Sebuah Cerpen Jadul " KEPERGIANMU"

Echa duduk termangu, di kursi teras depan rumahnya. Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Pandangannya kosong. Seolah tanpa makna. Sekali lagi, Echa menarik nafas panjang. Seperti ada benan yang ingin di hempaskannya melalui hembusan nafas itu.

Kembali terlihat kemurungan di wajah cantik itu. Kemurungan yang akan selalu datang, bila ia termenung sendiri. Echa sendiri tak tahu, apa yang menyebabkan ia bermuram durja. Echa hanya tahu, bahwa ia telah terluka. Tanpa ia sadari, luka itu telah membuatnya murung tak menentu.

Hampir setahun lamanya, Echa merasa menanti sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang ia sendiri malu untuk mengakuinya.

Am, cowok ganteng yang sederhana, yang ia kenal setahun yang lalu. Waktu pertama kalinya ia menginjakkan kaki nya di desa ini. Pertemuan yang tak sengaja.
Cowok itu yang membuat ia terluka. Tapi Am, gak salah. Bathin Echa.
Pikirannya kembali melayang ke masa itu, masa pertemuannya dengan Am.
"maaf! boleh numpang tanya?" kata-kata pertama yang di ucapkan Echa pada lelaki itu. Ketika ia dan mobil pengangkut barang-barangnya itu, sampai di sebuah gapura yang rusak.
Kebetulan saat itu, lelaki itu melintas dengan sepeda motor nya, berlawanan arah dengan mobil Echa. Setelah tadi Echa menyetop motor itu, bersama pengemudinya yang memakai helm tertutup.

Lelaki itu membuka helm-nya, ketika Echa bertanya padanya.
"oh, boleh." jawabnya. "ada yang bisa saya bantu?" tanya nya melanjutkan, sambil tersenyum dengan manis.
Sesaat Echa sempat gugup, karena pemuda di hadapannya penuh simpati.
"oh, eh... begini... a.. apa benar ini desa Mentulik?" tanya Echa dalam gugupnya, karena ia kira tadi pengemudi motor itu bukan seorang anak muda. Manis.
"ya, benar," jawab lelaki itu santai, "beberapa ratus meter lagi dari sini, akan kelihatan rumah-rumah penduduknya." sambung lelaki itu menjelaskan, sambil menunjuk ke arah desa yang akan di tuju Echa.
"kalau boleh tahu, kalian dari mana ya? dan ada perlu apa ke desa Mentulik?" lelaki itu bertanya lagi, sambil melihat ke arah mobil vekap kijang yang berisi alat-alat perabot rumah dan beberap barang lainnya.
"oh, iya. maaf! kenalkan nama saya Echa," ucap Echa, kemudian mengulurkan tangannya, yang disambut hangat oleh lelaki itu.
"Nama saya Amran, panggil saja Am..."
Setelah melepaskan tangannya, Echa berucap lagi, "saya dari Kabupaten. Saya di tugaskan untuk menjadi salah seorang guru SD di desa Mentulik." Echa berhenti sejenak, mengatur nafas. Pemuda itu masih menunggu penjelasannya. "dan mobil ini sengaja saya sewa untuk mengantar barang-barang saya ke perumahan guru di desa Mentulik, bersama sopirnya juga."
"oh, jadi saudari Echa seorang guru baru?" tanya Am sedikit diplomatis, sambil mengangguk paham.

Echa balas mengangguk, "Perumahan guru masih jauh dari sini?" tanya Echa kembali, agak sedikit kaku.
"gak juga, sih. Tapi... kalau buk guru gak keberatan, boleh saya ikut mengantarkan kesana?" balas Am lagi, menawarkan jasa.
"apa gak merepotkan?" Echa balik nanya, berusaha menolak dengan halus.
"oh, tidak apa-apa, kok. lagian saya lagi gak mau kemana-mana." jawab Am bersikeras.


Akhirnya Echa mengizinkan Am mengantarnya. Echa naik ke mobilnya kembali dan meminta sopirnya untuk mengikuti motor Am dari belakang.

Sekitar 5 menit, mereka pun akhirnya sampai di sebuah perumahan guru yang berada tidak jauh dari gedung sekolah tersebut. Mobil Echa parkir di depan salah satu rumah guru yang memang masih kosong. Terdapat empat buah rumah di situ, tiga buah rumah sudah berpenghuni.

Lumayan bagus. Bathin Echa, ketika ia sudah masuk ke dalam rumah itu. Ternyata tak seperti yang ia bayangkan, desa ini jauh lebih maju dan bersih dari apa yang ia pikirkan sepanjang perjalanan tadi.

"begini lah tempatnya!"  Am menghampiri Echa. Dan melanjutkan,"di sini hanya rumah ini yang masih kosong, yang lain sudah di tempati oleh guru-guru lain."
"apa semua guru disini, dari luar semua?" Echa bertanya lagi pada Am, sambil mulai mengangkat barang-barang nya turun dari mobil.
"gak juga. Ada beberapa yang asli orang sini."
"emang, berapa orang semua guru di sini?"
"Sembilan. jadi sepuluh sekarang..."
Echa mengangguk lagi. Di hatinya terlintas pertanyaan dan rasa kagum. siapa sebenarnya pemuda ini? Dia baik dan ramah. Bathin Echa.

"Oh, iya. rumah pak Kades dimana, ya?" tanya Echa lagi, sambil terus mengangkuti barang-barang nya ke dalam rumah, yang di bantu Am.
"gak jauh dari sini, kok. Nanti saya akan tunjukkan." sekali lagi Am menawarkan jasanya. Dan Echa tak kuasa menolak. Biar bagaimana pun Am-lah orang pertama yang ia kenal di desa ini. Dan ia butuh Am, sebagai pemandu. Lagi pula, ia ingin tahu siapa Am.

Selesai mengangkut barang-barangnya dan menyusun sekedar nya di dalam rumah itu. Dengan di bantu Am, pekerjaan itu jadi lebih mudah dan cepat. Echa kemudian membayar sejumlah uang, sesuai perjanjian kepada sopir tadi. Dan setelah mengucapkan terima kasih, sopir itu pun pamit pergi.

"makasih ya, Am. Kamu sudah sangat banyak membantu saya." ucpa Echa, mulai merasa akrab.
"oh, gak apa-apa, kok." jawab Am, singkat. kemudian melanjutkan, "Kamu jadi kan, ke rumah pak Kades?"
Echa pun mengangguk.

Am mengantar Echa ke rumah pak Kades, pakai motornya. Setelah semua urusannya dengan pak Kades selesai. Am mengantar Echa kembali ke perumahan guru. Lalu kemudian ia pamit untuk segera pulang ke rumahnya.

Itulah awal perkenalan Echa dan Am. Yang menghadirkan kesan tersendiri di hati Echa, mungkin juga di hati Am.

*****************************



"Am memang gitu, ia baik pada semua orang." Dian, seorang rekan guru Echa, yang asli dari desa Mentulik, menjelaskan kepada Echa. Setelah Echa mempertanyakan tentang pemuda itu.
"Am itu seorang yatim piatu. Sejak kecil kedua orang tua nya sudah meninggal. Selama ini ia tinggal bersama kakaknya. Ia bekerja sebagai nelayan di sungai, bersama rekan-rekan nya." Dian melanjutkan ceritanya.

Memang sudah hampir satu bulan Echa tinggal di desa ini. Ia jarang bertemu dengan Am. Kalau pun ketemu palingan cuma sebentar. Am akan tersenyum padanya, kemudian Echa akan membalas senyum Am. Cuma itu saja!

Echa belum juga tahu, siapa Am. Sampai ia kenal dengan Dian. Dan kebetulan Dian asli dari desa sini. Tentunya Dian tahu siapa Am. Makanya Echa berani bertanya pada Dian, tentang Am.
"setahu saya, Am itu belum pernah pacaran." jelas Dian, ketika Echa bertanya tentang Am lagi.
"Am dan saya dulu sempat dekat, sebelum saya menikah. Am teman yang baik... walau ia agak pendiam. Tapi ia sangat pengertian orangnya." lanjut Dian. "Setelah saya menikah, kami jarang bersama lagi. Am sudah jarang main ke rumah. Yah, saya bisa maklum, kok." cerita Dian waktu itu.

Melalui Dian lah, akhirnya Echa bisa dekat dengan Am. Tahu lebih banyak tentang Am. Walau Am lebih sering diam, jika lagi berdua dengan Echa.
Echa yang selalu buka cerita.
Echa merasa Am menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Entah apa itu, Echa tak bisa menebak.

Kadang-kadang Am datang ke rumah Echa sendirian. Seperti ada yang ingin ia bicarakan, namun kemudian tidak jadi. Echa jadi bingung sendiri di buatnya.
"kamu kenapa sih, Am?" tanya Echa suatu hari di rumahnya. "sudah hampir setahun kita saling kenal, tapi aku tak banyak tahu tentang kamu, kecuali dari Dian..."
"ah, gak apa-apa kok, Cha.." jawab Am sekenanya. Selalu begitu, pikir Echa. Am selalu menjawab begitu, tiap kali Echa bertanya sesuatu padanya.

Andai saja Am tahu, betapa Echa ingin Am bicara jujur padanya. Betapa Echa telah jatuh hati pada nya. Bahkan sejak kali pertama mereka bertemu dulu. Namun Am terlalu dingin bagi Echa. Ada apa dengan mu Am? Echa membathin penuh tanya.

"ternyata kita banyak persamaan ya Am" Echa membuka pembicaraan lagi. "sama-sama anak bungsu, tahun lahir kita pun sama. cuma beda tanggal dan bulannya saja..." Echa berhenti sesaat, menatap Am, yang pura-pura mengalihkan perhatiannya. Echa melanjutkan, "Tapi, masa sih. Di usia mu yang sudah hampir 24 tahun, kamu belum pernah pacaran?"
Am menatap Echa lagi, kemudian buru-buru menunduk. Tak berani membalas tatapan Echa lebih lama. "memang belum pernah, aku belum sempat memikir kan hal itu..." jawab Am akhirnya, sedikit acuh.

Am itu aneh, Echa menyimpulkan. Sekali waktu Am tampil di depan nya, penuh ceria dan humor. Lain waktu, Am akan diam tanpa bicara.

"mungkin Am, lagi ada masalah, Cha.." kata Dian, ketika Echa mempertanyakan hal itu.
"mungkin juga, sih. Tapi, Am kok gak mau cerita ya..."
"barangkali ia malu, Cha. Dulu saja, sama aku dia jarang cerita kok. Malahan dia yang sering mendengarkan cerita ku.." jelas Dian.

Lalu sampai kapan aku harus begini. Bathin Echa lagi. Harus kah aku menunggu Am? atau aku harus belajar untuk melupakan Am? Ah. itu tak mungkin. Aku tak bisa melupakan Am begitu saja. Se aneh apa pun Am, aku terlanjur menyayangi nya. Aku terlanjur berharap banyak pada nya...

************************

Sekarang sudah lebih dari satu tahun penantian ini, penantian yang tak pasti. Akh, Am ... tak mengertikah diri mu? Betapa aku membutuhkan mu! Echa membathin sendirin.
"Hai, Cha!" suara Dian mengagetkan Echa dari lamunannya. "melamun aja!"
"oh, kamu Dian! bikin saya kaget saja. Gak kok, saya gak lagi ngelamun..." jawab Echa dalam keterkejutannya.

"kamu gak ke rumah nya Am, Cha?" tanya Dian kemudian. Setelah ia duduk di samping Echa, tanpa pedulikan jawaban Echa barusan.
"ke rumah Am?" kening Echa mengernyit. "kenapa emang nya?" tanya Echa penasaran.
"Lho, kamu belum tahu ya, kalau Am lagi sakit?"
"gak..." jawab Echa menggeleng, "kamu tahu dari mana?" tanya nya kemudian.
"tadi pagi aku mampir ke rumah nya. Udah dua hari ini, Am terbaring sakit." Dian menjelaskan. Dan Echa terkejut mendengar berita itu. Pantas, udah beberapa hari ini dia gak kelihatan. Bathin Echa lagi.

Kebetulan hari ini minggu, Echa libur. Dan jarak rumah Am, gak terlalu jauh. Bisa di tempuh dengan jalan kaki. Echa datang sendirian ke sana.
Am terbaring lemah, di atas dipan ruang tamu kakaknya. Badan nya agak kurusan. Echa duduk di samping Am, yang menatapnya sesaat, kemudian seperti terpaksa Am tersenyum, lalu membuang muka.

Echa mengernyitkan kening. Am seperti menderita sakit yang sudah cukup lama. Tapi apa? penyakit apa yang bisa membuat seorang Am, yang kekar, menjadi lemah tak berdaya? Echa benar-benar tidak tahu.

"Am, sebenarnya sudah cukup lama menderita penyakit tumor pada paru-paru nya..." bang Rio, abang ipar nya Am menjelaskan pada Echa, ketika Echa duduk di kursi tamu agak jauh dari Am. Bang Rio dan istrinya, menyediakan air minum diatas meja sambil ngobrol sama Echa. Sementara itu, teman-teman Am lain, banyak yang berdatangan melihat keadaan Am.

"tapi kenapa gak di bawa ke dokter, bang?" tanya Echa kemudian. Prihatin.
"Am orang nya keras. Dia gak mau berobat. Dia juga gak mau dilarang melakukan pekerjaan yang berat-berat. Akibatnya ya itu, penyakitnya semakin parah. Sekarang ia pun gak mau di bawa ke rumah sakit, katanya hanya buang-buang uang saja..."
"Am kelihatan sudah pasrah dengan penyakitnya.." istri bang Rio menyambung kata-kata suami nya barusan.
Echa termenung beberapa saat, berbagai perasaan bercampuk aduk dalam pikiran nya. Antara putus asa, kecewa dan rasa iba berbaur di hatinya. Yang membuat Echa kian sakit.

************************

Keesokan harinya, Am di kabarkan meninggal dunia. Echa melihat dengan jelas, ketika jenazah Am di masukkan ke pembaringannya yang terakhir. Echa ingin menangis. Tapi ia berusaha menahan air mata nya, agar jangan tumpah saat itu juga.

Am, mengapa kamu hadir hanya sesaat, tapi telah mampu membuat ku kecewa berkepanjangan. Andaikan aku tahu sejak dulu, semua akan berakhir seperti ini. Aku tak akan pernah mengharapkan mu, Am! Rintih hati Echa.

"kamu harus kuat, Cha..." hibur Dian. "Am memang sangat baik, tapi kita harus bisa merelakan kepergiannya. Semua bukan kehendak kita, ini takdir yang kuasa.." kata-kata Dian sedikit memberikan kehangatan di hati Echa yang pedih.
"mungkin ini lah alasan nya, mengapa Am lebih banyak diam, lebih memilih sendiri tanpa pacaran, dan selalu berusaha untuk berbuat baik. Karena ia tahu, ia tak bisa bertahan lebih lama lagi hidup di dunia ini..." ucap Dian menyimpulkan, yang  dijawab dengan anggukan kepala oleh Echa, bersama tangisnya yang akhirnya tumpah.

"maafkan aku, Cha..." terngiang kata-kata terakhir Am di telinga Echa. "sebenarnya dari awal, aku sudah suka sama kamu, Cha. Tapi aku takut mengakuinya, karena aku tahu, ini pasti akan berakhir dengan sangat menyakitkan..." suara Am terdengar sangat pelan di telinga Echa, namun mampu menembus relung hati Echa. Dan akhirnya, Am pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Echa sangat terpukul bila mengingat semua itu.

Kini Echa sadar, bahwa Am memang telah tiada. Ia harus kuat dan harus bisa merelakan kepergian Am, untuk selamanya.
Am pergi dengan meninggalkan sejuta kenangan yang tak kan mudah untuk Echa lupakan.
Am pergi dengan meninggalkan cinta nya di hati Echa.
Kini, Echa hanya bisa pasrah. Karena Am akan tetap menjadi sejarah dalam perjalanan hidupnya.
Hanya satu hal yang pasti, Echa akan selalu menyayangi Am.
"aku juga sayang kamu, Am..." tegas hati Echa. Mantap!
******
Mentulik, 01 September 2005.
You always in my heart...
by,
Basri psyd..

Sebuah CERPEN Jadul : Tak Ada Yang Berubah

Lampu merah lagi. Nana mengumpat kesal dalam hati. Diturunkannya kaca mobil setengah, untuk mengurangi panas dimobil. Ia menggerutu panjang – pendek. Bakalan telat lagi, nih! Padahal minggu lalu dia juga terlambat untuk mata kuliah yang satu ini. Sehingga dengan amat terpaksa ia mengikuti kuliah kewiraan dari luar kelas.


“Majalah, Mbak!”
Nana tersentak kaget. Hampir saja memaki cowok penjual majalah dan koran dilampu merah itu. Kalau saja ia tidak melihat tampang cowok itu.
“Jeff...?” desisnya tak percaya. Kekucelan cowok itu sedikit meragukan Nana.
Cowok itu menatapnya sesaat. Lalu tergesa meninggalkan Nana. Hal tersebut semakin meyakinkan Nana. Kalau cowok tersebut memang Jeff. Tapi, kenapa penampilan Jeff begitu berbeda. Kurus, hitam dan tak terawat. Dua tahun memang bukan waktu yang singkat, rentang waktu selama itu bisa merubah penampilan seseorang, tapi tidak sedrastis itu.
“Jeff! Jeff!” teriak Nana, mengeluarkan separoh badan dari mobil. Tapi Jeff menolehpun tidak. Justru langkahnya semakin lebar.
Sayang sudah lampu hijau. Kalau tidak, Nana akan nekat mengejar Jeff.

*******
Siang ini, Nana tidak ada kuliah. Diputuskannya untuk datang lagi keperempatan kemarin. Agar lebih mudah, sengaja ia tak membawa mobil. Semalaman Nana tak bisa tidur. Pertemuannya dengan Jeff kemarin telah membangkitkan kenangan lama yang dengan susah payah ia timpah didasar hatinya. Tapi pertemuan tak terduga itu, telah mengobrak-abrik semuanya
Siapa sangka mereka justru bertemu disini; saat Jeff menghilang, seluruh pelosok Bandung sudah ia jelajahi. Pantas tak ketemu. ‘Gak tahunya ia ada di Medan.
Nana berbaur diantara pedagang asongan yang banyak itu. Matanya jelalatan mencari Jeff. Matahari tepat berada diatas kepala. Tapi Nana tak peduli, asal ia dapat bertemu dengan Jeff.
Nah, itu dia!

Langkah Nana lebar. Jeff berdiri dipinggir jalan dengan tumpukan majalah dan koran ditangan. Menunggu lampu merah tiba, lalu akan bergerak cepat menjajakan dagangannya dari mobil ke mobil begitu lampu kuning berganti merah.
Sekarang Jeff ada didepannya. Lampu merah. Nana urung memanggil. Diperhatikannya Jeff yang menawarkan dagangannya kebeberapa mobil yang kacanya terbuka. Bukan membeli, justru kaca itu semakin menutup penuh.
Tak satupun dagangan yang terjual. Jeff mengusap peluh diwajahnya yang hitam. Tersentuh hati Nana. Ia tahu siapa Jeff, cowok pemalu yang tak biasa hidup keras dan susah.
“Jeff ...”
Jeff menatap Nana. Mengernyit sesaat lalu membuang muka. Langkahnya berbalik menjauhi Nana.
Nana mengejar dari belakang. “Jeff!”
Disentuhnya pundak Jeff dari belakang. Cowok itu berbalik menatapnya.
“Maaf, kamu salah orang. Aku bukan Jeff!”
“Kalau bukan Jeff, lalu kamu siapa?”
“Kurasa itu bukan urusan kamu,” ujarnya tanpa menatap Nana. Berbalik dan berjalan menjauh.
“Kamu pengecut, Jeff! Pergi tanpa pamit. Lalu sekarang, kamu pura-pura ‘gak kenal. Apa salahku?!” teriak Nana parau.
Diluar dugaan, Jeff berhenti, berbalik menatap Nana.
“Kamu ‘gak salah. Aku juga tak bersalah. Keadaanlah yang memaksaku harus pergi.” Perlahan suara Jeff. Mereka duduk dihalte tak jauh dari lampu merah tersebut.
“Berarti kamu tak mengenal aku seutuhnya. Perbuatan papamu itu tak akan mengubah hubungan kita.”
“Bagimu mungkin. Tapi tidak dengan keluargamu.”
“Apa maksudmu?”
“Lupakan saja.”
“Jangan membuatku bingung, Jeff.”
“Tak ada gunanya, Na! Jika kukatakan, tak akan merubah apapun yang sudah terjadi.”
“Tapi setidaknya bisa membuatku mengerti mengapa kamu pergi tanpa pamit.”
“Aku tak ingin mengingat semua itu lagi. Bagiku itu merupakan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam.”
Miris hati Nana mendengarnya. Tragis sekali. Bagi Jeff dirinya cuma masa lalu yang sudah terkubur. Sementara dia selalu mengais-ngais masa lalu itu. Berharap suatu hari mereka kembali bertemu.
“Semudah itu kamu melupakanku?”
“Kita sudah jauh berbeda, Na! Lihat saja, aku bagai gelandangan dekil. Sementara kamu bagai putri raja.”
“Semua mungkin sudah berubah. Tapi tidak dengan hatiku.”
“Waktu akan mengubah segalanya.”
“Takkan ada yang mampu merubahnya.”
Jeff menghela nafas. Mencintai Nana adalah hal yang sangat menyenangkan, dan memiliki cinta gadis itu merupakan hal terindah dalam hidupnya.
Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berubah.

Bukan salah orangtua Nana jika menentang hubungan mereka. Juga bukan salah papa karena memanipulasi uang perusahaan, yang menyebabkan Jeff menjadi hina dimata siapa saja.
Jeff tak berhak menghakimi papa. Sudah begitu banyak yang menghakimi papa. Apalagi papa sudah menebusnya dengan masuk bui. Lalu pergi jauh ke istana Tuhan karena tidak tahan hidup menderita didalam sel.
Juga bukan salah mama, jika memilih mengakhiri hidup dan meninggalkan Jeff sendirian, dari pada melarat dan malu.
Bukan salah siapa-siapa. Kalau ada yang harus disalahkan, mungkin cintanya yang salah berlabuh.
Dia dan Nana memang sudah tak sebanding. Tapi mereka mencoba mengabaikan itu. Hingga papa Nana merasa perlu turun tangan. Dengan wajah memelas memohon. “Tolong tinggalkan Nana. Dia anak om satu-satunya. Om ingin dia mendapat pria yang pantas dan sepadan dengannya.”
Jeff tak berhak tersinggung. Untuk sakit hati saja ia tak pantas. Karena benar yang dikatakan papa Nana. Tapi Jeff masih punya harga diri, dan dia harus menyelamatkannya, karena hanya itu yang ia punyai.
 
Kebersamaan memang kebahagiaan. Tapi jika mereka tetap bersama, Jeff hanya akan memberi kesedihan bagi Nana, disuatu hari nanti. Dan jika memang perpisahan membuat Nana kelak akan bahagia, Jeff memilih untuk pergi. Diam-diam. Tanpa ada kata perpisahan, juga penjelasan mengapa ia harus memilih jalan itu.
Semua sudah berakhir. Yang tersisa hanyalah setumpuk masa lalu yang terlalu sakit untuk dikenang, walau terlalu manis untuk dicampakkan.
“Aku sayang kamu, Jeff! Selalu dan untuk selamanya.”
Jeff menggeleng dengan pandangan miris.
“Jangan ucapkan itu, Na. Terlalu sakit buatku.”
“Kenapa?”
Jeff menggeleng. Mundur tiga langkah, lantas berbalik dan berjalan tergesa meninggalkan Nana.
*************

Lebih seminggu Nana tak lagi pernah melihat Jeff berjualan dilampu merah tempatnya biasa berjualan.
Pikiran Nana mulai tak enak. Memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Jeff.
“Kamu kenal Jeff?” Nana bertanya pada seorang penjual rokok dilampu merah itu.
“Yang hitam tinggi itu?”
“Yang agak kurusan,” tambah Nana. “Kamu ada liat dia?”
Remaja itu menggeleng.
“Kamu tahu rumahnya?”
“Dia kost di Juanda baru. Dekat jembatan itu.”
“Bisa antar saya. Saya temannya di Bandung dulu.”
Remaja pria itu membulatkan bibir.
Mereka hanya berjalan kaki. Karena katanya tempat kost Jeff tak jauh dari situ. Lagipula jalannya sempit dan becek, hingga mobil takkan bisa masuk.
Mereka melewati rumah-rumah kecil dan sembrawut. Tiang-tiang jemuran melintang tak teratur. Beberapa bocah bertelanjang dada penuh ingus dihidung saling berlarian.
“Masih jauh?”
“Itu rumahnya. Yang cat hijau.”
“Yang paling pinggir?” mengernyit kening Nana. Yang ditunjuk remaja itu merupakan rumah paling jelek dari rumah lainnya.
“Perlu saya tunggu, Mbak?”
Nana mengangguk. Ia merasa tak nyaman berada sendirian ditempat seperti ini.
“Assalamualaikum ..”
Tak ada sahutan. Nana mengetuk pintu yang terbuat dari tripleks itu pelan, sambil mengucapkan salam. Sepi.
Nana menoleh kebelakang. Ketempat remaja pria itu berdiri. “Benar ini rumahnya?”
“Benar, Mbak! Coba panggil lebih keras.”
“Assalamu .....”
“Cari siapa?” belum usai salam Nana, seorang Ibu keluar dari rumah sebelahnya.
“Ada Jeff, Bu?”
Wanita tua itu menatap Nana dengan mata memicing. Membuat Nana berdiri kian kikuk.
“Benar ini tempat kost Jeff, Buk?” ulang Nana memastikan.
“Jeff udah pergi seminggu yang lalu.”
Nana tercekat, “pergi kemana?”
“Ibu kurang tahu. Tapi dia bilang ingin mencoba mengadu nasib ke Batam atau Jakarta.”
Lemas seluruh tubuh Nana. Untuk kedua kalinya Jeff pergi tanpa kata perpisahan. Teganya! Padahal, asanya yang selama ini sudah berkarat, baru saja diasahnya kembali. Tapi ternyata ...
Setelah mengucapkan kata permisi, Nana berbalik langkah. Sekuat hati, ia menahan agar tangisnya tak tumpah.
“Nak, tunggu dulu!” wanita tua itu menahan langkah Nana. “Ibu sepertinya sering melihat kamu. Tapi entah dimana,“ wanita itu terlihat berpikir keras, lantas mengambil sebuah kunci dari balik bajunya yang usang.
“Kemari, nak!” panggilnya setelah membuka pintu kamar kost Jeff. Nana melangkah masuk. Matanya terbelalak. Photo-photonya yang ia berikan pada Jeff sewaktu di Bandung, tertempel disegala sisi.
“Ini photo-photomu, kan?”
Nana hanya mengangguk.
“Jeff pernah cerita, karena gadis diphoto inilah dia tetap semangat untuk hidup.”
“Tapi kenapa dia pergi lagi?” serak suaru Nana.
“Ibu juga heran. Jeff pergi begitu tiba-tiba. Ketika Ibu tanya kenapa dia tak membawa photo-photo ini, dia bilang; dia juga pergi untuk melupakannya. Karena dia semakin sadar, katanya bagai mengharap bintang untuk kembali memiliki gadis itu.”
Nana terisak. Berkelebat bayangan wajah Jeff dimatanya. Tak ada yang berubah, Jeff. Andai saja kamu terbuka padaku, rintih Nana dalam hati.

Sekian..

Mentulik, 27 April 2005
NB       :     Tetaplah menjadi yang terbaik, Meski tak lagi denganku ...

Sebuah Cerpen jadul : LAURA

Hari ini, tanggal 7 Mei 2005. Hari ulang tahunku. Dan itu berarti usiaku genap 23 tahun. Usia yang cukup matang. Harusnya aku sudah cukup dewasa.


Aku jadi ingat setahun yang lalu. Pada tanggal dan bulan yang sama. Aku pernah berkenalan dengan seorang gadis, yang berlibur di rumah neneknya, disebuah desa tak jauh dari desa tempat aku tinggal.
Desa tersebut hanya dibatasi oleh sebuah sungai, dengan desaku. Diatas sungai itu dibangun sebuah jembatan yang menghubungkan antara desa kami.
Aku ingat, waktu itu aku melihat seorang gadis manis, berjalan bersama temanku sekaligus tetanggaku, Dhea. Mungkin itu temannya Dhea, bathinku waktu itu. Rumah Dhea bersebelahan dengan rumah kakakku, tempat aku tinggal selama ini. Jadi aku bisa melihat kedatangan mereka dengan jelas, saat itu aku duduk diteras depan rumahku.
Aku juga ingat, waktu itu Dhea yang memanggilku untuk datang kerumahnya. Aku langsung aja datang. Karena aku dan Dhea sudah seperti saudara. Dan lagi pula, aku sudah sering datang kerumah Dhea. Jadi ga’ terlalu jadi masalah kurasa, kalau saat itu, aku datang menghampiri Dhea dan temannya itu.
“ Laura....” begitu ia menyebut namanya padaku, saat kami saling berjabat tangan. Setelah Dhea mempersilahkan kami berkenalan.
“ Rian ...” balasku tersenyum.
“ Laura ini adalah teman baruku, Yan..” Dhea ikut berbicara menjelaskan kepadaku. Yang membuatku menatapnya penuh tanda tanya.
“ Kalau mau tahu lebih jelasnya, tanya aja langsung sama Laura.” Dhea bicara lagi, kemudian melanjutkan, “ Aku mau pergi ke pasar dulu, ya. Sebentar, kok. Kalian ngobrol aja dulu di sini.” Tiba-tiba Dhea ngeloyor pergi, meninggalkan kami berdua diteras rumahnya. Orang tua Dhea juga tak di rumah, pergi ke kebun kali. Biasalah, kerjaan rutin. Bercocok tanam..!!
“ Masih sekolah?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang tercipta sesaat setelah Dhea pergi tadi. Aku duduk disebuah kursi, Laura juga. Ada meja kecil yang membatasi kursi kami. Dari samping, aku bisa melihat kesempurnaan gadis ini. Cantik. Bathinku. Apalagi rambutnya yang dibiarkan terurai panjang, mencerminkan seorang wanita yang keibuan. Kulitnya putih.
“ Aku udah kuliah disalah satu Universitas dikota, disana aku tinggal bersama orangtuaku. Saat ini aku lagi liburan dirumah nenekku, didesa seberang.
“ Ooh...” aku mengangguk mengerti. “ jadi, kamu ketemu Dhea dimana?” tanyaku.
“ Nenekku tinggal sendirian didesa seberang, dan kebetulan pamannya Dhea rumahnya bersebelahan dengan rumah nenekku.” Ucapnya sopan. Lalu tersenyum padaku. Manis.
“ Jadi kamu ketemu Dhea, dirumah nenekmu?” tebakku.
“ Ya...” Jawabnya sambil mengangguk. “ Kebetulan tadi malam Dhea tidur dirumah pamannya, kami berkenalan dan berbagi cerita. Kemudian Dhea mengajakku kesini..” jelasnya, yang membuatku jadi mengerti, kenapa ia sampai kesini.
“ Kalau boleh tahu, berapa lama liburannya?..”
“ Satu bulan..” jawabnya singkat.


Beberapa saat kami terdiam. Dhea belum juga kembali. Tampaknya ia memang sengaja, membiarkan kami berdua ngobrol lebih lama. Sialan juga!
“ Kalau kamu?” tiba-tiba Laura membuka suara lagi, “ boleh dong, aku tahu? Yaa... setidak-tidaknya sedikit tentang kamu, aku pengen tahu ... kalau kata Dhea sih, kamu orang yang baik. Tapi aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu, bolehkan..?” tanyanya, cukup panjang lebar menurutku. Yang membuatku, terdiam sesaat. Ternyata Dhea udah cerita lebih dulu, tentang aku pada Laura. Mungkin itu sebabnya Laura datang kerumah Dhea, karena Dhea udah pasti mempromosikan aku pada Laura. Karena beberapa hari sebelumnya, aku pernah minta tolong sama Dhea, untuk dicariin pacar. Padahal waktu itu, aku Cuma bercanda ...
“ Oh, ya... kamu mau tahu ceritaku bagian yang mana dulu, nih ..? tanyaku, mencoba sedikit akrab.
“ Ya... hmm..” sesaat Laura terdiam seperti berpikir. “ oke, aku pengen tahu, kamu tuh kuliah dimana? Kegiatan sehari-harinya apa aja...? “ ucapnya, yang membuatku semakin merasa akrab.
“ Jadi, dulu tu aku sempat sekolah Cuma sampai kelas dua SMA, kemudian aku terpaksa berhenti, karena udah gak ada biaya.” Sejenak aku menarik nafas, lalu mencoba melanjutkan, “ sejak berhenti sekolah, aku mulai kerja seperti layaknya kebanyakan penduduk disini, kalau gak cari ikan disungai, ya kerja dikebun.”
“ Sampai sekarang?” tanyanya lagi.
“ Yap..!” jawabku.
Kemudian Laura menatapku sejenak, kemudian berkata, “ maaf sebelumnya, kalau boleh tahu, orangtua kamu dimana?”
“ Ibuku meninggal, pada saat aku masih berumur enam tahun, dua tahun kemudian ayahku menyusul.” Aku berhenti sejenak, “ sejak saat itu, aku tinggal bersama kakakku yang paling tua, sampai sekarang ...”
“ Oh, maaf ya..” katanya seperti merasa bersalah.
“ Ouh, gak apa-apa kok, lagian itu udah sangat lama, aku udah terbiasa..” ujarku lagi, sambil kuberanikan diri untuk menatap matanya, yang menurutku sangat indah. Dia balik menatapku juga, kemudian kami sama-sama tersenyum.
Itulah awalnya. Awal pertemuan kami dan juga awal perasaan sukaku hadir.

************

Hampir satu bulan, setelah pertemuan itu. Kami sering bersama-sama. Laura sering datang ketempatku, sekedar cerita-cerita atau juga jalan-jalan disekitaran sungai di desa kami. Kemudian kami pergi makan bakso diwarung ujung desa. Saling mengenal pribadi masing-masing, membuat kami semakin dekat.
Sadar atau tidak, aku mulai merasakan kenyamanan yang selama ini sempat hilang dalam hidupku. Hari-hariku bersama Laura, terasa indah dan penuh makna. Dan entah mengapa, aku juga yakin bahwa Laura juga merasakannya.
“ Aku bahagia bisa mengenal kamu, Ri..” ucap Laura, waktu itu kami sedang duduk-duduk ditepi sungai, sambil menyaksikan anak-anak kecil berlarian dipinggiran sungai.
“ Aku juga ....” kataku jujur.
“ Kamu pernah pacaran, Ri?” tanyanya tiba-tiba, yang membuatku kaget.
“ Dulu ...” kataku sedikit berat, “ aku pernah pacaran, sekitar dua tahun yang lalu. Gadis sini juga, sekarang dia udah menikah dengan pria pilihan orang tuanya, ibunya tak merestui hubungan kami ...” ceritaku saat itu.
Aku melihat Laura tiba-tiba tertunduk. Diam. Wajahnya tiba-tiba muram. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Laura? Apa kata-kataku tadi menyinggungnya? Aku tak berani bertanya. Aku biarkan kami larut dengan pikiran masing-masing.

****************
Ini hari terakhir Laura berada dikampung neneknya. Sore nanti ia akan pulang kekota. Kerumah orang tuanya, ketempat dimana teman-teman dan orang-orang yang menyayanginya udah pasti menanti kehadirannya. Dan aku akan merasa kehilanga.
Laura datang pagi tadi kerumah Dhea.
“ Jadi kamu pulang, Ra?” tanyaku membuka pembicaraan. Ketika kami hanya duduk berdua di teras rumah Dhea.
“ Ya ...” jawabnya ringan.
“ Aku pasti akan sangat merindukanmu ...” kataku jujur.
Karena meskipun hubungan kami hanya sebatas teman biasa, tapi bagiku Laura itu istimewa. Laura yang baik, manis, ramah dan juga pintar. Jujur, aku juga sempat berharap hubungan kami lebih dari sekedar teman biasa. Namun aku sengaja mengubur harapan itu, karena aku cukup tahu ada perbedaan yang dalam diantara kami. Laura adalah gadis terpandang, yang tak mungkin begitu saja menyerahkan hatinya untuk orang biasa seperti aku. Dan kalaupun hal itu mungkin, aku yakin orang tuanya akan sangat menentang hubungan kami. Aku yakin akan hal itu.
Untuk alasan itulah aku berusaha kuat memendam rasa yang sudah terlanjur hadir direlung hatiku. Karena bagiku, menjadi temannya saja itu sudah cukup membuatku bahagia.
“ aku rasa setelah aku pergi, kamu akan melupakanku. Kamu mungkin saja akan sibuk dengan teman-temanmu dan juga dengan pacarmu tentunya ... “ ucapnya kemudian, setelah tadi sesaat kami terdiam.
“ siapa bilang aku punya pacar ..” jawabku.
“ ya, setidaknya mungkin ada seseorang yang diam-diam menyukai kamu, seperti ... Dhea misalnya .”
“ aku dan Dhea cuma berteman, lagi pula Dhea udah punya cowok...” selaku menjelaskan.
Kemudian kami terdiam, entah mengapa kami jadi kaku. Padahal kami selama beberapa minggu ini, sudah sangat dekat.
“ atau mungkin kamu yang akan sibuk dengan cowok kamu disana...? “ ucapku kemudian, mencoba menebak apa yang ada dalam pikirannya.
“ udah lama aku gak punya cowok ..”
“ tapi banyak kan, cowok yang suka sama kamu ?”
“ ah, gak juga ..., kalau pun ada, aku tak pernah terlalu menghiraukannya. Saat ini, aku lebih mementingkan studyku..” ungkapnya tegas.
“ oh ya, ngomong-ngomong kapan kamu kesini lagi ?” tanyaku kemudian.
“ gak tahu ....” jawabnya lemah.
Tiba-tiba aku melihat sekelebat kesedihan dari matanya yang indah. Sedih? Benarkah Laura juga sedih dengan perpisahan ini? Atau hanya perasaan ku saja? Ah, sudahlah, aku tak ingin untuk berharap. Aku diam.
*****

Sore itu Laura benar-benar pergi. Aku merasa ada yang hilang dari hatiku. Entah apa? Kebersamaan memang indah. Tapi bila semuanya harus berakhir, terasa sakit. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi.
“Hai, Rian!” Suara Dhea mengagetkanku tiba-tiba. “Ngelamun aja sih, sedih ya ...?! Gadisnya udah pergi ...” lanjutnya, sengaja mengolokku. Tapi bagaimana lagi, kenyataannya aku memang sedih. “ Nih!” Dhea mengulurkan sebuah amplop surat kepadaku.
“Dari siapa?” tanyaku, seraya mengambil surat itu dari tangan Dhea.
“Laura titip surat ini buatmu, sebelum dia berangkat tadi ..”
“Oh, makasih ya ..! Tapi apa isinya?”
“Tau ah, baca aja ndiri ..” ucap Dhea sambil berlalu pergi.
Akhirnya kubuka dan kubaca juga surat itu. Aku tak tahu, setelah membacanya apa aku harus bahagia atau sebaliknya.
Tapi yang pasti aku ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

********
Hari ini, tanggal 07 Mei 2005. Setahun sudah berlalu, sejak aku berkenalan dengan Laura. Hampir setahun pula, kami tak pernah bertemu. Namun selama ini tak ada kabar apapun tentang Laura.
“Aku juga tidak tahu, semenjak pulang waktu itu, Laura tak pernah kasih kabar lagi kepadaku ...” jawaban Dhea, ketika hal itu kupertanyakan kepadanya.
“Apa kamu tahu alamatnya yang baru ?”
“Gak. Semenjak ia pindah rumah, aku gak pernah ada komunikasi lagi sama dia ..”
“Gimana dengan neneknya?”
“Neneknya udah gak ada lagi disini. Kata pamanku neneknya juga ikut kekota, karena disini tidak ada yang mengurusnya ...”
Malam ini, tiba-tiba aku teringat Laura. Kangen dengan tawanya yang manja. Walau aku sudah berjanji dalam hati, untuk melupakannya. Tapi rasanya sulit. Sudah setahun, aku masih juga mengingatnya bahkan mungkin merindukannya. Dan aku tahu, Laura tak mungkin lagi kembali kesini, karena disuratnya Laura sudah menjelaskan semuanya. Aku buka lagi surat itu, dan untuk kesekian kalinya aku membacanya.


Dear, Rian yang baik .....

Hampir satu bulan lamanya kita bersama. Aku hampir mengenali dirimu seutuhnya. Kamu orang yang sabar, perhatian dan cakep lagi. Andai aku membuka hatiku lebih dalam lagi, andai masih ada waktu ... aku yakin, aku takkan sanggup lagi menahan perasaanku padamu.

Namun aku sadar, sekalipun perasaan kita sama. Takkan ada hal yang bisa membuat kita bisa bersatu.

Rian, aku minta maaf. Selama ini aku tak berani berterus terang padamu. Namun aku juga tak mau membuat berharap.

Sebenarnya jauh sebelum kita berkenalan, aku sudah dijodohkan oleh orangtuaku, dengan anak rekan bisnisnya. Aku tak bisa menolak, aku tak ingin mengecewakan orangtuaku. Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti.

Sekali lagi, maafkan aku ....

Kebersamaan kita yang singkat, mampu membuatku sangat bahagia. Dan aku sadar, aku mulai mencintaimu. Namun kita tak mungkin bersatu.

Selamat tinggal, Rian....

Semoga kamu temukan gadis yang pantas untukmu, gadis yang jauh lebih baik dari pada aku. Gadis yang bisa membuatmu bahagia.

Mungkin dalam tahun ini, aku akan menikah. Dan aku takkan mengundangmu, karena itu akan sangat menyakitkan bagi kita, terutama bagi diriku. Aku mungkin takkan pernah lagi datang ke desamu. Aku harap kamu bisa mengerti, posisi ku saat ini ...

Lupakan aku, lupakan tentang kita.

Aku tahu, ini egois. Tapi jika kita tetap memaksakan diri untuk tetap bersama, akan ada orang-orang yang kita kecewakan.

Untuk itu, aku ingin kamu tidak lagi mengaharapkan apapun dariku. Karena kisah tentang kita, hanyalah sebuah warna. Yang akan pudar oleh waktu ...

Sekali lagi, selamat tinggal ...

Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang lain. Meski tidak denganku...

Wassalam,

Temanmu,


LAURA

Kulipat lagi surat itu, surat yang penuh dengan makna bagiku. Aku bahagia, bahwa ternyata Laura juga mencintaiku. Namun aku sedih, karena Laura harus menikah dengan orang yang tidak ia inginkan. Mungkin memang harus begini. Cinta tak selalu harus menyatu.

Aku hanya ingin tahu, apakah Laura sudah menikah sekarang? Apakah dia bahagia? Aku tak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu ... Namun satu yang pasti, Laura akan menjadi kenangan paling manis sepanjang perjalanan hidupku.
Jujur, aku masih berharap bisa bertemu dengan Laura. Sekali saja! Meskipun itu hanya dalam mimpi terindahku ...
Oh, Laura ...!!

Mentulik, 03 Agustus 2005

Sebuah Cerpen Jadul : Tak Seindah Asa

Cukup lama cowok itu menatap Dhena. Kemudian ia tertunduk. Tak sanggup lebih lama lagi, menatap mata gadis yang sejak tadi berada di samping nya. Berdebat cukup panjang, lalu berakhir dengan permintaan Dhena yang ia rasa tidak akan sanggup untuk melakukannya.


“Maafkan aku Dhen, aku ga’ sanggup…..” ucap cowok itu pelan. Sambil mencabuti rumput hijau yang ada disekitar tempat ia duduk.
“Kamu ga’ sanggup..? Tapi kenapa Man?...” Tanya Dhena spontan.
Cowok yang di panggil, Man, oleh Dhena itu mengusap wajah nya satu kali. Lalu berujar lagi, “Dari awal aku sudah katakan sama kamu, bahwa aku ini bukanlah apa-apa…!”
“Iya…Tapi Kenapa, Man..?” Tanya Dhena lagi yang semakin tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Man, cowok yang ia cintai itu.
“Dhena..” ucap Man, seraya menatap kembali mata gadis yang ia sayangi itu, kemudian memegang kedua lengan gadis itu penuh perasaan, ”Kita harus realistis, orang tua kamu ga’ akan begitu saja memberikan anak gadis nya, pada seseorang seperti diriku…” lanjut nya.
“Tapi kita harus mencoba, Man..!” Dhena berusaha meyakinkan.
“Mencoba? Meski kita tahu bahwa kita akan gagal?! Tapi kita harus juga mencoba? Ga’ Dhen, aku ga’ sanggup. Aku benar-benar ga’ sanggup. Mengertikah kamu..?!” Man memalingkan wajah nya dan melepaskan pegangan nya. Hati nya kacau.
“Mengapa kamu begitu yakin, kalau kita tidak akan berhasil..? Padahal kita belum mencobanya?!..” Suara Dhena bergetar, menahan gejolak di dalam hatinya.
“Lalu, apa kamu berani menjamin. Bahwa kita akan berhasil meyakinkan orang tua kamu, kalau kamu akan bahagia bersamaku?” Man berhenti sejenak mengatur nafas, hatinya sedikit perih dengan kata-kata yang ia lontarkan barusan, ”Aku rasa, kamu lebih tahu siapa orang tua kamu Dhen? Kamu tahu, bagaimana watak ayahmu? Harusnya kamu yang lebih dulu membuka mata…..” Suara Man makin pelan dan lirih terdengar di telinga Dhena yang sedari tadi tertunduk mendengarkan penuturan Man, yang membuatnya semakin pedih.

Dhena menarik nafas panjang, kemudian menghempaskannya perlahan. Ia ikut mencabuti rumput-rumput hijau yang tumbuh liar di sekitar lapangan bola kaki tempat mereka biasa bertemu, sebuah lapangan bola kaki yang sederhana, berada di desa yang sederhana. Desa dimana tempat Man dilahirkan dan di besarkan, seperti yang di ceritakan Man kepadanya. Desa yang indah dan nyaman. Tapi sore ini, Dhena tidak merasakan lagi kenyamanan di Desa ini, hati nya terlalu sakit. Semua karna Man. Cowok sederhana yang membuat ia jatuh cinta, tapi...
“Mungkin lebih baik kita akhiri saja semua ini, Dhen..” Terdengar suara parau Man yang begitu tegas, membuat Dhena menatap tajam kearah Man, ia masih tak percaya kata-kata itu keluar dari seseorang yang selama ini mengisi hari-hari indahnya. Dua tahun pacaran bukan waktu yang singkat, untuk saling mengenali. Tapi kali ini Man keterlaluan.
“Perdebatan ini sudah sering terjadi, Dhen. Walau aku tahu, aku semakin mencintai mu karenanya. Tapi, sampai kapan kita akan bertahan seperti ini.?” Lanjut Man.
“Kita akan menghadapi nya bersama-sama, Man..” Dhena masih mencoba untuk berbicara lembut, meski hati nya sakit.
“Aku mencintai kamu, Dhena. Bahkan sangat mencintai kamu. Tapi rasanya terlalu egois bagi ku, untuk tetap bersama kamu, sementara aku sadar orang tua mu pasti akan melarang keras hubungan kita…” ucap Man lagi. ”Aku mohon, Dhen. Sebelum semua nya makin terlambat…” lanjut Man, penuh harap.
“Tapi, Man…Kenapa kita tidak mencobanya? Kenapa kita tidak mencoba datang pada keluarga aku, lalu membicarakan ini semua..” Dhena berujar dengan hati-hati, ia tidak mau Man tersinggung.
“Aku telah berjuang. Bahkan dari kecil, aku sudah berjuang untuk hidup. Aku tak takut apa pun, apalagi kalau cuma menemui keluarga kamu. Tapi kamu sendiri pasti tahu apa yang akan terjadi, jika aku tetap nekat menemui orang tua kamu…” Man mencabuti kembali rumput-rumput itu, seakan menumpahkan kekesalannya.
“Lalu. apa kamu tidak mau berjuang untuk cintamu. Cinta yang tumbuh di hati mu, Man..?” Tanya Dhena, sekedar meyakin kan hati nya sendiri, kalau Man benar-benar mencintainya.
“Sejak kecil, aku terbiasa hidup susah. Kerja keras, banting tulang. Tapi selalu saja nasib tak memihak padaku. Cita-citaku, keinginanku tenggelam, karena aku kurang beruntung sebagai seorang Man di dunia ini. Tapi untuk tetap hidup dan sebagai laki-laki tentu saja aku harus kuat menghadapi kegagalan demi kegagalan yang aku alami. Namun sekarang aku hampir tak yakin pada diriku sendiri, kalau aku masih mampu meraih sedikit saja dari impian ku..” Man menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudia ia tersenyum kecil, mengingat kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Tiba-tiba ia merasa seperti seorang pujangga. Namun kemudian senyum itu hilang, ada yang begitu pedih di hatinya.
“Dan kamu juga lelah berjuang untuk cinta kita, Man..?" suara Dhena sedikit meninggi. Dia berusaha menahan tangisnya.
“Entah lah, Dhen. Seandainya saja bukan kamu, aku akan berusaha. Meski kami harus hidup menderita…”
“Aku siap…”
“Ga’, Dhen. Kamu takkan pernah siap. Sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup dalam kesenangan dan kemewahan.” Potong Man cepat.
“Tapi aku bahagia bisa mendampingi kamu, Man..”
“Yah…Aku tahu itu. Aku juga bahagia. Tapi sampai kapan? Cinta saja belum cukup untuk menjamin kita akan bahagia selama nya, karena hidup tidak hanya butuh cinta…”
Dhena tercenung, mendengarkan penuturan Man. Hatinya bimbang.


Dhena ingat, betapa acuhnya Man padanya, waktu pertama kali bertemu. Ketika dengan sangat terpaksa Dhena ikut dengan Papanya untuk melihat keadaan salah satu toko papanya, yang berada di desa tempat Man tinggal. Dan Man adalah salah seorang kuli di toko papa Dhena. Papa memang sengaja membuka cabang tokonya di desa itu, karena desa itu sangat maju. Seseorang telah dipercaya papa untuk mengelolanya, dan papa sekali dalam seminggu datang kesana untuk melihat pembukuannya.
Dan untuk pertama kali Dhena kesana, ia bertemu Man yang ketika itu tengah mengangkuti barang-barang dari mobil ke dalam toko. Man begitu acuh dengan kehadiran Dhena disitu, dan juga ketika Dhena mencoba menegurnya.
Sikap cuek dan acuh tak acuh Man itulah yang membuat Dhena penasaran dan membuat Dhena semakin rajin menemani papanya pergi ke desa itu, walau pun dulunya Dhena paling tidak mau di ajak papanya.
“Tumben kamu jadi rajin, menemani papa ke toko sekarang…?” Tanya papa suatu ketika.
“Ya. Dhena kasian aja, membiarkan papa pergi sendirian…” begitu alasan Dhena untuk bisa bertemu dengan Man. Dan pertemuan itu semakin sering terjadi. Dhena mulai tertarik pada Man. Tapi Man tetap dengan sikap cueknya, Man tak pernah memberinya harapan.
Hingga suatu hari, Dhena nekat pergi ke desa itu sendirian.  Ia menemui Man di tokonya, “Kalau kamu masih saja acuh padaku, aku akan suruh papa untuk memecat kamu..” begitu ancamannya, dalam usahanya untuk mendekati Man.
“Aku hanya seorang kuli. Kamu harus sadari itu..” ucap Man.
“Aku tidak peduli.!”
“Tapi…”
“Aku tetap tak peduli. Bagiku kamu adalah seorang cowok yang membuat aku penasaran.”

Begitulah awalnya. Ia merasa kalau kehadiran Man telah membuka hatinya. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai Man, meski Man sendiri sering mengingatkannya.
Dan mereka lebih sering bersama. Man berusaha menghapus segala perbedaan yang ada, walau hati kecil nya tetap tidak bisa menerima hubungan itu. Dhena mampu meluluhkan hati Man untuk tetap bertahan. Meski perdebatan kecil sering terjadi. Namun mereka mencoba merajut kasih, mencuri-curi waktu untuk dapat bertemu.
Lebih dari dua tahun mereka bersama, Dhena sangat bahagia dengan semua itu.
Namun sekarang.
“Aku ga’ sanggup menghadapi orang tua kamu, Dhen. Mereka pasti akan sangat marah sekali..”
“Kamu pengecut, Man!” ketus suara Dhena.
“Ya…Aku memang pengecut.” Man menarik nafas panjang. Ada yang teriris di hati nya. “Mungkin kamu akan lebih bahagia, kalau hidup bersama teman kuliahmu itu..” lanjut nya.
“Izul maksudmu?” Dhena bertanya sambil menatap Man, yang tetap saja memalingkan wajahnya.
“Iya. Aku yakin dia sangat mencintaimu.”
“Dia baik. Bahkan sangat baik. Tapi aku tidak pernah merasakan bahagia yang utuh saat bersamanya. Aku tak pernah ingin mengorbankan apa saja untuknya. Seperti yang dilakukan seseorang yang sangat mencintai kekasihnya…”
“Setelah hampir lima tahun lamanya..?”
“Aku tidak memikirkan berapa lama kami berteman. Seandainya saja aku tidak bertemu kamu, mungkin aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dicintai orang yang kita cintai..”
“Lama-lama kamu juga akan mencintainya..”
“Itu tidak mungkin, Man. Aku tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak aku cintai…”
  Man berdiri tiba-tiba. Ia memandangi Dhena yang tetap saja duduk menatapi rerumputan hijau lapangan bola kaki sederhana itu.
“Tapi kamu juga tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak bisa memberikan kamu apa-apa, Dhen. Kecuali cinta dan sebuah gubuk derita…” Man tersenyum kecil mendengar ucapannya sendiri, yang hampir mirip syair itu. Kemudian senyum itu lenyap, ada yang tiba-tiba terasa sangat sakit di hatinya.
“Kita akan berjuang, Man..!”
“Ya…Tentu saja. Aku pasti akan terus berjuang untuk hidup ku. Tapi aku tidak yakin, kalau kita akan berhasil. Papa kamu tidak akan pernah membiarkan anak gadis semata wayangnya hidup menderita. Kamu harus menyadari hal itu, Dhen..” Kata-kata Man terdengar lemah. “Bahkan untuk minta restu saja, aku sudah tidak sanggup, Dhen. Apa laki-laki seperti ini yang akan kamu banggakan pada papamu, Dhen..” ucapan Man makin lirih, namun mampu membuat Dhena meneteskan air mata, yang sejak tadi ia tahan. ”Apa kata keluarga mu nanti, kalau tahu anak yang mereka sayangi punya calon suami seorang kuli…”
“Cukup, Man!” Dhena histeris, ”Aku mohon, jangan pernah kamu berkata seperti itu lagi..” lanjutnya sedikit tenang. ”Lalu.., apa aku salah, jika aku mencintai seorang laki-laki yang mungkin jauh lebih lemah dari pada Izul..?”
“Oh, tidak. Kamu ga’ salah. Aku juga ga’. Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, mungkin cinta kita yang salah berlabuh…” Kata-kata Man membuat Dhena semakin terluka. Ia akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri memunggungi Man. Menghapus tetesan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Kalau kamu memang tidak mau lagi berjuang untuk cinta kita. Lebih baik aku pergi dan kita tidak akan bertemu lagi…” Dhena melangkah meninggalkan Man yang berusaha menahan air matanya sendiri. Man tak tahu lagi harus berbuat apa. Semua memang harus terjadi.

Hembusan angin senja itu, terasa sangat dingin menyentuh kulit Man. Lapangan bola kaki sederhana yang sejak tadi menjadi saksi perdebatan mereka, kian gelap. Sinar sang surya yang tadi benderang kini mulai tenggelam. Siang telah berlalu, berganti malam. Sang rembulan pun sudah mulai menampakkan keindahannya. Senja yang indah sebenarnya. Tapi bagi dua hati yang sedang terluka, semua nya jadi lebih menyakitkan.

Mentulik, 27 September 2005
Special to my friend….moga bahagia selalu.

Cari Blog Ini

Layanan

Translate