Islam-kan saya karena Allah (Part 3)

"apakah seseorang yang menikah karena terpaksa dan bukan karena cinta, juga bisa disebut jodoh, ustadz?" dalam sebuah kesempatan, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada ustadz Lukman. Kebetulan sekali pada saat itu, ustadz Lukman menjadi pemberi tausyiah atau ceramah singkat, pada suatu acara majelis ta'lim di rumah salah seorang warga. Dan kebetulan juga waktu itu, ia membahas tentang 'jodoh'.
Pada acara mejelis ta'lim seperti ini, kami sebagai peserta memang diberi kesempatan untuk bertanya. Saya sudah sering bertanya pada acara-acara seperti ini, namun selama ini saya hanya bertanya tentang sesuatu yang lebih umum.
Mendengar pertanyaan saya, ustadz Lukman spontan menatap saya, mata kami bertemu pandang beberapa saat. Namun segera ustadz Lukman mengalihkan pandangannya.
Saya pun melirik kesekeliling, beberapa pasang mata menatap saya tajam. Biar bagaimana pun, cerita tentang saya, Aisyah dan ustadz Lukman, sudah menjadi gosip hangat saat ini.
Tapi saya toh, tak perlu merasa bersalah. Pada saat-saat tertentu, pertanyaan saya adalah sesuatu yang normal. Saya juga tidak bermaksud menohok siapa pun. Terserah orang-orang menafsirkannya seperti apa.

Sebagai seseorang yang cukup profesional, tentu saja ustadz Lukman menjawab pertanyaan saya,
"ada tiga jenis jodoh yang kita kenal dalam Islam." suara ustadz Lukman cukup lantang, apa lagi dibantu oleh sebuah pengeras suara.
"yakni, yang pertama jodoh karena nafsu syetan. Yang artinya ialah ketika sepasang manusia bertemu, lalu saling tertarik, kemudian melakukan hubungan terlarang hingga hamil. Dan mau tidak mau mereka harus dinikahkan. Jodoh seperti ini ialah tidak baik, dan biasanya tidak akan bertahan lama. Sekalipun bisa bertahan lama, akan selalu banyak masalah dalam rumah tangganya.." ustadz Lukman menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan.
"yang kedua, jodoh karena bantuan Jin. Maksdunya ialah, ketika seseorang tertarik kepada orang lain, namun ternyata orang lain tersebut tidak tertarik padanya, atau lebih sering disebut cinta bertepuk sebelah tangan. Kemudian orang tersebut mengambil jalan pintas, dengan mendatangi dukun, agar orang yang ia inginkan tersebut, bisa tergila-gila padanya, hingga akhirnya mereka pun menikah. Jodoh seperti ini juga tidak baik."

"yang ketiga ialah jodoh karena Allah. Dan ini adalah yang terbaik. Ketika dua orang saling bertemu, lalu saling jatuh cinta, dan mereka berusaha menjaga pandangan dan perilaku mereka dari berbuat maksiat, sampai akhirnya mereka menikah. Jodoh seperti inilah yang dicintai oleh Allah.." ustadz Lukman mengakhiri kalimatnya.
Namun penjelasan tersebut, belum sepenuhnya menjawab pertanyaan saya. Ustadz Lukman sepertinya menyadari hal tersebut. Ia berpikir sejenak, lalu berujar lagi,
"tentang seseorang yang menikah tanpa dasar cinta, jika mereka berdua mampu menjaga hati dan pikirannya untuk tidak bermaksiat, hingga mereka menikah, artinya ini juga merupakan jodoh dari Allah. Mengenai ada atau tidaknya cinta diantara mereka, itu adalah kuasa Allah. Mereka akan tetap bahagia dan Allah akan menumbuhkan cinta diantara keduanya sepanjang perjalanan pernikahan mereka..."
"tapi bagaimana mungkin sebuah rumah tangga akan bahagia, bila tidak ada cinta di dalamnya? Dan tidak ada jaminan juga, bahwa pada akhirnya cinta itu akan tumbuh..." saya bertanya lagi, suara saya sedikit bergetar.

Ustadz Lukman berpikir lagi, kali ini sedikit lebih lama.
"cinta adalah rahasia Allah, seperti halnya jodoh. Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Kita juga tidak tahu, kapan kita akan jatuh cinta. Cinta adalah sebuah anugerah dari Allah. Jika Allah berkehendak, maka rasa benci pun bisa berubah menjadi cinta. Jadi tidak usah meragukan hal tersebut. Lagi pula kebahagiaan itu, tidak selalu tentang cinta..." jawaban ustadz Lukman kali ini cukup mengena hati saya.
Saya hanya terdiam.
"ada lagi yang ingin bertanya?" suara pembawa acara yang duduk tak jauh dari ustadz Lukman, memecahkan keheningan yang sempat tercipta beberapa detik.

**********

"sainganmu berat, bro.." celetuk pak Hasan, rekan guru saya yang senior.
Beliau satu-satunya tempat saya curhat selama ini, terutama soal Aisyah. Selain ustadz Salman sih.
"itu dia masalahnya pak..." balas saya dengan nada lemas. Kami ngobrol di salah satu kantin sekolah, saat itu jam istirahat. Saya dan pak Hasan memang sering ngobrol, saya dapat banyak pelajaran dari beliau. Terutama tentang cara menjadi guru yang baik.
Pak Hasan sudah dua puluh tahun menjadi guru, pengalamannya sudah tidak diragukan lagi. Usianya sekarang sudah mencapai 45 tahun. Tapi beliau punya semangat muda yang tinggi.
"tapi emang kamu yakin, kalau Aisyah juga suka sama kamu?" tanya pak Hasan dengan nada ragu.
"gak pasti juga sih, pak. Tapi kalau melihat dari cara dia memperhatikan dan memperlakukan saya selama ini, saya yakin kok, kalau Aisyah juga suka sama saya.."
"kalau memang Aisyah juga suka sama kamu, kenapa dia masih mau dijodohkan sama ustadz Lukman?"
"saya gak tahu, pak Hasan. Pusing saya..."

"udah, kamu tenang aja. Kalau jodoh mah gak bakal kemana. Yang penting kamu terus berdo'a dengan sungguh-sungguh, ya." kalimat pak Hasan yang energik, tak benar-benar memberikan saya semangat.
"ingat, bro. 'man saara ala darbi washala'...." sambungnya.
"apaan tuh?!" tanya saya sambil menatap wajah serius milik pak Hasan.
"siapa yang  berjalan di jalannya, akan sampai ditujuan..." balasnya, dengan nada seriusnya.
"gak ada hubungannya, pak Hasan..!!" suara saya meninggi. Saya mengalihkan pandangan.
Pak Hasan memang suka sekali membuat kalimat-kalimat yang aneh-aneh. Tapi saya tahu, ia hanya berniat ingin menghibur saya.
"emang gak ada, sih. Tapi minimal mendekatilah dengan kasusmu ini, bro." beliau memang suka menyebut anak muda jaman sekarang dengan panggilan sok akrabnya. Bro!
"tapi intinya, pokoknya kamu harus semangat, jangan putus asa, jangan menyerah. Kayak lirik lagu D'masiv, bro. Jangan menyerah! Jangan menyerah!..." pak Hasan berceloteh lagi dengan gaya guyon khasnya, sambil sedikit bernyanyi tentunya.

Kelakuan pak Hasan, terkadang memang cukup mampu membuat saya terhibur. Pak Hasan selalu punya cara membuat orang-orang disekelilingnya tertawa. Saya sudah menganggap beliau seperti ayah sendiri.
"kalau saya gak boleh menyerah, terus apa yang harus saya lakukan sekarang? Sebentar lagi mereka bakal nikah loh, pak Hasan." ucap saya lagi, setelah beberapa saat kami terdiam.
Pak Hasan terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius.
"bagaimana kalau kalian kawin lari saja..." ucapnya.
"ya Allah, pak. Saya serius ini..."
Pak Hasan terkekeh. Saya menatapnya tajam. Beliau menutup mulutnya segera, menahan tawa.
"oke, saya akan bantu kamu, bro. Tapi saya gak janji ini akan berhasil..." ucap pak Hasan, kali ini dengan nada yang benar-benar serius.

****************

"kamu benar..." ucap ustadz Lukman, beberapa hari kemudian. Kali ini tidak di depan publik. Hanya kami berdua. Ia mengundang saya untuk datang kerumahnya. Atas saran pak Hasan ternyata. Diam-diam pak Hasan mendatangi ustadz Lukman, dan meminta beliau untuk bertemu dengan saya.
'setidaknya kalian harus bersaing secara sehat dan sportif..' begitu bisik pak Hasan, sebelum saya berangkat ke ruman ustadz Lukman tadi.
"maksud ustadz apa ya..?" tanya saya kemudian.
"saya sangat mencintai Aisyah. Tapi saya juga tahu, kalau Aisyah tidak mencintai saya. Aisyah bersedia menikah dengan saya, hanya karena menghargai ayah saya dan juga ia menghormati keputusan orangtuanya." ustadz Lukman berucap lagi.
"lalu apa maksud ustadz mengundang saya kesini?" tanya saya lagi.
"hampir seminggu saya memikirkan hal ini. Kamu memang benar, tidak ada jaminan akan sebuah kebahagiaan untuk pernikahan yang tidak saling mencintai. Menyadari hal tersebut, saya pun mempertanyakan hal ini langsung kepada Aisyah. Tentang perasaannya. Tentang keinginannya yang sejujurnya. Aisyah menegaskan, bahwa ia akan tetap menikah dengan saya, dan akan belajar untuk mencintai saya.." jawab ustadz Lukman.

Untuk sesaat saya hanya terdiam, menunggu penjelasan ustadz Lukman selanjutnya.
"saya tahu ini tidak mudah. Saya juga tahu, kalau Aisyah tidak akan pernah mencintai saya, selama kamu masih ada di kampung ini.." ucap ustadz Lukman lagi.
"jadi maksud ustadz, saya harus pergi dari desa ini?" saya menelan ludah, suara saya sedikit serak.
"bukan! Kamu jangan berprasangka buruk dulu. Saya tidak sepicik itu. Saya hanya ingin memastikan, bahwa kamu benar-benar mencintai Aisyah. Bahwa kamu memang orang yang layak untuk Aisyah." ucapan itu sedikit membuat saya bingung.
"maksudnya?" saya bertanya lagi. Kening saya kembali berkerut.
"pernikahan saya dengan Aisyah tinggal menghitung hari. Sekarang semua tergantung saya, jika saya bersikeras untuk tetap menikah, maka pernikahan itu akan terjadi. Jika saya tidak ingin menikahi Aisyah, maka pernikahan kami akan dibatalkan. Kecuali...."
"kecuali apa?" tanya saya semakin penasaran.
"kecuali kalau kamu bisa membuktikan kepada saya dan juga Aisyah, bahwa kamu benar-benar mencintainya.."
"caranya?" kening saya berkerut dua kali lipat dari biasanya.

*****
Bersambung ....

Islam-kan saya karena Allah (part 4)

"assalamualaikum..." saya sedikit berteriak sambil mengetuk pintu rumah itu dengan pelan. Pintu itu terbuat dari kayu yang cukup keras. Sebuah rumah yang sangat sederhana. Seraut wajah tua laki-laki muncul dari balik pintu yang terbuka perlahan tersebut.
"waalaikumsalam..." jawab laki-laki itu.
Saya tersenyum menatap laki-laki tua tersebut. Ini bukan pertama kalinya saya datang kesini. Namun tetap saja jantung saya berdegup sangat kencang.
Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum tipis.
"saya ingin bicara dengan Aisyah. Bisa?" tanya saya.
"ada apa lagi?" tanya laki-laki tua itu, yang tak lain adalah ayah Aisyah.
"Aisyah sudah tidak bisa keluar rumah lagi, ia sebentar lagi akan menikah..." lanjutnya
"yah, saya tahu.."
"lalu untuk apa bang Bas kesini?" suara itu tidak berasal dari laki-laki tersebut, tapi sebuah suara lembut milik seorang perempuan.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Aisyah sudah berdiri di belakang ayahnya.


Saya memasang senyum termanis saya, menatap gadis cantik itu. Aisyah hanya tersenyum tipis.
"bang Bas belum jawab pertanyaan saya.." ucap Aisyah lagi, sedikit membuat saya kaget.
"ah. oh, ya. Saya kesini hanya ingin memberikan ini..." saya berujar sambil menyerahkan sebuah kertas berlipat segi empat.
"apa ini?" tanya Aisyah, sambil mengambil kertas itu dari tangan saya, kali ini ia sudah berdiri di samping ayahnya.
"itu... itu dari ustadz Lukman.." suara saya tergagap.
"ustadz Lukman?" dengan penasaran Aisyah membuka kertas tersebut, di dalamnya terdapat beberapa kalimat tulisan tangan ustadz Lukman.
"surat apa itu?" kali ini ayah Aisyah yang ikut berbicara.
Aisyah tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Saya melihat, kalau Aisyah mencoba membaca surat itu sampai dua kali. Keningnya berkerut.

"apa isi suratnya?" ayah Aisyah bertanya lagi.
"ini surat dari ustadz Lukman. Ia meminta maaf karena harus pergi terburu-buru. Ia tidak sempat berpamitan. Ia juga minta maaf, jika harus membatalkan pernikahan kami. Katanya, ia akan melanjutkan kuliah S2 ke Madinah. Ia berangkat pagi tadi. Ia memberi saya kebebasan untuk memilih pasangan hidup yang saya inginkan. Saya tidak harus menunggunya. Katanya hal itu sudah ia sampaikan pada ayahnya. Intinya, pernikahan kami dibatalkan..." jawab Aisyah, tanpa melepaskan pandangannya dari tulisan tersebut.
"kok bisa?" tanya Aisyah, lebih kepada dirinya sendiri.
"saya bisa jelaskan. Tapi pertama, izinkan saya masuk dulu..." ucap saya menjawab kebingungan mereka berdua.
Serentak mereka menatap kearah saya. Saya memasang senyum manis lagi.

"jadi ceritanya begini.." ucap saya dengan gaya sok bijak, setelah mereka mempersilahkan saya duduk dan menyuguhkan segelas air putih. Jadilah. bathin saya.
Kedua wajah kebingungan itu menatap saya dengan penuh tanda tanya.
"seminggu yang lalu, saya diundang oleh ustadz Lukman untuk datang kerumahnya. Mulanya saya merasa enggan untuk datang, karena biar bagaimana pun beliau adalah rival saya." saya tersenyum nyengir, "namun mengingat yang mengundang adalah seorang ustadz, saya akhirnya memutuskan untuk datang. Meski dengan berat hati tentunya." saya menghela napas.
"sesampai disana kami pun berbicara dari hati ke hati, sebagai sesama laki-laki yang sudah dewasa. Dan tentu saja sebagai sesama laki-laki yang mencintai gadis yang sama." saya nyengir lagi.
Sepertinya mereka berdua mulai jengah melihat saya.
"ustadz Lukman tahu, kalau Aisyah tidak mencintainya. Tapi ustadz Lukman sangat mencintai Aisyah. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Aisyah. Ustadz Lukman seorang laki-laki terhormat dan sangat bijak. Ia tahu, kalau saya juga mencintai Aisyah. Namun ia tidak yakin, kalau saya akan bisa menjadi imam yang baik untuk Aisyah..." kali ini saya manarik napas lagi, dua kali.

"beliau khawatir, kalau Aisyah salah dalam memilih jodoh. Apa lagi kalau orangnya itu saya. Karena seperti kita semua tahu, saya baru menjadi Islam belum sampai setahun. Beliau tidak yakin, kalau saya bisa menjadi muslim yang taat. Untuk itu kemudian beliau hendak menguji saya. Beliau meminta saya untuk menghafal salah satu surah dalam Al-Qur'an, yakni surah Yasin. Jika dalam waktu satu hari, saya bisa menghafal surah Yasin, maka beliau akan yakin, bahwa saya benar-benar tulus mencintai Aisyah." saya berhenti sejenak, menghembuskan napas lagi.
"karenaaa..." saya meninggikan suara, ketika saya lihat Aisyah hendak membuka mulutnya untuk berbicara, "menurut beliau, jika saya memang serius untuk mempersunting Aisyah, maka saya pasti bisa menghafal surah Yasin tersebut, bahkan tidak sampai dalam waktu sehari...." lanjut saya lagi.
"dan?" kali ini ayah Aisyah yang mengeluarkan suara.
"dan ternyata, karena saya memang benar-benar mencintai Aisyah dengan tulus, atas izin Allah, alhamdulillah saya sudah hafal surah Yasin tersebut. Sekali lagi ustadz Lukman adalah laki-laki terhormat, ia menepati janjinya. Seperti yang tertulis di surat yasin eh surat itu, maksud saya," sambil menunjuk ke surat yang masih dalam genggaman tangan lembut milik Aisyah.

"kira-kira sampai disini kalian paham gak?" tanya saya dengan gaya kocak seorang guru di depan murid-muridnya. "kalau kurang paham akan saya ulangi dari awal..." lanjut saya masih dengan gaya yang sama.
"gak..gak... gak usah..." jawab mereka hampir serempak.
Laki-laki tua itu menghempaskan napas beratnya. Entah karena kecewa atau karena lega, saya juga kurang yakin.
Sementara Aisyah menggigit bibirnya sendiri. Saya juga tidak tahu, mengapa Aisyah melakukan hal itu di depan saya. Mungkin dia geram. Saya membathin.
"jadi sekarang gimana?" tanya saya akhirnya, setelah sejenak kami hanyut dalam lamunan kami masing-masing.
"gimana apanya?" tanya Aisyah, sambil melepaskan gigitan bibirnya.
"lamaran saya diterima gak..?" kali ini saya bertanya dengan nada terdengar benar-benar serius.
Mereka berdua terdiam, saling pandang.
"saya terserah ayah..." suara Aisyah terdengar sangat pelan, seakan berbisik. Kepalanya tertunduk.

***********
"saya terima nikahnya, Aisyah Nurmala binti Akmal Hadi, dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai..." akhirnya saya mengucapkan kalimat itu dengan benar, setelah lebih dari lima kali diulang.
Kemudian para hadirin yang hadir pun berteriak serempak. Sah!!!
Yah. Saya dan Aisyah akhirnya menikah, setelah melewati drama yang sangat panjang. Sebuah pernikahan yang sederhana. Dilaksanakan dirumah Aisyah, yang hanya dihadiri oleh keluarga dekat kami saja.
"yang penting itu ijab kabulnya, bukan pestanya..." begitu alasan orangtua Aisyah, ketika saya mengusulkan untuk membuat acara resepsi sederhana.
Tapi itu tidak jadi masalah sekarang bagi saya. Yang terpenting dari semuanya, saya akhirnya bisa menikah dengan gadis yang selama ini saya impikan. Dengan izin Allah tentunya.

Ternyata kekuatan do'a itu sangat luar biasa. Saya jadi semakin mencintai Islam karenanya. Saya mencintai Islam, bukan karena Aisyah yang cantik. Atau karena seorang ustadz Lukman yang sungguh terhormat, saya begitu menghargai beliau.
Saya mencintai Islam, karena saya memang telah jatuh cinta padanya. Saya mencintai Islam karena Allah. Saya memeluk Islam karena Allah.
Seperti yang Aisyah pernah ucapkan, "ketika kita ikhlas, maka kebahagiaan akan mengikuti kita".
Atau seperti pepatah pak Hasan, "man saara ala darbi washala..."
Akhirnya saya menemukan jawabannya, ternyata kalimat tersebut pak Hasan ambil dari sebuah buku karya penulis terkenal, A. Fuadi. Kalau tidak salah buku tersebut berjudul 'Rantau satu muara', salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.

Sekian ...

Nasib cinta sang pengamen

"aku ingin kita putus, Mil..." ucapku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam. Aku menatap wajah cantik yang sejak tadi duduk di sampingku. Suara hiruk pikuk bunyi kendaraan di jalan terdengar semakin sibuk sore itu. Kami duduk disebuah bangku taman yang berada dipinggiran jalan raya.
Gadis itu, Mila, menoleh padaku. Mata kami bersirobok pandang. Tapi aku segera memalingkan wajah, menatap lalu lalang kendaraan. Aku merasakan tatapan Mila begitu tajam padaku.
"kamu kenapa, Don?" ucapnya, suaranya masih terdengar begitu lembut.
"aku? aku gak kenapa-kenapa. Aku hanya ingin kita mengakhiri semua ini.." balasku.
"iya. Tapi kenapa tiba-tiba kamu ingin putus? Dua tahun, Don. Dua tahun kita menjalin hubungan ini, tanpa ada masalah yang berarti. Sekarang tiba-tiba kamu ingin kita putus! Itu aneh, Doni.." kali ini suara Mila cukup lantang, matanya masih saja menatapku tajam.
"aku gak sanggup lagi, Mil..."
"melanjutkan hubungan kita?"
"yah..." desahku sangat pelan.

"aku butuh penjelasan, Don." Mila berujar lagi, kali ini matanya sudah tidak lagi menatapku.
"aku rasa semuanya sudah cukup jelas..."
"jelas apanya sih, Don. Jelas kalau kamu merasa tidak pantas denganku? Karena kamu hanya seorang pengamen?" Suara Mila meninggi.
Aku menarik napas, lalu berdiri.
"iya, Mil! Itu yang harusnya aku sampaikan sama kamu. Aku hanya seorang pengamen jalanan, sedang kamu adalah seorang putri. Kamu putri seorang pengusaha kaya, Mil. Sudah tidak ada lagi alasan apapun bagiku, untuk tetap bisa bersama kamu.." suaraku tertekan menahan gejolak. Hatiku sakit mendengar ucapanku sendiri.

Mila akhirnya ikut berdiri, ia melangkah mendekatiku. Kami hanya berjarak tak lebih dari setengah meter.
"lihat aku, Doni..." ucap Mila, melihat aku hanya tertunduk.
Aku mencoba mengangkat wajahku. Mata kami bertemu pandang lagi. Aku merasa jengah.
"aku tak menyangka kamu akan sepicik ini, Don. Bukankah dari awal, aku sudah katakan sama kamu, bahwa aku tak peduli dengan status kamu. Mau kamu pengamen, kek. Pemulung, kek. Itu tidak akan mengubah apa pun. Aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu. Selama kamu tidak membuat aku sakit, itu sudah lebih dari cukup bagiku." suara Mila terdengar sedikit serak.

Aku terdiam. Tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskannya pada Mila. Hubungan kami mungkin sudah terlalu dalam. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami saling mendalami perasaan masing-masing. Aku memang mencintai Mila, bahkan sangat mencintainya. Aku masih ingat, ketika awal-awal kami bertemu dulu. Bagaimana dengan begitu gigihnya Mila berusaha mendekatiku. Setelah kami berjumpa tak sengaja di dalam sebuah bis umum. Saat itu aku sedang melakukan pekerjaanku sebagai seorang pengamen. Aku biasa menaiki bis-bis yang rutin melewati jalan raya, untuk sekedar mengamen demi mendapatkan sejumlah rupiah hanya untuk bertahan hidup.
Aku hidup sebatang kara di kota ini, ayah ibuku sudah lama meninggal, sejak aku masih sangat kecil. Aku hidup di jalanan, dan mengamen adalah keahlianku.

"suara kamu bagus.." ucap Mila waktu itu, setelah ia berhasil membuntutiku saat turun dari salah satu bis yang ia tumpangi.
Aku menatap gadis cantik itu cukup lama, mencoba mengenalinya.
"kamu siapa?" tanyaku pelan.
Mila tersenyum manis, tubuh jangkungnya berbalut pakaian putih abu-abu.
"aku Karmila. Panggil aja Mila. Aku sekolah di situ.." balasnya sambil menunjuk kearah sebuah gedung sekolah yang megah.
"aku Doni.." balasku, aku menyodorkan tangan. Mila menyambut tanganku dengan lembut.
"aku belum pernah lihat kamu sebelumnya di bis.." aku berujar lagi, setelah Mila melepaskan tangannya.
"iya. Biasanya aku diantar sopir. Tapi hari ini sopirku pulang kampung, aku terpaksa naik bis ke sekolah.."
"oh.." aku membulatkan bibir.
"tapi kayaknya mulai hari ini aku bakal naik bis terus deh, ke sekolah..." ucap Mila lagi.
"kenapa?" tanyaku, keningku berkerut.
Mila tidak menjawab, ia hanya tersenyum tersipu. Mukanya memerah.

Sejak saat itu aku hampir setiap hari bertemu Mila. Awalnya kami hanya ngobrol biasa, namun kian hari, Mila kian terang-terangan menunjukkan perasaannya padaku. Hingga akhirnya dengan cukup berani, Mila mengungkapkan keinginannya untuk menjalin hubungan yang serius denganku.
"aku hanya seorang pengamen, Mil. apa kamu gak malu?" ucapku, mencoba memberi Mila pengertian.
"gak. ngapain malu. Justru aku merasa nyaman jalan bareng kamu..." balas Mila meyakinkanku.
Aku pun mencoba mengabaikan perbedaan yang ada diantara kami. Mencoba menerima kehadiran Mila untuk menghiasi hari-hariku. Mila gadis yang baik, ramah dan juga lembut.
Meski hati kecilku selalu saja meronta. Biar bagaimana pun, aku merasa cukup sadar diri, bahwa diantara kami berdua jelas sangat berbeda. Namun cinta Mila mampu membuatku kuat dan tetap bertahan hingga dua tahun hubungan kami.

Dua tahun hubungan kami, semuanya terasa indah. Kehadiran Mila benar-benar telah memberiku motivasi dan semangat dalam menjalani hari-hariku yang berat.
Dua tahun hubungan kami semuanya berjalan baik-baik saja. Meski aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk Mila. Tapi Mila bisa menerima semuanya, Mila bisa menerima semua kekuranganku.
Perbedaan diantara kami tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap bahagia.
Sampai akhirnya, seminggu yang lalu, aku bertemu dengan pak Teddy, papanya Mila. Tentu saja diluar sepengetahuan Mila.
"saya Teddy, papanya Mila.." begitu pak Teddy memulai pembicaraannya denganku.
Mendengar hal itu aku cukup kaget, namun aku hanya terdiam.
"Mila anak gadis saya satu-satunya. Saya hanya ingin dia bahagia. Saya hanya ingin ia mendapatkan laki-laki yang sepadan dengannya, punya masa depan yang jelas. Bukan seorang pengamen seperti kamu..." suara itu terdengar kasar di telingaku. Bahkan terasa sangat menusuk hatiku.
Aku tetap saja diam, dan pak Teddy-pun beranjak pergi meninggalkanku.

Berhari-hari aku memikirkan ucapan pak Teddy, memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hubunganku dengan Mila. Aku sadar sekali, apa yang dikatakan pak Teddy adalah sebuah kenyataan yang tak bisa aku hindari. Meski hatiku tercabik karenanya. Aku tak ingin tersinggung, tak ingin marah juga. Pak Teddy pantas berkata demikian. Biar bagaimanapun, sebagai seorang ayah, wajar rasanya ia menginginkan yang terbaik buat putrinya. Dan bersama denganku bukanlah yang terbaik. Untuk itu, aku akhirnya mengajak Mila bertemu, untuk mencoba menjelaskan semuanya. Mencoba untuk membuat Mila mengerti, bahwa hubungan kami tidak mungkin lagi bisa dipertahankan. Meski kami masih saling mencintai. Tentu saja, aku tidak akan menceritakan tentang pertemuanku dengan papanya. Mila tidak harus tahu hal itu.

"tidak ada yang harus aku jelaskan lagi, Mila. Aku tak sanggup meneruskan ini. Aku ingin kita mengakhirinya. Kita jalani hidup kita masing-masing.." aku berucap juga akhirnya, setelah cukup lama aku terdiam dalam tatapan tajam Mila.
"oh.." Mila hanya mendesah kecil, matanya sedikit berkaca kulihat. Namun dengan segera aku memalingkan wajah. Kuputar tubuhku membelakanginya, lalu melangkah pelan.
Setelah beberapa langkah, aku berhenti dan memutar tubuhku kembali.
"aku sudah tidak mencintaimu lagi, Mila. Aku harap kamu mengerti, dan jangan pernah mencoba menemuiku lagi..." ujarku, kemudian dengan tergesa kembali memutar tubuhku, lalu melangkah menjauh.
Hatiku terasa teriris oleh perkataanku sendiri. Aku tahu, Mila juga merasakan sakit. Sekilas kulihat air matanya mulai bergenang. Tapi rasanya ini jauh lebih baik, dari pada aku mencoba mempertahankan sesuatu yang memang bukan diciptakan untukku.

Mila mungkin akan membenciku seumur hidupnya. Menganggap aku sebagai laki-laki jahat. Separoh hatiku tak rela, namun aku tak ingin membuat semuanya semakin rumit. Hubungan kami memang tidak akan pernah bisa dipertahankan. Sampai kapanpun, papa Mila, tidak akan pernah membiarkan anak gadis semata wayangnya hidup menderita bersama seorang pengamen seperti diriku.
Mungkin semua memang harus seperti ini, kami dipertemukan, lalu saling jatuh cinta. Namun kemudian takdir akhirnya memisahkan kami. Takdirku sebagai seorang pengamen, dan takdir Mila sebagai seorang putri yang kaya raya. Kenyataan seperti itu, memang tidak bisa dipungkiri. Sebesar apa pun cinta yang kami miliki, tidak akan membuat sebuah realita menjadi lebih baik.

Sekian...

Sang mantan

Gadis itu menatapku cukup lama, keningnya berkerut. Ia seolah tak percaya dengan apa yang barusan saya ucapkan padanya.
"aku tahu aku salah, Bay. Untuk itu aku minta maaf. Dan tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki ini semua, serta memulainya lagi dari awal.." akhirnya Gadis itu bersuara lagi, suaranya semakin pelan.
"gak segampang itu, Na. Hatiku bukanlah sesuatu yang bisa engkau permainkan begitu saja. Setelah kamu dengan begitu mudah pergi meninggalkanku, hanya karena laki-laki lain. Sekarang kamu dengan mudahnya, meminta aku untuk kembali padamu." balasku tajam.
Nana kembali terdiam. Wajahnya murung. Sebagian kecil hatiku, tak tega melihatnya. Tapi luka yang telah ia goreskan, terlalu dalam. Tak mudah bagiku untuk memberinya kesempatan lagi.
Aku menarik napas, menatap indahnya keremangan senja. Di pinggiran sebuah pelabuhan kami bertemu. Nana yang memintanya, setelah hampir satu tahun kami tidak bertemu.
Pikiranku menerawang, mencoba mengulas kembali kenangan demi kenangan yang pernah terjadi antara aku dan Nana.

Nana gadis yang cantik, dimataku ia terlihat begitu sempurna. Dengan senyumnya yang begitu manis.
Kami bertemu tak sengaja di perpustakaan kampus, tempat kami sama-sama kuliah. Nana berada satu tingkat dibawahku.
Pertemuan tak sengaja itu, telah menghadirkan benih-benih cinta diantara kami. Terutama bagiku.
Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan, Nana menyambutnya dengan penuh kebahagiaan.
Dua tahun hubungan kami berjalan dengan begitu manis. Tatapan penuh iri dari teman-teman kampus, melihat kemesraan kami, justru membuat kami semakin lengket. Kami sering menghabiskan waktu berdua. Nana bahkan telah kuperkenalkan kepada ibu dan adikku, Dewi. Mereka turut bahagia melihat kami.
"mbak Nana cantik sekali. Kok mau sih, sama bang Bayu...?" celetuk Dewi, ketika suatu hari aku mengajak Nana makan malam dirumah.
Aku tersenyum pasrah, mendengar ucapan Dewi yang baru beranjak remaja itu. Sementara Nana hanya tersipu, mukanya memerah.

Hari-hari berlalu begitu indah. Hingga suatu saat, tiada angin, tiada hujan, bahkan tiada badai, tiba-tiba Nana dengan terbata berucap,
"Bay, aku ingin kita putus.."
Aku menoleh penuh tanya kearah Nana. Kami duduk di bangku sebuah taman yang ada di pinggiran pelabuhan. Setengah tak percaya, aku menatap Nana.
Wajah cantik Nana memperlihatkan keseriusan dari ucapannya. Sesaat aku menganggap Nana hanya ingin mengerjaiku.
"kenapa?" tanyaku akhirnya, setelah cukup yakin kalau Nana tidak sedang bergurau.
"aku menemukan sesuatu yang lebih indah dari ini, Bay. Sesuatu yang membuatku yakin, kalau tempatku bukanlah disini. Bukan bersama kamu.." suara Nana terdengar pelan, namun mampu menghancurkan lebih dari separoh hatiku.
Aku terdiam. Marah dan terluka.
"aku harap kamu bisa melupakan aku, Bay. Karena aku telah menemukan seseorang yang lebih baik dari kamu..."
Setelah berkata demikian, Nana berdiri dan beranjak pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Aku menatap kepergian Nana dengan mata yang hampir saja berkaca. Begitu mudah bagi Nana mencampakkanku. Dua tahun hubungan kami, tapi bagi Nana itu semua sungguh tiada artinya. Aku merasa hancur. Hatiku tergores luka yang begitu dalam. Harapanku terlalu besar kepada Nana. Mimpiku terlalu indah untuk kubangun bersamanya. Tiba-tiba saja semuanya berantakan, hancur berkeping. Aku mencoba menabahkan hatiku. Mencoba menerima nasib buruk yang tiba-tiba merasuki kisah cintaku. Mencoba merelakan kepergian Nana dari hidup dan hatiku. Meski hatiku terasa sangat sakit.

Hari-hari berikutnya, kulalui dengan penuh kekecewaan. Tak ingin membuka hatiku untuk siapapun. Bahkan hampir tak percaya lagi dengan yang namanya cinta.
Namun aku mencoba bangkit. Bangkit dari keterpurukanku karena cinta. Bagiku, kepergian Nana, bukanlah akhir dari segalanya. Perjalananku masih sangat panjang.
Hingga suatu hari, setelah hampir setahun kesendirianku, tiba-tiba Nana menghubungiku. Memintaku untuk menemuinya di tempat biasa, katanya.
Awalnya aku ingin menolak, tapi sebagian kecil hatiku juga ingin tahu, mengapa Nana tiba-tiba mengajakku ketemuan, setelah sekian lama ia pergi.

"aku minta maaf, Bay." begitu Nana mengawali pembicaraan kami sore itu. "aku terlalu egois meninggalkan kamu, hanya demi laki-laki lain. Aku pikir aku bisa bahagia dengannya. Tapi ternyata ia hanya laki-laki brengsek, yang tak bisa menerima aku apa adanya, seperti halnya kamu..." lanjutnya lagi.
Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam. Mencoba memahami semua kalimat Nana barusan.
"aku ingin kembali, Bay. Aku ingin kita memulainya lagi dari awal..." Nana berucap lagi, kali ini ia beranikan diri untuk menatapku.
"maaf, Na. Aku gak bisa..." suaraku bergetar menahan gejolak. Ingin rasanya saat itu aku memaki dan mengeluarkan semua kata kotor yang selama ini terpendam dalam hatiku. Kepergian Nana telah menghancurkan semuanya. Hatiku, harapanku, semua mimpi-mimpiku. Dan sekarang, dengan begitu mudahnya ia memintaku untuk kembali, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
Ingin rasanya saat itu, aku mengutarakan itu semua pada Nana. Tapi hatiku memilih untuk diam, dan membiarkan Nana menatapku cukup lama.

Kulihat Nana menarik napas panjang, kemudian mengalihkan pandangannya dariku. Ia ikut menatap keremangan senja yang indah itu.
"apa karena kamu sudah menemukan orang lain?" tanya Nana tiba-tiba, setelah cukup lama kami terdiam.
Aku menoleh kearah Nana sejenak,
"aku bukan kamu, Na...." jawabku pelan. "aku bukan kamu, yang dengan begitu mudahnya mencampakkan seseorang, hanya karena merasa telah menemukan sesuatu yang lebih baik..." lanjutku dengan sengaja, mengingatkan Nana akan kesalahannya.
"apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" Tanya Nana, seolah mengabaikan ucapanku barusan.
Cinta? tanyaku dalam hati. Selama ini aku tak pernah memikirkan hal itu. Sejak Nana pergi, aku seakan tak mau lagi berbicara dengan hatiku. Aku juga tidak tahu, apa aku masih mencintai Nana, setelah apa yang ia lakukan padaku?

Aku berdiri dan meletakkan kedua tanganku ke dalam saku jaket, kiri kanan. Menghela napas sejenak. Pikiranku menerawang kembali.
Nana?
Dia datang dengan cinta yang begitu indah, menghiasi hari-hariku selama hampir dua tahun. Kemudian ia pergi, hanya karena merasa telah menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dariku. Ia pergi tanpa rasa bersalah.
Sekarang ia datang lagi, meminta maaf, lalu berharap aku bisa menerimanya kembali.
Serendah itukah aku dimata Nana?
Seolah-olah cintaku padanya bisa membuat aku buta. Buta akan semua kesalahannya. Seolah-olah cintaku padanya bisa membuatku melupakan semua rasa sakit yang ia goreskan dihatiku.
Memikirkan semua itu, aku jadi teringat akan lirik sebuah lagu, milik salah seorang penyanyi favoritku.

Lebih baik putih mata, dari pada putih tulang. Bila kuterima sisa cintamu lagi.
Lupakanlah semua, kenangan masa lalu. Dan jangan sesali apa yang telah terjadi.
Anggap saja semua, hadiah cinta....
Walaupun akhirnya kau kini yang merana..

Lagu dangdut? Ya. Lagu dangdut. Aku salah satu penggemar lagu dangdut. Terutama lagu-lagu dangdut tempo dulu... he..he..

Oke! Kembali ke Nana, yang masih saja duduk terdiam. Kali ini kulihat ia menundukkan kepala.
Aku yakin, Nana telah menyesali perbuatannya. Dan ia memang berhak mendapatkan kesempatan kedua.
Tapi....
"aku masih mencintai kamu, Na. Kamu adalah cinta terindah yang pernah singgah dalam hatiku." ucapku dengan suara lantang, mengimbangi suara deburan ombak yang menerpa tembok pelabuhan tersebut.
"tapi rasa cintaku padamu, tidak bisa membuatku melupakan semua yang telah engkau lakukan padaku. Rasanya terlalu sakit, Na. Dan aku masih punya harga diri, untuk tidak dibutakan oleh cintaku padamu. Sebesar apa pun aku mencintai kamu. Semua itu tidak akan bisa menghapus semua luka yang telah engkau goreskan...." lanjutku tanpa menoleh sedetikpun ke arah Nana.
Aku tersenyum kecut, mendengar kalimatku sendiri. Terlalu sering mendengarkan lagu dangdut, telah membuatku tanpa sadar, menjadi seorang yang puitis...

Kudengar Nana terisak, dan itu yang aku takutkan!
Bagiku, melihat seorang perempuan menangis, adalah sebuah pukulan yang sangat berat. Aku akan menjadi lemah seketika.
"aku tahu... kamu akan membenciku, Bay..." suara Nana ditengah isaknya, "tapi tak pernah kusangka akan sedalam ini..." lanjutnya.
Aku menarik napas. Bingung. Tidak tahu harus mengatakan apa.
"aku tidak membencimu, Na. Hanya saja, aku tidak bisa kembali lagi seperti dulu. Aku harap, kamu bisa memahaminya. Seperti aku yang mencoba memahami kepergianmu yang tiba-tiba..." ujarku akhirnya.

Nana menghentikan isaknya, kulihat ia mengusap pipinya sendiri, lalu berdiri dengan berat.
"aku tidak akan memohon padamu, Bay. Aku rasa, aku memang pantas menerima semua ini..." ucapnya pelan, "aku telah menyia-nyiakan cintamu yang begitu tulus padaku. Dan saat aku menyadarinya, kamu tak lagi memiliki hal itu. Aku salah. Aku pikir, aku masih punya sedikit kesempatan untuk memperbaiki semua ini dan mendapatkan ketulusan cintamu kembali.." Nana melanjutkan, sambil terus menatapku dari belakang.
"tapi ternyata, aku tidak bisa menyatukan kembali serpihan-serpihan cinta kita yang telah berserakan. Meski begitu besarnya inginku, sebesar penyesalan yang aku rasakan. Aku pergi, Bay. Aku harap tidak akan ada lagi penyesalan diujung senja lainnya..." ucap Nana mengakhiri kalimatnya.
Nana melangkah pergi. Aku menarik napas. Entah apa yang aku rasakan saat ini.
Senja pun kian temaram. Mentari telah kembali keperaduannya. Tenggelam, bersama kisah yang akan aku kubur selamanya. Setidaknya saat ini aku tahu, bahwa sebuah penghianatan, selalu akan berakhir dengan sebuah penyesalan. Semoga saja Nana bisa mengambil hikmah dari semua kisah ini.
Semoga saja, ia bisa menemukan kembali kebahagiaan yang dulu pernah ia sia-siakan.
Dan aku, akan tetap melangkah menuju peraduan yang lebih baik. Menuju sebuah perhentian, yang mungkin telah menungguku di ujung senja yang lain....

Sekian...

Kisah Cinta dalam Do'a, Ali dan Fatimah

Ali bin Abi Thalib adalah seorang pemuda miskin yang hidup dalam kesederhanaan. Ali merupakan salah seorang sahabat baginda Rasulullah Saw. Ia sangat dekat dengan baginda Nabi. Ali adalah seorang pemuda yang sangat taat. Kepribadiannya sangat dikagumi oleh baginda.
Dalam suatu kesempatan Ali akhirnya bertemu dengan putri Rasulullah, yakni Fatimah Az-Zahra. Seorang gadis yang sangat cantik dan sangat saleha.
Sebagai seorang putri dari baginda Rasulullah, Fatimah sangat menjaga sikap dan perilakunya. Hal itulah yang akhirnya membuat Ali jatuh cinta padanya. Sosok Fatimah yang lembut dan penuh kasih sayang, membuat Ali begitu mengagumi Fatimah.
Meski demikian, Ali sangat menyadari akan keadaan dirinya yang tidak memiliki apa-apa. Ali hanya bisa memendam perasaannya kepada Fatimah. Ia tidak pernah menceritakan tentang perasaannya itu kepada siapapun. Diam-diam setiap malam, Ali selalu berdo'a kepada Allah, agar ia bisa menjadi pendamping bagi Fatimah.

Karena cintanya yang begitu besar dan tulus, Ali berusaha keras untuk mengumpulkan uang agar bisa melamar Fatimah dengan mahar yang pantas. Ali juga berusaha memperbaiki akhlaknya. Setiap hari ia belajar banyak dari Rasulullah untuk menjadi sosok yang pantas untuk mendampingi Fatimah. Sambil terus berdo'a, agar Allah mempermudah perjuangannya.
Dalam masa perjuangan itulah, tiba-tiba ia mendapat kabar, jika Fatimah yang sangat ia cintai itu, akan dilamar oleh salah seorang sahabat Rasulullah yang sangat terkenal kesolehannya, yakni Abu Bakar As- Shidiq.
Ali merasa tidak punya harapan lagi untuk dapat menjadi suami dari Fatimah, biar bagaimana pun Abu Bakar As-Shidiq adalah sosok laki-laki yang tepat untuk menjadi pasangan Fatimah.
Rasulullah pasti akan dengan senang hati menikahkan putrinya dengan laki-laki itu.
Ali hanya bisa berpasrah diri mendengar kabar tersebut.

Namun ternyata, diluar dugaan Ali, Fatimah menolak lamaran dari Abu Bakar As-Shidiq. Ali bergembira mendengar kabar tersebut, ia merasa punya kesempatan lagi untuk menjadikan Fatimah pasangan hidupnya. Usaha dan do'a-nya semakin ia perbanyak setiap harinya.
Tetapi tak lama kemudian, harapan Ali kembali kandas, ketika tersiar kabar, kalau Fatimah akan dilamar oleh Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Rasulullah yang juga memiliki kesolehan yang luar biasa hebat.
Umar bin Khattab adalah sosok sahabat yang sangat terkenal dengan ketakwaan dan keteguhan imannya. Ia sangat berperan penting membantu Rasulullah dalam perjuangannya menegakkan agama Islam.
Mendengar kabar tersebut, Ali kembali merasa tidak punya kesempatan. Ia merasa kalau Fatimah bukanlah tercipta untuk dirinya. Fatimah terlalu sempurna untuk dirinya yang hanya seorang pemuda miskin dan tak memiliki apa-apa.

Tapi ternyata, sekali lagi, Fatimah kembali menolak lamaran dari Umar bin Khattab. Ali merasa lega mendengar hal tersebut. Namun dari dalam hatinya terselip keraguan yang mendalam.
Kalau sosok seperti Abu Bakar As-Shidiq dan Umar bin Khattab saja, yang sangat soleh dan taat, ditolak oleh Fatimah. Lalu bagaimana dengan dirinya? Jika dibandingkan dengan Abu Bakar dan Usman, ia merasa tidak ada apa-apanya. Bagaimana mungkin Fatimah bisa menerima seseorang seperti dirinya? Ali membathin dalam keraguannya.

Ali pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk melamar Fatimah, ia menceritakan hal tersebut kepada sahabatnya, Abu Bakar.
"wahai sahabatku Abu Bakar, demi Allah, seperti halnya dirimu, aku juga menginginkan Fatimah. Tapi jika orang seperti anda dan Usman saja ditolak, bagaimana dengan diriku yang tidak punya apa-apa ini?"
Mendengar hal tersebut, Abu Bakar pun berkata kepada Ali,
"wahai Ali, janganlah engkau berkata demikian. Bagi Allah dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya hanyalah ibarat debu yang berterbangan saja."

Mendengar ucapan dari Abu Bakar tersebut, Ali kembali termotivasi. Cintanya kepada Fatimah begitu tulus, jika Allah memang mengizinkan mereka untuk bersama, maka akan mudahlah segalanya. Namun jika Allah berkehendak lain, ia akan menerimanya dengan ikhlas.
Dengan keadaan demikian, Ali pun memberanikan diri untuk datang kerumah Rasulullah dan menyampaikan niatnya, sambil tak lupa ia terus berdo'a di sepanjang perjalanannnya.
"apa yang engkau miliki ya Ali bin Thalib, sahabatku. Untuk engkau jadikan mahar, melamar putriku?" berkatalah Rasulullah kepada Ali, setelah ia mendengar pernyataan dari Ali.
"Demi Allah, ya Rasulullah, seperti yang engkau ketahui, bahwa aku tidaklah memiliki apa-apa, kecuali sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta.." balas Ali dengan suara pelan.

Mendengar jawaban Ali, Rasulullah pun tersenyum lantas mengatakan,
"Tentang pedangmu, engkau tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu, engkau tetap memerlukannya untuk mengambil air bagi keluargamu juga bagi dirimu sendiri. Engkau tentunya memerlukannya untuk melakukan perjalanan jauh. Oleh karena itu, aku hendak menikahkanmu dengan mas kawin baju besi milikmu. Aku bahagia menerima barang itu darimu Ali. Engkau wajib bergembira sebab Allah-lah sebenarnya yang Maha Tahu lebih dulu. Allah-lah yang telah menikahkanmu di langit lebih dulu sebelum aku menikahkanmu di bumi." (HR. Ummu Salamah).

Ali pun bergembira mendengar hal tersebut, ia sangat bersyukur kepada Allah.
Ali dan Fatimah pun akhirnya menikah dengan mahar sebuah baju besi milik Ali.
"wahai suamiku, aku ingin menceritakan suatu hal padamu. Aku berharap engkau tidak marah padaku." ucap Fatimah kepada Ali, ketika sudah beberapa hari mereka menikah.
"hal apakah itu, wahai istriku?" bertanya Ali kepada Fatimah kemudian.
"sebenarnya sebelum kita menikah, aku telah jatuh cinta kepada seorang pemuda. Pemuda itu sangat baik dan soleh. Aku jatuh cinta padanya dan selalu berdo'a setiap malam, agar aku bisa menikah dengannya. Bertahun-tahun aku menunggu untuk dilamarnya. Bertahun-tahun aku berdo'a setiap malam untuk bisa menikah dengannya." balas Fatimah, sambil terus menatap lembut kepada suaminya.
Mendengar ucapan Fatimah barusan, Ali mencoba menahan gejolak di dalam hatinya. Kemudian ia bertanya kembali,
"siapakah gerangan pemuda yang sangat beruntung itu, wahai istriku?"

"pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib, wahai suamiku. Ia adalah dirimu, yang sekarang sudah menjadi suamiku..." jawab Fatimah dengan senyum manja.
Ali merasa gemas, mendengar hal tersebut. Dengan serta merta ia mengecup kening Fatimah dengan penuh kasih sayang.
Ternyata selama ini, Ali dan Fatimah selalu melantunkan do'a yang sama setiap malam, hingga akhirnya mereka dipersatukan Allah, dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci.
Cinta mereka begitu indah dan tulus.
Tidak ada seorang manusia pun yang tahu akan kebesaran cinta mereka berdua. Tapi seluruh penghuni langit telah mengetahuinya, melalui do'a-do'a mereka berdua.
Begitu hebatnya sebuah do'a, yang dapat menyatukan dua hati yang memang saling mencintai.
Menyatukan dua hati yang saling mencintai atas ridho Allah Swt.

Sejak awal Fatimah memang mengagumi sosok Ali yang sopan dan bersahaja. Pemuda itu telah mampu mengetuk hatinya sejak lama. Ketaatan dan kesolehan seorang Ali telah membuat Fatimah begitu mengaguminya. Namun Fatimah tidak pernah sekalipun mengungkapkan hal itu, apa lagi mengumbarnya kepada orang-orang. Ia hanya memendam semua rasa cintanya, dan ia lantunkan perasaannya dengan bait-bait do'a yang begitu tulus, disambut oleh alunan do'a dari Ali yang begitu syahdu. Sampai Allah akhirnya membalas do'a-do'a mereka dengan begitu indah.

Sungguh sebuah kisah cinta yang begitu sempurna. Sangat jauh dari fitnah dan prasangka. Mereka pasrahkan semuanya kepada Allah, sebagai pemilik segala kehidupan.
Sebuah kisah cinta yang tidak lagi bisa kita temukan dalam kehidupan zaman modern saat ini.
Dimana orang-orang dengan gamblang menceritakan perasaan cintanya kepada siapa pun.
Bukan kepada Tuhan meraka, yang merupakan pemilik cinta yang sesungguhnya.

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate