Kisah nyata : Rumah tanggaku hancur karena uang...

Nama saya Theo (bukan nama sebenarnya), saat ini saya sudah berusia kurang lebih 38 tahun. Saya sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Anak pertama saya, perempuan, sudah berusia 9 tahun. Sedangkan anak kedua saya, laki-laki, masih berumur 5 tahun.

Istri saya, sebut saja namanya Syifa (nama samaran), seorang wanita yang cantik dan masih seksi sampai saat ini. Sebenarnya dia isteri yang baik dan juga penuh perhatian.

Awal pernikahan kami sungguh bahagia, karena memang kami menikah atas dasar saling cinta. Pernikahan kami terasa sangat manis dan indah. Semua berjalan dengan baik.

Meski kehidupan kami tidak terbilang mewah, karena saya hanya seorang pegawai honorer di sebuah sekolah swasta. Kehidupan rumah tangga kami cukup sederhana. Isteriku tak pernah mengeluh soal kebutuhan hidup kami. Alhamdulillah, gaji saya masih bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kami, meski tentu saja saya masih mencari tambahan dengan berjualan pulsa.

Hidup kami yang pas-pasan tidak menghalangi kami untuk tetap bahagia. Apa lagi semenjak kehadiran kedua buah hati kami. Hidup saya terasa lengkap.

Sepuluh tahun pernikahan kami, semua berjalan baik-baik saja. Tanpa ada masalah yang berarti. Hingga akhirnya suatu hari...

"mas, saya pengen kerja lagi..." ucap isteriku di sela-sela makan malam kami.

"kenapa?" tanyaku dengan kening yang berkerut.

"bosan aja di rumah, mas. Sayang juga kan, ijazah saya rasanya gak kepake..." jawab isteriku dengan suara lembutnya.

Sebenarnya, sebelum menikah denganku, isteriku adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang cukup ternama. Namun setelah menikah denganku, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

"apa kamu gak repot?" tanyaku akhirnya setelah kami terdiam sejenak.

"gak kok, mas. Lagian anak-anak juga sudah besar..." ia berujar sambil menatapku.

Aku tediam lagi. Mempertimbangkan keinginan istriku yang tiba-tiba saja ingin bekerja lagi, setelah lebih dari sepuluh tahun ia vakum.

"izinkan saya ya, mas. Saya janji saya akan bisa bagi waktu, terutama buat anak-anak.." isteriku berujar lagi dengan nada sedikit memohon. "sekarang Alda sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dan Aldi juga sudah masuk TK. Mas selalu pulangnya sore, kadang saya juga kesepian di rumah.." lanjutnya.

Anak perempuanku, Alda, memang sudah kelas empat SD, ia sekolah di tempat saya bekerja sebagai guru honorer. Alda sekolah sampai sore, dan biasanya kami selalu pulang bersama. Sedangkan anak laki-lakiku, Aldi, sudah masuk TK tahun ini, sekolahnya juga berada satu yayasan dengan tempat aku mengajar. Biasanya Aldi memang aku yang mengantar pulang, karena ia sekolah hanya sampai jam sebelas siang.

"nanti kalau aku jadi kerja, Aldi gak usah mas antar pulang. Gak apa-apa dia disana aja, nungguin mas pulang kerja..." lanjut istriku lagi.


***********

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku mengizinkan istriku bekerja lagi. Aku hanya tak ingin membuat ia kecewa, karena tidak memenuhi keinginannya. Tentu saja dengan syarat ia tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan juga sebagai seorang Ibu.

Istriku diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Istriku memang memiliki skill dan pengalaman kerja yang bagus. Ia juga lulusan dari kampus ternama. Sehingga ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Setelah mulai bekerja, istriku jadi jarang di rumah. Anak-anak lebih sering bersamaku.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Istriku masih bisa dengan baik mengatur waktu terutama untuk anak-anak. Ia berangkat kerja saat saya dan anak-anak sudah pergi ke sekolah, dan biasanya ia pulang pada sore hari, saat kami baru saja sampai di rumah.

Semua berjalan dengan baik. Dan tentu saja, secara ekonomi penghasilan kami juga meningkat. Terlebih karena memang istriku mendapatkan gaji jauh lebih besar dari yang aku peroleh setiap bulannya. Namun hal itu tidaklah terlalu menjadi masalah awalnya. Istriku masih bisa menghargaiku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.

Sebenarnya istriku, berasal dari keluarga yang sederhana. Orangtuanya bekerja sebagai petani di kampung. Namun istriku seorang yang cerdas dan memiliki tingkat intelektual diatas rata-rata, sehingga ia bisa mendapatkan beasiswa dan lulus kuliah dengan hasil terbaik. Mendapatkan pekerjaan yang bagus, hingga kemudian ia memutuskan untuk berhenti bekerja ketika akhirnya ia memilih untuk menikah denganku.

Namun ternyata setelah sepuluh tahun vakum dari dunia kerja, sekarang ia memutuskan untuk memulai bekerja lagi dan mengasah bakatnya yang selama ini ia pendam.

*************

Setahun bekerja, aku mulai merasakan ada perubahan-perubahan yang terjadi pada istriku. Sikapnya tak lagi semanis dulu. Ia bahkan sekarang sering pulang hingga malam. Ia hampir tidak punya waktu untuk anak-anak kami. Istriku berangkat kerja labih pagi dari biasanya, bahkan sebelum anak-anak terbangun. Dan pulang pun saat anak-anak sudah tidur.

"saya perhatikan akhir-akhir ini, kamu sering pulang malam..." tanyaku suatu malam.

"biasalah mas, sekarang saya sering lembur..." jawabnya beralasan.

Saya pun coba mengerti.

Namun berbulan-bulan berlalu, tingkah laku istriku malah semakin parah. Ia pulang semakin larut, hampir setiap malam. Anak-anak tidak lagi ia perhatikan. Ia tidak pernah lagi makan apa lagi memasak di rumah. Ia hanya pulang untuk tidur, kemudian pergi lagi saat pagi. Perubahan-perubahannya sangat terasa bagiku. Aku tak lagi mengenali istriku. Bahkan ia selalu menolak setiap kali aku mengajaknya berhubungan badan.

"aku capek, mas..." begitu selalu alasannya.

Dan aku hanya bisa terdiam melihat itu semua.

"Ibu kemana sih, Yah?" tanya anak perempuanku suatu hari.

Aku tersenyum manatap anakku. Aku tahu anak-anakku merasa kehilangan sosok seorang Ibu dalam rumah tangga kami. Mereka lebih sering terlihat muram dan tidak bergairah. Namun aku selalu berusaha menghibur mereka, menjadi sosok ayah yang baik untuk mereka.

"Ibumu kan lagi kerja, nak..." jawabku sekenanya.

"masa' ia kerjanya sampai malam terus, Yah..." ucap anakku lagi, yang membuatku semakin terhenyak dan tak tahu harus menjawab apa.

"kamu kenapa sih, harus pulang selarut ini?" tanyaku pada istriku suatu malam, melihat ia baru saja masuk rumah, saat itu sudah jam satu malam.

"di kantor sedang banyak perkerjaan sekarang, mas. Harus lembur. Dan kadang harus bertemu klien dulu...." jawab istriku dengan nada datar.

"tapi memang harus setiap malam, ya? Dan selarut ini?" tanyaku lagi, dengan suara bergetar menahan gejolak.

"udahlah, mas. Kamu gak bakal ngerti. Pekerjaan yang aku jalani sekarang, tidak sama dengan pekerjaan mas..." balasnya sambil melangkah menuju kamar.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang,

"maksud kamu apa?" kali ini suaraku sedikit tinggi.

"yah, kamu ngertilah mas maksudku apa.." suara istriku masih terdengar santai. "dan lagian kamu kenapa sih, mas? yang penting saya itu punya pekerjaan yang jelas dan hasilnya juga jauh lebih besar dari gaji kamu. Harusnya tuh, mas bersyukur punya istri yang punya penghasilan besar seperti saya..." lanjut istriku, yang membuat emosiku semakin memuncak.

Namun aku segera menarik napas panjang. Aku tidak ingin ribut dengan istriku, apa pagi tengah malam seperti ini. Aku tak ingin anak-anak terbangun, lalu mendengar kami bertengkar. Aku mencoba meredam emosiku. Aku melangkah ke dapur dan mengambil segelas air untuk menenangkan pikiranku.

Sebagai seorang suami, aku memang sudah mulai curiga dengan sikap istriku akhir-akhir ini. Semuanya sekarang benar-benar berubah. Rumah tangga kamu sudah jauh dari kata harmonis. Bahkan sudah berada di ujung tanduk. Setiap kali aku coba menegur istriku, setiap kali pula ia mengajakku untuk bertengkar.

Karena kecurigaanku, akhirnya suatu malam aku memutuskan untuk membuntuti istriku. Sengaja anak-anak aku titipkan pada tetangga sekaligus sepupuku malam itu. Aku harus tahu, apa yang sebenarnya istriku lakukan di luar rumah setiap malamnya.

Dengan sangat hati-hati, aku memperhatikan istriku yang baru saja keluar kantor, saat itu kira-kira jam tujuh malam. Ia berjalan santai menuju sebuah mobil mewah di tempat parkir. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki dengan setelan yang rapi. Mereka terlihat akrab. Mereka terlihat mengobrol dengan sekali-kali terlihat tertawa riang. Hatiku semakin bergemuruh. Rasanya ingin aku melabrak mereka berdua saat itu. Namun aku masih berusaha untuk menahan diri. Bisa saja laki-laki tesebut adalah bos istriku, dan mereka sedang ngobrol tentang pekerjaan. Untuk itu aku masih diam sambil terus memperhatikan mereka dari kejauahan.

Setelah sampai di mobil, kulihat laki-laki tersebut membukakan pintu mobil untuk istriku. Istriku terlihat tersenyum. Setelah menutup pintu dengan pelan, laki-laki tersebut pun segera masuk ke mobil. Tak lama kemudian mobil itu pun melaju meninggalkan halaman parkir kantor. Aku membuntuti mobil itu dengan menggunakan motor bututku yang sengaja aku bawa dari rumah.

Mobil itu berjalan pelan menuju arah yang berlawanan dari arah menuju rumahku, yang membuatku semakin curiga. Namun aku tetap membuntuti mobil itu dengan hati-hati. Hingga kulihat mobil itu berbelok ke halaman sebuah hotel yang cukup megah. Hotel itu berada di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi. Mobil itu pun parkir. Kulihat istriku dan laki-laki itu keluar bersamaan, lalu melangkah masuk ke dalam hotel.

Aku masih mencoba berpikir positif, mungkin mereka akan menemui klien mereka disini. Pikirku, sambil memarkir motorku agak jauh dari hotel tersebut.

Dengan mengendap-endap, aku memperhatikan istriku dari kejauhan. Mereka menuju resepsionis, berbicara sebentar, lalu kulihat resepsionis tersebut memberikan sebuah kunci sambil tersenyum akrab.

Mereka berdua pun naik kelantai atas dengan menggunakan lift. Dengan tergesa, aku segera menuju tempat resepsionis tadi.

"oh yang barusan check-in tadi, ya?" jawab resepsionis tadi, ketika aku mempertanyakan tentang istriku dan laki-laki tersebut. "itu udah jadi langganan kami, pak. Sudah hampir tiga atau empat bulan ini, mereka sering nginap disini..." lanjut resepsionis itu lagi, yang membuat dadaku semakin bergemuruh. Aku seperti mendengar suara petir menggelegar malam itu, saat sang resepsionis tersebut menjelaskan semakin jauh. Aku tak sanggup mendengarkannya lagi, buru-buru aku menuju lift, untuk naik ke lantai atas, menuju kamar tempat istriku dan sang pria berada.

Sesampai disana, aku melihat pintu kamar tempat istriku menginap sudah tertutup rapat. Dengan emosi yang kian memuncak, kuketuk pintu kamar itu dengan cukup keras.

Tak selang beberapa saat, seorang laki-laki yang hanya bertelanjang dada, muncul dari balik pintu.

"maaf anda siapa? Dan ada keperluan apa?" tanya laki-laki itu, yang membuatku ingin memukuli wajahnya.

Aku tidak pedulikan pertanyaan laki-laki tersebut. Dengan sedikit memaksa, kudorong pintu kamar itu, hingga terbuka lebar. Laki-laki itu terdorong ke belakang, ia  menatapku tajam.

Sekali lagi aku tidak mempedulikannya. Aku menatap sekeliling, kulihat istriku sedang terbaring di ranjang, dengan pakaian yang sudah setengah terbuka.

Melihat aku yang berdiri diambang pintu, istriku tentu saja kaget dan segera bangkit. Wajahnya pucat pasi. Sambil tergesa ia memperbaiki pakaiannya.

"mas Theo?!" ucapan istriku dengan suara bergetar.

Mendengar ucapan istriku, laki-laki yang sejak tadi berdiri disampingku dan menatapku tajam, segera mundur perlahan. Dengan terburu, ia mengambil bajunya yang berserakan dilantai dan memasangnya kembali. Lalu dengan sedikit berlari, ia keluar dari kamar itu. Aku mencoba mengabaikannya. Fokusku hanya kepada istriku. Aku menatap istriku dengan tatapan tak menentu. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Antara marah, benci dan rasa tak percaya.

Untuk sesaat aku hanya terdiam. Rasanya aku masih tidak percaya, istriku tega melakukan itu semua. Aku masih merasa bagai bermimpi. Namun dengan segera aku mengumpulkan semua kekuatanku. Aku mencoba mengontrol emosiku kembali. Aku tak ingin membuat keributan disini. Aku tak ingin memperburuk keadaan.

Bagiku semuanya sudah cukup jelas. Apa yang dilakukan istriku, sudah cukup untuk menjelaskan, mengapa ia berubah akhir-akhir ini. Aku tak ingin membahasnya lagi. Apapun alasannya, istriku telah menghianatiku. Dan itu terasa amat sangat menyakitkan. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, namun aku berusaha untuk terlihat tegar.

Saat itu juga aku menceraikan istriku. Aku tak pedulikan reaksi istriku yang tiba-tiba menangis menghiba. Bahkan ia sampai bersujud memohon maaf. Isak tangisnya mengundang perhatian beberapa orang, terutama petugas hotel. Tapi aku tetap tak mempedulikannya. Apa yang telah ia lakukan adalah sesuatu yang tak bisa aku maafkan lagi. Isak tangisnya justru membuatku semakin muak melihatnya.

Setelah menjatuhkan talak, aku melangkah keluar dengan sangat tergesa, diiringi jeritan penuh hiba dari istriku. Hatiku terasa perih, namun aku sekuat mungkin menahan air mataku. Aku tak ingin menangisi semua ini, aku harus tetap kuat. Aku harus tegar menghadapi semua ini, setidaknya demi anak-anakku.

Sesampai di rumah, aku segera mengemasi barang-barangku. Aku tak ingin lagi berada di rumah ini. Aku harus pergi. Malam itu, aku memutuskan untuk menginap dirumah sepupuku. Saat aku sampai disana, untunglah anak-anak sudah tertidur. Aku pun menceritakan semua kejadian tersebut kepada sepupuku. Namun aku tak ingin anak-anakku tahu. Mereka tidak boleh tahu, apa yang telah terjadi.

Akhirnya dengan sangat berat, esoknya aku dan anak-anak pun pergi. Setelah dengan sangat susah payah, aku membujuk anak-anak, agar mau ikut denganku. Aku berusaha memberi alasan yang tepat kepada mereka. Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi membawa anak-anak. Pergi meninggalkan kota ini, pergi meninggalkan segala kenangan yang pernah tercipta disini.

Berkali-kali istriku coba menghubungiku, tapi aku tidak mempedulikannya lagi. Aku hanya ingin membawa anak-anak pergi jauh dari kota ini. Aku tak ingin anak-anak tahu, tapi semua kisah ini akan selalu ku kenang. Sebagai pelajaran bagiku ke depannya.

Aku tahu, ini takkan mudah bagiku. Tak akan mudah bagiku, membesarkan anak-anak sendirian. Tak akan mudah bagiku, memulainya lagi dari awal. Tak akan mudah bagiku, hidup jauh dari kota kelahiranku. Namun ini jauh lebih baik, dari pada aku harus bertemu lagi dengan istriku yang sudah menghianatiku.

Bagiku tidak ada lagi maaf untuknya. Hatiku sudah terlalu sakit, hatiku sudah terlanjur terluka sangat parah. Yang ingin aku lakukan saat ini, hanyalah melupakannya. Memulai hidupku yang baru, di tempat yang baru. Dan semoga aku akan bertemu dengan orang-orang baru, yang tidak akan pernah menghianatiku. Ya! Semoga saja!

****

Sekian ...

Aku jatuh cinta kepada sang bidan...

Aku termenung sendiri, mengingat semua kejadian yang aku alami akhir-akhir ini.
Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika aku harus terlibat skandal dengan seorang bidan desa yang cantik.
Namanya, Yola. Dia bidan baru di desa kami. Sebenarnya Yola sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.
Namun suaminya yang seorang pelaut sangat jarang pulang.


Cerpen sang penuai mimpi

Aku mengenal Yola dan mulai dekat dengannya, semenjak Ibuku sering sakit dan harus rutin berobat.
Karena kehidupan kami yang pas-pasan, aku tak mampu membawa Ibuku berobat ke rumah sakit besar, selain biayanya yang mahal, jarak desa kami ke kota sangat jauh.
Jadi aku hanya mampu mengobati Ibu ku di Puskesmas desa.

Aku anak sulung dari tiga bersaudara dan ayahku sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Jadi sekarang aku yang jadi tulang punggung keluargaku. Aku harus bekerja keras untuk membiayai hidup keluargaku, terutama untuk biaya sekolah adik-adikku yang masih kecil-kecil.

Aku dan Yola memang semakin dekat, karena sering bertemu dan ngobrol.
Karena kedekatan kami, Yola sering cerita padaku kalau ia sebenarnya sering merasa kesepian.
Suaminya memang jarang pulang, dan kalau pun pulang tidak pernah lama.
Aku kadang juga merasa prihatin, mendengar cerita Yola. Tapi aku selalu berusaha menjaga jarak dengannya, karena tidak ingin orang-orang di kampung merasa curiga dan berpikiran macam-macam tentang kami.

Yola seorang perempuan yang cantik, meski sudah punya anak dan sudah berumur kepala tiga, dia masih terlihat awet muda dan mempesona. Terus terang aku tidak bisa memungkiri, kalau Yola adalah seorang wanita yang sangat menarik. Meski usiaku dua tahun lebih muda darinya. Tapi di mataku, Yola wanita yang baik dan ramah.

Kian hari kami pun kian dekat. Dan aku pun jatuh cinta padanya. Entah mengapa keinginan untuk memilikinya tumbuh begitu besar di hatiku. Namun aku berusaha memendam semua rasa itu. Karena biar bagaimana pun, Yola sudah memiliki seorang suami. Meski pun, ia mengakui kalau ia tidak bahagia dengan pernikahannya.
Dan lagi pula, aku hanya seorang pemuda desa yang berasal dari keluarga tak mampu.
Secara ekonomi kami jelas jauh berbeda.

Karena kedekatan kami, orang-orang di desa pun sudah mulai membicarakan kami. Bahkan Ibuku sendiri juga sempat mempertanyakan hubunganku dengan Yola. Dan aku mencoba menjelaskan kalau kami tidak ada hubungan apa-apa.
Ibuku mungkin percaya, tapi orang-orang tidak. Gosip tentang kami, pun kian beredar.

Karena takut akan terjadi fitnah, aku dan Yola pun sepakat untuk saling menjaga jarak.
Dan selama masa jaga jarak itulah, akhirnya kami sadar, kalau ternyata kami memang saling suka dan saling tertarik. Tiba-tiba saja, ada rindu. Ada keinginan untuk tetap bertemu.
Yola pun mengakui hal itu padaku. Dan aku pun jujur padanya, kalau aku memang suka dengannya.
Meski kami tahu, kalau apa yang kami rasakan itu adalah sebuah kesalahan.
Namun kami tidak bisa menghindari datangnya rasa itu.
Dan kami hanyalah manusia biasa.

Semakin kami berusaha menolak hadirnya rasa itu, semakin besar pula ia tumbuh.
Sampai akhirnya, kami pun terjebak oleh perasaan kami sendiri.
Yola melampiaskan segala kesepiannya padaku, dan aku tidak bisa menolak kehadiran Yola dalam hatiku. Aku benar-benar telah jatuh cinta kepada Yola.
Kami pun menjalin hubungan yang cukup serius, meski hubungan kami tidak diketahui oleh siapapun. Kecuali oleh kami berdua. Namun kami begitu menikmati hubungan terlarang tesebut.
Semuanya terasa indah bagi kami.

Berbulan-bulan dan bahkan hampir dua tahun hubungan terlarang kami berjalan dengan teramat indah. Kami sering bertemu secara diam-diam, tanpa diketahui orang-orang. Kami sering bertemu diluar desa, agar orang kampung tidak merasa curiga.
Kami benar-benar telah terlena oleh cinta buta yang hadir diantara kami.

Namun setelah dua tahun, akhirnya hubungan kami pun diketahui oleh suami Yola. Beliau sangat marah dan memukuliku sampai babak belur, dan bahkan beberapa warga ikut memukuliku.
Ibu dan keluargaku tidak bisa berbuat apa-apa, karena memang apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan.
Tapi sebagai laki-laki aku tak ingin lari, aku harus bertanggungjawab. Aku harus siap menerima resiko dari perbuatanku.

Namun ternyata suami Yola memilih untuk membawa Yola pergi dari desa itu. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Orang-orang sudah terlanjur membenciku, kecuali mungkin Ibuku. Meski tentu saja, beliau sangat terpukul dan malu.
Tapi semua sudah terjadi, dan aku harus menerima hukumannya.

Terus terang aku merasa sangat kehilangan Yola. Hari-hariku terasa hampa dan tak berarti.
Sudah beberapa minggu berlalu, dan aku belum mendengar kabar apa pun dari Yola.
Aku tahu, aku tak boleh berharap apa-apa lagi dari Yola. Namun aku hanya ingin tahu, seperti apa kondisinya saat ini.

Hinga beberapa bulan kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Yola masuk rumah sakit dan meninggal.
Ternyata setelah kejadian itu, Yola mendapat perlakuan yang sangat buruk dari suaminya.
Hampir setiap hari ia di pukuli oleh suaminya. Sampai akhirnya harus masuk rumah sakit selama beberapa hari dan akhirnya meninggal.

Tiba-tiba rasa bersalah menghantuiku. Segala penyesalan akhirnya pun datang.
Seandainya saja, aku lebih bisa menjaga perasaanku, agar tidak jatuh cinta pada Yola, tentu saja semua ini tidak akan pernah terjadi.
Namun kini semua telah terjadi, dan aku tidak bisa mencegahnya.
Yola pergi dengan membawa semua kenangan yang pernah tercipta di antara kami.
Meski tentu saja, itu semua adalah kenangan penuh dosa.
Tapi tetap saja, bagiku itu semua teramat indah. Walau harus berakhir dengan begitu menyakitkan.

**** 

Sekian ....

Dibalik air mata sang pengantin

"Ayah sangat berharap kamu bisa memenuhi permintaan Ayah. Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir dari Ayah..." suara itu terdengar lemah di telinga Ine. Ia menatap laki-laki tua itu dengan perasaan iba.

Ayahnya sudah lebih dari dua bulan terbaring sakit. Selama dua bulan ini, Ine dan Ibunya berusaha merawat sang Ayah dengan baik. Sudah banyak pihak keluarga dan juga para tetangga yang menyarankan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Namun Ine dan Ibunya tidak punya uang yang cukup untuk membawa sang Ayah ke rumah sakit.

Biaya berobat ke rumah sakit tentunya sangatlah mahal. Sementara mereka hanyalah keluarga miskin yang tidak punya apa-apa. Ayahnya selama ini hanya bekerja sebagai buruh bangunan, sementara sang Ibu bekerja sebagai buruh cuci.

Mereka hidup di sebuah desa yang sangat jauh dari kota. Untuk biaya hidup saja, terkadang mereka harus meminjam uang dari para tetangga. Tentu saja kehidupan seperti itu sangat berat mereka jalani.

Ditambah lagi kedua adik Ine masih kecil-kecil dan masih sekolah. Tentunya biaya hidup mereka sangat besar, dibandingkan dengan penghasilan yang mereka dapat selama ini.

Apa lagi sekarang sang Ayah menderita sakit gagal ginjal, yang seharusnya dirawat di rumah sakit dan harus dioperasi. Namun karena kondisi kehidupan mereka yang sangat kekurangan, mereka hanya berusaha melakukan pengobatan tradisional yang ada di desa tersebut.

"Ayah ingin kamu menerima lamaran dari nak Martin..." sang Ayah melanjutkan lagi, kali ini suaranya sedikit terbata karena menahan rasa sakit.

Seketika Ine merasakan matanya berkaca. Ia benar-benar tak tega melihat kondisi Ayahnya saat ini. Tapi permintaan Ayahnya tersebut terlalu berat untuk Ine terima.

Ine tahu siapa Martin. Laki-laki itu adalah anak dari kepala desa, ia seorang sarjana yang sudah bekerja di sebuah perusahaan sawit yang berada tak jauh dari desa. Disana ia sudah menjadi seorang maneger. Kehidupannya memang sudah mapan, terlepas dari ia seorang anak kepala desa atau tidak.

Secara fisik, Martin sebenarnya seorang pemuda yang cukup menarik. Ia tampan, ramah dan juga terkenal cukup baik.

Namun Ine tidak mencintai pemuda tersebut. Meski Ine sudah mengenal Martin cukup lama, tapi ia tidak punya perasaan apa-apa kepada Martin. Selain teman satu kampung.

Usianya dan Martin memang terpaut cukup jauh. Martin sudah berusia 28 tahun saat ini. Usia yang sudah cukup dewasa, dan tentu saja sudah sangat siap untuk berumah tangga.

Karena itulah beberapa minggu yang lalu, kedua orangtua Martin datang ke rumah Ine untuk menyampaikan niat mereka untuk melamar Ine.

Kedua orangtua Ine tentu saja setuju bahkan sangat senang mendengar hal tersebut. Namun bagi Ine, itu merupakan pukulan yang sangat berat. Bukan saja karena ia memang tidak mencintai Martin, tapi juga karena sebenarnya Ine sudah punya seorang kekasih.

Namanya Danu. Seorang pemuda yang berasal dari desa yang sama. Namun saat ini, Danu sedang berada di kota untuk kuliah.

Danu merupakan teman sepermainan Ine sejak kecil, selain jarak rumah mereka yang cukup dekat, mereka juga seumuran. Mereka berteman sejak masih di sekolah dasar hingga sama-sama menamatkan Sekolah tingkat atas.

Sejak mulai masuk SMA mereka pun sepakat untuk menjalin hubungan asmara. Mereka memang sudah saling tertarik sejak lama. Hubungan mereka terjalin dengan indah.

Namun hubungan indah itu, harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Danu harus melanjutkan kuliah ke kota, sementara Ine yang memang tidak punya biaya, harus tetap tinggal di kampung dan membantu orangtuanya.

Meski terpisah ratusan kilometer, hubungan Ine dan Danu tetap berjalan. Mereka sering saling memberi kabar melalui handphone.

Dan kadang pada saat musim liburan, Danu juga kembali ke desa. Mereka bisa bertemu dan saling melepas rindu.

Danu sebenarnya juga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun karena Danu anak tunggal, kedua orangtuanya sangat berharap agar Danu bisa kuliah dan menjadi orang yang sukses. Karena itulah kedua orangtua Danu harus banting tulang untuk bisa membiayai kuliah Danu.

"tak akan ada yang mampu memisahkan kita. Meski kita terpisah jarak dan waktu. Aku mencintai kamu dulu, sekarang dan selamanya. Aku ingin kamu menjaga cinta kita, hingga suatu saat nanti aku bisa melamarmu..." begitu ucap Danu kepada Ine pada suatu ketika, sebelum ia berangkat kuliah.

Ine sangat tersentuh dengan semua itu. Ia juga sangat mencintai Danu. Baginya Danu adalah cinta pertama sekaligus laki-laki terakhir yang akan mengisi hatinya.

"aku juga mencintai kamu, Dan. Tak peduli sejauh apa pun jarak yang ada diantara kita. Aku juga ingin kamu menjaga cinta ini, hingga maut memisahkan kita..." balas Ine, ia membalas remasan jemari Danu pada tangannya.

Hampir setahun Danu kuliah di kota, hubungan mereka justru semakin erat. Hampir setiap malam mereka selalu berhubungan melalui handphone. Sesekali Danu pulang, untuk sekedar saling melepas rindu. Mereka sangat bahagia dengan semua itu.

Ine masih terdiam mendengar penuturan sang Ayah, yang masih saja menunggu jawabannya.

"Ayah tahu ini berat buat kamu. Tapi Martin pemuda yang baik, masa depannya jelas. Kehidupannya juga sudah mapan. Kamu juga harus memikirkan adik-adikmu. Mereka butuh kehidupan yang lebih baik." sang Ayah berujar lagi, sambil menyentuh dengan lembut tangan sang anak.

Ine tak mampu lagi menahan air matanya. Perlahan air mata itu pun jatuh membasahi pipinya. Tak tahan dengan perasaannya sendiri, Ine pun berdiri dan berlari menuju kamarnya. Tangisnya pun tumpah. Ia terisak. Air matanya tidak bisa ia bendung lagi, ia tumpahkan segala kepedihannya dengan tangisan pilu.

Hatinya terasa teriris. Betapa begitu sulit baginya semua itu. Biar bagaimana pun, ia sangat mencintai Danu. Namun ia juga tidak mungkin menolak permintaan sang Ayah saat ini.

Dari pintu masuk sang Ibu berjalan mendekati gadis itu. Ia duduk disampingnya dan membelai rambut Ine dangan lembut.

"Ine masih belum pengen nikah, Bu..." suara Ine terbata di tengah isaknya.

"Ibu ngerti, Ne. Tapi apa kamu tega menolak keinginan Ayahmu? Apa kamu tega membuat ia semakin menderita?" ucap sang Ibu, sambil terus membelai rambut hitam panjang itu.

"tapi Ine tidak mencintai mas Martin, Bu..." suara Ine masih terisak.

"tapi kamu sayang, kan sama Ayah kamu? Sama Ibu?" ucapan sang Ibu membuat Ine semakin terisak pilu. Hatinya kian perih. Sungguh sebuah pilihan yang teramat sulit baginya. Antara memenuhi keinginan orangtuanya, yang tentu saja ia harus mengorbankan cinta sucinya. Atau ia harus berjuang demi cintanya, dan tentu saja ia harus melukai hati kedua orangtuanya. Ine meringis sakit, mengingat semua itu.

*********

"kamu tahu apa yang paling berat dari semua ini, Ne..?" suara Danu terdengar parau, saat mereka akhirnya berjumpa pada suatu sore. Setelah dengan terbata, Ine menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan tentang perjodohannya dengan Martin kepada Danu, melalu telepon genggamnya.

Danu pun buru-buru pulang mendengar semua itu. Ia meminta Ine untuk menemuinya di tempat biasa mereka bertemu. Di sebuah pondok kecil, di tepi sawah yang membentang luas di ujung desa.

Ine tak kuasa menahan tangis ketika menyampaikan semua itu kepada Danu. Air matanya tak kunjung berhenti, sampai Danu berusaha menenangkannya.

Danu sendiri sebenarnya sangat terpukul mendengarkannya. Namun sebagai laki-laki, tentu saja ia berusaha untuk tetap tegar, meski air mata mengenang di sudut matanya yang sendu.

Ine masih terisak, dan tak berkeinginan untuk menjawab pertanyaan Danu barusan. Sekali lagi Danu menghempaskan napas. Kemudian ia berujar lagi,

"saat ini aku sedang berjuang untuk membangun masa depan kita berdua. Namun justru saat aku sedang berjuang, sebelah sayap seakan patah. Aku seakan tak punya kekuatan lagi untuk tetap berjuang. Aku merasa rapuh, saat satu-satunya alasanku untuk berjuang, justru harus terlepas..." suara Danu semakin lirih.

"maafkan aku, Dan. Aku benar-benar tak berdaya. Aku tak bisa lagi menolak satu-satunya keinginan dari orangtuaku saat ini.." suara Ine parau, ia berusaha menahan semua gejolak di hatinya.

"kamu gak salah, Ne. Kamu hanyalah korban. Korban dari sebuah ketidakadilan hidup. Dan aku tak berdaya untuk menyelamatkanmu dari semua ketidakadilan itu." Danu membersit hidungnya yang tiba-tiba berair. Matanya kian berkaca. Hatinya meringis pilu.

"mungkin memang sudah menjadi suratan untuk cinta kita, harus berakhir dengan cara seperti ini. Kita tak harus menangisinya. Kita tak harus menyesalinya....." lanjut Danu lagi.

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dan. Aku tak bisa begitu saja melupakanmu..."

"aku juga sangat mencintaimu. Aku juga tidak bisa begitu saja, melepaskanmu. Tapi apa yang bisa kita lakukan saat ini? Selain menerima semuanya sebagai sebuah takdir yang tak bisa kita elakkan..."

Ine terisak kembali. Ia masih mengingat dengan jelas. Kejadian seminggu yang lalu. Saat sang Ayah hampir sekarat karena penyakitnya. Ine merasa sang Ayah sudah tidak bisa bertahan lagi. Di saat semua orang mulai terisak melihat kondisi Ayahnya. Tiba-tiba saja, kedua orangtua Martin datang dan menawarkan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Melihat kondisi sang Ayah yang kian parah, tentu saja dengan sangat terpaksa Ine menyetujui hal tersebut. Hari itu Ayahnya segera dilarikan ke rumah sakit dan juga segera di operasi. Segala biaya dari semua itu, sudah ditanggung penuh oleh orangtua Martin.

Ayahnya memang sudah berhasil pulih kembali, melewati masa kritisnya dan menjalani proses operasi dengan lancar. Namun tentu saja, semua itu ada konsekuensinya, terutama bagi Ine sendiri. Ia mau tidak mau harus menerima lamaran dari Martin dan keluarga.

Ine tidak punya alasan apapun lagi untuk menolaknya. Ia harus memenuhi permintaan orangtuanya.

Kedua keluarga akhirnya sepakat, untuk segera melangsungkan pernikahan antara Ine dan Martin. Setidaknya sampai sang Ayah sudah mulai sembuh kembali.

Pernikahan itu akan dilangsungkan minggu depan. Karena itu, Ine memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Danu. Ia tidak ingin Danu mengetahuinya dari orang lain. Ine tidak mau Danu menganggapnya sebagai penghianat dan perempuan yang tak setia. Ine harus jujur dan menjelaskan semuanya. Meski tentu saja hal itu terasa sangat berat dan begitu menyakitkan.

*******

Seminggu kemudian Ine dan Martin akhirnya melangsungkan pernikahan. Diiringi isak tangis Ine yang tak kunjung berhenti. Hatinya begitu sakit menerima semua itu. Seolah seribu sembilu menusuk-nusuk hatinya yang memang sudah hancur.

Sementara dari kejauhan, Danu menyaksikan pesta pernikahan itu dengan perasaan pilu. Luka dihatinya teramat parah dan perih. Bertahun-tahun ia menjalani cinta yang begitu indah bersama Ine. Bertahun-tahun ia berharap akan menjadi pendamping Ine selamanya. Namun sekarang, ia harus menyaksikan gadis yang ia cintai bersanding dengan laki-laki lain.

Pesta pernikahan itu memang dilaksanakan dengan sangat sederhana, namun tetap saja hal itu mampu menghancurkan perasaan Danu. Memporak-porandakan semua harapannya.

Berkali-kali ia menyeka air matanya. Ia tak kuasa lagi menahan tangisnya. Di hadapan Ine ia mungkin bisa berpura-pura tegar. Namun ketika ia sendirian seperti saat ini, ia tak bisa lagi membendung kepedihannya. Hatinya terluka parah dan tubuhnya terasa lemas tak berdaya.

Tak sanggup menyaksikan semua itu, Danu akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota. Ia pergi untuk membawa hatinya yang terluka. Semua harapannya seolah musnah, bersama cintanya yang tak bisa menyatu.

Tak pernah terpikir olehnya, jika kisah cintanya yang indah harus berakhir dengan begitu menyakitkan. Berat bagi Danu harus melepaskan Ine, gadis yang sangat ia cintai itu.

Kini semuanya hanya tinggal kenangan. Ine bukan lagi miliknya. Ine bukan lagi gadis yang selama ini selalu bisa menghiburnya, dengan segala sikap manjanya.

Danu sudah terlalu biasa melewati hari-hari bersama Ine. Namun sekarang semuanya terasa hampa. Tidak ada lagi tawa canda gadis manis itu. Tidak ada lagi yang akan memberinya semangat ketika ia merasa lelah. Untuk siapa lagi ia berjuang? Jika satu-satunya orang yang membuatnya bahagia, kini tidak lagi bersamanya.

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate