"kak Nur, ada tamu..." teriak Lala dari luar kamar. Aku yang sedang berbaring malas di ranjang, segera bangkit. Kulihat jam di dinding kamar, sudah jam sembilan pagi. Ini hari minggu, adik-adikku memang sedang berada di rumah. Aku juga masuk kerja siang.
"siapa?" tanyaku, setelah berada di depan pintu kamar.
"gak tahu, kak. Orangnya udah nungguin diluar.." balas Lala sambil berlalu ke dapur.
Segera aku melangkah menuju pintu depan. Pintu sudah terbuka, seorang perempuan paroh baya berdiri di depan pintu. Perempuan itu berhijab dengan pakaian gamis yang elegan. Ia tersenyum menatapku.
"cari siapa?" tanyaku dengan kening berkerut.
Perempuan itu hanya tersenyum, sambil melangkah mendekat.
"saya boleh masuk?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku. Ia melangkah masuk tanpa menunggu jawabanku. Ia duduk di kursi tamu reot rumah kami. Dengan sedikit terpaksa aku ikut duduk di hadapannya.
"maaf, anda siapa?" tanyaku lagi. "dan ada perlu apa?" lanjutku. Aku benar-benar tidak mengenal perempuan yang duduk dihadapanku.
"maaf kalau saya datang mendadak..." suara perempuan itu lembut, "saya Delia, mamanya Yudhi.." lanjutnya, yang membuat jantungku berdetak kencang tiba-tiba.
Mama Yudhi? Untuk apa ia kesini? tanyaku membathin.
Sudah hampir sebulan aku tidak melihat Yudhi bekerja. Aku tidak terlalu memikirkannya, karena menurutku, mungkin saja Yudhi sudah kembali ke kehidupannya yang sesungguhnya.
Dia juga tak pernah lagi datang ke rumah, setelah terakhir kali ia datang, saya tidak membukakan pintu untuknya. Waktu itu, ia menunggu diluar sampai berjam-jam, tapi aku tak memperdulikannya. Aku hanya ingin ia pergi dari kehidupanku.
Sekarang mamanya datang kesini. Mau ngapain? pikirku lagi. Apakah ia datang untuk menghinaku dan memintaku agar menjauhi anaknya? Jika memang benar begitu, ia sudah terlambat. Aku sudah terlebih dahulu menjauh dari Yudhi.
"oh.." aku mendesah, mencoba menenangkan diri. "ada apa tante kesini?" tanyaku, suaraku bergetar.
Kulihat tante Delia menarik napas sejenak. Ia menatapku.
"apa kamu mencintai Yudhi?" pertanyaan tante Delia, membuatku menunduk. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Dan lagi pula untuk apa tante Delia mempertanyakan hal itu sekarang?
"tante tidak akan memaksa kamu untuk menjawabnya. Tante tahu, hubungan kalian sedang tidak baik. Yudhi sudah cerita banyak tentang kamu sama tante..." ucapnya lagi.
"kedatangan tante kesini, cuma mau ngasih tahu, kalau dua minggu yang lalu, Yudhi mengalami sebuah kecelakaan yang sangat fatal.." tante Delia menghentikan kalimatnya, kulihat matanya berkaca.
Mendengar hal itu, aku merasa sangat terkejut. Sungguh aku benar-benar tidak tahu. Tapi aku hanya diam, tidak bereaksi apa-apa. Aku juga tidak harus berkata apa saat itu. Meski sebenarnya ada rasa ingin tahu tentang keadaan Yudhi saat ini, apa lagi setelah ia mengalami kecelakaan.
"kondisi Yudhi saat ini, sangat parah. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Yudhi. Kedua kakinya cedera parah, sempat di operasi. Namun kondisinya tidak semakin membaik. Kata dokter, Yudhi bisa saja mengalami kelumpuhan kaki permanen, jika ia tidak punya semangat untuk pulih." tante Delia menarik napas, ia kembali menatapku.
"sejak Yudhi tidak lagi bersama kamu, ia menjadi sosok yang berbeda. Ia sering mengurung diri di kamar. Sesekali ia keluar, hanya untuk mabuk-mabukan. Sepertinya ia sangat kecewa, karena kehilangan kamu. Hingga suatu hari kecelakaan naas itu terjadi." lanjutnya.
"sekarang bahkan ia tidak punya gairah lagi untuk melanjutkan hidupnya. Ia tidak mau berusaha untuk sembuh. Ia terlihat pasrah. Padahal dokter bilang, kalau kesembuhan kaki Yudhi, sebenarnya hanya tergantung pada dirinya sendiri. Jika ia punya semangat, maka kemungkinan besar kakinya bisa pulih dengan cepat..." tante Delia mengakhiri kalimatnya dengan mata berkaca.
Aku terenyuh mendengar cerita tante Delia. Tak kusangka, Yudhi akan mengalami kekecewaan sedalam itu, yang mengakibatkan ia mengalami kecelakaan tersebut. Tiba-tiba saja rasa bersalah menyeruak ke dalam hatiku. Aku menatap tante Delia dengan perasaan hiba. Aku bisa merasakan apa yang tante Delia rasakan saat ini.
"tante berharap kamu mau menemuinya, Nur. Dia sekarang masih di rumah sakit. Tante berharap dengan kedatangan kamu disana, bisa memberikan ia semangat." tante Delia berujar lagi dengan nada penuh harap.
"tante tahu, kamu masih marah padanya. Tapi tante mohon, kamu bersedia menemuinya. Dia butuh dukungan kamu, Nur. Yudhi sangat membutuhkan kamu, terutama di saat-saat seperti ini..." lanjutnya lagi, yang membuatku semakin terhenyak.
Aku manatap tante Delia lagi, perempuan itu terlihat rapuh dan murung. Wajah Yudhi melintas di pikiranku. Aku ingin sekali membantunya. Tapi aku tidak yakin, apa mungkin kehadiranku disana, benar-benar bisa memberikan sebuah semangat untuk Yudhi. Ia bisa saja, sudah membenciku sekarang.
"seumur hidup tante belum pernah bermohon kepada siapa pun. Tapi kali ini, demi Yudhi, tante sengaja datang kesini dan bermohon penuh harap sama kamu. Tante harap kamu mempertimbangkan hal ini.." tante Delia berujar lagi, melihat aku hanya terdiam.
Sejenak kemudian ia berdiri. Ia menyerahkan selembar kertas padaku, sambil berucap pelan.
"ini alamat rumah sakit tempat Yudhi dirawat. Kamu bisa kesana, kapan pun kamu merasa siap. Tante tidak akan memaksa. Tapi jika kamu benar-benar mencintai Yudhi, tante yakin kamu akan melakukan yang terbaik buat kesembuhan Yudhi..."
Setelah berkata demikian, tante Delia pun pamit. Ia melangkah dengan gontai meninggalkan rumah kami.
Aku masih terpaku, di ruang tamu. Memikirkan semua cerita tante Delia barusan. Permohonannya benar-benar membuat perasaanku campur baur. Jauh dari lubuk hatiku, aku memang berniat untuk menemui Yudhi. Mungkin memang sudah saatnya aku membantunya. Bukankah selama ini Yudhi begitu baik padaku dan juga adik-adikku. Bukankah selama ini, Yudhi selalu ada kapan pun aku membutuhkannya.
Perbuatan Yudhi padaku, memang meninggalkan luka yang dalam. Namun saat ini, tak ada gunanya aku mempertahankan ego-ku. Jika benar Yudhi membutuhkanku saat ini, sudah saatnya aku membalas semua kebaikannya selama ini.
Aku memang kecewa dengan Yudhi. Tapi sejujurnya aku masih menyayanginya.
**************
Aku menatap Yudhi yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia menatap langit-langit kamar rumah sakit itu. Tatapannya terlihat kosong, menerawang tanpa gairah. Kedua kakinya terbalut perban.
Aku merasa tak tega melihatnya. Mataku tiba-tiba berkaca. Ingin rasanya aku menangis saat itu, tapi segera ku tarik napas dan melangkah mendekat.
Mama dan papa Yudhi sengaja membiarkanku masuk sendirian. Aku tiba di rumah sakit sekitar jam tujuh malam. Aku sengaja ijin dari tempat kerja untuk pulang cepat. Seharian pikiranku terasa terganggu. Pikiranku tak pernah lepas dari sosok Yudhi. Segala kenangan tentang kami melintas dengan jelas.
Melihat kondisi Yudhi saat ini, perasaanku semakin tak karuan.
Aku menyentuh lengan Yudhi yang terkulai di samping ranjang. Merasakan hal itu Yudhi menggerakkan kepalanya untuk melihatku. Matanya menunjukkan keterkejutan. Aku menyunggingkan senyum tipis.
"hei..." sapaku ringan.
Perlahan bibir Yudhi mengukir senyum kecut. Matanya menatapku seolah tak percaya.
"maafkan aku, Yud. Aku tidak tahu kalau kamu mengalami semua ini..." aku berujar dengan hati-hati.
Yudhi menyentuh tanganku, kepalanya menggeleng ringan.
"aku... aku... yang seharusnya minta maaf sama kamu, Nur..." suara Yudhi terbata.
"aku sudah bikin kamu kecewa. Aku bukan laki-laki yang baik.." lanjutnya.
"tidak, Yud. Kamu laki-laki baik. Aku yang terlalu egois. Seharusnya aku memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan semuanya." balasku cepat.
Kulihat senyum Yudhi mengembang.
"apa itu artinya, aku masih punya kesempatan untuk menjelaskan semuanya?" tanya Yudhi kemudian dengan nada penuh semangat.
Aku menggeleng beberapa kali. "belum!" jawabku. "aku akan beri kamu kesempatan untuk menjelaskannya, jika kamu sudah pulih." lanjutku. "sekarang aku ingin kamu fokus untuk kesembuhanmu."
"kenapa aku harus sembuh?" tanya Yudhi.
"karena kalau kamu gak sembuh, siapa lagi yang akan mengantar aku pulang setiap pulang kerja.." balasku menatapnya dengan senyum.
************
"makasih ya.." ucap Yudhi sambil menatap tajam ke arahku.
"makasih untuk apa?" tanyaku. Kami duduk di sebuah kafe yang tak jauh dari mini market tempat aku bekerja.
"untuk semuanya. Untuk sudah menemaniku melewati hari-hari sulit ini..." suara Yudhi terdengar bersungguh-sungguh.
Aku mengembangkan senyum. Sudah tiga bulan Yudhi menjalani pengobatan untuk kakinya. Sekarang kakinya sudah mulai pulih. Ia sudah bisa berjalan seperti biasa, meski masih harus menggunakan satu tongkat. Karena kaki kirinya masih belum sembuh total. Namun dengan perawatan dan pelatihan yang optimal, beberapa minggu lagi ia bisa sembuh. Aku turut senang melihatnya.
"maafkan aku ya, Nur.." Yudhi berucap lagi, "aku mau kamu mendengarkan penjelasanku kali ini.." lanjutnya yang membuatku tertunduk.
"aku gak pernah berniat untuk membohongi kamu, Nur." ucap Yudhi pelan. "dari awal aku memang punya rencana untuk menyamar menjadi orang biasa. Saat itu pun aku belum mengenal kamu. Selama ini para wanita mendekatiku hanya karena mereka tahu, kalau aku anak seorang pengusaha kaya. Mereka tak benar-benar mencintaiku. Mereka hanya mengejar hartaku. Aku tak pernah menemukan cinta yang benar-benar tulus. Beberapa kali percintaanku yang gagal, membuatku sedikit takut untuk mendekati perempuan." Yudhi menarik napas.
"hingga akhirnya aku memutuskan untuk berpura-pura menjadi orang susah. Dengan begitu, aku berharap bisa bertemu dengan wanita yang benar-benar bisa menerimaku apa adanya, bukan hanya karena aku anak orang kaya. Sebelum aku jadi tukang parkir di tempat kamu bekerja, sebenarnya aku sudah bekerja di beberapa tempat, dengan menyamar menjadi orang biasa. Namun selama itu, tidak ada seorang wanita pun yang mau mendekatiku. Bahkan ketika aku mencoba mendekati mereka, mereka seakan menjaga jarak dariku."
"sampai akhirnya aku bertemu kamu, Nur. Dari awal aku tahu kamu beda. Kamu terlihat ramah dan tulus. Bahkan saat aku mencoba berkenalan denganmu, kamu menyambutku dengan terbuka. Kamu bisa menerima kehadiranku, tanpa merasa gengsi sedikit pun. Sejak mengenal kamu, aku seakan menemukan kembali kepercayaan diriku yang sempat hilang. Aku mulai percaya, bahwa masih ada ketulusan di dunia ini. Dan aku menemukannya pada dirimu, Nur." Yudhi menarik napas lagi,
"Karena itu aku berusaha untuk semakin mendekatimu. Dan semakin aku dekat, aku semakin jatuh cinta padamu. Saat kamu menerima cintaku, aku semakin yakin, bahwa kamu adalah gadis yang tepat untukku. Bahwa kamu bukanlah seperti kebanyakan wanita yang aku kenal sebelumnya. Kamu bisa menerima apa adanya diriku. Kamu bisa menerima aku, meski kamu tahu, aku hanya seorang tukang parkir. Sejak saat itu, aku bertekad untuk mempertahankan kamu, apa pun resikonya..." Yudhi mengakhiri kalimatnya dengan sebuah hembusan napas berat.
Aku mencoba mencerna cerita Yudhi barusan. Mencoba memahami apa yang telah ia lakukan. Mencoba menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal. Meski bagiku, tetap saja itu semua sebuah kesalahan.
"aku tahu, aku salah. Aku sadar betul, bahwa pada akhirnya, kamu pasti akan tahu yang sebenarnya. Untuk itu aku berencana untuk berbicara jujur padamu, Nur. Namun semakin aku mencoba untuk jujur, semakin aku takut kamu akan meninggalkanku. Sampai akhirnya kamu benar-benar mengetahuinya. Aku disiksa rasa bersalahku, rasa penyesalanku. Aku sudah berusaha untuk meminta maaf sama kamu, Nur. Tapi sepertinya, kamu sudah terlanjur membenciku. Aku menyerah. Aku putus asa. Dan tak punya gairah lagi untuk hidup. Bagiku, hidupku sudah tidak ada gunanya lagi..." Yudhi melanjutkan penjelasannya.
Ia kemudian menyentuh jemariku diatas meja.
"maafkan aku, Nur. Aku ingin kita memulainya lagi dari awal..." ucapnya lembut.
Dan aku terkesiap. Sejujurnya aku masih sangat mencintai Yudhi. Tapi aku tidak yakin, apa aku siap menerima Yudhi kembali. Terutama setelah aku tahu, kehidupan Yudhi yang sebenarnya. Biar bagaimana pun, aku dan Yudhi memiliki kehidupan yang jauh berbeda.
Setulus apa pun aku mencintai Yudhi, orang-orang akan tetap menganggap, kalau aku hanya seorang gadis miskin yang berusaha mendekati Yudhi untuk mengubah kehidupanku....
Sekian..