Special part : Antara aku, Vino dan papanya

Adam ...

Namaku Adam.

Jika masih ada yang ingat akan kisahku bersama Vino dan om Hardi, papanya Vino.

Sebuah kisah yang ingin ku hapus dalam perjalanan hidupku.

 

Antara aku, Vino dan papanya part 4

Aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tak ingin membenci siapa pun juga.

Bukan salah Vino, yang tiba-tiba saja jatuh cinta padaku, namun aku belum bisa membalasnya karena Vino masih sangat muda dan dia sudah aku anggap seperti adikku sendiri.

Bukan salah om Hardi juga, papanya Vino, yang ternyata juga seorang gay dan diam-diam menaruh perasaan suka padaku, dan bahkan beliau nekat memaksaku untuk berhubungan intim dengannya.

Hingga hubungan terlarangku bersama om Hardi akhirnya di pergoki oleh Vino, yang membuat ia harus mengalami kecelakaan dan bahkan mengalami lupa ingatan.

Meski aku tahu, kalau Vino hanya berpura-pura lupa ingatan.

Aku tidak tahu mengapa Vino harus melakukan hal tersebut.

Mungkin saja ia bermaksud untuk menyelamatkan harga diri papanya, yang diketahuinya adalah seorang gay.

Atau mungkin ia hanya sekedar ingin menghibur dirinya sendiri dan berusaha lari dari kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

Entahlah, aku juga tidak tahu.

Namun yang pasti, aku akhirnya memutuskan untuk pergi dari kehidupan mereka berdua.

Aku memang harus pergi. Aku tidak ingin berada di antara dua orang yang sama-sama menginginkanku.

Tapi salahkah aku?

Aku tidak pernah meminta mereka berdua untuk tertarik padaku.

Aku juga tidak pernah meminta untuk bertemu dengan Vino apa lagi dengan papanya.

Tapi takdir yang membawaku untuk masuk dalam kehidupan mereka berdua.

Hingga kisah pilu itu pun akhirnya terjadi.

Dan aku tidak ingin menyesalinya.

*****

Sudah lebih dari dua bulan, sejak aku memutuskan untuk pergi dari rumah Vino, aku tidak mendapat kabar apapun dari mereka berdua.

Aku sengaja kembali ke Mesjid tempat dulu aku bekerja.

Beruntunglah pengurus mesjid belum mendapatkan pengganti marbot yang baru, sehingga kehadiranku di sana, di sambut cukup baik oleh para pengurus.

Dan aku pun akhirnya kembali bekerja sebagai seorang marbot mesjid. Profesi yang sudah bertahun-tahun pernah aku jalani dulu, sebelum akhirnya aku bertemu Vino.

Di sini aku merasa sedikit lebih baik. Meski pun hampir setiap saat, rasa bersalah ku kepada Vino, masih terus menghantui.

Apa lagi di tempat ini, aku dan Vino dulu pernah tinggal dan bahkan tidur satu ranjang.

Segala kenagan itu, terkadang melintas di pikiranku.

Aku masih ingat bagaimana hampir setiap malam, aku dan Vino tidur saling berdekapan.

Semua kenangan itu, membuat rasa rinduku kepada Vino kian memuncak.

Tapi aku harus bisa menahan diri. Aku tidak ingin terjebak lagi dengan perasaanku sendiri.

Apa lagi, saat ini, aku yakin, Vino pasti sangat membenciku. Setelah ia mengetahui hubunganku dengan papanya.

Dua bulan lebih aku berusaha melupakan semua kejadian itu.

Dan perlahan aku mulai terbiasa hidup dalam kesendirianku kembali.

Namun saat aku mulai terbiasa dengan semua itu, tiba-tiba om Hardi muncul di tempatku.

"dari mana om Hardi tahu, kalau aku tinggal di sini?" tanyaku memulai pembicaraan, ketika akhirnya om Hardi ku persilahkan masuk.

"sudah sejak lama aku tahu, kamu tinggal di sini. Salah seorang anak buahku yang cerita.." jawab om Hardi terlihat santai.

"lalu untuk apa om menemui saya lagi?" tanyaku kemudian.

"saya ingin menawarkan kamu untuk kuliah kembali, Dam. Dan saya akan membiayai kuliah dan juga kehidupan kamu ke depannya. Tapi tentu saja untuk itu semua, kamu harus tinggal bersamaku.." jelasa Om Hardi selanjutnya.

"om ingin saya kembali ke rumah om?" tanyaku lagi yang masih belum mengerti maksudnya.

"bukan ke rumah om. Tapi ke rumah kita. Saya akan membelikan kamu rumah, tempat kamu tinggal sendirian, dan sekali-kali om akan berkunjung ke sana.." jelas om Hardi lagi.

Sebuah tawaran yang sangat menarik. Tapi aku tidak mungkin dengan begitu saja menerima hal tersebut.

"lalu bagaimana dengan Vino, om? Apa om tidak pernah memikirkan perasaannya?" aku bertanya kembali, yang membuat om Hardi menatapku tajam.

"kamu juga tahu, Dam. Vino mengalami lupa ingatan, dan sekarang ia sedang di rawat di Jerman. Jadi Vino juga gak bakal tahu tentang hubungan kita.." om Hardi menjelaskan lagi.

Kali ini aku terdiam. Aku bahkan baru tahu, kalau Vino justru melarikan diri ke Jerman.

"ada beberapa rahasia Vino, yang om Hardi tidak tahu sampai saat ini.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama aku merenungkan hal tersebut.

Mungkin memang lebih baik aku berbicara jujur kepada om Hardi tentang siapa Vino sebenarnya.

"rahasia apa maksud kamu?" tanya Om Hardi dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Aku menarik napas panjang. Berat rasanya menceritakan semua ini kepada om Hardi, tapi beliau memang harus tahu.

"Vino sebenarnya tidak sedang lupa ingatan, om. Ia hanya berpura-pura..." suaraku bergetar.

Om Hardi menatapku tajam, mendengar ucapanku barusan.

"kenapa Vino mesti melakukannya?" tanyanya akhirnya.

"saya juga tidak tahu pasti kenapa. Tapi saya rasa om bisa menyimpulkannya sendiri. Apa lagi jika om tahu, siapa Vino sebenarnya, dan bagaimana perasaannya padaku.." ucapku lagi.

Kali ini om Hardi kian tajam menatapku.

"maksud kamu apa sih, Dam?" tanyanya lagi.

"maksud saya..... maksud saya.... sebenarnya Vino juga sama dengan om...." kalimatku terbata.

"maksud kamu, Vino juga seorang gay?!" suara om Hardi sedikit meninggi.

"iya, om.." jawabku berusaha tegas, "dan Vino juga sudah berterus terang padaku, kalau ia juga telah jatuh cinta padaku..." lanjutku lagi.

Kali ini, om Hardi menarik napas sangat panjang. Sepertinya ia benar-benar merasa syok mengetahui hal tersebut.

Om Hardi mengusap wajahnya beberapa kali, sambil terus menarik napas berkali-kali.

"kenapa kamu baru cerita sekarang?" suara om Hardi terdengar parau.

Ia terlihat seperti berusaha menahan tangisnya.

"maafkan saya, om. Tadinya saya pikir, semua tidak akan jadi seperti ini.." balasku lemah.

"dan kalian sudah pernah berhubungan intim?" tanya om Hardi selanjutnya.

"belum, om. Hubungan kami masih hanya sebatas saling mengagumi. Kami berusaha untuk saling menjaga perasaan kami, agar tidak terjatuh terlalu dalam.." jawabku jujur.

"tapi apa kamu mencintai Vino?" tanya om Hardi kemudian, yang membuatku terdiam seketika.

Sejujurnya aku tidak tahu pasti, bagaimana perasaaanku kepada Vino sebenarnya.

Terus terang, aku memang mengagumi sosok Vino. Aku juga merasa nyaman saat bersamanya, apa lagi saat berada dalam dekapannya.

Tapi aku tidak berani untuk memikirkan hal itu lebih dalam lagi.

"kenapa kamu diam, Dam? Saya ingin kamu jujur sama om.." suara om Hardi cukup membuatku kaget tiba-tiba.

"saya.. saya... saya bingung, om. Terus terang, selama bersama Vino, saya memang selalu merasa nyaman. Dan saya merasa bahagia, setiap kali melihat Vino tersenyum." jawabku akhirnya.

Om Hardi kembali terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"maafkan om ya, Dam. Andai saja om tahu dari awal, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.." suara om Hardi terdengar pelan dan serak.

Setelah berucap demikian, om Hardi pun pamit untuk segera pulang.

Aku masih terpaku. Tak tahu apa yang aku rasakan saat ini.

Ada rasa lega, karena sudah berterus terang kepada om Hardi.

Yang artinya, tawaran om Hardi untuk membelikan aku rumah sudah pasti tidak akan berlaku lagi.

Tapi mungkin ini jauh lebih baik. Setidaknya aku tidak akan terjerumus lagi dalam dunia kelam itu.

Semoga saja, om Hardi juga menyadari kekeliruannya, dan mulai memperbaiki diri.

Ya, semoga saja...

*****

Om Hardi

Aku benar-benar terpukul mengetahui, kalau ternyata Vino, anakku satu-satunya itu, ternyata juga seorang gay.

Dan yang membuatku semakin terpukul, ialah mengetahui kalau kami menyukai lak-laki yang sama.

Aku mencoba untuk tidak percaya dengan semua cerita Adam padaku. Tapi tidak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayainya.

Untuk itu, aku pun memutuskan untuk menemui Vino di Jerman.

Aku ingin berbicara dari hati ke hati bersama Vino. Selain tentu saja, aku ingin memohon maaf padanya, atas tindakanku kepada Adam.

Sesampai di sana, Vino menyambutku dengan wajah datarnya. Ia masih bersikap seolah-olah ia memang lupa ingatan.

"papa tahu, kalau kamu hanya pura-pura Vino.." suaraku parau memulai pembicaraan kami.

"papa minta maaf. Papa bukanlah seorang papa yang baik buat kamu. Kamu mungkin kecewa mengetahui kalau papa adalah seorang gay..." aku melanjutkan masih dengan suara yang semakin parau.

Tanpa sadar air mataku pun menetes.

Sampai saat itu, Vino masih terdiam.

Aku pun menceritakan tentang hubungan ku bersama Adam yang sebenarnya.

"sebenarnya Adam terpaksa melakukan hal tersebut, itu bukan keinginannya.." ucapku mengakhiri ceritaku.

Meski masih terdiam, namun sepertinya Vino mulai memahami maksud dari ceritaku barusan.

"jadi papa sudah tahu, kalau aku pura-pura lupa ingatan? Dan papa juga sudah tahu, kalau aku juga seorang gay?" Vino pun akhirnya membuka suara.

Aku merasa sedikit lega. Setidaknya Vino mulai membuka diri, untuk bisa menerima siapa aku sebenarnya.

"iya, Vin. Papa sudah tahu. Dan papa harap Vino mau memaafkan papa.." jawabku terdengar lirih.

"Vino gak tahu harus marah sama siapa sebenarnya, Pa. Vino juga bingun dengan semua ini.." ucapan Vino terdengar lemah.

Untuk beberapa saat, kami pun saling terdiam.

Terus terang aku merasa kasihan melihat Vino. Biar bagaimana pun ia masih sangat muda, untuk menerima semua kenyataan ini.

Semenjak aku mengetahui semua ceritanya dari Adam, aku mulai bertekad untuk berubah.

Aku memang harus berubah, mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.

Apa lagi aku juga punya istri yang sangat menyayangiku.

Aku memang harus berubah, setidaknya demi Vino. Aku harus jadi Ayah yang baik untuk Vino.

Tapi semua itu butuh waktu dan proses yang sangat panjang.

Apa lagi, mengingat aku sampai saat ini masih mencintai Adam.

Pemuda manis itu, benar-benar membuatku tergila-gila padanya.

Namun biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Adam jelas tidak punya perasaan apa-apa padaku.

Selama ini, Adam hanya terpaksa untuk memenuhi keinginanku padanya.

Dan aku semakin merasa bersalah, karena ternyata Vino, juga menyukai Adam. Dan Adam sepertinya juga menginginkan Vino.

Dan aku, harus berhenti mengharapkan Adam.

"apa kamu mencintai Adam?" pertanyaan itu terlontar juga akhirnya, setelah dengan susah payah aku berusaha mengucapkannya sejak tadi.

Kali ini, Vino menatapku dengan kening berkerut.

"apa bedanya sekarang, Pa. Mas Adam sudah menjadi milik papa. Dan aku tidak berhak hadir di dalamnya..." suara Vino terdengar menghiba.

"bukankah tadi sudah papa katakan, kalau Adam sebenarnya terpaksa melakukan itu semua. Dan sekarang papa dan Adam sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.." jawabku berusaha tegar.

"tapi mas Adam hanya menganggapku sebagai adik, tidak lebih.. Ia tidak punya perasaan tertarik padaku.." ucap Vino lag, masih dengan suara lemah.

"Adam sebenarnya juga menyukai kamu, Vin. Hanya saja ia terlalu gengsi mengakui hal itu. Mungkin lebih baik, kalian membicarakan ini lagi dari hati ke hati." aku berucap lagi, kalai ini berusaha terdengar bijak.

"emangnya papa mengizinkan aku dengan mas Adam?' tanya Vino kemudian.

Aku terdiam sesaat memikirkan hal tersebut.

Sejujurnya aku juga tidak rela, Vino menjalin hubungan dengan Adam.

Bukan karena aku yang juga sangat mencintai Adam, tapi biar bagaimana pun, tidak ada seorang ayah pun di dunia ini, yang rela anaknya menjalin hubungan dengan sesama jenis.

"anggap saja, ini sebagai permintaan maaf papa sama kamu..." begitu ucapku akhirnya.

Meski aku tidak tahu, apa hal itu cukup setimpal dengan resiko yang harus aku hadapi ke depannya.

Namun sebagai laki-laki yang pernah merasakan seperti yang di rasakan Vino saat ini, aku mungkin memang harus memberi kesempatan kepada Vino, untuk menjadi dirinya sendiri.

"tapi .... jika kalian hidup bersama nantinya, papa harap kalian tetap tinggal di negara Jerman ini. Karena jika kalian tinggal di negara kita, jelas hal itu akan sangat beresiko nantinya.." lanjutku lagi.

Aku melihat senyum Vino mengembang, setelah lebih setengah tahun ini, aku tidak melihat senyum itu.

Ya, sejak Vino memergoki ku dengan Adam, secara otomatis senyum itu juga lenyap.

Dan sekarang aku melihatnya lagi. Semoga saja ini adalah awal yang baik, untuk semuanya.

******

"om yakin, mengizinkanku hidup bersama Vino di Jerman sana?" Adam mengulang kembali pertanyaannya.

Saat aku akhirnya, seminggu kemudian, mengutarakan keinginanku, tentang harapan ku untuk Vino.

"iya. Om yakin. Anggap saja ini semua untuk menebus kesalahan om, karena telah berusaha membuat kalian terpisah selama ini.." jawabku meyakinkannya lagi.

"tapi ... apa Vino nya bersedia, om..?" Adam bertanya lagi.

"kamu tenang aja, om sudah bicarakan ini dengan Vino. Dan om akan urus segala keperluanmu ke luar negeri. Yang penting kamu bersedia. Setidaknya biarkan Vino merasakan kebahagiaan hidupnya..." jelasku lagi.

Adam terdiam cukup lama. Sepertinya ia ragu. Tapi aku yakin, kalau Adam sebenarnya juga mencintai Vino. Dan ini adalah kesempatannya untuk membuktikan hal tersebut.

"om akan beri kamu waktu seminggu untuk memikirkan hal ini. Nanti kalau kamu sudah punya keputusan, kamu tahu harus menghubungi om dimana.." ucapku kemudian, sambil mohon pamit untuk pulang.

******

Vino...

Berbulan-bulan aku tinggal sendirian di Jerman. Aku benar-benar merasa kesepian.

Tadinya aku berharap, dengan pindah ke Jerman, aku bisa melupakan segala kejadian menyakitkan tersebut.

Tapi ternyata itu semua tidak semudah yang aku pikirkan.

Bayangan papa dan mas Adam yang sedang bergumul, terus melintas di benakku.

Rasanya begitu sakit menyaksikan orang yang aku cintai tidur bersama papaku sendiri. Dan yang paling menyakitkan dari itu semua, ialah mengetahui kalau papaku ternyata adalah seorang gay.

Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Aku ingin melupakan semuanya.

Dan karena itu juga, aku memutuskan untuk berpura-pura lupa ingatan, dan meminta mama untuk mengirimku ke Jerman untuk berobat.

Walau sebenarnya tujuanku ke sini, adalah untuk mengobati rasa sakit di hatiku karena papa dan mas Adam.

Namun setelah berbulan-bulan, tiba-tiba papa muncul.

Ia datang dengan segala penyesalannya dan dengan segala pengakuannya.

Papa menceritakan tentang hubungannya dengan mas Adam, yang sebenarnya hanyalah sebuah keterpaksaan.

Awalnya aku mencoba untuk mengabaikan hal tersebut. Karena biar bagaimana pun dan apa pun alasannya, mereka berdua jelas telah membuat aku sangat kecewa dan terluka.

Namun melihat kesungguhan papa meminta maaf, dan dari kejujurannya, akhirnya hatiku pun luluh.

Apa lagi, papa dengan terang-terangan memberikan aku kesempatan untuk bisa hidup bersama mas Adam, orang yang sangat aku cintai.

"papa hanya ingin kamu bahagia, Vin. Walau sebenarnya ini bukanlah yang terbaik.." ucap papa waktu itu.

"lalu bagaimana dengan mas Adam, pa? Apa ia akan bersedia?" tanyaku kemudian.

Biar bagaimana pun, aku memang berharap bisa hidup bersama mas Adam. Namun aku juga tahu mas Adam, selama ini ia hanya menganggapku sebagai adik.

Dan aku juga tahu, mas Adam adalah orang yang alim.

Tapi mengingat apa yang telah mas Adam lakukan bersama papa, rasanya sangat mungkin kalau mas Adam sebenarnya juga punya perasaan yang sama denganku.

"sebenarnya Adam juga menyukai kamu, Vin. Hanya saja ia terlalu gengsi mengakui hal tersebut.." terngiang kembali ucapan papa tempo hari.

"nanti biar papa yang ngomong langsung sama Adam. Kamu tunggu saja kedatangannya di sini.." lanjut papa ringan.

Setelah itu, papa pun pamit kembali ke Indonesia.

*****

Sudah dua minggu berlalu semenjak kepulangan papa ke Indonesia.

Aku masih berharap, papa menepati janjinya untuk mengirim mas Adam ke sini.

Sejujurnya aku memang tidak bisa melupakan mas Adam. Ia adalah cinta pertamaku.

Dan aku berharap ia akan menjadi pelabuhan terakhirku.

Saat aku sedang memikirkan mas Adam, tiba-tiba saja ia muncul di hadapanku.

Aku mengusap mataku berkali-kali, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau semua itu bukanlah mimpi.

"mas Adam?" suaraku tertahan.

"iya, Vin. Aku jauh-jauh datang ke sini, hanya untuk minta maaf sama kamu..." suara sendu mas Adam berucap.

Kami bertemu di teras depan rumahku.

Ternyata papa telah memberi petunjuk yang cukup jelas kepada mas Adam, sehingga ia bisa sampai dengan selamat ke sini.

"bagaimana mas Adam bisa sampai ke sini?" tanyaku berpura-pura bodoh.

"panjang ceritanya, Vin. Tapi saat ini, itu tidak penting lagi. Yang penting adalah apa kamu bersedia memaafkan aku?" mas Adam berucap lagi, kali ini ia duduk di sampingku.

"aku bersedia memaafkan mas Adam. Tapi ada syaratnya.." ucapku dengan memesang senyum manis.

"apa syaratnya?" tanya mas Adam, dengan tatapan penuh tanya.

"pertama, mas Adam harus berjanji untuk menetap di sini bersamaku. Kedua, mas Adam tidak boleh lagi menolak keinginanku untuk memeluk mas Adam.." balasku penuh keyakinan.

"yakin, hanya di peluk saja?" tanya mas Adam lagi, dengan nada sedikit menggoda.

"hmmm.... mau nya sih pengen lebih, tapi takutnya mas Adam gak mau..." balasku mulai merasa rileks.

"aku memang gak mau, kok. Gak mau nolak maksudnya..." mas Adam berucap masih dengan nada menggodanya.

Oh, entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa lega. Hatiku yang selama ini terbalut rindu, tiba-tiba saja merasa berbunga.

Berada di samping mas Adam kembali, membuat semua mimpiku seakan nyata.

"aku sangat mencintaimu, mas Adam.." desahku akhirnya, setelah untuk pertama kalinya mas mengecup bibirku lembut.

"aku juga sangat mencintaimu, Vino. Dan aku berharap kita tetap bersama selamanya.." balas mas Adam, sambil kali ini ia menyentuh kedua pipiku.

Sekali lagi bibirnya pun mendarat di keningku.

"aku mencintai mas Adam secara sederhana, seperti mentari yang selalu setia menanti pagi, seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti ombak yang selalu kembali ke pantai..."

Kalimat itu, muncul begitu saja dari bibirku, sesaat sebelum akhirnya mas Adam merangkul tubuhku dalam dekapan hangatnya.

Aku segera menarik tubuh mas Adam untuk masuk ke dalam rumah.

Meski berada di negara Jerman, aku tetap saja merasa tidak nyaman harus melakukan hal tersebut di teras rumah.

Sesampai di ruang tamu, kami kembali berpelukan.

Kami benar-benar seperti orang yang sudah tidak bertemu bertahun-tahun.

Saling dekap, dan tak ingin saling melepaskan.

"kamu yakin hanya ingin di peluk seperti ini?" bisik mas Adam lebih terdengar seperti sebuah desahan.

"emangnya mas Adam mau melakukan yang lebih dari ini?" aku bertanya balik.

"kamu siap gak melakukannya dengan mas?" mas Adam bertanya lagi.

"aku siap, mas. Aku sudah siap sejak lama. Mas Adam saja yang selalu menolak selama ini.." balasku ikut berbisik.

"mas bukannya menolak, Vin. Mas hanya gak tega melihat kamu melakukannya pada mas. Apa lagi, kamu belum pernah melakukannya sebelumnya.." ucap mas Adam kemudian.

"sekarang mas Adam mau, kan?" aku bertanya kemudian.

Mas Adam tidak mengeluarkan suara, tapi ia perlahan pun mengangguk.

Dan dengan perlahan pulan, wajah kami saling mendekat.

Debaran di jantungku kian tak beraturan. Ini adalah pertama kalinya aku melakukan hal tersebut.

Sebuah kesan pertama yang begitu indah. Bahkan jauh lebih indah dari yang pernah aku bayangkan selama ini.

Mas Adam benar-benar luar biasa. Ia begitu pandai membuatku terhanyut.

Pelan namun pasti, kami pun mulai terbuai dalam permainan yang begitu indah.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja kami sudah berada di dalam kamarku.

Dan di dalam kamar itulah semuanya terjadi.

Mas Adam berhasil menembus dinding pertahananku.

Aku menjerit menahan sakit. Rasanya begitu perih.

Namun mas Adam berusaha membangkitkan gairahku kembali, yang membuatku akhirnya pasrah.

Dalam kepasrahanku itulah, mas Adam mulai mendayung biduk cinta kami. Dan lama kelamaan aku pun mulai menikmati permainan tersebut.

Aku berusaha mengimbangi permainan liar mas Adam. Aku juga ingin membuat mas Adam terkesan.

Cukup lama kami berusaha mendaki bersama, mencoba menggapai puncak kebahagiaan yang selama ini hanya ada dalam anganku.

Hingga akhirnya kami pun secara bersamaan, terhempas di pelabuhan keindahan yang penuh warna tersebut.

Segenap raga kami pun menyatu, tenggelam dalam lautan penuh makna.

Tubuhku memgejang seketika, saat mas Adam melepaskan hentakannya untuk yang terakhir kali.

Rasanya begitu indah. Sangat indah.

Aku seperti tak ingin mengakhirinya.

"nanti kita ulang lagi, ya.." bisik mas Adam kemudian, sambil ia mulai terbaring di sampingku.

Aku tersenyum membalas ucapan tersebut. Ucapan yang juga sangat ingin aku ungkapan.

Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Semoga saja hubunganku dengan mas Adam, bisa tetap bertahan untuk selamanya.

Semoga saja, tidak ada lagi orang yang berusaha untuk memisahkan cinta kami.

Ya, semoga saja...

***

Sang Kuli, rekan kerja ayahku...

Namanya mas Farel, setidaknya begitulah biasa ia di sapa.

Aku mengenal mas Farel baru beberapa hari yang lalu.

Namun sejak pertama kali melihatnya, aku langsung tertarik padanya.

 

Sang Kuli, Rekan kerja ayahku ...

Mas Farel memang memiliki tampang yang lumayan tampan, meski ia berkulit sedikit gelap.

Matanya yang kecoklatan, memancarkan tatapan teduh yang indah.

Bibirnya terlihat seksi, di bawah hidungnya yang bengir.

Tubunya yang kekar dan berotot, membuat ia terlihat sangat jantan dan macho.

Akh... aku jadi sering mengkhayalkannya akhir-akhir ini.

Beberapa hari yang lalu, ayahku yang seorang tukang bangunan, membawa mas Farel ke rumah kami.

"untuk sementara Farel akan tinggal bersama kita. Karena kami ada proyek yang tidak jauh dari sini. Jadi dari pada Farel harus bolak-bolak dari tempat tinggalnya yang jauh, ayah menawarkan Farel untuk tinggal bersama kita, setidaknya sampai proyek perumahan kami selesai.."

Begitu jelas ayahku waktu itu.

Rumah kami memang tidak terlalu besar. Tapi rumah kami memiliki tiga kamar tidur.

Satu kamar tidur, di tempati oleh ayah dan ibuku. Satu lagi di tempati oleh adik perempuanku yang masih berusia empat belas tahun.

Dan kamar satunya lagi diperuntukkan untukku.

Aku masih sembilan belas tahun, masih kuliah semester awal.

Sejak tahun terakhir SMP, aku mulai menyadari kalau aku bukanlah seperti para lelaki pada umumnya.

Aku berbeda, terutama tentang ketertarikan kepada lawan jenis.

Ketika SMA, aku pernah jatuh cinta pada teman sekelasku.

Namanya Reno, ia seorang cowok yang cukup populer di sekolah. Apa lagi Reno juga seorang ketua OSIS waktu itu.

Tapi tentu saja, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Karena bahkan Reno hampir tak mengenaliku.

Aku mengagumi dan mencintai Reno secara diam-diam, hingga kami lulus dari SMA.

Sejak lulus setahun yang lalu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Reno. Aku juga tidak berusaha mencari tahu keberadaannya hingga saat ini.

Karena beriring berjalannya waktu, aku akhirnya berhasil memupus rasa cintaku pada Reno.

Sekarang ia hanyalah sebagian kecil dari cerita hidupku. Hanya saja, karena Reno adalah cinta pertamaku, terkadang aku masih sering mengkhayalkannya.

Namun semenjak kehadiran mas Farel di rumah kami, segala khayalku sekarang hanya berisi tentang mas Farel.

Mas Farel, atas permintaan ayahku, memang tinggal se kamar denganku.

Mas Farel tidur di bawah, karena ranjangku hanya muat untuk satu orang.

Karena tinggal sekamar, tentu saja, aku dan mas Farel jadi sering mengobrol. Setidaknya setiap malam sebelum tidur.

Dari mas Farel aku tahu, kalau ia ternyata sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.

Mas Farel masih tinggal bersama mertuanya.

Daerah tempat mas Farel tinggal memang sangat jauh dari rumah kami. Setidaknya butuh perjalanan hampir lima jam naik motor, untuk sampai ke sana.

"saya kenal pak Daus, ayah kamu, sudah lebih tiga tahun. Kami kenal ketika kami sama-sama bekerja di sebuah proyek perkantoran." cerita mas  Farel suatu malam.

"sejak saling kenal, kami jadi sering bekerja sama. Kalau saya yang dapat proyek, saya selalu mengajak ayah kamu, begitu juga sebaliknya." lanjut mas Farel lagi.

Suara mas Farel benar-benar terdengar sangat maskulin. Suara itu terdengar seksi di telingaku.

Aku terkadang tidak terlalu menyimak ceritanya, karena lebih fokus mendengar suara indahnya.

Semakin lama, aku semakin mengagumi sosok mas Farel. Di mataku ia terlihat sangat sempurna.

Untuk kedua kali nya dalam hidupku, aku kembali merasakan jatuh cinta.

Dan kali ini masih dengan seorang laki-laki.

Hanya saja bedanya, kali ini aku jatuh cinta pada laki-laki yang sudah berstatus suami orang.

Akh, sakit rasanya menyadari itu semua.

Mengapa aku harus jatuh cinta pada mas Farel?

Mengapa mas Farel harus hadir dalam hidupku?

******

"lagi ngelamunin pacarnya, ya..?" suara serak mas Farel tiba-tiba mengagetkanku.

Saat itu aku sudah berniat untuk tertidur. Mas Farel baru saja masuk kamar, sehabis mengobrol dengan ayahku.

"saya gak punya pacar, mas.." suaraku lemah.

"rugi dong, cowok semanis kamu gak punya pacar.." ucap mas Farel lagi.

Oh, dia memujiku.

Walau aku tahu, itu hanya pujian basa-basi, tapi tetap saja aku merasa tersanjung.

"mas Farel bisa aja." balasku, "tapi aku memang gak punya pacar, kok.." lanjutku, seolah berupaya meyakinkan mas Farel.

Padahal aku tahu, kalau mas Farel juga tidak akan peduli, jika aku punya pacara atau pun tidak.

"cari dong. Apa lagi di kampus, pasti banyak cewek-cewek cantik.." ucap mas Farel lagi.

Andai saja mas Farel tahu siapa aku sebenarnya.

Andai saja ia tahu, kalau aku justru menginginkannya jadi pacarku.

Akh.. apa yang aku rasakan ini?

Aku tidak boleh terlarut dengan perasaan ini. Dan mas Farel tidak boleh tahu, akan perasaanku padanya.

Tapi sampai kapan aku mampu memendam semua ini?

Sementara mas Farel masih sangat lama, akan tinggal sekamar denganku.

Aku takut, aku tidak bisa menahan perasaanku.

Aku takut, aku tidak bisa menahan keinginanku, untuk mendekap tubuh kekar mas Farel.

****

Sudah sebulan, mas Farel tinggal sekamar denganku.

Sudah sebulan juga, aku memendam perasaanku padanya.

Setiap malam, aku selalu berkhayal tentangnya.

Mas Farel selalu pulang, setiap hari sabtu dan kembali lagi pada sore minggunya.

"berapa lama lagi sih, mas. Proyeknya selesai?" tanyaku suatu malam.

"masih dua atau tiga bulan lagi. Kenapa? Kamu bosan ya, melihat saya dalam kamar ini?" balas mas Farel.

"bukan, mas. Bukan itu maksudku. Saya hanya sekedar bertanya, mas. Lagi pula, saya sangat senang, kok. Mas Farel berada di sini.." ucapku cepat.

Aku benar-benar takut, mas Farel salah paham.

"kamu yakin? Kamu suka saya berada di sini?" mas Farel bertanya, kali ini ia menatapku dengan mata teduhnya.

Kami ngobrol, sambil duduk di sisi ranjang kecil itu.

Mas Farel selalu tidur dengan memakai celana pendek olahraga, dengan hanya memakai baju singlet tipis.

Otot dadanya yang bidang terlihat sangat menggoda.

Lengannya yang kekar, membuatku selalu menelan ludah.

Aku selalu membayangkan berada dalam dekapan hangat tubuh atletis itu.

"kamu suka ngelamun ya..." suara mas Farel membuatku segera tersadar dari imajinasi liarku.

"gak kok, mas.." jawabku berusaha bersikap wajar.

"tapi aku sering melihat kamu melamun, dan kadang tersenyum sendiri. Seperti orang yang sedang jatuh cinta.." suara merdu mas Farel berucap lagi.

"tuh, kan.. mukanya memerah.." lanjutnya dengan nada menggoda.

"kamu lagi jatuh cinta sama siapa, sih?" mas Farel terus melanjutkan.

Aku lagi jatuh cinta sama kamu, mas Farel. Ucapku, di dalam hati, sih.

Gila aja, kalau aku harus berterus terang pada mas Farel.

"tuhh ... kan. Melamun lagi.." ucapan mas Farel kal ini, benar-benar membuatku kaget dan malu.

"udah ah, mas. Saya ngantuk, mau tidur.." ucapku akhirnya, sambil mulai berbaring.

Tiba-tiba mas Farel ikut berbaring di sampingku. Tubuh kami berdempetan.

Aku jadi gelagapan tak karuan.

Mas Farel belum pernah melakukan hal ini sebelumnya.

Aku berusaha sekuat mungkin menahan debaran di jantungku, merasakan hangatnya lengan mas Farel bersentuhan dengan lenganku.

Aku mencoba menikmati hal tersebut.

"gak apa-apa kan saya tidur disini?" suara serak nan merdu itu seperti berbisik di telingaku.

"i.. iya.. mas. Gak apa-apa.." jawabku sedikit tergagap.

"kamu kenapa sih? Kamu pengen di peluk?" tanya mas Farel kemudian.

Kali ini aku beranikan diri menatap mata teduh itu. Aku harus memastikan, kalau mas Farel serius dengan tawarannya.

Mas Farel memasang senyum termanisnya, kemudian tangannya perlahan mulai melingkar di atas dadaku.

Aku semakin merasa tak karuan. Debaran di jantungaku semakin tak beraturan.

Tubuh mas Farel terasa begitu hangat mendekapku.

Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku pun membalas dekapan hangat itu.

"kamu suka gak?" suara serak itu berucap lagi.

"suka, mas.." jawabku polos.

"kenapa?" tanya mas Farel kemudian.

"karena.... karena aku... aku.. aku suka sama mas Farel..." suaraku terbata.

Namun segenap perasaan lega menyelimuti hatiku tiba-tiba.

Lega karena perasaan itu akhirnya terungkapkan.

Namun di sisi lain, tiba-tiba aku merasa takut.

Takut, karena bisa saja mas Farel merasa jijik melihatku.

"aku tahu.." ucapan mas Farel membuatku kembali menatapnya.

Namun mas Farel kembali menenggelamkanku dalam pelukannya.

"aku tahu sejak awal. Meski aku merasa tidak yakin awalnya. Tapi dari sikapmu, akhirnya aku percaya, kalau kamu menyukaiku.."

"tapi sebagai tamu di rumah ini, dan juga sebagai rekan kerja ayahmu, aku harus tetap berhati-hati. Aku tidak ingin salah paham.."

"aku juga suka sama kamu, Ben. Dan aku sudah tidak bisa lagi memendam ini semua.."

ungkapan jujur mas Farel barusan, benar-benar membuatku merasa melayang.

 Sungguh ini semua di luar dugaanku. Selama ini mas Farel terlihat biasa saja padaku

Apa lagi mengingat ia sudah menikah dan sudah punya anak. Rasanya mustahil, kalau mas Farel juga seorang yang menyimpang.

"aku memang bukan seutuhnya seorang gay. Aku masih punya sisi ketertarikan pada perempuan. Walau terkadang keinginan untuk bersama laki-laki juga tidak bisa aku hindari." jelas mas Farel lagi.

Dari aku kalimat itu aku tahu, kalau mas Farel adalah seorang biseksual.

Yang punya ketertarikan pada perempuan, tapi juga suka dengan laki-laki.

Apa pun namanya itu, yang penting bagiku adalah, setidaknya aku tahu kalau mas Farel juga tertarik padaku.

Dan itu berarti cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

Walau aku gak tahu, akan seperti apa hubunganku dengan mas Farel ke depannya. Namun yang pasti malam ini, aku ingin merasakan keindahan yang selama ini hanya ada dalam khayalku.

Mas Farel mulai mendekatka wajahnya, yang membuatku gemetaran.

Seumur hidup aku belum pernah sedekat ini dengan siapa pun, terutama dengan laki-laki.

Apa lagi, mas Farel adalah laki-laki yang aku inginkan.

"kamu belum pernah pacaran, ya?" tanya mas Farel, setelah ia melepaskan bibirnya.

"belum mas. Aku bahkan baru pertama merasakan ini.." jawabku cukup jujur.

Mas Farel tersenyum simpul. Lalu kemudian mulai mendekatkan wajahnya kembali.

Untuk kali ini, aku berusaha untuk membuka diri.

Mas Farel mengerti, kalau aku masih sangat awam dalam hal tersebut. Untuk itu, ia pun berusaha membuatku merasa nyaman.

Dia tidak terlihat buru-buru. Dia melakukan perannya dengan santai, namun mampu membuatku terasa melayang.

Lama kelamaan kami semakin tak terkendali. Aku semakin mahir memainkan peranku.

Mas Farel terlihat sangat menikmati apa yang aku lakukan padanya.

Walau aku tahu, ini bukanlah yang pertama bagi mas Farel. Tapi aku ingin memberi kesan lebih pada mas Farel.

Setidaknya aku ingin mas Farel menjadikan ini, sebagai sesuatu yang tak akan pernah ia lupakan.

Setelah perjuangan yang keras, akhirnya mas Farel berhasil menembus pertahananku.

Aku merasa sakit tiba-tiba. Namun mas Farel yang memang sudah sangat berpengalaman, berhasil menenangkanku.

Dan perlahan namun pasti, aku mulai bisa mengikuti gerakan mas Farel.

Irama yang dimainkan mas Farel, benar-benar membuatku terbuai.

Setiap gerakannya membuatku meracau tak karuan.

Permainan itu berlangsung sangat lama. Aku mulai menyerah, hingga akhirnya aku memutuskan untuk sampai duluan.

Dan tak lama kemudian, mas Farel pun ikut berlabuh bersamaku.

Sebuah pendakian yang panjang, yang berakhir dengan penuh keindahan.

Itu adalah pengalaman pertamaku sebagai seorang laki-laki.

Aku merasa sangat terkesan, dengan permainan mas Farel.

Dan aku semakin mencintainya.

*****

Sejak malam itu, aku dan mas Farel jadi semakin sering melakukannya.

Hal itu sudah menjadi rutinitas kami setiap malam.

Mas Farel bahkan rela tidak pulang ke rumahnya pada hari sabtu seperti biasa, hanya untuk bisa menikmati malam bersamaku.

Aku sendiri semakin terlena dengan hubungan terlarang yang terjadi antara aku dan mas Farel.

Meski aku cukup menyadari, kalau suatu saat ini semua akan berakhir. Karena biar bagaimana pun, pada saatnya nanti, mas Farel akan kembali ke rumahnya.

Namun setidaknya, sebelum proyek mas Farel selesai, aku masih bisa terus menikmati keindahan cintaku pada mas Farel.

Tentang apa yang akan terjadi ke depannya, semua itu biarlah tetap menjadi rahasia.

Aku akan menikmati sisa waktuku bersama mas Farel.

Aku hanya berharap, sekali pun mas Farel tidak lagi tinggal sekamar denganku nantinya, semoga saja kami tetap bisa saling berhubungan.

Ya,, semoga saja...

*****

Bersambung ...

Kisah sang room service (bersama sang aktor laga)

Andre adalah tamu kedua yang harus aku layani, setelah mas Hendrik.

Jika mas Hendrik adalah seorang tentara, maka Andre merupakan seorang aktor laga.

Meski Andre tidak terlalu terkenal, namun ia sudah cukup sering berperan dalam beberapa film layar lebar.

Cerita gay sang penuai mimpi

Aku bahkan salah seorang penggemar beliau, karena aktingnya yang terlihat maksimal pada setiap peran yang ia mainkan.

Walau sebenarnya Andre lebih sering berperan sebagai pemain figuran, namun kematangannya dalam dunia peran sudah tidak bisa diragukan lagi.

Selain itu, Andre juga masih sangat muda. 26 tahun usianya saat ini.

Sebagai seorang aktor laga, tentu saja Andre memiliki paras wajah yang sangat tampan dan terawat dengan baik.

Di dukung pula oleh postur tubuhnya yang tegap dan berotot.

Kulitnya putih dan bersih, karena selalu mendapatkan perawatan yang rutin.

Bibirnya memerah, karena tidak pernah merokok apa lagi minum minuman beralkohol.

Meski hidup dalam dunia glamour para artis ibu kota, kehidupan Andre jauh dari kesan mewah, foya-foya dan hura-hura.

"saya tidak suka pesta, dan sangat tidak suka dengan keramaian.." begitu jelas Andre, saat ia bercerita padaku.

"saya juga tidak terlalu pandai bergaul dan hanya punya beberapa orang teman. Hubungan saya dengan para selebritis lain, hanya sebatas hubungan kerja. Tidak lebih.." lanjutnya terdengar lembut.

Ternyata, meski memiliki tubuh yang terkesan atletis dan kekar, Andre memiliki sisi feminim, yang hanya akan terlihat jika kita berbicara sangat dekat dengannya.

"jika di depan orang-orang, saya memang harus terlihat jantan dan macho. Apa lagi peran yang saya mainkan adalah peran laga.." cerita Andre lagi.

"tapi sebenarnya saya memiliki sisi gelap dalam hidup ini. Dan hal ini tidak pernah saya ceritakan pada siapa pun, kecuali pada mas Derry. Itu pun karena saya menganggap mas Derry bukanlah orang yang suka mengumbar aib orang lain.." lanjut Andre bercerita.

Ya, saya memang tidak terlalu suka ikut campur urusan orang lain, terutama kehidupan pribadi mereka.

Selama mereka tidak mengusik kehidupan saya, tidak ada untungnya bagi saya untuk ikut campur urusan orang lain.

Saya suka melihat keterus terangan Andre padaku malam itu.

Meski kami baru saja saling kenal, namun ia dengan gamblangnya bercerita banyak tentang rahasia kelamnya padaku.

"dulu saya pernah pacaran dengan sesama laki-laki. Bukan artis, sih. Hanya seorang pekerja kantoran. Hubungan kami terjalin selama lebih kurang dua tahun,"

"tapi kemudian, kami harus terpisah karena ia memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihan orangtuanya." ucap Andre sambil sedikit menghela napas.

"bukankah hubungan sesama jenis memang tidak akan pernah bertahan lama?" lanjutnya, lebih kepada dirinya sendiri.

"wah.. kalau untuk itu saya kurang paham, Ndre. Karena saya memang tidak pernah mengalaminya..." timpalku pelan.

"mas Derry tidak pernah pacaran sama laki-laki?" tanya Andre, dengan sedikit mengerutkan kening.

"gak pernah lah, Ndre. Saya kan bukan homo. Saya melakukan ini hanya karena tuntutan pekerjaan." balasku terdengar sedikit sengit, seolah ingin membela harga diriku sebagai seorang laki-laki normal.

"sebelum bekerja di sini. Saya selalu berhubungan dengan perempuan. Dan bahkan sekarang saya sudah menikah dan sudah mempunyai dua orang anak.." lanjutku lagi, seperti berusaha meyakinkan Andre akan status ku sebenarnya.

Kali ini Andre menatapku cukup lama. Ia seakan tak percaya dengan apa yang aku ucapkan barusan.

"kenapa? Kamu gak percaya, kalau aku sudah punya istri dan anak?" ucapku bertanya, melihat reaksi Andre tersebut.

Aku segera mengeluarkan handphone-ku, kemudian memperlihatkan photo keluarga kami pada Andre.

Aku memang ingin Andre percaya, dengan apa yang aku katakan padanya.

Andre masih terdiam, setelah ia melihat sekilas photo yang aku perlihatkan padanya.

"berarti mas Derry belum pernah melakukan ini dengan laki-laki?" tanya Andre akhirnya, setelah ia terdiam cukup lama.

"untuk bisa bekerja di sini, aku memang harus melakukannya. Dan aku pernah melakukannya dengan manager-ku, mas Tejo, sebagai salah satu tes, agar aku diterima bekerja di sini." aku menghela napas sejenak.

"kemudian beberapa hari yang lalu, aku juga melakukannya dengan seorang tamu yang meminta pelayanan lebih padaku. Ia seorang tentara.." ucapku melanjutkan.

"jadi mas Derry posisinya apa?" tanya Andre kemudian.

Untuk sesaat aku terdiam. Awalnya aku kurang paham maksud dari pertanyaan Andre barusan.

Namun karena mas Tejo pernah bercerita sedikit tentang beberapa posisi dalam dunia gay, aku bisa mengerti maksud dari pertanyaan tersebut.

"aku bisa berada di posisi mana saja. Tergantung lawan main dan keinginan dari sang tamu.." ucapku akhirnya, yang membuat Andre terlihat manggut-manggut tanda paham.

Aku pun menceritakan sedikit tentang posisiku saat bermain dengan mas Tejo, sang manager. Dan juga posisiku saat berlayar bersama mas Hendrik, sang tentara.

"jadi kamu inginnya aku berada di posisi mana malam ini?" tanyaku mengakhiri ceritaku.

Kali ini Andre tersenyum manis. Bahkan menurutku sangat manis.

"aku ingin merasakan dua-duanya. Bisa?" balas Andre bertanya.

"maksud kamu, kita mainnya secara bergantian?" tanyaku balik.

Andre mengangguk ringan, sambil sedikit menggeser duduknya untuk mulai mendekat.

Berdasarkan pengalamanku dengan mas Tejo dan mas Hendrik, kali ini aku tidak lagi memejamkan mata.

Aku ingin menikmati hal tersebut kali ini. Terutama karena Andre sangat menarik secara fisik.

Kali ini bukan hanya Andre yang memulai, tapi aku juga mencoba untuk lebih membuka diri.

Beberapa hari yang lalu, saat aku selesai melayani mas Hendrik, aku mendapat upah yang menurutku sangat besar dari mas Hendrik.

Karena itu juga, aku ingin membuat Andre merasa puas dengan pelayananku padanya. Setidaknya dengan demikian, aku berharap, Andre juga akan membayar lebih banyak. Bahkan lebih banyak dari yang aku dapat dari mas Hendrik.

Apa lagi mengingat Andre adalah seorang aktor, yang sudah pasti memiliki banyak uang. Dan lagi pula tentu saja ia merasa takut, kalau rahasia hidupnya aku ceritakan pada orang lain.

Meski sebenarnya aku tidak punya niat untuk itu. Tapi setidaknya itu merupakan sebuah kartu mati bagi Andre.

"mas Derry sepertinya sudah berpengalaman.." ucap Andre, saat akhirnya bibirnya terlepas dariku.

Aku membalas ucapan itu dengan sebuah senyuman.

Awal yang baik dengan kesan yang baik. Ucapku membathin.

Aku memang ingin memberi kesan yang mendalam untuk Andre. Aku ingin ia semakin sering menginap di hotel ini, dan meminta aku menemaninya.

Aku mencoba mendekati Andre lagi. Entah mengapa, malam ini aku menjadi sedikit agresif.

Mungkin karena di bandingkan mas Tejo dan mas Hendrik, Andre terkesan lebih menarik di mataku. Dan mungkin juga karena Andre jauh lebih muda dariku.

Atau mungkin sebenarnya, aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Entahlah.. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini.

Aku hanya ingin memerankan peranku sebagai orang yang dibayar.

Kali ini kami melakukannya sangat lama. Andre terlihat menjadi kesulitan bernapas, karena aku tidak ingin melepaskannya.

"capek ah, mas..." suara Andre sedikit mendesah, karena harus mengatur napas kembali.

"tapi kamu suka, kan.." ucapku terdengar menggoda.

Andre kembali memasang senyum termanisnya. Sambil sedikit mengangguk malu-malu.

Bak seorang anak perawan, yang baru pertama kali pacaran.

Aku justru menjadi kian penasaran melihat Andre seperti itu.

Jangan-jangan Andre baru pertama kali melakukan hal ini. Bathinku.

Meski pun ia tadi bercerita kalau ia pernah pacaran selama dua tahun, tapi bisa saja selama itu mereka tidak melakukan apa-apa, selain sekedar berpegangan tangan.

Seperti para remaja yang baru pertama jatuh cinta pada umumnya.

Saling suka, saling tertarik. Lalu makan bareng, nonton bareng dan nongkrong bareng. Saling takut untuk memulai melakukan hal yang lebih dari itu.

Cinta monyet! Begitu istilahnya.

*****

"sejujurnya mas, aku memang belum pernah melakukan hal ini. Dulu waktu pacaran, kami hanya sekedar pegangan tangan dan sedikit berpelukan. Itu pun sangat jarang.." Andre berkata jujur akhirnya, setelah aku mencoba memancingnya dengan beberapa pertanyaan.

"mas Derry adalah yang pertama bagiku.." lanjut Andre, dengan sedikit tersipu malu.

"jadi aku pengen, mas Derry yang mengajariku.." Andre berucap lagi.

"aku tahu tentang hotel ini dari seorang teman. Karena itu aku menginap di sini, dan berharap bertemu laki-laki yang sudah berpengalaman.." Andre melanjutkan lagi.

Mendengar cerita Andre barusan, aku merasa tertantang.

Jika mas Tejo dan mas Hendri sangat sudah berpengalaman, bagaimana rasanya dengan Andre yang baru pertama kali melakukannya?

Pasti akan sangat menarik. Pikirku.

Berdasarkan hal tersebut, aku pun semakin berani melakukan aksi ku terhadap Andre.

Kapan lagi bisa melakukan hal ini dengan seorang aktor laga terkenal. Pikirku lagi.

Andre yang memang baru pertama merasakan hal tersebut, beberapa kali harus menggelinjang dengan tubuh yang terus bergetar.

Aku semakin gemas melihatnya seperti itu. Aku jadi ingat saat malam pertamaku dengan istriku.

Antara takut dan menginginkannya. Begitulah kira-kira kesimpulanku pada Andre malam itu.

Dan hal itu justru membuatku jadi semakin ingin menaklukannya.

Aku ingin membawa Andre berlayar dalam biduk keindahan penuh warna.

Aku ingin membuat Andre merasa tidak menyesal, karena telah melakukannya pertama kali denganku.

Aku ingin pengalaman pertama Andre melakukan hal itu, benar-benar berkesan dan tidak akan pernah ia lupakan.

Andre menjerit ringan, ketika akhirnya aku berhasil menembus dinding pertahanannya.

Perlahan namun pasti, ia mulai membuka jalan agar aku lebih leluasa untuk memasukinya.

Dan lama kelamaan, Andre mulai bisa menikmati hal tersebut. Bahkan ia ikut memainkan perannya.

Andre berusaha mengimbangi permainanku, yang membuatku jadi semakin menyukainya.

Berkali-kali ku lihat Andre memejamkan mata sambil menggigit bibirnya sendiri.

Bukan karena sakit lagi, bukan juga karena ia takut.

Tapi karena ia berusaha menikmati setiap detik permainan kami.

Setiap kali aku mendayung, Andre ikut pula untuk mendayung. Sehingga pelayaran kami semakin cepat sampai ke dermaga keindahan.

Dan saat kami sama-sama sampai ke pelabuhan yang penuh warna itu, aku mendengar suara Andre yang meracau tak jelas.

Semakin lama gerakannya semakin tak beraturan.

Aku semakin memacu gerakanku, di iringi jeritan-jeritan kecil tak jelas dari bibir Andre.

Hingga akhirnya pelayaran itu pun berakhir dengan sangat manis dan begitu berkesan.

Untuk pertama kali nya dalam hidupku, aku benar-benar merasa lega.

Meski aku sudah teramat sering melakukannya dengan istriku, tapi rasanya ketika bersama Andre, ada sensasi keindahan berbeda yang aku rasakan.

Andre yang mampu bertahan sangat lama, membuatku seperti menemukan tempat berlabuh yang sesungguhnya.

Dan aku merasa itu adalah salah satu hal terindah yang pernah aku rasakan dalam perjalan hidupku.

"makasih, Ndre..." bisikku, masih dengan napas yang belum beraturan.

Aku benar-benar terkesan, dalam pertempuran tersebut.

"Andre yang makasih, mas. Mas Derry sangat tangguh.." balas Andre, yang masih terbaring di sampingku.

Untuk selanjutnya kami pun akhirnya tertidur dalam kelelahan dan rasa puas yang tak terhingga.

*****

Lewat tengah malam, aku terbangun.

Andre ternyata sudah mulai memainkan perannya kembali.

"aku menginginkannya lagi, mas.." ucap Andre lembut, selembut bibir merahnya yang menempel di pipiku.

Aku tersenyum. Aku pun mulai membuka diri agar Andre lebih leluasa melakukan aksinya.

Dan untuk kedua kali nya malam itu, kami pun kembali berlayar sama.

Berusaha menemukan keindahan itu kembali.

Mendayung lebih lama dalam biduk cinta yang tiba-tiba saja tercipta malam itu.

Bahkan menjelang subuh, kami pun melakukannya lagi.

Aku semakin terkesan dengan Andre. Ia mampu membuatku mencapai puncak keindahan itu berkali-kali hanya dalam satu malam. Hal yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, bahkan dengan istriku.

Ternyata bukan Andre yang mampu aku berikan kesan terbaik, tapi justru sebaliknya, aku yang dibuatnya sangat terkesan dengan kelihaiannya tersebut.

Tiba-tiba saja aku berharap, agar Andre semakin sering menginap di hotel ini.

Terlepas aku di bayar atau tidak, aku akan tetap bersedia melayani Andre.

Setidaknya itulah yang aku rasakan saat ini.

Semoga saja, ini semua hanyalah perasaan sesaat. Bukan sesuatu yang akan menjadi beban di kemudian hari.

*****

Pagi itu, Andre membayarku dua kali lipat dari yang ia janjikan.

Dan nilai itu sangat banyak bagiku.

"kamu gak harus membayarku sebanyak ini, Ndre. Kita sama-sama mendapatkan kepuasan, kok.." ucapku berusaha mengembalikan sebagian uang yang diberikan Andre padaku.

Tapi Andre tetap bersikeras untuk memberikan semua uang itu padaku.

"mas Derry benar-benar memberikanku sebuah pengalaman yang indah. Aku sangat terkesan, mas. Jadi sudah seharusnya aku membayar mas Derry sebanyak itu.." ucapnya, sambil tersenyum manis.

Melihat Andre yang terlihat tulus, aku pun akhirnya menerima semua uang tersebut.

Apa lagi aku juga sangat membutuhkan uang. Orang bank sudah dua kali datang ke rumah.

Aku meminta waktu kepada mereka selama tiga hari. Dan hari ini adalah hari terakhir yang aku janjikan.

Uang yang diberikan Andre lebih dari cukup untuk membayar cicilan rumah kami, setidaknya untuk satu bulan.

"makasih ya, Ndre..." suaraku pelan.

"udah.. santai, mas. Lagi pula itu kan memang hak-nya mas Derry." balas Andre lugas.

Setelah mengucapkan kata perpisahan, aku pun segera keluar dari kamar itu.

Aku harus segera pulang, bukan saja karena jam kerja ku sudah habis, tapi juga karena aku harus segera ke bank, untuk membayar cicilan rumah kami.

Sepanjang perjalanan pulang, aku terus berpikir. Tentang apa yang telah terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini.

Bagaimana mungkin aku akhirnya harus terjebak dalam dunia pelaangi ini?

Di satu sisi hatiku, aku merasa menyesali semuanya.

Namun di sisi hatiku yang lain, aku seakan menemukan sesuatu yang baru dalam hidupku.

Apa lagi semenjak pertemuan singkatku dengan Andre tadi malam.

Pikiranku kembali mengulas kejadian indahku bersama Andre, yang membuatku terkadang tersenyum sendiri.

Akh... aku tak mungkin jatuh cinta sama Andre.

Tapi aku juga tidak bisa membohongi hatiku sendiri, kalau aku sangat berharap bisa bertemu Andre lagi.

"apa kita akan bertemu lagi, mas?" terngiang kembali pertanyaan Andre pagi tadi, saat aku hendak permisi untuk pulang.

"semua terserah kamu, Ndre. Aku selalu stay di hotel ini, kok. Kalau kamu mau ketemu, ya kamu harus menginap di sini.." jawabku dengan nada datar.

Andre kembali memasang senyum termanisnya.

"emangnya mas Derry masih mau melayani saya, kalau saya kesini lagi?" tanya Andre lagi.

"ya jelas mau lah.. Apa lagi bayarannya sebanyak ini.." jawabku, sambil memperlihatkan uang yang masih aku pegang.

Walau sejujurnya, itu semua tidak sepenuhnya benar.

Karena aku juga ingin Andre kembali ke sini. Bukan saja karena aku di bayar lebih, tapi juga jarena aku mulai menyukai sosok Andre.

Apa lagi kesan yang ia berikan tadi malam, benar-benar membuatku terlena.

Aku menarik napas berat. Sekuat mungkin aku menahan perasaanku.

Ini tidak boleh terjadi. bathinku tiba-tiba.

Aku tidak boleh menyukai Andre, apa lagi sampai jatuh cinta padanya.

Bukan saja karena aku sudah punya istri dan anak, tapi juga karena Andre adalah seorang laki-laki.

Hubungan seperti apa yang bisa terjalin, antara dua orang laki-laki.

Jelas itu sebuah kesalahan. Dan aku tidak boleh larut dalam sesuatu yang sudah jelas-jelas salah.

Sekali lagi, aku berharap, semoga ini semua hanyalah sebuah perasaan sesaat, yang hadir karena kesan yang begitu indah.

Aku tidak boleh terlarut di dalamnya. Dan lagi pula belum tentu Andre juga merasakan hal yang sama.

Mengingat ia adalah seorang aktor laga ternama. Tentu saja, Andre tidak mau namanya tercoreng, karena ketahuan berhubungan denganku.

Akh... aku semakin bingung dengan hidup ini.

Dan perjalananku masih sangat panjang.

Masih banyak tamu laki-laki lain, yang mungkin saja harus aku layani.

Karena itu adalah bagian dari pekerjaanku.

Sebagian hatiku masih berharap, semoga saja ini semua segera berakhir.

Ya, semoga saja...

Bersambung ...

Kisah sang room service (sang manager dan sang tentara)

Aku pulang dengan tubuh yang terasa begitu letih.

Seharian aku berkeliling kota, berjalan kaki, untuk mencari lowongan pekerjaan.

Sudah seminggu aku melakukan hal tersebut.

"dapat, mas. Pekerjaannya?" suara istriku datar, menyambut kepulanganku.

Aku menggeleng lemah. Ku lihat raut wajah kecewa istriku.

"kita sudah tidak punya apa-apa lagi di rumah, mas. Kredit rumah juga sudah dua bulan menunggak." ucap istriku lagi.

Kisah seorang room service gay

Aku terus saja melangkah menuju kamar, untuk sekedar beristirahat.

"aku juga sudah tidak punya uang untuk membayar sekolah Dewa bulan ini.." istriku masih terus berucap, sambil ia mengikuti langkahku ke dalam kamar.

Aku tahu kekecewaan istriku.

Sudah lebih dari lima bulan aku jadi pengangguran. Sejak perusahaan tempat aku bekerja tutup, karena pandemi virus yang masih merajalela sampai saat ini.

Aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan. Namun karena memang sekarang keadaan sedang sulit, aku belum mendapatkan pekerjaan hingga saat ini.

Aku menikah dengan istriku sudah hampir tujuh tahun. Kami sudah memiliki dua orang anak dari hasil pernikahan kami.

Anak pertamaku, yang laki-laki, sekarang sudah duduk di kelas satu SD. Anak perempuan bungsuku, sekarang sudah berusia dua tahun.

Aku menikah saat aku sudah berusia 25 tahun. Saat itu, aku memang sudah bekerja di sebuah perusahaan, dengan gaji yang lumayan besar. Setidaknya cukuplah, untuk aku memenuhi kebutuhan rumah tangga kami.

Aku bahkan sudah mengambil rumah secara kredit.

Hampir tujuh tahun pernikahan kami berjalan dengan baik-baik saja.

Secara ekonomi, aku masih mampu memenuhi kebutuhan istri dan anak-anakku.

Namun sejak aku berhenti kerja, segalanya menjadi kacau.

Uang tabungan kami sudah terkuras semua, untuk biaya hidup kami, selama aku tidak lagi bekerja.

Dan sekarang, setelah hampir lima bulan tanpa pemasukan apa pun, keadaan kami semakin sulit.

Aku manarik napas dalam. Berat rasanya menjalani ini semua.

Aku tidak pernah berpikir semua ini akan terjadi dalam perjalanan hidupku. Aku pikir semua akan berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan.

Aku mencoba memejamkan mata. Mencoba untuk tertidur.

Namun pikiranku benar-benar kacau. Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa, agar bisa menghasilkan uang.

*****

Keesokan harinya, aku mencoba lagi untuk berkeliling mencari pekerjaan.

Aku terpaksa berjalan kaki, karena satu-satunya motor yang kami miliki, sudah terjual, untuk biaya makan kami dan membayar cicilan rumah.

Sudah beberapa tempat aku datangi. Mulai dari rumah makan, mini market, dan beberapa perusahaan.

Tapi tidak satu pun yang membutuhkan karyawan baru.

"kami baru saja memberhentikan beberapa pegawai, pak. Karena keadaan sekarang memang sedang sulit.." begitu ucap salah seorang manager perusahaan yang aku datangi.

Aku tidak bisa memungkuri hal tersebut. Saat ini memang banyak yang jadi korban PHK, aku salah satunya.

Namun aku tidak boleh menyerah. Aku harus tetap berusaha mencari pekerjaan. Setidaknya demi istri dan anak-anakku.

Menjelang sore, aku mencoba memasuki sebuah hotel mewah yang berada di pinggiran kota.

Aku bukan berniat untuk menginap disana, tapi aku ingin mencoba melamar pekerjaan.

Seorang karyawan mengarahkanku ke sebuah ruangan, untuk bertemu manager hotel tersebut.

"jadi kamu mau melamar kerja di hotel ini?" tanya sang manager, saat aku sudah dipersilahkan duduk di hadapannya.

"iya, pak." jawabku.

"emangnya kamu punya keahlian apa?" tanya manager itu lagi.

"saya ... saya memang belum pernah bekerja di hotel sebelumnya, pak. Tapi saya akan belajar, kalau bapak mau menerima saya.." jawabku jujur.

"sebelumnya kamu kerja dimana?" manager itu bertanya lagi.

Aku pun menyebutkan perusahaan tempat aku bekerja sebelumnya, dan sedikit menceritakan tentang kenapa aku harus berhenti bekerja.

"kamu sudah menikah?" tanya sang manager lagi.

"sudah, pak. Saya juga sudah punya dua orang anak. Karena itu, saya sangat membutuhkan pekerjaan ini, pak. Saya sangat berharap bapak mau menerima saya bekerja di sini.." jawabku dengan nada sedikit memohon.

"sebenarnya hotel ini tidak sedang membutuhkan karyawan baru. Tapi kalau kamu bisa meyakinkan saya, untuk bekerja dengan baik, dan tentu saja memenuhi persyaratan dari saya, saya akan mempertimbangkannya.." ucap manager itu, sambil kali ini menatap saya cukup lama.

Ia menatap saya, seakan memperhatikan saya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

Saya merasa jengah diperhatikan seperti itu.

"saya akan melakukan apa saja, pak. Supaya bapak mau menerima saya untuk bekerja di sini.." ucapku, kali ini dengan nada sedikit menghiba.

Sebenarnya aku sudah mulai putus asa, untuk mencari pekerjaan di luar sana. Aku tidak peduli, bahkan jika aku harus mengemis kepada sang manager.

"kamu yakin, mau melakukan apa saja?" tanya sang manager itu akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.

"iya, pak. Saya yakin. Jika saya tidak mendapatkan pekerjaan hari ini, maka kemungkinan istri dan anak-anak saya akan kelaparan hingga esok.." jawabku, masih dengan nada penuh hiba.

Sekali lagi sang manager menatapku lama, raut wajahnya memperlihatkan rasa iba.

"sebenarnya saya harus membicarakan ini dulu sama pemilik hotel. Tapi jika kamu mau memenuhi permintaan saya, saya bisa mengambil keputusan sendiri, untuk menerima kamu.." sang manager berucap lagi.

"permintaan seperti apa yang bapak harapkan dari saya, pak. Saya pasti akan memenuhinya." balas saya dengan nada penuh keyakinan.

Ya, saya akan melakukan apa saja, yang penting saya bisa mendapatkan pekerjaan secepatnya.

"permintaan saya sebenarnya tidak terlalu berat. Dan jika kamu bersedia, saya bukan saja akan menerima kamu bekerja di sini, tapi juga akan memberi kamu sejumlah uang malam ini juga.." ucap sang manager kemudian.

"iya, saya mau, pak.." jawabku tegas.

"kamu yakin?" tanya manager itu lagi.

Kali ini aku hanya menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"oke. Sekarang kamu ikut saya ke lantai atas.."ucap sang manager melanjutkan.

Dengan masih menyimpan tanda tanya, saya mencoba mengikuti langkah kaki sang manager menuju lantai atas hotel tersebut.

Hotel tersebut punya enam tujuh lantai. Setiap lantai berderetan beberapa buah kamar.

Sang manager membawaku ke lantai paling atas, dengan menggunakan sebuah lift.

Sesampai di atas, sang manager mengajak saya masuk ke dalam sebuah kamar.

Kamar itu cukup luas. Di dalamnya terdapat sebuah ranjang, dan beberapa perabot lainnya.

"disini tempat biasa saya beristirahat dan tertidur, terutama kalau saya lagi malas pulang ke rumah.." manager itu berucap, sambil ia duduk di sisi ranjang.

Saya masih berdiri terpaku di hadapan sang manager.

"oh, ya. Pertama kenalkan nama saya Sutejo. Dan kamu gak usah panggil saya bapak, karena saya masih 36 tahun. Panggil mas Tejo aja, biar lebih akrab.." lanjut manager itu lagi.

"dan nama kamu siapa tadi?" tanyanya lagi.

"Derry, pak eh mas... Tejo.." jawabku sedikit tergagap.

"oke. Derry. Kamu boleh duduk di sini.." ucap mas Tejo, sambil menunjuk sisi ranjang di samping kanannya.

"tapi mas saya..." ucapku terbata.

"udah.. santai aja. Anggap aja ini tes pertama kamu.." balas mas Tejo terlihat santai.

Aku dengan cukup berat duduk di samping mas Tejo, yang terus saja menatapku tajam.

"terus terang hotel ini membuka layanan plus untuk para pengunjung yang menginap di sini. Kalau kamu mau bekerja di sini, kamu harus bersedia memberi pelayanan plus pada para pengunjung yang menginginkannya. Terutama para pengunjung laki-laki." mas Tejo berucap lagi.

"maksudnya pelayanan plus seperti apa, mas?" tanyaku penasaran. Meski aku sudah bisa membayangkan pelayanan seperti apa yang dimaksud mas Tejo.

"nah, malam ini aku akan memberikan contohnya." jawab mas Tejo.

"seperti yang saya katakan dari awal, anggap ini sebagai sebuah tes bagi kamu. Malam ini, kamu harus melayani saya." lanjutnya.

"saya harus melayani mas Tejo?" tanyaku dengan nada ragu, keningku berkerut tiba-tiba.

"iya. Kamu harus melayani saya di ranjang, seperti sepasang suami istri.." jawab mas Tejo lagi.

"apa harus seperti itu, mas?" tanyaku lagi.

"jika kamu memang ingin diterima bekerja di sini, kamu memang harus melakukannya. Dan jika kamu juga ingin mendapatkan tambahan penghasilan yang besar, kamu harus siap melayani para tamu yang menginginkannya.." jawab mas Tejo.

Kali ini aku terdiam. Membayangkan pekerjaan yang harus saya terima tersebut.

Aku tahu, cerita tentang dunia gay, yang sedang marak saat ini. Tapi tak pernah terpikir olehku, aku akan terlibat seperti ini.

"keputusannya ada sama kamu, Derry. Kalau kamu gak mau, juga gak apa-apa. Dan itu artinya kamu harus rela melihat istri dan anak-anakmu kelaparan di rumah.."

Ucapan mas Tejo barusan, membuatku jadi teringat akan keadaan anak dan istriku di rumah.

Jika aku menolak pekerjaan ini, itu artinya aku akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.

Namun jika aku menerimanya, itu berarti aku harus rela kehilangan harga diriku sebagai seorang laki-laki. Dan artinya juga, aku akan mengkhianti istriku.

Aku menarik napas dalam. Aku merasa sangat dilema saat ini.

Ini bukanlah pilihan yang mudah bagiku. Tapi aku memang harus memilih.

Saat ini, yang penting bagiku adalah mendapatkan sebuah pekerjaan. Demi kelangsungan hidup keluargaku.

Apa pun akan aku lakukan, agar anak dan istriku bisa bertahan hidup.

"tapi mas Tejo harus janji, untuk menerima saya bekerja di sini, dan juga memberi saya uang malam ini juga..." ucapku akhirnya, setelah cukup lama aku berpikir.

Mas Tejo spontan mengangguk setuju.

*****

Mas Tejo perlahan mulai melakukan aksinya.

Aku yang dari awal memang sudah merasa geli dan jijik, mencoba memejamkan mata.

Aku merasa mual tiba-tiba. Namun sekuat mungkin aku menahan rasa geli dan rasa jijikku.

Mas Tejo sangat mengerti kalau aku tidak pernah melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki. Karena itu, ia berusaha keras untuk membangkitkan gejolakku.

Aku semakin merinding, saat mas Tejo menyentuh bagian sensitifku.

Aku ingin mencegahnya. Namun bayangan seorang pengangguran melintas di benakku, yang membuatku akhirnya pasrah.

Aku memasrahkan diriku, dengan apa yang dilakukan mas Tejo padaku.

Perlahan namun pasti, mas Tejo mulai berhasil membuatku terlena.

Gerakan liar mas Tejo, membuatku mulai bisa menikmati hal tersebut.

Beberapa kali aku bergetar, menahan hasratku yang mulai tak terkendali.

Mas Tejo sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Aku dibuatnya tak berdaya.

Pergulatan kami cukup lama, hingga akhirnya kami pun terhempas hampir bersamaan.

Sebuah pengalaman baru dalam perjalanan hidupku.

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Entah merasa menyesal, entah merasa lega.

Menyesal karena aku merasa telah mengkhianati istriku. Dan juga karena aku telah kehilangan harga diriku sebagai seorang laki-laki.

Lega karena akhirnya aku mendapatkan sebuah pekerjaan, meski dengan cara yang tidak pernah aku inginkan.

Aku membayangkan ke depannya, kalau aku akan terus melakukan hal tersebut dengan laki-laki yang berbeda-beda.

Aku merinding membayangkan hal tersebut.

Tapi sekali lagi, aku sangat membutuhkan pekerjaan ini.

****

Setelah cukup pulih kembali, aku segera mandi dan memakai pakaianku.

Seperti yang telah mas Tejo janjikan, ia segera memberiku sejumlah uang, sebelum aku pamit untuk pulang ke rumah.

"besok kamu sudah bisa mulai bekerja di sini.." ucap mas Tejo, sambil menyerahkan uang tersebut.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar kalimat tersebut.

Sekali lagi, aku tidak benar-benar tahu, apa yang aku rasakan saat ini.

Antara merasa lega, dan merasa takut.

Lega karena aku sudah mendapatkan pekerjaan. Takut karena aku harus menjalani pekerjaan yang tidak aku inginkan sama sekali.

Namun aku hanya bisa pasrah. Mungkin ini sudah menjadi jalan takdir bagiku.

Atau mungkin saja ini adalah sebuah kesalahan.

Sebuah kesalahan yang akan membawaku pada sebuah kehancuran.

Akh.. tiba-tiba rasa bersalah semakin menggerogoti hatiku.

Aku harus menafkahi istri dan anak-anakku dengan uang hasil pergulatanku dengan laki-laki.

Tapi ya sudahlah. Aku harus menjalani ini semua sebagai sebuah takdir.

Dan aku berharap, semoga tidak selamanya aku terjebak di sini.

*****

Sesampai di rumah, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Istriku menyambutku dengan wajah lesuhnya.

Namun saat aku menyerahkan sejumlah uang, senyumnya tiba-tiba mengembang.

"alhamdulillah ya, mas." ucapnya, sambil ia melangkah menuju dapur untuk mengambil segelas air putih untukku.

"jadi mas udah dapat kerjaan?" tanya istriku, saat ia sudah kembali ke kamar kami.

Aku hanya mengangguk ringan. Aku berniat untuk segera tertidur.

Tubuhku terasa sangat capek. Seharian aku harus berjalan kaki mengelilingi kota, untuk mencari pekerjaan.

Dan sorenya aku harus melayani mas Tejo, yang sangat liar.

Istriku tiba-tiba berbaring di atas lengan tanganku.

Sudah sangat lama ia tidak melakukan hal tersebut. Setidaknya sejak aku jadi pengangguran.

Kami memang sudah sangat jarang bermesraan, sejak aku tidak bekerja lagi. Hampir setiap hari kami harus berdebat masalah keuangan.

Namun malam ini, istriku seperti menginginkan hal tersebut. Ia berusaha membuatku bergairah.

Aku yang memang sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut dengan istriku, segera memberikan kesempatan untuk istriku melakukan aksinya.

Aku berusaha membuat istriku melayang malam itu, walau sebenarnya tubuhku terasa sangat lelah.

Namun aku memang harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami.

*****

Paginya aku terbangun, dan istriku sudah menyiapkan sarapan untukku.

Setelah mandi dan sarapan, aku pun berangkat menuju hotel tempat aku bekerja.

Mas Tejo menyambut kedatanganku dengan senyum khasnya.

Ia mulai memberikan beberapa instruksi padaku, untuk beberapa hal yang harus aku kerjakan di hotel tersebut.

"jadi kalau ada tamu yang menginginkan pelayanan lebih, kamu harus siap melayaninya. Dan jangan buat mereka kecewa.." ucap mas Tejo tegas.

Aku pun mengangguk paham. Setidaknya dengan begitu, seperti kata mas Tejo, aku bisa menghasilkan uang lebih banyak dari gaji yang aku terima setiap bulan nantinya.

Dan sejak saat itulah, aku menjadi seorang room service di sebuah hotel mewah, tentu saja dengan tambahan tugas memberi pelayanan plus pada para tamu yang menginginkan pelayananku.

****

Part 2

Bersama Pak Tentara...

Ini adalah hari ketiga aku mulai bekerja di hotel sebagai seorang room service.

Hari pertama dan kedua aku lalui dengan cukup lancar dan tanpa kendala.

Pekerjaanku hanyalah melayani permintaan para tamu hotel yang menginap, seperti menerima orderan dari para tamu, menyiapkan sarapan, makan siang atau makan malam, dan mengantar pesanan ke kamar tamu hotel.

Selama dua hari ini, belum ada seorang tamu pun yang meminta saya untuk menemaninya tidur atau memberi pelayanan plus.

Diam-diam aku merasa bersyukur atas semua itu. Karena meskipun pekerjaanku cukup berat, tapi setidaknya itu semua masih dalam batas kewajaran.

"kamu antar pesanan ini ke kamar 107 ya, Der." suara Hadi, salah seorang rekan kerjaku yang senior.

"baik, mas.." balasku lugas.

Aku melangkah pelan menuju kamar 107 yang berada di lantai dua hotel tersebut, sambil membawa pesanan makanan untuk tamu kamar 107 itu.

Sesampai di depan kamar, aku mengetuk pintu itu dengan pelan.

Tak lama kemudian, seraut wajah laki-laki yang terlihat sedikit sangar muncul di balik ambang pintu.

"pesanannya, pak.." ucapku sambil menyerahkan pesanan tersebut.

Sang tamu yang berjambang cukup lebat itu, terlihat tersenyum tipis.

"kamu taruh di dalam, ya.." ucapnya dengan nada suara terdengar sangar.

Aku menuruti permintaan orang tersebut. Aku melangkah masuk ke dalam kamar dengan merasa sedikit canggung.

Selama aku bekerja di sini, baru kali ini aku masuk ke dalam kamar tamu.

"saya taruh di sini ya, mas.." ucapku, sambil menaruhnya di atas meja.

"kalau tidak ada yang dibutuhkan lagi, saya permisi, mas.." lanjutku berucap, sambil mulai melangkah menuju pintu.

Saat itulah sang tamu mencegah langkahku, yang membuatku terhenti sejenak.

"ada apa lagi ya, mas.." ucapku kemudian.

"saya butuh teman untuk ngobrol. Kamu bisa menemani saya mengobrol sebentar?" suara laki-laki itu memang aslinya sangar.

Saya terdiam beberapa saat, tidak tahu harus menjawab apa saat itu.

"kamu tenang aja, nanti saya kasih bonus yang banyak.." laki-laki itu berucap lagi.

"emangnya mas mau ngobrol apa?" tanyaku akhirnya.

"apa saja. Yang penting saya ada teman disini.." balas sang tamu tersebut.

Mempertimbangkan bonus yang akan aku dapat, aku akhirnya mengangguk setuju.

Laki-laki, yang kuperkirakan sudah berumur 40 tahun itu, mengajak aku duduk di sisi ranjang hotel.

"namaku Hendrik. Nama kamu siapa?" ucap laki-laki itu sambil menatapku.

"nama saya Derry, mas.." jawabku pelan.

"sudah berapa lama kerja di sini?" tanya mas Hendrik lagi.

"baru tiga hari, mas.." aku menjawab, sambil sedikit menunduk.

Aku tak sanggup menentang tatapan mas Hendrik yang tajam. Apa lagi ia hanya memakai handuk yang terlilit di pinggangnya, tanpa memakai baju.

Tubuh mas Hendrik memang terlihat kekar dan berotot. Dadanya bidang, dengan rahang yang kokoh.

Matanya sedikit lebar, dengan hidung yang juga terlihat besar.

Secara keseluruhan wajah mas Hendrik memang tidak tampan. Namun ia memiliki postur tubuh yang sangat kekar dan atletis.

"kamu tahu, kalau di hotel ini ada pelayanan plus-nya?" tanya mas Hendrik kemudian.

Aku terdiam lagi. Aku merasa takut untuk menjawab.

Aku bahkan tidak tahu, kalau cerita tentang adanya pelayanan plus di hotel ini, sudah di ketahui oleh para tamu.

Mungkin hotel ini memang sengaja di promosikan dengan embel-embel pelayanan plus tersebut, untuk menarik lebih banyak tamu.

"mas Hendrik tahu dari mana?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"saya bukan satu dua kali ke sini. Saya sudah tahu sejak lama. Pelayannya ada yang perempuan dan ada juga yang laki-laki.." jawab mas Hendrik terlihat santai.

"setiap kali saya ada tugas di kota ini, saya selalu menginap di hotel ini.." mas Hendrik melanjutkan.

"emangnya mas Hendrik ada tugas apa di sini?" tanyaku lagi.

"sebenarnya saya seorang angkatan. Saya seorang tentara. Saya sering di tugaskan di berbagai daerah, termasuk di kota ini." jelas mas Hendrik.

Dari bentuk tubuh mas Hendrik, aku langsung percaya kalau ia memang seorang prajurit.

Aku kemudian manggut-manggut menanggapi penjelasan mas Hendrik barusan.

"kamu belum jawab pertanyaan saya.." ucap mas Hendrik kemudian.

"pertanyaan yang mana?" tanyaku terdengar lugu, karena aku memang tidak ingat pertanyaan yang mana yang di maksud mas Hendrik.

"kamu tahu kalau di hotel ini ada pelayanan plus-nya?" mas Hendrik mengulang pertanyaannya.

Aku akhirnya mengangguk pelan, karena memang mas Tejo, sang menager pernah mengatakan hal itu padaku.

Bahkan ia yang melakukan tes padaku pada malam sebelum aku di terimanya bekerja di sini.

Sebuah tes yang membuatku harus kehilangan harga diriku sebagai seorang laki-laki.

"mas Hendrik juga mau minta pelayanan plus?" tanyaku kemudian.

"setiap menginap disini, saya selalu memesan pelayana plus. Dan kata manager kamu tadi, ada pelayan laki-laki baru di hotel ini. Saya yakin itu kamu. Makanya saya minta kamu untuk menemani saya mengobrol.." mas Hendrik menjelaskan lagi, sambil terus manatapku.

"kenapa bukan pelayan perempuna aja?" tanyaku lagi.

"karena aku lebih tertarik pada laki-laki. Apa lagi kalau laki-lakinya setampan kamu. Seperti yang manager kamu katakan, kalau kamu masih baru dan sangat tampan.." jawab mas Hendrik.

Ia mulai berani menyentuh pahaku, yang masih terbalut celana katun ketat.

"saya tidak biasa melakukan ini, mas. Saya juga sudah menikah." ucapku lirih, sambil mencoba menjauhkan tangan mas Hendrik dari pahaku.

"tapi kamu kerja di sini, kan? Dan kata menager kamu, kamu bisa melayani saya. Apa lagi, katanya, kamu juga sangat butuh uang.." mas Hendrik berkata, sambil kembali mencoba menyentuh pahaku.

"iya, mas. Tapi kalau bisa, kita ngobrol aja ya. Gak usah melakukan hal yang lebih dari itu.." aku berucap dengan nada sedikit memohon.

"kalau cuma ngobrol, mending saya ngobrol di lobi aja sama tamu lain. Buat apa saya buang-buang uang, kalau cuma untuk ngobrol sama kamu.." sela mas Hendrik cepat.

Kali ini aku terdiam. Aku ingat perjanjianku dengan mas Tejo. Jika aku memang ingin terus bekerja di hotel ini, aku harus memenuhi apa pun permintaan dari para tamu.

"lagi pula kamu di bayar, kok. Untuk melakukan itu.." ucap mas Tejo waktu itu.

"kalau cuma mengandalkan gaji bulanan, tidak akan cukup buat biaya hidup kamu sekeluarga.." lanjut mas Tejo lagi.

Aku pun dengan terpaksa menyetujui persyaratan dari mas Tejo. Setidaknya karena aku memang sangat butuh pekerjaan ini. Dan terlebih dari itu, aku memang butuh uang banyak untuk biaya keluargaku.

"kalau kamu menolak, saya bisa laporkan sama manager kamu, loh.." ucapan mas Hendrik membuatk kaget. Bukan karena ia berucap secara tiba-tiba, tapi terlebih karena kalimatnya tersebut memang mengandung ancaman.

Sekali lagi aku tidak bisa berkata apa-apa. Ini memang sudah menjadi resiko dari pekerjaanku saat ini.

Mau tidak mau, suka tidak suka, aku memang harus memenuhi keinginan mas Hendrik.

Melihat aku yang hanya terdiam, mas Hendrik mulai menyentuh pahaku kembali. Kali ini ia dengan cukup berani mulai mengelusnya.

Aku menggelinjang seketika. Rasa geli dan jijik mulai menghantuiku.

Tiba-tiba perutku terasa melilit menahan mual.

Membayangkan mas Hendrik menjamahku, membuatku menjadi terasa ingin muntah.

Meski aku sudah pernah melakukannya dengan mas Tejo, tapi tetap saja aku merasa tidak nyaman, bahkan walau hanya sekedar membayangkan.

Tapi mas Hendrik tidak pedulikan reaksi ku, ia terus saja melakukan aksinya.

Bahkan tangannya yang satu lagi sudah berada di pipiku.

"kamu memang sangat tampan, Derry. Saya sangat menginginkan kamu.." ucapnya dengan nada mendesah.

Aku memejamkan mata, mencoba membayangkan hal-hal yang membuatku jadi sedikit bergairah.

Mas Hendrik pun semakin berani. Wajahnya mulai semakin mendekat.

Aroma napasnya menyentuh hidungku, yang membuatku jadi menahan napas.

Aku mendorong dada mas Hendrik dengan tangan. Namun mas Hendrik justru semakin kuat menekan tubuhnya agar bisa mendekapku.

Tenaga mas Hendrik sangat kuat. Karena ia memang seorang tentara yang terlatih.

Aku tidak bisa melawan lagi. Aku akhirnya hanya pasrah, ketika mas Hendrik berhasil menarik tubuhku dalam dekapannya.

Aku masih terus memenjamkan. Sementara mas Hendrik semakin berani dan brutal.

Permainan mas Hendrik ternyata sangat kasar, sesuai dengan perawakannya yang sangar.

Aku berkali-kali harus kehabisan napas, karena mas Hendrik yang bringas.

Namun lama kelamaan, aku akhirnya benar-benar pasrah. Aku biarkan mas Hendrik melakukan apa pun yang ia inginkan padaku malam itu.

Aku harus menerima itu semua, setidaknya demi mendapatkan sejumlah uang.

Mas Hendrik berhasil membuatku tak berdaya dengan permainan kasarnya.

Aku pun mulai mencoba mengimbangi permainannya itu.

Setidaknya aku ingin ia merasa terpuaskan. Karena dengan begitu uang yang akan aku dapatkan pasti akan lebih banyak.

"kalau tamu merasa puas dengan pelayanan kamu, mereka pasti akan memberimu uang yang lebih banyak.." pesan mas Tejo waktu itu.

Menyadari hal itu, aku pun berusaha keras membuang segala rasa jijik dan geliku.

Aku mencoba menikmatinya. Karena sejujurnya hal itu tidaklah terlalu buruk.

Ada sensasi keindahan yang berbeda, yang aku rasakan, saat akhirnya kami sama-sama mencapai puncak keindahan itu.

Mas Hendrik terlihat tersenyum puas. Ia terbaring lemas di sampingku.

"kamu memang hebat, Der. Aku jadi semakin suka sama kamu.." ucapnya lirih di sela napasnya yang masih terengah.

Keringat mas Hendrik sudah sejak tadi membanjiri tubuh kekarnya itu. Bahkan keringat itu juga membasahi sebagian tubuhku, terutama di bagian dadaku.

Aku memejamkan mata lagi. Tak ku sangka, kalau aku akan melakukan hal itu lagi, setelah dengan mas Tejo.

Hanya saja, kali ini posisinya berbeda. Dan sensasi yang aku rasakan juga berbeda.

Pahit memang menjalani ini semua. Namun aku tidak bisa berbuat banyak saat ini.

Aku harus menikmati pekerjaanku ini. Aku harus belajar menikmatinya.

Perubahan itu memang berat dan menakutkan.

Namun dalam hidup, terkadang kita tidak bisa begitu saja menghindar dari yang namanya perubahan.

Mau tidak mau, suka tidak suka, perubahan itu memang harus terjadi. Dan kita harus siap menerimanya.

Perubahan itu bisa saja bernilai positif dan bisa juga bernilai negatif. Semua tergantung bagaimana cara kita menanggapi dan menghadapinya.

Sekali pun perubahan ini, sangat tidak aku inginkan dan sangat tidak sesuai dengan hati nurani ku.

Tapi untuk saat ini, aku memang harus menerimanya, sebagai sebuah takdir bagiku.

Aku akan mengikuti semua permainan hidup ini. Meski takdir Tuhan selalu mengombang-ambingkan langkahku.

Hanya saja, terkadang hati nurani ku tidak rela, harus menafkahi anak dan istriku dari hasil aku menjual diri.

Semoga saja semua badai ini segera berlalu dan kehidupanku kembali berjalan normal.

Semoga saja, aku bisa menemukan sebuah pekerjaan baru, yang jauh lebih baik dari ini..

Ya, semoga saja.

*****

Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate