Mata Tom berkaca. Sekuat mungkin ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia harus terlihat tegar. Ia harus terlihat kuat, terutama di depan keluarga Jeni, tunangannya.
Bayangan kisah cintanya dengan Jeni berkelebat di benaknya. Pikirannya melayang, memutar memori kisah kasihnya yang begitu indah dengan Jeni.
Tiga tahun mereka bersama. Tiga tahun Tom merasa hidupnya begitu sempurna dengan kehadiran Jeni.
Tom menarik napas dalam, bayangan wajah cantik Jeni kembali melintas.
Jeni yang selama ini telah mewarnai hidupnya. Memberikan ia semangat, saat Tom dalam keterpurukan. Jeni selalu ada untuknya. Jeni selalu setia mendampinginya.
"gimana? cantik, gak?" tanya Jeni suatu hari, dengan suara riang. Dia tersenyum bahagia memamerkan gaun pengantin yang ia pesan berbulan-bulan lalu.
Tom hanya tersenyum memperhatikannya. Bagi Tom, Jeni selalu terlihat cantik. Tak peduli baju apa pun yang ia pakai. Tom mengangguk, sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.
Jeni masih tersenyum, sambil sedikit berputar-putar memperhatikan tubuh rampingnya yang memakai gaun pengantinnya. Dia sangat bahagia akhirnya bisa menjadi calon isteri Tom.
Segala persiapan pesta telah mereka persiapan. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Undangan juga sudah disebar.
Tiga tahun mereka pacaran, sudah cukup bagi Tom untuk mengenal sosok Jeni, begitu juga sebaliknya.
Tiga tahun mereka pacaran, mereka akhirnya memutuskan untuk bertunangan. Dan sudah hampir tiga bulan mereka bertunangan saat itu.
"oke! Sekarang kita kemana?" tanya Tom, setelah mereka selesai mencoba baju pengantin tersebut.
Sesaat Jeni terdiam. Mereka melangkah menuju tempat parkir.
"kamu pulang duluan aja, Tom. Aku mau ke rumah Mita, ada beberapa undangan yang harus aku antar kesana." ucap Jeni, setelah mereka berdiri di dekat mobil Tom.
"aku antar ya.." tawar Tom.
"gak usah, sayang. Kamu kan baru pulang kerja, pasti capek. Kamu pulang aja dulu. Istirahat.." balas Jeni dengan senyum manisnya.
Tom menatap Jeni beberapa saat. "kamu?" Tanyanya.
"aku bisa naik taksi, Tom."
"oke. Kamu hati-hati, ya.." Tom berkata sambil melangkah menuju pintu mobilnya.
Jeni melambaikan tangan, sebelum mobil Tom menghilang dari pandangannya. Ia pun segera menghubungi sebuah taksi.
Tom menghempaskan tubuhnya di ranjang. Tubuhnya terasa capek. Akhir-akhir ini ia dan Jeni memang cukup sibuk mempersiapkan pesta pernikahan mereka. Meski yang paling sibuk tentunya Jeni.
Belum sampai setengah jam ia terbaring, tiba-tiba handphone-nya berdering. Segera Tom mengambil handphone-nya. Itu dari papanya Jeni.
"taksi yang Jeni tumpangi mengalami kecelakaan, Tom. Nyawa Jeni tidak bisa terselamatkan. Sekarang kami sedang mengurus jenazahnya di rumah sakit. Sebentar lagi kami menuju rumah. Kamu langsung ke rumah aja ya, Tom." suara papa Jeni terdengar parau di seberang.
Tom menutup handphone-nya. Hatinya terasa perih. Tubuhnya terguncang. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia berharap itu semua hanyalah sebuah mimpi.
Tom memacu mobilnya menuju rumah Jeni. Hatinya berkecamuk. Pikirannya kacau.
Setengah tak percaya ia turun dari mobilnya, orang-orang sudah ramai di rumah Jeni. Isak tangis keluarga mengelilingi jasad Jeni yang terbaring kaku di ruang tamu rumah itu.
Tubuh Tom terasa lunglai. Matanya tiba-tiba berkaca. Tapi ia berusaha tegar. Ia sekuat mungkin menahan air matanya.
******
Dua tahun berlalu. Tom masih setia dengan kesendiriannya. Baginya, setelah kepergian Jeni, hatinya sudah tertutup rapat. Tidak ada lagi peluang siapa pun masuk ke dalamnya. Cintanya kepada Jeni terlalu besar. Tak mudah bagi Tom menghapus semua kenangan indahnya dengan Jeni. Meski Jeni telah tiada. Meski Jeni telah pergi dengan membawa seluruh cintanya. Tapi bagi Tom, Jeni selalu hidup di hatinya.
Sampai suatu saat, ia bertemu Suci. Gadis soleha yang berhijab. Suci yang lembut dan penuh perhatian, mampu membuat Tom tersenyum kembali.
Pelan-pelan Suci berhasil masuk ke relung hati Tom yang beku. Perlahan hati Tom pun mulai terbuka. Mulai menerima kehadiran Suci di dalamnya. Suci berhasil membangkitkan semangat dalam jiwa Tom yang rapuh. Hidup Tom yang berantakan, mulai tertata kembali dengan kehadiran Suci.
"kalau kamu gak mau. Kamu gak usah cerita, Tom." suara Suci lembut.
"tapi kamu harus tahu, Ci. Kamu harus tahu cerita masa laluku." balas Tom. Mereka duduk di sebuah bangku taman kota.
"sudahlah Tom! Yang lalu biarkanlah berlalu. Setiap orang punya masa lalu. Itu sudah tidak penting lagi. Yang penting sekarang, bagaimana kita menatap masa depan."
"aku hanya tidak ingin, hubungan kita kedepannya, dihantui oleh masa laluku yang pahit.."
"aku juga punya masa lalu, Tom. Dan masa laluku juga tidak terlalu manis. Jadi sebaiknya, kita lupakan semua yang telah berlalu. Kita mulai hidup dengan lembaran yang baru..." Suci menarik napas sejenak, ia menatap Tom yang tertunduk. "tapi jika dengan menceritakan itu semua bisa membuatmu tenang dan lega, aku siap mendengarkannya, Tom." lanjutnya.
"yah. Aku hanya ingin kamu tahu, Ci..." ucap Tom dengan suara pelan.
Ia menceritakan semuanya. Ia merasa lega bisa menceritakan kisahnya dengan Jeni. Tom menceritakan itu semua, hanya sekedar untuk meyakini hatinya sendiri, kalau Suci memang benar-benar mencintainya.
***********
"siapa dia?" tanya Tom dengan nada datar. Ia dan Suci sudah menjalin hubungan lebih dari enam bulan.
"maksud kamu?" Suci bertanya dengan kening berkerut.
"cowok yang bersamamu kemarin sore di kafe.." balas Tom.
"oh. kamu melihatnya?" Suci melirik mata Tom, ada gurat cemburu di sana.
"aku melihatnya tak sengaja. Aku ada janji bertemu teman di kafe itu. Tapi karena aku melihat kamu disana, aku membatalkan janjiku. Dan memilih kafe lain." jelas Tom. "siapa dia?" tanyanya lagi.
"dia Delon. Mantan tunanganku." tegas suara Suci.
Tom mengerutkan kening, "mantan tunangan?"
"iya. Beberapa tahun lalu, jauh sebelum kita saling kenal. Aku sempat bertunangan dengan Delon. Tapi pertunangan kami dibatalkan."
"kenapa?"
"karena Delon lebih memilih melanjutkan study S2-nya ke luar negeri. Dia memutuskan pertunangan kami, karena gak mau membuat aku merasa terikat. Begitu juga sebaliknya." Suci menghela napas, "dari situ aku sadar, kalau Delon tak benar-benar mencintaiku. Kuliah ke luar negeri hanyalah sebuah alasan untuk memutuskan pertunangan kami, meski kami bahkan sempat pacaran selama dua tahun. Tapi keputusan Delon untuk mengakhiri pertunangan kami, telah membuat aku sangat terluka.."
Suci melanjutkan dengan suara sedikit bergetar.
"lalu sekarang?"
"sekarang Delon datang kembali, dan berharap aku masih bisa menerimanya."
"kamu mau?" Tom bertanya lagi, kali ini ia tatap wajah manis Suci cukup lama.
"saat Delon pergi. Aku sempat putus asa dan sangat kecewa. Aku tak percaya lagi dengan yang namanya cinta. Hatiku, kututup rapat. Aku lalui hari-hariku dengan penuh kekecewaan. Namun setahun berlalu, aku bertemu kamu. Pelan aku mulai merasa, kalau kehadiranmu telah mampu menyingkap kelamnya hatiku. Goresan luka di hatiku, karena kepergian Delon, perlahan mulai mengering. Entah mengapa saat bersamamu, aku merasa lebih baik dan begitu nyaman. Aku belajar melupakan Delon. Aku belajar melupakan masa laluku. Sampai akhirnya kamu mengungkapkan perasaanmu padaku, aku semakin sadar, bahwa Delon hanyalah sebuah masa lalu, dan kamu adalah masa depanku." kali ini Suci menarik napas cukup lama.
"namun saat Delon datang kembali. Tiba-tiba aku merasa ragu dengan hatiku. Benarkah aku telah mampu menghapus nama Delon di hatiku? Benarkah aku telah jatuh cinta padamu?" lanjutnya dengan sedikit terbata.
"pada akhirnya aku memang harus memilih, Tom. Dan aku harus pergi dari hidupmu. Itu keputusanku...." kali ini Suci berkata tanpa menatap sedikit pun pada Tom. Matanya tiba-tiba berkaca. Hatinya begitu miris.
Tom menghempaskan napas berat. Ia menatap gadis itu sekali lagi.
"itu berarti, bahwa semua ucapanmu tentang 'melupakan masa lalu dan mulai membangun hidup yang baru' adalah sebuah omong kosong.." suara Tom meninggi.
Suci menelan ludah. Ia tahu, Tom akan marah. Ia tahu, ia salah. Tapi ia memang harus pergi. Ia tak mungkin lagi melanjutkan hubungannya dengan Tom. Ada banyak hal yang ia sembunyikan dari Tom. Dan Tom tak harus tahu. Suci tak ingin Tom tahu, setidaknya sampai ia benar-benar siap menerima semuanya.
Begitu banyak yang ingin ia jelaskan pada Tom. Tapi..
"maafkan aku, Tom..." hanya itu yang keluar dari bibirnya yang kering.
************
Tok! tok! tok! suara ketukan di pintu kamarnya mengagetkan Tom.
"Tom! ada tamu!" suara mamanya nyaring.
"siapa, Ma?"
"gak tahu. Penting katanya.."
Tom bangkit dari ranjangnya. Ia segera keluar menuju ruang tamu. Seorang laki-laki sudah duduk disana.
"hai, Tom.." sapa laki-laki itu ringan.
"kamu?" kening Tom berkerut.
"saya Delon. Suci pasti udah cerita.." balas laki-laki itu lagi.
Tom mengernyitkan kening lagi, ia duduk dihadapan laki-laki itu.
"ada apa kamu kemari?" suara Tom datar.
"saya ingin bicara soal Suci. Sebagai sesama laki-laki."
"maksud kamu?"
"ada banyak hal yang kamu tidak tahu tentang Suci, Tom."
"iya. Tentu saja! kamu pasti lebih mengenalinya. Karena kamu mantan tunangannya.." suara Tom terdengar sedikit kasar.
"itu yang ingin saya jelaskan disini, Tom. Sebenarnya Suci berbohong. Tidak semua, sih. Tapi ada beberapaa hal yang Suci tidak ceritakan padamu."
"salah satunya?"
"saya bukan tunangan Suci, Tom. Saya sepupunya. Suci tidak pernah punya tunangan. Suci bahkan tidak pernah punya pacar, selain kamu tentunya."
Kali ini Tom terdiam. Ia mengepalkan tangan. Hatinya bingung.
"saya gak ngerti maksud kamu.." desah Tom.
"Suci sakit, Tom. Suci menderita leukemia sejak kecil. Dokter sudah memvonis, kalau umur Suci tidak akan lama. Adalah sebuah keajaiban, kalau Suci masih bertahan sampai ia dewasa. Tapi ternyata, saat ini, penyakit yang di derita Suci sudah semakin parah dan sepertinya sudah tidak bisa tertolong. Meski pun selama ini, Suci rutin menjalani pengobatan. Tapi tetap saja, kanker itu masih bersarang di tubuhnya." Delon menarik napasnya.
"Saat ini, Suci sedang menjalani pengobatan di Singapur. Kedua orang tuanya masih berharap Suci masih bisa sembuh. Tapi Suci sendiri tahu, kalau umurnya tidak akan lama lagi."
Tom menatap Delon cukup lama, mencoba memahami cerita Delon barusan. Tom menatap laki-laki itu setengah tak percaya. Tapi untuk apa Delon berbohong. Bathinnya.
"lalu untuk apa Suci berbohong?" tanya Tom akhirnya, setelah beberapa saat mereka terdiam.
"Suci tidak pernah pacaran sebelumnya, Tom. Ia tahu, umurnya tak lama. Makanya ia memilih untuk tidak menjalin hubungan serius dengan laki-laki manapun. Tapi sejak ia mengenal kamu, ia merasa berbeda. Di mata Suci, kamu berbeda, Tom. Kamu mampu membuat Suci akhirnya benar-benar jatuh cinta. Awalnya Suci ingin cerita tentang semua ini, tapi ia gak sanggup. Ia takut kamu akan pergi meninggalkannya. Sementara ia sudah terlanjur mencintai kamu. Namun setelah kamu cerita tentang masa lalu kamu dengan Jeni. Ia justru semakin takut. Ia takut, kalau pada akhirnya kamu juga akan kehilangan dia. Sama halnya seperti Jeni, tapi mungkin dengan cara yang berbeda." Delon menelan ludah.
"untuk itu ia mengarang cerita tentang pertunangannya dengan saya. Pada saat kamu melihat kami di kafe, itulah saat Suci meminta izin saya, untuk berbohong padamu. Ia tahu, kamu akan datang ke kafe itu.." Delon melanjutkan.
Tom menarik napas, hatinya terenyuh. Kenapa Suci melakukan itu padanya? pikir Tom membathin.
"karena ia tidak ingin hubungan kalian semakin dalam, Tom." ucap Delon lagi, seperti bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Tom. "ia tidak ingin, kamu berharap banyak. Karena ia tahu, pada akhirnya ia memang harus pergi. Dan itu pasti akan sangat berat bagimu, Tom."
"lalu untuk apa kamu ceritakan ini semua pada saya sekarang?"
"sebenarnya saya sudah berjanji pada Suci, untuk tidak menceritakan ini sama kamu, Tom." Delon menghembuskan napas. Ia teguk minuman yang sudah dihidangkan mama Tom dari tadi.
"tapi, saya tak ingin kamu berburuk sangka pada Suci. Terutama di sisa-sisa akhir hidupnya.." Delon melanjutkan.
Tom memijit keningnya sendiri. Semua yang diceritakan Delon membuat kepalanya berdenyut. Sungguh ia masih tak percaya, kalau ternyata cerita Suci tentang hubungannya dengan Delon, hanyalah sebuah alasan untuk mengakhiri hubungan mereka.
"besok saya akan ke Singapur, menjenguk Suci. Saya tidak tahu, apakah saya masih bisa bertemu dengannya. Tapi saya sarankan, agar kamu ikut, Tom. Setidaknya beri Suci sedikit kebahagiaan, sebelum ia benar-benar pergi..." suara Delon semakin pelan.
Tom menelan ludah pahit. Ia tak sanggup.
Ia tak sanggup kehilangan orang yang ia cintai kedua kalinya dengan cara yang sama.
Dia sudah ikhlas, ketika Suci memutuskannya dan memilih untuk pergi.
Tapi setelah mendengar semua cerita Delon barusan. Hatinya justru semakin sakit. Tubuhnya gemetar menahan gejolak di dadanya. Kepalanya semakin terasa sakit.
Mengapa orang-orang yang ia cintai, harus pergi dengan cara yang sangat menyakitkan?
Mengapa ia tidak bisa menikmati kebahagiaan lebih lama dengan orang yang ia cintai? bathin Tom merintih...
Sekian...