Kisah nyata : Rumah tanggaku hancur karena uang...

Nama saya Theo (bukan nama sebenarnya), saat ini saya sudah berusia kurang lebih 38 tahun. Saya sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Anak pertama saya, perempuan, sudah berusia 9 tahun. Sedangkan anak kedua saya, laki-laki, masih berumur 5 tahun.

Istri saya, sebut saja namanya Syifa (nama samaran), seorang wanita yang cantik dan masih seksi sampai saat ini. Sebenarnya dia isteri yang baik dan juga penuh perhatian.

Awal pernikahan kami sungguh bahagia, karena memang kami menikah atas dasar saling cinta. Pernikahan kami terasa sangat manis dan indah. Semua berjalan dengan baik.

Meski kehidupan kami tidak terbilang mewah, karena saya hanya seorang pegawai honorer di sebuah sekolah swasta. Kehidupan rumah tangga kami cukup sederhana. Isteriku tak pernah mengeluh soal kebutuhan hidup kami. Alhamdulillah, gaji saya masih bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kami, meski tentu saja saya masih mencari tambahan dengan berjualan pulsa.

Hidup kami yang pas-pasan tidak menghalangi kami untuk tetap bahagia. Apa lagi semenjak kehadiran kedua buah hati kami. Hidup saya terasa lengkap.

Sepuluh tahun pernikahan kami, semua berjalan baik-baik saja. Tanpa ada masalah yang berarti. Hingga akhirnya suatu hari...

"mas, saya pengen kerja lagi..." ucap isteriku di sela-sela makan malam kami.

"kenapa?" tanyaku dengan kening yang berkerut.

"bosan aja di rumah, mas. Sayang juga kan, ijazah saya rasanya gak kepake..." jawab isteriku dengan suara lembutnya.

Sebenarnya, sebelum menikah denganku, isteriku adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang cukup ternama. Namun setelah menikah denganku, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

"apa kamu gak repot?" tanyaku akhirnya setelah kami terdiam sejenak.

"gak kok, mas. Lagian anak-anak juga sudah besar..." ia berujar sambil menatapku.

Aku tediam lagi. Mempertimbangkan keinginan istriku yang tiba-tiba saja ingin bekerja lagi, setelah lebih dari sepuluh tahun ia vakum.

"izinkan saya ya, mas. Saya janji saya akan bisa bagi waktu, terutama buat anak-anak.." isteriku berujar lagi dengan nada sedikit memohon. "sekarang Alda sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dan Aldi juga sudah masuk TK. Mas selalu pulangnya sore, kadang saya juga kesepian di rumah.." lanjutnya.

Anak perempuanku, Alda, memang sudah kelas empat SD, ia sekolah di tempat saya bekerja sebagai guru honorer. Alda sekolah sampai sore, dan biasanya kami selalu pulang bersama. Sedangkan anak laki-lakiku, Aldi, sudah masuk TK tahun ini, sekolahnya juga berada satu yayasan dengan tempat aku mengajar. Biasanya Aldi memang aku yang mengantar pulang, karena ia sekolah hanya sampai jam sebelas siang.

"nanti kalau aku jadi kerja, Aldi gak usah mas antar pulang. Gak apa-apa dia disana aja, nungguin mas pulang kerja..." lanjut istriku lagi.


***********

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku mengizinkan istriku bekerja lagi. Aku hanya tak ingin membuat ia kecewa, karena tidak memenuhi keinginannya. Tentu saja dengan syarat ia tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan juga sebagai seorang Ibu.

Istriku diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Istriku memang memiliki skill dan pengalaman kerja yang bagus. Ia juga lulusan dari kampus ternama. Sehingga ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Setelah mulai bekerja, istriku jadi jarang di rumah. Anak-anak lebih sering bersamaku.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Istriku masih bisa dengan baik mengatur waktu terutama untuk anak-anak. Ia berangkat kerja saat saya dan anak-anak sudah pergi ke sekolah, dan biasanya ia pulang pada sore hari, saat kami baru saja sampai di rumah.

Semua berjalan dengan baik. Dan tentu saja, secara ekonomi penghasilan kami juga meningkat. Terlebih karena memang istriku mendapatkan gaji jauh lebih besar dari yang aku peroleh setiap bulannya. Namun hal itu tidaklah terlalu menjadi masalah awalnya. Istriku masih bisa menghargaiku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.

Sebenarnya istriku, berasal dari keluarga yang sederhana. Orangtuanya bekerja sebagai petani di kampung. Namun istriku seorang yang cerdas dan memiliki tingkat intelektual diatas rata-rata, sehingga ia bisa mendapatkan beasiswa dan lulus kuliah dengan hasil terbaik. Mendapatkan pekerjaan yang bagus, hingga kemudian ia memutuskan untuk berhenti bekerja ketika akhirnya ia memilih untuk menikah denganku.

Namun ternyata setelah sepuluh tahun vakum dari dunia kerja, sekarang ia memutuskan untuk memulai bekerja lagi dan mengasah bakatnya yang selama ini ia pendam.

*************

Setahun bekerja, aku mulai merasakan ada perubahan-perubahan yang terjadi pada istriku. Sikapnya tak lagi semanis dulu. Ia bahkan sekarang sering pulang hingga malam. Ia hampir tidak punya waktu untuk anak-anak kami. Istriku berangkat kerja labih pagi dari biasanya, bahkan sebelum anak-anak terbangun. Dan pulang pun saat anak-anak sudah tidur.

"saya perhatikan akhir-akhir ini, kamu sering pulang malam..." tanyaku suatu malam.

"biasalah mas, sekarang saya sering lembur..." jawabnya beralasan.

Saya pun coba mengerti.

Namun berbulan-bulan berlalu, tingkah laku istriku malah semakin parah. Ia pulang semakin larut, hampir setiap malam. Anak-anak tidak lagi ia perhatikan. Ia tidak pernah lagi makan apa lagi memasak di rumah. Ia hanya pulang untuk tidur, kemudian pergi lagi saat pagi. Perubahan-perubahannya sangat terasa bagiku. Aku tak lagi mengenali istriku. Bahkan ia selalu menolak setiap kali aku mengajaknya berhubungan badan.

"aku capek, mas..." begitu selalu alasannya.

Dan aku hanya bisa terdiam melihat itu semua.

"Ibu kemana sih, Yah?" tanya anak perempuanku suatu hari.

Aku tersenyum manatap anakku. Aku tahu anak-anakku merasa kehilangan sosok seorang Ibu dalam rumah tangga kami. Mereka lebih sering terlihat muram dan tidak bergairah. Namun aku selalu berusaha menghibur mereka, menjadi sosok ayah yang baik untuk mereka.

"Ibumu kan lagi kerja, nak..." jawabku sekenanya.

"masa' ia kerjanya sampai malam terus, Yah..." ucap anakku lagi, yang membuatku semakin terhenyak dan tak tahu harus menjawab apa.

"kamu kenapa sih, harus pulang selarut ini?" tanyaku pada istriku suatu malam, melihat ia baru saja masuk rumah, saat itu sudah jam satu malam.

"di kantor sedang banyak perkerjaan sekarang, mas. Harus lembur. Dan kadang harus bertemu klien dulu...." jawab istriku dengan nada datar.

"tapi memang harus setiap malam, ya? Dan selarut ini?" tanyaku lagi, dengan suara bergetar menahan gejolak.

"udahlah, mas. Kamu gak bakal ngerti. Pekerjaan yang aku jalani sekarang, tidak sama dengan pekerjaan mas..." balasnya sambil melangkah menuju kamar.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang,

"maksud kamu apa?" kali ini suaraku sedikit tinggi.

"yah, kamu ngertilah mas maksudku apa.." suara istriku masih terdengar santai. "dan lagian kamu kenapa sih, mas? yang penting saya itu punya pekerjaan yang jelas dan hasilnya juga jauh lebih besar dari gaji kamu. Harusnya tuh, mas bersyukur punya istri yang punya penghasilan besar seperti saya..." lanjut istriku, yang membuat emosiku semakin memuncak.

Namun aku segera menarik napas panjang. Aku tidak ingin ribut dengan istriku, apa pagi tengah malam seperti ini. Aku tak ingin anak-anak terbangun, lalu mendengar kami bertengkar. Aku mencoba meredam emosiku. Aku melangkah ke dapur dan mengambil segelas air untuk menenangkan pikiranku.

Sebagai seorang suami, aku memang sudah mulai curiga dengan sikap istriku akhir-akhir ini. Semuanya sekarang benar-benar berubah. Rumah tangga kamu sudah jauh dari kata harmonis. Bahkan sudah berada di ujung tanduk. Setiap kali aku coba menegur istriku, setiap kali pula ia mengajakku untuk bertengkar.

Karena kecurigaanku, akhirnya suatu malam aku memutuskan untuk membuntuti istriku. Sengaja anak-anak aku titipkan pada tetangga sekaligus sepupuku malam itu. Aku harus tahu, apa yang sebenarnya istriku lakukan di luar rumah setiap malamnya.

Dengan sangat hati-hati, aku memperhatikan istriku yang baru saja keluar kantor, saat itu kira-kira jam tujuh malam. Ia berjalan santai menuju sebuah mobil mewah di tempat parkir. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki dengan setelan yang rapi. Mereka terlihat akrab. Mereka terlihat mengobrol dengan sekali-kali terlihat tertawa riang. Hatiku semakin bergemuruh. Rasanya ingin aku melabrak mereka berdua saat itu. Namun aku masih berusaha untuk menahan diri. Bisa saja laki-laki tesebut adalah bos istriku, dan mereka sedang ngobrol tentang pekerjaan. Untuk itu aku masih diam sambil terus memperhatikan mereka dari kejauahan.

Setelah sampai di mobil, kulihat laki-laki tersebut membukakan pintu mobil untuk istriku. Istriku terlihat tersenyum. Setelah menutup pintu dengan pelan, laki-laki tersebut pun segera masuk ke mobil. Tak lama kemudian mobil itu pun melaju meninggalkan halaman parkir kantor. Aku membuntuti mobil itu dengan menggunakan motor bututku yang sengaja aku bawa dari rumah.

Mobil itu berjalan pelan menuju arah yang berlawanan dari arah menuju rumahku, yang membuatku semakin curiga. Namun aku tetap membuntuti mobil itu dengan hati-hati. Hingga kulihat mobil itu berbelok ke halaman sebuah hotel yang cukup megah. Hotel itu berada di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi. Mobil itu pun parkir. Kulihat istriku dan laki-laki itu keluar bersamaan, lalu melangkah masuk ke dalam hotel.

Aku masih mencoba berpikir positif, mungkin mereka akan menemui klien mereka disini. Pikirku, sambil memarkir motorku agak jauh dari hotel tersebut.

Dengan mengendap-endap, aku memperhatikan istriku dari kejauhan. Mereka menuju resepsionis, berbicara sebentar, lalu kulihat resepsionis tersebut memberikan sebuah kunci sambil tersenyum akrab.

Mereka berdua pun naik kelantai atas dengan menggunakan lift. Dengan tergesa, aku segera menuju tempat resepsionis tadi.

"oh yang barusan check-in tadi, ya?" jawab resepsionis tadi, ketika aku mempertanyakan tentang istriku dan laki-laki tersebut. "itu udah jadi langganan kami, pak. Sudah hampir tiga atau empat bulan ini, mereka sering nginap disini..." lanjut resepsionis itu lagi, yang membuat dadaku semakin bergemuruh. Aku seperti mendengar suara petir menggelegar malam itu, saat sang resepsionis tersebut menjelaskan semakin jauh. Aku tak sanggup mendengarkannya lagi, buru-buru aku menuju lift, untuk naik ke lantai atas, menuju kamar tempat istriku dan sang pria berada.

Sesampai disana, aku melihat pintu kamar tempat istriku menginap sudah tertutup rapat. Dengan emosi yang kian memuncak, kuketuk pintu kamar itu dengan cukup keras.

Tak selang beberapa saat, seorang laki-laki yang hanya bertelanjang dada, muncul dari balik pintu.

"maaf anda siapa? Dan ada keperluan apa?" tanya laki-laki itu, yang membuatku ingin memukuli wajahnya.

Aku tidak pedulikan pertanyaan laki-laki tersebut. Dengan sedikit memaksa, kudorong pintu kamar itu, hingga terbuka lebar. Laki-laki itu terdorong ke belakang, ia  menatapku tajam.

Sekali lagi aku tidak mempedulikannya. Aku menatap sekeliling, kulihat istriku sedang terbaring di ranjang, dengan pakaian yang sudah setengah terbuka.

Melihat aku yang berdiri diambang pintu, istriku tentu saja kaget dan segera bangkit. Wajahnya pucat pasi. Sambil tergesa ia memperbaiki pakaiannya.

"mas Theo?!" ucapan istriku dengan suara bergetar.

Mendengar ucapan istriku, laki-laki yang sejak tadi berdiri disampingku dan menatapku tajam, segera mundur perlahan. Dengan terburu, ia mengambil bajunya yang berserakan dilantai dan memasangnya kembali. Lalu dengan sedikit berlari, ia keluar dari kamar itu. Aku mencoba mengabaikannya. Fokusku hanya kepada istriku. Aku menatap istriku dengan tatapan tak menentu. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Antara marah, benci dan rasa tak percaya.

Untuk sesaat aku hanya terdiam. Rasanya aku masih tidak percaya, istriku tega melakukan itu semua. Aku masih merasa bagai bermimpi. Namun dengan segera aku mengumpulkan semua kekuatanku. Aku mencoba mengontrol emosiku kembali. Aku tak ingin membuat keributan disini. Aku tak ingin memperburuk keadaan.

Bagiku semuanya sudah cukup jelas. Apa yang dilakukan istriku, sudah cukup untuk menjelaskan, mengapa ia berubah akhir-akhir ini. Aku tak ingin membahasnya lagi. Apapun alasannya, istriku telah menghianatiku. Dan itu terasa amat sangat menyakitkan. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, namun aku berusaha untuk terlihat tegar.

Saat itu juga aku menceraikan istriku. Aku tak pedulikan reaksi istriku yang tiba-tiba menangis menghiba. Bahkan ia sampai bersujud memohon maaf. Isak tangisnya mengundang perhatian beberapa orang, terutama petugas hotel. Tapi aku tetap tak mempedulikannya. Apa yang telah ia lakukan adalah sesuatu yang tak bisa aku maafkan lagi. Isak tangisnya justru membuatku semakin muak melihatnya.

Setelah menjatuhkan talak, aku melangkah keluar dengan sangat tergesa, diiringi jeritan penuh hiba dari istriku. Hatiku terasa perih, namun aku sekuat mungkin menahan air mataku. Aku tak ingin menangisi semua ini, aku harus tetap kuat. Aku harus tegar menghadapi semua ini, setidaknya demi anak-anakku.

Sesampai di rumah, aku segera mengemasi barang-barangku. Aku tak ingin lagi berada di rumah ini. Aku harus pergi. Malam itu, aku memutuskan untuk menginap dirumah sepupuku. Saat aku sampai disana, untunglah anak-anak sudah tertidur. Aku pun menceritakan semua kejadian tersebut kepada sepupuku. Namun aku tak ingin anak-anakku tahu. Mereka tidak boleh tahu, apa yang telah terjadi.

Akhirnya dengan sangat berat, esoknya aku dan anak-anak pun pergi. Setelah dengan sangat susah payah, aku membujuk anak-anak, agar mau ikut denganku. Aku berusaha memberi alasan yang tepat kepada mereka. Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi membawa anak-anak. Pergi meninggalkan kota ini, pergi meninggalkan segala kenangan yang pernah tercipta disini.

Berkali-kali istriku coba menghubungiku, tapi aku tidak mempedulikannya lagi. Aku hanya ingin membawa anak-anak pergi jauh dari kota ini. Aku tak ingin anak-anak tahu, tapi semua kisah ini akan selalu ku kenang. Sebagai pelajaran bagiku ke depannya.

Aku tahu, ini takkan mudah bagiku. Tak akan mudah bagiku, membesarkan anak-anak sendirian. Tak akan mudah bagiku, memulainya lagi dari awal. Tak akan mudah bagiku, hidup jauh dari kota kelahiranku. Namun ini jauh lebih baik, dari pada aku harus bertemu lagi dengan istriku yang sudah menghianatiku.

Bagiku tidak ada lagi maaf untuknya. Hatiku sudah terlalu sakit, hatiku sudah terlanjur terluka sangat parah. Yang ingin aku lakukan saat ini, hanyalah melupakannya. Memulai hidupku yang baru, di tempat yang baru. Dan semoga aku akan bertemu dengan orang-orang baru, yang tidak akan pernah menghianatiku. Ya! Semoga saja!

****

Sekian ...

Aku jatuh cinta kepada sang bidan...

Aku termenung sendiri, mengingat semua kejadian yang aku alami akhir-akhir ini.
Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika aku harus terlibat skandal dengan seorang bidan desa yang cantik.
Namanya, Yola. Dia bidan baru di desa kami. Sebenarnya Yola sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.
Namun suaminya yang seorang pelaut sangat jarang pulang.


Cerpen sang penuai mimpi

Aku mengenal Yola dan mulai dekat dengannya, semenjak Ibuku sering sakit dan harus rutin berobat.
Karena kehidupan kami yang pas-pasan, aku tak mampu membawa Ibuku berobat ke rumah sakit besar, selain biayanya yang mahal, jarak desa kami ke kota sangat jauh.
Jadi aku hanya mampu mengobati Ibu ku di Puskesmas desa.

Aku anak sulung dari tiga bersaudara dan ayahku sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Jadi sekarang aku yang jadi tulang punggung keluargaku. Aku harus bekerja keras untuk membiayai hidup keluargaku, terutama untuk biaya sekolah adik-adikku yang masih kecil-kecil.

Aku dan Yola memang semakin dekat, karena sering bertemu dan ngobrol.
Karena kedekatan kami, Yola sering cerita padaku kalau ia sebenarnya sering merasa kesepian.
Suaminya memang jarang pulang, dan kalau pun pulang tidak pernah lama.
Aku kadang juga merasa prihatin, mendengar cerita Yola. Tapi aku selalu berusaha menjaga jarak dengannya, karena tidak ingin orang-orang di kampung merasa curiga dan berpikiran macam-macam tentang kami.

Yola seorang perempuan yang cantik, meski sudah punya anak dan sudah berumur kepala tiga, dia masih terlihat awet muda dan mempesona. Terus terang aku tidak bisa memungkiri, kalau Yola adalah seorang wanita yang sangat menarik. Meski usiaku dua tahun lebih muda darinya. Tapi di mataku, Yola wanita yang baik dan ramah.

Kian hari kami pun kian dekat. Dan aku pun jatuh cinta padanya. Entah mengapa keinginan untuk memilikinya tumbuh begitu besar di hatiku. Namun aku berusaha memendam semua rasa itu. Karena biar bagaimana pun, Yola sudah memiliki seorang suami. Meski pun, ia mengakui kalau ia tidak bahagia dengan pernikahannya.
Dan lagi pula, aku hanya seorang pemuda desa yang berasal dari keluarga tak mampu.
Secara ekonomi kami jelas jauh berbeda.

Karena kedekatan kami, orang-orang di desa pun sudah mulai membicarakan kami. Bahkan Ibuku sendiri juga sempat mempertanyakan hubunganku dengan Yola. Dan aku mencoba menjelaskan kalau kami tidak ada hubungan apa-apa.
Ibuku mungkin percaya, tapi orang-orang tidak. Gosip tentang kami, pun kian beredar.

Karena takut akan terjadi fitnah, aku dan Yola pun sepakat untuk saling menjaga jarak.
Dan selama masa jaga jarak itulah, akhirnya kami sadar, kalau ternyata kami memang saling suka dan saling tertarik. Tiba-tiba saja, ada rindu. Ada keinginan untuk tetap bertemu.
Yola pun mengakui hal itu padaku. Dan aku pun jujur padanya, kalau aku memang suka dengannya.
Meski kami tahu, kalau apa yang kami rasakan itu adalah sebuah kesalahan.
Namun kami tidak bisa menghindari datangnya rasa itu.
Dan kami hanyalah manusia biasa.

Semakin kami berusaha menolak hadirnya rasa itu, semakin besar pula ia tumbuh.
Sampai akhirnya, kami pun terjebak oleh perasaan kami sendiri.
Yola melampiaskan segala kesepiannya padaku, dan aku tidak bisa menolak kehadiran Yola dalam hatiku. Aku benar-benar telah jatuh cinta kepada Yola.
Kami pun menjalin hubungan yang cukup serius, meski hubungan kami tidak diketahui oleh siapapun. Kecuali oleh kami berdua. Namun kami begitu menikmati hubungan terlarang tesebut.
Semuanya terasa indah bagi kami.

Berbulan-bulan dan bahkan hampir dua tahun hubungan terlarang kami berjalan dengan teramat indah. Kami sering bertemu secara diam-diam, tanpa diketahui orang-orang. Kami sering bertemu diluar desa, agar orang kampung tidak merasa curiga.
Kami benar-benar telah terlena oleh cinta buta yang hadir diantara kami.

Namun setelah dua tahun, akhirnya hubungan kami pun diketahui oleh suami Yola. Beliau sangat marah dan memukuliku sampai babak belur, dan bahkan beberapa warga ikut memukuliku.
Ibu dan keluargaku tidak bisa berbuat apa-apa, karena memang apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan.
Tapi sebagai laki-laki aku tak ingin lari, aku harus bertanggungjawab. Aku harus siap menerima resiko dari perbuatanku.

Namun ternyata suami Yola memilih untuk membawa Yola pergi dari desa itu. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Orang-orang sudah terlanjur membenciku, kecuali mungkin Ibuku. Meski tentu saja, beliau sangat terpukul dan malu.
Tapi semua sudah terjadi, dan aku harus menerima hukumannya.

Terus terang aku merasa sangat kehilangan Yola. Hari-hariku terasa hampa dan tak berarti.
Sudah beberapa minggu berlalu, dan aku belum mendengar kabar apa pun dari Yola.
Aku tahu, aku tak boleh berharap apa-apa lagi dari Yola. Namun aku hanya ingin tahu, seperti apa kondisinya saat ini.

Hinga beberapa bulan kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Yola masuk rumah sakit dan meninggal.
Ternyata setelah kejadian itu, Yola mendapat perlakuan yang sangat buruk dari suaminya.
Hampir setiap hari ia di pukuli oleh suaminya. Sampai akhirnya harus masuk rumah sakit selama beberapa hari dan akhirnya meninggal.

Tiba-tiba rasa bersalah menghantuiku. Segala penyesalan akhirnya pun datang.
Seandainya saja, aku lebih bisa menjaga perasaanku, agar tidak jatuh cinta pada Yola, tentu saja semua ini tidak akan pernah terjadi.
Namun kini semua telah terjadi, dan aku tidak bisa mencegahnya.
Yola pergi dengan membawa semua kenangan yang pernah tercipta di antara kami.
Meski tentu saja, itu semua adalah kenangan penuh dosa.
Tapi tetap saja, bagiku itu semua teramat indah. Walau harus berakhir dengan begitu menyakitkan.

**** 

Sekian ....

Dibalik air mata sang pengantin

"Ayah sangat berharap kamu bisa memenuhi permintaan Ayah. Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir dari Ayah..." suara itu terdengar lemah di telinga Ine. Ia menatap laki-laki tua itu dengan perasaan iba.

Ayahnya sudah lebih dari dua bulan terbaring sakit. Selama dua bulan ini, Ine dan Ibunya berusaha merawat sang Ayah dengan baik. Sudah banyak pihak keluarga dan juga para tetangga yang menyarankan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Namun Ine dan Ibunya tidak punya uang yang cukup untuk membawa sang Ayah ke rumah sakit.

Biaya berobat ke rumah sakit tentunya sangatlah mahal. Sementara mereka hanyalah keluarga miskin yang tidak punya apa-apa. Ayahnya selama ini hanya bekerja sebagai buruh bangunan, sementara sang Ibu bekerja sebagai buruh cuci.

Mereka hidup di sebuah desa yang sangat jauh dari kota. Untuk biaya hidup saja, terkadang mereka harus meminjam uang dari para tetangga. Tentu saja kehidupan seperti itu sangat berat mereka jalani.

Ditambah lagi kedua adik Ine masih kecil-kecil dan masih sekolah. Tentunya biaya hidup mereka sangat besar, dibandingkan dengan penghasilan yang mereka dapat selama ini.

Apa lagi sekarang sang Ayah menderita sakit gagal ginjal, yang seharusnya dirawat di rumah sakit dan harus dioperasi. Namun karena kondisi kehidupan mereka yang sangat kekurangan, mereka hanya berusaha melakukan pengobatan tradisional yang ada di desa tersebut.

"Ayah ingin kamu menerima lamaran dari nak Martin..." sang Ayah melanjutkan lagi, kali ini suaranya sedikit terbata karena menahan rasa sakit.

Seketika Ine merasakan matanya berkaca. Ia benar-benar tak tega melihat kondisi Ayahnya saat ini. Tapi permintaan Ayahnya tersebut terlalu berat untuk Ine terima.

Ine tahu siapa Martin. Laki-laki itu adalah anak dari kepala desa, ia seorang sarjana yang sudah bekerja di sebuah perusahaan sawit yang berada tak jauh dari desa. Disana ia sudah menjadi seorang maneger. Kehidupannya memang sudah mapan, terlepas dari ia seorang anak kepala desa atau tidak.

Secara fisik, Martin sebenarnya seorang pemuda yang cukup menarik. Ia tampan, ramah dan juga terkenal cukup baik.

Namun Ine tidak mencintai pemuda tersebut. Meski Ine sudah mengenal Martin cukup lama, tapi ia tidak punya perasaan apa-apa kepada Martin. Selain teman satu kampung.

Usianya dan Martin memang terpaut cukup jauh. Martin sudah berusia 28 tahun saat ini. Usia yang sudah cukup dewasa, dan tentu saja sudah sangat siap untuk berumah tangga.

Karena itulah beberapa minggu yang lalu, kedua orangtua Martin datang ke rumah Ine untuk menyampaikan niat mereka untuk melamar Ine.

Kedua orangtua Ine tentu saja setuju bahkan sangat senang mendengar hal tersebut. Namun bagi Ine, itu merupakan pukulan yang sangat berat. Bukan saja karena ia memang tidak mencintai Martin, tapi juga karena sebenarnya Ine sudah punya seorang kekasih.

Namanya Danu. Seorang pemuda yang berasal dari desa yang sama. Namun saat ini, Danu sedang berada di kota untuk kuliah.

Danu merupakan teman sepermainan Ine sejak kecil, selain jarak rumah mereka yang cukup dekat, mereka juga seumuran. Mereka berteman sejak masih di sekolah dasar hingga sama-sama menamatkan Sekolah tingkat atas.

Sejak mulai masuk SMA mereka pun sepakat untuk menjalin hubungan asmara. Mereka memang sudah saling tertarik sejak lama. Hubungan mereka terjalin dengan indah.

Namun hubungan indah itu, harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Danu harus melanjutkan kuliah ke kota, sementara Ine yang memang tidak punya biaya, harus tetap tinggal di kampung dan membantu orangtuanya.

Meski terpisah ratusan kilometer, hubungan Ine dan Danu tetap berjalan. Mereka sering saling memberi kabar melalui handphone.

Dan kadang pada saat musim liburan, Danu juga kembali ke desa. Mereka bisa bertemu dan saling melepas rindu.

Danu sebenarnya juga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun karena Danu anak tunggal, kedua orangtuanya sangat berharap agar Danu bisa kuliah dan menjadi orang yang sukses. Karena itulah kedua orangtua Danu harus banting tulang untuk bisa membiayai kuliah Danu.

"tak akan ada yang mampu memisahkan kita. Meski kita terpisah jarak dan waktu. Aku mencintai kamu dulu, sekarang dan selamanya. Aku ingin kamu menjaga cinta kita, hingga suatu saat nanti aku bisa melamarmu..." begitu ucap Danu kepada Ine pada suatu ketika, sebelum ia berangkat kuliah.

Ine sangat tersentuh dengan semua itu. Ia juga sangat mencintai Danu. Baginya Danu adalah cinta pertama sekaligus laki-laki terakhir yang akan mengisi hatinya.

"aku juga mencintai kamu, Dan. Tak peduli sejauh apa pun jarak yang ada diantara kita. Aku juga ingin kamu menjaga cinta ini, hingga maut memisahkan kita..." balas Ine, ia membalas remasan jemari Danu pada tangannya.

Hampir setahun Danu kuliah di kota, hubungan mereka justru semakin erat. Hampir setiap malam mereka selalu berhubungan melalui handphone. Sesekali Danu pulang, untuk sekedar saling melepas rindu. Mereka sangat bahagia dengan semua itu.

Ine masih terdiam mendengar penuturan sang Ayah, yang masih saja menunggu jawabannya.

"Ayah tahu ini berat buat kamu. Tapi Martin pemuda yang baik, masa depannya jelas. Kehidupannya juga sudah mapan. Kamu juga harus memikirkan adik-adikmu. Mereka butuh kehidupan yang lebih baik." sang Ayah berujar lagi, sambil menyentuh dengan lembut tangan sang anak.

Ine tak mampu lagi menahan air matanya. Perlahan air mata itu pun jatuh membasahi pipinya. Tak tahan dengan perasaannya sendiri, Ine pun berdiri dan berlari menuju kamarnya. Tangisnya pun tumpah. Ia terisak. Air matanya tidak bisa ia bendung lagi, ia tumpahkan segala kepedihannya dengan tangisan pilu.

Hatinya terasa teriris. Betapa begitu sulit baginya semua itu. Biar bagaimana pun, ia sangat mencintai Danu. Namun ia juga tidak mungkin menolak permintaan sang Ayah saat ini.

Dari pintu masuk sang Ibu berjalan mendekati gadis itu. Ia duduk disampingnya dan membelai rambut Ine dangan lembut.

"Ine masih belum pengen nikah, Bu..." suara Ine terbata di tengah isaknya.

"Ibu ngerti, Ne. Tapi apa kamu tega menolak keinginan Ayahmu? Apa kamu tega membuat ia semakin menderita?" ucap sang Ibu, sambil terus membelai rambut hitam panjang itu.

"tapi Ine tidak mencintai mas Martin, Bu..." suara Ine masih terisak.

"tapi kamu sayang, kan sama Ayah kamu? Sama Ibu?" ucapan sang Ibu membuat Ine semakin terisak pilu. Hatinya kian perih. Sungguh sebuah pilihan yang teramat sulit baginya. Antara memenuhi keinginan orangtuanya, yang tentu saja ia harus mengorbankan cinta sucinya. Atau ia harus berjuang demi cintanya, dan tentu saja ia harus melukai hati kedua orangtuanya. Ine meringis sakit, mengingat semua itu.

*********

"kamu tahu apa yang paling berat dari semua ini, Ne..?" suara Danu terdengar parau, saat mereka akhirnya berjumpa pada suatu sore. Setelah dengan terbata, Ine menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan tentang perjodohannya dengan Martin kepada Danu, melalu telepon genggamnya.

Danu pun buru-buru pulang mendengar semua itu. Ia meminta Ine untuk menemuinya di tempat biasa mereka bertemu. Di sebuah pondok kecil, di tepi sawah yang membentang luas di ujung desa.

Ine tak kuasa menahan tangis ketika menyampaikan semua itu kepada Danu. Air matanya tak kunjung berhenti, sampai Danu berusaha menenangkannya.

Danu sendiri sebenarnya sangat terpukul mendengarkannya. Namun sebagai laki-laki, tentu saja ia berusaha untuk tetap tegar, meski air mata mengenang di sudut matanya yang sendu.

Ine masih terisak, dan tak berkeinginan untuk menjawab pertanyaan Danu barusan. Sekali lagi Danu menghempaskan napas. Kemudian ia berujar lagi,

"saat ini aku sedang berjuang untuk membangun masa depan kita berdua. Namun justru saat aku sedang berjuang, sebelah sayap seakan patah. Aku seakan tak punya kekuatan lagi untuk tetap berjuang. Aku merasa rapuh, saat satu-satunya alasanku untuk berjuang, justru harus terlepas..." suara Danu semakin lirih.

"maafkan aku, Dan. Aku benar-benar tak berdaya. Aku tak bisa lagi menolak satu-satunya keinginan dari orangtuaku saat ini.." suara Ine parau, ia berusaha menahan semua gejolak di hatinya.

"kamu gak salah, Ne. Kamu hanyalah korban. Korban dari sebuah ketidakadilan hidup. Dan aku tak berdaya untuk menyelamatkanmu dari semua ketidakadilan itu." Danu membersit hidungnya yang tiba-tiba berair. Matanya kian berkaca. Hatinya meringis pilu.

"mungkin memang sudah menjadi suratan untuk cinta kita, harus berakhir dengan cara seperti ini. Kita tak harus menangisinya. Kita tak harus menyesalinya....." lanjut Danu lagi.

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dan. Aku tak bisa begitu saja melupakanmu..."

"aku juga sangat mencintaimu. Aku juga tidak bisa begitu saja, melepaskanmu. Tapi apa yang bisa kita lakukan saat ini? Selain menerima semuanya sebagai sebuah takdir yang tak bisa kita elakkan..."

Ine terisak kembali. Ia masih mengingat dengan jelas. Kejadian seminggu yang lalu. Saat sang Ayah hampir sekarat karena penyakitnya. Ine merasa sang Ayah sudah tidak bisa bertahan lagi. Di saat semua orang mulai terisak melihat kondisi Ayahnya. Tiba-tiba saja, kedua orangtua Martin datang dan menawarkan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Melihat kondisi sang Ayah yang kian parah, tentu saja dengan sangat terpaksa Ine menyetujui hal tersebut. Hari itu Ayahnya segera dilarikan ke rumah sakit dan juga segera di operasi. Segala biaya dari semua itu, sudah ditanggung penuh oleh orangtua Martin.

Ayahnya memang sudah berhasil pulih kembali, melewati masa kritisnya dan menjalani proses operasi dengan lancar. Namun tentu saja, semua itu ada konsekuensinya, terutama bagi Ine sendiri. Ia mau tidak mau harus menerima lamaran dari Martin dan keluarga.

Ine tidak punya alasan apapun lagi untuk menolaknya. Ia harus memenuhi permintaan orangtuanya.

Kedua keluarga akhirnya sepakat, untuk segera melangsungkan pernikahan antara Ine dan Martin. Setidaknya sampai sang Ayah sudah mulai sembuh kembali.

Pernikahan itu akan dilangsungkan minggu depan. Karena itu, Ine memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Danu. Ia tidak ingin Danu mengetahuinya dari orang lain. Ine tidak mau Danu menganggapnya sebagai penghianat dan perempuan yang tak setia. Ine harus jujur dan menjelaskan semuanya. Meski tentu saja hal itu terasa sangat berat dan begitu menyakitkan.

*******

Seminggu kemudian Ine dan Martin akhirnya melangsungkan pernikahan. Diiringi isak tangis Ine yang tak kunjung berhenti. Hatinya begitu sakit menerima semua itu. Seolah seribu sembilu menusuk-nusuk hatinya yang memang sudah hancur.

Sementara dari kejauhan, Danu menyaksikan pesta pernikahan itu dengan perasaan pilu. Luka dihatinya teramat parah dan perih. Bertahun-tahun ia menjalani cinta yang begitu indah bersama Ine. Bertahun-tahun ia berharap akan menjadi pendamping Ine selamanya. Namun sekarang, ia harus menyaksikan gadis yang ia cintai bersanding dengan laki-laki lain.

Pesta pernikahan itu memang dilaksanakan dengan sangat sederhana, namun tetap saja hal itu mampu menghancurkan perasaan Danu. Memporak-porandakan semua harapannya.

Berkali-kali ia menyeka air matanya. Ia tak kuasa lagi menahan tangisnya. Di hadapan Ine ia mungkin bisa berpura-pura tegar. Namun ketika ia sendirian seperti saat ini, ia tak bisa lagi membendung kepedihannya. Hatinya terluka parah dan tubuhnya terasa lemas tak berdaya.

Tak sanggup menyaksikan semua itu, Danu akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota. Ia pergi untuk membawa hatinya yang terluka. Semua harapannya seolah musnah, bersama cintanya yang tak bisa menyatu.

Tak pernah terpikir olehnya, jika kisah cintanya yang indah harus berakhir dengan begitu menyakitkan. Berat bagi Danu harus melepaskan Ine, gadis yang sangat ia cintai itu.

Kini semuanya hanya tinggal kenangan. Ine bukan lagi miliknya. Ine bukan lagi gadis yang selama ini selalu bisa menghiburnya, dengan segala sikap manjanya.

Danu sudah terlalu biasa melewati hari-hari bersama Ine. Namun sekarang semuanya terasa hampa. Tidak ada lagi tawa canda gadis manis itu. Tidak ada lagi yang akan memberinya semangat ketika ia merasa lelah. Untuk siapa lagi ia berjuang? Jika satu-satunya orang yang membuatnya bahagia, kini tidak lagi bersamanya.

****

Sekian ...

Kisah cinta yang tak sempurna ....

"aku ingin kita putus, Wen..." suara laki-laki itu terdengar cukup tegas di telinga Weni.
Weni menatap laki-laki yang sejak tadi duduk di sampingnya dengan pandangan setengah tak percaya.
"maksud kamu apa sih, Zul? Aku gak ngerti deh..." Weni berusaha mengeluarkan suaranya, meski dengan sedikit berat.
"maksud saya cukup jelas kok, Wen. Aku ingin kita putus. Aku ingin kita menjalani hidup kita masing-masing. Kamu dengan kehidupanmu dan aku dengan kehidupanku sendiri..." jelas laki-laki itu lagi.
Sekuat mungkin Weni menahan gejolak yang tiba-tiba hadir di hatinya. Ia masih tak percaya kalimat tersebut keluar dari mulut Zul, laki-laki yang sangat ia cintai itu.
Bagaimana mungkin Zul tiba-tiba ingin mereka putus, sementara hubungan mereka selama hampir setahun ini berjalan dengan baik.

Weni masih ingat, bagaimana dulu awal pertemuannya dengan Zul. Sebuah pertemuan yang tidak pernah mereka rencanakan.
Waktu itu, Weni sedang mengikuti sebuah seminar tentang cara menjadi seorang penulis profesional. Sebuah seminar yang memang sejak lama ingin Weni ikuti. Weni memang punya hobi menulis sejak kecil. Keinginannya untuk menjadi seorang penulis semakin besar sejak ia mulai kuliah di kesusastraan.
Weni punya keinginan untuk menjadi seorang penulis besar suatu saat kelak, karena itu ia rajin mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan dunia tulis.
Selepas kuliah dan meraih gelar sarjananya, Weni tak kunjung jua mendapatkan pekerjaan. Untuk itu ia pun semakin giat untuk belajar menulis, dan membuat beberapa karya tulis yang ia publikasikan di blog-nya sendiri.

Pada suatu seminar yang cukup besar, Weni mendapat kesempatan untuk hadir. Pada acara tersebut memang akan hadir para penulis-penulis senior yang akan berbagi pengalaman mereka kepada para penulis-penulis baru.
Weni merasa cukup bangga bisa hadir disana. Ia bisa bertemu dan bertatap muka langsung dengan para senior, yang beberapa diantaranya sangat Weni kagumi karyanya.
"hei..." sebuah suara lembut mengganggu lamunan Weni yang sedang fokus memperhatikan seorang senior berbicara di depan.
Weni spontan melirik kesampingnya, seorang laki-laki menatapnya sambil tersenyum.
"baru ya?" tanya laki-laki dengan senyum manis itu melanjutkan.
"maksudnya?" tanya Weni balik, setengah tak mengerti.
"maksud saya, kamu baru mau belajar menulis atau sudah punya pengalaman seperti mereka yang berada di depan sana..." jelas laki-laki itu ringan.
"owh..." Weni membulatkan bibir, Weni tahu itu hanya sebuah pertanyaan basa-basi. Namun Weni merasa kurang sopan jika tidak menjawab pertanyaan tersebut.

"gak kok. Masih baru. Saya datang kesini justru karena ingin belajar..." lanjutnya.
"tapi sudah sering nulis kan?" tanya laki-laki itu lagi, yang membuat Weni kembali menatap laki-laki tersebut.
"ada sih beberapa, tapi baru sebatas cerita pendek..." jawab Weni diplomatis. Ia berusaha membalas senyum laki-laki tersebut.
Sekilas Weni melihat, kalau laki-laki yang suka tersenyum tersebut memang cukup tampan. Hidungnya mancung dengan bibir tipis dan mata yang teduh.
"kamu sendiri gimana?" tanya Weni akhirnya, karena kebetulan di depan sedang ada jeda.
"saya? Ya, masih coba-coba aja sih. Masih harus belajar..." jawab laki-laki itu dengan suara khasnya.
"oh, ya. Saya Zulkifli. Panggil aja Zul." lanjut laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
Weni segera menyambut tangan laki-laki tersebut, "saya Weni.." ucapnya lembut.

Itulah awal pertemuan mereka. Awal pertemuan yang menimbulkan rasa ketertarikan antara mereka berdua. Sepanjang seminar mereka lebih sering ngobrol berdua. Saling tular kontak dan sharing tentang pengalaman mereka tentang menulis.
Weni merasa nyaman bersama Zul. Laki-laki itu sangat ramah dan cukup terbuka.
"hobi menulis saya sempat tertunda beberapa tahun, karena orangtua saya sangat ingin saya menjadi seorang dokter. Setelah lulus kuliah di Singapur, saya sekarang bekerja menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta. Jadi sekarang saya lebih punya banyak waktu untuk sekedar menyalurkan hobi nulis saya..." ucap Zul menjelaskan. "saya sekarang lebih sering nulis tentang dunia kesehatan dari pada cerita-cerita fiksi.." lanjutnya.
Diam-diam Weni pun mulai mengagumi sosok Zul yang sederhana. Mereka menjadi lebih akrab dan sering jalan bareng. Karena punya hobi yang sama, mereka tidak pernah kehabisan bahan untuk ngobrol. Ada-ada saja yang mereka bahas, mulai dari penulis favorit mereka dan juga tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia penulis.

Karena merasa saling cocok, mereka pun akhirnya sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Usia mereka yang boleh dibilang sudah sama-sama dewasa, membuat hubungan mereka kian serius.
Hingga suatu hari,
"aku ingin kita segera menikah, Wen. Aku ingin kamu menjadi istriku. Apa kamu bersedia?" ucap Zul dengan nada serius.
Weni sedikit kaget mendengar ucapan Zul yang cukup blak-blakan tersebut. Ia tidak menyangka Zul akan secepat itu melamarnya. Hubungan mereka baru berjalan tiga bulan.
"apa ini tidak terlalu cepat, Zul?" tanya Weni akhirnya.
"kita sudah sama-sama dewasa, Wen. Waktu tiga bulan sudah cukup buatku untuk mengenal kamu lebih dalam. Terlebih dari itu, aku juga sudah cukup yakin dengan perasaanku padamu. Orangtuaku juga sudah tidak sabar ingin melihatku segera menikah.." jelas Zul meyakinkan.

Weni tahu, hubungannya dengan Zul memang terbilang serius. Mereka sudah saling mengenalkan diri kepada kedua belah keluarga. Kedua keluarga mereka juga sangat mendukung hubungan mereka berdua. Bagi Weni sendiri, ia merasa sudah cukup mengenal Zul. Ia juga sangat menyayangi laki-laki itu. Tidak ada alasan lagi bagi Weni untuk tidak menerima lamaran Zul, meski terkesan terlalu cepat.
Untuk itu akhirnya Weni setuju. Mereka pun mengatur segala rencana untuk mempertemukan kedua keluarga mereka.

Pertemuan kedua keluarga itu pun berjalan dengan baik. Kedua keluarga, baik dari keluarga Weni maupun dari keluarga Zul akhirnya sepakat untuk segera melangsungkan acara pertunangan antara Weni dan Zul.
Meski acara pertunangan itu berlangsung dengan sangat sederhana, namun kedua belah pihak merasa sangat bahagia, terutama bagi Weni dan Zul.
Hanya jelang seminggu setelah acara pertunangan mereka. Kedua keluarga kembali sepakat untuk segera melaksanakan pernikahan.

Menjelang hari pernikahan yang sudah disepakati, Weni dan Zul sangat sibuk mempersiapkan acara resepsi pernikahan mereka. Mulai dari mencari tempat resepsi, membuat undangan dan mempersiapkan baju pengantin.
Dua hari menjelang hari pernikahan mereka, saat semua undangan sudah tersebar, segala persiapan sudah sangat matang. Tiba-tiba Weni mendapat kabar yang membuatnya syok seketika.
"Zul mengalami kecelakaan fatal, Wen. Kamu harus segera ke rumah sakit sekarang..." suara Ibu Zul terdengar terbata di telpon.
Weni menahan perih yang tiba-tiba ia rasakan.
Mengapa hal ini terjadi di saat beberapa hari menjelang pernikahan mereka? rintih hatinya pilu.

Dengan tubuh yang lemas dan pikiran yang tak karuan, Weni segera pergi ke rumah sakit tempat Zul dirawat. Disana ia disambut dengan isak tangis dari keluarga Zul yang sudah hampir satu jam berada disana.
"bang Zul masih belum sadarkan diri, ia masih koma. Dokter sedang berusaha menanganinya...." suara adik perempuan Zul menjelaskan, masih dalam isaknya.
Tanpa sadar Weni pun ikut meneteskan air matanya. Biar bagaimanapun ia sangat mencintai Zul, ia belum siap kehilangan laki-laki itu dalam hidupnya. Namun Weni berusaha untuk terlihat tegar, meski hatinya merintih perih.

Setengah jam kemudian, dokter pun keluar dan meminta kedua orangtua Zul untuk masuk ke dalam ruangannya untuk menjelaskan beberapa hal, katanya.
Weni dan keluarga lainnya hanya bisa menunggu di luar, sementara Zul sendiri masih belum sadarkan diri. Meski menurut keterangan dokter tadi, Zul sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja ia masih butuh waktu untuk bisa siuman kembali.
"ada apa, Bu...?" tanya adik laki-laki Zul yang lain, ketika melihat Ibunya keluar dari ruangan dokter dengan masih berlinangan air mata.
"Zul mengalami patah tulang yang parah pada kedua kakinya. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawanya hanya dengan cara mengamputasi kedua kakinya..." jelas sang Ibu dengan suara terisak.

Mendengar hal itu, Weni semakin terhenyak. Tubuhnya terasa semakin lemas tak berdaya.
"Zul akan kehilangan kedua kakinya, dan ia akan hidup diatas kursi roda sepanjang hidupnya.." sang Ayah turut menjelaskan, yang membuat seisi ruangan menjadi histeris kembali.
Weni tidak bisa membayangkan bagaimana Zul bisa menghabiskan sisa hidupnya diatas kursi roda. Pasti akan sangat berat bagi Zul untuk bisa menerima semua itu.
"kita tidak punya pilihan lain saat ini, jika tidak diamputasi, nyawa Zul bisa saja tidak terselamatkan.." lanjut sang Ayah lagi, ketika isak tangis diruangan itu mulai mereda.

Dengan persetujuan keluarga, akhirnya kedua kaki Zul diamputasi. Bagi mereka itu merupakan keputusan yang teramat sulit. Namun mereka harus berusaha untuk bisa menyelamatkan nyawa Zul, meski harus mengorbankan kedua kakinya.
Proses amputasi kaki Zul berjalan lancar, namun Zul sudah hampir dua hari tidak sadarkan diri. Tapi Zul sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap. Keluarga dan juga Weni sudah diperbolehkan membezuk Zul secara bergantian.
Suasana histeris kembali terjadi, ketika akhirnya Zul membuka mata. Semua anggota keluarga dan juga Weni segera mendekati Zul yang masih terlihat kaku.

Tak lama kemudian Zul pun mulai sadarkan diri dan mengingat semua yang telah terjadi padanya.
Namun suasana histeris kembali terjadi, saat Zul menyadari kalau dia telah kehilangan kedua kakinya. Ia berteriak dengan keras, keluarga berusaha menenangkan Zul yang terus saja meronta. Ia tidak bisa terima harus kehilangan kedua kakinya. Namun dokter dan juga pihak keluarga berusaha menenangkan dan memberi pengertian kepada Zul.
Setelah dengan susah payah dan proses yang panjang, Zul akhirnya bisa tenang. Meski ia belum sepenuhnya bisa menerima semua itu.

Weni merasa sangat kasihan melihat kondisi Zul, tatapan mata laki-laki itu terlihat kosong. Ia seperti tidak punya gairah lagi, ia seperti seseorang yang kehilangan pegangan dan harapan.
Weni berusaha menyentuh tangan Zul dengan lembut, saat pihak keluarga membiarkan mereka berdua dalam ruangan tersebut.
"kenapa kamu masih disini?" suara Zul terdengar sinis.
"karena aku tunanganmu Zul dan aku mencintai kamu.." balas Weni dengan suara lembut. Ia tahu Zul sedang terpukul karena kehilangan kakinya. Sebagai orang yang mencintai Zul, Weni berusaha untuk memberi dukungan kepada Zul.
"bohong! Kamu pasti kasihan melihat kondisi saya seperti ini, kan..?" suara Zul masih terdengar sinis.
"kamu kok ngomong gitu sih, Zul. Berarti kamu belum mengenal aku seutuhnya. Aku mencintai kamu Zul, dan akan tetap mencintai kamu walau apapun yang akan terjadi. Kamu harus punya semangat Zul. Jangan biarkan semua kejadian ini mematahkan semangatmu...." balas Weni berusaha membuat Zul mengerti, jika ia bisa menerima dengan ikhlas kondisi Zul saat ini.

Meski Zul tidak dengan mudah menerima semua itu, atas desakan keluarga dan juga Weni, Zul pun perlahan bisa menerima kondisi dirinya. Ia mulai menjalani pengobatan dan perawatan sehingga akhirnya ia diperbolahkan pulang. Ia mulai menjalani hidupnya diatas kursi roda.
Berminggu-minggu Weni berusaha merawat dan memberi motivasi kepada Zul. Memberi Zul harapan. Mencintai Zul dengan sepenuh hatinya. Pernikahan mereka memang telah dibatalkan, namun bagi Weni, Zul tetaplah laki-laki yang ia cintai.
Weni berharap, jika nanti kondisi Zul sudah benar-benar stabil, ia akan merencanakan sebuah pernikahan lagi bersama Zul. Ia mencintai Zul, tak peduli seperti apapun kendisinya. Meski Zul harus hidup tanpa kedua kakinya. Weni bisa menerima semua itu dengan ikhlas.

Namun sekarang....

"aku gak sanggup lagi, Wen. Aku gak sanggup hidup dalam semua rasa kasihan orang lain..." ucap Zul lagi, setelah cukup lama mereka terdiam.
"aku gak ngerti apa yang ada dalam pikiranmu, Zul. Tak kusangka kamu akan sepicik ini." balas Weni dengan suara yang mulai bergetar. Biar bagaimanapun hatinya terasa sakit, ketika Zul memilih untuk mengakhiri hubungan mereka. "kita tetap bisa bersama, Zul. Tidak ada yang berubah, aku masih mencintai kamu..."
"tapi sampai kapan, Wen?" suara Zul mulai melemah, "sampai kapan kamu akan bertahan hidup dengan orang cacat seperti saya..."
Weni hampir menangis mendengar ucapan Zul barusan, namun sekuat mungkin ia menahan air matanya.
"aku mencintai kamu, Zul. Dulu, sekarang dan selama-lamanya. Aku juga tidak peduli kondisi kamu seperti apa. Karena aku mencintai kamu bukan karena fisik semata. Aku mencintai kamu, karena kamu laki-laki baik dan kuat. Aku yakin kita bisa tetap hidup bahagia..." Weni berucap lagi, matanya mulai berkaca.
"kamu wanita sempurna, Wen. Kamu cantik. Kamu baik dan juga punya masa depan yang sempurna. Untuk apa kamu menghabiskan waktu untuk orang yang tidak bisa melakukan apa-apa buat kamu. Masih banyak diluar sana, laki-laki yang lebih pantas untuk kamu. Aku harap kamu bisa mengerti dengan keputusanku ini, Wen.." kali ini suara Zul terdengar serak.
"aku hanya mencoba realistis, Wen. Aku menyadari sekali, siapa aku saat ini dan siapa kamu. Kita sekarang udah berbeda. Dan tidak ada yang bisa memungkiri hal itu. Jika pun aku tetap memaksakan diri untuk hidup bersama kamu. Aku hanya akan menjadi beban bagi kamu. Aku hanya akan menghambat cita-cita kamu untuk menjadi seorang penulis hebat..." lanjut Zul lagi. suaranya semakin serak.

Weni akhirnya mulai terisak. Air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Terlalu sakit baginya mendengar semua penuturan Zul. Ia yang dengan susah payah menerima semua kekurangan Zul, harus menelan ludah pahit, ketika Zul sendiri tidak bisa menerima kehadirannya.
"bagi saya, kamu adalah wanita sempurna, Wen. Kamu wanita hebat. Karena itu, kamu berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang sempurna pula. Bukan saya, Wen. Bukan laki-laki cacat ini..." Zul melanjutkan kalimatnya, matanya sendiri mulai berkaca. Tapi ia harus bisa membuat Weni mengerti. Bukan karena ia tidak mencintai Weni. Tidak. Zul sangat mencintai Weni. Wanita itu terlalu baik untuknya. Zul merasa sangat tidak pantas berdampingan dengan Weni. Untuk itu, ia berusaha membuat Weni agar meninggalkannya.
Ia sangat mencintai Weni, namun ia juga tidak ingin membuat Weni menderita. Ia tidak ingin Weni menghabiskan sisa hidupnya untuk merawat laki-laki cacat seperti dirinya.

"tapi aku bahagia bisa bersama kamu, Zul. Aku ingin selamanya berada di sampingmu..." ujar Weni akhirnya, setelah dengan susah payah ia menghapus tetesan air mata di pipinya.
"kamu gak ngerti, Wen. Cinta saja tidak cukup... Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki cacat...."
"cukup, Zul!" potong Weni cepat dengan suara tinggi. "aku tak ingin mendengar kalimat itu lagi. Jika kamu memang benar mencintaiku. Kamu harusnya tahu, bahwa tidak ada alasan apapun bagiku untuk tidak mendampingi kamu. Bersama kamu adalah impian indahku, bahkan jauh lebih indah dari impianku menjadi seorang penulis besar. Maafkan aku, Zul. Aku terlanjur mencintai ketidaksempurnanmu......"
Setelah berkata demikian, Weni bangkit dari duduknya, ia melangkah tergesa meninggalkan
Zul sendirian.

Zul hanya termangu. Air matanya perlahan pun jatuh. Ia benar-benar tidak tahu lagi, bagaimana harus membuat Weni mengerti, jika ia sangat mencintainya.

Sekian...

Mentulik, 27 Agustus 2020

Ku jual ginjalku demi Ibu ...

Bau keringat menyengat hidungku. Aku tidak begitu mempedulikan hal tersebut saat ini. Aku terus saja melangkahkan kakiku menuju terminal. Sudah lebih dari sekilo aku berjalan. Rutinitas biasa yang aku lakukan hampir setiap hari.
Dengan mendorong gerobak daganganku, aku terus saja berjalan, meski kakiku kian lelah. Di dalam gerobak yang aku dorong, terdapat beberapa peralatan masak dan juga bahan-bahan gorengan yang sudah siap Ibuku olah dirumah.

"rok biruku sudah sobek,mas. Kayaknya harus ganti baru deh..." terngiang kembali ucapan lembut adik perempuanku yang sudah duduk di kelas 3 SMP itu.
"kan masih bisa dijahit, Tini." timpal Ibuku yang sedang mengupas pisang, untuk aku bawa berjualan.
"udah gak bisa dijahit lagi, Bu. Sobekannya udah bekas jahitan yang kemarin.." ucap Tini lagi dengan mulut sedikit manyun.
"ya udah, nanti kalau udah dapat uangnya, mas beli yang baru..." aku akhirnya membuka suara.
"saya juga mas Diko, celana olahraga saya juga udah bolong di bagian lututnya..." tiba-tiba adik laki-lakiku, Andi, yang sedang membantu Ibu memasukan pisang yang sudah dikupas ke dalam baskom, ikut menimpali.
Andi masih duduk di kelas lima SD, namun ia harus ikut bekerja membantu kami menyiapkan barang dagangan. Aku memang menjual gorengan di sekitaran terminal yang berada tidak begitu jauh dari rumah tempat kami tinggal. Aku jualan gorengan setiap sore, setelah pulang kuliah.

Aku terenyuh mendengar permintaan adik-adikku. Hatiku merasa iba melihat mereka. Namun aku tidak bisa berbuat banyak saat ini. Kehidupan ekonomi keluarga kami memang sedang tidak baik. Sejak Ayahku meninggal dua tahun yang lalu, secara otomatis aku menjadi tulang punggung bagi keluargaku. Ibuku yang sudah mulai menua dan sering sakit-sakitan, tidak bisa bekerja terlalu berat.
Setiap sore aku berjualan gorengan di terminal. Meski hasilnya tidak begitu banyak, namun setidaknya selama dua tahun ini, aku masih mampu membiayai hidup kami sekeluarga, membiayai sekolah adik-adikku serta juga untuk biaya kuliahku sendiri. Walau aku dan adik-adikku harus sering menahan diri, untuk tidak berbelanja barang yang tidak begitu kami butuhkan. Walau terkadang Ibuku harus berhutang beras di warung depan rumah kami.
Untuk kuliahku sendiri, aku memang mendapatkan beasiswa. Karena itulah aku memilih untuk tetap kuliah, meski sebenarnya secara ekonomi aku tidak mampu.

"kamu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini, Diko..." suara lembut Ibuku suatu hari, ketika aku baru saja menyelesaikan masa SMA-ku. "kamu harus ambil beasiswa itu, kamu harus bisa kuliah..." lanjut Ibuku lagi.
Saat itu aku memang mendapatkan nilai terbaik di sekolah bahkan se-Kabupaten. Karena itulah pemerintah memberikan aku kesempatan untuk aku kuliah dengan memberiku beasiswa penuh.
"tapi bagaimana dengan adik-adik, Bu? Mereka masih butuh biaya. Dan aku harus bekerja keras untuk mendapatkan uang..." balasku mencoba memberi pengertian kepada Ibu.
"kamu gak perlu khawatir, Ibu masih bisa jualan gorengan, kok.." jawab Ibu.
Karena permintaan Ibu dan juga dorongan dari adik-adikku, akhirnya aku memutuskan untuk menerima beasiswa tersebut dan memilih untuk kuliah ke universitas terdekat dengan tempat tinggalku. Setidaknya aku bisa menghemat ongkos, karena aku bisa berjalan kaki ke kampus.

Namun belum genap dua bulan aku kuliah, Ibuku jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
"Ibu kamu harus banyak istirahat, dan tidak boleh kerja terlalu berat..." ucap Dokter yang merawat Ibu waktu itu.
Aku merasa kasihan melihat Ibu. Beliau harus bekerja keras sendirian untuk menghidupi dan membiayai kami. Karena itu aku pun berpikir untuk mencari pekerjaan paroh waktu, setidaknya jangan sampai mengganggu jam kuliahku. Namun sudah beberapa minggu, aku belum juga mendapatkan pekerjaan tersebut.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mengambil alih pekerjaan Ibuku, untuk berjualan gorengan di terminal. Jika biasanya Ibuku berjualan dari pagi hingga siang hari, aku memilih untuk berjualan dari sore hingga malam hari. Tentu saja karena aku harus kuliah di pagi harinya.

Semua bahan-bahan untuk membuat berbagai gorengan sudah Ibu siapkan dari rumah. Sesampainya di terminal aku hanya tinggal menggoreng bahan-bahan tersebut. Dan terkadang adikku, Tini, juga ikut membantu aku berjualan di terminal.
Dari hasil jualan gorengan tersebut-lah aku membiayai hidup kami dan juga sekolah adik-adikku. Namun tentu saja semua itu tidak selalu cukup. Kami harus benar-benar hemat dan sering menahan selera.
"semua teman-temanku sudah punya handphone, mas.." ucap Tini suatu hari, di tempat kami berjualan.
"Tin, kita harusnya tetap bersyukur, karena masih bisa makan dan sekolah..." jawabku ringan, "kita sama-sama berdo'a saja, semoga ke depannya hidup kita bisa membaik..." lanjutku.
Tini hanya terdiam, setiap kali aku berbicara demikian. Aku tahu Tini belum begitu kuat menjalani kehidupan seperti ini. Usianya masih terlalu muda untuk bisa menerima semuanya. Biar bagaimanapun teman-teman seusianya saat ini sedang asyik-asyiknya bermain dan nongkrong. Sementara Tini sudah harus membantuku bekerja. Namun aku yakin, Tini adalah gadis yang baik. Perlahan dia pasti akan bisa menerima semuanya.

"tidak semua yang kita inginkan itu harus dapat kita peroleh. Ada hal-hal yang harus kita ikhlaskan dalam hidup ini.." aku berujar lagi, sambil menyentuh lembut pundak Tini.
"yah, Tini paham, mas. Tini hanya sekedar bercerita, kok. Mas jangan kepikiran, ya..." balas Tini dengan menyunggingkan senyum tipisnya.

*********

"Ibu sakit, mas.." ucap adikku, Andi, ketika aku baru saja pulang dari kuliah.
Aku segera menuju kamar Ibu. Kulihat Ibu terbaring lemah di atas dipan, tangannya memegang perutnya sendiri. Ia terdengar merintih menahan sakit. Wajahnya pucat pasi.
"Ibu kenapa?" tanyaku sambil melangkah mendekat. Aku memegangi perut Ibu.
"Ibu gak apa-apa......, Hanya ... sakit perut.." jawab Ibu terbata, karena menahan sakit.
"kita ke rumah sakit ya, Bu.." tawarku, tak tega melihat Ibu yang masih saja terus merintih.
"gak.... gak usah... Diko.... Ibu gak apa-apa..." balas Ibu sambil terus menekan perutnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba mata Ibu terpejam, ia tak sadarkan diri seketika. Aku mulai panik dan sedikit berteriak memanggil Ibu. Saat itu, adikku, Tini baru saja pulang dari sekolah. Aku segara menyuruh Tini untuk memanggil tukang becak yang memang berada tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Dengan menaiki becak, aku membawa Ibu ke rumah sakit terdekat. Sesampai di rumah sakit, Ibu belum juga sadarkan diri. Aku mulai cemas, pikiranku tak karuan. Para suster segera membawa Ibu ke ruang ICU. Aku dan adik-adikku hanya bisa menunggu di luar ruangan, sambil terus berdo'a.
Adik-adikku terisak. Aku sendiri sebenarnya juga ingin menangis. Namun sekuat mungkin aku menahan air mataku. Aku harus terlihat kuat, terutama di depan adik-adikku. Mataku memerah, hatiku terhiris pilu. Tak kuat rasanya mengahadapi ini semua.
Baru saja pagi tadi aku mendengar kabar kurang baik di kampus. Pak Jaya, dosen yang selama ini mengurus masalah beasiswa-ku, menyampaikan, bahwa mulai semester besok beasiswa-ku akan dihentikan.

"pemerintah mulai menghentikan beberapa beasiswa, karena kondisi perekonomian pemerintah, terutama pemerintah daerah kita mulai memburuk. Salah satu beasiswa yang dihentikan itu, termasuk nama kamu, Diko. Bapak minta maaf, tidak bisa membantu terlalu banyak." ucap pak Jaya dengan nada penuh iba.
Aku terhenyak mendengar itu semua. Jika beasiswa ku dihentikan, itu artinya, mulai semester depan aku harus membayar uang kuliah sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa membayar uang kuliah, sementara selama ini, pendapatan kami selalu saja kurang.
Aku berjalan lesuh meninggalkan ruangan pak Jaya. Pikiranku menerawang tak menentu.
Dan sekarang?

Sekarang Ibu terbaring di rumah sakit. Aku bahkan tidak punya uang untuk biaya berobat Ibu. Apa lagi jika Ibu sampai dirawat. Kemana aku harus mencari uang?
Aku benar-benar terpukul dengan semua kejadian yang menimpaku hari ini. Rasanya dunia berhenti berputar. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi menahan kepedihan yang aku rasakan saat ini.
"Ibumu terkena usus buntu. Beliau harus segera dioperasi. Jika tidak, ususnya akan terus membengkak dan pecah. Jika hal itu terjadi, nyawa beliau kemungkinan tidak bisa terselamatkan.." penjelasn dokter Cahyo, membuat napasku terasa terhenti. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Kali ini, dunia benar-benar runtuh bagiku.

Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu? Dan aku juga tidak tega melihat Ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"saya tahu kesulitan nak Diko," ucap dokter Cahyo lagi, "tapi pihak rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Operasi adalah jalan satu-satunya untuk kesembuhan Ibumu." lanjutnya.
Aku hanya terdiam membisu. Tidak tahu harus mengatakan apa saat itu.
Dokter Cahyo kembali menatapku lembut, "mungkin untuk sementara, kami akan memberikan obat antibiotik untuk Ibumu. Menjelang kamu bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu..." beliau berujar lagi dengan suara lembut.
Kami berbicara di ruangan dokter Cahyo, sementara adik-adikku sudah bersama Ibu. Beliau baru saja sadarkan diri setelah dokter memasang infus pada tangan beliau. Para suster segera memindahkan Ibu ke kamar inap. Untuk sementara Ibu memang harus dirawat di rumah sakit, karena kondisinya yang masih sangat lemah dan juga beliau masih butuh perawatan yang intensif.

Malam itu, aku meminta adik-adikku untuk menjaga Ibu di rumah sakit, dengan meninggalkan sedikit uang untuk sekedar makan malam mereka.
Sementara aku harus pulang ke rumah dan mulai berpikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu.
Rumah yang kami tempati adalah sebuah rumah bulatan kecil yang dibangun oleh ayahku ketika beliau masih hidup. Rumah kecil dan tanah ini memang milik kami, tapi rumah dan tanah ini tidak punya surat-surat lengkap untuk bisa aku gadaikan. Tanah ini dibeli oleh ayah dari seorang teman, yang katanya, merupakan tanah warisan yang belum mempunyai surat.


Dan jika aku menjual rumah ini untuk biaya operasi Ibu, lalu kami akan tingal dimana?
Sungguh aku telah kehabisan cara untuk bisa mendapatkan uang dengan cepat. Pikiranku semakin kacau. Aku tidak punya tempat mengadu saat ini. Ayah dan Ibu tidak punya keluarga lain, mereka sama-sama merantau ke kota ini. Dan setahuku, Ayah atau Ibu sudah tidak punya saudara lagi di kampung.

****

Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate