Calon istriku ternyata adik kandung my boyfriend...

Aku melangkah gontai menuju tempat parkiran yang berada tepat di halaman kantor tempat aku bekerja.

Sudah dua hari ini, pikiranku tiba-tiba kacau.

Sambil mengendarai mobil menuju pulang, terngiang kembali pembicaraanku dengan mama tempo hari.

"ini merupakan amanat almarhum papa mu, Bas..." suara mama pelan.

Aku kembali menatapnya.

Cerita gay

"suka tidak suka kamu harus menjalankan amanat tersebut.." lanjut mama, masih dengan suara pelan.

"tapi aku benar-benar gak bisa, Ma.." ucapku tertatih.

"kenapa? Apa kamu sudah punya calon sendiri?" kali ini suara mama sedikit meninggi.

"aku belum ingin menikah, Ma.." balasku dengan suara sedikit parau.

"kamu udah 28 tahun, Bas. Sudah saatnya kamu berumah tangga..." ucap mama lagi.

"tapi gak harus di jodohkan juga, kan, ma?!" suaraku semakin parau.

"mama kan sudah bilang, ini amanat almarhum papa kamu. Lagi pula, Lisa itu gadis yang baik. Ia berasal dari keluarga terpandang. Asal usulnya jelas. Papa mama Lisa juga udah setuju." jelas mama lagi.

Aku kembali terdiam. Aku sudah cukup mengenal mama. Sejak papa meninggal tiga tahun lalu, mama memang jadi sedikit keras padaku.

Apa pun yang sudah menjadi keputusannya, tidak akan ada yang bisa mengubahnya.

"tapi, ma... " suaraku tertahan.

Mama tiba-tiba berdiri.

"gak ada tapi-tapian lagi, Bas. Pokoknya lusa malam kita akan ke rumah Om Tito, papanya Lisa, untuk menyampaikan lamaran kamu.." setelah berucap demikian, mama pun beranjak dari ruang keluarga itu.

Aku masih terpaku. Aku menjadi kian bingung.

Aku tidak ingin menikah dengan Lisa. Bukan saja, karena aku tidak mengenalnya. Tapi juga karena sebenarnya aku sudah punya seorang kekasih yang sangat aku cintai.

Namanya Leo.

Ya, Leo seorang cowok. Dan dia adalah pacarku.

Kami pacaran sudah hampir tiga tahun. Meski selama itu hubungan kami hanyalah sebuah rahasia.

Tidak ada yang mengetahuinya. Karena memang begitulah sebuah hubungan di dunia gay tercipta.

Tapi kami saling mencintai. Kami selalu punya jadwal untuk saling bertemu dan melepas rindu.

Hubungan terlarang kami terjalin dengan indah. Tidak pernah ada masalah yang berarti sebelumnya.

Aku sangat mencintai Leo, begitu juga sebaliknya.

Leo dua tahun lebih tua dariku. Ia bekerja di sebuah perusahaan milik keluarganya.

Secara keseluruhan aku tidak begitu mengenal Leo. Karena begitulah hubungan kami terjalin.

Kami tidak pernah saling mengenal keluarga masing-masing. Bahkan kami tidak saling tahu, dimana alamat rumah kami masing-masing.

Selama ini, kami hanya berkomunikasi melalui ponsel, dan selalu bertemu di hotel yang berbeda.

Kami punya komitmen, untuk tetap merahasiakan kehidupan pribadi kami. Karena kami sadar, bahwa hubungan kami tidak akan mendapat restu dari siapa pun.

Tapi kami saling mencintai, kami saling menyayangi.

Setiap kali kami bertemu, kami akan saling menumpahkan segala rasa rindu dan akan melakukan pendakian yang indah bersama.

Leo, laki-laki yang tampan. Tubuhnya kekar dan atletis. Menurut cerita Leo, ia memang suka fitnes.

Aku menyukai Leo dengan segala kelebihannya itu.

"kamu juga sangat tampan, Bas." ucap Leo suatu malam, saat aku untuk kesekian kalinya memuji ketampanan wajahnya.

"kamu juga sangat lembut. Kamu mampu membuatku melayang setiap kali kita melakukan pendakian bersama. Aku merasa sangat puas, bersama kamu, Bas." Leo melanjutkan, yang membuatku merasa tersanjung.

Aku memang selalu berusaha membuat Leo merasa puas. Aku tidak ingin ia berpaling dariku.

Setelah pembicaraanku dengan mama tentang perjodohanku siang itu, aku segera menghubungi Leo untuk mengajaknya bertemu. Aku berniat untuk menceritkan semuanya pada Leo.

Seperti biasa, Leo sudah menungguku di sebuah kamar hotel.

Setelah saling melepaskan rindu, dan melakukan pelayaran dalam lautan kemesraan yang penuh cinta, kami berdua akhrinya jatuh terhempas.

Aku kemudian menceritakan semuanya pada Leo.

Aku melihat ada raut kemurungan di wajah Leo tiba-tiba setelah mendengar tentang perjodohanku.

Aku yakin Leo pasti merasa kecewa.

"aku bingung, Leo. Aku tidak bisa menghindar begitu saja. Keputusan mama sudah sangat bulat. Apa lagi, itu semua adalah amanat dari almarhum papa." kalimatku tertahan.

Rasanya sangat sakit harus mengatakan itu semua.

Leo terlihat menarik napas berat. Ia mengusap wajahnya beberapa kali.

"aku tahu, suatu saat ini semua akan terjadi. Jika bukan kamu, mungkin aku akan juga dituntut untuk menikah oleh keluargaku. Karena memang begitulah seharusnya. Sebagai laki-laki, apa lagi di usia kita saat ini, kita memang harus segera menikah.." Leo berucap juga akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.

"tapi rasanya begitu sulit, untuk bisa mengikhlaskan orang yang kita cintai menikah dengan orang lain.." Leo melanjutkan ucapannya. Suaranya terdengar mulai serak.

Aku melihat mata itu pun mulai berkaca. Hatiku merasa terpukul melihat itu semua.

"percayalah, Leo. Jika bisa menolak, aku pasti akan menolaknya. Aku.. aku ... hanya ingin menikah dengan kamu, Leo. Andai saja itu bisa menjadi mungkin. Tapi seperti yang kamu katakan, kita tidak bisa melawan takdir.." ucapanku sedikit terbata.

"aku hanya berharap, seandainya nanti aku memang harus menikah, aku ingin kita tetap seperti ini. Aku ingin kita tetap bisa bertemu. Aku tak ingin hubungan kita berakhir.." aku melanjutkan, meski sebulir air mata jatuh di pipiku, tanpa aku sadari.

Leo manatapku. Ia perlahan menyentuh pipiku. Ia usap tetesan air mata itu, yang membuatku semakin merasa sedih.

Aku repleks memeluk tubuh kekar itu. Rasanya begitu nyaman berada di dalam dekapan tersebut.

Leo membalas dekapanku. Kami saling dekap sangat erat, seakan tak ingin terpisahkan.

*****

Aku memarkir mobilku di garasi rumah. Hari sudah hampir jam tujuh malam.

Mama sudah menungguku dengan berkacak pinggang. Sejak tadi ia sudah menghubungiku, aku sengaja tidak mengangkat telponnya.

"ini sudah jam berapa, Bas? Kita janji mau ke rumah om Tito malam ini jam tujuh!" suara tinggi mama menyambutku di depan pintu masuk.

"iya, ma. Tadi jalanan macet. Aku mau mandi dulu, ma.." balasku sambil terus melangkah masuk menuju kamarku, mengabaikan mama yang sudah siap mengeluarkan kalimat makian berikutnya.

Aku masih mendengar suara mama mengomel gak jelas. Aku bersegara mandi, tak ingin membuat amarah mama semakin meninggi.

Setelah selesai mandi dan berpakaian apa adanya, aku segera keluar kamar, dengan di saksikan tatapan mata mama yang tajam.

"kita ini mau melamar loh, Bas. Bukan mau ke pasar loak.." ketus suara mama, sambil terus melototiku.

"udahlah, ma. Kenapa sih, pakaian menjadi begitu penting saat ini?" balasku dengan nada malas.

Mama akhirnya tidak berkata apa-apa lagi. Aku tahu, karena mama merasa harus buru-buru.

Dengan bersikap masih ogah-ogahan, aku akhirnya menyetir mobil menuju rumah om Tito, papanya Lisa, gadis yang akan dijodohkan denganku.

Mama duduk di sampingku, dengan muka cemberutnya.

Setelah melewati perjalanan hampir setengah jam tanpa suara, kami akhirnya sampai ke sebuah rumah mewah.

Aku memang belum pernah ke rumah om Tito, tapi aku sudah pernah bertemu om Tito beberapa kali, saat ia berkunjung ke rumah kami, ketika papa masih hidup.

Om Tito memang sahabat papa sejak muda. Mereka menjalin persahabatan sejak lama, Karena itu juga, papa mengamanatkan untuk menjodohkanku dengan anaknya om Tito.

Tapi aku belum pernah bertemu dengan anak-anak om Tito, bahkan dengan istrinya pun aku tidak pernah bertemu.

Setiap kali ada pertemuan dengan keluarga om Tito aku selalu menghindar, apa lagi selama ini, aku kuliah di luar negeri, dan juga sebenarnya sudah bekerja di sana.

Tapi sejak papa meninggal, aku harus kembali dan bekerja di kota ini.

Dan sejak kembali ke kota inilah, aku akhirnya bertemu dengan Leo, kekasih hatiku itu.

Om Tito dan istri menyambut kedatangan kami dengan ramah.

Mereka seperti sudah menyiapkan segala sesuatunya.

Kami duduk di ruang keluarga rumah itu. Seorang gadis cantik tiba-tiba muncul dari lantai atas.

Aku yakin itu Lisa. Meski aku belum pernah bertemu dengannya.

Om Tito memperkenalkan Lisa kepada aku dan mama. Tapi aku yakin, mama pasti sudah mengenal dan pernah bertemu dengan Lisa.

Aku melirik sekilas ke arah gadis cantik itu. Gadis itu duduk di samping mamanya.

Mama tidak salah, Lisa memang cantik.

Tapi aku sadar, bukan itu persoalannya kenapa aku ingin menolak perjodohan ini.

Tidak ada yang salah dengan Lisa. Sebagai seorang perempuan, Lisa terlihat sempurna.

Tapi, aku memang tidak punya ketertarikan kepada perempuan.

Selanjutnya mama dan om Tito mulai membicarakan tentang perjodohan kami.

Aku tidak begitu menyimaknya, pikiranku tidak sedang berada di situ pada saat itu.

Saat itulah aku mendengar sebuah langkah kaki menuju ruang tempat kami duduk.

Tapi aku mengabaikan kedatangan orang tersebut, dalam pikiranku bisa saja itu salah seorang pembantu di rumah itu.

Aku terus tertunduk. Aku merasa gelisah dari awal. Saat suara om Tito menyadarkanku tiba-tiba.

"oh, ya, nak Bas. Perkenalkan juga, ini anak sulung Om. Namanya Leonardo. Ia baru tiga tahun pulang ke Indonesia."

Aku segera mendongak. Keterkejutanku tidak bisa aku sembunyikan.

Leo berdiri tepat di samping om Tito. Tatapan matanya juga penuh dengan keterkejutan.

Aku yakin, Leo juga tidak mengetahui hal ini.

"apa kalian sudah saling kenal?" suara mama Leo menyadarkan kami.

"belum.." jawab kami hampir bersamaan. Leo masih tetap berdiri terpaku.

Aku semakin terpukul menyadari itu semua.

Mengapa dunia menjadi begitu sempit bagi kami?

Bagaimana mungkin, aku bisa dijodohkan dengan adik pacarku sendiri?

Hatiku tiba-tiba terasa semakin terhiris. Dan aku yakin, itu juga yang di rasakan Leo saat itu, bahkan mungkin jauh lebih sakit dari yang aku rasakan.

Tak lama kemudian, tiba-tiba Leo pamit.

"kamu mau kemana, Leo?" mamanya Leo mencoba mencegahnya.

"Leo mau keluar, ma..." jawab Leo terdengar parau, sambil terus melangkah menuju pintu keluar.

Ingin rasanya saat itu, aku segera menyusul Leo. Tapi jelas hal itu tidak mungkin. Yang membuatku akhirnya pasrah, setidaknya sampai pembahasan tentang perjodohan kami selesai.

Setengah jam kemudian, mereka pun akhirnya memperoleh kata sepakat, tentang perjodohanku dengan Lisa. Mereka sudah mengatur semuanya, terutama tentang jadwal pertunangan kami, yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi.

******

Aku cukup ngebut, untuk membawa mama segera pulang ke rumah.

Aku ingin segera bertemu Leo. Banyak yang harus kami bicarakan.

Tapi saat sampai di rumah, aku mencoba menghubungi ponsel Leo. Namun nomornya tidak aktif, sepertinya Leo sengaja mematikan ponselnya.

Aku tahu, betapa sakit yang dirasakan Leo saat ini. Hal itu justru membuatku kian cemas.

Aku takut Leo bertindak bodoh. Meski aku yakin, Leo seorang laki-laki yang kuat dan berpikir dewasa.

Tapi aku tetap merasa khawatir, aku harus bertemu Leo malam itu juga.

Karena itu, aku kembali menyetir mobilku keluar dari garasi.

Aku menyetir mobil pelan, menyelusuri jalanan yang mulai sepi itu.

Aku berharap bisa melihat Leo dipingiran jalan, atau setidaknya aku bisa melihat mobilnya terparkir di suatu tempat.

Tapi setelah lebih dua jam aku berkeliling kota itu, aku tidak juga berhasil menemukan Leo.

Berkali-kali aku coba menghubunginya, namun sepertinya Leo memang sengaja mematikan ponselnya.

Aku mulai putus asa, dan memutuskan untuk kembali ke rumah, karena malam yang semakin larut.

Mungkin Leo memang butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikirannya.

Semoga ia baik-baik saja. Do'a ku dalam hati.

*****

Pagi itu, mama menggedor-gedor pintu kamarku sangat keras. Tidak seperti biasanya. Apa lagi ini hari minggu, mama tahu aku tidak masuk kerja. Biasanya ia tak pernah membangunkanku jika hari minggu tau hari libur lainnya.

"ada apa sih, ma?" tanyaku masih menahan kantuk. Semalam aku pulang dari berkeliling mencari Leo, sudah hampir jam satu malam.

"kita harus ke rumah sakit sekarang, Bas." suara mama tegas.

"ke rumah sakit?" keningku berkerut, "siapa yang sakit?" lanjutku.

"tadi om Tito mengabarkan pada mama, kalau Leo, anak lakinya itu, tadi subuh mengalami sebuah kecelakaan parah." jawab mama menjelaskan.

Aku tentu saja terkaget mendengar kabar itu.

"kamu kenapa?" tanya mama tiba-tiba, yang melihat reaksi ku mendengar ceritanya barusan.

Mungkin tingkah ku terlihat berlebihan bagi mama. Sebagai orang yang baru mengenal Leo, setidaknya begitulah menurut mama, aku seharusnya tidak sekaget itu.

Tapi aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku.

Kabar tentang kecelakaan yang menimpa Leo, benar-benar membuatku terpukul.

Biar bagaimana pun, Leo pasti merasa sangat kecewa, karena perjodohanku dengan adiknya.

Aku yakin, kecelakaan yang di alami Leo, jelas ada hubungannya dengan semua itu.

Dalam kegamangan hatiku, aku kembali masuk ke kamar untuk segera mandi. Aku tak pedulikan keheranan mama melihat perubahan di raut wajahku.

*****

Setengah jam kemudian, kami sudah berada di rumah sakit, di mana Leo di rawat.

Aku yang merasa khawatir dan juga merasa sangat bersalah, buru-buru masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Mama masih terus menatapku dengan keheranannya.

"Leo belum sadarkan diri.." suara parau om Tito menyambut kedatangan kami.

"ia mengalami kecelakaan yang sangat parah. Kepalanya terbentur benda keras. Menurut keterangan dokter tadi, Leo bisa saja mengalami amnesia parah.." om Tito melanjutkan penjelasannya, yang membuat seluruh tubuhku terasa lemas tak berdaya.

Hampir seharian aku tetap berada di rumah sakit itu. Mama bahkan aku minta pulang naik taksi.

Aku tak pedulikan keheranan keluarga om Tito, akan betapa khawatirnya aku dengan keadaan Leo saat itu.

Saat sore, akhirnya Leo tersadar dari koma-nya.

Namun seperti yang di sampaikan om Tito pagi tadi, Leo benar-benar mengalami lupa ingatan.

Semua keluarga merasa bersedih mengetahui hal itu.

Tapi andai mereka tahu, aku yang paling sedih mengetahui hal itu.

Pada suatu kesempatan, aku masuk ke kamar inap Leo sendirian.

Aku menatap wajah tampan yang bagian atasnya terbalut perban.

Leo juga menatapku, tapi tatapannya benar-benar datar.

Wajah itu benar-benar terlihat datar dan tanpa reaksi apa pun.

Aku semakin terenyuh melihat kondisi Leo seperti itu.

Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Ingin rasanya aku mendekap Leo saat itu.

"kamu siapa?" suara Leo datar dan terdengar sedikit serak.

Aku merasa sakit mendengar pertanyaan itu.  Orang yang selama ini selalu menemani hari-hari indahku, tiba-tiba tak mengenaliku lagi.

Ingin rasanya aku berbicara banyak, tapi tiba-tiba lidahku terasa kelu.

Mataku mulai berkaca. Aku benar-benar tidak sanggup melihat itu semua.

Mengapa hal ini harus terjadi pada Leo?

Mengapa bukan aku saja yang mengalaminya?

Aku segera keluar dari ruangan itu. Aku tak ingin Leo melihat aku menangis.

Leo terlihat keheranan melihat tingkahku.

*****

Di sepanjang perjalanan pulang, aku menangis. Benar-benar menangis.

Aku terisak sendiri. Aku merasa sangat terpukul.

Aku sangat mencintai Leo. Aku ingin selalu berada di sampingnya.

Aku ingin menemaninya melewati masa-masa sulit ini.

Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini?

Sementara aku harus memenuhi permintaan mama untuk segera menikah dengan Lisa, adik kandung Leo.

Semua ini, membuatku semakin bingung.

Haruskah aku tetap memenuhi permintaan ibu?

Atau haruskah aku...?

Akh... aku benar-benar tidak tahu harus apa.

Semua yang terjadi ini, sudah di luar kendaliku sebagai manusia biasa.

Mungkin memang lebih baik aku pasrah dan membiarkan takdir menjalankan tugasnya.

*****

Sudah hampir dua minggu, keadaan Leo semakin membaik, tapi tidak dengan ingatannya.

Aku sering diam-diam menyelinap menemui Leo di rumah sakit.

"ngapain mas di sini?" tanya Lisa suatu hari, saat aku dipergokinya berada di rumah sakit tersebut.

Aku sedikit gelagapan. Tapi aku berusaha bersikap tenang.

"aku mau ketemu kamu.." suaraku datar.

Kulihat Lisa mengerutkan dahinya. Jelas kalimatku barusan membuat ia terheran.

Karena sejak perkenalan kami, pada malam lamaran itu, aku bahkan tidak pernah menghubunginya.

"ada apa mas mau ketemu saya?" tanya Lisa kemudian.

"aku... hmm... aku.. mau ngomong.." ucapku sedikit tergagap.

"mau ngomong apa?" tanya Lisa lagi, "kenapa gak ke rumah aja?" lanjutnya.

Aku semakin kebingungan harus menjawab apa.

Aku menarik napas dalam, lalu berucap.

"sebenarnya, kamu setuju gak sih dengan perjodohan kita?"

Lisa menatapku tajam.

"mas Baskoro sendiri setuju gak?" ucap Lisa balik bertanya.

Aku terdiam sejenak. Lalu menggeleng ringan.

"kalau begitu, kenapa mas Baskoro tidak menolaknya saja?" tanya Lisa lagi, melihat aku hanya menggeleng.

"karena kata mamaku, ini adalah amanat dari almarhum papaku. Jadi jelas aku tidak bisa menolak.." balasku berusaha bersikap wajar.

Lisa terlihat tersenyum kecut.

"itu juga yang menjadi alasanku, kenapa aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa dengan perjodohan ini.." ucapnya datar.

Untuk sesaat aku terdiam. Lalu kemudian permisi, untuk segera berlalu dari hadapan Lisa.

*****

Sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati oleh mama dan om Tito, aku dan Lisa akhirnya melaksanakan acara pertunangan kami.

Leo sudah kembali ke rumahnya, tapi ingatannya masih belum kembali.

Ia harus menjalani terapi rutin dengan dokter ahli, untuk bisa memulihkan ingatannya. Meski menurut dokter itu, butuh waktu sangat lama, bagi Leo untuk bisa memulihkan ingatannya kembali.

"dia butuh dorongan untuk bisa memulihkan ingatannya, terutama dari orang-orang yang pernah dekat dengannya.." begitu ucap Lisa padaku menjelaskan.

Aku sekarang memang jadi sering menghubungi Lisa. Niatku hanya satu, aku harus selalu tahu, keadaan Leo.

Setelah bertunangan, aku justru jadi semakin berani berkunjung ke rumah om Tito.

Aku hanya ingin bertemu Leo. Aku ingin membantunya untuk pulih.

Jika dengan dukungan penuh dari orang-orang terdekatnya, bisa membantu Leo memulihkan ingatannya, aku adalah salah satu orang terdekatnya.

Aku ingin Leo mengingat kembali kenangan-kenangan indahnya denganku.

*****

Dan beberapa minggu kemudian, aku pun menikah dengan Lisa.

Perasaanku terhadap Lisa biasa saja. Tidak ada perkembangan sama sekali. Tapi aku memang tidak bisa lagi menolak perjodohan itu.

Setelah menikah, aku pun tinggal di rumah om Tito. Itu semua atas permintaanku. Karena seharusnya aku tetap tinggal bersama mama, dan Lisa yang seharusnya pindah ke rumahku.

Tapi karena aku ingin melihat Leo setiap hari, aku meminta hal itu pada om Tito. Tentu saja dengan alasan yang berbeda, dari yang sebenarnya aku niatkan.

Meski aku dan Lisa tidak saling mencintai. Namun karena tuntutan untuk segera menimang cucu dari orangtua kami, aku dengan terpaksa harus melakukan kewajibanku sebagai seorang suami.

Hingga beberapa bulan kemudian, Lisa pun hamil.

Semua keluarga bergembira mendengar kabar itu, kecuali aku.

Aku bukannya tak senang akan segera menjadi seorang ayah. Tapi kondisi Leo yang tak kunjung ada perkembangan, membuatku merasa tak benar-benar bisa menikmati hidupku lagi.

Aku hanya ingin Leo pulih kembali. Meski pun resikonya, ia pasti akan sangat terluka mengetahui kalau aku sudah menikah dengan adiknya.

Selama aku tinggal serumah dengan Leo, aku sering mengobrol dengannya. Tapi Leo hanya mengenalku sebagai adik iparnya.

Aku bahkan sering memancing Leo, untuk mengingat-ingat kembali kenangan saat kami bersama dulu.

Meski tentu saja dengan cara yang tidak membuat ia curiga tentang siapa aku sebenarnya.

Tapi Leo tetap tak bisa mengingat apa-apa, yang membuatku semakin terluka.

Om Tito akhirnya memutuskan untuk membawa Leo berobat ke luar negeri. Ke Jerman tepatnya.

Dan itu artinya aku tidak bisa lagi bertemu dengan Leo.

Aku pun memutuskan untuk membawa Lisa pindah ke rumah mama.

Kehamilan Lisa pun semakin membesar.

*****

Sebulan kemudian, Om Tito mengabarkan bahwa Leo sudah mulai ada perkembangan. Ingatannya sudah mulai pulih, meski ia belum mampu mengingat semuanya.

Setengah hatiku sangat bahagia mendengar kabar itu, namun sebagian hatiku yang lain, justru merasa cemas. Karena jika ingatan Leo kembali pulih, ia pasti akan mengingat siapa aku, yang sudah menjadi adik iparnya.

"Leo sudah pulih. Ia sudah bisa mengingat semuanya. Tapi ia tidak mau pulang. Ia ingin tetap tinggal di Jerman.." begitu penjelasan om Tito seminggu kemudian.

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Entah merasa bahagia, entah merasa sakit.

Aku yakin, Leo tak ingin kembali ke Indonesia, itu karena ia sudah tahu kalau aku akhirnya menikah dengan Lisa.

Aku ingin bertemu Leo. Banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Tapi Leo sepertinya memang sengaja menghindar dariku.

Meski demikian, aku tidak kehabisan akal.

Aku tahu dimana Leo tinggal, tentu saja dari Lisa.

Karena itu, aku mencoba membuat alasan, agar aku bisa ke Jerman sendirian.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, aku akhirnya terbang ke negara Jerman. Ke tempat Leo tinggal.

Aku meminta Lisa, untuk tidak memberi tahu Leo, akan kedatanganku.

Sesampai di sana, tentu saja Leo sangat kaget melihat kehadiranku.

"kenapa kamu ke sini?" tanya Leo dengan nada sinis.

"aku kangen kamu Leo.." suaraku bergetar.

Leo menatapku tajam. Kami sudah berada di dalam apartemen tempat ia tinggal.

"aku tidak tahu, harus mengatakan apa saat ini, Bas. Yang pasti aku kecewa sama kamu.." ucap Leo kemudian masih dengan nada sinisnya.

"aku minta maaf, Leo. Aku tahu kamu kecewa. Tapi tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.." balasku lirih.

"gak ada yang harus dijelaskan lagi, Bas. Semuanya sudah cukup jelas. Lebih baik kita jalani hidup kita masing-masing. Anggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita." Leo berucap tegas.

Ia menarik napas dalam.

"sebenarnya aku sangat marah sama kamu, Bas. Aku tidak masalah kalau kamu menikah. Tapi kenapa harus dengan adikku..?" lanjutnya lagi.

"kamu sendiri juga tahu alasannya apa, Leo. Kita sudah membahas ini jauh sebelum akhirnya aku menikah dengan Lisa.." balasku cepat.

"iya. Karena itu, aku berusaha untuk menahan amarahku. Karena itu juga, aku tidak ingin bertemu kamu lagi. Kamu bisa bayangkan perasaanku saat ini, Bas." Leo menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.

"betapa sakitnya, mengetahui orang yang kita cintai menikah dengan orang lain. Dan yang paling menyakitkan dari semua itu, ialah mengetahui kalau adikku menikah dengan seorang gay.." lanjut Leo kemudian, yang membuatku merasa semakin terluka.

Aku melihat mata Leo mulai berkaca.

"kadang aku ingin tetap mengalami lupa ingatan, aku tidak ingin sembuh." lanjutnya lagi, sambil mengusap mukanya satu kali.

Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku benar-benar merasa bingung.

Aku dan Leo memang tidak mungkin bisa bersama lagi.

Aku harus bisa melupakannya. Meski hal itu sangatlah terasa berat bagiku.

Aku harus menjalani kehidupanku sebagai mana mestinya. Aku harus menjalankan hidupku sebagai mana takdirku.

****

Aku jatuh cinta pada suami orang... (suara hati Nisa)

Namaku Anisa.

Aku seorang wanita karir yang sudah berusia 28 tahun.

Aku bekerja sebagai seorang programmer dan ahli IT di sebuah perusahaan besar.

Aku salah satu lulusan terbaik dari luar negeri.

Sebagai wanita karir, aku memang belum menikah sampai saat ini.

Beruntunglah aku tinggal jauh dari kedua orangtuaku, sehingga tuntutan untuk segera menikah, hanya sering aku dengar dari ponsel-ku.

Meski kedua orangtuaku sangat ngotot agar aku segera menikah, namun aku selalu mengabaikan hal itu.

"masih banyak yang ingin aku gapai, Ma.." ucapku suatu saat kepada Ibuku, melalui gawaiku.

"tapi menikah itu penting, Nis..." suaraku Ibuku parau termakan usianya yang sudah hampir kepala enam.

Sebenarnya Ibuku tidak terlalu memaksaku, mengingat aku adalah anak bungsunya. Kedua kakak perempuanku sudah menikah dan sudah memiliki anak.

Hanya saja, aku tahu kekhawatiran Ibu, karena aku tinggal di kota besar sendirian.

"aku pasti bisa jaga diri, Ma. Mama gak usah terlalu mengkhawatirkanku.." suaraku berusaha selembut mungkin.

Aku terkadang jadi jarang mengangkat telpon dari Ibu, karena aku tahu pasti, ujung-ujung pembicaraannya adalah tentang menikah.

Sebagai wanita yang masih lajang, tentu saja aku masih merasa punya banyak kebebasan. Namun aku tetap tahu batas.

Aku juga tidak terlalu suka keluyuran, atau pun berpesta dan berfoya-foya.

Aku lebih sering menghabiskan waktu untuk bekerja.

Di tempat kerja, aku punya beberapa orang teman, yang rata-rata tentu saja sudah berkeluarga.

Salah satu teman kerja ku yang paling dekat ialah Yudha.

Yudha lebih tua dua tahun dariku, ia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Aku menjadi dekat dengan Yudha, karena kebetulan kami berada di ruang yang sama. Dan kebetulan juga, kami tinggal di perumahan yang sama.

Jadi meskipun bukan di jam kerja, kami masih sering bertemu, terutama di pagi hari, saat kami joging bersama.

Yudha tidak tampan, tapi ia punya senyum yang sangat manis. Tubuhnya cukup berotot dan terlihat atletis.

Kami sering bekerja sama, terutama saat pekerjaan kami sedang menumpuk.

Aku sering menemani Yudha untuk lembur.

Hampir dua tahun, aku bekerja di perusahaan tersebut. Dua tahun pula, aku dan Yudha sering menghabiskan waktu bersama.

Pelan, aku mulai merasa ada getar-getar aneh, saat aku berada di dekat Yudha.

Entah bagaimana, tiba-tiba saja aku merasa rindu, bila sehari aku tak melihat senyum Yudha.

Aku sekuat mungkin berusaha menepis semua rasa itu. Karena aku tahu, itu jelas sebuah kesalahan.

Dulu, ketika SMA, aku pernah jatuh cinta dan berpacaran dengan kakak kelasku. Cinta monyet itu hanya bertahan beberapa bulan.

Lalu kemudian, saat kuliah, aku juga sempat berpacaran dengan teman kampus-ku yang berbeda negara denganku. Tapi menjelang akhir-akhir masa kuliah, hubungan kami pun kandas.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi benar-benar dekat dengan seorang laki-laki.

Ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekatiku, namun aku selalu menjaga jarak. Aku takut, hubungan asmara hanya akan menghambat karirku.

Namun semenjak dekat dengan Yudha, aku kembali merasakan sebuah rasa yang orang-orang sebut itu cinta.

Yah, akhirnya harus aku akui kalau aku telah jatuh cinta pada Yudha. Waktu telah membuatku menyadari hal itu.

Bekerja bareng Yudha, makan siang bareng Yudha, dan bahkan di waktu-waktu tertentu Yudha juga pernah nebeng bareng mobilku.

Hampir setiap pagi, kami bertemu saat lari pagi di kompleks, membuat rasa itu kian kuat ku rasakan.

Aku berusaha sekuat mungkin memendam rasa itu. Aku tak ingin siapa pun tahu, terutama Yudha.

Meski kadang kala, ada saat dimana perasaan itu mencuat di wajahku, ketika Yudha dengan terang-terangan memuji hasil pekerjaanku.

Aku tahu, Yudha memujiku hanya sebatas rasa kagum kepada rekan kerjanya. Tapi rasanya hatiku selalu berbunga, setiap kali melihat senyum Yudha yang manis.

Berbulan-bulan aku berhasil menyimpan rapi semua rasa itu. Aku perlahan belajar untuk memupusnya. Aku tak ingin rasa itu kian berkembang, karena Yudha sudah mempunyai keluarga yang pastinya sangat ia cintai.

Namun biar bagaimana pun, aku hanyalah wanita biasa. Aku bukan malaikat. Godaan untuk bisa sekedar bersama Yudha, justru kian hari kian kuat ku rasakan.

Hingga pada suatu kesempatan, kami mendapatkan kesempatan untuk pergi ke luar kota berdua.

Sebenarnya itu adalah tugas kantor. Kebetulan perusahaan kami akan membuka cabang di kota lain. Kami berdua diutus oleh perusahaan untuk meninjau lokasi sekaligus memastikan keadaan di kota tersebut.

Kami menginap di sebuah hotel, tentu saja dengan kamar yang berbeda.

Kemungkinan kami akan menginap di hotel tersebut, selama tiga malam.

Karena kami sama-sama belum pernah sampai di kota tersebut, kami memutuskan untuk berkeliling, di malam hari, setidaknya beberapa jam sebelum kami tertidur.

Aku yang memang telah jatuh cinta pada Yudha, tentu saja merasa bahagia dengan semua itu.

"kamu cantik, Nis.." ucap Yudha tiba-tiba, saat kami duduk-duduk di sebuah bangku taman kota itu. Saat itu sudah hampir jam sepuluh malam.

Aku menatap Yudha gugup. Yudha belum pernah melontarkan kalimat itu sebelumnya.

"kamu cantik dan pintar, Nis. Pasti banyak cowok yang menginginkan kamu. Tapi kenapa kamu tetap memilih untuk hidup sendiri?" Yudha melanjutkan kalimatnya, melihat aku yang menatapnya penuh tanya.

Aku repleks menunduk, mencoba menahan debaran di jantungku yang tiba-tiba saja menjadi tak karuan, saat Yudha memujiku tadi.

"aku tidak pintar dalam memilih pasanga hidup, Yud." jawabku mencoba terdengar diplomatis.

"mungkin kamu nya yang terlalu memilih, Nis." ucap Yudha lagi, ia memainkan ponselnya.

"ah, gak juga. Justru aku gak punya kriteria apa-apa dalam memilih pasangan." balasku, sambil menyelipkan sebagian rambutku ke telinga.

Aku dapat melihat Yudha masih menatapku dengan mata teduhnya.

Tiba-tiba ia menggeser duduknya mendekatiku. Jantungku semakin berdebar tak menentu.

Aroma khas tubuh Yudha memenuhi rongga hidungku. Yudha duduk terlalu dekat. Tubuh kami hampir berdempetan.

Aku tetap diam. Aku tak berniat untuk menghindar. Aku menikmati hal tersebut.

Perasaanku yang sudah terlalu besar tumbuh di hatiku untuk Yudha, mengajakku untuk tidak menghindari hal tersebut. Meski seharusnya aku bisa menghindarinya.

Angin berhembus lembut, cahaya rembulan cukup menerangi kami malam itu.

Aku beranikan diri menatap ke arah Yudha.

Tiba-tiba saja aku melihat sosok Yudha yang begitu tampan di mataku.

Yudha yang dulunya hanya terkesan biasa saja di mataku, entah mengapa terlihat menjadi lebih tampan dari biasanya.

Mungkin itulah cinta. Ia bisa mengubah sesuatu yang biasa saja, menjadi sesuatu yang luar biasa.

Dan itu yang aku rasakan malam itu.

Ada perasaan penuh harap yang aku rasakan saat itu. Aku berharap Yudha juga punya perasaan yang sama dengan ku.

Namun di luar dugaan ku, tiba-tiba Yudha meraih tanganku, sambil ia tersenyum manis.

Aku gemetaran. Aku ingin menarik tanganku lagi, namun sebagian hatiku yang lain justru menginginkannya.

"aku sayang kamu, Nis.." pelan suara itu, namun mampu membuatku semakin merasa gugup.

Meski aku sangat bahagia mendengar kalimat tersebut, namun aku sadar, ada yang salah semua itu.

"aku tahu, ini salah, Nis. Namun aku tak sanggup lagi memendam semua ini. Kebersamaan kita selama ini, telah menumbuhkan sebuah rasa yang begitu besar di hatiku. Aku jatuh cinta padamu, Nis." Yudha berucap lagi, tangan terus menggenggam jemariku dengan lembut.

Aku menarik tanganku segera. Aku tak ingin terlarut dengan suasana romantis itu. Aku juga mencintai Yudha, tapi Yudha sudah punya istri dan anak.

Akan begitu banyak hati yang akan tersakiti, jika aku membiarkan semua itu terjadi.

"maaf, Yud. Aku gak bisa. Aku gak mungkin menghancurkan kebahagiaan orang lain, hanya untuk merebut kebahagiaanku sendiri." aku berucap sambil sedikit menunduk.

"aku hanya ingin memastikan, Nis. Apa kamu juga mencintaiku?" Yudha berucap, tanpa mengalihkan tatapannya padaku.

"apa bedanya, Yud? Apapun yang aku rasakan saat ini padamu, kita tetap tidak boleh melakukan ini.." jawabku lugas.

"apa itu artinya, sebenarnya kamu juga mencintaiku? Kalau begitu, kenapa kita tidak mencobanya, Nis. Kita coba jalani ini semua.." ucap Yudha kemudian.

"untuk apa, Yud? Untuk apa kita mencobanya, jika kita sudah tahu akhirnya seperti apa?" balasku lagi.

Kali ini Yudha terdiam mendengar kalimatku.

"aku memang mencintai kamu, Yud. Tapi aku tak ingin memiliki sesuatu yang masih berada dalam genggaman orang lain.." aku melanjutkan dengan nada pelan.

"aku akan melepaskan genggaman itu, Nis. Andai saja kamu mau memberikan aku kesempatan.." Yudha berucap juga kemudian.

"jangan menjanjikan sesuatu, yang kamu sendiri tidak yakin bisa melakukannya, Yud. Jelas semua itu tidak mudah. Dan aku tidak ingin terjebak di dalam janji yang tidak bisa kamu penuhi." ucapku lagi.

"jadi sebelum semua ini, menjadi semakin rumit. Lebih baik kita saling mundur, Yud. Agar tidak ada hati yang akan terluka.." lanjutku.

"meski itu melukai hati kita berdua?" Yudha berucap cepat.

"tapi setidaknya ini tidaklah terlalu parah, Yud. Aku memang sakit, saat menyadari kalau aku telah jatuh cinta kepada orang yang salah. Tapi akan lebih sakit lagi, jika aku tetap ngotot untuk hidup bersama orang yang bukan ditakdirkan untukku.." kalimatku tertahan, ada rasa perih yang aku rasakan, saat mengucapkan kalimat barusan.

Aku tahu, cinta itu rumit. Tapi tak pernah ku sangka akan serumit ini.

Mungkin memang sakit, jika cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi jauh lebih sakit lagi, saat kita saling jatuh cinta, namun tak bisa untuk bersama.

Sekuat mungkin aku menahan air mataku agar tidak tumpah. Rasanya begitu berat harus melepaskan kesempatan tersebut. Tapi aku harus kuat.

Aku tak ingin menghancurkan semuanya. Karirku, keluargaku dan terutama istri dan anak Yudha.

Aku tak pernah bermimpi untuk menjadi wanita yang merusak kebahagiaan wanita lainnya.

Mungkin salahku, yang telah membiarkan hatiku terlalu lama kosong, sehingga kehadiran Yudha sangat mudah merasuki kehampaan hatiku.

*******

Hari-hari selanjutnya, terasa begitu berbeda bagiku. Hubunganku dengan Yudha tak lagi semanis dulu.

Ada jarak yang terasa begitu jauh di antara kami. Meski pekerjaan kami, tetap terus memaksa untuk kami tetap saling bertemu.

Aku berusaha bersikap biasa saja, meski hatiku terasa begitu perih menahan semua perasaan itu.

"kenapa kamu selalu mengabaikanku?" tanya Yudha suatu saat, ketika kami kembali terpaksa harus lembur berdua.

"aku rasa semuanya sudah cukup jelas, Yud. Kita harus terbiasa dengan keadaan ini." balasku pelan.

"tapi sampai kapan kamu akan menipu dirimu sendiri, Nis? Sampai kapan kamu akan berpura-pura bahwa diantara kita tidak ada perasaan apa-apa?" tanya Yudha lagi, yang membuatku terdiam.

Aku tidak tahu, sampai kapan semua ini akan terus terjadi? Aku tidak tahu, sampai kapan aku sanggup menghindari semua ini?

Aku juga tidak tahu, apa yang aku harapkan dari semua ini sebenarnya?

*****

Hari-hari selanjutnya, Yudha semakin sering merayuku.

Sebagai wanita biasa, aku tidaklah begitu kuat.

Aku akhirnya menerima ajakan Yudha untuk bertemu dengannya di sebuah hotel.

Aku benar-benar telah jatuh cinta pada Yudha. Ada keinginan yang besar untuk bisa memilikinya.

Malam itu, kami berdua sudah berada di sebuah kamar hotel.

Aku tak bisa lagi menahan keinginanku untuk bisa merasakan kehangatan Yudha.

Apa lagi Yudha begitu pandai membuatk terlena. Aku begitu terpesona melihat Yudha yang tanpa baju. Dadanya terlihat bidang dan kekar. Itu pertama kali aku melihatnya.

Kami pun mulai bergumul bak sepasang suami istri.

Aku serahkan seluruh jiwa ragaku pada Yudha malam itu. Pria yang selama ini selalu menghiasi fantasiku, kini berada dalam dekapanku.

Rasanya begitu indah. Sangat indah.

Yudha berhasil membuaiku dalam lautan keindahan penuh warna.

Hati kami menyatu, jiwa kami pun berpadu. Kami berusaha mencapai puncak bersama.

Hingga akhirnya kami pun terhempas dalam sebuah rasa yang tak terkira.

Aku merasa bahagia malam itu, meski aku tahu itu semua adalah sebuah kesalahan.

Tapi kami tidak menyesalinya. Karena kami melakukannya dengan penuh cinta.

Sejak kejadian malam itu, kami semakin sering bertemu. Kami semakin sering melakukannya.

Hubungan rahasia kami terjalin dengan indah. Yudha selalu berhasil membuatku begitu menikmati hal tersebut bersamanya.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Aku semakin terlena oleh keindahan cinta di antara kami.

Namun sesuatu yang busuk, sepandai apa pun kami menyimpannya, akhirnya akan tercium juga.

Istri Yudha, akhirnya mengetahui hubungan kami.

Berita tentang perselingkuhan kami pun menyebar begitu cepat, terutama di tempat kerja kami.

Kami berdua pun, mendapat skorsing dari perusahaan.

Aku merasa terpukul dengan semua itu. Tapi semua sudah terjadi.

Aku harus bisa menerima hukuman dari perbuatanku.

Aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku, dan menerima perjodohanku dengan laki-laki pilihan orangtuaku.

Tidak ada seorang pun dari pihak keluargaku yang tahu, tentang kisahku dengan Yudha.

Aku juga tidak tahu lagi, bagaimana kabar Yudha selanjutnya.

Meski Yudha berkali-kali coba menghubungiku, namun aku selalu mengabaikannya. Aku tak ingin bertemu dengan Yudha lagi. Aku tak ingin jatuh lebih dalam lagi.

Aku memilih untuk mengubur semua impianku. Semua karirku.

Aku memilih untuk menjadi ibu rumah tangga bagi suamiku.

Meski aku tidak pernah mencintai suamiku, namun setidaknya aku hak penuh akan dirinya.

Aku akan belajar untuk mencintainya. Aku akan belajar jadi istri dan ibu yang baik, untuk anak-anakku kelak.

Yudha tidak tahu, keberadaanku sekarang. Karena selama berhubungan dengannya, aku memang tidak pernah cerita tentang keluargaku.

Aku hanya berharap, semoga Yudha tidak berpisah dengan istrinya. Semoga Yudha masih mampu mempertahankan rumah tangganya.

Kisahku dengan Yudha, adalah sebuah kesalahan. Dan aku tidak akan pernah mengulanginya lagi.

Akan ku hapus segala kenanganku bersama Yudha.

Biarlah semua itu, hanya menjadi sepenggal cerita di masa lalu.

****

Romansa cinta sang pengamen ...

Aku memarkir motor bututku di tempat parkir yang memang telah tersedia, di pasar tradisional itu.

Aku memang sudah biasa menemani Ibu belanja, hampir setiap minggu.

Pasar itu berjarak kurang lebih satu kilo dari perumahan tempat kami tinggal.

Setiap hari minggu, Ibu memintaku untuk menemaninya, berbelanja kebutuhan dapur.

Sebagai anak tertua, dari tiga bersaudara, yang semuanya laki-laki, mau tidak mau aku memang harus ikut berperan serta membantu Ibu.

Cerpen sang penuai mimpi

 

Oh, ya. Sebelumnya perkenalkan namaku Aldi (bukan nama sebenarnya).

Aku masih tujuh belas tahun. Masih SMA, tingkat akhir.

Adikku yang nomor dua, masih SMP, sedangkan adik bungsuku masih di sekolah dasar.

Ayahku seorang buruh bangunan, sedang Ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Kehidupan kami cukup pas-pasan, bahkan terkesan selalu kekurangan.

Kami masih tinggal di rumah kontrakan. Aku bahkan satu kamar dengan kedua adikku.

Meski menemani Ibu belanja, aku tidak pernah benar-benar ikut dengan Ibu mengelilingi pasar, untuk mencari barang belanjaannya.

Aku punya kesibukanku sendiri, sambil menunggu Ibu selesai belanja.

Biasanya aku ikut nongkrong dengan para buruh angkut, yang berada di sekitaran tempat parkir.

Aku kadang ikut menjadi buruh angkut barang, sekedar menambah uang jajanku.

Pagi itu, suasana pasar cukup ramai seperti biasa.

Berita tentang virus berbahaya yang sedang menyebar saat ini, tidak begitu berpengaruh di kota tempat aku tinggal. Orang-orang terlihat tetap melakukan aktivitas seperti biasa.

Apa lagi untuk para pedagang kecil, yang berada di pasar ini. Mereka harus tetap berjualan, agar tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Saat sedang nongkrong itulah, tiba-tiba aku mendengar seorang pengamen sedang bernyanyi sambil memainkan sebuah gitar, tepat berada tidak begitu jauh di belakangku.

Suaranya cukup merdu, dentingan gitarnya mengalun dengan lembut.

Aku menatap pengamen itu dari kejauhan. Beberapa orang yang lewat, tampak memberikan uang receh ke dalam sebuah tempat yang memang telah sengaja si pengamen sediakan di depannya.

Pengamen itu, seorang pemuda yang kuperkirakan sudah berumur kurang lebih 23 tahun.

Rambut panjang sebahunya, tertutup topi hitam yang sengaja ia pakai terbalik.

Rambut itu ia selipkan di telinga kirinya sebagian, hingga anting yang terpasang di telinganya terlihat jelas.

Sepintas pemuda itu menoleh kearah ku. Aku buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura sibuk menatap juru parkir yang sedang mengatur kendaraan.

Aku belum pernah melihat pemuda tersebut. Setidaknya setelah hampir tiga tahun ini, aku menemani Ibu belanja. Meski aku berada di sana hanya setiap hari minggu.

"hei!" sebuah suara mengagetkanku beberapa saat kemudian, "lagi nunggu seseorang?" tanya suara itu melanjutkan.

Aku spontan melirik ke arah asal suara itu. Ternyata pemuda pengamen tadi sudah berdiri tepat di sisi kananku.

Repleks aku tersenyum. Pemuda itu pun balas tersenyum.

"iya. Aku lagi nunggu Ibu belanja.." jawabku terdengar polos.

Pemuda pengamen itu tanpa sungkan duduk di sampingku.

Di tempat parkiran itu, memang  tersedia sebuah bangku tempat biasa orang-orang beristirahat.

"numpang duduk ya.." ucap pemuda itu kemudian, sambil ia membuka topinya.

Aku hanya mengangguk ringan, karena sebenarnya ia gak perlu harus minta izin padaku untuk duduk disitu. Bangku itu jelas tersedia untuk umum. Tapi aku tahu, ia hanya berbasa-basi.

"mas baru ya disini? Belum pernah lihat.." ucapku memberanikan diri.

"iya, baru seminggu disini.." balas pemuda itu terlihat santai.

"emangnya mas dari mana?" tanyaku lagi.

Pemuda tersebut menyebutkan tempat asalnya. Ia sedikit bercerita, kalau di kota tempat asalnya, karena virus yang sedang merajalela sekarang, jadi tidak seramai dulu.

Karena itu ia hijrah ke kota kami.

"oh, ya. Namaku Taslim." ucap pemuda itu di tengah-tengah ceritanya.

Aku menerima uluran tangannya.

"Aldi.." ucapku singkat.

Mas Taslim memiliki kulit yang sedikit gelap. Namun tubuhnya terlihat kekar dan berotot.

Matanya jernih, tatapannya tajam. Wajahnya terlihat teduh, dengan hidung yang sedikit mancung.

Ada cekungan tipis di kedua pipinya, yang membuat ia terlihat manis saat tersenyum.

"kebetulan aku memang punya paman di kota ini. Dan aku sekarang tinggal bersama beliau." Mas Taslim berucap lagi, "Beliau juga kebetulan berjualan di pasar ini.." lanjutnya.

Mas Taslim cukup ramah. Ia juga terlihat sangat supel. Siapa pun yang ngobrol dengannya akan merasa nyaman dan terasa lebih cepat akrab.

"kamu masih sekolah?" tanyanya kemudian.

Aku hanya mengangguk. Sejak tadi, memang mas Taslim yang selalu bercerita.

Aku memang seorang yang sangat pendiam dan cukup pemalu. Aku tidak mudah akrab dengan siapapun. Namun ngobrol dengan mas Taslim, aku merasa seakan sudah mengenalnya cukup lama.

"oke. Aku lanjut kerja lagi ya.." mas Taslim berujar lagi, sambil ia bangkit, dan segara berjalan kembali menerobos keramaian pasar itu.

Aku masih menatapinya dari kejauhan. Ada kesan yang mendalam yang aku rasakan, saat mengobrol dengannya, mendengar cerita-ceritanya.

Hatiku merasa berbunga-bunga tiba-tiba. Aku mulai menyukai sosok mas Taslim yang terlihat energik.

Aku jadi pengen ngobrol lagi sama dia. Tapi aku tidak yakin, apa aku masih bisa bertemu dia lagi?

Beberapa saat kemudia Ibuku pun datang, ia terlihat membawa banyak barang belanjaannya.

Dan kami pun kembali ke rumah, dengan perasaanku yang masih terus membayangkan senyum manis dari bibir tipis sang pengamen tersebut.

Entah mengapa senyum itu seakan membekas di benakku.

"kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ibu, saat aku mencoba membantunya membawa belanjaan ke dalam rumah.

Aku tidak menjawab keheranan ibuku. Aku terus saja melangkah masuk rumah dan meletakkan belanjaan tersebut di dapur.

*******

Seminggu kemudian, aku akhirnya kembali bertemu dengan mas Taslim.

Seperti biasa aku mengantar Ibu belanja dan duduk-duduk di tempat parkir.

Mas Taslim yang menghampiriku lagi.

Seminggu ini, bayangan wajah teduh milik mas Taslim selalu menghiasi dunia khayalku.

Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Aku belum pernah memikirkan seseorang selama ini, sampai sebegitu dalamnya.

Perasaan itu, justru membuatku kian grogi saat bertemu mas Taslim kembali.

"jadi Aldi rencananya kuliah dimana?" tanya mas Taslim, setelah pertanyaan basa-basi nya di awal.

"belum tahu, mas. Mungkin juga gak kuliah. Apa lagi kondisi saat ini. Ayah sekarang jadi jarang dapat pekerjaan.." balasku terdengar lemah.

"sayang, ya.." ucap mas Taslim, lebih terdengar seperti sebuah desahan.

Aku menatap wajah teduh itu. Ada kesan murung terlihat dari matanya tiba-tiba.

Aku tidak berani bertanya. Tapi dari kemurungannya itu, aku bisa menebak. Ada beban yang begitu berat yang mas Taslim pikul di balik tingkah cerianya.

"jadi apa rencana kamu ke depannya?" tanya mas Taslim akhirnya, setelah ia terlihat menarik napas dalam.

"gak tahu, mas. Mungkin ikut ayah kerja jadi kuli bangunan.." jawabku masih dengan nada lemah.

"yah, beginilah hidup, Al. Untuk orang-orang seperti kita, tidak banyak pilihan dalam hidup ini.." mas Taslim berujar sambil menatapku dengan senyum tipis.

Aku yakin, mas Taslim sudah punya banyak pengalaman dalam menjalani kehidupan ini.

Ia terlihat tegar dan dewasa. Aku semakin mengagumi sosok itu. Aku bahkan mungkin telah jatuh cinta padanya.

Cinta pertamaku.

Perasaan indah telah bersarang di hatiku, meski kami baru saja saling kenal.

Namun pesona mas Taslim begitu kuat, aku tak mampu mencegah tumbuhnya rasa kagum itu.

Apa lagi, minggu-minggu berikutnya, kami jadi semakin sering bertemu.

Kami jadi semakin akrab. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Mas Taslim benar-benar mampu membuat aku bahagia.

Rasanya dunia begitu indah. Satu minggu jadi terasa sangat lama bagiku.

Namun sekarang, aku tidak harus menunggu seminggu untuk bisa bertemu dengan mas Taslim.

Karena setelah akhirnya aku lulus dari SMA dengan nilai yang pas-pasan, aku memutuskan untuk menjadi buruh angkut barang di pasar tersebut. Yang artinya aku bisa bertemu dan mengobrol dengan mas Taslim, hampir setiap hari. Orang yang paling aku cintai saat ini.

*******

Hari-hari terus berlalu, dengan perasaanku yang kian berkembang kepada mas Taslim. Namun selama ini, aku selalu berusaha untuk menutupi perasaaku.

Aku berusaha bersikap wajar di hadapan mas Taslim, meski jika malam hari, aku selalu berkhayal tentangnya.

Aku selalu membayangkan senyuman manisnya. Tatapan matanya yang indah. Cerita serta candanya yang kocak. Dan aku sering membayangkan, aku bisa berada dalam dekapan hangat tubuh kekarnya.

Aku benar-benar telah tergila-gila padanya. Seluruh hatiku hanya tertuju padanya. Aku ingin menghabiskan setiap detik waktuku, hanya untuk bersamanya.

Meski hubungan kami, yang bahkan sudah lebih dari setahun itu, hanya sebatas hubungan persahabatan. Namun tetap saja aku merasa sangat bahagia, bisa melewati hari-hari bersama orang yang aku cintai.

*****

Aku tidak tahu, seperti apa sebenarnya perasaan mas Taslim padaku.

Selama ini ia memperlakukanku dengan cukup baik.

Mas Taslim tidak pernah terlihat dekat dengan seorang perempuan. Ia bahkan tidak pernah bercerita tentang perempuan padaku.

Meski sudah sangat akrab, aku tidak berani bertanya tentang hal yang sedikit pribadi pada mas Taslim.

Aku hanya suka mendengarkan ia bernyanyi, bercerita, dan bercanda.

Hingga pada suatu hari, aku tak sengaja memergoki mas Taslim, sedang ngobrol berdua dengan seorang cewek cantik.

Aku melihatnya dari kejauhan. Aku yang awalnya berniat untuk menghampiri mas Taslim, perlahan memutar tubuh sebelum mas Taslim sempat melihatku.

Entah mengapa, ada rasa kecewa di hatiku melihat hal tersebut.

Hatiku terasa begitu sakit. Padahal mas Taslim bukan siapa-siapa ku, kami hanya sekedar bersahabat.

Tapi melihatnya bersama seorang cewek, hatiku seperti terluka.

Aku tak menyalahkan mas Taslim. Ia berhak berhubungan dengan siapa saja. Aku hanya kecewa dengan diriku, yang tidak bisa menerima kenyataan, kalau mas Taslim tak punya rasa padaku.

"kamu kenapa akhir-akhir ini terlihat sering murung?" suara mas Taslim yang duduk di sampingku, saat kami makan siang di tempat parkir pasar, beberapa hari kemudian.

Aku hanya terdiam. Aku enggan menjelaskan apa pun pada mas Taslim saat ini. Aku juga tidak mungkin berbicara jujur padanya, tentang kenapa aku jadi tiba-tiba murung.

"kamu marah padaku?" mas Taslim bertanya lagi.

"gak.." jawabku singkat sambil sedikit menggelengkan kepala.

"terus kamu kenapa? kamu ada masalah ya..?" mas Taslim kembali melontarkan pertanyaannya. Sepertinya ia benar-benar ingin tahu.

Aku terdiam sesaat. Memikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada mas Taslim saat itu.

"mas Taslim punya pacar?" tanyaku dengan sedikit bergetar. Sekedar ingin memastikan.

Mas Taslim menatapku cukup lama, dahinya berkerut. Ia mungkin tidak menyangka, jika aku akan melontarkan pertanyaan tersebut.

"kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" mas Taslim justru balik bertanya padaku, yang membuatku jadi sedikit bimbang.

"pengen tahu aja.." jawabku sekenanya.

Mas Taslim terlihat tersenyum. Seperti biasa, senyum yang sangat manis. Senyum yang selalu membuat dadaku berdebar. Senyum itu terlalu indah. Senyum itu yang membuatku tergila-gila padanya.

"kalau aku punya pacar, emang kenapa?" tanya mas Taslim, seperti enggan menjawab pertanyaanku.

"gak kenapa-kenapa, mas. Hanya pengen tahu aja.." balasku dengan nada lemah.

"kamu cemburu ya?" ucap mas Taslim kemudian, yang membuatku merasa terpojok. Aku yakin, muka ku memerah saat itu. Aku memang terkadang tidak bisa menyembunyikan perasaanku pada mas Taslim.

"ngapain aku cemburu?!" suaraku bergetar, menahan perasaanku sendiri.

"jadi kamu gak cemburu? kalau aku punya pacar?" mas Taslim seakan berusaha membuatku semakin grogi.

Aku menundukkan kepala, berpura-pura sibuk membersihkan tanganku dari sisa makanan yang baru saja aku habiskan.

Aku memang cemburu. Tapi apa aku punya hak untuk itu?

Apa aku boleh untuk cemburu? tanyaku membathin.

Tapi aku tetap terdiam. Aku tak berniat melanjutkan pembicaraan tersebut. Aku segera berdiri, dan menuju tempat cuci tangan yang berada sedikit jauh dari sana.

Mas Taslim terlihat menatapku dengan raut muka penuh tanya.

******

Beberapa hari kemudian, aku kembali melihat mas Taslim bersama cewek yang beberapa hari lalu sempat aku lihat.

Rasa sakit di hatiku kian terasa perih. Aku yakin cewek itu pasti pacarnya mas Taslim.

Aku yang merasa kian sakit, mulai menjaga jarak dari mas Taslim. Aku tak sanggup melihat orang yang sangat aku cintai, bersama orang lain.

Aku bahkan sudah sangat jarang datang ke pasar. Aku lebih memilih ikut bersama ayahku menjadi kuli bangunan.

Beberapa kali mas Taslim coba menghubungiku, tapi aku selalu mengabaikannya.

Hingga setelah hampir sebulan kami tak bertemu, mas Taslim tiba-tiba muncul di depan rumahku.

Saat itu malam minggu.

"kamu kenapa menghindar dariku sih, Al?" mas Taslim bertanya pelan, ketika kami akhirnya duduk berdua di sebuah taman.

"aku gak menghindar, mas. Aku sekarang kan ikut ayah kerja. Jadi aku gak bisa datang ke pasar lagi.." jawabku sambil menahan napas.

Setiap kali berada di dekat mas Taslim, rasanya begitu indah. Aroma tubuh mas Taslim seakan telah melekat di benakku. Aku selalu tak mampu menghindari pesonanya, setiap kali melihat ia tersenyum.

"tapi kamu gak pernah angkat telpon dariku, atau sekedar balas sms.." ucap mas Taslim lagi. Suaranya terdengar sendu.

Tiba-tiba aku merasa bersalah melihatnya seperti itu.

Mungkin aku memang seharusnya tidak menjauh darinya. Meski ia tidak bisa aku miliki sebagai kekasih, setidaknya ia sudah menjadi sahabatku sejak lama. Dan itu seharusnya sudah cukup untuk mebuatku bahagia.

"aku minta maaf ya, mas. Seharusnya aku tidak seperti ini.." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"kamu gak harus minta maaf. Al. Aku hanya bingung melihat sikap kamu akhir-akhir ini. Jika kamu punya masalah, kamu bisa cerita sama aku, Al. Tapi kamu jangan menjauh dariku ya.." kalimat itu, benar-benar membuatku terenyuh.

Selama ini, mas Taslim memang menjadikan ku satu-satunya sahabat baginya. Aku selalu menjadi tempat curhat terbaik baginya. Aku yakin, ia mungkin merasa kehilangan, setelah aku tak lagi bersamanya akhir-akhir ini.

"aku sangat membutuhkanmu, Al. Aku sayang sama kamu.." mas Taslim melanjutkan kalimatnya.

Kali ini, ia menatapku tajam dengan mata indahnya, sambil menyentuh pundakku lembut.

Aku terkesiap tiba-tiba mendengar kalimat mas Taslim barusan. Aku tidak terlalu mengerti maksudnya. Tapi aku juga takut salah paham.

Aku juga sayang kamu, mas. Bisikku dalam hati.

Sejak saat itu, hubunganku dengan mas Taslim kembali membaik. Aku kembali rajin datang ke pasar. Aku kembali rajin mendengar cerita-ceritanya. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Meski aku tidak bisa menjadi kekasihnya, tapi setidaknya aku sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Suatu saat, mas Taslim mengajakku ikut dengannya ke sebuah kampus.

"kita ngapain kesini, mas?" tanyaku saat kami sudah berdiri di depan gerbang sebuah kampus yang cukup besar di kota itu.

"saya mau bertemu seseorang.." jawab mas Taslim ringan.

Aku yakin, mas Taslim pasti ingin bertemu dengan cewek yang sering aku pergoki ngobrol dengannya.

Rasa cemburu kembali menghantui pikiranku. Aku tidak yakin, aku akan sanggup melihat semua itu.

Mas Taslim pasti ingin memperkenalkan aku dengan ceweknya itu. Hatiku tiba-tiba merasa pilu, menyadari itu semua.

Ada rasa penyesalan dalam diriku, kenapa aku harus mau diajak mas Taslim ikut dengannya.

Dalam kegamangan hatiku itu, tiba-tiba dari dalam kampus, berjalan sesosok gadis manis yang terlihat tersenyum pada mas Taslim.

Senyum gadis itu, hampir semanis senyum milik mas Taslim.

Gadis manis itu, memang memakai hijab, yang membuat keanggunannya kian terpancar indah.

Sangat pantas rasanya mas Taslim menyukai gadis itu imut itu. Mereka terlihat sangat cocok.

Dan aku sakit karena harus mengakui hal itu.

"hai, mas. Apa kabar?" suara lembut gadis itu menyapa mas Taslim ketika ia sudah berdiri di hadapan kami berdua. Gadis itu menatapku sejenak, kemudian tersenyum ramah.

Mas Taslim menjawab pertanyaan basa-basi itu. Lalu segera memperkenalkanku pada gadisnya itu.

"Dina.." ucap gadis itu padaku, saat kami saling berjabat tangan.

"Aldi.." balasku singkat, sambil melepaskan jabatan kami.

Mas Taslim kemudian mengeluarkan sejumlah uang dari saku celananya, kemudian menyerahkan uang tersebut, kepada Dina.

"mudah-mudahan ini cukup ya, Din. Buat bayar semester ini.." ucap mas Taslim terdengar sangat lembut.

Dina terlihat tersenyum. Ia segera menyimpan uang tersebut ke dalam tas kecilnya.

"cukup kok, mas. Makasih, ya.." ucap Dina membalas.

Dina menjabat tangan mas Taslim, lalu menciuminya.

"Dina pamit dulu ya, mas. Masih ada kelas.." ucapnya melanjutkan.

Terus terang aku merasa iri melihat Dina. Mas Taslim sepertinya sangat menyayanginya. Mas Taslim terlihat begitu peduli padanya. Dan hatiku sakit melihatnya.

Mas Taslim rela bekerja keras, untuk membiayai kuliah gadis itu.

Semoga saja, Dina tidak hanya sekedar memanfaatkan mas Taslim. Bathinku tiba-tiba.

Kami pun segera berlalu dari kampus tersebut, sambil menaiki sebuah angkot.

"Dina adikku satu-satunya, Al. Dia sudah menjadi tanggungjawabku sejak kedua orangtua kami meninggal empat tahun lalu, karena kecelakaan.." suarau mas Taslim parau.

Namun kalimatnya itu, mampu membuatku sedikit terperanjat.

Ternyata Dina adalah adik kandung mas Taslim. Selama ini aku telah salah sangka padanya.

Maafkan aku, mas Taslim. Bathinku pilu.

"sebenarnya salah satu alasanku pindah kesini, adalah karena Dina diterima di kampus itu. Aku tidak ingin ia sendirian di sini." mas Taslim melanjutkan ceritanya.

"Dina kost tak jauh dari kampus. Karena jika harus tinggal bersamaku di rumah pamanku, selain karena jauh dari kampus, rumah itu juga sangat kecil.." mas Taslim menarik napas berat.

"aku harus kerja keras, Al. Aku ingin Dina menyelesaikan kuliahnya dengan baik, tanpa harus ia ikut memikirkan soal keuangan." lanjutnya lagi.

Aku merasa benar-benar terenyuh mengetahui semua itu. Mungkin itu salah satu alasan mas Taslim terlihat murung, saat mengetahui bahwa aku tidak bisa kuliah.

Pengorbanan dan tanggungjawab mas Taslim terhadap Dina, adiknya itu, membuatku semakin mengagumi sosoknya.

Mas Taslim bukan saja menarik secara fisik, tapi ia juga punya hati yang sangat lembut.

Kini, aku tak perlu lagi mencemburuinya. Justru aku berniat untuk membantunya.

*****

"makasih ya, Al. Sudah menemaniku melewati hari-hari sulit ini.." ucap mas Taslim suatu hari, saat kami bertemu kembali di pasar seperti biasa.

"aku yang harusnya makasih, mas. Mas Taslim sudah sangat baik padaku selama ini. Mas Taslim sudah memberiku banyak pelajaran berharga dalam hidup.." timpalku dengan suara pelan.

Hubunganku dengan mas Taslim memang kian dekat dan akrab. Kami tidak lagi sekedar bersahabat, kami sudah lebih dari bersaudara.

Cintaku pada mas Taslim semakin dalam. Aku merasa mas Taslim adalah hal terpenting dalam hidupku saat ini.

Aku sangat menyayanginya. Entah itu sebagai sahabat, sebagai saudara, atau bahkan aku menganggapnya lebih dari pada itu.

Cinta mungkin memang tidak harus memiliki. Tapi lebih kepada bagaimana kita bisa melihat orang yang kita cintai hidup berbahagia.

Dua tahun kami bersama. Dua tahun persahabatan kami berjalan dengan indah. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Namun sebuah kebahagiaan tidaklah selalu final. Akan selalu ada batu sandungan yang membuat kebahagiaan itu menjadi tidak sempurna.

Suatu saat mas Taslim mengalami sebuah kecelakaan parah.

Meski ia akhirnya berhasil selamat, namun ia harus kehilangan sebelah kakinya.

Kaki kirinya terpaksa harus di amputasi, karena mengalami patah tulang yang tidak bisa diselamatkan.

Beruntunglah orang yang menabraknya cukup bertanggung jawab, sehingga segala biaya rumah sakit dan kebutuhan mas Taslim selama ia sakit, sudah ditanggung orang tersebut.

Mas Taslim harus dirawat selama beberapa bulan, hingga keadaannya pulih kembali.

Aku merasa kasihan melihat mas Taslim. Ia jadi terlihat murung sekarang. Ia seperti kehilangan pegangan. Ia harus berjalan dengan menggunakan satu tongkat.

Tapi ia harus tetap bekerja, demi kebutuhan hidupnya, demi biaya kuliah Dina adiknya.

Dina sempat ingin berhenti kuliah melihat kondisi kakaknya. Tapi mas Taslim dengan tegas meyakinkan Dina, bahwa ia masih mampu mencari uang untuk biaya kuliah Dina.

Mas Taslim masih terus mengamen di pasar, meski dengan satu kakinya yang telah hilang.

Sebagai orang yang sangat mencintai mas Taslim, aku selalu memberikan dukungan penuh padanya.

Aku tetap mencintainya, tak peduli apa pun yang terjadi padanya. Tak peduli seperti apa pun kondisinya saat ini.

"makasih ya, Al. Kamu sudah terlalu baik padaku.." suara mas Taslim terdengar parau.

"kenapa mas Taslim harus selalu berterima kasih padaku? Bukankah sudah seharusnya sebagai seorang sahabat, kita untuk saling membantu dan saling mendukung satu sama lain?" jawabku lembut.

"tapi... kamu selalu ada, Al. Kamu selalu ada untukku.." ucap mas Taslim lagi.

"itu karena aku sangat menyayangi mas Taslim lebih dari apa pun.." suara ku bergetar mengucapkan kalimat yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

Di luar dugaan, mas Taslim tidak terlihat kaget mendengar kalimatku barusan.

Ia menatapku tajam, lalu berucap pelan.

"apa kamu mencintaiku?" pertanyaan itu benar-benar membuatku serba salah.

Aku ingin jujur, tapi aku takut mas Taslim justru akan menjauhiku.

"jawab aku, Al. Aku hanya butuh kepastian." lanjut mas Taslim lagi, melihat aku yang terdiam.

"kenapa?" tanyaku memancing.

"karena aku telah jatuh cinta sama kamu, Al. Bahkan sudah sejak lama.." jawab mas Taslim terdengar tegas.

"aku tidak ingin memendam semua ini lagi, Al. Aku harus jujur sama kamu." lanjutnya, yang membuatku semakin kaget.

Aku benar-benar tak menyangka, kalau mas Taslim juga mencintaiku.

"selama ini, aku berusaha ingin mengungkapkan semua ini, Al. Tapi aku selalu merasa takut. Aku takut kamu akan menjauh dariku. Tapi sekarang aku tak peduli lagi, yang penting kamu sudah mengetahui perasaanku padamu.." mas Taslim kembali melanjutkan kalimatnya.

Aku dengan cukup nekat meraih tangan mas Taslim. Apa lagi suasana saat itu cukup gelap, karena kami duduk di sebuah bangku taman yang mulai sunyi, karena malam yang semakin larut.

"aku juga mencintai kamu, mas Taslim." ucapku akhirnya dengan suara pelan.

"meski pun aku cacat sekarang?" suara itu terdengar parau, yang membuatku terenyuh.

Mas Taslim telah kehilangan sebagian dari rasa percaya dirinya, aku dapat merasakan hal itu.

Aku menggenggam erat tangan kekar itu.

"apa pun yang terjadi, mas. Seperti apapun keadaan mas Taslim, aku akan selalu mencintaimu, mas.." ucapku tegas, berusaha mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya.

"atau sebenarnya kamu hanya kasihan melihatku, Al.." mas Taslim berucap, sambil ia menarik tangannya cukup kasar.

"kenapa mas Taslim berpikir seperti itu?" tanyaku cukup kaget.

"aku mencintai mas Taslim, dari dulu, sekarang dan selama-lamanya. Aku mencintai mas apa adanya. Aku mencintai mas, bukan karena fisik, tapi karena aku tahu, mas memiliki hati yang sangat lembut.." aku melanjutkan lagi.

"tapi aku laki-laki cacat. Al.." suara itu semakin parau.

"apa bedanya, mas. Bagiku, mas adalah yang terbaik." suaraku tegas.

"aku hanya akan menjadi beban buat kamu, Al.." suara itu semakin parau.

"jika dengan menjadi beban buat mas, bisa membuktikan besarnya cintaku pada mas, aku rela menjadi beban bagi mas, sepanjang hidupku. Tapi jika mas juga mencintaiku, seharusnya mas tidak punya pikiran seperti itu.." aku berucap kembali, sambil dengan pelan meraih kembali tangan mas Taslim.

Aku yang sudah bertahun-tahun memendam rasa pada mas Taslim, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Apa lagi sekarang, aku sudah tahu, bagaimana perasaan mas Taslim padaku.

"aku sangat mencintaimu, mas. Aku ingin kita tetap bersama selamanya. Aku ingin hubungan kita bukan lagi sekedar sahabat. Dan aku akan selalu ada buat mas. Tak peduli mas membutuhkanku atau tidak."

Aku terus berusaha meyakinkan mas Taslim akan perasaanku padanya.

Meski terasa begitu sulit, akhirnya mas Taslim pun luluh.

"aku takut kehilanganmu, Al. Aku takut kamu akan pergi meninggalkanku, karena aku yang cacat ini.." ucap mas Taslim, terdengar pilu.

"percaya padaku, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas, apa pun yang akan terjadi."

"aku janji, kita akan melewati ini semua bersama-sama, mas." aku mengakhiri kalimatku, dengan terus menggenggam erat tangan kekar itu.

Kali ini, mas Taslim ikut menggenggam erat tanganku.

Repleks aku pun mendekap tubuh itu. Tubuh yang terasa begitu hangat bagiku.

Tak ku sangka, kalau aku akan bisa merasakan semua itu. Sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

Mas Taslim mengecup lembut keningku. Hal yang sudah sangat lama aku inginkan.

"i love you.." bisik suara itu lembut.

Aku tersenyum dalam gelap. Aku menarik tangan mas Taslim ke atas, lalu mengecup punggung tangannya.

"i love  you too, mas.." balasku juga berbisik.

Keheningan malam yang selalu dihiasi oleh kegelapannya, seperti menjadi saksi bisu, menyatunya dua hati, yang selama ini, ternyata memendam rasa yang sama.

Tak terukir bahagiaku malam itu. Tak ada yang mampu menggantikan semua keindahan itu.

Mas Taslim adalah cinta pertamaku, dan juga pacar pertamaku.

Aku berharap, ia adalah pelabuhan terakhirku.

Semoga.

*****

Part 2

Hubunganku dengan mas Taslim terjalin dengan indah. Kami merasa sangat bahagia dengan semua itu, terutama saya.

Mas Taslim adalah cinta pertama, sekaligus pacar pertamaku.

Cowok bermata teduh dan memiliki senyum yang amat manis itu, mampu memberi warna dalam perjalanan hidupku.

Rasanya dunia begitu indah bagiku. Meski kami harus tetap menjaga rahasia dari hubungan kami.

Kami hanya bisa bermesraan, di saat-saat tertentu dan di tempat-tempat tertentu.

Namun itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Karena yang terpenting adalah, bagaimana kami bisa tetap bersama-sama setiap hari.

Mas Taslim masih terus mengamen di pasar, dan saya juga masih terus jadi kuli angkut barang.

Profesi kami tersebut, tidak mempengaruhi hubungan indah kami.

Meski mas Taslim telah kehilangan sebelah kakinya akibat kecelakaan tersebut, tapi di mataku ia adalah laki-laki terindah saat ini.

"mas, gak pengen jadi penyanyi profesional, kayak orang-orang?" tanyaku suatu hari pada mas Taslim, saat kami hanya berdua di kamarku. Kebetulan ayah ibu dan adik-adikku tidak sedang di rumah.

Mas Taslim tertawa ringan mendengar pertanyaan tersebut.

"dulu, aku memang punya cita-cita untuk menjadi seorang penyanyi. Aku bahkan sudah punya beberapa lagu yang aku ciptakan sendiri. Namun semenjak ayah dan ibu meninggal, semua itu hanya tinggal sebuah angan bagiku." ucap mas Taslim, dengan nada yang sedikit sendu.

"sekarang yang aku inginkan, hanyalah bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup, dan membiayai kuliah Dina, adikku." lanjut mas Taslim, suaranya mulai serak.

"apa lagi saat ini, aku hanya hidup dengan sebelah kaki. Produser mana yang mau rekaman dengan orang cacat sepertiku.." suara itu semakin serak ku dengarkan.

Hatiku terenyuh. Mas Taslim benar-benar telah kehilangan kepercayaan dirinya. Padahal menurutku ia punya ciri khas suara yang bagus. Dia punya bakat yang besar di bidang bernyanyi.

Aku mendekati mas Taslim yang sudah terbaring sejak tadi. Aku sandarkan kepalaku di atas lengan tangan kekarnya itu.

aku selalu merasa nyaman melakukan hal itu. Aku lingkarkan tanganku di dada bidangnya yang terasa begitu hangat.

Mas Taslim mengelus-elus bahuku dengan lembut, kemudian ia mengecup rambutku.

Aku suka saat mas Taslim melakukan hal tersebut. Rasanya sangat indah.

Suasana pagi itu sangat dingin. Aku semakin merapatkan dekapanku. Kehangatan tubuh mas Taslim, terasa mengalir di setiap aliran darahku.

Mas Taslim tiba-tiba menarik tubuhku, hingga tepat berada di atasnya.

"kamu sangat tampan, Al. Aku sayang sama kamu..." bisik mas Taslim lembut.

Aku tersenyuk mendengar kalimat tersebut, "mas Taslim juga sangat manis..." bisikku lirih.

Aku membelai rambut panjang sebahu mas Taslim. Rambut itu terasa lembut, karena selalu di rawat dengan baik.

Lalu kemudian dengan perlahan wajah kami pun saling mendekat. Bibir kami pun akhirnya menyatu.

Aku benar-benar hanyut dengan suasana romantis itu. Rasanya dunia saat itu, hanya milik kami berdua.

Dari gerakan yang awalnya lembut, lama kelamaan gerakan kami semakin liar.

Kami sudah tidak mampu mengendalikan diri, hingga kami pun akhirnya untuk pertama kalinya melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan.

Aku terasa melayang menikmati hal tersebut. Sesuatu yang dulunya hanya ada dalam anganku, kini menjelma menjadi sebuah kenyataan yang indah.

"kamu yakin mau melakukan hal ini denganku, Al..?" tanya mas Taslim di tengah-tengah pergulatan kami.

"kalau mas juga menginginkannya, aku yakin, mas.." jawabku yang terdengar sedikit mendesah.

Aku benar-benar sudah terbuai. Mas Taslim mampu membuatku terlena dan pasrah.

Selain karena aku memang sangat mencintai mas Taslim, aku sebenarnya juga penasaran, seperti apa rasanya hal tersebut.

Mas Taslim mulai melakukan aksinya, bak seorang pendekar yang berusaha menunggangi kudanya.

Kami pun berlayar dalam lautan penuh cinta.

Semuanya terasa indah bagiku, bahkan jauh lebih indah dari yang pernah aku bayangkan.

Mas Taslim terlihat juga sangat menikmati permainan kami.

Cukup lama kami berlayar bersama, aku merasakan tubuh kami mulai berkeringat.

Semakin lama, kami semakin tak terkendali.

Cinta yang hadir di antara kami, membuat hal tersebut jadi terasa penuh makna.

Setelah pergumulan yang panjang, kami pun akhirnya terhempas hampir bersamaan.

Untuk pertama kalinya aku merasakan sebuah keindahan dalam hidupku. Dan yang paling membuatku sangat berkesan, ialah karena aku melakukannya dengan orang yang paling aku cintai.

Mas Taslim tersenyum puas menatapku yang kelelahan.

"makasih ya, Al. Kamu benar-benar hebat.." bisiknya lembut. Sebuah kecupan mendarat di pipiku.

"mas Taslim juga hebat.." balasku dengan menyunggingkan senyum manis.

*******

Hari-hari berlalu semakin indah bagiku.

Berbulan-bulan hubunganku dengan mas Taslim terjalin dengan penuh warna.

Cintaku padanya semakin besar ku rasakan. Aku semakin takut kehilangan mas Taslim.

Hingga pada suatu kesempatan, aku sengaja merekam mas Taslim yang sedang mengamen di pasar.

Rekaman video itu, sengaja aku kirimkan di media sosialku.

Tidak ada maksud apa-apa sebenarnya, aku hanya ingin menunjukkan rasa kagumku dengan kemampuan bernyanyi mas Taslim.

Beberapa minggu kemudian tak kusangka, postingan tersebut ternyata di tonton dan di sukai banyak orang.

Berbagai komentar ada di sana, dan rata-rata mereka memuji suara mas Taslim.

Apa lagi melihat mas Taslim yang bernyanyi hanya dengan sebelah kaki. Hal itu tentu saja menarik simpati orang-orang yang menontonnya.

Ternyata tidak cukup hanya sampai di situ.

Karena banyak yang membagikan video tersebut, akhirnya seorang produser rekaman datang menemui mas Taslim di tempat ia mengamen.

Mas Taslim tentu saja kaget, mengetahui hal tersebut. Tapi aku berusaha menjelaskannya dengan singkat padanya.

Di luar dugaan kami, ternyata sang produser menawarkan mas Taslim untuk rekaman. Apa lagi ketika ia mengetahui, kalau mas Taslim juga punya lagu ciptaannya sendiri.

"tapi kamu harus ikut saya ke Jakarta. Karena studio rekaman kami ada di sana.." jelas sang produser itu lagi.

"kapan?' tanyaku spontan.

Aku memang orang yang paling semangat, mengetahui hal tersebut.

Sementara mas Taslim terlihat ogah-ogahan dan seperti tidak begitu yakin.

"kalau bisa secepatnya, mumpung lagi viral, kan." jawab sang produser.

"tapi semua terserah Taslim, sih. Jika ia memang bersedia.." lanjutnya.

"mas Taslim pasti bersedia, pak. Saya yang jamin.." ucapku masih dengan nada penuh semangat.

"ini kartu nama saya. Di situ ada nomor yang bisa kalian hubungi. Kapan pun Taslim siap, silahkan hubungi saya.." sang produser berucap, sambil memberikan sebuah kartu nama.

Setelah berucap demikian, sang produser pun segera pamit.

******

"ini kesempatan emas loh, mas." ucapku meyakinkan mas Taslim, ketika sang produser itu telah berlalu.

"iya, aku tahu, Al..." jawab mas Taslim, seperti tanpa semangat.

"ya udah, mas Taslim tunggu apa lagi?' tanyaku.

"aku harus tanya Dina dulu, Al. Aku takut meninggalkan ia sendirian di kota ini.." jawab mas Taslim.

"kan ada paman mas Taslim disini. Lagi pula aku juga ada di sini. Mas gak usah khawatir soal Dina. Aku yakin, ia pasti juga mendukung mas.." balasku lagi.

"lalu bagaimana dengan kamu, Al?" tanya mas Taslim tiba-tiba.

"aku? aku gak apa-apa, kok. Selama hal itu baik untuk mas, aku pasti akan selalu support, mas.." ucapku yakin.

"tapi kita akan terpisah oleh jarak, Al. Aku pasti akan sangat merindukanmu.." mas Taslim berucap sambil ia menatapku sendu.

"kita masih bisa berhubungan melalui handphone, mas. Aku juga pasti sangat merindukanmu, mas. Tapi ini semua kan demi masa depan mas juga.." ujarku berusaha terdengar tegar.

Meski hatiku sebenarnya takut, karena harus terpisah jauh dari mas Taslim.

Aku tahu, waktu dan jarak bisa merubah pendirian seseorang. Waktu dan jarak bisa mengubah segalanya.

Namun aku selalu yakin, bahwa kekuatan cinta akan selalu menjaga hati kami, sejauh apa pun jarak yang coba memisahkannya.

"aku akan selalu setia menunggu mas disini.." suaraku pelan.

Mas Taslim tiba-tiba meraih tanganku dan kemudian menggenggamnya erat.

"aku akan selalu sayang kamu, Al. Apa pun yang akan terjadi ke depannya.." ucapnya lembut.

*****

Seminggu kemudian, mas Taslim pun terbang ke Jakarta bersama sang produser.

Aku dan Dina turut mengantarnya ke bandara.

Rasanya begitu berat harus melepaskan orang yang aku cintai pergi begitu jauh.

Namun semua demi masa depan mas Taslim. Aku hanya berharap, semoga kota Jakarta tidak merubah apa pun dalam diri mas Taslim, terutama perasaan cintanya padaku.

Hari-hari selanjutnya aku jalani dengan terasa sedikit berat.

Ketiadaan mas Taslim di sampingku, membuat hari-hariku jadi tidak bermakna lagi.

Kami masih sering berhubungan melalui handphone. Mas Taslim selalu rajin mengabariku tentang perkembangannya di Jakarta.

Ia sudah mulai rekaman. Ia juga sudah mulai sedikit sibuk.

Aku mencoba untuk mengerti keadaannya. Meski sejujurnya rasa rindu ini, sering menyiksaku.

Sebulan berlalu, yang terasa bertahun-tahun bagiku, mas Taslim sudah meluncurkan single pertamanya.

Nama mas Taslim juga sudah mulai di kenal publik. Karena orang-orang sudah mengenalnya, semenjak video rekamannya saat mengamen itu, aku sebarkan di media sosial.

Single pertamanya, disambut dengan meriah oleh para penggemarnya. Video-video tentang mas Taslim mulai menyebar, terutama di youtube.

Mas Taslim semakin sibuk, hingga ia bahkan tidak punya waktu lagi, untuk sekedar mengabariku.

Berbulan-bulan, mas Taslim tak pernah menghubungiku lagi. Setiap kali aku coba menghubunginya, nomornya selalu sibuk. Pesanku juga tidak pernah ia balas.

Aku hanya tahu kabarnya, melalui media sosial dan infotainment.

Terakhir aku mendapat kabar, kalau adiknya, Dina, juga ikut hijrah ke Jakarta.

Setelah berbulan-bulan, bahkan hampir setahun, tanpa kabar apa pun dari mas Taslim, aku akhirnya memutuskan untuk menyerah.

Aku tak ingin mengharapkannya lagi, meski itu terasa sangat menyakitkan bagiku.

Setiap hari goresan luka seakan terus menyayat hatiku, mengingat mas Taslim.

Aku mulai menyibukkan diriku, dengan ikut jadi kuli bangunan bersama ayah.

Aku tak ingin menjadi kuli angkut lagi di pasar. Karena setiap kali aku berada di pasar, bayangan kenangan indahku bersama mas Taslim selalu melintas.

Aku jadi ingat, saat pertama kali kami bertemu dulu.

Bagaimana mas Taslim yang berusaha mendekatiku, yang kemudian membuat kami menjadi sangat dekat.

Kedekatan itu, menumbuhkan rasa cinta yang dalam di antara kami.

Mas Taslim sempat mengalami kecelakaan parah, yang merenggut kaki sebelah kirinya.

Ia sempat mengalami keterpurukan, namun aku berhasil meyakinkannya untuk kembali bangkit.

Hingga kami pun menjalin hubungan yang serius.

Kenangan-kenangan itu, selalu melintas di pikiranku, setiap kali aku berada di pasar tersebut.

Untuk itu, aku lebih bekerja jadi kuli bangunan bersama ayah.

Namun ketenaran mas Taslim saat ini, membuat wajahnya selalu muncul di mana-mana.

Orang-orang di tempat aku kerja, sering menonton video mas Taslim, saat jam istirahat.

"bukannya dulu ia ini cacat, ya.." celetuk salah seorang pekerja saat menonton video mas Taslim.

"iya. Sekarang ia kan pakai kaki palsu kabarnya.." balas seorang pekerja lainnya, yang ikut menonton.

Aku mendengar pembicaraan itu sayup-sayup dari kejauhan.

Karena penasaran dengan kondisi terbaru mas Taslim, aku mencoba membuka handphone-ku.

Ternyata memang sekarang, mas Taslim tidak cacat lagi. Ia sudah memakai kaki palsu.

Mas Taslim yang memang sudah keren sejak dulu, jadi semakin terlihat sangat keren.

Hatiku meringis melihat penampilan mas Taslim sekarang. Ia bak sosok seorang laki-laki sempurna, yang di kagumi banyak orang.

Akh... hatiku terasa sakit kembali.

Sudah hampir sebulan ini, aku mencoba melupakannya. Aku mencoba tidak melihat kabar apa pun tentangnya di media sosial.

Tapi tetap saja, aku selalu merindukannya. Tetap saja, aku selalu berharap, ia datang tiba-tiba menemuiku.

Oh, mimpi. Sekarang aku dan mas Taslim itu, seperti langit dan bumi. Ia sudah sangat tinggi untuk bisa aku gapai.

Dan untuk nekat menggapainya, aku takut jatuh. Karena itu pasti akan sangat menyakitkan.

Aku menarik napas dalam, berusaha sekuat mungkin, agar tidak menangis lagi.

Beberapa minggu belakangan ini, aku memang sering menangis sendirian. Aku tak mampu menahan perih yang aku rasakan.

Aku seperti di campakkan. Aku merasakan kalau mas Taslim tidak lagi membutuhkanku.

Dan hal itu, membuatku semakin terluka parah.

*****

Hampir setahun berlalu. Aku mulai belajar melalui hari-hari tanpa mengingat mas Taslim.

Aku harus bisa melupakannya. Aku takut mengharapkannya lagi.

Hingga suatu hari, tiba-tiba mas Taslim menghubungiku.

Ia meminta aku datang ke sebuah hotel tempat ia menginap.

"kebetulan aku ada konser di kota ini, Al. Aku ingat kamu, karena itu aku meminta kamu datang." ucap mas Taslim, saat aku akhirnya memenuhi penggilannya, meski dengan perasaan yang cukup berat.

Banyak yang ingin aku ceritakan pada mas Taslim, banyak yang ingin aku tanyakan padanya.

Tapi entah mengapa lidahku terasa kelu.

Setelah hampir setahun tak pernah bertemu, aku merasa sedikit asing berada di dekat mas Taslim.

Apa lagi mas Taslim yang sekarang bukan mas Taslim yang dulu aku kenal.

"aku minta maaf, Al. Aku sudah mengabaikanmu cukup lama. Aku tidak pernah mengabarimu lagi. Aku tak pernah menghubungimu lagi.." suara mas Taslim pelan.

"sejak mulai rekaman hingga akhirnya aku di kenal publik. Rasanya dunia ku menjadi sangat terbatas. Setiap gerak-gerik ku selalu menjadi pusat perhatian. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk sendiri."

"aku juga jadi tidak punya waktu, untuk menghubungi kamu. Aku takut orang-orang tahu, kalau aku punya hubungan istimewa dengan seorang laki-laki.."

"aku bukannya takut karirku hancur. Aku hanya takut, jika hubungan kita  diketahui oleh publik, itu pasti akan menjadi berita yang sangat besar.."

"banyak yang harus ku pikirkan, Al. Terutama perasaan adikku, Dina. Aku tidak ingin hidupnya hancur, jika hubungan kita tersebar."

"andai aku tidak seterkenal sekarang. Andai aku masih seperti dulu. Aku tidak masalah, jika hubungan kita diketahui orang-orang, karena resikonya sangat kecil."

"tapi sekarang, jelas hal itu, akan mencoreng nama baik kamu, keluarga kamu dan juga perasaan Dina.."

mas Taslim menarik napas panjang.

"dulu aku pernah bermimpi hidup menjadi seorang artis. Tapi ternyata setelah aku benar-benar menjalaninya. Itu semua tidak seindah yang aku bayangkan."

"duniaku menjadi semakin sempit. Kebebasanku di renggut. Aku hampir tidak punya privacy lagi." mas Taslim melanjutkan ceritanya.

Suaranya perlahan mulai terdengar parau.

"andai aku bisa memutar waktu kembali, aku ingin menjadi Taslim yang dulu lagi. Aku ingin hidup seperti dulu lagi. Aku ingin mendapatkan kebebasanku lagi.." mas Taslim masih terus melanjutkan ceritanya, meski sebulir air mata jatuh membasahi pipinya.

"aku lelah, Al. Setahun kita tidak bertemu, setahun juga aku harus menahan lelahnya rasa rindu. Setahun juga perasaan dan hatiku tersiksa."

"aku ingin bertemu kamu, Al. Tapi seperti yang aku katakan, setiap tindakanku akan selalu menjadi berita bagi orang-orang, apa lagi bagi orang-orang yang tidak menyukai kesuksesanku.."

"kamu mungkin telah membenciku saat ini, Al. Dan menganggap aku telah melupakanmu. Namun asal kamu tahu, sampai detik ini, aku masih sangat mencintaimu. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa.." mas Taslim mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

"lalu sekarang, mas Taslim ingin aku bagaimana?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.

Semua penjelasan mas Taslim, sebenarnya cukup masuk akal.

Biar bagaimana pun, hubungan kami memang bukan sesuatu yang bisa di umbar sembarangan.

Tapi terkadang cinta itu egois. Cinta bukan hanya soal logika.

Mas Taslim kembali menghela napas panjang.

"entahlah, Al. Aku juga bingung dengan apa yang aku inginkan sebenarnya. Aku sangat mencintai kamu. Tapi aku juga tidak ingin hubungan kita diketahui siapa pun." balas mas Taslim.

"sementara jika kita tetap saling berhubungan dengan sembunyi-sembunyi. Kita pasti akan sangat jarang bertemu, Al. Dan aku takut kita gak bakal kuat.." lanjut mas Taslim lagi.

Aku kembali terdiam. Aku juga bingung sebenarnya. Aku benar-benar tidak tahu, harus apa.

Setahun hubungan tanpa status yang jelas. Setahun kami tidak pernah bertemu, bahkan tidak pernah saling berkomunikasi.

Aku juga sudah mulai belajar melupakan mas Taslim.

Tapi sekarang, tiba-tiba mas Taslim muncul lagi. Tapi ia datang bukan untuk mengulang kembali kisah indah kami.

Ia datang dengan kebingungannya, yang membuatku juga turut menjadi bingung.

"mungkin lebih baik, kalau kita saling melupakan..." ucapku dengan suara berat, seberat perasaanku untuk mengungkapkannya.

Mas Taslim menatapku tajam.

"ini tidak mudah bagiku, mas. Tapi semua demi kebaikan mas Taslim. Demi kebaikanku juga. Mungkin kisah cinta kita, memang harus berakhir seperti ini..." aku melanjutkan kalimatku lagi.

"apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya mas Taslim tiba-tiba.

"aku selalu mencintai mas Taslim, dari dulu, sekarang, besok dan selama-lamanya. Tapi cinta tidak selamanya harus menyatu, mas. Apa lagi cinta yang terjalin diantara kita, bukanlah cinta yang semestinya.." jawabku terdengar sedikit bijak.

"aku ingin kamu ikut denganku ke Jakarta, Al. Dan tinggal bersamaku..." mas Taslim berucap pelan.

Aku kembali menatap mata teduh milik mas Taslim. Aku mencoba memahami maksud dari pernyataannya barusan.

"aku serius, Al. Kita bisa tinggal bersama. Kamu bisa jadi asistenku.." mas Taslim melanjutkan lagi, ia seperti berusaha meyakinkanku.

Mas Taslim tiba-tiba mendekatiku. Ia duduk sangat dekat denganku. Tubuh kami saling berdempetan.

"aku ingin kita tetap bersama, Al. Aku tak ingin lagi jauh darimu. Aku mohon kamu mau, ya, Al.." mas Taslim berucap, sambil mulai meraih jemariku.

Aku masih terdiam. Tawaran yang diberikan mas Taslim, sangat membuatku bingung.

Aku bukannya gak mau ikut mas Taslim. Tapi saat ini, keluargaku sangat membutuhkanku.

Ayah sudah sering sakit-sakitan. Aku yang harus sering menggantikannya bekerja.

Mungkin dengan menerima tawaran dari mas Taslim, aku jadi punya pekerjaan. Dan tentunya sebagian hasilnya bisa aku kirimkan pada Ibu.

Tapi rasanya berat harus meninggalkan mereka dalam kondisi ayah yang sering sakit-sakitan.

"aku gak bisa jawab sekarang, mas. Aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua.." ucapku akhirnya, sambil membalas genggaman tangan mas Taslim.

Rasa rindu yang hampir setahun terpendam. Malam itu akhirnya tercurah sudah.

Aku tidak bisa menahan, ketika mas Taslim akhirnya membawaku berlayar dalam lautan cintanya yang indah.

Kami berusaha menumpahkan semua kerinduan kami selama ini, malam itu.

"aku sangat merindukanmu, Al.." mas Taslim terus berbisik di telingaku dengan kata-kata cintanya yang terdengar sangat romantis bagiku.

Raga kami akhirnya menyatu. Berpadu mewakili setiap perasaan yang kami rasakan selama ini.

Kami enggan untuk saling mengakhiri. Kami tidak ingin saling melepaskan.

Berkali-kali mas Taslim membuatku melayang.

Sungguh sebuah pelayaran yang sangat indah. Setelah setahun tidak merasakan hal tersebut, aku menjadi sedikit liar.

Aku ingin mas Taslim benar-benar terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya.

Aku ingin menikmati setiap detik kebersamaan kami.

Aku ingin moment itu menjadi moment terindah di antara kami, setelah moment saat pertama kali kami melakukan hal tersebut.

Mas Taslim juga terasa sangat menikmati hal tersebut.

Kami melakukan pelayaran hingga berkali-kali malam itu.

Sampai kami sama-sama merasa lelah.

******

Part 3

Aku menghempaskan tubuhku berat, di atas sebuah ranjang empuk.

Perjalanan yang harus aku tempuh dari kota ku menuju kota Jakarta ini, cukup membuat sedikit lelah.

Apa lagi ini pertama kalinya aku naik pesawat.

Dan pertama kalinya juga, aku melakukan perjalanan yang cukup dari kota kelahiranku.

Ya, aku memutuskan untuk menerima tawaran mas Taslim, untuk ikut dengannya ke Jakarta dan bekerja sebagai asisten pribadinya.

Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa soal pekerjaan seorang asisten artis terkenal seperti mas Taslim.

"nanti kamu bisa sekalian belajar, Al. Apa-apa saja tugas seorang asisten itu." jawab mas Taslim saat aku mempertanyakan hal tersebut, ketika di perjalanan tadi.

"selain kamu, aku kan juga punya seorang manajer, Al. Jadi tugas kamu sebenarnya tidak terlalu berat. Yang penting kita bisa selalu bersama-sama.." lanjut mas Taslim lagi.

Aku tahu, tujuan utama mas Taslim mengajak aku ikut dengannya ialah agar kami tetap bisa bertemu setiap hari. Dan sebenarnya itu juga yang aku inginkan.

Tapi sebagai seseorang yang di beri gaji, tentu saja aku harus bekerja secara profesional.

Apa lagi, mas Taslim sudah berbuat banyak padaku sebelum kami berangkat ke Jakarta.

Mas Taslim memberiku sejumlah uang, untuk biaya berobat ayah ke rumah sakit.

Uang itu cukup banyak, meski mas Taslim tidak meminta aku untuk mengganti uang tersebut.

"anggap saja itu hadiah dariku, Al. Karena sebelum aku jadi seperti sekarang, kamu dulu juga sering membantuku.." jelas mas Taslim, saat aku mempertanyakan tentang uang tersebut.

Ayah sudah mulai membaik, karena sudah mendapat pengobatan dari rumah sakit.

Karena itu juga, aku memutuskan untuk menerima tawaran mas Taslim. Setidaknya aku tidak perlu terlalu mencemaskan keadaan di rumah.

Meski tentu saja, aku akan tetap mengirimkan sebagian dari gajiku untuk membantu keluargaku.

Aku menarik napas dalam, sambil memejamkan mata.

Ranjang yang aku tempati terasa begitu nyaman. Jauh lebih nyaman, di bandingkan ketika aku berada di rumahku.

Mas Taslim memang menyediakan sebuah kamar untuk tempat aku tinggal dirumahnya.

Rumah itu sangat besar. Ada beberapa orang pembantu yang tinggal di sana. Dan Dina, adiknya mas Taslim juga tinggal di sana.

Kamar yang aku tempati cukup luas. Kamar itu berada di lantai atas, berada tepat di samping kamar mas Taslim.

"kamu anggap aja seperti rumah sendiri ya, Al.." ucap mas Taslim tadi, saat mengantar aku ke dalam kamar.

"kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa tanya langsung sama bi Sumi, ia asisten pembantu di rumah ini." jelas mas Taslim melanjutkan.

"sekarang kamu istirahat dulu. Besok kita bicarakan lagi, soal pekerjaan kamu.." lanjutnya lagi.

Setelah berkata demikian, mas Taslim lalu pamit untuk beristirahat di kamarnya.

 *****

"perkenalkan ini mas Anto. Dia yang sudah menjadi manajerku sejak awal.." ucap mas Taslim, keesokan paginya.

"kamu nanti bisa belajar banyak darinya.." lanjutnya.

"mas Anto yang mengatur semua jadwal-ku, dan juga mengurus segala kontrak kerjaku." mas Taslim berucap lagi, setelah aku dan mas Anto saling berkenalan.

"nanti kamu yang akan menghandle segala keperluanku untuk manggung. Pekerjaan kamu lebih kepada urusan personal-ku." lanjutnya lagi.

"termasuk mengingatkan mas Taslim untuk kontrol rutin pengobatan kakinya, dan juga mengingatkan untuk selalu meminum obatnya tepat waktu.." Dina ikut menimpali pembicaraan tersebut.

"selama ini aku yang melakukannya.." lanjutnya Dina lagi.

"karena sekarang aku sudah mulai sibuk di kampus, jadi tugas itu aku serahkan sepenuhnya padamu, Al..." ucap Dina lagi, dengan sedikit mengerlingkan mata.

"kamu tenang aja. Nanti kamu juga di bantu sama teman team lainnya, kalau soal urusan peralatan manggung mas Taslim.." kali ini mas Anto yang berbicara.

Mas Anto kalau ku perkirakan sudah berumur kurang lebih 35 tahun. Menurut ceritanya ia juga sudah menikah dan sudah mempunyai dua orang anak.

Mas Anto memiliki paras yang oriental, dengan matanya yang sedikit menyipit apa lagi saat ia tertawa.

Mas Anto terlihat mungil dengan tubuh pendeknya. Namun ia terlihat pintar dan lincah.

Setelah perkenalan singkat itu, kami mulai di sibukkan dengan kegiatan konser mas Taslim selanjutnya yang akan diadakan malam nanti.

Sebenarnya segala persiapan mereka sudah cukup matang. Hanya saja ada beberapa hal yang harus kami lakukan sebagai perbaikan.

Aku mulai berkenalan dengan beberapa orang yang terlibat dengan konser mas Taslim malam itu.

Aku mencoba belajar banyak hal dari pekerjaan baruku tersebut.

Meski aku kesulitan awalnya, namun mas Taslim selalu punya cara untuk memberikan aku spirit, agar tetap bersemangat.

Ia kadang-kadang mengirimkan aku sebuah emoticon senyum melalui whatsapp-nya.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Setidaknya sekarang, aku bisa hampir setiap saat bisa menatap wajah teduh nan indah itu.

Melihat senyumnya yang selalu manis di mataku.

Hatiku selalu berbunga-bunga, setiap kali mas Taslim menatapku dengan mata indahnya.

Walau kami tidak bisa saling bermesraan, namun setidaknya kami bisa saling memberi support.

Cinta bukan hanya soal kebutuhan fisik, tapi juga kebutuhan hati.

Meski raga kami tidak bisa selalu saling berdampingan, tapi aku yakin, hati kami selalu saling mengingat.

******

Hari-hari kembali terasa indah bagiku.

Kesibukanku bersama mas Taslim membuat waktu terasa begitu cepat berlalu.

Aku juga sering ikut mas Taslim ke luar kota, untuk beberapa konsernya.

Ada malam-malam tertentu, kami sering menghabiskan waktu berdua.

Jika kami tidak punya kesempatan di rumah, maka saat di luar kota lah kami memanfaatkan kesempatan untuk tidur di kamar hotel yang sama.

Jika di rumah, mas Taslim sering mencuri-curi waktu untuk menyelinap ke kamarku malam-malam.

Kami selalu memanfaatkan kesempatan seperti itu, untuk menumpahkan segala hasrat kami yang sudah terpendam.

Kami saling bergumul dan bermesraan dengan penuh cinta.

Aku selalu merasa melayang setiap kali mas Taslim melakukan hal tersebut.

Rasanya dunia begitu sempurna. Aku bak musafir yang menemukan setetes air di tengah gurun pasir, setiap kali kami saling bercumbu.

Aku tidak ingin melewatkan sedetik pun kemesraan kami. Aku selalu berusaha menikmatinya.

Demikian juga mas Taslim. Ia selalu berhasil membuatku mengalami sebuah pendakian yang indah dan sempurna.

Hati kami menyatu, raga kami tak ingin saling melepaskan.

Kebahagiaan itu hanya milik kami. Kesempurnaan itu hanya milik kami berdua.

Aku berharap tidak ada lagi air mata duka diantara kami. Aku berharap cinta kami tetap menyatu selamanya, meski apa pun yang akan terjadi.

****

Berbulan-bulan aku menjalani hari-hari indahku bersama mas Taslim.

Berbulan-bulan aku bekerja dengannya. Dan sebagian dari hasil kerja ku, aku kirimkan pada Ibu.

Hingga suatu saat.....

"tapi ini demi menunjang karir, mas Taslim.." itu suara mas Anto.

Kami ngobrol bertiga di ruang kerja mas Taslim.

"tapi aku tidak menyukai Devina, mas Anto.." ucap mas Taslim membalas.

"itu tidak penting mas Taslim. Para penggemar menginginkan kalian untuk segera jadian." mas Anto berucap pelan.

"lagian selama ini, orang-orang tidak pernah melihat mas Taslim pacaran. Mereka ingin mas Taslim dan Devina segera berpacaran.." lanjutnya mas Anto.

Kali ini mas Taslim terdiam, ekor matanya menatap ke arahku.

Devina itu adalah penyanyi baru yang sedang naik daun. Devina dan mas Taslim memang sekarang sering duet berdua. Mereka terlihat dekat ketika di depan kamera.

Dan dari yang aku perhatikan, Devina sebenarnya menyukai mas Taslim.

Ya, siapa yang tidak suka dengan mas Taslim. Semua cewek berharap bisa menjadi pacarnya, termasuk Devina.

"kalian berdua harus jadian, agar orang-orang tidak kecewa. Dan tentu saja, itu semua akan sangat menunjang karir kalian berdua. Orang-orang akan selalu mengikuti perkembangan hubunngan mas Taslim dan Devina." mas Anto berujar lagi, ia terlihat sangat berusaha meyakinkan mas Taslim.

"aku harus memikirkan hal ini dulu, mas Anto. Aku gak mau terlalu gegabah.." ucap mas Taslim akhirnya, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

Aku sejak tadi hanya menundukkan kepala. Aku tidak tahu, apa yang aku rasakan saat itu.

"lagi pula Devina itu gadis yang cantik dan juga sangat baik. Masa iya, mas Taslim mau melewatkan gadis seperti itu.." ujar mas Anto lagi.

"iya, aku tahu, mas Anto. Tapi ini masalah perasaan.." ucap mas Taslim terdenga parau.

"abaikan dulu soal perasaaan, mas Taslim. Yang penting sekarang, bagaimana caranya agar karir mas Taslim tetap cemerlang dan tetap bertahan. Siapa tahu, nanti mas Taslim bisa benar-benar jatuh cinta pada Devina..." lanjut mas Anto lagi.

Mas Taslim kembali terdiam, ia terlihat menarik napas berat.

"ingat mas Taslim. Sekarang mulai banyak bermunculan penyanyi baru. Hal itu bukan tidak mungkin bisa membuat mas Taslim tenggelam dari dunia tarik suara. Tapi kalau mas Taslim mau mengikuti anjuran saya, saya yakin karir mas Taslim bisa bertahan lama..."

Setelah berucap demikian, mas Anto pun pamit untuk pulang, dan meninggalkan kami berdua.

****

"ini hanya pura-pura, Al. Ini hanya di depan kamera. Lagi pula, setidaknya ini bisa menutupi siapa aku sebenarnya.." suara mas Taslim serak.

Saat itu kami berada berdua di dalam kamarku.

Aku langsung menolak, keinginan mas Taslim untuk menjalin hubungan dengan Devina, seperti yang di sarankan mas Anto.

"orang-orang juga mulai penasaran, kenapa aku tidak pernah terdengar pacaran selama ini. Apa lagi saat ini, usiaku sudah hampir kepala tiga. Setidaknya orang-orang harus tahu, kalau aku ini laki-laki normal.." mas Taslim melanjutkan.

"tapi aku tidak sanggup melihat mas bermesraan dengan orang lain, mas. Itu terlalu menyakitkan bagiku.." suara mulai serak.

Hatiku tidak bisa menerima begitu saja hal tersebut. Biar bagaimana pun, aku sangat mencintai mas Taslim.

"itu tidak akan merubah apa pun, Al. Percayalah, aku hanya mencintai kamu. Tidak akan ada yang bisa mengubah perasaanku padamu, Al..." mas Taslim perlahan mendekap tubuhku dari belakang.

Aku membiarkan mas Taslim melakukan hal tersebut, aku selalu merasa nyaman setiap kali mas Taslim melakukannya.

"aku sangat mencintai kamu, Al. Tapi jika aku terus menjomblo, orang-orang akan semakin curiga dengan kedekatan kita, Al..." mas Taslim berbisik.

Aku sekali lagi menarik napas dalam. Berat rasanya untuk memenuhi permintaan mas Taslim kali ini.

Tapi aku juga tidak boleh egois. Aku harus memikirkan mas Taslim juga.

"aku dan Devina tidak akan melakukan apa pun, Al. Kami hanya pacaran, dan harus terlihat mesra terutama di depan para wartawan. Untuk urusan ranjang, aku pasti lebih memilih untuk bersama kamu, Al.." mas Taslim terus berbisik di telingaku, yang membuat hati kian luluh.

Mas Taslim mengecup bahuku lembut. Tangannya semakin erat mendekapku.

Aku akhirnya hanya pasrah. Aku juga tidak ingin kehilangan mas Taslim. Tapi pada kenyataannya, hubungan kami sampai kapan pun, tetap akan hanya menjadi sebuah rahasia.

"kamu mau kan, Al?" tanya mas Taslim meyakinkan.

Aku memutar kepala, wajah kami menjadi saling berdekatan.

Wajah sendu itu, terlihat sangat tampan di mataku, terutama jika berada sedekat ini.

Aku elus pipi mas Taslim, lalu mengecup pipi itu dengan lembut.

"jika itu yang terbaik bagi mas Taslim. Aku berusaha untuk ikhlas, mas.." ucapku lembut.

"ini bukan yang terbaik, Al. Tapi ini memang harus aku lakukan..." balas mas Taslim, sambil perlahan mendekatkan bibirnya.

Untuk kesekian kalinya malam itu, kami pun kembali berlayar bersama.

Tapi kali ini rasanya berbeda.

Aku merasa seakan-akan ini adalah kali terakhir kami punya kesempatan melakukannya.

*****

Sesuai dengan yang telah di rencanakan oleh mas Anto, Devina dan juga mas Taslim.

Mereka berdua, mas Taslim dan Devina, pun resmi berpacaran.

Bahkan mas Anto dengan tegas mengumumkan hal tersebut kepada para wartawan.

Semua orang terlihat bahagia mengetahui hal tersebut, tak terkecuali Dina, adik mas Taslim.

Tapi aku justru merasakan hal sebaliknya. Aku merasa terluka dan kecewa.

Sakit rasanya melihat mas Taslim bermesraan dengan orang lain.

Namun aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya berharap mas Taslim akan menepati janjinya.

Hari-hari selanjutnya, mas Taslim dan Devina jadi semakin sering bersama. Mereka juga terlihat semakin mesra.

Mas Taslim jadi jarang punya waktu denganku sekarang.

Ia semakin sibuk dengan karirnya, yang ternyata seperti yang mas Anto katakan, memang semakin membaik.

Mereka berdua tiba-tiba menjadi pusat perhatian publik. Banyak dari para netizen yang berharap mereka untuk segera menikah.

"pasangan yang serasi, semoga langgeng sampai akad.." begitu salah satu komentar netizen yang aku baca di postingan instagram mas Taslim.

Hatiku semakin terhiris menyadari hal itu. Rasanya begitu sakit.

"maaf ya, Al. Aku jadi sering mengabaikanmu sekarang.." ucap mas Taslim, ketika akhirnya kami punya kesempatan untuk berdua.

Aku tidak tahu, apa aku harus marah pada mas Taslim? Apa aku harus membencinya?

Tapi cintaku terlalu besar, untuk bisa membencinya.

Selama ia masih punya waktu denganku, aku mencoba untuk menerima semuanya.

"apa mas mencintai Devina?" tanyaku tiba-tiba.

Aku tidak tahu, mengapa aku harus mempertanyakan hal tersebut. Mungkin rasa cemburuku yang mendorongnya.

Mas Taslim tersenyum kecut, melihat raut wajah cemburuku.

"aku tidak bisa mencintai siapa pun di dunia ini, selain kamu, Al.." ucapnya terdengar mesra.

Aku merinding mendengat kalimat mas Taslim barusan. Seandainya ucapan itu benar-benar dari hati mas Taslim, betapa beruntungnya aku.

"tapi cinta saja tidak cukup, Al. Untuk membuat kita bisa menyatu." lanjutnya kemudian.

"kita harus juga mendapat persetujuan semua orang. Karena kita hidup diantara orang-orang yang peduli dengan kita." mas Taslim tiba-tiba menghela napas.

"dan sayangnya hal itu yang tidak akan pernah kita dapatkan. Tidak akan ada seorang pun yang setuju dengan hubungan kita, Al.." mas Taslim melanjutkan.

"jadi mas Taslim ingin mengakhirinya?" tanyaku spontan.

"selama kamu masih mau bertahan dengan keadaan hubungan kita seperti ini, tidak ada yang ingin aku akhiri, Al. Hanya saja kamu harus lebih banyak bersabar. Karena hubunganku dengan Devina, semakin lama akan semakin serius.." balas mas Taslim.

"apa mas Taslim akan menikahi Devina?" tanyaku lagi.

"iya. Sebagai laki-laki, aku memang harus menikah, Al. Dan sepertinya Devina gadis yang baik, meski aku sebenarnya tidak pernah mencintainya.." mas Taslim menjawab sambil memejamkan mata.

Ia terlihat seperti sedang menahan sesuatu di dalam hatinya.

"itu artinya, mas membohongi Devina dan juga semua orang.." ucapku ringan.

"bahkan aku selalu membohongi diriku sendiri, Al. Setiap hari aku melakukan hal tersebut. Namun beginilah kehidupan, segala yang terjadi tidak selalu seperti yang kita inginkan..." suara mas Taslim mulai sedikit parau.

"aku tahu kita saling mencintai, Al. Aku juga, kalau kamu sangat mencintaiku. Tapi sekali lagi, itu semua tidak cukup, Al..."

Aku terenyuh mendengar kalimat mas Taslim barusan.

Ia benar, hubungan yang terjalin diantara kami tidak akan pernah sampai kemana-mana.

Meski kami saling mencintai, meski kami saling ingin memiliki.

Tapi cinta yang tidak mendapat restu dari siapa pun, bukanlah cinta yang layak untuk diperjuangkan.

Cinta kami tidak akan bisa diterima oleh siapapun.

Namun hubungan mas Taslim dan Devina adalah keinginan banyak orang.

****

Mas Taslim dan Devina akhirnya menikah, beberapa bulan kemudian.

Tidak ada yang salah dengan pernikahan itu. Semua orang berbahagia melihatnya, semua orang memberi ucapan selamat kepada mereka berdua.

Dan aku, berusaha setegar mungkin menerima kenyataan pahit itu.

Aku tidak ingin menangis lagi. Sudah hampir seminggu ini, aku selalu menangis setiap malam.

Membayangkan mas Taslim berada dalam dekapan orang lain, adalah hal paling menyakitkan sepanjang perjalanan hidupku.

Tapi aku bisa apa. Jika kekuatan cinta, bahkan tidak bisa membuat kami menyatu.

Mas Taslim berhak untuk bahagia, meski aku tahu, hatiku juga terluka dengan semua ini.

Aku masih ingat, ketika seminggu menjelang hari pernikahannya, mas Taslim masuk ke kamarku.

"maafkan aku, Al. Aku benar-benar minta maaf sama kamu.." suara mas Taslim serak.

"aku tahu ini menyakitkan bagimu. Aku juga tahu, kalau kamu pasti sangat menderita dengan semua ini. Tapi seandainya engkau tahu, bahwa betapa beratnya ini semua bagiku. Bahwa betapa aku tidak ingin hal ini terjadi..." mas Taslim menahan napas.

"mungkin aku salah. Mungkin juga aku terlalu lemah sebagai laki-laki. Tapi aku juga tidak ingin mengingkari takdirku, Al. Aku hanya berharap agar kamu bisa mengerti.." mas Taslim melanjutkan kalimatnya, meski sebulir air mata jatuh membasahi pipinya.

Aku tak tega melihat mas Taslim seperti itu. Aku selalu tak tega melihatnya menangis.

Bukan salan mas Taslim, jika ia harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai.

Bukan salahku juga, yang terlanjur hadir di dalam hidupnya.

Bukan salah takdir juga, yang terus memaksa kami untuk bisa menerima kenyataan.

Jika pun ada yang harus dipersalahkan, mungkin cinta kami yang salah berlabuh.

Aku menarik napas kembali. Kali ini lebih panjang, sepanjang torehan luka yang menyayat hatiku saat ini.

Aku sekali lagi menatap kemeriahan pesta pernikahan mas Taslim dan Devina, dari kejauhan.

Aku tidak sanggup lagi melihatnya. Hatiku sudah terlanjur hancur berkeping-keping.

Aku tak mampu mempertahankan cintaku pada mas Taslim. Terlalu besar resiko yang harus kami tanggung, jika kami tetap nekat untuk terus bersama.

Aku bisa saja, untuk terus menjalin hubungan dengan mas Taslim, meski pun ia sudah menikah nantinya.

Kami mungkin saja, masih punya kesempatan untuk berduaan nantinya.

Tapi, jujur saja, aku tidak ingin berbagi mas Taslim dengan siapa pun. Aku hanya ingin memilikinya sendiri.

Namun jika aku tidak mampu memilikinya sendiri, maka aku lebih memilih untuk tidak lagi bersamanya.

Dan karena itu juga, aku memutuskan untuk pergi dari rumah mas Taslim, pergi dari kehidupannya dan berusaha sekuat mungkin untuk pergi dari hatinya.

"kamu yakin, Al? untuk berhenti dari pekerjaanmu?" suara Dina mengagetkanku, saat aku sedang mengemasi barang-barangku  untuk segera pergi dari rumah itu.

"iya. Aku yakin, Din. Keluargaku sangat membutuhkanku saat ini.." jawabku berusaha terlihat baik-baik saja.

"tapi kenapa harus sekarang, Al? Kenapa gak tunggu pesta mas Taslim selesai dulu?" tanya Dina lagi.

"aku harus buru-buru, Din. Sampaikan permintaan maafku pada mas Taslim, ya.." jawabku seadanya.

Dina pun segera beranjak dari kamarku. Ia harus segera kembali ke pesta.

Aku pun bergegas berkemas.

Setelah cukup yakin, tidak ada barang yang tertinggal, aku segera keluar dari rumah itu secara diam-diam lewat pintu samping.

Tiket pesawat memang sengaja aku pesan sejak tadi malam.

Aku tidak sanggup lagi terus disini, rasanya terlalu sakit bagiku.

Sesampai di luar, aku segera membuka aplikasi ojek online, untuk mengantarku ke bandara.

Sampai di bandara, aku berniat masuk ke ruang tunggu, saat tiba-tiba sebuah suara memanggilku dengan keras dari luar.

"Aldi..! Tunggu...!" itu suara mas Taslim.

Ia tiba-tiba datang dengan napas terengah dan masih memakai pakaian pengantinnya.

"mas Taslim?" tanyaku setengah tak percaya.

"aku mohon, Al. Kamu jangan pergi! Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.." ucap mas Taslim, dengan napasnya yang masih terengah-engah.

Beberapa orang yang berada di pintu masuk memperhatikan kami.

"aku akan lakukan apa pun, Al. Tapi kamu jangan pergi, ya..." ucap mas Taslim lagi, dengan nada memohon.

Ia mengabaikan perhatian orang-orang yang berada di sana kepada kami.

Aku terpaku. Tidak tahu harus mengatakan apa. Aku juga tidak ingin berdebat dengan mas Taslim saat itu. Aku tidak ingin orang-orang akan berpikir aneh-aneh tentang kami.

"aku gak bisa, mas. Aku harus pergi.." aku berusaha memelankan suaraku, agar tidak terdengar siapa-siapa.

"jangan, Al. Aku mohon... jika kamu ingin hubungan kita diketahui semua orang, aku akan mengumumkannya sekarang..." suara mas Taslim terbata.

Aku semakin tak tega melihatnya.

"mas jangan melakukan tindakan bodoh, mas..." ucapku akhirnya.

"aku tidak peduli, Al. Jika hal itu bisa membuat kita tetap bersama, aku akan melakukannya.." balas mas Taslim tegas.

"aku mohon, mas. Jangan lakukan hal itu. Aku pasti kembali, mas. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri.." ucapku pelan.

"kamu jangan membohongiku, Al. Aku tahu, kamu ingin meninggalkanku, kan?" suara itu semakin menghiba.

Aku mulai merasa tak nyaman. Orang-orang semakin ramai memperhatikan kami.

"oke, mas. Aku akan ikut mas pulang sekarang. Tapi aku mohon, mas jangan melakukan tindakan bodoh disini, ya.." aku berujar, sambil menarik tangan mas Taslim untuk segera pergi dari situ.

Mas Taslim terlihat tersenyum bahagia.

"aku janji, aku akan menceraikan Devina, setelah beberapa bulan pernikahan kami. Hanya saja kamu harus sabar, Al..." ucap mas Taslim, ketika kami sudah berada di dalam mobilnya.

"jika pernikahanku dengan Devina bisa menarik perhatian para netizen, aku yakin perceraianku nantinya juga pasti akan menarik perhatian mereka. Dan itu artinya karirku di dunia tarik suara akan tetap bertahan, tanpa aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai..." lanjutnya lagi, yang membuatku terdiam dan tak mampu berkata apa-apa lagi.

Jika cinta mas Taslim begitu kuat, tak ada alasan lagi bagiku, untuk pergi meninggalkannya.

Apa pun resikonya nanti, aku akan menghadapinya, selama aku masih bisa mendapatkan mas Taslim.

Mas Taslim tiba-tiba menyentuh tanganku lembut, sambil ia terus menyetir mobilnya.

Aku tersenyum menatap wajah teduh nan menenangkan itu.

Aku akan bersabar, untuk sebuah kebahagiaan yang telah menantiku di suatu waktu nanti.

Saat cintaku dan cinta mas Taslim akhinya menyatu, tanpa ada yang bisa memisahkannya, sekalipu nitu sebuah takdir.

Karena aku percaya, bahwa cinta yang tulus akan mampu mengalahkan takdir.

Semoga saja...

*****

Bersambung ..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate