Adam ...
Namaku Adam.
Jika masih ada yang ingat akan kisahku bersama Vino dan om Hardi, papanya Vino.
Sebuah kisah yang ingin ku hapus dalam perjalanan hidupku.
Aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tak ingin membenci siapa pun juga.
Bukan salah Vino, yang tiba-tiba saja jatuh cinta padaku, namun aku belum bisa membalasnya karena Vino masih sangat muda dan dia sudah aku anggap seperti adikku sendiri.
Bukan salah om Hardi juga, papanya Vino, yang ternyata juga seorang gay dan diam-diam menaruh perasaan suka padaku, dan bahkan beliau nekat memaksaku untuk berhubungan intim dengannya.
Hingga hubungan terlarangku bersama om Hardi akhirnya di pergoki oleh Vino, yang membuat ia harus mengalami kecelakaan dan bahkan mengalami lupa ingatan.
Meski aku tahu, kalau Vino hanya berpura-pura lupa ingatan.
Aku tidak tahu mengapa Vino harus melakukan hal tersebut.
Mungkin saja ia bermaksud untuk menyelamatkan harga diri papanya, yang diketahuinya adalah seorang gay.
Atau mungkin ia hanya sekedar ingin menghibur dirinya sendiri dan berusaha lari dari kenyataan pahit yang harus ia hadapi.
Entahlah, aku juga tidak tahu.
Namun yang pasti, aku akhirnya memutuskan untuk pergi dari kehidupan mereka berdua.
Aku memang harus pergi. Aku tidak ingin berada di antara dua orang yang sama-sama menginginkanku.
Tapi salahkah aku?
Aku tidak pernah meminta mereka berdua untuk tertarik padaku.
Aku juga tidak pernah meminta untuk bertemu dengan Vino apa lagi dengan papanya.
Tapi takdir yang membawaku untuk masuk dalam kehidupan mereka berdua.
Hingga kisah pilu itu pun akhirnya terjadi.
Dan aku tidak ingin menyesalinya.
*****
Sudah lebih dari dua bulan, sejak aku memutuskan untuk pergi dari rumah Vino, aku tidak mendapat kabar apapun dari mereka berdua.
Aku sengaja kembali ke Mesjid tempat dulu aku bekerja.
Beruntunglah pengurus mesjid belum mendapatkan pengganti marbot yang baru, sehingga kehadiranku di sana, di sambut cukup baik oleh para pengurus.
Dan aku pun akhirnya kembali bekerja sebagai seorang marbot mesjid. Profesi yang sudah bertahun-tahun pernah aku jalani dulu, sebelum akhirnya aku bertemu Vino.
Di sini aku merasa sedikit lebih baik. Meski pun hampir setiap saat, rasa bersalah ku kepada Vino, masih terus menghantui.
Apa lagi di tempat ini, aku dan Vino dulu pernah tinggal dan bahkan tidur satu ranjang.
Segala kenagan itu, terkadang melintas di pikiranku.
Aku masih ingat bagaimana hampir setiap malam, aku dan Vino tidur saling berdekapan.
Semua kenangan itu, membuat rasa rinduku kepada Vino kian memuncak.
Tapi aku harus bisa menahan diri. Aku tidak ingin terjebak lagi dengan perasaanku sendiri.
Apa lagi, saat ini, aku yakin, Vino pasti sangat membenciku. Setelah ia mengetahui hubunganku dengan papanya.
Dua bulan lebih aku berusaha melupakan semua kejadian itu.
Dan perlahan aku mulai terbiasa hidup dalam kesendirianku kembali.
Namun saat aku mulai terbiasa dengan semua itu, tiba-tiba om Hardi muncul di tempatku.
"dari mana om Hardi tahu, kalau aku tinggal di sini?" tanyaku memulai pembicaraan, ketika akhirnya om Hardi ku persilahkan masuk.
"sudah sejak lama aku tahu, kamu tinggal di sini. Salah seorang anak buahku yang cerita.." jawab om Hardi terlihat santai.
"lalu untuk apa om menemui saya lagi?" tanyaku kemudian.
"saya ingin menawarkan kamu untuk kuliah kembali, Dam. Dan saya akan membiayai kuliah dan juga kehidupan kamu ke depannya. Tapi tentu saja untuk itu semua, kamu harus tinggal bersamaku.." jelasa Om Hardi selanjutnya.
"om ingin saya kembali ke rumah om?" tanyaku lagi yang masih belum mengerti maksudnya.
"bukan ke rumah om. Tapi ke rumah kita. Saya akan membelikan kamu rumah, tempat kamu tinggal sendirian, dan sekali-kali om akan berkunjung ke sana.." jelas om Hardi lagi.
Sebuah tawaran yang sangat menarik. Tapi aku tidak mungkin dengan begitu saja menerima hal tersebut.
"lalu bagaimana dengan Vino, om? Apa om tidak pernah memikirkan perasaannya?" aku bertanya kembali, yang membuat om Hardi menatapku tajam.
"kamu juga tahu, Dam. Vino mengalami lupa ingatan, dan sekarang ia sedang di rawat di Jerman. Jadi Vino juga gak bakal tahu tentang hubungan kita.." om Hardi menjelaskan lagi.
Kali ini aku terdiam. Aku bahkan baru tahu, kalau Vino justru melarikan diri ke Jerman.
"ada beberapa rahasia Vino, yang om Hardi tidak tahu sampai saat ini.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama aku merenungkan hal tersebut.
Mungkin memang lebih baik aku berbicara jujur kepada om Hardi tentang siapa Vino sebenarnya.
"rahasia apa maksud kamu?" tanya Om Hardi dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Aku menarik napas panjang. Berat rasanya menceritakan semua ini kepada om Hardi, tapi beliau memang harus tahu.
"Vino sebenarnya tidak sedang lupa ingatan, om. Ia hanya berpura-pura..." suaraku bergetar.
Om Hardi menatapku tajam, mendengar ucapanku barusan.
"kenapa Vino mesti melakukannya?" tanyanya akhirnya.
"saya juga tidak tahu pasti kenapa. Tapi saya rasa om bisa menyimpulkannya sendiri. Apa lagi jika om tahu, siapa Vino sebenarnya, dan bagaimana perasaannya padaku.." ucapku lagi.
Kali ini om Hardi kian tajam menatapku.
"maksud kamu apa sih, Dam?" tanyanya lagi.
"maksud saya..... maksud saya.... sebenarnya Vino juga sama dengan om...." kalimatku terbata.
"maksud kamu, Vino juga seorang gay?!" suara om Hardi sedikit meninggi.
"iya, om.." jawabku berusaha tegas, "dan Vino juga sudah berterus terang padaku, kalau ia juga telah jatuh cinta padaku..." lanjutku lagi.
Kali ini, om Hardi menarik napas sangat panjang. Sepertinya ia benar-benar merasa syok mengetahui hal tersebut.
Om Hardi mengusap wajahnya beberapa kali, sambil terus menarik napas berkali-kali.
"kenapa kamu baru cerita sekarang?" suara om Hardi terdengar parau.
Ia terlihat seperti berusaha menahan tangisnya.
"maafkan saya, om. Tadinya saya pikir, semua tidak akan jadi seperti ini.." balasku lemah.
"dan kalian sudah pernah berhubungan intim?" tanya om Hardi selanjutnya.
"belum, om. Hubungan kami masih hanya sebatas saling mengagumi. Kami berusaha untuk saling menjaga perasaan kami, agar tidak terjatuh terlalu dalam.." jawabku jujur.
"tapi apa kamu mencintai Vino?" tanya om Hardi kemudian, yang membuatku terdiam seketika.
Sejujurnya aku tidak tahu pasti, bagaimana perasaaanku kepada Vino sebenarnya.
Terus terang, aku memang mengagumi sosok Vino. Aku juga merasa nyaman saat bersamanya, apa lagi saat berada dalam dekapannya.
Tapi aku tidak berani untuk memikirkan hal itu lebih dalam lagi.
"kenapa kamu diam, Dam? Saya ingin kamu jujur sama om.." suara om Hardi cukup membuatku kaget tiba-tiba.
"saya.. saya... saya bingung, om. Terus terang, selama bersama Vino, saya memang selalu merasa nyaman. Dan saya merasa bahagia, setiap kali melihat Vino tersenyum." jawabku akhirnya.
Om Hardi kembali terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.
"maafkan om ya, Dam. Andai saja om tahu dari awal, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.." suara om Hardi terdengar pelan dan serak.
Setelah berucap demikian, om Hardi pun pamit untuk segera pulang.
Aku masih terpaku. Tak tahu apa yang aku rasakan saat ini.
Ada rasa lega, karena sudah berterus terang kepada om Hardi.
Yang artinya, tawaran om Hardi untuk membelikan aku rumah sudah pasti tidak akan berlaku lagi.
Tapi mungkin ini jauh lebih baik. Setidaknya aku tidak akan terjerumus lagi dalam dunia kelam itu.
Semoga saja, om Hardi juga menyadari kekeliruannya, dan mulai memperbaiki diri.
Ya, semoga saja...
*****
Om Hardi
Aku benar-benar terpukul mengetahui, kalau ternyata Vino, anakku satu-satunya itu, ternyata juga seorang gay.
Dan yang membuatku semakin terpukul, ialah mengetahui kalau kami menyukai lak-laki yang sama.
Aku mencoba untuk tidak percaya dengan semua cerita Adam padaku. Tapi tidak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayainya.
Untuk itu, aku pun memutuskan untuk menemui Vino di Jerman.
Aku ingin berbicara dari hati ke hati bersama Vino. Selain tentu saja, aku ingin memohon maaf padanya, atas tindakanku kepada Adam.
Sesampai di sana, Vino menyambutku dengan wajah datarnya. Ia masih bersikap seolah-olah ia memang lupa ingatan.
"papa tahu, kalau kamu hanya pura-pura Vino.." suaraku parau memulai pembicaraan kami.
"papa minta maaf. Papa bukanlah seorang papa yang baik buat kamu. Kamu mungkin kecewa mengetahui kalau papa adalah seorang gay..." aku melanjutkan masih dengan suara yang semakin parau.
Tanpa sadar air mataku pun menetes.
Sampai saat itu, Vino masih terdiam.
Aku pun menceritakan tentang hubungan ku bersama Adam yang sebenarnya.
"sebenarnya Adam terpaksa melakukan hal tersebut, itu bukan keinginannya.." ucapku mengakhiri ceritaku.
Meski masih terdiam, namun sepertinya Vino mulai memahami maksud dari ceritaku barusan.
"jadi papa sudah tahu, kalau aku pura-pura lupa ingatan? Dan papa juga sudah tahu, kalau aku juga seorang gay?" Vino pun akhirnya membuka suara.
Aku merasa sedikit lega. Setidaknya Vino mulai membuka diri, untuk bisa menerima siapa aku sebenarnya.
"iya, Vin. Papa sudah tahu. Dan papa harap Vino mau memaafkan papa.." jawabku terdengar lirih.
"Vino gak tahu harus marah sama siapa sebenarnya, Pa. Vino juga bingun dengan semua ini.." ucapan Vino terdengar lemah.
Untuk beberapa saat, kami pun saling terdiam.
Terus terang aku merasa kasihan melihat Vino. Biar bagaimana pun ia masih sangat muda, untuk menerima semua kenyataan ini.
Semenjak aku mengetahui semua ceritanya dari Adam, aku mulai bertekad untuk berubah.
Aku memang harus berubah, mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.
Apa lagi aku juga punya istri yang sangat menyayangiku.
Aku memang harus berubah, setidaknya demi Vino. Aku harus jadi Ayah yang baik untuk Vino.
Tapi semua itu butuh waktu dan proses yang sangat panjang.
Apa lagi, mengingat aku sampai saat ini masih mencintai Adam.
Pemuda manis itu, benar-benar membuatku tergila-gila padanya.
Namun biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Adam jelas tidak punya perasaan apa-apa padaku.
Selama ini, Adam hanya terpaksa untuk memenuhi keinginanku padanya.
Dan aku semakin merasa bersalah, karena ternyata Vino, juga menyukai Adam. Dan Adam sepertinya juga menginginkan Vino.
Dan aku, harus berhenti mengharapkan Adam.
"apa kamu mencintai Adam?" pertanyaan itu terlontar juga akhirnya, setelah dengan susah payah aku berusaha mengucapkannya sejak tadi.
Kali ini, Vino menatapku dengan kening berkerut.
"apa bedanya sekarang, Pa. Mas Adam sudah menjadi milik papa. Dan aku tidak berhak hadir di dalamnya..." suara Vino terdengar menghiba.
"bukankah tadi sudah papa katakan, kalau Adam sebenarnya terpaksa melakukan itu semua. Dan sekarang papa dan Adam sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.." jawabku berusaha tegar.
"tapi mas Adam hanya menganggapku sebagai adik, tidak lebih.. Ia tidak punya perasaan tertarik padaku.." ucap Vino lag, masih dengan suara lemah.
"Adam sebenarnya juga menyukai kamu, Vin. Hanya saja ia terlalu gengsi mengakui hal itu. Mungkin lebih baik, kalian membicarakan ini lagi dari hati ke hati." aku berucap lagi, kalai ini berusaha terdengar bijak.
"emangnya papa mengizinkan aku dengan mas Adam?' tanya Vino kemudian.
Aku terdiam sesaat memikirkan hal tersebut.
Sejujurnya aku juga tidak rela, Vino menjalin hubungan dengan Adam.
Bukan karena aku yang juga sangat mencintai Adam, tapi biar bagaimana pun, tidak ada seorang ayah pun di dunia ini, yang rela anaknya menjalin hubungan dengan sesama jenis.
"anggap saja, ini sebagai permintaan maaf papa sama kamu..." begitu ucapku akhirnya.
Meski aku tidak tahu, apa hal itu cukup setimpal dengan resiko yang harus aku hadapi ke depannya.
Namun sebagai laki-laki yang pernah merasakan seperti yang di rasakan Vino saat ini, aku mungkin memang harus memberi kesempatan kepada Vino, untuk menjadi dirinya sendiri.
"tapi .... jika kalian hidup bersama nantinya, papa harap kalian tetap tinggal di negara Jerman ini. Karena jika kalian tinggal di negara kita, jelas hal itu akan sangat beresiko nantinya.." lanjutku lagi.
Aku melihat senyum Vino mengembang, setelah lebih setengah tahun ini, aku tidak melihat senyum itu.
Ya, sejak Vino memergoki ku dengan Adam, secara otomatis senyum itu juga lenyap.
Dan sekarang aku melihatnya lagi. Semoga saja ini adalah awal yang baik, untuk semuanya.
******
"om yakin, mengizinkanku hidup bersama Vino di Jerman sana?" Adam mengulang kembali pertanyaannya.
Saat aku akhirnya, seminggu kemudian, mengutarakan keinginanku, tentang harapan ku untuk Vino.
"iya. Om yakin. Anggap saja ini semua untuk menebus kesalahan om, karena telah berusaha membuat kalian terpisah selama ini.." jawabku meyakinkannya lagi.
"tapi ... apa Vino nya bersedia, om..?" Adam bertanya lagi.
"kamu tenang aja, om sudah bicarakan ini dengan Vino. Dan om akan urus segala keperluanmu ke luar negeri. Yang penting kamu bersedia. Setidaknya biarkan Vino merasakan kebahagiaan hidupnya..." jelasku lagi.
Adam terdiam cukup lama. Sepertinya ia ragu. Tapi aku yakin, kalau Adam sebenarnya juga mencintai Vino. Dan ini adalah kesempatannya untuk membuktikan hal tersebut.
"om akan beri kamu waktu seminggu untuk memikirkan hal ini. Nanti kalau kamu sudah punya keputusan, kamu tahu harus menghubungi om dimana.." ucapku kemudian, sambil mohon pamit untuk pulang.
******
Vino...
Berbulan-bulan aku tinggal sendirian di Jerman. Aku benar-benar merasa kesepian.
Tadinya aku berharap, dengan pindah ke Jerman, aku bisa melupakan segala kejadian menyakitkan tersebut.
Tapi ternyata itu semua tidak semudah yang aku pikirkan.
Bayangan papa dan mas Adam yang sedang bergumul, terus melintas di benakku.
Rasanya begitu sakit menyaksikan orang yang aku cintai tidur bersama papaku sendiri. Dan yang paling menyakitkan dari itu semua, ialah mengetahui kalau papaku ternyata adalah seorang gay.
Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Aku ingin melupakan semuanya.
Dan karena itu juga, aku memutuskan untuk berpura-pura lupa ingatan, dan meminta mama untuk mengirimku ke Jerman untuk berobat.
Walau sebenarnya tujuanku ke sini, adalah untuk mengobati rasa sakit di hatiku karena papa dan mas Adam.
Namun setelah berbulan-bulan, tiba-tiba papa muncul.
Ia datang dengan segala penyesalannya dan dengan segala pengakuannya.
Papa menceritakan tentang hubungannya dengan mas Adam, yang sebenarnya hanyalah sebuah keterpaksaan.
Awalnya aku mencoba untuk mengabaikan hal tersebut. Karena biar bagaimana pun dan apa pun alasannya, mereka berdua jelas telah membuat aku sangat kecewa dan terluka.
Namun melihat kesungguhan papa meminta maaf, dan dari kejujurannya, akhirnya hatiku pun luluh.
Apa lagi, papa dengan terang-terangan memberikan aku kesempatan untuk bisa hidup bersama mas Adam, orang yang sangat aku cintai.
"papa hanya ingin kamu bahagia, Vin. Walau sebenarnya ini bukanlah yang terbaik.." ucap papa waktu itu.
"lalu bagaimana dengan mas Adam, pa? Apa ia akan bersedia?" tanyaku kemudian.
Biar bagaimana pun, aku memang berharap bisa hidup bersama mas Adam. Namun aku juga tahu mas Adam, selama ini ia hanya menganggapku sebagai adik.
Dan aku juga tahu, mas Adam adalah orang yang alim.
Tapi mengingat apa yang telah mas Adam lakukan bersama papa, rasanya sangat mungkin kalau mas Adam sebenarnya juga punya perasaan yang sama denganku.
"sebenarnya Adam juga menyukai kamu, Vin. Hanya saja ia terlalu gengsi mengakui hal tersebut.." terngiang kembali ucapan papa tempo hari.
"nanti biar papa yang ngomong langsung sama Adam. Kamu tunggu saja kedatangannya di sini.." lanjut papa ringan.
Setelah itu, papa pun pamit kembali ke Indonesia.
*****
Sudah dua minggu berlalu semenjak kepulangan papa ke Indonesia.
Aku masih berharap, papa menepati janjinya untuk mengirim mas Adam ke sini.
Sejujurnya aku memang tidak bisa melupakan mas Adam. Ia adalah cinta pertamaku.
Dan aku berharap ia akan menjadi pelabuhan terakhirku.
Saat aku sedang memikirkan mas Adam, tiba-tiba saja ia muncul di hadapanku.
Aku mengusap mataku berkali-kali, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau semua itu bukanlah mimpi.
"mas Adam?" suaraku tertahan.
"iya, Vin. Aku jauh-jauh datang ke sini, hanya untuk minta maaf sama kamu..." suara sendu mas Adam berucap.
Kami bertemu di teras depan rumahku.
Ternyata papa telah memberi petunjuk yang cukup jelas kepada mas Adam, sehingga ia bisa sampai dengan selamat ke sini.
"bagaimana mas Adam bisa sampai ke sini?" tanyaku berpura-pura bodoh.
"panjang ceritanya, Vin. Tapi saat ini, itu tidak penting lagi. Yang penting adalah apa kamu bersedia memaafkan aku?" mas Adam berucap lagi, kali ini ia duduk di sampingku.
"aku bersedia memaafkan mas Adam. Tapi ada syaratnya.." ucapku dengan memesang senyum manis.
"apa syaratnya?" tanya mas Adam, dengan tatapan penuh tanya.
"pertama, mas Adam harus berjanji untuk menetap di sini bersamaku. Kedua, mas Adam tidak boleh lagi menolak keinginanku untuk memeluk mas Adam.." balasku penuh keyakinan.
"yakin, hanya di peluk saja?" tanya mas Adam lagi, dengan nada sedikit menggoda.
"hmmm.... mau nya sih pengen lebih, tapi takutnya mas Adam gak mau..." balasku mulai merasa rileks.
"aku memang gak mau, kok. Gak mau nolak maksudnya..." mas Adam berucap masih dengan nada menggodanya.
Oh, entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa lega. Hatiku yang selama ini terbalut rindu, tiba-tiba saja merasa berbunga.
Berada di samping mas Adam kembali, membuat semua mimpiku seakan nyata.
"aku sangat mencintaimu, mas Adam.." desahku akhirnya, setelah untuk pertama kalinya mas mengecup bibirku lembut.
"aku juga sangat mencintaimu, Vino. Dan aku berharap kita tetap bersama selamanya.." balas mas Adam, sambil kali ini ia menyentuh kedua pipiku.
Sekali lagi bibirnya pun mendarat di keningku.
"aku mencintai mas Adam secara sederhana, seperti mentari yang selalu setia menanti pagi, seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti ombak yang selalu kembali ke pantai..."
Kalimat itu, muncul begitu saja dari bibirku, sesaat sebelum akhirnya mas Adam merangkul tubuhku dalam dekapan hangatnya.
Aku segera menarik tubuh mas Adam untuk masuk ke dalam rumah.
Meski berada di negara Jerman, aku tetap saja merasa tidak nyaman harus melakukan hal tersebut di teras rumah.
Sesampai di ruang tamu, kami kembali berpelukan.
Kami benar-benar seperti orang yang sudah tidak bertemu bertahun-tahun.
Saling dekap, dan tak ingin saling melepaskan.
"kamu yakin hanya ingin di peluk seperti ini?" bisik mas Adam lebih terdengar seperti sebuah desahan.
"emangnya mas Adam mau melakukan yang lebih dari ini?" aku bertanya balik.
"kamu siap gak melakukannya dengan mas?" mas Adam bertanya lagi.
"aku siap, mas. Aku sudah siap sejak lama. Mas Adam saja yang selalu menolak selama ini.." balasku ikut berbisik.
"mas bukannya menolak, Vin. Mas hanya gak tega melihat kamu melakukannya pada mas. Apa lagi, kamu belum pernah melakukannya sebelumnya.." ucap mas Adam kemudian.
"sekarang mas Adam mau, kan?" aku bertanya kemudian.
Mas Adam tidak mengeluarkan suara, tapi ia perlahan pun mengangguk.
Dan dengan perlahan pulan, wajah kami saling mendekat.
Debaran di jantungku kian tak beraturan. Ini adalah pertama kalinya aku melakukan hal tersebut.
Sebuah kesan pertama yang begitu indah. Bahkan jauh lebih indah dari yang pernah aku bayangkan selama ini.
Mas Adam benar-benar luar biasa. Ia begitu pandai membuatku terhanyut.
Pelan namun pasti, kami pun mulai terbuai dalam permainan yang begitu indah.
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja kami sudah berada di dalam kamarku.
Dan di dalam kamar itulah semuanya terjadi.
Mas Adam berhasil menembus dinding pertahananku.
Aku menjerit menahan sakit. Rasanya begitu perih.
Namun mas Adam berusaha membangkitkan gairahku kembali, yang membuatku akhirnya pasrah.
Dalam kepasrahanku itulah, mas Adam mulai mendayung biduk cinta kami. Dan lama kelamaan aku pun mulai menikmati permainan tersebut.
Aku berusaha mengimbangi permainan liar mas Adam. Aku juga ingin membuat mas Adam terkesan.
Cukup lama kami berusaha mendaki bersama, mencoba menggapai puncak kebahagiaan yang selama ini hanya ada dalam anganku.
Hingga akhirnya kami pun secara bersamaan, terhempas di pelabuhan keindahan yang penuh warna tersebut.
Segenap raga kami pun menyatu, tenggelam dalam lautan penuh makna.
Tubuhku memgejang seketika, saat mas Adam melepaskan hentakannya untuk yang terakhir kali.
Rasanya begitu indah. Sangat indah.
Aku seperti tak ingin mengakhirinya.
"nanti kita ulang lagi, ya.." bisik mas Adam kemudian, sambil ia mulai terbaring di sampingku.
Aku tersenyum membalas ucapan tersebut. Ucapan yang juga sangat ingin aku ungkapan.
Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Semoga saja hubunganku dengan mas Adam, bisa tetap bertahan untuk selamanya.
Semoga saja, tidak ada lagi orang yang berusaha untuk memisahkan cinta kami.
Ya, semoga saja...
***