Aku menghirup udara segar itu beberapa kali, dengan sengaja membuka jendela kaca mobil.
Udara itu memang terasa begitu nyaman di hidungku.
Pemandangan alam yang indah mengiringi perjalananku siang itu.
Sudah hampir satu jam mobil kami meninggalkan perkotaan.
Pak Daman tersenyum-senyum kecil melihat tingkahku tersebut, sambil ia terus fokus menyetir mobil dengan pelan.
"pelan-pelan saja, pak Daman.." pintaku ketika mobil kami sudah mulai memasuki kawasan pedesaan tadi.
"saya ingin menikmati udara segar ini lebih lama." lanjutku.
Hamparan sawah yang indah dan pemukiman penduduk desa menghiasi sepanjang perjalanan itu.
"berapa lama lagi kita akan sampai, pak Daman?" tanyaku di sela-sela tarikan napasku.
"sekitar satu jam lagi, mas Dino.." jawab pak Daman pelan.
Aku sedikit membulatkan bibir, "jadi di desa pak Daman penduduknya juga bersawah?" tanyaku kemudian.
"sebagian besarnya iya, mas. Tapi ada juga yang menanam tanaman lainnya, seperti kebun tomat, kebun cabe, atau kebun mentimun.." jelas pak Daman.
"keluarga pak Daman sendiri menanam apa?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"istri dan anak-anak saya, punya kebun mentimun di kampung, mas Dino.." jawab pak Daman lagi.
Untuk sesaat, aku kembali menikmati udara segar itu. Sekali-kali aku mengeluarkan kepala dari jendela mobil.
Aku memang jarang sekali melakukan perjalanan seperti ini.
Sejak kecil, papa dan mama selalu membawaku berliburan ke luar negeri atau sekurang-kurangnya ke kota-kota besar.
Pak Daman adalah sopir pribadiku sejak aku mulai masuk SMA, hingga sekarang aku kuliah tahun kedua. Yang berarti sudah hampir lima tahun aku mengenal pak Daman.
Pak Daman memang berasal dari desa. Semua keluarganya, istri dan anak-anaknya tinggal di desa.
Pak Daman hanya pulang jika musim liburan sekolah. Setiap bulan pak Daman selalu mengirimkan uang kepada istrinya di kampung.
Pernah beberapa kali mengajakku ikut dengannya pulang ke kampung halamannya.
Tapi selama ini, papa dan mama tidak pernah memberi izin.
Namun liburan kali ini, kebetulan papa dan mama sedang sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Jadi mau gak mau mereka dengan terpaksa mengizinkan saya untuk ikut bersama pak Daman.
"tapi kalian perginya harus pake mobil, ya.." pesan mama.
"mama takut terjadi apa-apa, jika kalian naik bus.." lanjut mama.
Jarak desa pak Daman dengan kota tempat aku tinggal, memang harus ditempuh kurang lebih delapan jam pakai mobil.
Biasanya pak Daman pulang selalu naik bus antar kota.
"kamu hati-hati ya, Din." pesan mama lagi, saat aku sudah berada di dalam mobil.
"iya, ma. mama tenang aja. Dino kan udah gede, ma. Udah 20 tahun loh.." ucapku dengan nada sedikit manja.
Aku memang anak satu-satunya mama dan papa. Sejak kecil aku juga selalu di manja.
Mama dan papa memang sangat menyayangiku. Hingga mereka bahkan sengaja mencarikan aku seorang sopir pribadi.
Sepanjang perjalanan aku merasa lega. Ini adalah kali pertamanya aku berlibur sendirian dan dengan caraku sendiri.
Aku bahkan beberapa kali mengajak pak Daman untuk singgah, hanya sekedar untuk menikmati makanan pinggiran yang berada di sepanjang perjalanan kami.
"sekarang kita sudah memasuki desa kami.." ucap pak Daman, satu jam kemudian.
Saat itu mobil sengaja ia belokkan ke arah kanan, untuk memasuki sebuah persimpangan.
"satu kilo dari sini, kita akan melihat rumah-rumah penduduk.." pak Daman melanjutkan, setelah mobil kami memasuki persimpangan tersebut.
Aku melirik kiri dan kanan jalan. Ada banyak kebun buah-buahan dan sayur-sayuran di sepanjang jalan.
Seperti kata pak Daman, beberapa menit kemudian, aku mulai melihat rumah-rumah penduduk yang tersusun acak.
Ada banyak gang-gang kecil di sana.
Mobil pun berhenti di sebuah rumah sederhana yang berada tepat di pinggir jalan.
Rumah berwarna hijau itu terlihat sangat asri dan alami. Ada banyak bunga-bunga bermekaran di teras rumah tersebut.
"dan inilah gubuk kami, mas Dino. Kecil dan terlihat kuno.." pak Daman berucap, sambil ia mematikan mesin mobil.
"ini bukan kuno, pak. Tapi unik." ucapku jujur.
Rumah itu memang kelihatan menarik dengan bubung yang melengkung di setiap bagian ujungnya.
Rumah itu masih berbentuk rumah panggung, meski tidak terlalu tinggi. Namun bagian terasnya sudah di renovasi, tanpa tiang.
Pak Daman segera mengajakku turun. Seorang wanita tua sudah menunggu kami di teras rumah.
"ini istri saya, mas Dino." ucap pak Daman, sambil memperkenalkan wanita tua itu.
"Rusnah, mas.." suara wanita itu serak, sambil menjabat tanganku dengan sedikit menunduk.
"panggil Dino aja, bu. Gak usah pakai mas." jawabku berusaha sesopan mungkin.
Sebenarnya pak Daman sudah mengabarkan kepada keluarganya tentang kadatangan kami di perjalanan tadi.
Pak Daman juga sudah pernah cerita tentang saya kepada keluarganya, meski kami belum pernah bertemu.
Bu Rusnah dan Pak Daman segera membimbingku untuk naik ke rumah panggung tersebut.
Berada di dalam rumah tersebut, terasa begitu nyaman dan sejuk. Aku mulai merasa betah berada di sana.
Tiba-tiba seorang remaja putri muncul dari sebuah kamar. Gadis itu memakai hijab dengan memperlihatkan senyum manisnya menatapku.
"ini putri bungsu saya.." pak Daman yang berucap.
"Ratih, mas." lembut suara gadis itu berucap, sambil ia menyalimi tangan saya.
Beberapa saat kemudian seorang pemuda keluar dari kamar sebelahnya.
"nah, kalau itu namanya Anto. Dia putra sulung saya.." kali ini bu Rusnah yang angkat bicara.
"Anto, mas.." suara pemuda itu tegas.
"panggil Dino aja, mas Anto.." balasku, karena melihat dari perawakannya mas Anto lebih tua dariku.
"mas Anto calon sarjana pertanian loh, mas Dino.." tiba-tiba Ratih berceloteh di sampingnya, sambil melirik mas Anto, yang terlihat sedikit tersipu.
"iya, mas Dino. Ini tahun terakhir ia kuliah.." pak Daman ikut menimpali.
"sudah! sudah! perkenalannya.." tiba-tiba bu Rusnah membuka suara.
"mas Dino pasti capek, habis perjalanan jauh. Sekarang kamu Anto, ajak mas Dino istirahat di kamar kamu!" bu Rusnah melanjutkan, sambil mulai melangkah meninggalkan kami.
*****
Hari sudah menunjukkan jam lima sore, saat mas Anto mengajakku masuk ke kamarnya.
Kamar itu tidak terlalu luas. Ada dipan kecil di sudut ruangan, sebuah lemari pakaian di sudut lainnya dan sebuah meja belajar kecil di sisi jendela kamar.
"mas Dino istirahat aja dulu, ya." suara tegas mas Anto terdengar lagi.
"gak usah panggil mas. Saya paling tidak suka kalau dipanggil mas..." suaraku sedikit meninggi.
"iya, maaf. Kalau begitu saya permisi dulu.." ucap mas Anto pelan, sambil mulai melangkah untuk segera keluar.
"mas Anto di sini aja dulu." pintaku kemudian, "saya masih mau ngobrol.." lanjutku.
Mas Anto menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh dan kemudian duduk di kursi meja belajar.
"mas .. eh ... kamu mau ngobrol apa?" tanya mas Anto terdengar sedikit kaku.
"yaa.. ngobrol apa aja..." ucapku berusaha ramah.
Aku menatap mas Anto cukup lama.
Mas Anto memiliki kulit sedikit gelap. Namun postur tubuhnya sangat gagah dan kekar.
Matanya teduh, hidungnya sedikit mancung dengan bibirnya yang terlihat seksi.
Secara keseluruhan mas Anto tidaklah terlalu tampan. Namun cukup menarik untuk tetap dilihat.
Dan yang paling membuatku tertarik ialah tubuh mas Anto yang terlihat sangat gagah dan atletis.
Otot lengannya terlihat kekar dengan dadanya yang terlihat bidang.
Rahangnya kokoh dengan belahan dagunya yang tipis.
"jadi mas Anto kuliah dimana?" tanyaku akhirnya, setelah merasa cukup puas menatap wajah mas Anto.
Mas Anto pun menyebutkan nama kampus tempat ia kuliah, yang katanya hanya berjarak satu jam perjalanan dari desanya tersebut.
"saya kuliah naik motor.." ucapnya lagi.
"jadi selain kuliah kegiatan mas Anto apa lagi?" tanyaku selanjutnya.
"saya berkebun. Kebetulan bapak punya lahan satu hektar, jadi kami manfaatkan untuk menanam tanaman mentimun.." jawab mas Anto.
"kebun mentimun satu hektar?" tanyaku dengan nada heran.
"selain mentimun, kami juga menanam buah dan sayuran lainnya. Sepeti tomat, umbi-umbian dan kacang-kacangan.." jelas mas Anto, mulai terlihat santai.
"besok saya mau lihat kebun mentimun mas Anto, boleh ya?" ucapku kemudian.
"bolehlah, Din. Kebetulan juga besok kami mau panen mentimun." balas mas Anto.
"mas Dino! Mas Anto! Di panggil bapak untuk makan malam!" suara teriakan Ratih dari luar kamar.
Mendengar hal tersebut, kami sama-sama segera bangkit dan keluar dari kamar itu.
*****
Keesokan harinya, pak Daman sekeluarga pergi ke kebun mentimun milik mereka dengan hanya berjalan kaki.
"kenapa gak pake mobil aja, pak Daman?" tanyaku menawarkan.
"jalannya gak bisa ditempuh mobil, mas Dino. Kita harus melalui sawah-sawah dan kebun-kebun lainnya.." jawab pak Daman tersenyum ramah.
"berapa jauh?" tanyaku kemudian.
"sekitar satu kilo dari sini.." kali ini mas Anto yang menjawab.
"kuat gak kamu? Kalau gak kuat gak usah ikut..." mas Anto melanjutkan, dengan nada sedikit merendahkan.
Saya tidak merasa tersinggung. Karena wajar mas Anto berucap demikian. Mengingat di matanya saya adalah orang kota dan anak orang kaya, yang biasa naik turun mobil.
Apa lagi, saya juga tergolong cukup kurus.
Tapi justru saya merasa tertantang untuk tetap ikut dengan mereka. Meski sebenarnya saya tidak begitu yakin, bisa berjalan kaki sejauh itu. Apa lagi medan yang harus kami tempuh penuh tanjakan, pendakian dan penurunan.
"gimana? Ikut gak?" suara mas Anto mengagetkanku. Ia masih berdiri di sampingku.
Sementara pak Daman, bu Rusnah dan Ratih sudah berjalan di depan.
"ayok! Siapa takut?!" ucapku akhirnya, sambil mulai melangkah.
******
Jalan yang kami tempuh untuk menuju kebun mentimun mas Anto penuh tanjakkan, pendakian dan penurunan.
Kami juga harus melalui kebun-kebun dan persawahan, yang jalannya sangat sempit dan sedikit becek.
Aku beberapa kali harus berhenti sejenak untuk melepas lelah. Beruntung mas Anto selalu sedia menemani saya sepanjang perjalanan tersebut.
Mas Anto selalu mengajakku mengobrol, agar aku tidak terlalu merasa jenuh.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, kami akhirnya sampai di kebun mentimun milik mas Anto.
Kebun tersebut memang cukup luas. Dan terlihat sangat subur.
Buah-buah mentimun terlihat bergelantungan. Buah-buah itu memang terlihat besar-besar dan segar-segar.
"kalau kamu mau cicipi boleh, kok. Kamu petik aja satu.." suara mas Anto yang masih berdiri di sampingku.
"mentimunnya besar-besar, ya. Dan terlihat segar-segar.." balasku.
"nanti setelah di petik, mau dibawa kemana, mas Anto?" tanyaku melanjutkan.
"sebenarnya buah-buah ini sudah ada yang menampungnya. Nanti sore ada yang menjemputnya ke sini. Jadi habis dipetik, kita kumpulkan aja disini." mas Anto menjelaskan, sambil mulai melangkah memasuki kebun itu.
Sementara pak Daman, bu Rusnah dan Ratih sudah sejak tadi mulai memetik mentimun-mentimun tersebut.
Saat aku hendak melangkah memasuki kebun, tiba-tiba kaki kiriku terpeleset yang mengakibatkan aku terjatuh.
Aku menjerit kecil. Kaki kiriku terasa ngilu.
Mas Anto bergegas mengejar ke arahku, demikian juga pak Daman, Bu Rusnah dan Ratih.
"kamu kenapa?" tanya mas Anto dengan nada cemas.
"kakiku sakit sekali, sepertinya terkilir.." suaraku tertahan menahan sakit.
Mas Anto dan pak Daman membantu saya untuk berdiri. Namun saat saya berdiri, kaki kiri saya terasa sangat sakit ketika diinjakkan.
"aduh!" keluhku menahan sakit.
"kamu gak apa-apa?" tanya mas Anto masih dengan nada cemas.
"kakiku sakit sekali, mas Anto.." keluhku lagi.
Pak Daman segera membimbing saya untuk duduk kembali. Kemudian ia coba mengurut bagian kaki saya yang sakit.
Beberapa kali saya menjerit kecil menahan sakit. Pak Daman segera menghentikan urutannya.
"ya udah, mas Dino pulang aja dulu. Biar Anto yang antar mas Dino ke rumah, untuk istirahat.." ucap pak Daman kemudian.
"tapi saya gak bisa berjalan, pak Daman." ucapku sambil masih menahan sakit.
"Anto yang akan menggandeng mas Dino pulang.." pak Daman berujar lagi, sambil ia meminta mas Anto untuk membantu saya bangkit kembali.
Mas Anto segera memapah saya untuk berdiri. Kemudia ia menarik tangan saya untuk melingkar di pundaknya yang kokoh.
Dengan bertopang pada tubuh kekar mas Anto, saya mulai melangkah kaki saya perlahan.
Mas Anto membantu saya dengan hati-hati.
Dada saya mulai berdegup-degup saat itu. Aroma khas tubuh mas Anto tercium di hidungku.
Tubuh itu terasa hangat berdempetan dengan tubuh kurusku.
Ah, entah mengapa aku merasa nyaman. Rasa sakit kakiku jadi sedikit berkurang menikmati hal tersebut.
Sepanjang perjalanan, orang-orang melirik kami yang berjalan bergandengan dengan tanganku merangkul pundak mas Anto, dan tangan mas Anto berada di pinggangku.
Mas Anto berusaha menjelaskan, kalau kaki saya terkilir dan tidak bisa berjalan sendiri, kepada orang-orang yang bertanya di perjalanan tersebut.
Karena merasa sangat nyaman, perjalanan sejauh itu jadi terasa singkat bagiku. Kami tiba-tiba saja sudah berada di rumah mas Anto.
Mas Anto langsung membawaku masuk ke dalam kamarnya.
"kamu istirahat aja dulu, ya.." ucap mas Anto lembut.
"mas Anto mau kemana?" tanyaku, melihat mas Anto yang hendak melangkah keluar.
"saya mau kembali ke kebun.." jawab mas Anto, "kamu gak apa-apa kan sendirian di rumah?" lanjutnya bertanya.
"jangan, mas! Saya takut sendirian di rumah.." balasku cepat.
Aku memang tak ingin mas Anto pergi. Aku ingin berduaan dengannya di rumah.
Aku sudah terlanjur suka dengan mas Anto. Dan aku ingin selalu bersamanya.
"ya udah. Kalau begitu saya ambil minuman dulu ya di dapur.." ucap mas Anto akhirnya, setelah ia terlihat berpikir sejenak.
Mas Anto segera keluar untuk mengambil minuman di dapur. Dan beberapa saat kemudia ia pun kembali dengan membawa segelas minuman untukku.
"makasih ya, mas Anto.." ucapku sambil menerima gelas minuman tersebut.
"iya. gak apa-apa. Tapi kakimu udah baikan, kan?" mas Anto berujar, sambil ia duduk di sampingku.
"udah mendingan, sih." ujarku membalas.
Untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam. Diam-diam aku kembali memperhatikan wajah setengah tampan milik mas Anto.
Pelan, rasa kagum pun tumbuh dihatiku untuk mas Anto.
"kamu suka mentimun?" tanya mas Tiba-tiba.
"mentimun mas Anto?" tanyaku tanpa sadar.
"iya. Mentimun saya yang di kebun tadi.." jawab mas Anto terlihat santai.
"oh.." aku membulatkan bibir, "suka, sih." ucapku.
"kalau suka, kenapa tadi gak dicicipi?" tanya mas Anto lagi.
"yah, tadi kan udah mau coba dicicipi, tapi keburu kepeleset." jawabku, dengan menyunggingkan sedikit senyum.
"kalau begitu kamu cicipi mentimun yang ada di rumah aja ya.." mas Anto berucap lagi.
"emang ada mentimunnya di rumah?" tanyaku dengan nada heran.
"ada satu, kalau kamu mau, sih.." suara mas Anto pelan.
"maksudnya?" tanyaku benar-benar gak paham.
"gak, gak apa-apa. Cuma becanda, kok.." balas mas Anto selanjutnya, sambil ia tertunduk.
Ku lihat mas Anto menarik napas, kemudian kembali menatapku dengan menyunggingkan sebuah senyum manis.
Oh, aku terpesona melihat senyum itu.
"emangnya mas Anto mau, kalau saya mencicipi mentimunnya?" tanyaku akhirnya, mencoba memancing maksud dari pertanyaan mas Anto tadi.
"emangnya kamu mau mencicipinya?" mas Anto balik bertanya, dengan terus menatapku sendu.
"ya, mau lah, mas. Apa lagi mentimun mas Anto tadi kelihatannya besar-besar dan segar-segar." jawabku kembali berlagak bodoh.
"kamu suka yang besar-besar, ya?" tanya mas Anto.
"gak juga. Saya suka yang standar Indonesia aja." jawabku kemudian.
Sepertinya aku mulai mengerti maksud dari mas Anto, dan sepertinya mas Anto juga mulai memahami arah pembicaraan kami.
Tapi untuk sesaat, tidak ada seorang pun dari kami yang berani untuk memulai.
Aku sendiri masih takut salah paham. Mungkin saja maksud mas Anto tidak seperti yang aku pikirkan.
"kaki kamu masih sakit?" tanya mas Anto tiba-tiba, memecah keheningan.
"udah gak apa-apa kayaknya.." jawabku jujur.
"kalau begitu saya tinggal ya? Saya mau balik lagi ke kebun. Mau bantu-bantu disana." ucap mas Anto kemudian.
"atau kamu mau ikut lagi?" tanyanya melanjutkan.
"ikut ngapain?" tanyaku.
"katanya mau mencicipi mentimun di kebun saya.." balas mas Anto.
"tapi kata mas Anto yang di rumah ada satu tadi.." aku berujar sambil menatap mas Anto dengan muka pengenku.
"kamu yakin mau?" tanya mas Anto.
Aku tidak menjawab, namun aku mengangguk dengan mantap.
Mas Anto terlihat tersenyum kembali. Wajahnya tiba-tiba terlihat cerah. Bak anak kecil yang baru saja mendapatkan permen.
Dan kali ini mas Anto menjadi berani untuk memulainya. Saya pun menyambutnya dengan perasaan yang bahagia.
Siang itu, untuk pertama kalinya, aku dan mas Anto pun melakukan hal tersebut.
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sama sekali.
Tadinya aku berniat ikut pak Daman, hanya untuk sekedar menghilangkan kejenuhanku di kota.
Tak kusangka di sini aku bisa bertemu dengan mas Anto.
Dan lebih tak kusangka lagi, kalau aku bisa merasakan sesuatu yang luar biasa dari mas Anto.
Siang itu menjadi hari terindah bagiku. Mas Anto benar-benar luar biasa. Aku semakin mengaguminya.
Aku semakin menginginkannya.
*****
Sejak kejadian siang itu. Aku dan mas Anto jadi semakin sering melakukannya. Apa lagi setiap malam kami tidur satu kamar.
Namun sesuai dengan perjanjianku dengan mama dan papa, seminggu kemudian aku pun harus kembali ke kota.
Aku merasa berat harus berpisah dari mas Anto. Biar bagaimana pun, setelah seminggu kami bersama, harus aku akui kalau aku mulai menyayangi mas Anto.
Benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku untuk mas Anto.
"aku juga sayang sama kamu, Dino." terngiang kembali ucapan lembut mas Anto, pada malam terakhir kami bersama.
"tapi kita memang tidak mungkin terus selalu bersama-sama, kan?" lanjutnya.
"nanti kalau kamu ada waktu lagi, datang aja ke sini. Aku akan selalu menunggu kamu di sini." lanjutnya lagi.
"aku pasti kangen sama mas Anto.." balasku berbisik.
"kangen sama apanya, nih?" ucap mas Anto menggoda.
"kangen sama semuanya lah, mas. Terutama sama buah mentimun mas Anto yang besar-besar dan segar-segar itu.." ucapku membalas godaan tersebut.
"ah, kamu bisa aja..." timpal mas Anto kemudian, sambil ia mengecup keningku lembut.
Aku hanya tersenyum. Walau berat, aku memang harus kembali ke kota.
Dan aku berjanji dalam hati, suatu saat aku pasti akan kembali lagi kesini.
Semoga saja mas Anto dan mentimun-mentimunnya masih setia menungguku di sini.
Ya, semoga saja...
*****
Bersambung ...