Namaku Andri Marto Saputra. Biasa dipanggil Aan.
Sekarang aku masih duduk di kelas 12. Aku sekolah di sebuah sekolah negeri yang cukup populer di kota tempat aku tinggal.
Sekolah tersebut termasuk salah satu sekolah favorit. Untuk bisa masuk kesitu, setidaknya kita harus punya nilai yang tinggi dan prestasi yang menonjol.
Atau seperti saya, bisa masuk kesana, karena kebetulan kepala sekolahnya merupakan sahabat lama papaku.
Aku tidak pintar dan tidak juga punya prestasi yang menonjol. Namun papaku merupakan salah seorang yang cukup berpengaruh di kota.
Jadi aku masuk sekolah tersebut, bukan karena lulus tes. Tapi karena papaku yang berusaha keras agar aku bisa diterima disana, meski daya otakku hanya pas-pasan.
Dari tahun pertama sampai tahun kedua, aku selalu rangking terakhir di kelasku. Meski aku sudah berusaha untuk belajar melebihi kemampuanku.
Hingga pada tahun terakhir ini, papa akhirnya mendatangkan seorang guru les pribadi untukku.
"papa ingin kamu jadi anak yang pintar, An." begitu ucap papa, ketika aku coba protes.
Dan aku dengan sangat terpaksa harus menerima tambahan belajar di rumah, yang membuatku jadi hampir tidak punya waktu untuk bermain.
Aku diharuskan les private setiap tiga kali seminggu, yakni setiap sore selasa, kamis dan sabtu.
Meski dengan ogah-ogahan awalnya, aku mencoba menuruti keinginan papa dan mama.
Namun ketika hari pertama guru les private-ku datang, aku cukup terkesan.
Ya, karena ternyata guru les ku tersebut, adalah seorang laki-laki muda yang sangat tampan dan terlihat atletis.
"Asrul.." begitu guru les tersebut menyebut namanya ketika kami berkenalan.
"Andri, pak.." balasku sambil tersenyum.
"panggil bang Asrul aja, ya. Saya masih 27 tahun, kok." guru tersebut berucap lagi.
Bang Asrul memang masih kelihatan muda. Wajahnya bersih terawat. Tubuhnya tegap dan kekar.
Terus terang aku mulai menyukai bang Asrul, setidaknya secara fisik dia sangat menarik.
"bang Asrul udah nikah?" tanyaku, di sela-sela pembelajaran kami.
"baru sekitar enam bulan yang lalu saya menikah, sekarang istri saya sedang hamil muda.." jelas bang Asrul.
"jadi selain ngajar les seperti ini, bang Asrul kerja apa?" aku bertanya lagi.
"saya seorang guru di sebuah sekolah swasta.." jawab bang Asrul.
Dan aku terkesan. Sosok bang Asrul mulai memenuhi dunia khayalku.
Aku mulai berimajinasi tentang bang Asrul. Dia benar-benar telah menyita perhatianku.
Hari-hari selanjutnya aku jadi semakin semangat mengikuti les bersama bang Asrul.
Bukan karena aku menyukai pelajaran yang diberikannya, tapi karena aku merasa bahagia bisa dekat-dekat dengan bang Asrul.
Menatap wajahnya yang tampan, tubuhnya yang kekar dan mendengar suaranya yang maskulin.
Oh, aku jatuh cinta pada bang Asrul. Dan aku merasa bahagia dengan semua itu.
Namun aku menyadari, bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
Biar bagaimana pun, bang Asrul jelas seorang laki-laki normal. Dia sudah menikah dan akan segera punya anak.
Karena itu aku hanya bisa memendam perasaanku, setidaknya sampai aku punya kesempatan dan keberanian untuk mengungkapkannya.
******
Papa dan mama merupakan orang yang super sibuk, mereka lebih sering menghabiskan waktu di luar untuk bekerja, dari pada berada di rumah.
Papa dan mama pulang selalu hampir larut malam.
Aku di rumah hanya ditemani beberapa orang pembantu.
Ketika bang Asrul datang untuk memberi les padaku, aku sengaja mengajaknya belajar di kamar.
Setidaknya dengan begitu, aku merasa lebih leluasa menikmati indahnya pemandangan wajah tampan bang Asrul.
"kamu kanapa sering menatap saya seperti itu?" tanya bang Asrul suatu sore, ketika ia mengakhiri pembelajarannya.
"bang Asrul sangat tampan.." ucapku tanpa sadar. Aku kemudian buru-buru menunduk, karena merasa malu sudah keceplosan berbicara.
"kalau saya tampan, emang kenapa?" bang Asrul bertanya, nada suaranya seakan memancing kejujuranku.
"saya jadi suka sama bang Asrul.." jawabku cukup nekat. Aku sudah terlanjur mengungkapkan kekagumanku kepada bang Asrul, mungkin sudah saatnya aku untuk jujur tentang perasaanku.
"maksudnya?" tanya bang Asrul, keningnya berkerut.
Saya beranikan diri untuk menatap kembali wajah tampan itu.
"saya.. saya mungkin sudah jatuh cinta pada bang Asrul.." ucapku terbata.
"kamu jatuh cinta sama saya?! Kok bisa?!" suara bang Asrul sedikit meninggi.
"saya juga gak tahu kenapa saya bisa jatuh cinta pada bang Asrul. Namun yang pasti hal itulah yang saya rasakan saat ini.." jawabku semakin berani.
"kamu gay?" bang Asrul bertanya lagi.
"mungkin, bang. Dulu ketika SMP saya juga jatuh cinta sama salah seorang guru laki-laki saya. Tapi saya hanya bisa memendamnya. Dan ketika pertama kali saya melihat bang Asrul, saya kembali merasakan perasaan itu.." ceritaku.
"tapi saya belum pernah pacaran loh, bang. Apa lagi sama laki-laki. Jika jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa disebut sebagai gay. Maka iya, saya gay, bang.." lanjutku, dengan suara sedikit bergetar.
"ini gak boleh terjadi, An. Kamu gak boleh jatuh cinta sama saya. Itu sebuah kesalahan.." ucap bang Asrul pelan.
"iya. Saya tahu, bang. Tapi ini sudah terjadi, dan saya tidak bisa menghindarinya.." balas saya lebih pelan.
Kali ini bang Asrul terdiam.
Kemudian ia segera membenahi buku-bukunya, lalu kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
*****
"saya punya penawaran buat kamu, An." ucap bang Asrul, ketika akhirnya ia datang lagi untuk memberiku les, setelah dua kali pertemuan ia tak datang, sejak aku mengungkapkan perasaanku padanya.
"penawaran apa?" tanyaku tanpa semangat.
Sejujurnya sejak kepergian bang Asrul dan ketidakdatangannya selama dua kali pertemuan, membuatku kehilangan gairah.
Aku merasa patah dan kecewa.
"saya akan memberi kamu kesempatan untuk menjalin hubungan denganku, namun ada syarat yang harus kamu penuhi.." bang Asrul berucap kembali.
"syarat? syarat apa?" tanyaku penasaran.
"jika pada ujian semester ini, kamu bisa masuk lima besar, saya bersedia jadi pacar kamu.." suara bang Asrul terdengar cukup tegas.
"lima besar? ya jelas gak bisa lah, bang. Selama ini saya selalu rangking terakhir loh.." balasku cepat.
"makanya kamu belajar lebih giat lagi, An. Dan lagi pula kamu serius kan suka sama saya?" ucap bang Asrul.
"iya. Saya serius, bang. Tapi syaratnya terlalu berat, saya pasti gak bisa.." jawabku.
"terserah kamu, sih. Kalau kamu memang benar-benar menginginkan saya, kamu harus bisa membuktikannya.." bang Asrul berucap tegas lagi.
Aku merenung sejenak. Memikirkan tawaran dari bang Asrul.
Terus terang aku memang sangat mencintai bang Asrul dan sangat berharap bisa berpacaran dengannya.
Tapi untuk bisa memenuhi syarat yang di berikannya, jelas hal terasa sangat mustahil bagiku.
"gak ada yang gak mungkin, An. Asal kamu percaya dan mau berusaha lebih keras lagi, kamu pasti bisa, kok.." suara bang Asrul mengagetkanku, ia seolah-olah bisa membaca jalan pikiranku.
Aku menarik napas berat seketika. Mungkin bang Asrul, aku memang harus berusaha lebih keras lagi.
Setidaknya dengan begitu, aku sudah berusaha untuk membuktikan kepada bang Asrul, bahwa betapa aku sangat menginginkannya.
"jadi gimana? Kamu bersedia kan, menerima tawaran dari saya?" suara bang Asrul terdengar lagi.
"kalau memang itu sudah menjadi syarat dari bang Asrul, saya akan berusaha semampu saya, bang. Tapi tentu saja, saya juga ingin bang Asrul lebih rutin lagi memberi saya les." jawabku ringan.
"iya, An. Saya juga akan berusaha untuk memberikan yang terbaik buat kamu.." ucap bang Asrul.
****
Sejak perjanjian tersebut, aku jadi semakin sering menghabiskan waktu untuk belajar. Aku harus bisa membuktikan kepada bang Asrul, kalau aku benar-benar mencintainya.
Aku jadi semakin fokus pada setiap pelajaran yang diberikan oleh bang Asrul. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bang Asrul terlalu tampan, terlalu gagah. Aku terlalu mencintainya. Ia terlalu sempurna untuk tidak dimiliki.
"jika saysa nantinya bisa memenuhi syarat dari bang Asrul, bang Asrul yakin bisa menyukai saya, karena setahu saya bang Asrul kan bukan seorang gay?" tanyaku suatu sore, di sela-sela les kami.
"kamu tenang aja. Saya bukan orang yang suka ingkar janji. Kamu fokus aja belajar, dan buktikan pada saya hal tersebut." balas bang Asrul.
Hasil-hasil dari ulangan harian saya, sebenarnya sudah mulai meningkat. Tapi tentu saja, aku masih harus belajar lebih giat lagi, untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Kadang ada rasa ingin menyerah, namun setiap kali membayangkan wajah tampan bang Asrul, segala rasa lelah dan perasaan ingin menyerah tersebut segera kutepis.
Aku harus bisa mendapatkan bang Asrul, meski aku harus mengorbankan waktu bermainku.
Papa dan mama juga mulai terlihat bangga melihat semangat belajarku.
Bang Asrul juga selalu memberikan support yang lebih padaku.
Aku tak tahu pasti, kenapa bang Asrul begitu ingin aku bisa memenuhi syarat darinya.
Jika ia tak menyukaiku, seharusnya ia justru melakukan hal sebaliknya.
Tapi untuk saat ini, aku tak perlu memikirkan hal tersebut. Aku harus fokus belajar.
*****
Berbulan-bulan berlalu, hingga akhirnya masa ujian semester pun tiba.
Tak seperti biasanya, kali ini aku menghadapi ujian semester dengan perasaan campur aduk dan hati yang berdebar-debar hebat.
Ada banyak hal yang harus aku perjuangkan disini.
Pertama, aku harus bisa membuktikan kepada papa dan mama bahwa aku juga bisa berprestasi.
Kedua, aku juga tidak ingin waktu yang telah aku habiskan hanya untuk belajar menjadi sia-sia, jika hasilnya tidak memuaskan.
Dan yang paling terpenting, ini adalah kesempatanku untuk bisa memiliki bang Asrul, guru les private-ku yang tampan tersebut.
Ujian pun berakhir, tibalah saatnya untuk pembagian hasil nilai raport semester ini.
Dadaku bergemuruh saat membuka isi raport tersebut.
Untuk peringkat satu, dua dan tiga sudah pasti bukan saya, karena sudah diumumkan di depan kelas tadi.
Sekarang hanya tersisa dua peringkat yang aku harapkan, yakni peringkat empat atau peringkat lima.
Dan aku kecewa, karena ternyata aku hanya berhasil berada diperingkat sembilan.
Meski sebenarnya itu jauh lebih baik dari hasil-hasil ujianku di tahun-tahun sebelumnya. Namun itu belum memenuhi syarat untuk aku bisa memiliki bang Asrul.
"selamat ya, nak. Mama dan papa bangga sama kamu. Gak sia-sia kamu menghabiskan waktu untuk belajar selama ini.." suara mama, dengan nada bangganya.
Tapi aku tidak memperlihatkan raut kebanggaan sedikitpun. Meski hasilnya cukup memuaskan, namun tidak cukup untuk membuktikan pada bang Asrul akan betapa besarnya cintaku padanya.
"kamu gak perlu merasa kecewa seperti itu.." ucap bang Asrul, ketika kami bertemu di sebuah kafe.
Aku memang sengaja mengundang bang Asrul untuk makan, sebagai bentuk ucapan terima kasihku padanya.
"tapi aku sudah berusaha dengan keras, bang. Dan bukan berarti juga, cintaku pada abang tidak cukup besar." ucapku terdengar lemah.
"iya, aku tahu. Kamu sudah berusaha, An. Karena itu juga, aku ingin memberi kamu kesempatan." balas bang Asrul.
"kesempatan? Kesempatan apa, bang?" tanyaku penasaran.
"jika kamu memang ingin memiliki saya, saya bersedia, kok. Tapi hanya untuk satu kali saja, ya. Setelah itu, kamu harus belajar melupakanku." ucap bang Asrul ringan.
"maksudnya, bang?" tanyaku lagi.
"kamu pasti penasaran kan sama saya? Karena itu, saya bersedia untuk tidur satu malam saja bersama kamu. Namun setelah itu, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi."
"saya bersedia melakukan hal tersebut, bukan karena saya suka sama kamu, An. Tapi ini bentuk penghargaan saya atas perjuangan kamu selama ini." jelas bang Asrul.
Saya merenung sejenak. Memikirkan tawaran bang Asrul.
Bukan itu yang saya inginkan sebenarnya. Saya ingin bang Asrul benar-benar menjadi pacar saya selamanya, bukan hanya untuk satu malam.
Tapi, jika bang Asrul bersedia seperti itu, aku rasa tidak ada salahnya aku mencoba. Setidaknya aku bisa merasakan kehangatan dari orang yang aku cintai, meski ia tak mencintaiku.
"ok, bang. Saya setuju.." ucapku akhirnya.
Dan kami pun sepakat untuk membuat janji bertemu di sebuah hotel pada malam berikutnya.
****
"sebelum kita melakukannya, ada satu hal yang ingin aku ceritakan sama kamu, An." ucap bang Asrul, ketika keesokan malamnya, kami akhirnya bertemu di sebuah kamar hotel.
"cerita apa, bang?" tanyaku pelan.
"sebenarnya, ketika saya memberi syarat supaya kamu bisa meraih lima besar waktu itu, saya juga punya tanggungjawab besar kepada papa kamu, An."
"ketika kamu mengungkapkan perasaanmu padaku waktu itu, sebenarnya aku kemudian mengajukan pengunduran diri pada papamu, An. Meski aku tidak mengatakan alasan ku yang sebenarnya."
"karena itu aku tidak datang selama dua kali pertemuan. Namun papamu terus mendesak agar aku tetap mengajarkan les sama kamu."
"beliau juga tidak bersedia membayarku, jika aku berhenti saat itu. Karena itu, aku akhirnya kembali memberi les untuk kamu."
"lalu kemudian papa kamu, memberi tantangan untukku, yang aku sendiri tidak yakin bisa memenuhinya."
bang Asrul menarik napas cukup panjang, sambil ia menatapku tajam.
"tantangan apa, bang?" tanyaku tiba-tiba.
"jika saya berhasil membuat kamu meraih sekurang-kurangnya sepuluh besar, maka beliau akan membayarku dua kali lipat. Namun jika aku gagal, maka beliau tidak akan membayarku sepeser pun." jelas bang Asrul lagi.
Aku cukup kaget mendengar semua cerita bang Asrul barusan. Meski aku juga tidak begitu paham akan semua hal tersebut.
"jadi sebenarnya kita saling bantu, An. Saya bantu kamu untuk belajar, dan kamu bantu saya untuk membuktikan kepada papa kamu, kalau saya berhasil membuat kamu lebih baik." ucap bang Asrul kembali.
"dan karena itu juga, malam ini aku bersedia tidur sama kamu. Sebagai bentuk ucapan terima kasih sekaligus penghargaan buat keberhasilan kamu bisa masuk sepuluh besar.." lanjutnya.
"jadi bang Asrul, benar-benar tidak punya perasaan apa-apa padaku?" tanyaku penasaran.
"terus terang aku salut dengan perjuangan kamu, An. Tapi itu belum bisa membuatku jatuh cinta padamu. Apa lagi aku sudah menikah dan juga sudah punya anak."
"jadi setelah malam ini, saya harap kamu bisa belajar untuk melupakanku. Saya yakin kamu bisa, kok. Seperti kamu bisa meningkatkan hasil belajarmu, dari rangking terakhir menjadi rangking sembilan."
kalimat bang Asrul benar-benar membuatku terpuruk.
Aku bisa saja setuju dengan permintaan bang Asrul, untuk tidur dengannya malam ini, lalu kemudian belajar untuk melupakannya.
Namun sekali lagi, bukan itu yang aku inginkan.
Aku tidak ingin melakukannya, jika bang Asrul hanya terpaksa.
Aku memang mencintai bang Asrul, dan aku ingin ia juga mencintaiku.
Namun jika ia melakukan semua ini hanya karena terpaksa, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya.
Aku memang penasaran, seperti apa rasanya semua itu. Tapi aku tidak ingin melakukannya, dengan orang yang tidak menginginkannya sepertiku. Apa lagi ini adalah pertama kalinya dalam hidupku.
Aku ingin hal pertama tersebut, aku lakukan dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku.
"maaf, bang Asrul. Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku ingin pengalaman pertamaku dengan orang yang juga mencintaiku. Jika bang Asrul tidak menginginkan ku, aku tidak bisa melanjutkan ini.." ucapku akhirnya.
Setelah berkata demikian, aku segera bangkit lalu melangkah untuk segera keluar dari kamar tersebut.
"bang Asrul gak usah khawatir, aku akan belajar melupakan abang.." ucapku lagi, sambil mulai melangkah keluar.
Aku sadar, mungkin keputusanku ini salah. Aku seharusnya tetap mencoba hal tersebut.
Tapi aku takut, jika aku tetap nekat melakukannya, aku justru semakin tidak bisa melupakan bang Asrul.
Jadi lebih baik, aku tidak pernah merasakannya sama sekali, dari pada harus membuatku semakin terluka parah.
Semoga saja kelak suatu saat, aku bisa bertemu dengan orang yang juga mencintaiku.
Ya, semoga saja....
****
Sekian ...