Cowok penjual tissue part 2 (kesempatan ketiga)

Sejak kehilangan jejak Jeff untuk yang kedua kalinya di kota Medan, asa ku kembali memudar.

Sempat terpikir untuk mencari Jeff ke Batam atau Jakarta, tapi bagaimana mungkin aku bisa menemukan Jeff di kota sebesar itu.

Apa lagi sepertinya Jeff juga sengaja menghilang dariku.

 

kisah gay

Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah, melanjutkan perjalanan hidupku yang masih sangat panjang.

Pelan, aku harus bisa belajar melupakan Jeff, seperti apa yang coba ia lakukan terhadapku.

Namun cinta bukanlah sesuatu yang mudah hilang dari hatiku. Aku masih sering memikirkan Jeff.

Tapi apalah dayaku, jika Jeff sendiri yang memutuskan untuk pergi, meski aku tahu, ia masih mencintaiku.

Berbulan-bulan berlalu sejak Jeff pergi. Aku mulai mencoba menata hatiku kembali. Mencoba menghapus bayangan Jeff, belajar untuk melupakannya.

Dalam kekosongan hatiku itulah, aku bertemu dan berkenalan dengan bang Ikhsan.

Bang Ikhsan tidak tampan, setidaknya tidak setampan Jeff. Bang Ikhsan juga bukan dari keluarga berada.

Ia hanya seorang perantau, dan bekerja di sebuah supermarket di tengah-tengah kota Medan.

Bang Ikhsan tinggal sendiri di sebuah kamar kost.

Aku mengenal bang Ikhsan karena sering berbelanja di supermarket tempat ia bekerja.

Diam-diam ternyata bang Ikhsan sering memperhatikanku, hingga akhirnya ia berani mengajakku kenalan.

Bang Ikhsan sangat baik padaku, apa lagi saat ini aku memang butuh teman untuk sekedar menghiburku.

Semakin lama aku dan bang Ikhsan semakin dekat dan akrab.

Bang Ikhsan jauh lebih tua dariku. Usianya sudah hampir kepala tiga, sementara aku sendiri masih 22 tahun.

Namun perbedaan usia itu, tidak membuat jarak apa pun diantara kami. Terutama karena bang Ikhsan sangat pengertian.

Setelah hampir tiga bulan kami saling kenal dan akrab, bang Ikhsan akhirnya berterus terang tentang perasaannya padaku.

"aku suka sama kamu, Jim. Bahkan sejak awal aku melihat kamu.." begitu ucapnya suatu malam, saat kami bertemu kembali di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu.

Aku tidak begitu kaget mendengar hal tersebut, karena aku cukup yakin dari awal, kalau bang Ikhsan memang menyukaiku.

Dan sebenarnya kami juga sudah berterus terang tentang siapa kami sebenarnya dari awal-awal kedekatan kami beberapa bulan yang lalu.

Tapi ada satu hal yang belum berani aku ceritakan kepada bang Ikhsan, yakni mengenai hubunganku dengan Jeff.

"maaf bang Ikhsan, saya belum bisa menjawabnya sekarang.." ucapku akhirnya.

"kenapa? Apa kamu sudah punya pacar? Atau saya ini bukan tipe kamu?" bang Ikhsan bertanya dengan nada lirih.

"bukan.. bukan karena itu, bang. Aku tidak punya pacar saat ini, dan bang Ikhsan juga termasuk tipe saya, kok. Hanya saja, ada bagian dari masa laluku yang belum sempat aku ceritakan kepada bang Ikhsan." jawab cepat.

"masa lalu seperti apa?" tanya bang Ikhsan datar.

"panjang ceritanya, bang. Saya harap abang bisa mengerti ya.." balasku kemudian.

"oke, gak apa-apa, kok, Jim. yang penting kita masih bisa terus seperti ini kan?" suara bang Ikhsan masih terdengar datar.

"iya, bang. Saya hanya lagi sedang belajar melupakan masa lalu, bang." ucapku pelan.

*****

Kehadiran dan ketulusan hati seorang Ikhsan telah mampu membuatku menjadi dilema.

Antara melupakan Jeff dan segala kisah tentangnya, lalu menyambut cinta tulus dari bang Ikhsan.

Atau tetap bertahan, berharap dan menanti saat dimana aku bisa bertemu kembali dengan Jeff dan melanjutkan kisah kami. Meski aku sendiri tidak begitu yakin, kalau aku akan menemukan Jeff lagi.

Aku dan Jeff memang sempar pacaran hampir tiga tahun, namun Jeff memilih pergi ketika keadaan keluarganya menjadi kacau, hingga kami terpisah selama dua tahun.

Namun setelah pertemuan dua tahun itu, Jeff kembali memilih untuk pergi tanpa memberi kabar apa pun padaku.

Dan sekarang aku sendiri tidak tahu dimana keberadaan Jeff sebenarnya.

Sementara kehadiran bang Ikhsan mengisi hari-hariku, telah mampu membasuh luka karena kepergian Jeff.

Haruskah aku menerima kehadiran bang Ikhsan dan membangun mimpi baru dengannya?

Atau aku harus tetap sabar menanti Jeff yang tidak pernah pasti?

Jeff adalah cinta sekaligus pacar pertamaku, karena itu aku tidak mudah melupakannya.

Apa lagi kepergiannya, tidak sepenuhnya kesalahan Jeff.

Tapi Jeff terlalu pengecut, dan aku kecewa karenanya.

Dan pergantian waktu akhirnya menyadarkanku, bahwa hidup berjalan ke depan. Aku tidak ingin lagi terbuai oleh masa lalu.

Aku harus bisa menghapus jejak Jeff di hatiku, dan menggantinya dengan bang Ikhsan.

Karena itulah akhirnya aku memutuskan untuk menerima cinta bang Ikhsan, meski separoh hatiku masih menyimpan nama Jeff.

"makasih ya, Jim. Sudah memberi aku kesempatan.." ucap bang Ikhsan lembut, saat aku bersedia menjalin hubungan cinta dengannya.

"lalu bagaimana dengan Jeff? Apa kamu sudah melupakannya?" tanya bang Ikhsan kemudian.

Aku memang telah berterus terang kepada bang Ikhsan tentang Jeff, tentang semuanya.

Dan sepertinya bang Ikhsan juga sangat mengerti.

"entahlah, bang. Sejujurnya aku masih belum bisa melupakannya. Tapi aku juga tidak ingin selamanya terjerat akan cinta masa laluku.." jawabku akhirnya, berusaha untuk jujur.

Bang Ikhsan hanya tersenyum, senyum yang sangat manis. Dan aku merasa bahagia melihat senyum itu.

"makasih ya, bang. bang Ikhsan sudah sangat baik dan sangat mengerti akan diriku.." aku berucap lagi.

"aku mencintai kamu, Jim. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik buat kamu, aku hanya ingin kamu bahagia.." bang Ikhsan berucap penuh perasaan, yang membuatku merasa tersanjung.

Dan begitulah...

Aku dan bang Ikhsan akhirnya menjalin hubungan asmara.

Hari-hari menjadi berbeda bagiku saat ini.

Meski tidak sepenuhnya aku bisa menerima kehadiran bang Ikhsan, tapi setidaknya aku tidak perlu lagi memikirkan sosok Jeff.

Dan aku mulai menemukan kebahagiaan bersama bang Ikhsan.

****

Setahun hubunganku dengan bang Ikhsan berjalan. Kebersamaan kami semakin terasa indah.

"jadi selesai kuliah kamu mau kemana, Jim?" tanya bang Ikhsan suatu hari.

"gak tahu juga, bang. Tapi papa udah menawarkan untuk bekerja di perusahaannya. Karena aku anak satu-satunya, jadi jelas aku lah yang akan melanjutkan perusahaan tersebut nantinya.." balasku.

"baguslah.." ucap bang Ikhsan lagi, "lalu bagaimana dengan hubungan kita? Kalau kamu kembali ke Pekanbaru, kita pasti akan sangat sulit untuk bertemu.." lanjutnya.

"aku sudah memikirkan hal tersebut, bang. Aku ingin bang Ikhsan ikut denganku ke Pekanbaru. Aku akan meminta papa untuk memberi abang pekerjaan di perusahaan kami.." ucapku.

"dengan hanya mengandalkan ijazah SMA, dan hanya punya pengalaman bekerja di supermarker, pekerjaan apa yang bisa saya lakukan disana, Jim.?" tanya bang Ikhsan.

"abang tenang aja, yang penting abang mau ikut denganku.." balasku ringan.

****

Setelah menyelesaikan kuliah, setahun kemudian, aku pun mengajak bang Ikhsan untuk ikut denganku kembali ke Pekanbaru, kota asalku.

Setelah perdebatan hebat dengan papa, akhirnya bang Ikhsan bisa bekerja di perusahaan meski hanya sebagai seorang OB.

"kamu gak malu, Jim. Punya hubungan dekat dengan seorang OB?" tanya bang Ikhsan suatu hari, setelah hampir sebulan ia bekerja.

"udahlah, bang. Kita udah bahas ini berkali-kali loh, bang. Dan abang juga udah janji untuk tidak mengungkit-ungkitnya lagi.." balasku.

"iya, aku tahu, Jim. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku rela pindah kesini hanya untuk bisa selalu bersama kamu. Aku rela meninggalkan pekerjaanku disana, hanya demi cinta kita. Aku harap ini semua akan setimpal, Jim.." suara bang Ikhsan terdengar lirih.

Harus aku akui, kalau bang Ikhsan memang telah berkorban banyak untukku selama ini.

"abang tenang aja. Kita akan selalu bersama-sama, bang. Walau apapun yang akan terjadi.." balasku akhirnya.

"lalu bagaimana dengan keluarga kamu, teman-teman kantor kamu?" tanya bang Ikhsan lagi.

"selama kita bisa menjaga rahasia, bang. Hubungan kita aman, kok." balasku yakin.

"aku sangat mencintai kamu, Jimmy.." ucap bang Ikhsan tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"aku juga mencintaimu, bang Ikhsan.." balasku lembut.

*****

"Jimmy..!" sebuah suara memaku langkahku, ketika aku hendak memasuki lobi hotel.

Aku hendak bertemu bang Ikhsan yang sudah menungguku di salah satu kamar hotel tersebut.

Sejak pindah ke Pekanbaru, hampir setahun yang lalu, aku dan bang Ikhsan memang sering melakukan pertemuan di hotel-hotel yang berbeda.

Kami harus bisa mengatur jadwal dan tempat pertemuan kami, agar hubungan kami tidak terlalu dicurigai.

Aku memutar tubuh untuk menatap orang yang barusan memanggil namaku.

Seorang laki-laki berdiri tak jauh dariku. Matanya tajam menatapku.

Aku memicingkan mata, mencoba mengenali laki-laki tersebut.

"Jeff.." suaraku tertahan.

Jeff berdiri hanya dua langkah dariku. Penampilannya jauh berbeda dari terakhir kali aku melihatnya di Medan.

Sangat berbeda!

Jeff yang sekarang sudah tidak kumuh lagi, tubuhnya terlihat semakin berisi dan terawat dengan baik.

Penampilannya benar-benar terlihat seperti seorang pengusaha kaya, dengan setelan jasnya yang terlihat mewah.

"kenapa? Kamu gak percaya kalau saya Jeff?!" suara Jeff mengagetkanku.

"gak.. aku... aku hanya pangling. Kamu sangat berbeda, Jeff.." ucapku terbata.

Sebenarnya, bukan hanya karena penampilan Jeff yang berubah 180 derajat saja yang membuatku terpaku, tapi juga karena aku belum siap untuk bertemu Jeff lagi.

Hampir lima tahun, aku tidak bertemu Jeff. Aku bahkan tidak pernah mendengar kabarnya lagi.

Dan sekarang tiba-tiba ia berada disini, dihadapanku dengan penampilan yang berbeda.

"apa kabar kamu, Jim?" pertanyaan Jeff membuatku terkaget kembali.

"uh..oh.. aku.. aku.. aku baik, kok. Kamu sendiri apa kabar?" suaraku masih terasa kaku.

"ya, seperti yang kamu lihat, Jim. Aku baik-baik saja.. dan aku sekarang udah pindah lagi ke Pekanbaru Jim. Ke kota kita ini.." jawab Jeff terlihat santai.

*****

"kemana aja kamu, Jeff?" tanyaku memulai pembicaraan, ketika akhirnya Jeff mengajak ngobrol di kafe hotel tersebut.

Aku sengaja mengirimkan pesan kepada bang Ikhsan bahwa aku akan terlambat datang ke kamarnya.

"setelah bertemu kamu di Medan, aku memutuskan untuk pindah ke Batam, Jim. Di sana aku tetap bekerja sebagai penjual tissue di lampu merah. Sampai akhirnya setahun kemudian, aku bertemu salah seorang mantan rekan bisnis papaku.."

"setelah tahu, apa yang menimpa keluargaku, beliau akhirnya menawarkanku untuk bekerja bersamanya. Kebetulan beliau punya beberapa hotel di sana."

"lebih setahun aku bekerja sebagai room service di sana, dan karena melihat kerjaku yang disiplin, beliau mengangkatku sebagai manager di salah satu hotelnya di kota Batam."

"dan beberapa bulan yang lalu beliau juga membuka cabang hotelnya di kota Pekanbaru ini. Karena beliau tahu, saya berasal dari sini, beliau pun menawarkan untuk aku pindah kesini, dan mengelola hotelnya ini.."

"jadi baru seminggu ini aku di sini.." jelas Jeff panjang lebar.

"jadi kamu sekarang manager hotel ini?" tanyaku meyakinkan.

Jeff hanya mengangguk ringan.

"kamu nginap disini?" tanyanya kemudian.

Untuk sesaat, aku hanya terdiam.

Aku tidak mungkin mengatakan, kalau aku akan bertemu bang Ikhsan di hotel ini. Tapi aku juga tidak punya alasan yang tepat, mengapa aku harus menginap di hotel ini. Sementara Jeff sendiri tahu, kalau tempat tinggalku tidak jauh dari sini.

"sebenarnya saya ada janji bertemu dengan salah seorang rekan bisnis papa disini, tapi tadi orang tersebut sudah mengabarkan kalau pertemuannya di tunda besok.." jawabku akhirnya, penuh kebohongan.

Tak lama kemudian, aku pun pamit untuk pulang, karena hari juga sudah malam.

Aku mengirim pesan kepada bang Ikhsan bahwa aku tidak jadi datang, karena ada keperluan mendadak.

Aku tidak mungkin bertemu bang Ikhsan di hotel tersebut. Aku tidak ingin Jeff memergokiku disana.

*****

Pertemuanku dengan Jeff kemarin, telah mengobrak-abrik perasaanku.

Tidak bisa aku pungkiri, kalau aku merasa bahagia bisa bertemu Jeff kembali.

Apa lagi melihat kondisinya saat ini, yang jauh lebih baik.

Tapi aku juga tidak mungkin mengabaikan kehadiran bang Ikhsan.

Bang Ikhsan telah menemaniku melewati hari-hari selama bertahun-tahun.

Tiba-tiba saja aku merasa dilema, meski aku sendiri tidak pasti seperti apa sebenarnya perasaan Jeff padaku saat ini.

"apa aku masih punya kesempatan?" tanya Jeff, ketika pada akhirnya ia mengajakku bertemu kembali di sebuah kafe.

Aku tidak bisa menolak ajakan Jeff, setidaknya sebagai seseorang yang pernah dekat dengannya.

"kesempatan apa yang kamu inginkan dariku, Jeff?" ucapku balik bertanya.

"semuanya, Jim. Terutama kesempatan untuk memulai lagi hubungan kita dari awal. Atau sebenarnya aku sudah terlambat?" balas Jeff kembali bertanya.

Kali ini aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Karena sejujurnya Jeff memang sudah terlambat, bahkan sangat terlambat.

Tapi aku tidak mungkin menceritakan tentang bang Ikhsan padanya.

"lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Jeff. Sudah berapa banyak orang lain yang singgah di hatimu, selama bertahun-tahun ini?" tanyaku akhirnya.

"sejak aku mengerti cinta, aku selalu menanamkan keyakinan pada hatiku, bahwa hanya ada satu yang akan aku pelihara dan tidak akan mencintai siapa pun, kecuali kekasihku.."

"dan sejak aku jatuh cinta padamu, Jim. Aku sudah berjanji tidak akan mencintai siapa pun lagi, kecuali kamu, sampai kapan pun.." ucap Jeff terdengar puitis.

"lalu mengapa dulu kamu pergi lagi?" tanyaku parau.

"karena aku cukup sadar kamu terlalu tinggi untuk aku jangkau saat itu.." balas Jeff, masih dengan nada puitisnya.

"dan kenapa sekarang kamu kembali lagi?" aku bertanya lagi, aku merasakan mataku mulai berkaca.

"karena sekarang aku sudah yakin, bahwa aku telah mampu menggapai cintamu lagi, Jim.."

ucapan Jeff berusan benar-benar membuatku terenyuh.

Betapa Jeff mampu bertahan dengan kesetiaannya selama ini, sementara aku sendiri sudah menjalin hubungan dengan orang lain.

"aku mohon, Jim. Beri aku kesempatan ya.." kali ini suara Jeff memelas.

Oh, aku kembali terenyuh. Miris rasanya.

"maaf, Jeff. Aku.... aku.. aku gak bisa.." ucapku sedikit terbata.

"kenapa? Apa karena di hatimu sudah ada orang lain?" Jeff bertanya dengan nada pelan.

"bukan!" jawabku berbohong, "tapi aku takut, kamu akan menghilang lagi Jeff, seperti yang telah dua kali kamu lakukan padaku sebelumnya.." lanjutku mencoba jujur.

"aku janji, Jim. Kali ini aku tidak akan pernah meninggalkan kamu lagi. Hidup tanpamu selama bertahun-tahun, telah mengajarkanku bahwa betapa pentingnya dirimu bagiku." suara Jeff sedikit memelas namun terdengar tegas di telingaku.

Aku menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Aku mengusap wajahku beberapa kali, sekedar menenangkan pikiranku sendiri.

Oh, Jeff! Kenapa engkau harus datang lagi, setelah sekian lama menghilang?

Kenapa kamu datang, saat hatiku sudah terisi oleh nama orang lain?

Aku terus membathin, sementara Jeff terus memperhatikanku sejak tadi.

"kamu gak harus jawab sekarang, Jim." ucap Jeff tiba-tiba, setelah untuk sesaat suasana hening.

Aku melirik Jeff sekilas, lalu kembali tertunduk. Aku tak sanggup menentang tatapan mata teduh Jeff.

Mata teduh yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Dan hingga saat ini, mata itu masih terlalu indah.

Beberapa saat kemudian, Jeff pun pamit untuk pulang.

Kebekuan dan kekakuan diantara kami, membuat suasana sore itu menjadi terasa hambar.

*****

Aku dilema! Benar-benar dilema!

Jeff adalah cinta pertamaku, dan sejujurnya sampai saat ini aku masih mencintainya. Apa lagi mengingat betapa setianya Jeff padaku.

Namun di sisi lain, ketulusan cinta bang Ikhsan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Aku terpaku sendiri memikirkan hal tersebut.

Sampai sebuah sentuhan di bahu ku mengagetkanku.

"sering melamun sekarang?!" suara lembut bang Ikhsan, sambil ia duduk di hadapanku.

Aku dan bang Ikhsan memang sudah janjian untuk bertemu di sebuah kafe, tak jauh dari kantor tempat kami bekerja, saat jam makan siang.

"udah dengar berita pagi ini?" tanya bang Ikhsan melanjutkan, melihat reaksi ku yang tanpa suara.

"berita apa?" tanyaku tanpa selera.

"berita tentang kecelakaan seorang laki-laki muda, seorang manager hotel.." bang Ikhsan berucap santai.

"tidak. Belum. Lagian apa pentingnya berita seperti itu.." balasku masih tanpa selera.

"kamu lihat dulu videonya. Nih." balas bang Ikhsan, sambil ia menyodorkan hp-nya padaku.

Video tersebut menayangkan sebuah kejadian kecelakaan naas, yang menimpa seorang laki-laki muda.

Di beritakan bahwa sang laki-laki akhirnya tewas di tempat.

Dan tubuhku tiba-tiba terasa lemas tak berdaya, laki-laki tersebut adalah Jeff.

"Jeff..." desisku tanpa sadar. 

"kamu kenapa? Wajahmu pucat, Jim.." bang Ikhsan berucap dengan nada cemas.

"ini Jeff, bang.." balasku.

"ya, aku tahu. Karena itu ingin memperlihatkannya padamu, Jim." ucap bang Ikhsan.

"kenapa abang tahu, kalau ini Jeff?" tanyaku kemudian.

"kamu lihat di bagian akhir video itu, Jim. Kamu fokus pada tangan kanan laki-laki tersebut.." jelas bang Ikhsan yang membuatku bingung.

Tapi aku segera mengikuti perintahnya.

Dan betapa kagetnya aku, ketika melihat di genggaman tangan Jeff yang sudah tak bernyawa tersebut, terdapat selembar photo.

Dan photo itu adalah photo-ku yang aku berikan pada Jeff ketika kami masih pacaran dulu.

"bahkan hingga akhir hayatnya, Jeff masih terus mengingat kamu, Jim.." suara bang Ikhsan pelan.

Oh... Mataku berkaca. Air  mataku jatuh menetes tanpa sadar.

Jeff... kenapa kamu harus pergi lagi? Bathinku pilu.

Aku baru saja berencana untuk memberimu kesempatan Jeff. Tapi kenapa kamu harus pergi?

Kenapa kamu harus pergi secepat itu Jeff?

Dan kali ini, kamu pergi untuk selama-lamanya. Kamu tidak akan pernah kembali lagi Jeff.

Dan itu membuat luka di hatiku kian parah.

Aku terus membathin, tak pedulikan reaksi kebingungan bang Ikhsan melihat aku yang menangis tersedu-sedu.

Aku akan kehilangan Jeff untuk selama-lamanya. Dan aku belum siap untuk itu.

Jeff memang sudah beberapa kali menghilang tanpa kabar. Tapi selama ini aku masih punya harapan untuk bisa bertemu lagi dengannya.

Tapi kali ini Jeff pergi dengan kabar yang cukup jelas, tapi justru membuatku merasa kehilangannya jauh lebih parah dari kepergian-kepergiannya dulu.

Mengapa Jeff hanya sekedar singgah di hidupku, ia tak pernah benar-benar menetap.

Dan yang paling menyakitkan dari semua itu, Jeff pergi dengan membawa cintanya yang begitu besar untukku.

Jeff pergi dengan meninggalkan sejuta kenangan untukku.

Maafkan aku Jeff! Andai saja engkau tahu, betapa aku juga sangat mencintaimu...

Semoga kamu tenang di alam sana...

Dan semoga saja aku mampu melanjutkan hari-hariku kembali, meski tanpa harapa untuk bisa bertemu dengan Jeff lagi...

ya, semoga saja...

*****

Sekian..

Cinta untuk Aditya...

Aku menatap Aditya tanpa kedip, seolah tak percaya dengan apa yang barusan diucapkannya.

"kamu serius, Dit?" tanyaku setengah mendesah.

Aditya membalas tatapanku, senyum manisnya mengembang.

"iya, aku serius.." ucapnya pelan.

Meski aku sudah menduga hal ini akan terjadi, namun tetap saja aku merasa belum siap untuk mendengarnya.

Cinta untuk Aditya

Aditya adalah sahabatku sejak SMA, hingga kini kami sudah memasuki tahun kedua kuliah.

Persahabatan kami selama ini memang cukup erat. Ditambah pula kami kuliah di kampus dan fakultas yang sama, membuat kedekatan kami kian terasa.

Aditya merupakan sahabat terbaikku, dia selalu ada kapan pun aku membutuhkannya.

Aditya adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya. Kehidupannya memang terbilang mewah dan serba berkecukupan.

Sementara aku sendiri hanyalah anak seorang pedagang asongan. Aku anak kedua dari empat bersaudara.

Kakakku perempuan sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya sendiri, meski masih kontrak. Suaminya hanya seorang buruh bangunan.

Kedua adikku juga perempuan dan masih sekolah.

Secara ekonomi kehidupan keluargaku memang sangat jauh berbeda dengan kehidupan Aditya yang serba ada.

Namun hal itu tidaklah membuat perbedaan apapun dalam persahabatan kami.

Aditya dan kedua orang tua nya sangat baik padaku. Aditya sering mengajakku ke rumahnya dan bahkan aku sering menginap disana.

Aku juga sering mendapatkan bantuan finansial dari Aditya, meski aku tidak pernah memintanya.

Kebaikan Aditya selama ini, membuat aku terkadang merasa berhutang budi padanya.

"itulah gunanya sahabat, Jer. Harus bisa saling membantu.." begitu ucap Aditya selalu, setiap kali aku membahas tentang kebaikannya padaku.

Bertahun-tahun persahabatan kami terjalin dengan baik. Namun akhir-akhir ini, perlakuan Aditya padaku terkadang terasa berlebihan bagiku.

Bahkan Aditya terkadang sering mendekapku dengan sengaja, terutama saat aku menginap di kamarnya.

Mulanya aku menganggap semua itu hanyalah hal yang biasa. Namun lama kelamaan aku juga terkadang merasa cukup risih dengan sikapnya tersebut.

Apa lagi Aditya juga sering bersikap mesra padaku. Sering memberiku hadiah-hadiah tanpa alasan yang jelas.

Pada akhirnya aku mulai menyadari, kalau sikap Aditya tersebut bukanlah sesuatu yang wajar.

Aku mulai menyadari, kalau Aditya itu berbeda.

Sampai akhirnya Aditya dengan terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku.

"aku jatuh cinta padamu, Jer..." begitu ucap Aditya tadi. Ucapan yang membuatku menatapnya tanpa kedip dan hampir tak percaya.

"kamu yakin, Dit?" tanyaku sekali lagi, sekedar meyakinkan pendengaranku sendiri.

"apa aku harus mengulang ucapanku lagi?!" balas Aditya kemudian.

Oh, aku menghela napas. Kemudian tertunduk.

Aku tidak tahu harus berkata apa saat ini. Kejujuran Aditya tentang perasaannya padaku, telah menumbuhkan dilema di hatiku.

Tak pernah aku sangka, kalau Aditya ternyata adalah seorang gay. Pantas saja selama ini aku tidak pernah melihatnya pacaran.

"kenapa harus seperti ini, Dit?" tanyaku akhirnya, dengan nada lirih.

"aku juga tidak mengerti dengan semua ini, Jer. Semua ini terjadi begitu saja. Aku tak bisa membendung perasaanku sendiri. Aku tak mampu lagi menutupinya. Aku hanya ingin kamu tahu, dan aku tidak berharap apapun dari kamu, Jer." Aditya membalas dengan nada tak kalah lirihnya.

"aku tahu ini salah, Jer. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku tidak mungkin selamanya bisa memendam perasaan ini." Aditya melanjutkan kalimatnya.

"aku tahu ini akan merusak persahabatan kita, Jer. Tapi aku juga tidak ingin menyimpan perasaan cintaku padamu, di balik topeng persahabatan kita. Aku mencintai kamu, Jer. Selama ini aku menganggap kamu lebih dari sekedar sahabat..."

Aku terpaku mendengar semua itu. Hatiku semakin bimbang.

Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan Aditya sebagai sahabat, apa lagi mengingat betapa baiknya Aditya selama ini padaku.

Tapi aku juga tidak bisa terus menjalin persahabatan dengan Aditya, sementara aku tahu kalau ia mencintaiku.

Selama ini Aditya juga tahu, kalau aku sudah beberapa kali berpacaran dengan perempuan. Bahkan saat ini pun aku juga sedang melakukan pendekatan dengan seorang cewek teman kampus kami.

Aku tidak menegaskan kalau aku normal. Karena siapa saja sangat berpotensi menjadi seorang gay.

Tapi setidaknya hingga saat ini, aku masih selalu berfantasi tentang perempuan. Tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku untuk berpacaran dengan seorang laki-laki.

Namun sekali lagi, sebagai sahabat aku sangat membutuhkan Aditya dalam hidupku.

******

Sudah seminggu aku tak lagi pernah bertemu atau pun berkomunikasi dengan cara apa pun dengan Aditya.

Kejujurannya tentang perasaannya padaku seminggu yang lalu, telah merubah segalanya.

Aku tidak membenci Aditya. Tidak sama sekali.

Terlepas dari siapa pun Aditya sebenarnya, ia adalah sahabat yang baik.

Namun aku belum bisa menerima kenyataan kalau ia jatuh cinta padaku. Selain itu, aku juga merasa risih harus dekat-dekat dengannya lagi.

Aditya sendiri juga tidak berusaha menemui atau pun menghubungiku.

Seminggu ini, aku benar-benar merasa kesepian. Tak ada lagi gelak canda dari Aditya, yang selalu mampu menghiburku selama ini.

Tak ada lagi tempat aku berbagi cerita.

Tiba-tiba saja rasa kehilangan menyelimuti hatiku. Tiba-tiba saja rasa rindu menghantui perasaanku.

Dan harus aku akui, kalau seminggu ini aku jadi sering memikirkan Aditya.

Namun apa yang bisa aku perbuat saat ini?

Akh, aku semakin bingung. Benar-benar bingung.

*****

Sebulan akhirnya berlalu. Aku masih dengan sikap yang sama terhadap Aditya.

Tidak berusaha menghubunginya dan selalu berusaha menghindari pertemuan dengannya.

Hubungan persahabatan kami benar-benar telah berubah menjadi hubungan dua orang asing yang tidak saling kenal.

Hingga suatu hari aku menerima sebuah email dari Aditya. Kira-kira isinya seperti ini :

Jerry sahabatku...

Aku tahu, kejujuranku akan perasaanku padamu, telah mampu mengubah kedekatan kita selama ini.

Terus-terang ada begitu banyak rasa bersalah yang terus menghantuiku sebulan belakangan ini.

Tapi aku tidak mungkin bisa menarik perkataanku lagi.

Apa yang sudah aku ungkapkan padamu sebulan yang lalu adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa aku pungkiri.

Meski pada akhirnya, harus aku akui, kalau aku merasa menyesal akan semua itu.

Untuk itu, aku berusaha untuk menjumpaimu.

Tapi sepertinya kamu selalu berusaha untuk menghindariku, seakan-akan aku adalah seorang penyakitan yang akan menularkan virus-virus berbahaya padamu.

Aku sadar, aku memang berbeda. Aku menjijikkan!

Aku memang tidak berpantas berteman dengan siapa pun.

Tapi satu hal yang harus kamu tahu, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang ingin terlahir sebagai seorang gay, tak terkecuali saya.

Bukan keinginanku, untuk terlahir berbeda.

Bukan keingananku, untuk akhirnya jatuh cinta padamu.

Semua itu terjadi begitu saja, tanpa bisa aku cegah dan tanpa bisa aku hindari.

Aku cukup sadar kok, kamu pasti malu berteman denganku.

Karena itulah aku memutuskan, untuk pindah. Pindah kuliah dan juga pindah rumah.

Aku memutuskan untuk pindah ke kota lain, agar kita tidak lagi saling bertemu.

Agar kamu bisa terus bebas melewati hari-hari, tanpa ada bayang-bayangku di sana.

Aku akan belajar melupakanmu, melupakan segala kenangan indah yang tercipta dari persahabata kita selama ini.

Jika pun aku tidak mampu melupakanmu, izinkan aku menyimpan namamu direlung hatiku yang terdalam.

Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku beberapa tahun ini.

Tahun-tahun bersamamu adalah tahun-tahun paling indah dalam perjalanan hidupku.

Terima kasih telah menajdi bagian penting dalam hidupku.

Aku harap, kamu tidak melupakanku, meski hanya sebagai sahabat.

Dari sahabatmu yang mencintaimu,

Aditya...

*****

Hatiku merasa tergores membaca isi email tersebut.

Ada luka memanjang yang menyayat hatiku tiba-tiba.

Perih...

Aku memang belum bisa menerima kenyataan, kalau sahabatku adalah seorang gay dan dia mencintaiku.

Tapi aku lebih tidak bisa menerima kenyataan, kalau aku akan kehilangan dirinya.

Tiba-tiba rasa rindu menyelubungi hatiku.

Aku rindu tawanya, aku rindu cerita dan candanya.

Dan yang lebih parah lagi, aku merindukan dekapannya.

Oh, tidak...

Aku tidak boleh terlarut dalam rasa ini. Biar bagaimana pun, Aditya adalah seorang laki-laki.

Hubungan kami tidak boleh lebih dari sekedar sebuah persahabatan.

****

Aku tak berniat untuk membalas email Aditya.

Bukan karena aku tidak peduli dengan perasaannya, tapi aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa saat ini.

Kehadiran Aditya selama ini, telah mampu mengisi hari-hariku dengan indah.

Namun sekarang ia tak lagi bersamaku.

Rasa kehilangan itu pasti ada. Tapi untuk bisa terus menjalin persahabatan dengan Aditya terasa sulit bagiku.

Karena itu, aku pun mencoba menjalani hari-hariku tanpa kehadiran Aditya.

Mungkin memang harus seperti ini. Persahabatan kami tidak mungkin bisa dilanjutkan lagi, apa lagi Aditya sendiri sudah memutuskan untuk pergi dari kehidupanku.

Aku duduk sendirian di bangku taman sore itu, mengingat-ingat kembali kebersamaanku dengan Aditya selama ini.

Tiba-tiba seorang laki-laki paroh baya duduk di dekatku.

"kamu Jerry, kan?" tanya laki-laki itu tiba-tiba.

Aku menatap laki-laki itu beberapa saat, mencoba mengenali wajahnya.

"maaf bapak siapa ya?" tanyaku akhirnya, setelah cukup yakin aku tidak mengenalinya.

"saya Rangga. Panggil aja om Rangga. Saya tahu kamu dari Aditya.." balas laki-laki itu datar.

"apa hubungan om sama Aditya?" tanyaku lagi.

"sebenarnya kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami hanya saling kenal lewat media sosial. Aditya sering curhat padaku tentang kamu.." jelas laki-laki kemudian, sambil ia sedikit menyunggingkan senyum.

"Aditya cerita apa aja sama om?" tanyaku penasaran.

"banyak, sih. Terutama tentang perasaannya padamu yang selama ini ia pendam. Aditya juga udah cerita kalau sekarang ia udah pindah, karena merasa malu bertemu lagi denganmu." om Rangga menarik napas ringan.

"Aditya sempat salah sangka karena perlakuanmu padanya selama ini. Ia pikir kamu juga punya perasaan yang sama dengannya. Tapi ternyata ia salah, karena itu juga ia pergi." lanjut om Rangga kemudian.

"lalu untuk apa om menemui saya?" aku bertanya lagi.

"saya penasaran sih sebenarnya. Aditya memang sempat mengirimkan photo kamu sama saya. Karena itu tadi ketika melihat kamu duduk sendirian disini, saya beranikan diri untuk menghampiri kamu. Sekedar meyakinkan, bahwa kamu memang pantas untuk selalu dipuja-puja selama ini oleh Aditya." om Rangga menjawab dengan lugas.

"emangnya Aditya sebegitunya ya, sama saya?" tanyaku kemudian.

"iya. Aditya terlalu mencintai kamu. Sampai-sampai ia selalu menolak setiap kali aku mengajaknya berpacaran." jawab om Rangga.

"om Rangga gay juga?" tanyaku cukup berani.

Om Rangga tak menjawab. Ia hanya mengangguk ringan.

"menjadi gay itu bukan pilihan." ucapnya kemudian, "tapi tidak mudah melepaskan diri dari semua itu. Mungkin bagi orang-orang, kami adalah sebuah penyakit yang harus dihindari dan pasti bisa diobati. Tapi seandainya saja mereka tahu, apa yang kami rasakan sebenarnya...." lanjut om Rangga menggantung kalimatnya.

"tapi ya sudahlah. Itu juga gak penting untuk dibahas. Yang harus kamu tahu saat ini ialah bahwa Aditya adalahh laki-laki baik, yang punya cinta yang begitu tulus untukmu. Sayang kamu telah menyia-nyiakannya.." ucap om Rangga kembali.

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.

Aku tahu, Aditya mencintaiku tulus. Tapi aku tetap tidak bisa memaksa hatiku untuk mencintainya juga.

Aku menyayangi Aditya sebagai seorang sahabat. Tidak lebih!

Dan sangat tidak mungkin bagiku untuk mencintainya sebagai seorang kekasih.

"ya udah, saya pergi.." ucap om Rangga tiba-tiba, setelah cukup lama kami saling terdiam.

"saya harap kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu.." lanjutnya, sambil mulai berdiri dan kemudian melangkah meninggalkanku sendirian.

******

Aku akhirnya pacaran dengan Melly, cewek cantik teman kampusku yang selama ini sudah aku incar.

Sejak berpacaran dengan Melly, aku mulai melupakan sosok Aditya dalam hidupku.

Aku sudah terbiasa menjalani hari-hari tanpa kehadiran Aditya sebagai sahabatku.

Namun hubunganku dengan Melly hanya bertahan tiga bulan. Karena akhirnya aku tahu, Melly hanya memanfaatkanku, untuk mengisi kekosongan hatinya.

Aku kecewa dan patah hati.

Saat-saat seperti ini, aku kembali teringat akan Aditya. Biasanya ia yang selalu menghibur dan memberikan semangat padaku.

Oh, Aditya.. dimanakah dirimu saat ini. Aku membutuhkanmu, aku merindukanmu..

Bathinku lirih.

Untuk menghibur diriku, aku mencoba berselancar di dunia maya. Tanpa sadar aku membuka akun milik Aditya yang sudah lama aku abaikan.

Aku melihat postingan-postingan Aditya yang terlihat bahagia dengan seorang laki-laki, yang aku ketahui adalahom Rangga.

Meski mereka tidak memperlihatkan kemesraan mereka, tapi aku yakin mereka sudah menjalin hubungan yang lebih serius.

Aditya bisa saja akhirnya menerima cinta om Rangga, untuk menutupi kekecewaannya padaku.

Dan entah mengapa aku merasa cemburu menyadari hal tersebut.

Aku tidak rela, Aditya menjadi dekat dengan om Rangga.

Aku mencoba mengirimkan pesan kepada Aditya, sekedar menanyakan kabarnya.

Tapi Aditya tidak segera membalas, meski ia sudah membacanya.

Sepertinya Aditya memang sudah berhasil melupakanku.

Dan sekali lagi, aku merasa kecewa akan hal itu.

*****

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba Aditya membalas pesanku.

Dia mengabarkan kalau ia baik-baik saja, dan juga bertanya tentang kabarku.

Aku pun menjawab kalau aku juga baik-baik saja.

Hari-hari selanjutnya, aku dan Aditya jadi sering chattingan.

Sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya tengan hubungannya dengan om Rangga.

"kenapa? Kamu cemburu ya?!" tanya Aditya melalui pesannya.

Untuk sesaat aku tidak membalas pesan itu. Aku harus memikirkan kalimat yang tepat untuk membalasnya.

Biar bagaimana pun, aku masih merasa malu untuk mengakui akan kecemburuanku. Tapi aku juga tidak rela, Aditya bersama om Rangga.

"gak, kok. Aku biasa aja. Hanya saja, aku takut kamu hanya dimanfaatkan oleh om Rangga.." balasku akhirnya.

"kamu tenang aja, Jer. Meski aku tahu om Rangga mencintaiku, tapi aku tidak punya rasa apa-apa padanya. Sampai saat ini, aku hanya mencintaimu.." Aditya membalas.

Entah mengapa membaca pesan tersebut, hatiku merasa lega. Bahkan bukan sekedar lega, tapi merasa bahagia.

Setidaknya aku masih punya harapan, untuk bisa bersama Aditya.

"aku juga mencintai kamu, Dit.." balasku, setelah berpikir cukup panjang.

Aditya tidak lagi membalas pesanku. Ia tiba-tiba menghilang.

Berhari-hari akunnya sudah tidak aktif lagi.

Aku mulai merasa khawatir. Aku takut terjadi apa-apa pada Aditya.

Selain itu, aku juga merasa takut, kalau Aditya tidak bisa memberikan aku kesempatan untuk menjalin hubungan yang serius dengannya.

Seminggu kemudian, akhirnya Aditya mengirim pesan padaku, bahwa ia sudah kembali dan sedang menungguku di sebuah hotel tak jauh dari rumah tempat aku tinggal.

Dengan perasaan bahagia, aku segera menuju hotel tersebut.

Sesampai disana, aku langsung menuju kamar hotel yang telah Aditya sebutkan tadi.

Aditya menyambutku senyum mengembangnya.

Aku segera mendekap tubuh Aditya. Dekapan itu terasa hangat dan begitu nyaman.

Segala rasa rinduku seakan sirna.

Akhirnya segala keegoanku selama ini, luluh oleh ketulusan cinta seorang Aditya.

"aku yakin, kamu akan segera menyadari semua ini, Jer.." bisik Aditya di telingaku.

"maafkan aku ya, Dit. Butuh waktu lama bagiku untuk mengakuinya. Maafkan aku juga, telah membiarkanmu menunggu begitu lama.." balasku ikut berbisik.

"itu tidak penting lagi, Jer. Yang penting sekarang, kita bisa bersama-sama. Tidak lagi hanya sekedar sahabat, tapi lebih dari itu.." ucap Aditya selanjutnya.

Aku tidak berucap lagi. Aku mencoba menikmati saat-saat romantis itu.

"aku mencintaimu, Jerry. Aku sangat mencintaimu.." Aditya berucap lagi, kali ini terdengar penuh perasaan.

"aku juga mencintaimu, Dit. Aku harap kamu jangan pergi lagi ya.." balasku, sambil terus mendekapnya erat.

*****

Sekian...

Jarum suntik sang dokter hewan...

 Namaku Daffa. Sebut saja begitu.

Aku bekerja sebagai salah seorang staff di kantor Camat. Aku bekerja disana sudah hampir dua tahunan, sejak aku lulus kuliah.

Sebagai anak baru di kantor tersebut, dan juga sebagai seorang honorer, aku memang sering jadi orang yang di suruh-suruh, terutama oleh para seniorku.

Jarum suntik sang dokter hewan

Aku sering mendampingi pak Camat untuk turun ke desa-desa.

Dan jika ada tamu dari Kabupaten atau pun pusat, yang ingin berkunjung ke desa-desa, biasanya mereka akan mampir di Kecamatan.

Saya sering di suruh oleh pak Camat untuk menemani para tamu tersebut turun ke desa-desa.

Pada suatu hari, seorang dokter hewan ingin berkunjung ke sebuah desa di Kecamatan kami.

Namanya dokter Mulyono.

"panggil dokter Mul aja.." ucap pria paroh baya itu, saat ia memperkenalkan dirinya padaku.

Seperti biasa, pak Camat kali ini juga memintaku untuk menemani dokter tersebut.

"kita pakai mobil saya aja.." dokter itu berucap lagi, ketika kami hendak berangkat.

Jarak desa yang ingin dituju oleh dokter Mul, sekitar 15 kilo meter dari kantor Camat.

"dalam rangka apa dokter Mul ingin berkunjung ke desa itu?" tanyaku berbasa-basi, saat kami sudah berada di dalam mobil.

"sebenarnya ini kunjungan rutin. Tapi kali ini, dokter yang biasa datang sudah pindah. Jadi saya diminta untuk menggantikan dokter tersebut." jelas dokter Mul pelan.

"kami punya jadwal kunjungan ke desa-desa, terutama desa-desa yang memiliki banyak hewan ternak." dokter Mul melanjutkan.

Ya, sebenarnya saya juga sudah tahu hal tersebut. Tapi biasanya dokter yang berkunjung akan langsung datang ke desa, tanpa melalui Kecamatan.

Tapi mungkin karena dokter Mul baru di daerah ini, ia meminta pihak Kecamatan untuk menemaninya.

Berada berdua di dalam mobil bersama dokter Mul, membuat jantung saya tiba-tiba berdegup kencang.

Bukan karena aku yang baru pertama bertemu dokter Mul, tapi karena memang dokter Mul memiliki tampang yang sangat menarik.

Wajah dokter Mul cukup tampan. Meski usianya tidak lagi muda.

Hidungnya mancung, matanya teduh dengan bibirnya yang tipis.

Rahangnya kokoh dengan kulit wajahnya yang putih terawat.

Badannya tegap dengan postur tubuhnya yang terlihat atletis.

Jarang-jarang saya bertemu pria paroh baya seperti dokter Mul.

"dokter Mul... udah berapa anaknya?" tanyaku berbasi-basi lagi sekedar menghilangkan debaran di jantungku.

"oh, saya belum menikah.." jawab dokter Mul dengan suara sedikit pelan.

Saya terdiam kembali. Saya tidak menyangka kalau dokter Mul yang katanya sudah berusia 40 tahun itu belum pernah menikah.

Padahal menurut saya, dokter Mul sangat menarik secara fisik. Apa lagi kehidupannya juga sudah sangat mapan.

Tapi kenapa ia belum manikah? tanyaku membathin.

Ingin rasanya aku mempertanyakan hal tersebut, tapi karena kami baru saja saling kenal, rasanya kurang sopan harus bertanya hal pribadi seperti itu. Untuk itu saya hanya terdiam.

"kamu gak percaya kalau saya belum menikah?" tiba-tiba dokter Mul berucap, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.

"ya... emang gak bisa dipercaya, sih.." jawabku jujur.

"kenapa kamu gak percaya? Karena saya udah kelihatan tua ya?" dokter Mul bertanya lagi.

"bukan. Bukan karena itu. Tapi menurut saya dokter Mul kan orangnya ganteng, gagah, kehidupannya juga udah mapan. Masa' iya orang seperti dokter Mul belum menikah?!" ujarku sedikit blak-blakan.

"banyak yang bilang seperti itu, sih. Tapi kenyataannya saya memang belum menikah sampai saat ini." balas dokter Mul terlihat santai.

"kalau boleh tahu, kenapa dokter masih betah melajang?" tanyaku akhirnya memberanikan diri.

Dokter Mul melirikku sekilas, sambil ia tetap fokus menyetir mobilnya.

Kudengar dokter Mul menarik napas panjang, lalu ia pun berucap,

"saya juga gak tahu kenapa. Tapi setiap kali saya mencoba menjalin hubungan yang serius dengan perempuan, hubungan saya selalu kandas." suara itu terdengar serius.

"sudah berkali-kali saya patah hati karena perempuan. Dan sepertinya saya mulai lelah mencari jodoh saya." lanjutnya lagi.

"sekarang saya sudah mulai pasrah. Dan sepertinya saya juga sangat menikmati kesendirian saya saat ini. Hidup saya baik-baik saja, meski tanpa seorang pendamping.." dokter Mul berucap lagi.

Beberapa saat kemudian, kami pun sampai ke desa yang kami tuju. Kami mampir di kantor desa, untuk memperkenalkan dokter Mul pada aparat desa yang ada di kantor.

Setelah perbincangan basa-basi, kami pun mohon izin untuk mendatangi penduduk yang memiliki hewan ternak di desa tersebut.

Ada beberapa orang warga yang kami kunjungi sekedar wawancara formal untuk menanyakan keadaan hewan ternak mereka.

Dari beberapa orang tersebut, ada satu orang peternak yang mengadu bahwa ada seekor sapinya yang sedang sakit.

Dokter Mul mengajak orang tersebut untuk menengok sapi yang sakit itu.

Sesampai di tempat peternakan, dokter Mul terlihat sangat cekatan memeriksa sapi tersebut.

Dokter Mul mengeluarkan peralatan medisnya. Sebuah jarum suntik dikeluarkan dokter Mul.

Sebuah jarum suntik yang cukup besar.

Saya baru tahu, kalau jarum suntik untuk hewan ternyata berbeda dengan jarum suntik yang digunakan untuk manusia.

Saya hanya berani memperhatikannya dari kejauhan.

Setelah selesai memeriksa sapi tersebut, dan sedikit memberi penjelasan kepada si peternak, kami pun segera pamit.

Hari sudah mulai sore waktu itu. Dokter Mul menyetir mobilnya dengan mulai terlihat lelah.

Kami memang memutuskan untuk segera kembali ke Kecamatan.

******

"ternyata jarum suntik untuk hewan itu besar ya, dok.." ucapku sekedar memecah keheningan.

"kenapa? kamu takut di suntik ya?" tanya dokter Mul menjawab basa-basiku.

"kalau jarumnya sebesar itu, ya... saya takutlah, dok." balasku ringan.

"jarum saya lebih besar dari itu, kamu takut gak?" ucapan dokter Mul itu membuat saya memutar kepala untuk menatapnya.

"jarum yang mana maksudnya, dok?" tanyaku dengan sedikit tersenyum.

Bukannya menjawab, dokter Mul justru menghentikan mobilnya.

Suasana di jalan saat itu memang sedang sepi, tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Apa lagi saat itu sudah menjelang senja.

"jarum yang ini.." ucap dokter Mul kemudian, sambil ia mengarahkan telunjuknya ke bawah.

"ah, dokter bisa aja.." balasku tersipu.

"tapi kamu suka kan?" suara dokter Mul menggoda.

Aku tersipu kembali. Tidak sanggup menentang tatapan mata teduh milik dokter Mul.

"udah... kamu gak usah malu. Saya tahu, dari tadi kamu sering memperhatikan saya, kan?!" dokter Mul berucap lagi.

"kalau kamu suka, saya mau, kok.." lanjut dokter Mul, yang membuat saya mendongak kembali untuk menatap wajahnya.

Kali ini saya beranikan diri untuk menentang mata teduh itu. Saya hanya ingin memastikan, kalau dokter Mul serius dengan ucapannya barusan.

"dokter Mul serius?" tanyaku sekedar meyakinkan diriku sendiri.

"menurut kamu saya belum menikah hingga saat ini, itu karena saya gak laku?" tanya dokter Mul balik.

Repleks saya pun mengangguk menjawab pertanyaannya.

"jelas bukanlah. Salah satu penyebab hubunganku dengan perempuan sering kandas, itu karena aku sebenarnya tidak pernah benar-benar tertarik pada perempuan." ucap dokter Mul lagi.

"dan yang membuatku patah hati sebenarnya bukan karena hubunganku yang selalu kandas, tapi terlebih karena aku yang tak kunjung bisa jatuh cinta sama perempuan.." lanjutnya.

Aku terdiam kembali. Mencoba mencerna penjelasan dokter Mul barusan.

Meski aku tidak begitu paham. Tapi setidaknya aku bisa menyimpulkan, bahwa dokter Mul sebenarnya adalah seorang gay.

Dan kesimpulan itu, membuat hati berteriak senang.

Amat jarang saya bisa bertemu laki-laki setampan dan segagah dokter Mul.

Dan yang membuatku semakin merasa senang ialah ketika dokter Mul dengan terang-terangan menawarkan dirinya padaku.

"jadi gimana? Kamu mau gak?" pertanyaan dokter Mul itu membuatku sedikit terkaget.

Namun repleks aku pun menganggukkan kepala, pertanda aku memang menginginkannya.

Ku lihat dokter Mul menyunggingkan senyum manis. Lalu ia pun perlahan mulai menarik tanganku mendekatinya.

"kita melakukannya di dalam mobil ini, dok?" tanyaku ragu.

Aku bukannya gak mau melakukan hal tersebut di dalam mobil dokter Mul. Tapi aku takut, bisa saja ada orang yang lewat dan memergoki kami.

"tenang aja. Gak bakal ada yang lewat, kok. Kan udah hampir malam juga. Lagi pula kalau pun ada yang lewat mereka gak bakal berani untuk singgah." ucap dokter Mul mencoba meyakinkan saya.

Saya cukup setuju dengan ucapannya. Karena biasanya, kalau sudah malam, hampir tidak ada lagi orang yang lewat di jalan ini.

Dan lagi pula, kami melakukannya di dalam mobil. Sudah pasti tidak akan kelihatan dari luar, kalau orang cuma sekedar lewat.

Karena itu akhirnya aku pun membiarkan dokter Mul terus menarik tanganku.

"kamu gak takut di suntik, kan?" tanya dokter Mul tiba-tiba, saat tanganku mulai beraksi.

"kalau jarumnya seperti ini, saya gak bakalan takut, dok." balasku sambil tersenyum manja.

Dokter Mul kembali tersenyum. Ia terlihat memejamkan mata, mencoba menikmati apa yang aku lakukan padanya.

Perlahan namun pasti, kami akhirnya benar-benar terlena. Kami tak pedulikan lagi keadaan di sekeliling kami yang mulai gelap.

Dan senja itu, untuk pertama kalinya, aku dan dokter Mul yang tampan itu, pun melakukan hal tersebut.

Sebuah pengalaman yang sangat indah bagiku.

Sebuah pengalaman yang luar biasa.

Dokter Mul pun sepertinya sangat menyukai hal tersebut.

******

Sejak kejadian senja itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan dokter Mul.

Aku juga tidak berani untuk menghubunginya.

Aku cukup sadar diri, kejadian itu hanyalah sebuah kebetulan belaka.

Dokter Mul melakukannya bukan karena ia tertarik padaku. Tapi karena suasana saat itu memang membuatnya sedikit bergejolak.

Dokter Mul memanfaatkanku yang memang diketahuinya sudah tertarik padanya dari awal.

Tapi aku tidak mempermasalahkannya.

Dalam dunia pelangi, hal-hal seperti itu memang sering terjadi.

Kebanyakan dari kaum gay, hanya sekedar menikmati cinta satu malam. Atas dasar suka sama suka.

Lalu kemudian saling menghilang.

Dan aku sendiri, bukan sekali dua kali mengalami hal tersebut.

Dan kejadian dengan dokter Mul, bukanlah hal yang baru bagiku.

Aku sudah terbiasa dengan semua itu. Karena itu juga, aku tidak pernah berniat untuk menjalin hubungan yang serius dengan siapa pun.

Hanya saja, kesan yang diberikan dokter Mul padaku cukup mendalam.

Apa lagi sebelumnya aku belum pernah melakukan hal tersebut, di dalam sebuah mobil.

Setiap laki-laki yang singgah dalam hidupku, selalu punya cerita tersendiri.

Dan aku harus bisa merelakan mereka pergi.

Meski kadang, ada rasa sakit di hatiku. Apa lagi jika aku sudah terlanjur suka pada laki-laki tersebut.

Seperti halnya dokter Mul.

Dokter hewan yang punya jarum suntik yang tajam dan besar itu.

*****

Selesai ...

Mentimun mas Anto ...

Aku menghirup udara segar itu beberapa kali, dengan sengaja membuka jendela kaca mobil.

Udara itu memang terasa begitu nyaman di hidungku.

Pemandangan alam yang indah mengiringi perjalananku siang itu.

Sudah hampir satu jam mobil kami meninggalkan perkotaan.

Pak Daman tersenyum-senyum kecil melihat tingkahku tersebut, sambil ia terus fokus menyetir mobil dengan pelan.

"pelan-pelan saja, pak Daman.." pintaku ketika mobil kami sudah mulai memasuki kawasan pedesaan tadi.

"saya ingin menikmati udara segar ini lebih lama." lanjutku.

Hamparan sawah yang indah dan pemukiman penduduk desa menghiasi sepanjang perjalanan itu.

"berapa lama lagi kita akan sampai, pak Daman?" tanyaku di sela-sela tarikan napasku.

"sekitar satu jam lagi, mas Dino.." jawab pak Daman pelan.

 Aku sedikit membulatkan bibir, "jadi di desa pak Daman penduduknya juga bersawah?" tanyaku kemudian.

"sebagian besarnya iya, mas. Tapi ada juga yang menanam tanaman lainnya, seperti kebun tomat, kebun cabe, atau kebun mentimun.." jelas pak Daman.

"keluarga pak Daman sendiri menanam apa?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"istri dan anak-anak saya, punya kebun mentimun di kampung, mas Dino.." jawab pak Daman lagi.

Untuk sesaat, aku kembali menikmati udara segar itu. Sekali-kali aku mengeluarkan kepala dari jendela mobil.

Aku memang jarang sekali melakukan perjalanan seperti ini.

Sejak kecil, papa dan mama selalu membawaku berliburan ke luar negeri atau sekurang-kurangnya ke kota-kota besar.

Pak Daman adalah sopir pribadiku sejak aku mulai masuk SMA, hingga sekarang aku kuliah tahun kedua. Yang berarti sudah hampir lima tahun aku mengenal pak Daman.

Pak Daman memang berasal dari desa. Semua keluarganya, istri dan anak-anaknya tinggal di desa.

Pak Daman hanya pulang jika musim liburan sekolah. Setiap bulan pak Daman selalu mengirimkan uang kepada istrinya di kampung.

Pernah beberapa kali mengajakku ikut dengannya pulang ke kampung halamannya.

Tapi selama ini, papa dan mama tidak pernah memberi izin.

Namun liburan kali ini, kebetulan papa dan mama sedang sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Jadi mau gak mau mereka dengan terpaksa mengizinkan saya untuk ikut bersama pak Daman.

"tapi kalian perginya harus pake mobil, ya.." pesan mama.

"mama takut terjadi apa-apa, jika kalian naik bus.." lanjut mama.

Jarak desa pak Daman dengan kota tempat aku tinggal, memang harus ditempuh kurang lebih delapan jam pakai mobil.

Biasanya pak Daman pulang selalu naik bus antar kota.

"kamu hati-hati ya, Din." pesan mama lagi, saat aku sudah berada di dalam mobil.

"iya, ma. mama tenang aja. Dino kan udah gede, ma. Udah 20 tahun loh.." ucapku dengan nada sedikit manja.

Aku memang anak satu-satunya mama dan papa. Sejak kecil aku juga selalu di manja.

Mama dan papa memang sangat menyayangiku. Hingga mereka bahkan sengaja mencarikan aku seorang sopir pribadi.

Sepanjang perjalanan aku merasa lega. Ini adalah kali pertamanya aku berlibur sendirian dan dengan caraku sendiri.

Aku bahkan beberapa kali mengajak pak Daman untuk singgah, hanya sekedar untuk menikmati makanan pinggiran yang berada di sepanjang perjalanan kami.

"sekarang kita sudah memasuki desa kami.." ucap pak Daman, satu jam kemudian.

Saat itu mobil sengaja ia belokkan ke arah kanan, untuk memasuki sebuah persimpangan.

"satu kilo dari sini, kita akan melihat rumah-rumah penduduk.." pak Daman melanjutkan, setelah mobil kami memasuki persimpangan tersebut.

Aku melirik kiri dan kanan jalan. Ada banyak kebun buah-buahan dan sayur-sayuran di sepanjang jalan.

Seperti kata pak Daman, beberapa menit kemudian, aku mulai melihat rumah-rumah penduduk yang tersusun acak.

Ada banyak gang-gang kecil di sana.

Mobil pun berhenti di sebuah rumah sederhana yang berada tepat di pinggir jalan.

Rumah berwarna hijau itu terlihat sangat asri dan alami. Ada banyak bunga-bunga bermekaran di teras rumah tersebut.

"dan inilah gubuk kami, mas Dino. Kecil dan terlihat kuno.." pak Daman berucap, sambil ia mematikan mesin mobil.

"ini bukan kuno, pak. Tapi unik." ucapku jujur.

Rumah itu memang kelihatan menarik dengan bubung yang melengkung di setiap bagian ujungnya.

Rumah itu masih berbentuk rumah panggung, meski tidak terlalu tinggi. Namun bagian terasnya sudah di renovasi, tanpa tiang.

Pak Daman segera mengajakku turun. Seorang wanita tua sudah menunggu kami di teras rumah.

"ini istri saya, mas Dino." ucap pak Daman, sambil memperkenalkan wanita tua itu.

"Rusnah, mas.." suara wanita itu serak, sambil menjabat tanganku dengan sedikit menunduk.

"panggil Dino aja, bu. Gak usah pakai mas." jawabku berusaha sesopan mungkin.

Sebenarnya pak Daman sudah mengabarkan kepada keluarganya tentang kadatangan kami di perjalanan tadi.

Pak Daman juga sudah pernah cerita tentang saya kepada keluarganya, meski kami belum pernah bertemu.

Bu Rusnah dan Pak Daman segera membimbingku untuk naik ke rumah panggung tersebut.

Berada di dalam rumah tersebut, terasa begitu nyaman dan sejuk. Aku mulai merasa betah berada di sana.

Tiba-tiba seorang remaja putri muncul dari sebuah kamar. Gadis itu memakai hijab dengan memperlihatkan senyum manisnya menatapku.

"ini putri bungsu saya.." pak Daman yang berucap.

"Ratih, mas." lembut suara gadis itu berucap, sambil ia menyalimi tangan saya.

Beberapa saat kemudian seorang pemuda keluar dari kamar sebelahnya.

"nah, kalau itu namanya Anto. Dia putra sulung saya.." kali ini bu Rusnah yang angkat bicara.

"Anto, mas.." suara pemuda itu tegas.

"panggil Dino aja, mas Anto.." balasku, karena melihat dari perawakannya mas Anto lebih tua dariku.

"mas Anto calon sarjana pertanian loh, mas Dino.." tiba-tiba Ratih berceloteh di sampingnya, sambil melirik mas Anto, yang terlihat sedikit tersipu.

"iya, mas Dino. Ini tahun terakhir ia kuliah.." pak Daman ikut menimpali.

"sudah! sudah! perkenalannya.." tiba-tiba bu Rusnah membuka suara.

"mas Dino pasti capek, habis perjalanan jauh. Sekarang kamu Anto, ajak mas Dino istirahat di kamar kamu!" bu Rusnah melanjutkan, sambil mulai melangkah meninggalkan kami.

*****

Hari sudah menunjukkan jam lima sore, saat mas Anto mengajakku masuk ke kamarnya.

Kamar itu tidak terlalu luas. Ada dipan kecil di sudut ruangan, sebuah lemari pakaian di sudut lainnya dan sebuah meja belajar kecil di sisi jendela kamar.

"mas Dino istirahat aja dulu, ya." suara tegas mas Anto terdengar lagi.

"gak usah panggil mas. Saya paling tidak suka kalau dipanggil mas..." suaraku sedikit meninggi.

"iya, maaf. Kalau begitu saya permisi dulu.." ucap mas Anto pelan, sambil mulai melangkah untuk segera keluar.

"mas Anto di sini aja dulu." pintaku kemudian, "saya masih mau ngobrol.." lanjutku.

Mas Anto menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh dan kemudian duduk di kursi meja belajar.

"mas .. eh ... kamu mau ngobrol apa?" tanya mas Anto terdengar sedikit kaku.

"yaa.. ngobrol apa aja..." ucapku berusaha ramah.

Aku menatap mas Anto cukup lama.

Mas Anto memiliki kulit sedikit gelap. Namun postur tubuhnya sangat gagah dan kekar.

Matanya teduh, hidungnya sedikit mancung dengan bibirnya yang terlihat seksi.

Secara keseluruhan mas Anto tidaklah terlalu tampan. Namun cukup menarik untuk tetap dilihat.

Dan yang paling membuatku tertarik ialah tubuh mas Anto yang terlihat sangat gagah dan atletis.

Otot lengannya terlihat kekar dengan dadanya yang terlihat bidang.

Rahangnya kokoh dengan belahan dagunya yang tipis.

"jadi mas Anto kuliah dimana?" tanyaku akhirnya, setelah merasa cukup puas menatap wajah mas Anto.

Mas Anto pun menyebutkan nama kampus tempat ia kuliah, yang katanya hanya berjarak satu jam perjalanan dari desanya tersebut.

"saya kuliah naik motor.." ucapnya lagi.

"jadi selain kuliah kegiatan mas Anto apa lagi?" tanyaku selanjutnya.

"saya berkebun. Kebetulan bapak punya lahan satu hektar, jadi kami manfaatkan untuk menanam tanaman mentimun.." jawab mas Anto.

"kebun mentimun satu hektar?" tanyaku dengan nada heran.

"selain mentimun, kami juga menanam buah dan sayuran lainnya. Sepeti tomat, umbi-umbian dan kacang-kacangan.." jelas mas Anto, mulai terlihat santai.

"besok saya mau lihat kebun mentimun mas Anto, boleh ya?" ucapku kemudian.

"bolehlah, Din. Kebetulan juga besok kami mau panen mentimun." balas mas Anto.

"mas Dino! Mas Anto! Di panggil bapak untuk makan malam!" suara teriakan Ratih dari luar kamar.

Mendengar hal tersebut, kami sama-sama segera bangkit dan keluar dari kamar itu.

*****

Keesokan harinya, pak Daman sekeluarga pergi ke kebun mentimun milik mereka dengan hanya berjalan kaki.

"kenapa gak pake mobil aja, pak Daman?" tanyaku menawarkan.

"jalannya gak bisa ditempuh mobil, mas Dino. Kita harus melalui sawah-sawah dan kebun-kebun lainnya.." jawab pak Daman tersenyum ramah.

"berapa jauh?" tanyaku kemudian.

"sekitar satu kilo dari sini.." kali ini mas Anto yang menjawab.

"kuat gak kamu? Kalau gak kuat gak usah ikut..." mas Anto melanjutkan, dengan nada sedikit merendahkan.

Saya tidak merasa tersinggung. Karena wajar mas Anto berucap demikian. Mengingat di matanya saya adalah orang kota dan anak orang kaya, yang biasa naik turun mobil.

Apa lagi, saya juga tergolong cukup kurus.

Tapi justru saya merasa tertantang untuk tetap ikut dengan mereka. Meski sebenarnya saya tidak begitu yakin, bisa berjalan kaki sejauh itu. Apa lagi medan yang harus kami tempuh penuh tanjakan, pendakian dan penurunan.

"gimana? Ikut gak?" suara mas Anto mengagetkanku. Ia masih berdiri di sampingku.

Sementara pak Daman, bu Rusnah dan Ratih sudah berjalan di depan.

"ayok! Siapa takut?!" ucapku akhirnya, sambil mulai melangkah.

******

Jalan yang kami tempuh untuk menuju kebun mentimun mas Anto penuh tanjakkan, pendakian dan penurunan.

Kami juga harus melalui kebun-kebun dan persawahan, yang jalannya sangat sempit dan sedikit becek.

Aku beberapa kali harus berhenti sejenak untuk melepas lelah. Beruntung mas Anto selalu sedia menemani saya sepanjang perjalanan tersebut.

Mas Anto selalu mengajakku mengobrol, agar aku tidak terlalu merasa jenuh.

Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, kami akhirnya sampai di kebun mentimun milik mas Anto.

Kebun tersebut memang cukup luas. Dan terlihat sangat subur.

Buah-buah mentimun terlihat bergelantungan. Buah-buah itu memang terlihat besar-besar dan segar-segar.

"kalau kamu mau cicipi boleh, kok. Kamu petik aja satu.." suara mas Anto yang masih berdiri di sampingku.

"mentimunnya besar-besar, ya. Dan terlihat segar-segar.." balasku.

"nanti setelah di petik, mau dibawa kemana, mas Anto?" tanyaku melanjutkan.

"sebenarnya buah-buah ini sudah ada yang menampungnya. Nanti sore ada yang menjemputnya ke sini. Jadi habis dipetik, kita kumpulkan aja disini." mas Anto menjelaskan, sambil mulai melangkah memasuki kebun itu.

Sementara pak Daman, bu Rusnah dan Ratih sudah sejak tadi mulai memetik mentimun-mentimun tersebut.

Saat aku hendak melangkah memasuki kebun, tiba-tiba kaki kiriku terpeleset yang mengakibatkan aku terjatuh.

Aku menjerit kecil. Kaki kiriku terasa ngilu.

Mas Anto bergegas mengejar ke arahku, demikian juga pak Daman, Bu Rusnah dan Ratih.

"kamu kenapa?" tanya mas Anto dengan nada cemas.

"kakiku sakit sekali, sepertinya terkilir.." suaraku tertahan menahan sakit.

Mas Anto dan pak Daman membantu saya untuk berdiri. Namun saat saya berdiri, kaki kiri saya terasa sangat sakit ketika diinjakkan.

"aduh!" keluhku menahan sakit.

"kamu gak apa-apa?" tanya mas Anto masih dengan nada cemas.

"kakiku sakit sekali, mas Anto.." keluhku lagi.

Pak Daman segera membimbing saya untuk duduk kembali. Kemudian ia coba mengurut bagian kaki saya yang sakit.

Beberapa kali saya menjerit kecil menahan sakit. Pak Daman segera menghentikan urutannya.

"ya udah, mas Dino pulang aja dulu. Biar Anto yang antar mas Dino ke rumah, untuk istirahat.." ucap pak Daman kemudian.

"tapi saya gak bisa berjalan, pak Daman." ucapku sambil masih menahan sakit.

"Anto yang akan menggandeng mas Dino pulang.." pak Daman berujar lagi, sambil ia meminta mas Anto untuk membantu saya bangkit kembali.

Mas Anto segera memapah saya untuk berdiri. Kemudia ia menarik tangan saya untuk melingkar di pundaknya yang kokoh.

Dengan bertopang pada tubuh kekar mas Anto, saya mulai melangkah kaki saya perlahan.

Mas Anto membantu saya dengan hati-hati.

Dada saya mulai berdegup-degup saat itu. Aroma khas tubuh mas Anto tercium di hidungku.

Tubuh itu terasa hangat berdempetan dengan tubuh kurusku.

Ah, entah mengapa aku merasa nyaman. Rasa sakit kakiku jadi sedikit berkurang menikmati hal tersebut.

Sepanjang perjalanan, orang-orang melirik kami yang berjalan bergandengan dengan tanganku merangkul pundak mas Anto, dan tangan mas Anto berada di pinggangku.

Mas Anto berusaha menjelaskan, kalau kaki saya terkilir dan tidak bisa berjalan sendiri, kepada orang-orang yang bertanya di perjalanan tersebut.

Karena merasa sangat nyaman, perjalanan sejauh itu jadi terasa singkat bagiku. Kami tiba-tiba saja sudah berada di rumah mas Anto.

Mas Anto langsung membawaku masuk ke dalam kamarnya.

"kamu istirahat aja dulu, ya.." ucap mas Anto lembut.

"mas Anto mau kemana?" tanyaku, melihat mas Anto yang hendak melangkah keluar.

"saya mau kembali ke kebun.." jawab mas Anto, "kamu gak apa-apa kan sendirian di rumah?" lanjutnya bertanya.

"jangan, mas! Saya takut sendirian di rumah.." balasku cepat.

Aku memang tak ingin mas Anto pergi. Aku ingin berduaan dengannya di rumah.

Aku sudah terlanjur suka dengan mas Anto. Dan aku ingin selalu bersamanya.

"ya udah. Kalau begitu saya ambil minuman dulu ya di dapur.." ucap mas Anto akhirnya, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

Mas Anto segera keluar untuk mengambil minuman di dapur. Dan beberapa saat kemudia ia pun kembali dengan membawa segelas minuman untukku.

"makasih ya, mas Anto.." ucapku sambil menerima gelas minuman tersebut.

"iya. gak apa-apa. Tapi kakimu udah baikan, kan?" mas Anto berujar, sambil ia duduk di sampingku.

"udah mendingan, sih." ujarku membalas.

Untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam. Diam-diam aku kembali memperhatikan wajah setengah tampan milik mas Anto.

Pelan, rasa kagum pun tumbuh dihatiku untuk mas Anto.

"kamu suka mentimun?" tanya mas Tiba-tiba.

"mentimun mas Anto?" tanyaku tanpa sadar.

"iya. Mentimun saya yang di kebun tadi.." jawab mas Anto terlihat santai.

"oh.." aku membulatkan bibir, "suka, sih." ucapku.

"kalau suka, kenapa tadi gak dicicipi?" tanya mas Anto lagi.

"yah, tadi kan udah mau coba dicicipi, tapi keburu kepeleset." jawabku, dengan menyunggingkan sedikit senyum.

"kalau begitu kamu cicipi mentimun yang ada di rumah aja ya.." mas Anto berucap lagi.

"emang ada mentimunnya di rumah?" tanyaku dengan nada heran.

"ada satu, kalau kamu mau, sih.." suara mas Anto pelan.

"maksudnya?" tanyaku benar-benar gak paham.

"gak, gak apa-apa. Cuma becanda, kok.." balas mas Anto selanjutnya, sambil ia tertunduk.

Ku lihat mas Anto menarik napas, kemudian kembali menatapku dengan menyunggingkan sebuah senyum manis.

Oh, aku terpesona melihat senyum itu.

"emangnya mas Anto mau, kalau saya mencicipi mentimunnya?" tanyaku akhirnya, mencoba memancing maksud dari pertanyaan mas Anto tadi.

"emangnya kamu mau mencicipinya?" mas Anto balik bertanya, dengan terus menatapku sendu.

"ya, mau lah, mas. Apa lagi mentimun mas Anto tadi kelihatannya besar-besar dan segar-segar." jawabku kembali berlagak bodoh.

"kamu suka yang besar-besar, ya?" tanya mas Anto.

"gak juga. Saya suka yang standar Indonesia aja." jawabku kemudian.

Sepertinya aku mulai mengerti maksud dari mas Anto, dan sepertinya mas Anto juga mulai memahami arah pembicaraan kami.

Tapi untuk sesaat, tidak ada seorang pun dari kami yang berani untuk memulai.

Aku sendiri masih takut salah paham. Mungkin saja maksud mas Anto tidak seperti yang aku pikirkan.

"kaki kamu masih sakit?" tanya mas Anto tiba-tiba, memecah keheningan.

"udah gak apa-apa kayaknya.." jawabku jujur.

"kalau begitu saya tinggal ya? Saya mau balik lagi ke kebun. Mau bantu-bantu disana." ucap mas Anto kemudian.

"atau kamu mau ikut lagi?" tanyanya melanjutkan.

"ikut ngapain?" tanyaku.

"katanya mau mencicipi mentimun di kebun saya.." balas mas Anto.

"tapi kata mas Anto yang di rumah ada satu tadi.." aku berujar sambil menatap mas Anto dengan muka pengenku.

"kamu yakin mau?" tanya mas Anto.

Aku tidak menjawab, namun aku mengangguk dengan mantap.

Mas Anto terlihat tersenyum kembali. Wajahnya tiba-tiba terlihat cerah. Bak anak kecil yang baru saja mendapatkan permen.

Dan kali ini mas Anto menjadi berani untuk memulainya. Saya pun menyambutnya dengan perasaan yang bahagia.

Siang itu, untuk pertama kalinya, aku dan mas Anto pun melakukan hal tersebut.

Sesuatu yang tidak pernah aku duga sama sekali.

Tadinya aku berniat ikut pak Daman, hanya untuk sekedar menghilangkan kejenuhanku di kota.

Tak kusangka di sini aku bisa bertemu dengan mas Anto.

Dan lebih tak kusangka lagi, kalau aku bisa merasakan sesuatu yang luar biasa dari mas Anto.

Siang itu menjadi hari terindah bagiku. Mas Anto benar-benar luar biasa. Aku semakin mengaguminya.

Aku semakin menginginkannya.

*****

Sejak kejadian siang itu. Aku dan mas Anto jadi semakin sering melakukannya. Apa lagi setiap malam kami tidur satu kamar.

Namun sesuai dengan perjanjianku dengan mama dan papa, seminggu kemudian aku pun harus kembali ke kota.

Aku merasa berat harus berpisah dari mas Anto. Biar bagaimana pun, setelah seminggu kami bersama, harus aku akui kalau aku mulai menyayangi mas Anto.

Benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku untuk mas Anto.

"aku juga sayang sama kamu, Dino." terngiang kembali ucapan lembut mas Anto, pada malam terakhir kami bersama.

"tapi kita memang tidak mungkin terus selalu bersama-sama, kan?" lanjutnya.

"nanti kalau kamu ada waktu lagi, datang aja ke sini. Aku akan selalu menunggu kamu di sini." lanjutnya lagi.

"aku pasti kangen sama mas Anto.." balasku berbisik.

"kangen sama apanya, nih?" ucap mas Anto menggoda.

"kangen sama semuanya lah, mas. Terutama sama buah mentimun mas Anto yang besar-besar dan segar-segar itu.." ucapku membalas godaan tersebut.

"ah, kamu bisa aja..." timpal mas Anto kemudian, sambil ia mengecup keningku lembut.

Aku hanya tersenyum. Walau berat, aku memang harus kembali ke kota.

Dan aku berjanji dalam hati, suatu saat aku pasti akan kembali lagi kesini.

Semoga saja mas Anto dan mentimun-mentimunnya masih setia menungguku di sini.

Ya, semoga saja...

*****

Bersambung ...

Bang Indra, sang polisi Bhabinkamtibmas desaku..

Namanya bang Indra.

Dan ia adalah seorang polisi.

Bang Indra adalah seorang Bhabinkamtibmas di desaku. Setidaknya begitulah yang aku ketahui tentang bang Indra.

Sang polisi Bhabinkamtibmas

Sebagai seorang Bhabinkamtibmas, tentu saja bang Indra sering datang ke desaku untuk menjalankan tugasnya.

Karena sering datang ke desa, aku pun jadi sering bertemu dengan bang Indra.

Dan karena sering bertemu, aku dan bang Indra pun jadi sering ngobrol dan menjadi sedikit akrab.

Bang Indra memang berwajah tampan, dengan postur tubuh yang atletis.

Matanya teduh, hidungnya sedikit mancung, dengan senyumnya yang manis dari bibirnya yang tipis.

Bang Indra terlihat sangat gagah dengan seragam polisinya.

Terus terang, sejak pertama kali melihat bang Indra, aku sudah jatuh hati padanya.

*****

Namaku Bastian. Biasanya orang-orang memanggilku Bas.

Dan saat ini aku sudah berusia 28 tahun.

Aku bekerja di kantor desa, sudah hampir lima tahun.

Karena itulah aku jadi sering bertemu bang Indra setiap kali ia berkunjung ke desa kami. Setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu bang Indra datang ke desaku.

Sebenarnya bang Indra orang baik, hanya saja terkadang sebagai seorang polisi, bang Indra memang terlihat sedikit angkuh.

Namun karena aku yang sudah sering ngobrol dengannya, dan karena aku juga telah jatuh hati padanya, bang Indra terlihat menjadi sosok yang sempurna di mataku.

Bang Indra sudah menikah, dan sudah punya dua orang anak. Usianya sudah hampir 35 tahun.

Bang Indra sering mengajakku naik motornya untuk berkeliling kampung dan juga berkeliling kebun masyarakat yang berada di belakang desa. Sebagai salah satu tugasnya jika ia turun ke desa.

Berada satu motor dengan bang Indra, membuat jantungku selalu berdebar-debar hebat. Walau hal itu bukan satu dua kali terjadi.

Aku memang telah jatuh kepada bang Indra.

Namun selama ini aku hanya memendamnya. Karena jelas hal itu tidak mungkin aku ungkapkan.

Meski kadang, ada saat dimana aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku, terutama saat kami sedang ngobrol berdua.

Aku sering merasa tersipu malu, saat bang Indra dengan terang-terangan memujiku.

Meski kadang sikap bang Indra sangat baik padaku, namun aku tidak berani berharap lebih padanya. Mengingat bang Indra sudah punya istri dan anak. Jelas ia adalah laki-laki normal. Setidaknya begitulah kesimpulanku pada bang Indra.

Sudah hampir enam bulan, aku dan bang Indra saling kenal.

Hingga pada suatu sore...

*****

Sore itu, seperti biasa bang Indra mengajakku berkeliling kampung naik motornya.

Kami berkeliling kampung selama beberapa menit, lalu kemudian melanjutkan untuk berkeliling kebun-kebun masyarakat yang berjarak sekitar dua kilo meter di belakang desa.

Pada sebuah kebun karet, bang Indra menghentikan motornya di dekat sebuah pondok yang berada di dalam kebun tersebut.

"saya mau buang air dulu sebentar.." jelas bang Indra, ketika motor itu sudah parkir di depan pondok tersebut.

Tanpa menunggu persetujuanku, bang Indra langsung menuju ke belakang pondok untuk menunaikan hajatnya.

Beberapa saat kemudian, bang Indra muncul kembali, sambil masih berusaha memasang celananya.

Dadaku kian berdebar menyaksikan hal tersebut. Namun bang Indra terlihat santai berjalan mendekatiku yang sudah duduk di tangga pondok tersebut.

Bang Indra kemudian turut duduk di sampingku.

Tubuh kami berdempetan, karena tangga itu memang sangat kecil.

"kamu kenapa belum nikah sih, Bas?" tanya bang Indra tiba-tiba, sambil ia menatapku tersenyum.

Aku menjadi kikuk tiba-tiba. Bukan karena pertanyaan bang Indra barusan, tapi terlebih karena tatapan matanya yang teduh itu tepat menghujam mataku.

"mungkin karena belum ketemu yang cocok, bang.." jawabku akhirnya, dengan segera memalingkan wajah.

Aku memang tidak berani menatap mata bang Indra lebih lama lagi.

Bukan saja karena ia seorang polisi, tapi juga karena mata itu terlalu indah.

"pasti karena kamu terlalu pemilih ya, Bas. Padahal kamu manis loh. Pasti banyak cewek-cewek di kampung yang naksir sama kamu..." ucap bang Indra kemudian, sambil terus menatapku.

"gak juga, bang. Biasa aja, kok." jawabku semakin grogi.

Terus terang aku memang merasa tersanjung dengan kalimat bang Indra barusan. Belum pernah sebelumnya bang Indra memujiku seperti itu.

"atau karena kamu memang tidak suka perempuan?!" ucapan bang Indra kali ini membuatku kembali menatapnya.

"maksud bang Indra apa?" tanyaku dengan suara sedikit meninggi.

Aku tidak tersinggung dengan pertanyaan bang Indra. Tapi aku justru merasa takut, kalau bang Indra sebenarnya sudah tahu tentang siapa aku sebenarnya.

"maksud saya, ya ....bisa saja kan, kalau kamu itu penyuka sesama jenis..." balas bang Indra terlihat santai.

Oh, aku terenyuh. Kenapa bang Indra bisa sampai berpikir seperti itu?

Apa karena selama ini, aku terlalu sering memperlihatkan kesukaanku terhadap bang Indra?

"udah gak usah malu. Di sini hanya ada kita berdua, kok. Kamu jujur aja, kalau sebenarnya kamu suka kan sama saya?!" bang Indra berujar kembali, setelah melihat reaksi saya yang semakin salah tingkah.

"aku tahu, kok. Selama ini, kamu sering kan memperhatikan saya diam-diam. Kamu juga jadi malu-malu, kalau kita lagi ngobrol berdua." lanjutnya.

Kali ini aku benar-benar dibuat tidak berkutik oleh bang Indra. Ternyata dari sikapku selama ini terhadap bang Indra, telah mampu menunjukkan perasaanku yang sebenarnya.

Aku hanya tertunduk. Aku benar-benar merasa malu.

Tiba-tiba bang Indra menyentuh pundakku ringan.

"kamu gak usah malu. Lebih baik kamu jujur saja dengan perasaanmu.." ucapnya pelan.

"emangnya kalau saya suka sama bang Indra, bang Indra gak marah?" tanyaku dengan suara bergetar dan masih dalam keadaan menunduk.

"kenapa saya harus marah? Justru saya suka, kalau kamu juga suka sama saya.." balas bang Indra, yang membuat saya jadi berani menatap matanya kembali.

Juga? Bukankah itu artinya bang Indra juga suka sama saya? Aku membathin.

"bang Indra juga suka sama saya?" tanyaku dengan nada ragu.

Bang Indra tersenyum manis. Tatapannya semakin sendu.

"iya. Aku juga suka sama kamu, Bas." deg! Jantungku berdegup seketika mendengat jawaban tegas bang Indra.

"tapi kan bang Indra sudah punya istri dan anak? Kok bisa?" tanyaku semakin berani.

Setidaknya saya ingin memastikan, kalau bang Indra tidak sedang mengerjai saya.

"kenapa? Kamu gak suka cowok yang udah menikah?" balas bang Indra bertanya balik.

"bukan. Bukan itu maksud saya. Tapi masa' iya bang Indra juga penyuka sesama jenis? Bukankah bang Indra sudah berkeluarga?" tanyaku lagi.

"dulu sebelum menikah, saya juga sama seperti kamu, Bas. Pernah jatuh cinta dengan seorang laki-laki. Bahkan saya pernah beberapa kali pacaran dan berhubungan dengan laki-laki." bang Indra menarik napas sejenak.

"namun sebagai laki-laki dan juga karena tuntutan keluarga, aku memang harus menikah. Bukan karena aku menginginkannya, tapi memang begitulah kodrat kita sebagai seorang laki-laki." lanjut bang Indra.

Kali ini ia tidak lagi menatapku. Pandangannya jauh ke depan, menatap jalanan yang mulai sepi.

Pondok tempat kami singgah memang berada di tengah-tengah sebuah kebun karet. Jalanan terlihat dari tempat kami duduk, namun orang-orang dari jalan tidak akan bisa melihat kami dengan jelas, karena terhalang oleh pohon-pohon karet yang tersusun acak di depan pondok tersebut.

"setelah menikah, saya memang sempat vakum dari dunia gay. Apa lagi setelah saya punya anak." bang Indra melanjutkan lagi.

"saya mulai terbiasa dengan kehidupan baru saya sebagai seorang kepala rumah tangga. Meski tidak bisa saya pungkuri, kadang keinginan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lagi, sering datang menghantui saya."

"tapi saya berusaha sekuat mungkin untuk melawan semua keinginan itu. Dan berharap saya bisa selamanya hidup sebagaimana layaknya laki-laki normal pada umumnya."

Bang Indra menghela napas sejenak. Ia menatapku sekilas, kemudian berujar lagi,

"namun semenjak saya bertemu kamu, semua harapan itu kian punah. Aku tidak bisa lagi menolak hadirnya rasa suka di hatiku padamu, Bas. Kamu terlalu menarik, untuk bisa saya abaikan begitu saja.."

"mulanya saya berharap, semua itu hanyalah sebuah kekaguman sesaat, yang akan segera menghilang."

"namun semakin saya mengenali kamu, rasa itu kian lama kian berkembang. Dan ketika saya melihat, bahwa kamu juga sepertinya punya perasaan yang sama. Saya semakin yakin, untuk mewujudkan impian saya tentang kamu.."

bang Indra mengakhiri kalimatnya dengan menghempaskan napas berat.

Aku tersenyum. Benar-benar tersenyum.

Aku merasa sangat bahagia. Tak kusangka kalau bang Indra juga menyukaiku selama ini.

Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

Repleks aku pun menyandarkan kepalaku di bahu kekar bang Indra.

"aku juga sangat mencintaimu, bang Indra.." ucapku pelan.

Bang Indra segera menarik kepalaku agar berada dalam dekapannya. Aku merasa  hangat.

Aku merasa nyaman. Sebuah kenyamanan yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku.

"tapi aku sudah menikah loh.." ucap bang Indra tiba-tiba.

"aku tahu, bang. Dan aku tidak peduli. Bahkan jika abang menjadikan aku yang kesepuluh sekalipun, aku juga rela, asal abang masih punya waktu untukku.." ucapku jujur.

Aku memang mencintai bang Indra. Namun aku juga sadar, aku tidak mungkin bisa memilikinya seutuhnya.

Tapi setidaknya, aku masih bisa merasakan kehangatan cinta dari bang Indra.

Bang Indra semakin mengeratkan dekapannya. Perlahan sebuah kecupan singgah dirambutku.

"aku sayang kamu, Bas. Selalu dan selamanya.." bisik bang Indra mesra.

Sesaat kemudian, mata kami kembali saling tatap. Tanganku pun repleks menyentuh pipi pria tampan itu. Hal yang sudah sangat lama ingin aku lakukan.

"makasih yang, bang. Sudah memberikan aku kesempatan untuk merasakan ini semua..." ucapku lembut.

Bang Indra kembali tersenyum. Senyum yang sangat manis. Bahkan kali ini teramat manis. Karena aku melihatnya dari jarak yang sangat dekat.

Sedekat hatiku saat ini, bersama bang Indra, sang polisi ganteng itu.

*****

Aku dan bang Indra akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Hati kami menyatu dalam sebuah ikatan cinta yang indah.

Setiap kali bang Indra berkunjung ke desa, kami selalu bertemu.

Kami bertemu dan memadu asmara di pondok-pondok kebun masyarakat, terutama saat sore hari. Karena jika sore, orang-orang tidak lagi berasa di kebun.

Aku juga sering mengajak bang Indra ke rumahku, terutama jika keadaan rumah sedang sepi.

Kami semakin terlena dengan hubungan indah kami.

Hingga hampir setahun kami menjalin hubungan tersebut.

Sampai akhirnya bang Indra di pindah tugaskan ke daerah lain.

Daerah yang cukup jauh dari desa tempat saya tinggal.

Setelah bang Indra pindah tugas, secara otomatis hubungan kami pun terputus.

Saya sempat mengalami patah hati selama beberapa minggu, karena harus berpisah dengan bang Indra, sang polisi yang sangat saya cintai itu.

Namun kemudian saya sadar bahwa ikatan cinta kami, tidak mungkin selamanya akan bertahan.

Meski pun sebenarnya kami saling menyayangi, namun jarak yang jauh membuat kami harus bisa saling melupakan.

Kisahku bersama bang Indra, polisi bhabinkamtibmas itu, adalah sebuah kisah terindah yang pernah terukir di dalam perjalanan hidupku.

Seperti kata bang Indra, bahwa pada akhirnya, kami memang harus menjalankan kodrat kami sebagai seorang laki-laki.

Hanya saja saya tidak yakin, jika saya akan mampu menjadi laki-laki seutuhnya.

Karena setelah hampir setahun saya tidak bertemu lagi dengan bang Indra, namun saya masih terus memikirkannya. Dan masih berharap, jika suatu saat nanti kami akan bertemu kembali.

Semoga saja bang Indra masih punya harapan yang sama denganku.

Ya, semoga saja...

****

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate