Ketika sang Mentari Terbenam di Ufuk (part 2)

"saya mau ngomong sesuatu sama kamu, Nic.." ucap Arini perlahan, pada suatu hari. Seperti biasa mereka pulang bareng dengan menaiki mobil mewah milik Nico.
"saya juga mau ngomong sesuatu sama kamu, Rin." balas Nico cepat. "tapi bukan di sini.." lanjutnya.
Tak lama kemudian, Nico pun membelokkan mobilnya menuju arah sebuah kafe yang berada tak jauh dari jalan yang biasa mereka lewati.
"kita ngobrolnya di dalam saja ya, Rin..." Nico berujar lagi, sambil tangannya ia arahkan ke dalam kafe.
Dengan sedikit enggan, Arini pun mengikuti langkah Nico menuju kafe tersebut. Arini merasa tidak enak, namun ia harus berbicara dengan Nico tentang Keyla.

"kamu mau ngomong apa, Rin?" tanya Nico setelah mereka mengambil tempat duduk dan memesan dua minuman.
"kamu ngomong duluan aja, Nic..." balas Arini dengan nada lemah. Sebenarnya ia tidak benar-benar yakin tentang apa yang ingin ia sampaikan kepada Nico.
Nico mengangguk setuju.
"saya... saya sebenarnya suka sama kamu, Rin. Bahkan sudah sejak lama..." ucap Nico dengan mimik serius, matanya menghujam ke arah Arini yang tiba-tiba tertunduk mendengarkannya.
Arini semakin terpaku. Ia tidak pernah menyangka jika Nico akan mengucapkan hal tersebut. Semua itu sungguh di luar dugaannya.

Arini memberanikan diri menatap kembali mata Nico. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Namun dari tatapan mata itu, ia melihat jika Nico bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Arini kembali tertunduk, tidak berani menatap lebih lama mata sendu milik Nico.
"kenapa saya?" tanya Arini akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.
"karena kamu beda, Rin." jawab Nico tanpa melepaskan tatapannya. "kamu tidak seperti cewek-cewek lainnya yang ada di sekolah kita, yang kebanyakan suka pamer, sok cantik dan juga suka tebar pesona. Kamu cantik dengan caramu sendiri, Rin. Kamu cewek sederhana dan juga pintar. Hal itu yang membuat saya jatuh cinta sama kamu..." lanjutnya dengan penuh perasaan.

Arini makin tertunduk mendengar semua itu. Ia memang menyukai sosok Nico, namun untuk berharap bisa bersama Nico, adalah sesuatu yang mustahil bagi Arini. Dan sekarang, Nico dengan terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Hal itu justru membuat Arini merasa semakin serba salah.
"saya hanya cewek miskin, Nic. Saya hanya anak seorang pembantu..." suara Arini perlahan.
"saya gak peduli hal itu, Rin. Sebenarnya kita sama. Apa yang saya punyai saat ini, bukanlah seutuhnya milik saya. Itu semua adalah milik orangtua saya. Kita saat ini sama-sama tidak punya apa-apa." balas Nico ringan, "jika kamu bersedia, kita akan berjuang bersama menggapai apa yang menjadi impian kita..." lanjut Nico lagi, yang membuat Arini kian tersentuh.

Sungguh ia tak pernah menyangka, jika seorang Nico punya jalan pikiran yang sebijak itu. Hal itu justru membuat rasa kagum Arini semakin besar kepada Nico.
Tapi...
"maaf, Nic. Saya gak bisa jawab sekarang...." hanya itu yang keluar dari bibir Arini yang kering.
"yah, saya tahu. Kamu gak harus jawab sekarang, kok. Saya hanya ingin kamu tahu, kalau saya mencintai kamu..." balas Nico.

*******

"waktu sebulanmu sudah habis, Rin!" suara Keyla kasar, "jangankan mendekat, justru Nico semakin jauh dari saya! Kamu harus terima akibatnya sekarang!" lanjut Keyla, suaranya semakin meninggi.
"maafkan saya, Key. Saya...."
"cukup! Kamu gak usah ngomong lagi!" potong Keyla cepat, yang membuat Arini tertunduk.
"sekarang kamu ikut kami!" ucap Keyla lagi, kali ini ia menyuruh ketiga temannya yang lewat untuk menarik tangan Arini dengan kasar.
"kalian mau bawa saya kemana?" tanya Arini dengan nada menghiba.
"udah diam! Kamu ikut saja!" salah seorang yang memegang tangan kanan Arini mengeluarkan suara.
Dengan langkah terseret, mereka berhasil membawa Arini sampai ke toilet sekolah. Sesampai di dalam toilet, Keyla dan ketiga temannya mengunci pintu dari dalam.
"maafkan saya, Key..." suara Arini masih menghiba.

Tapi Keyla tidak memperdulikan ucapan Arini. Ia meminta ketiga temannya untuk memegang kembali kedua tangan Arini. Dengan tenaga lemas Arini mencoba meronta. Namun semuanya sia-sia. Keyla mengambil air dengan sebuah gayung, lalu menyiramkan air tersebut ke tubuh Arini. Keyla melakukan hal itu berkali-kali, hingga seluruh tubuh dan pakaian Arini basah kuyub. Arini terus saja meronta, namun pegangan di kedua tangannya sangat kuat. Arini hanya bisa menangis tersedu.
"ini pelajaran pertama buat kamu!" ucap Keyla, "setiap kali Nico mengabaikan saya, maka setiap kali pula kamu akan mendapatkan hukuman yang sama atau bahkan lebih parah lagi.." lanjutnya.
Setelah berkata demikian, Keyla dan ketiga temannya melangkah keluar meninggalkan Arini sendirian. Arini menangis tersedu-tersedu sendirian di dalam toilet. Ia menangisi nasibnya. Ia tidak bisa melawan Keyla dan teman-temannya. Ia tahu siapa Keyla. Seorang gadis manja anak seorang juragan kaya yang sangat berpengaruh. Percuma saja Arini melawan. Ia hanya bisa pasrah. Keyla akan melakukan apa saja untuk membuat Arini menderita.

Dengan langkah gontai, Arini keluar dari toilet. Ia menyelusuri tembok sekolah menuju pintu keluar. Ia hanya ingin pulang, tubuhnya terasa dingin karena basah kuyub.
"kamu kenapa, Rin?" sebuah suara menghentikan langkah Arini tiba-tiba.
Arini menoleh kearah suara itu. Nico sudah berdiri di dekatnya.
"gak... gak kenapa-kenapa." suaranya terbata, sekuat mungkin ia menahan air matanya. "saya terpeleset di toilet..." lanjutnya.
"terpeleset di toilet? Kamu jangan bohong, Rin! Kalau cuma kepeleset, gak mungkin kamu basah kuyub seperti ini...." ucap Nico tak percaya.
"saya gak bohong, Nico! Saya kepeleset, kemudian embernya tumpah..." jelas Arini berusaha meyakinkan Nico.
"saya gak percaya, Rin! Siapa yang melakukan ini sama kamu?" tanya Nico sambil memegang pundak Arini.

Arini menepis tangan Nico, "saya gak apa-apa, Nic..." ucapnya, kemudian dengan tergesa melangkah meninggalkan Nico.
"Arini! Tunggu!" Nico sedikit berteriak, mengejar langkah Arini yang sudah berada di luar pagar.
Tapi Arini semakin melebarkan langkahnya, air matanya tumpah kembali. Sebuah angkot melintas di dekatnya, segera Arini menghentikannya, kemudian dengan terburu ia menaiki angkot tersebut.
Nico tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hanya berdiri terpaku melihat kepergian Arini.

********

"Keyla!" sebuah suara memaku langkah Keyla yang hendak menuju kelasnya.
"eh..Nico..." jawab Keyla dengan suara manja. "ada apa?" lanjut Keyla menatap Nico dengan senyum centilnya.
"kamu apa kan Arini?" tanya Nico dengan nada kasar.
"Arini? Kenapa Arini?" Keyla balik nanya masih dengan nada manjanya.
"kamu gak usah pura-pura gak tahu, Key. Arini sakit..."
"oh, Arini sakit? terus apa hubungannya dengan saya?" Keyla masih dengan suara manjanya.
"kemarin saya lihat Arini pulang dengan keadaan basah kuyub. Pasti kamu kan, yang mengerjai Arini?" Nico menatap tajam kearah Keyla.

Kali ini Keyla tertunduk.
"saya gak tahu, Nic.." ia berkata sedikit sengit. "lagian sebegitu pedulinya kamu sama Arini.."
"Arini gadis baik. Ia pantas mendapatkan perlakuan yang baik pula..." balas Nico tak kalah sengitnya.
"atau karena kamu sebenarnya mencintai dia..?"
"ya. Saya memang mencintai Arini! Kenapa? Kamu ada masalah?"
Keyla terdiam lagi. Ia tidak percaya jika Nico akan berkata demikian.

"kamu bodoh, Nico!" ujar Keyla akhirnya, "kenapa kamu justru suka sama Arini? Apa sih hebatnya Arini? Sampai kamu mengabaikan cewek seperti saya?" suara Keyla makin lantang. Beberapa pasang mata menatap mereka dari kejauhan.
"kamu mau tahu kenapa?" Nico ikut mengeraskan suara, "karena Arini tidak suka pamer kayak kamu. Arini tak pernah sok cantik kayak kamu!" setelah berkata demikian, Nico membalikkan badan dan segera melangkah meninggalkan Keyla.
"kamu bodoh, Nico! Arini tidak pernah menyukai kamu! Ia mendekati kamu, karena saya yang memintanya. Saya yang meminta Arini untuk mendekati kamu, agar kamu jatuh cinta pada Arini. Dan saat kamu jatuh cinta padanya, ia akan mencampakkan kamu, Nico..!!" Keyla berkata dengan sedikit berteriak.

Nico menghentikan langkahnya.
"kamu bohong, Keyla. Saya tidak percaya sama ucapanmu!"
"kamu boleh gak percaya sama saya! Tapi kamu bisa tanya langsung sama Arini..." balas Keyla, ia kemudian melangkah pergi.
Nico masih terpaku. Ia mencoba untuk tidak percaya dengan yang Keyla ucapkan barusan. Perlahan ia pun melangkah menuju kelasnya, tak pedulikan beberapa pasang mata menatapnya penuh tanya.

*****

Bersambung ...

Ketika sang Mentari Terbenam di Ufuk....

Nico Ardiansyah. Siapa yang tidak kenal dengan cowok keren tersebut. Seluruh sekolah juga tahu siapa dia. Seorang pemain basket terbaik di SMA Hasanah. Seorang cowok tajir yang memiliki tampang dan bentuk tubuh bak aktor laga. Semua siswa di SMA Hasanah mengenalinya, terutama para cewek-cewek.
Sosok Nico yang atletis memang menjadi idaman para kaum hawa di sekolahnya. Selain pintar, ia juga terkenal dengan sosok yang ramah dan humoris.
"pokoknya, saya harus bisa mendapatkan Nico..." celetuk salah seorang cewek cantik, yang bernama lengkap Keyla Putri, kepada temannya Arini.
"semua cewek di sekolah ini juga pengen, Key..." balas Arini dengan suara datar.
"tapi saya yang lebih pantas buat dampingin cowok sekeren Nico..." balas Keyla lagi dengan nada sengitnya.

Arini hanya terdiam. Harus ia akui, kalau Keyla, temannya itu memang terkenal cantik. Keyla memang termasuk salah satu cewek favorit di sekolah. Namun selama ini, usaha Keyla untuk mendekati Nico selalu sia-sia. Nico tidak pernah menanggapi kehadiran Keyla. Padahal begitu banyak cowok-cowok yang mengejar Keyla, tapi bagi Nico, Keyla belum mampu membuatnya tertarik.
Arini juga tahu, jika selama ini Nico memang belum pernah punya pacar. Setidaknya itu yang Arini ketahui tentang Nico. Sejujurnya Arini juga sangat mengagumi sosok Nico, namun ia hanya bisa mengaguminya dalam diam.
Jika cewek secantik dan setenar Keyla saja, Nico abaikan, bagaimana mungkin Nico bisa tertarik pada cewek sederhana seperti diriku. Arini membathin lirih.
Karena itulah Arini tidak pernah sedikitpun menaruh harapan kepada Nico. Apalagi Arini sendiri tahu, betapa temannya, Keyla, tergila-gila pada Nico.

Sebenarnya Arini dan Nico sudah lama saling kenal. Kebetulan sekali Arini tinggal satu kompleks dengan Nico. Hanya bedanya, jika Nico tinggal di rumah gedung yang mewah milik orangtuanya. Sementara Arini tinggal di rumah seorang pengusaha kaya, yang merupakan tempat Ibunya bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga.
Arini memang tinggal di rumah mewah, namun disana ia hanyalah anak seorang pembantu. Sejak kecil Arini sudah tinggal disana bersama Ibunya. Arini tidak pernah tahu siapa ayahnya. Yang Arini tahu, Ibunya sudah menjadi pembantu sejak lama di rumah tersebut.
Rumah tersebut milik seorang pengusaha kaya, yang bernama Baskoro. Pak Baskoro mempunyai seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Kehidupan rumah tangga beliau boleh dibilang cukup harmonis. Istrinya yang bernama Elena, memiliki paras yang cantik.
Ibu Arini bekerja disana, sejak pak Baskoro masih lajang. Rumah tersebut merupakan warisan dari kedua orangtua pak Baskoro yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Karena tinggal di kompleks yang sama dan juga rumah mereka berdekatan, Arini dan Nico sudah sering bertemu, tentu saja tanpa sengaja. Bahkan Nico juga sering mengajak Arini nebeng dengan mobilnya untuk pulang atau berangkat sekolah bersama. Tapi Arini selalu menolak, ia lebih memilih untuk naik angkot atau ojek.
"kamu kenapa sih, selalu nolak setiap kali aku ajak pulang bareng?" tanya Nico suatu hari.
Arini terdiam sesaat. Ia bukannya enggan pulang atau berangkat sekolah bareng Nico. Hanya saja Arini merasa sangat tidak pantas untuk masuk ke dalam mobil mewah milik Nico. Dan lagi pula, seluruh sekolah juga tahu siapa Arini, hanya anak seorang pembantu. Apa tanggapan dari teman-temannya, jika mereka tahu ia dan Nico jalan bareng. Terutama sekali Arini sangat menghargai Keyla, temannya.

Selama ini Keyla cukup baik padanya. Keyla tidak pernah memandangnya rendah, meski ia tahu siapa Arini sebenarnya. Keyla dengan terbuka menerima Arini menjadi salah seorang temannya. Berteman dengan Keyla, justru membuat Arini tidak terlalu direndahkan oleh teman-temannya yang lain.
Meski Arini kadang merasa, kedekatan Keyla dengannya hanya karena Arini termasuk anak yang pintar di sekolah. Arini selalu menjadi juara kelas, hingga ia bahkan mendapatkan beasiswa.
Namun terlepas dari itu semua, Arini merasa kalau Keyla juga gadis yang baik. Keyla selalu mempercayai Arini untuk jadi tempat curhatnya, dan Keyla juga selalu mendengar pendapat Arini.
"kayaknya kamu dan Nico sudah kenal dekat, Rin..." ucap Keyla suatu hari.
"gak, kok. Hanya kebetulan saja kami tinggal satu kompleks..." balas Arini ringan.
"justru itu, Rin. Kamu jadi punya kesempatan untuk bisa dekat dengan Nico..." Keyla berucap dengan sedikit tersenyum.
"terus kalau saya punya kesempatan untuk bisa dekat dengan Nico, kenapa?" tanya Arini.
"kamu bantu saya ya, Rin..." suara Keyla terdengar memelas.
"bantu apa?"
"bantu saya untuk bisa jadian sama Nico, yaaa..."
"gimana caranya?"

"kamu dekati Nico lah, Rin. Selanjutnya kamu tahu lah gimana caranya. Intinya kamu harus bisa buat Nico tertarik sama saya..."
"saya gak bisa, Key." jawab Arini tegas.
"ayolah, Rin. Masa' kamu gak mau bantu teman kamu sendiri.."
Arini masih berusaha menolak permintaan Keyla yang menurutnya sedikit tidak masuk akal. Namun Keyla dengan bersusah payah meminta Arini agar mau membantunya. Keyla bahkan dengan sedikit memohon agar Keyla mau memenuhi permintaannya.
"baiklah, tapi saya gak bisa janji apa-apa..." ucap Arini akhirnya luluh.
Arini sebenarnya enggan, bukan karena ia tidak mau membantu Keyla, tapi baginya sangat mustahil bisa dekat dengan Nico. Bagaimana mungkin ia yang hanya cewek miskin bisa dekat dengan Nico yang kaya raya dan juga terkenal. Tapi melihat Keyla yang bersungguh-sungguh meminta bantuannya, Arini pun dengan sangat terpaksa memenuhi keinginan temannya tersebut.

*************

"nah, gitu dong. Saya kan jadi ada teman buat ngobrol sepanjang perjalanan.." ucap Nico dengan wajah sumringah, menatap Arini yang duduk di sampingnya.
Arini memang sengaja menerima tawaran Nico untuk pulang bareng hari itu, ia hanya bermaksud untuk membantu Keyla. Meski dengan perasaan yang kurang nyaman.
"kenapa harus saya, sih? Kan teman kamu banyak." ucap Arini dengan suara sedikit bergetar, biar bagaimana pun ini adalah kali pertamanya ia satu mobil berduaan dengan Nico.
"kenapa ya?" balas Nico ringan, "pertama karena rumah kita berdekatan dan satu tujuan. Kedua karena saya yakin kalau ngobrol sama kamu pasti asyik dan nyambung.."
"emangnya dengan teman kamu yang lain gak nyambung?"
"nyambung, sih. Tapi dengan versi yang berbeda.."
"maksudnya?" Arini mengerutkan kening.

"kalau dengan teman-temanku yang lain, paling obrolannya hanya sekitar pesta, holiday dan obrolan tak penting lainnya. Kalau sama kamu kan bisa ngobrol tentang pelajaran dan hal penting lainnya. Kan kamu pintar..."
"kamu juga pintar.."
"tapi kan lebih pintaran kamu...."
Arini hanya tersenyum tipis mendengar sanjungan tersebut.

Sejak saat itu, mereka pun menjadi dekat. Hampir setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Mereka bahkan jadi sering belajar dan mengerjakan tugas sekolah bersama. Di sekolahan pun mereka terlihat akrab. Hal itu tentu saja mengundang rasa iri dari kalangan kaum cewek di sekolah. Berbagai berita miring tentang hubungan mereka pun mulai beredar. Namun sepertinya mereka, terutama Nico, tidak terlalu menanggapi segala omongan teman-teman sekolahnya. Mereka justru semakin sering terlihat bersama.
"jadi gimana?" tanya Keyla suatu hari.
"gimana apanya?" tanya Arini tak mengerti.
"kamu udah cerita belum soal saya sama Nico?" tanya Keyla lagi.
"oh.. itu. Udah kok..."
"jadi gimana tanggapan Nico?"

"Nico itu orangnya sedikit keras dan juga terlalu dingin, Key. Kamu harus sabar ya. Aku pasti akan bantu kamu, kok..." balas Arini sekenanya. Ia terpaksa berbohong. Padahal selama hampir dua bulan ia dan Nico jalan bareng, tak pernah satu kata pun mereka membicarakan tentang Keyla. Sebenarnya hati kecil Arini cukup merasa bersalah pada Keyla. Namun ia benar-benar tidak tahu, bagaimana caranya ia memulai bercerita tentang Keyla pada Nico. Selama ini obrolan mereka hanya seputar pelajaran dan tugas-tugas di sekolah. Arini masih belum berani bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi pada Nico. Dan Nico sendiri pun tidak pernah berbicara tentang hal-hal yang sifatnya pribadi.
Mereka memang sudah dekat, namun hubungan mereka masih sangat terbatas. Untuk itu Arini hanya bisa meminta Keyla agar sabar.

*********

"kamu tahu Keyla kan, Nic.?" Arini akhirnya memberanikan diri untuk mempertanyakan hal tersebut pada Nico.
"Keyla teman kamu itu?" tanya Nico, ia melirik sekilas kearah Arini, sebelum akhirnya ia fokus kembali ke jalanan yang ada di hadapannya.
"iya. Kamu kenal, kan?"
"iya. Kenal. Kenapa?"
"sepertinya ia suka sama kamu, Nic..."
"iya. Saya juga tahu..." ucap Nico yang membuat Arini membeliakkan mata.
"kamu tahu?" tanya Arini penasaran.
"iya. Saya tahu. Keyla, Patricia, Sharine. Mereka kan memang suka tebar pesona di sekolah."

Untuk sesaat Arini terdiam. Harus ia akui, cewek-cewek yang disebutkan Nico barusan memang terkenal cantik dan suka pamer serta juga suka tebar pesona, menurut Nico.
"tapi kamu emang gak ada rasa sama dia?"
"siapa? Keyla? ya gak lah. Saya gak suka cewek yang suka tebar pesona, sok cantik dan kecentilan seperti mereka..."
"tapi Keyla orangnya baik, Nic."
"baik kalau ada maunya, iya." suara Nico terdengar ketus. "lagian kamu kenapa sih, mau aja berteman sama Keyla? Dia itu kan cuma mau memamfaatin kamu aja, karena kamu pintar. Ia gak susah-susah lagi bikin PR, menyelesaikan tugas sekolah. Kasih ia contekan..."

Arini terdiam lagi. Kali ini ia menatap ke luar jendela mobil. Tidak bisa ia pungkuri, jika yang Nico ucapkan barusan, adalah benar adanya. Selama ini Keyla dekat dengannya memang untuk semua yang disebutkan Nico barusan. Tapi Arini tidak punya pilihan lain, jika ia menolak berteman dengan Keyla, maka sudah jelas ia akan menjadi korban bully-an setiap hari, bagi Keyla dan teman-temannya.
Selama ini teman-teman sekelasnya tidak berani membully Arini, karena mereka tahu jika Arini berteman dengan Keyla. Jadi sebenarnya Arini juga memanfaatkan Keyla, untuk sekedar mendapatkan rasa hormat. Meski ia harus kehilangan harga dirinya. Arini tidak bisa berbuat banyak, dengan kondisi kehidupannya yang demikian. Tak banyak pilihan yang ia punya dalam hidup ini.

********

"udah tiga bulan, Rin. Masa' gak ada kabar baik sama sekali. Yang ada malah Nico makin jauh dari saya. Sebenarnya kamu niat bantu gak sih?" suara Keyla terdengar ketus.
Arini tertunduk. Ia tak berani menatap mata Keyla yang menatapnya tajam.
"maaf, Key. Saya udah usaha, kok. Tapi kamu kan tahu sendiri, Nico orangnya gimana. Ia keras kepala." jawab Arini masih tertunduk.
"awas kamu ya, Rin. Kalau sampai berita yang tersebar itu benar. Saya gak bakal kasih kamu ampun.." ucapan Keyla tajam.
"berita? maksud kamu berita apa, Key?" tanya Arini, suaranya bergetar.
"kamu gak usah belagak gak tahu deh, Rin. Seluruh sekolah juga udah tahu, kalau kamu digosipkan udah pacaran sama Nico..."
"gak kok, Key. Saya gak mungkin pacaran sama Nico. Gak mungkin juga Nico mau sama saya.."
"oke. Sampai saat ini saya masih percaya. Tapi jika sebulan lagi kamu belum juga bisa membuat saya dekat sama Nico, kamu akan tahu sendiri akibatnya..." Keyla berujar lagi dengan nada mengancam.

Arini memejamkan mata. Hatinya merintih. Bagaimana mungkin ia bisa membuat Nico tertarik kepada Keyla. Nico sendiri sudah jelas-jelas mengatakan kalau ia tidak suka cewek seperti Keyla.
Namun Arini harus mencari cara agar ia bisa membuat Nico suka dengan Keyla. Karena kalau tidak, ia jelas akan mendapat siksaan dari Keyla dan teman-temannya.
Tapi apa yang harus Arini lakukan? Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

*****

Bersambung ....

Dilema dua cinta (part 2)

Cukup lama Andri menatap gadis yang duduk di hadapannya. Ia setengah tak percaya, jika ia akan bertemu kembali dengan Tania, setelah hampir dua tahun mereka berpisah. Mereka bertemu di sebuah kafe, atas permintaan Tania.
Pertemuan itu telah membangkitkan kenangan-kenangan lama yang dengan susah payah telah Andri kubur di dasar hatinya.
Awalnya Andri ingin menolak ajakan Tania untuk bertemu dengannya, karena Andri merasa sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Tania. Namun permintaan Tania yang sedikit memohon, membuat Andri tidak kuasa untuk menolak.
“apa kabar?” Tanya Tania mengawali pembicaraan mereka.
“baik..” jawab Andri datar.
“maafkan saya ya, Ndri…” ucap Tania lagi.
“maaf? Maaf untuk apa?” Tanya Andri dengan kening berkerut.

Tania menarik napas berat. Kemudian berujar dengan pelan,
“maaf, karena saya harus pergi waktu itu…”
“sudahlah, Tania. Semua sudah berlalu. Saya sudah melupakan semuanya…” balas Andri ringan.
“kamu ngapain kembali lagi kesini?” Tanya Andri melanjutkan.
“saya kangen…” Tania membalas dengan menatap lembut ke mata Andri.
Andri merasa jengah, ia memalingkan muka.
“bukannya kamu sudah menemukan kebahagiaan kamu disana?” suara Andri sedikit sinis.
“yah… seharusnya…” desah Tania lemah.
“maksud kamu?” Andri penasaran.


“dulu saya pikir, dengan mewujudkan semua impian saya, saya akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dengan menjadi model profesional seperti cita-cita saya, bisa membuat saya benar-benar bahagia.” Tania menghela napas, “tapi ternyata saya salah. Itu semua tak benar-benar membuat saya bahagia. Berbulan-bulan saya mencoba menikmati hidup dalam kebahagiaan semu. Ternyata kebahagiaan saya yang sesungguhnya ada disini. Kebahagiaan saya ada bersama kamu, Ndri.” Tania meneguk minumannya.
“saya menyesal telah meninggalkan kamu waktu itu, Ndri. Namun saya terlambat menyadarinya. Saya sudah terlanjur menyetujui kontrak kerja saya selama dua tahun. Dan baru sekarang saya punya waktu untuk kembali kesini.” Suara Tania terdengar serak. 


“kenapa kamu tidak mencoba menghubungi saya?” Andri bertanya dengan kembali menatap mata gadis itu.
“maaf, Ndri. Saya sengaja gak cerita waktu itu. Sebenarnya dalam kontrak kerja saya, ada sebuah point yang mengharuskan saya untuk tidak boleh mempunyai pasangan. Karena itu, saya tidak bisa menghubungimu dengan alasan apa pun. Jika mereka tahu, kontrak saya bisa dibatalkan. Lagi pula selama saya disana, manajer saya sudah mengendalikan semua panggilan di handphone saya.” Kali ini Tania terunduk.

“saya tahu ini tidak masuk akal bagi kamu, Ndri. Tapi begitulah kenyataannya. Saya tidak bisa menjadi diri saya sendiri, selama kontrak kerja tersebut. Dan hal itu semakin membuat saya sadar, bahwa dunia model bukanlah dunia yang saya butuhkan. Saya merasa terikat, tidak bebas. Karena itu, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti dan kembali lagi kesini.” Tania meneguk minumannya lagi.
“saya tahu, bagi kamu, mungkin semuanya sudah terlambat. Mungkin tidak ada lagi ruang dihatimu, untuk kembali menerima kehadiranku. Tapi jika kamu bersedia memberikan saya satu kesempatan lagi, saya akan memperbaiki semua kesalahan saya di masa lalu. Saya akan selalu ada disini untukmu, Ndri…”
Tania melanjutkan ucapannya, yang membuat Andri terpaku cukup lama. Andri berusaha memahami semua cerita Tania barusan. Baginya, masuk akal atau tidak, kembalinya Tania telah mampu mengais-ngais kenangan yang terkubur di lubuk hatinya.

Biar bagaimana pun, Tania pernah mengisi hatinya dengan cerita cinta yang begitu indah.
Andri semakin masygul. Hatinya menjadi bimbang seketika. Entah pilihan apa yang harus ia ambil. Haruskah ia memberikan Tania kesempatan kedua?
Atau justru ia akan memulai sesuatu yang baru bersama Delia?
Andri tiba-tiba meragu.

********

“kamu kenapa lagi, Ndri?” Tanya Irfan, yang melihat Andri termenung sendirian di kantin kampus. “baru sebulan yang lalu kamu senyum-senyum sendiri, sekarang kok murung lagi..” lanjutnya.
Andri menatap Irfan sesaat, ia kemudian berujar pelan.
“Tania, Fan..”
“Tania? Kenapa Tania?” kening Irfan berkerut.
“Tania balik lagi kesini, Fan.” Andri menghela napas.
“terus kenapa, kalau ia balik?”
“Tania pengen balikan lagi sama saya, Fan…” suara Andri terdengar lemah.
“oh..” Irfan membulatkan bibir. “kamu masih mencintai Tania?” Tanya Irfan kemudian.
“saat-saat seperti ini, saya hampir tidak bisa lagi mendefenisikan arti cinta yang sesungguhnya dalam hidup saya, Fan. Saya bingung…” Andri menghembuskan napas berat, ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.

“dulu, saya pernah sangat mencintai Tania. Saya berharap bisa bersamanya selamanya. Berharap bisa tetap bersama-sama hingga tua. Namun semua harapan itu hancur, ketika Tania memutuskan untuk pergi. Rasanya aku kehilangan pegangan. Berbulan-bulan aku terpuruk karena kehilangan Tania. Hingga akhirnya Delia hadir dalam hidup saya. Delia mampu membuat saya bangkit, menyembuhkan luka yang Tania goreskan di hatiku. Delia hadir seakan mengembalikan semua harapanku. Dan sejujurnya aku pun telah jatuh cinta pada Delia…” Andri meneguk minuman yang baru saja mereka pesan. Pikirannya memang sedang gundah.
“saat harapanku dengan Delia mulai tumbuh, kini Talia datang kembali dengan segala penyesalannya. Saya bingung, Fan. Saya tidak bisa mengartikan semua perasaanku saat ini. Disatu sisi aku merasa bahagia, bisa bertemu Tania kembali. Namun di sisi lain, saya merasa kalau saya masih belum bisa memaafkan Tania seutuhnya.”

“lalu bagaimana dengan Delia?” Tanya Irfan akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.
“itulah yang membuat saya semakin bingung, Fan. Saya takut perasaan saya sama Delia bukanlah cinta, tapi hanya sebuah pelarian. Meski tidak bisa saya pungkiri, ada saat dimana saya begitu merindukannya. Ada saat dimana saya merasa begitu membutuhkannya.”
“kamu sudah ngomong ke Delia, kalau kamu mencintainya?” Tanya Irfan lagi menyela.
Andri spontan menggeleng, “belum…” desahnya pelan.
“sebaiknya kamu ngomong dulu ke Delia, Ndri. Biar kamu yakin, bahwa apa yang kamu rasakan ke Delia itu adalah cinta, atau hanya sekedar pelarian…” saran Irfan.
“yah, saya pun terpikir demikian. Namun jika memang saya benar-benar mencintai Delia. Lalu bagaimana dengan Talia?” Tanya Andri.
“saya yakin, Talia sudah cukup dewasa, untuk menerima apa pun keputusanmu, Ndri. Dan lagi pula, Talia harusnya tahu, kalau ia telah membuat kamu kecewa…”

*********

“ada satu rahasia yang ingin saya ceritakan sama kamu, Ndri. Tapi kamu jangan marah, ya…” ucap Delia lembut. Mereka bertemu pada suatu sore di tepian pantai.
Andri menatap gadis itu beberapa saat dengan dahi berkerut.
“rahasia? Rahasia apa?” tanyanya.
“sebenarnya saya dan Tania saudara sepupu, Ndri.” Jawaban datar Delia membuat Andri membelalakkan mata. Dengan rasa tak percaya Andri menatap gadis itu.
“sebenarnya Tania yang meminta saya untuk mendekati kamu…” Delia terus berucap tanpa pedulikan reaski Andri barusan.
“kenapa?” Tanya Andri ditengah ketidakpercayaannya.
“ada beberapa alasan sih, Ndri. Pertama, karena Tania tidak ingin melihat kamu terpuruk dan merasa putus asa. Dia ingin saya membangkitkan lagi semangat kamu.” Delia menghentikan kalimatnya, ia melempar sebongkah kerikil kecil ke arah laut yang sedang beriak.
“kedua, karena Tania tidak ingin kamu jatuh ke tangan wanita yang salah. Dia ingin saya menjaga kamu, hingga ia kembali lagi kesini…” suara Delia terdengar semakin lemah.

Untuk kesekian kalinya Andri merasa terperangah mendengar semua cerita Delia barusan. Ia menarik napas panjang, kemudian menghempaskannya perlahan. Rasanya ia tidak ingin mempercayai semua cerita tersebut, namun Delia terlihat sangat serius.
“awalnya saya mendekati kamu, hanya sekedar memenuhi keinginan Talia. Sekedar membuatnya tenang. Namun semakin saya mengenal kamu, saya justru merasa terjebak di dalamnya. Karena semakin hari saya semakin mengagumimu. Dan tanpa saya sadari, saya akhirnya benar-benar jatuh cinta sama kamu, Ndri.” Delia menghela napas,
“semakin saya mengenali kamu, semakin besar harapan saya untuk bisa hidup bersama kamu, Ndri. Namun saat ini, Talia telah kembali. Ia terang-terangan sudah bercerita padaku, akan berusaha untuk bisa bersama kamu lagi. Saya merasa saat ini semua harapanku seakan sirna. Karena saya cukup tahu, jika sebenarnya saya hadir pada saat yang tidak tepat…” lanjut Delia dengan suara mulai serak.
Kali ini Andri cukup tertegun. Sungguh semua itu di luar dugaannya. Semua cerita itu, justru membuat Andri semakin bingung dan kian ragu.
Tapi setidaknya sekarang Andri tahu, kalau Delia juga mencintainya. Dan entah mengapa hal itu, membuat hati Andri menjadi sedikit tenang.

*****

“maaf, Talia. Saya gak bisa…” ucap Andri akhirnya setelah cukup lama ia terdiam, setelah dengan susah payah ia mengumpulkan kekuatannya untuk bisa menjawab pertanyaan Talia barusan.
Talia mengernyitkan kening, “kenapa?” tanyanya.
“karena sesuatu yang harus diulang kembali, rasanya tidak akan pernah lagi sama. Saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Bagi saya, cerita tentang kita sudah berakhir, semenjak kamu memutuskan untuk pergi, terlepas dari apa pun alasanmu.” Andri menjawab dengan tegas.
Mata Talia tiba-tiba berkaca mendengar semua itu. Harapannya untuk kembali membangun mimpi baru bersama Andri, kini telah hancur.
Talia tahu, ia telah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. Namun ia hanya berharap Andri telah memaafkannya dan bisa memberinya kesempatan kedua.

“saya sudah memaafkan kamu, Talia. Tapi untuk kembali lagi seperti dulu, rasanya hal itu sangat tidak mungkin…” Andri berujar lagi, seakan mencoba membaca apa yang Talia pikirkan.
Namun kalimat itu, tidak cukup membuat Talia bisa membendung air matanya. Talia akhirnya hanya bisa terisak. Tapi dengan sekuat tenaga ia menahan diri. Ia usap tetesan air mata di pipinya, lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Andri sendirian.
Bagi Talia, tidak ada harapan lagi untuk bisa memiliki Andri kembali. Semua harapannya sia-sia. Mungkin ini adalah hukuman atas apa yang telah ia lakukan pada Andri dulu. Talia mencoba menerimanya dengan tabah.

***********

“kamu yakin, Ndri?” Tanya Delia, matanya menatap tajam.
Andri mengangguk beberapa kali, “sangat yakin…” ucapnya mantap.
Delia mengembangkan senyumnya. Nyanyian indah menghiasi hatinya sore itu.
“jadi gimana?” Tanya Andri, melihat Delia yang hanya tersenyum.
“gimana apanya?” Delia balik bertanya, berlagak bodoh.
“kamu mau gak jadi pacar aku selamanya…?” Tanya Andri lagi dengan suara sedikit keras.
“kamu serius?”
“saya serius, Delia. Saya sangat mencintai kamu. Maukah kamu menjadi pacarku selamanya?” Andri mempertegas kalimatnya.
Tiba-tiba Delia menggeleng dengan senyumnya yang masih mengembang.
“kenapa?” Tanya Andri penasaran.

“aku gak ingin menjadi pacar kamu selamanya, Andrian. Aku ingin menjadi istri kamu selamanya….” Teriak Delia tiba-tiba.
Setelah berucap demikian, Delia pun berdiri. Ia lalu berlari-lari kecil menyongsong ombak laut yang berada di depannya.
Melihat hal itu, Andri pun segera bangkit. Ia dengan penuh semangat mengejar Delia.
Mereka berdua pun tertawa bersama, diiringi deburan suara ombak di pinggir pantai sore itu.
Remang-remang senja sudah mulai terlihat, seakan turut merasakan kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh dua insan yang saling jatuh cinta…..

Sekian…

Dilema dua cinta

Untuk kesekian kalinya, Andri menghembuskan napas berat. Hatinya masih belum bisa menerima semua yang baru saja terjadi. Tak pernah terpikir olehnya, jika hubungan cintanya harus berakhir dengan sangat menyakitkan.
Andri memejamkan mata, segala kenangannya melintas kembali. Pikirannya menerawang, mengingat semua kisah cintanya.
Tiga tahun lalu, ia mengenal Tania. Gadis manis yang mampu mengetuk hatinya saat itu. Perkenalan mereka yang berawal dari saling like status di facebook. Perkenalan yang terbilang biasa itu, namun mampu menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka berdua.
Setelah sering bertemu dan saling ngobrol, mereka pun sepakat untuk menjalin hubungan asmara.

Lebih dari dua tahun mereka pacaran. Hubungan mereka sangat indah dan penuh dengan kemesraan. Mereka berdua saling mencintai, saling menyayangi, dan saling mendukung satu sama lain.
Namun hubungan yang indah itu, harus berakhir.
“aku hanya ingin menggapai apa yang sudah menjadi cita-citaku sejak lama…” ucap Tania waktu itu. “karena itu aku harus pergi, Ndri…” lanjutnya.
Andri terdiam beberapa saat.
Tania memang mendapatkan tawaran untuk menjadi model di ibu kota. Karirnya sebagai model memang baru dimulai. Tania menjadi model di kota kecil tempat mereka tinggal dan kuliah. Beberapa bulan Tania terjun ke dunia model, ia mendapat tawaran untuk bisa menjadi model profesional di Jakarta.
“yah, aku tahu. Tapi apa hubungannya semua itu dengan kamu ingin mengakhiri cinta kita..?” Tanya Andri akhirnya.
“karena kita akan terpisahkan oleh jarak, Ndri. Dan sebuah hubungan yang terbentang jarak dan waktu, tidak akan bisa bertahan lama.” Jawab Tania datar.
“aku mencintai kamu, Tania. Tak peduli seberapa pun jauhnya jarak yang akan memisahkan kita, itu tidak akan merubah perasaanku padamu..” Andri berbicara pelan, ia memainkan pasir putih di pantai yang mereka duduki sejak tadi. Hembusan angin sore menerpa tubuhnya. Terasa dingin. Namun hembusan angin itu, tidaklah mampu mendinginkan hatinya.
Sejak rencana kepergian Tania ke Jakarta, dua hari yang lalu, Andri merasa tidak bisa dengan mudah melepaskannya. Hatinya tak rela.

“waktu dan keadaan bisa merubah pendirian seseorang, Ndri. Dan itu tidak bisa dipungkiri.” Jawab Tania, tanpa menoleh sedikitpun kearah Andri yang duduk tak jauh di sampingnya.
“tapi itu tidak akan mengubah perasaanku padamu, Tania…” suara Andri tersedak.
“tapi aku tak ingin hubungan kita akan menghambat karirku, Ndri. Aku hanya ingin fokus dengan karirku saat ini..” kali ini Tania berbicara sambil menatap Andri yang tertunduk lemah.
Andri menelan ludah pahit. Ia sangat mencintai Tania. Namun keinginan Tania untuk pergi dan mengakhiri hubungan mereka, sepertinya memang sudah bulat. Andri tidak bisa berbuat banyak saat ini, selain merelakan semuanya.

*********


Berbulan-bulan setelah kepergian Tania, Andri belum bisa melupakan gadis itu. Pikirannya masih terus dihantui oleh bayangan-bayangan tentang Tania. Hatinya tidak bisa begitu saja merelakan kepergian Tania dari hidupnya. Ia merasa sangat terluka. Meski Andri sudah berusaha untuk belajar melupakan sosok Tania dalam hatinya.
Namun semakin Andri mencoba melupakan Tania, bayangan Tania justru semakin sering melintas di benaknya.
“tapi katanya udah ikhlas, kok masih sering ngelamunin dia..” celetuk Irfan, sahabat Andri, suatu hari.
“siapa juga yang ngelamunin Tania?” tanya Andri sengit.
“udahlah, gak usah berpura-pura gitu. Saya udah hafal watak kamu, Ndri.” Balas Irfan lagi.
Selanjutnya Andri hanya terdiam. Tak ada gunanya juga bagi Andri berbohong pada Irfan. Mereka sahabatan sejak SMA. Irfan tahu persis apa yang Andri rasakan saat ini.

“udahlah, Ndri. Mungkin memang sudah saatnya kamu move on…” ucap Irfan lagi, melihat Andri hanya terdiam. “Tania sudah bahagia dengan kehidupannya sekarang. Kamu harus bisa melupakannya. Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Seperti orang yang hilang semangat hidup…” lanjutnya.
Andri masih terdiam. Semenjak kepergian Tania, kehidupan Andri memang berantakan. Semangatnya memudar. Ia tak merasakan gairah hidupnya lagi.
Berbagai cara telah Andri coba untuk bisa menghapus nama Tania dihatinya. Namun justru semua itu membuat ia terluka semakin dalam.
Sudah berbulan-bulan, bahkan Tania tak pernah memberinya kabar. Tania benar-benar telah melupakannya. Dan itu membuat Andri semakin merasa sakit.
Begitu mudah Tania melupakanku. Bisik hati Andri merintih.

**********

“Delia..” ucap lembut suara gadis yang dengan tersenyum menjabat tangan Andri.
“Andrian…” balas Andri pelan, sambil dengan lembut melepaskan tangannya.
Mereka duduk di sebuah kafe. Setelah dengan susah payah, Irfan mengajak Andri untuk ikut dengannya.
Irfan memang sengaja mengajak Andri dan berniat untuk memperkenalkannya dengan Delia. Ia merasa prihatin melihat sahabatnya yang menghabiskan waktunya hanya dengan bermuram durja. Untuk itu, ia berinisiatif untuk memperkenalkan Andri dengan salah seorang temannya.
Delia masih tersenyum menatap Andri. Namun Andri hanya menundukkan kepala. Ia tak benar-benar berniat untuk mengikuti saran Irfan. Ia datang hanya sekedar menghargai usaha Irfan untuk menghiburnya.

Sekilas Andri menatap ke wajah cantik milik Delia. Jujur, sebagai laki-laki normal, harus Andri akui, kalau Delia memang memiliki wajah yang cantik, dengan senyumnya yang selalu mengembang. Tapi tetap saja, bagi Andri, Tania jauh lebih manis.
Andri dengan sedikit terpaksa akhirnya mengobrol bersama Delia, ketika dengan sengaja, Irfan meninggalkan mereka berdua.
“saya dan Irfan tetanggaan, kami kenal sudah sejak lama.” Jelas Delia dengan suara khasnya.
Andri membulatkan bibir.
“Irfan sudah banyak cerita tentang kamu..” lanjut gadis itu lagi, yang memang dari awal lebih mendominasi pembicaraan.
Sementara Andri sendiri lebih banyak diam dan sekedar mendengarkan saja.
Tidak mudah memang bagi Andri, untuk membuka hatinya kembali. Bahkan hingga saat ini, hatinya masih terasa sakit.
Sejak perkenalan itu, Delia jadi sering menghubungi Andri. Meski sikap Andri padanya cukup dingin. Namun Delia cukup aktif untuk bisa membuat Andri akhirnya sering jalan bareng dengannya.
Delia tidak tahu persis, apa yang sedang dialami oleh Andri sebenarnya, sehingga membuat Andri terlihat begitu dingin. Namun bagi Delia, perkenalannya dengan Andri, cukup membuat ia terkesan.
Andri yang memang mempunyai wajah tampan diatas rata-rata, telah mampu mengetuk hatinya.
Sikap Andri yang lebih terkesan cool, membuat Delia justru semakin penasaran. Hal itulah yang membuat Delia rela berusaha untuk bisa mengenal sosok Andri lebih dekat.
Dan usahanya perlahan pun mulai berhasil. Andri sudah mulai lebih terbuka padanya. Bahkan terkadang Andri sendiri yang mengajak Delia jalan.
Hal itu membuat Delia semakin menyukai Andri. Ternyata setelah kenal lebih dekat, Delia jadi tahu, kalau ternyata Andri seorang yang humoris dan juga sangat sopan.

Andri sendiri merasa kehadiran Delia, bagai air segar, saat hatinya terasa hambar. Perlahan ia mencoba menerima kehadiran Delia dalam hidupnya.
Bagi Andri, Delia gadis yang baik. Selain cantik, gadis itu juga bisa menghibur dan membuat Andri sering tersenyum melihat tingkah Delia yang sedikit lucu namun manja.
Bicara Delia yang ceplas-ceplos, blak-blakan dan apa adanya, membuat Andri merasa menemukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak pernah ia temukan pada sosok Tania sebelumnya.
Delia juga gadis yang cerdas, ia kuliah di salah satu kampus terfavorit di kota tersebut.
Semakin mengenal Delia, Andri merasa semakin mengaguminya.
Perlahan tapi pasti, Andri mulai melupakan Tania. Dalam lamunannya justru sosok Delia yang sering hadir.

“ayo, lagi mikirin apa? Kok senyum-senyum sendiri?” suara Irfan mengagetkan Andri dari lamunannya. “pasti lagi mikirin Delia…” tebak Irfan melanjutkan.
“ah, kamu apaan, sih. Bikin kaget aja…” balas Andri ditengah kekagetannya, tanpa melepaskan senyumannya.
“gitu, dong. Move on! Itu baru namanya sahabat Irfan….” Irfan berbicara lagi, tanpa pedulikan reaksi Andri barusan.
“jadi gimana? Sudah jadian belum?” Tanya Irfan melanjutkan, melihat Andri hanya tersenyum menatapnya.
“belum..” jawab Andri singkat.
“kenapa?” Tanya Irfan, kali ini dengan muka penasarannya.
“yaah….. masih nunggu saat yang tepat aja sih…” Andri menjawab dengan sedikit terbata, karena ia sendiri merasa belum benar-benar siap untuk menjadikan Delia kekasihnya. Meski dari sikap Delia padanya, Andri sendiri yakin, jika Delia memang menyukainya.
Tapi tetap saja, bagi Andri, itu semua terlalu cepat dan tentu saja tidak mudah.

Andri mungkin memang sudah bisa melupakan sosok Tania dari hatinya. Tapi luka yang Tania tinggalkan cukup dalam dan masih begitu membekas. Tidak mudah bagi Andri untuk membangun kembali kepercayaan dalam hatinya, setelah semua yang Tania lakukan padanya. Dia masih butuh waktu untuk bisa meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Delia tidak akan meninggalkannya dengan alasan apapun. Seperti yang Tania lakukan.
Meski sebenarnya Andri tidak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau ia telah jatuh cinta pada Delia. Gadis itu dengan perlahan telah mampu menyembuhkan luka di hatinya. Telah mampu membuat ia bangkit dari keterpurukannya.
Hati Andri begitu terbuka menerima kehadiran Delia yang sederhana.
Tiba-tiba saja, Andri merasa takut kehilangan gadis ramah itu.
 

****

Bersambung ...

Kisah cinta gadis miskin (part 4)

"kak Nur, ada tamu..." teriak Lala dari luar kamar. Aku yang sedang berbaring malas di ranjang, segera bangkit. Kulihat jam di dinding kamar, sudah jam sembilan pagi. Ini hari minggu, adik-adikku memang sedang berada di rumah. Aku juga masuk kerja siang.
"siapa?" tanyaku, setelah berada di depan pintu kamar.
"gak tahu, kak. Orangnya udah nungguin diluar.." balas Lala sambil berlalu ke dapur.
Segera aku melangkah menuju pintu depan. Pintu sudah terbuka, seorang perempuan paroh baya berdiri di depan pintu. Perempuan itu berhijab dengan pakaian gamis yang elegan. Ia tersenyum menatapku.
"cari siapa?" tanyaku dengan kening berkerut.

Perempuan itu hanya tersenyum, sambil melangkah mendekat.
"saya boleh masuk?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku. Ia melangkah masuk tanpa menunggu jawabanku. Ia duduk di kursi tamu reot rumah kami. Dengan sedikit terpaksa aku ikut duduk di hadapannya.
"maaf, anda siapa?" tanyaku lagi. "dan ada perlu apa?" lanjutku. Aku benar-benar tidak mengenal perempuan yang duduk dihadapanku.
"maaf kalau saya datang mendadak..." suara perempuan itu lembut, "saya Delia, mamanya Yudhi.." lanjutnya, yang membuat jantungku berdetak kencang tiba-tiba.
Mama Yudhi? Untuk apa ia kesini? tanyaku membathin.
Sudah hampir sebulan aku tidak melihat Yudhi bekerja. Aku tidak terlalu memikirkannya, karena menurutku, mungkin saja Yudhi sudah kembali ke kehidupannya yang sesungguhnya.
Dia juga tak pernah lagi datang ke rumah, setelah terakhir kali ia datang, saya tidak membukakan pintu untuknya. Waktu itu, ia menunggu diluar sampai berjam-jam, tapi aku tak memperdulikannya. Aku hanya ingin ia pergi dari kehidupanku.
Sekarang mamanya datang kesini. Mau ngapain? pikirku lagi. Apakah ia datang untuk menghinaku dan memintaku agar menjauhi anaknya? Jika memang benar begitu, ia sudah terlambat. Aku sudah terlebih dahulu menjauh dari Yudhi.

"oh.." aku mendesah, mencoba menenangkan diri. "ada apa tante kesini?" tanyaku, suaraku bergetar.
Kulihat tante Delia menarik napas sejenak. Ia menatapku.
"apa kamu mencintai Yudhi?" pertanyaan tante Delia, membuatku menunduk. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Dan lagi pula untuk apa tante Delia mempertanyakan hal itu sekarang?
"tante tidak akan memaksa kamu untuk menjawabnya. Tante tahu, hubungan kalian sedang tidak baik. Yudhi sudah cerita banyak tentang kamu sama tante..." ucapnya lagi.
"kedatangan tante kesini, cuma mau ngasih tahu, kalau dua minggu yang lalu, Yudhi mengalami sebuah kecelakaan yang sangat fatal.." tante Delia menghentikan kalimatnya, kulihat matanya berkaca.
Mendengar hal itu, aku merasa sangat terkejut. Sungguh aku benar-benar tidak tahu. Tapi aku hanya diam, tidak bereaksi apa-apa. Aku juga tidak harus berkata apa saat itu. Meski sebenarnya ada rasa ingin tahu tentang keadaan Yudhi saat ini, apa lagi setelah ia mengalami kecelakaan.
"kondisi Yudhi saat ini, sangat parah. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Yudhi. Kedua kakinya cedera parah, sempat di operasi. Namun kondisinya tidak semakin membaik. Kata dokter, Yudhi bisa saja mengalami kelumpuhan kaki permanen, jika ia tidak punya semangat untuk pulih." tante Delia menarik napas, ia kembali menatapku.
"sejak Yudhi tidak lagi bersama kamu, ia menjadi sosok yang berbeda. Ia sering mengurung diri di kamar. Sesekali ia keluar, hanya untuk mabuk-mabukan. Sepertinya ia sangat kecewa, karena kehilangan kamu. Hingga suatu hari kecelakaan naas itu terjadi." lanjutnya.
"sekarang bahkan ia tidak punya gairah lagi untuk melanjutkan hidupnya. Ia tidak mau berusaha untuk sembuh. Ia terlihat pasrah. Padahal dokter bilang, kalau kesembuhan kaki Yudhi, sebenarnya hanya tergantung pada dirinya sendiri. Jika ia punya semangat, maka kemungkinan besar kakinya bisa pulih dengan cepat..." tante Delia mengakhiri kalimatnya dengan mata berkaca.

Aku terenyuh mendengar cerita tante Delia. Tak kusangka, Yudhi akan mengalami kekecewaan sedalam itu, yang mengakibatkan ia mengalami kecelakaan tersebut. Tiba-tiba saja rasa bersalah menyeruak ke dalam hatiku. Aku menatap tante Delia dengan perasaan hiba. Aku bisa merasakan apa yang tante Delia rasakan saat ini.
"tante berharap kamu mau menemuinya, Nur. Dia sekarang masih di rumah sakit. Tante berharap dengan kedatangan kamu disana, bisa memberikan ia semangat." tante Delia berujar lagi dengan nada penuh harap.
"tante tahu, kamu masih marah padanya. Tapi tante mohon, kamu bersedia menemuinya. Dia butuh dukungan kamu, Nur. Yudhi sangat membutuhkan kamu, terutama di saat-saat seperti ini..." lanjutnya lagi, yang membuatku semakin terhenyak.
Aku manatap tante Delia lagi, perempuan itu terlihat rapuh dan murung. Wajah Yudhi melintas di pikiranku. Aku ingin sekali membantunya. Tapi aku tidak yakin, apa mungkin kehadiranku disana, benar-benar bisa memberikan sebuah semangat untuk Yudhi. Ia bisa saja, sudah membenciku sekarang.
"seumur hidup tante belum pernah bermohon kepada siapa pun. Tapi kali ini, demi Yudhi, tante sengaja datang kesini dan bermohon penuh harap sama kamu. Tante harap kamu mempertimbangkan hal ini.." tante Delia berujar lagi, melihat aku hanya terdiam.
Sejenak kemudian ia berdiri. Ia menyerahkan selembar kertas padaku, sambil berucap pelan.
"ini alamat rumah sakit tempat Yudhi dirawat. Kamu bisa kesana, kapan pun kamu merasa siap. Tante tidak akan memaksa. Tapi jika kamu benar-benar mencintai Yudhi, tante yakin kamu akan melakukan yang terbaik buat kesembuhan Yudhi..."
Setelah berkata demikian, tante Delia pun pamit. Ia melangkah dengan gontai meninggalkan rumah kami.

Aku masih terpaku, di ruang tamu. Memikirkan semua cerita tante Delia barusan. Permohonannya benar-benar membuat perasaanku campur baur. Jauh dari lubuk hatiku, aku memang berniat untuk menemui Yudhi. Mungkin memang sudah saatnya aku membantunya. Bukankah selama ini Yudhi begitu baik padaku dan juga adik-adikku. Bukankah selama ini, Yudhi selalu ada kapan pun aku membutuhkannya.
Perbuatan Yudhi padaku, memang meninggalkan luka yang dalam. Namun saat ini, tak ada gunanya aku mempertahankan ego-ku. Jika benar Yudhi membutuhkanku saat ini, sudah saatnya aku membalas semua kebaikannya selama ini.
Aku memang kecewa dengan Yudhi. Tapi sejujurnya aku masih menyayanginya.

**************
Aku menatap Yudhi yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia menatap langit-langit kamar rumah sakit itu. Tatapannya terlihat kosong, menerawang tanpa gairah. Kedua kakinya terbalut perban.
Aku merasa tak tega melihatnya. Mataku tiba-tiba berkaca. Ingin rasanya aku menangis saat itu, tapi segera ku tarik napas dan melangkah mendekat.
Mama dan papa Yudhi sengaja membiarkanku masuk sendirian. Aku tiba di rumah sakit sekitar jam tujuh malam. Aku sengaja ijin dari tempat kerja untuk pulang cepat. Seharian pikiranku terasa terganggu. Pikiranku tak pernah lepas dari sosok Yudhi. Segala kenangan tentang kami melintas dengan jelas.
Melihat kondisi Yudhi saat ini, perasaanku semakin tak karuan.
Aku menyentuh lengan Yudhi yang terkulai di samping ranjang. Merasakan hal itu Yudhi menggerakkan kepalanya untuk melihatku. Matanya menunjukkan keterkejutan. Aku menyunggingkan senyum tipis.

"hei..." sapaku ringan.
Perlahan bibir Yudhi mengukir senyum kecut. Matanya menatapku seolah tak percaya.
"maafkan aku, Yud. Aku tidak tahu kalau kamu mengalami semua ini..." aku berujar dengan hati-hati.
Yudhi menyentuh tanganku, kepalanya menggeleng ringan.
"aku... aku... yang seharusnya minta maaf sama kamu, Nur..." suara Yudhi terbata.
"aku sudah bikin kamu kecewa. Aku bukan laki-laki yang baik.." lanjutnya.
"tidak, Yud. Kamu laki-laki baik. Aku yang terlalu egois. Seharusnya aku memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan semuanya." balasku cepat.
Kulihat senyum Yudhi mengembang.
"apa itu artinya, aku masih punya kesempatan untuk menjelaskan semuanya?" tanya Yudhi kemudian dengan nada penuh semangat.
Aku menggeleng beberapa kali. "belum!" jawabku. "aku akan beri kamu kesempatan untuk menjelaskannya, jika kamu sudah pulih." lanjutku. "sekarang aku ingin kamu fokus untuk kesembuhanmu."
"kenapa aku harus sembuh?" tanya Yudhi.
"karena kalau kamu gak sembuh, siapa lagi yang akan mengantar aku pulang setiap pulang kerja.." balasku menatapnya dengan senyum.

************

"makasih ya.." ucap Yudhi sambil menatap tajam ke arahku.
"makasih untuk apa?" tanyaku. Kami duduk di sebuah kafe yang tak jauh dari mini market tempat aku bekerja.
"untuk semuanya. Untuk sudah menemaniku melewati hari-hari sulit ini..." suara Yudhi terdengar bersungguh-sungguh.
Aku mengembangkan senyum. Sudah tiga bulan Yudhi menjalani pengobatan untuk kakinya. Sekarang kakinya sudah mulai pulih. Ia sudah bisa berjalan seperti biasa, meski masih harus menggunakan satu tongkat. Karena kaki kirinya masih belum sembuh total. Namun dengan perawatan dan pelatihan yang optimal, beberapa minggu lagi ia bisa sembuh. Aku turut senang melihatnya.
"maafkan aku ya, Nur.." Yudhi berucap lagi, "aku mau kamu mendengarkan penjelasanku kali ini.." lanjutnya yang membuatku tertunduk.

"aku gak pernah berniat untuk membohongi kamu, Nur." ucap Yudhi pelan. "dari awal aku memang punya rencana untuk menyamar menjadi orang biasa. Saat itu pun aku belum mengenal kamu. Selama ini para wanita mendekatiku hanya karena mereka tahu, kalau aku anak seorang pengusaha kaya. Mereka tak benar-benar mencintaiku. Mereka hanya mengejar hartaku. Aku tak pernah menemukan cinta yang benar-benar tulus. Beberapa kali percintaanku yang gagal, membuatku sedikit  takut untuk mendekati perempuan." Yudhi menarik napas.
"hingga akhirnya aku memutuskan untuk berpura-pura menjadi orang susah. Dengan begitu, aku berharap bisa bertemu dengan wanita yang benar-benar bisa menerimaku apa adanya, bukan hanya karena aku anak orang kaya. Sebelum aku jadi tukang parkir di tempat kamu bekerja, sebenarnya aku sudah bekerja di beberapa tempat, dengan menyamar menjadi orang biasa. Namun selama itu, tidak ada seorang wanita pun yang mau mendekatiku. Bahkan ketika aku mencoba mendekati mereka, mereka seakan menjaga jarak dariku."
"sampai akhirnya aku bertemu kamu, Nur. Dari awal aku tahu kamu beda. Kamu terlihat ramah dan tulus. Bahkan saat aku mencoba berkenalan denganmu, kamu menyambutku dengan terbuka. Kamu bisa menerima kehadiranku, tanpa merasa gengsi sedikit pun. Sejak mengenal kamu, aku seakan menemukan kembali kepercayaan diriku yang sempat hilang. Aku mulai percaya, bahwa masih ada ketulusan di dunia ini. Dan aku menemukannya pada dirimu, Nur." Yudhi menarik napas lagi,
"Karena itu aku berusaha untuk semakin mendekatimu. Dan semakin aku dekat, aku semakin jatuh cinta padamu. Saat kamu menerima cintaku, aku semakin yakin, bahwa kamu adalah gadis yang tepat untukku. Bahwa kamu bukanlah seperti kebanyakan wanita yang aku kenal sebelumnya. Kamu bisa menerima apa adanya diriku. Kamu bisa menerima aku, meski kamu tahu, aku hanya seorang tukang parkir. Sejak saat itu, aku bertekad untuk mempertahankan kamu, apa pun resikonya..." Yudhi mengakhiri kalimatnya dengan sebuah hembusan napas berat.

Aku mencoba mencerna cerita Yudhi barusan. Mencoba memahami apa yang telah ia lakukan. Mencoba menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal. Meski bagiku, tetap saja itu semua sebuah kesalahan.
"aku tahu, aku salah. Aku sadar betul, bahwa pada akhirnya, kamu pasti akan tahu yang sebenarnya. Untuk itu aku berencana untuk berbicara jujur padamu, Nur. Namun semakin aku mencoba untuk jujur, semakin aku takut kamu akan meninggalkanku. Sampai akhirnya kamu benar-benar mengetahuinya. Aku disiksa rasa bersalahku, rasa penyesalanku. Aku sudah berusaha untuk meminta maaf sama kamu, Nur. Tapi sepertinya, kamu sudah terlanjur membenciku. Aku menyerah. Aku putus asa. Dan tak punya gairah lagi untuk hidup. Bagiku, hidupku sudah tidak ada gunanya lagi..." Yudhi melanjutkan penjelasannya.
Ia kemudian menyentuh jemariku diatas meja.
"maafkan aku, Nur. Aku ingin kita memulainya lagi dari awal..." ucapnya lembut.
Dan aku terkesiap. Sejujurnya aku masih sangat mencintai Yudhi. Tapi aku tidak yakin, apa aku siap menerima Yudhi kembali. Terutama setelah aku tahu, kehidupan Yudhi yang sebenarnya. Biar bagaimana pun, aku dan Yudhi memiliki kehidupan yang jauh berbeda.
Setulus apa pun aku mencintai Yudhi, orang-orang akan tetap menganggap, kalau aku hanya seorang gadis miskin yang berusaha mendekati Yudhi untuk mengubah kehidupanku....

Sekian..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate