku tidak pernah memintanya.

Kebaikan Aditya selama ini, membuat aku terkadang merasa berhutang budi padanya.

"itulah gunanya sahabat, Jer. Harus bisa saling membantu.." begitu ucap Aditya selalu, setiap kali aku membahas tentang kebaikannya padaku.

Bertahun-tahun persahabatan kami terjalin dengan baik. Namun akhir-akhir ini, perlakuan Aditya padaku terkadang terasa berlebihan bagiku.

Bahkan Aditya terkadang sering mendekapku dengan sengaja, terutama saat aku menginap di kamarnya.

Mulanya aku menganggap semua itu hanyalah hal yang biasa. Namun lama kelamaan aku juga terkadang merasa cukup risih dengan sikapnya tersebut.

Apa lagi Aditya juga sering bersikap mesra padaku. Sering memberiku hadiah-hadiah tanpa alasan yang jelas.

Pada akhirnya aku mulai menyadari, kalau sikap Aditya tersebut bukanlah sesuatu yang wajar.

Aku mulai menyadari, kalau Aditya itu berbeda.

Sampai akhirnya Aditya dengan terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku.

"aku jatuh cinta padamu, Jer..." begitu ucap Aditya tadi. Ucapan yang membuatku menatapnya tanpa kedip dan hampir tak percaya.

"kamu yakin, Dit?" tanyaku sekali lagi, sekedar meyakinkan pendengaranku sendiri.

"apa aku harus mengulang ucapanku lagi?!" balas Aditya kemudian.

Oh, aku menghela napas. Kemudian tertunduk.

Aku tidak tahu harus berkata apa saat ini. Kejujuran Aditya tentang perasaannya padaku, telah menumbuhkan dilema di hatiku.

Tak pernah aku sangka, kalau Aditya ternyata adalah seorang gay. Pantas saja selama ini aku tidak pernah melihatnya pacaran.

"kenapa harus seperti ini, Dit?" tanyaku akhirnya, dengan nada lirih.

"aku juga tidak mengerti dengan semua ini, Jer. Semua ini terjadi begitu saja. Aku tak bisa membendung perasaanku sendiri. Aku tak mampu lagi menutupinya. Aku hanya ingin kamu tahu, dan aku tidak berharap apapun dari kamu, Jer." Aditya membalas dengan nada tak kalah lirihnya.

"aku tahu ini salah, Jer. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku tidak mungkin selamanya bisa memendam perasaan ini." Aditya melanjutkan kalimatnya.

"aku tahu ini akan merusak persahabatan kita, Jer. Tapi aku juga tidak ingin menyimpan perasaan cintaku padamu, di balik topeng persahabatan kita. Aku mencintai kamu, Jer. Selama ini aku menganggap kamu lebih dari sekedar sahabat..."

Aku terpaku mendengar semua itu. Hatiku semakin bimbang.

Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan Aditya sebagai sahabat, apa lagi mengingat betapa baiknya Aditya selama ini padaku.

Tapi aku juga tidak bisa terus menjalin persahabatan dengan Aditya, sementara aku tahu kalau ia mencintaiku.

Selama ini Aditya juga tahu, kalau aku sudah beberapa kali berpacaran dengan perempuan. Bahkan saat ini pun aku juga sedang melakukan pendekatan dengan seorang cewek teman kampus kami.

Aku tidak menegaskan kalau aku normal. Karena siapa saja sangat berpotensi menjadi seorang gay.

Tapi setidaknya hingga saat ini, aku masih selalu berfantasi tentang perempuan. Tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku untuk berpacaran dengan seorang laki-laki.

Namun sekali lagi, sebagai sahabat aku sangat membutuhkan Aditya dalam hidupku.

******

Sudah seminggu aku tak lagi pernah bertemu atau pun berkomunikasi dengan cara apa pun dengan Aditya.

Kejujurannya tentang perasaannya padaku seminggu yang lalu, telah merubah segalanya.

Aku tidak membenci Aditya. Tidak sama sekali.

Terlepas dari siapa pun Aditya sebenarnya, ia adalah sahabat yang baik.

Namun aku belum bisa menerima kenyataan kalau ia jatuh cinta padaku. Selain itu, aku juga merasa risih harus dekat-dekat dengannya lagi.

Aditya sendiri juga tidak berusaha menemui atau pun menghubungiku.

Seminggu ini, aku benar-benar merasa kesepian. Tak ada lagi gelak canda dari Aditya, yang selalu mampu menghiburku selama ini.

Tak ada lagi tempat aku berbagi cerita.

Tiba-tiba saja rasa kehilangan menyelimuti hatiku. Tiba-tiba saja rasa rindu menghantui perasaanku.

Dan harus aku akui, kalau seminggu ini aku jadi sering memikirkan Aditya.

Namun apa yang bisa aku perbuat saat ini?

Akh, aku semakin bingung. Benar-benar bingung.

*****

Sebulan akhirnya berlalu. Aku masih dengan sikap yang sama terhadap Aditya.

Tidak berusaha menghubunginya dan selalu berusaha menghindari pertemuan dengannya.

Hubungan persahabatan kami benar-benar telah berubah menjadi hubungan dua orang asing yang tidak saling kenal.

Hingga suatu hari aku menerima sebuah email dari Aditya. Kira-kira isinya seperti ini :

Jerry sahabatku...

Aku tahu, kejujuranku akan perasaanku padamu, telah mampu mengubah kedekatan kita selama ini.

Terus-terang ada begitu banyak rasa bersalah yang terus menghantuiku sebulan belakangan ini.

Tapi aku tidak mungkin bisa menarik perkataanku lagi.

Apa yang sudah aku ungkapkan padamu sebulan yang lalu adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa aku pungkiri.

Meski pada akhirnya, harus aku akui, kalau aku merasa menyesal akan semua itu.

Untuk itu, aku berusaha untuk menjumpaimu.

Tapi sepertinya kamu selalu berusaha untuk menghindariku, seakan-akan aku adalah seorang penyakitan yang akan menularkan virus-virus berbahaya padamu.

Aku sadar, aku memang berbeda. Aku menjijikkan!

Aku memang tidak berpantas berteman dengan siapa pun.

Tapi satu hal yang harus kamu tahu, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang ingin terlahir sebagai seorang gay, tak terkecuali saya.

Bukan keinginanku, untuk terlahir berbeda.

Bukan keingananku, untuk akhirnya jatuh cinta padamu.

Semua itu terjadi begitu saja, tanpa bisa aku cegah dan tanpa bisa aku hindari.

Aku cukup sadar kok, kamu pasti malu berteman denganku.

Karena itulah aku memutuskan, untuk pindah. Pindah kuliah dan juga pindah rumah.

Aku memutuskan untuk pindah ke kota lain, agar kita tidak lagi saling bertemu.

Agar kamu bisa terus bebas melewati hari-hari, tanpa ada bayang-bayangku di sana.

Aku akan belajar melupakanmu, melupakan segala kenangan indah yang tercipta dari persahabata kita selama ini.

Jika pun aku tidak mampu melupakanmu, izinkan aku menyimpan namamu direlung hatiku yang terdalam.

Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku beberapa tahun ini.

Tahun-tahun bersamamu adalah tahun-tahun paling indah dalam perjalanan hidupku.

Terima kasih telah menajdi bagian penting dalam hidupku.

Aku harap, kamu tidak melupakanku, meski hanya sebagai sahabat.

Dari sahabatmu yang mencintaimu,

Aditya...

*****

Hatiku merasa tergores membaca isi email tersebut.

Ada luka memanjang yang menyayat hatiku tiba-tiba.

Perih...

Aku memang belum bisa menerima kenyataan, kalau sahabatku adalah seorang gay dan dia mencintaiku.

Tapi aku lebih tidak bisa menerima kenyataan, kalau aku akan kehilangan dirinya.

Tiba-tiba rasa rindu menyelubungi hatiku.

Aku rindu tawanya, aku rindu cerita dan candanya.

Dan yang lebih parah lagi, aku merindukan dekapannya.

Oh, tidak...

Aku tidak boleh terlarut dalam rasa ini. Biar bagaimana pun, Aditya adalah seorang laki-laki.

Hubungan kami tidak boleh lebih dari sekedar sebuah persahabatan.

****

Aku tak berniat untuk membalas email Aditya.

Bukan karena aku tidak peduli dengan perasaannya, tapi aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa saat ini.

Kehadiran Aditya selama ini, telah mampu mengisi hari-hariku dengan indah.

Namun sekarang ia tak lagi bersamaku.

Rasa kehilangan itu pasti ada. Tapi untuk bisa terus menjalin persahabatan dengan Aditya terasa sulit bagiku.

Karena itu, aku pun mencoba menjalani hari-hariku tanpa kehadiran Aditya.

Mungkin memang harus seperti ini. Persahabatan kami tidak mungkin bisa dilanjutkan lagi, apa lagi Aditya sendiri sudah memutuskan untuk pergi dari kehidupanku.

Aku duduk sendirian di bangku taman sore itu, mengingat-ingat kembali kebersamaanku dengan Aditya selama ini.

Tiba-tiba seorang laki-laki paroh baya duduk di dekatku.

"kamu Jerry, kan?" tanya laki-laki itu tiba-tiba.

Aku menatap laki-laki itu beberapa saat, mencoba mengenali wajahnya.

"maaf bapak siapa ya?" tanyaku akhirnya, setelah cukup yakin aku tidak mengenalinya.

"saya Rangga. Panggil aja om Rangga. Saya tahu kamu dari Aditya.." balas laki-laki itu datar.

"apa hubungan om sama Aditya?" tanyaku lagi.

"sebenarnya kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami hanya saling kenal lewat media sosial. Aditya sering curhat padaku tentang kamu.." jelas laki-laki kemudian, sambil ia sedikit menyunggingkan senyum.

"Aditya cerita apa aja sama om?" tanyaku penasaran.

"banyak, sih. Terutama tentang perasaannya padamu yang selama ini ia pendam. Aditya juga udah cerita kalau sekarang ia udah pindah, karena merasa malu bertemu lagi denganmu." om Rangga menarik napas ringan.

"Aditya sempat salah sangka karena perlakuanmu padanya selama ini. Ia pikir kamu juga punya perasaan yang sama dengannya. Tapi ternyata ia salah, karena itu juga ia pergi." lanjut om Rangga kemudian.

"lalu untuk apa om menemui saya?" aku bertanya lagi.

"saya penasaran sih sebenarnya. Aditya memang sempat mengirimkan photo kamu sama saya. Karena itu tadi ketika melihat kamu duduk sendirian disini, saya beranikan diri untuk menghampiri kamu. Sekedar meyakinkan, bahwa kamu memang pantas untuk selalu dipuja-puja selama ini oleh Aditya." om Rangga menjawab dengan lugas.

"emangnya Aditya sebegitunya ya, sama saya?" tanyaku kemudian.

"iya. Aditya terlalu mencintai kamu. Sampai-sampai ia selalu menolak setiap kali aku mengajaknya berpacaran." jawab om Rangga.

"om Rangga gay juga?" tanyaku cukup berani.

Om Rangga tak menjawab. Ia hanya mengangguk ringan.

"menjadi gay itu bukan pilihan." ucapnya kemudian, "tapi tidak mudah melepaskan diri dari semua itu. Mungkin bagi orang-orang, kami adalah sebuah penyakit yang harus dihindari dan pasti bisa diobati. Tapi seandainya saja mereka tahu, apa yang kami rasakan sebenarnya...." lanjut om Rangga menggantung kalimatnya.

"tapi ya sudahlah. Itu juga gak penting untuk dibahas. Yang harus kamu tahu saat ini ialah bahwa Aditya adalahh laki-laki baik, yang punya cinta yang begitu tulus untukmu. Sayang kamu telah menyia-nyiakannya.." ucap om Rangga kembali.

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.

Aku tahu, Aditya mencintaiku tulus. Tapi aku tetap tidak bisa memaksa hatiku untuk mencintainya juga.

Aku menyayangi Aditya sebagai seorang sahabat. Tidak lebih!

Dan sangat tidak mungkin bagiku untuk mencintainya sebagai seorang kekasih.

"ya udah, saya pergi.." ucap om Rangga tiba-tiba, setelah cukup lama kami saling terdiam.

"saya harap kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu.." lanjutnya, sambil mulai berdiri dan kemudian melangkah meninggalkanku sendirian.

******

Aku akhirnya pacaran dengan Melly, cewek cantik teman kampusku yang selama ini sudah aku incar.

Sejak berpacaran dengan Melly, aku mulai melupakan sosok Aditya dalam hidupku.

Aku sudah terbiasa menjalani hari-hari tanpa kehadiran Aditya sebagai sahabatku.

Namun hubunganku dengan Melly hanya bertahan tiga bulan. Karena akhirnya aku tahu, Melly hanya memanfaatkanku, untuk mengisi kekosongan hatinya.

Aku kecewa dan patah hati.

Saat-saat seperti ini, aku kembali teringat akan Aditya. Biasanya ia yang selalu menghibur dan memberikan semangat padaku.

Oh, Aditya.. dimanakah dirimu saat ini. Aku membutuhkanmu, aku merindukanmu..

Bathinku lirih.

Untuk menghibur diriku, aku mencoba berselancar di dunia maya. Tanpa sadar aku membuka akun milik Aditya yang sudah lama aku abaikan.

Aku melihat postingan-postingan Aditya yang terlihat bahagia dengan seorang laki-laki, yang aku ketahui adalahom Rangga.

Meski mereka tidak memperlihatkan kemesraan mereka, tapi aku yakin mereka sudah menjalin hubungan yang lebih serius.

Aditya bisa saja akhirnya menerima cinta om Rangga, untuk menutupi kekecewaannya padaku.

Dan entah mengapa aku merasa cemburu menyadari hal tersebut.

Aku tidak rela, Aditya menjadi dekat dengan om Rangga.

Aku mencoba mengirimkan pesan kepada Aditya, sekedar menanyakan kabarnya.

Tapi Aditya tidak segera membalas, meski ia sudah membacanya.

Sepertinya Aditya memang sudah berhasil melupakanku.

Dan sekali lagi, aku merasa kecewa akan hal itu.

*****

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba Aditya membalas pesanku.

Dia mengabarkan kalau ia baik-baik saja, dan juga bertanya tentang kabarku.

Aku pun menjawab kalau aku juga baik-baik saja.

Hari-hari selanjutnya, aku dan Aditya jadi sering chattingan.

Sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya tengan hubungannya dengan om Rangga.

"kenapa? Kamu cemburu ya?!" tanya Aditya melalui pesannya.

Untuk sesaat aku tidak membalas pesan itu. Aku harus memikirkan kalimat yang tepat untuk membalasnya.

Biar bagaimana pun, aku masih merasa malu untuk mengakui akan kecemburuanku. Tapi aku juga tidak rela, Aditya bersama om Rangga.

"gak, kok. Aku biasa aja. Hanya saja, aku takut kamu hanya dimanfaatkan oleh om Rangga.." balasku akhirnya.

"kamu tenang aja, Jer. Meski aku tahu om Rangga mencintaiku, tapi aku tidak punya rasa apa-apa padanya. Sampai saat ini, aku hanya mencintaimu.." Aditya membalas.

Entah mengapa membaca pesan tersebut, hatiku merasa lega. Bahkan bukan sekedar lega, tapi merasa bahagia.

Setidaknya aku masih punya harapan, untuk bisa bersama Aditya.

"aku juga mencintai kamu, Dit.." balasku, setelah berpikir cukup panjang.

Aditya tidak lagi membalas pesanku. Ia tiba-tiba menghilang.

Berhari-hari akunnya sudah tidak aktif lagi.

Aku mulai merasa khawatir. Aku takut terjadi apa-apa pada Aditya.

Selain itu, aku juga merasa takut, kalau Aditya tidak bisa memberikan aku kesempatan untuk menjalin hubungan yang serius dengannya.

Seminggu kemudian, akhirnya Aditya mengirim pesan padaku, bahwa ia sudah kembali dan sedang menungguku di sebuah hotel tak jauh dari rumah tempat aku tinggal.

Dengan perasaan bahagia, aku segera menuju hotel tersebut.

Sesampai disana, aku langsung menuju kamar hotel yang telah Aditya sebutkan tadi.

Aditya menyambutku senyum mengembangnya.

Aku segera mendekap tubuh Aditya. Dekapan itu terasa hangat dan begitu nyaman.

Segala rasa rinduku seakan sirna.

Akhirnya segala keegoanku selama ini, luluh oleh ketulusan cinta seorang Aditya.

"aku yakin, kamu akan segera menyadari semua ini, Jer.." bisik Aditya di telingaku.

"maafkan aku ya, Dit. Butuh waktu lama bagiku untuk mengakuinya. Maafkan aku juga, telah membiarkanmu menunggu begitu lama.." balasku ikut berbisik.

"itu tidak penting lagi, Jer. Yang penting sekarang, kita bisa bersama-sama. Tidak lagi hanya sekedar sahabat, tapi lebih dari itu.." ucap Aditya selanjutnya.

Aku tidak berucap lagi. Aku mencoba menikmati saat-saat romantis itu.

"aku mencintaimu, Jerry. Aku sangat mencintaimu.." Aditya berucap lagi, kali ini terdengar penuh perasaan.

"aku juga mencintaimu, Dit. Aku harap kamu jangan pergi lagi ya.." balasku, sambil terus mendekapnya erat.

*****

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate