Ini adalah kisah ku. Kisah nyata yang aku alami dalam perjalanan hidup ku. Sebuah kisah hidup yang sebenarnya enggan untuk aku ceritakan kepada siapa pun. Tapi, aku juga butuh tempat untuk mencurahkan ini semua. Dan disinilah tempat aku menceritakannya.
Nama ku Ayu. Sebut aja begitu.
Aku berasal dari kampung. Aku anak sulung dari lima bersaudara. Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Hidup kami secara ekonomi memang cukup pas-pasan. Karena itu, aku hanya bisa sekolah sampai lulus SMA.
Setelah lulus SMA, aku pun meminta izin kepada orangtua ku, pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Dan dengan berat hati, orangtua ku pun memberi aku izin. Karena biar bagaimana pun, mereka tidak punya alasan, membiarkan aku tetap berada di kampung.
Singkat cerita, aku pun akhirnya pergi merantau ke kota, saat usia ku masih 19 tahun waktu itu. Aku memang punya kenalan di kota, namanya tante Dewi. Dia masih ada hubungan keluarga dengan ibu ku.
Tante Dewi sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Suaminya seorang karyawan di sebuah bank swasta. Hidup mereka cukup mapan. Karena itu tante Dewi mengizinkan aku untuk tinggal sementara di rumahnya, setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan.
Hingga dua bulan kemudian, aku pun diterima bekerja di sebuah mini market. Aku bekerja sebagai kasir di mini market tersebut, dengan sistem kerja di bagi secara shift. Kadang aku masuk kerja pagi, pulang sore, atau masuk kerja sore pulang malam.
Dan karena sudah bekerja, aku pun memutuskan untuk pindah dari rumah tante Dewi. Aku tinggal di sebuah kost yang berada tidak terlalu jauh dari mini market tempat aku bekerja. Setidaknya bisa aku tempuh dengan hanya berjalan kaki.
****
Bertahun-tahun aku bekerja di mini market tersebut. Semua berjalan dengan sangat baik. Aku bisa mengirimkan sebagian gaji ku kepada orangtua ku di kampung, untuk membantu biaya sekolah adik-adik ku, dan juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari.
Kehidupan ku berjalan dengan rutinitas yang sama hampir setiap harinya. Aku mencoba menikmati itu semua. Aku berusaha bekerja sebaik-baiknya, agar aku bisa bertahan hidup di kota besar ini.
Sampai pada suatu kesempatan, aku bertemu dan berkenalan dengan seorang laki-laki. Namanya mas Danang. Kami bertemu dan berkenalan, karena mas Danang sering berbelanja di minimarket tempat aku bekerja.
Mas Danang seorang laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh dari ku. Saat itu aku masih berusia 23 tahun, sedangkan mas Danang sudah berusia 30 tahun lebih.
Awalnya, aku mengenal mas Danang hanya sebagai pelanggan biasa. Namun lama kelamaan, kami menjadi akrab dan dekat. Mas Danang sangat baik padaku. Ia penuh perhatian.
Semakin lama mengenal mas Danang, aku semakin merasa suka padanya. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Apa lagi secara fisik, mas Danang memang cukup menarik. Wajahnya lumayan tampan, dengan postur tubuh yang gagah dan terlihat kekar.
Sampai akhirnya, mas Danang pun mengungkapkan perasaannya padaku. Ia mengaku kalau ia telah jatuh cinta padaku, dan ingin menjalin hubungan yang serius dengan ku.
Dengan perasaan bahagia, aku pun menerima cinta mas Danang waktu itu. Aku menerimanya, karena aku juga mencintainya. Dan kami pun akhirnya berpacaran.
Tak sampai tiga bulan pacaran, mas Danang pun memutuskan untuk segera melamarku. Meski pun sebenarnya, aku belum begitu siap akan hal tersebut, namun mengingat mas usia mas Danang sendiri sudah lebih dari 30 tahun waktu itu, dan karena aku juga sangat mencintai mas Danang, aku pun menyetujui permintaannya tersebut.
Aku mengajak mas Danang untuk menemui orangtua ku di kampung, dan menyampaikan keinginan kami kepada mereka. Tentu saja orangtua ku sangat setuju akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, selama ini, mereka cukup khawatir, melepaskan aku hidup sendirian di kota.
Dengan menerima lamaran mas Danang, dan menikah dengannya, akan membuat kekhawatiran orangtua ku jadi sedikit berkurang, karena aku sudah suami yang akan selalu menjaga ku. Setidaknya begitulah alasan orangtua ku, untuk menerima lamaran mas Danang.
Dan dengan acara yang cukup sederhana, aku dan mas Danang akhirnya menikah. Aku menikah di kampung halaman ku, seperti yang diingingkan orangtua ku.
Mas Danang sendiri adalah seorang yatim piatu, kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Satu-satunya keluarga yang ia punya ialah kakak perempuannya, yang juga sudah menikah dan punya dua orang anak.
Mas Danang bekerja sebagai seorang asisten manger di sebuah perusahaan swasta. Secara ekonomi kehidupan mas Danang memang sudah sangat mapan. Itu juga yang menjadi salah satu alasan, mengapa mas Danang ingin segera menikah.
Setelah menikah, aku dan mas Danang pun tinggal serumah. Sebuah rumah yang mas Danang beli sendiri, dari hasil kerja kerasnya selama ini. Sebuah rumah yang cukup megah, dengan perabot yang lengkap dan mewah.
Meski pun sudah menikah, mas Danang tetap memperbolehkan aku untuk bekerja, seperti biasa. Ia ingin aku tetap punya kesibukan, dari pada hanya berdiam diri di rumah. Karena mas Danang sendiri, juga sibuk bekerja, dan jarang berada di rumah, terutama saat siang hari.
Hingga setahun kami menikah, kami pun di karuniai seorang anak laki-laki. Kebahagiaan kami kian terasa lengkap. Hari-hari kami menjadi lebih bermakna dan penuh warna.
Karena masih tetap bekerja, kami pun memperkerjakan seorang babysitter, untuk menjaga anak kami, saat kami sedang bekerja.
Dan begitulah kehidupan yang kami jalani, selama bertahun-tahun. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku juga masih bisa terus mengirimkan uang kepada orangtua ku di kampung, dan mas Danang sangat mendukung hal tersebut.
****
Lima tahun berlalu, lima tahun usia pernikahan kami. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Anak kami sekarang pun sudah mulai tumbuh besar, sudah empat tahun usianya saat ini.
Namun akhir-akhir ini, aku merasakan ada yang tiba-tiba berubah. Mas Danang yang aku kenal, tidak lagi seperti dulu. Ia jadi jarang pulang. Kalau pun pulang, ia hanya sekedar menengok anaknya, tapi selalu mengabaikan ku.
Akhir-akhir ini, mas Danang jadi sering pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali. Hal tersebut membuat aku mulai merasa curiga dengannya. Ia tiba-tiba saja berubah, tanpa alasan yang jelas. Padahal selama ini, kami bahkan hampir tidak pernah bertengkar sama sekali. Tapi entah mengapa, mas Danang tiba-tiba saja berubah.
Bukan saja jadi jarang pulang, mas Danang bahkan sudah lebih dari lima bulan belakangan ini tidak pernah lagi menyentuh ku. Ia tidak lagi memberikan aku kebutuhan bathin. Ia tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai seorang suami.
Aku pernah mempertanyakan hal tersebut, tapi mas Danang hanya menjawab, kalau ia lagi banyak pekerjaan dan selalu merasa capek, hingga butuh waktu untuk istirahat.
Aku mencoba mengerti akan hal tersebut. Aku mencoba untuk memahaminya. Namun hal itu tetap terus terjadi. Mas Danang semakin tidak peduli dengan ku. Ia seperti sengaja mengabaikan ku. Dan aku merasa tidak dianggap sama sekali.
Aku semakin curiga dengan mas Danang. Ia jadi jarang pulang, tidak pernah lagi memenuhi kebutuhan bathin ku, sebagai seorang istri. Aku mulai berpikir macam-macam tentangnya.
Jangan-jangan mas Danang memang sudah punya perempuan lain di luar sana. Jangan-jangan mas Danang sudah punya simpanan. Karena itu ia jadi jarang pulang.
Sebagai seorang istri, aku pun kembali mempertanyakan hal tersebut kepada mas Danang. Tapi sekali lagi, mas Danang seperti enggan untuk membahas hal tersebut. Ia selalu menghindar, setiap kali aku membicarakan tentang perubahannya itu.
Aku jadi semakin penasaran. Aku benar-benar ingin tahu, apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang membuat mas Danang tiba-tiba berubah?
*****
Karena merasa penasaran dan selalu dihantui perasaan curiga, aku pun memutuskan untuk mulai mencari tahu akan hal tersebut.
Hingga pada suatu malam, saat itu malam minggu. seperti biasa mas Danang pergi dari rumah tanpa berpamitan padaku. Karena itu, aku coba menguntitnya malam itu. Aku ingin tahu, apa yang dilakukan mas Danang di luar rumah, terutama saat malam minggu seperti ini.
Dengan menaiki sebuah taksi, aku mengikuti mobil mas Danang. Aku mengikutinya, dengan tetap menjaga jarak. Karena aku tidak ingin mas Danang tahu. Dan itu pasti akan membuatnya marah.
Aku melihat mas Danang berhenti di depan sebuah gedung apartemen, tapi ia tidak keluar dari mobilnya. Sampai seorang laki-laki mudah menghampiri mobilnya, dan langusng masuk ke dalam mobil mas Danang.
Oh, ternyata aku yang terlalu berprasangka. Itu hanya seorang laki-laki, dan mungkin saja hanya teman kerjanya.
Tak lama kemudian, mobil mas Danang kembali meluncur di jalanan. Aku kembali meminta sopir taksi untuk mengikuti mobil tersebut.
Setelah beberapa saat, mobil mas Danang kembali menepi. Kali ini ia parkir di depan sebuah restoran mewah. Mas Danang turun hampir bersamaan dengan laki-laki temannya tadi. Kemudian mereka pun melangkah masuk ke dalam restoran.
Mungkin mereka sedang membicarakan tentang pekerjaan mereka di restoran ini. Pikir ku membathin.
Aku mencoba menunggu di dalam taksi. Aku masih penasaran, mengapa mereka hanya makan malam berdua? Apa gak ada teman kerjanya yang lain, yang ikut makan bersama mereka?
Aku memperhatikan dari kejauhan. Aku dapat melihat dengan sayup-sayup, mereka berdua duduk saling berhadapan, sambil menikmati makanan mereka. Dan aku juga bisa melihat, kalau mereka mengobrol terlihat sangat akrab.
Setelah lebih dari satu jam menunggu, akhirnya mereka berdua keluar juga dari restoran tersebut. Mereka langsung menuju mobil, dan masuk ke dalamnya. Mobil itu kembali berjalan menuju arah yang berlawanan dari arah mereka datang tadi.
Aku kembali meminta pak sopir untuk mengikutinya lagi. Hingga tak lama berselang, mobil mas Danang kembali berhenti. Kali ini justru di depan gedung sebuah hotel mewah. Yang membuat ku semakin merasa curiga.
Tapi bukankah mas Danang hanya bersama seorang laki-laki? Mungkin saja mereka masih melanjutkan pembicaraan mereka tentang pekerjaan mereka, yang mungkin belum selesai saat di restoran tadi.
Tapi mengapa harus di hotel? Dan ini malam minggu. Sedikit aneh sih, menurut ku.
Mas Danang dan teman lelakinya itu, terlihat turun dengan santai dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju lobi hotel. Aku mencoba turun dari taksi, dan mulai mengikuti mereka dengan pelan. Sambil tetap menjaga jarak, agar tidak terlihat.
Setelah berbicara beberapa saat dengan resepsionis hotel, mereka berdua segera menuju lift hotel tersebut, dan langung masuk ke dalamnya.
Aku pun segera menuju resepsionis tadi. Mencoba mencari tahu, di kamar mana mereka menuju. Meski pun awalnya resepsionis tersebut, enggan memberikan informasi apa pun padaku, tapi setelah aku beri ia sedikit uang, ia pun mengatakan nomor kamar tempat mas Danang dan lelaki itu berada.
Aku menaiki lift dan menuju lantai tempat kamar yang disebutkan resepsionis tadi. Aku segera berada di depan kamar tersebut, yang pintunya sudah tertutup rapi.
Sampai disitu aku ragu, antara ingin mengetuk pintu kamar tersebut atau tidak. Kalau aku mengetuk, pasti mas Danang akan marah padaku, karena sudah menguntitnya sampai kesini. Tapi kalau tidak, aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa.
Akhirnya aku nekat.
Aku ketuk pintu kamar itu dengan pelan. Cukup lama.
Hingga pintu itu pun terbuka sedikit. Seraut wajah muncul di pintu yang terbuka. Seraut wajah laki-laki muda, yang terlihat tampan dan manis.
"iya.. ada apa, mbak?" tanya laki-laki itu ramah.
"hmmm... saya... saya.. mau bertemu mas Danang..." suara ku sedikit tercekat, apa lagi aku lihat laki-laki itu hanya memakai handuk, tanpa baju.
"mas Danang?" raut wajah laki-laki itu sedikit bingung, "maaf.. mbak ini siapa?" tanyanya ragu.
"saya istrinya.." aku berusaha berkata dengan tegas.
Wajah lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Wajahnya berubah pucat pasi. Ia terlihat sangat kaget.
"oh... tunggu sebentar..." ucapnya akhirnya, sambil kembali menutup pintu.
Aku mendengar suara berbisik samar-sama dari dalam. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Mas Danang muncul dari dalam, dengan masih atau telah kembali berpakaian rapi.
"kamu ngapain kesini?" tanya mas Danang kasar, terlihat sekali kalau ia merasa terganggu dengan kehadiran ku di situ.
"kamu menguntit saya?" tanya mas Danang lagi, masih kasar, sambil ia melangkah keluar dan menutup pintu.
"saya... saya..." aku terbata, tak tahu harus mengatakan apa.
"kamu bikin malu saya aja... ayok pulang.." ucap mas Danang kemudian, mengabaikan keterbataan ku.
Mas Danang sedikit menarik tangan ku untuk segera berlalu dari depan kamar tersebut.
"kamu ... kamu ngapain disini malam-malam begini, mas?" tanya ku akhirnya, sambil mencoba mengikuti langkah kaki mas Danang menuju lift.
"sudah aku katakan, aku lagi banyak pekerjaan, dan itu tadi teman kerja ku. Kami sedang membicarakan bisnis. Kamu datang-datang bikin ribut aja..." balas mas Danang, suaranya masih terdengar sangat kesal.
"kalau memang tentang pekerjaan, mengapa harus di hotel? Malam-malam lagi.. Dan kenapa kamu gak lanjut aja? Kenapa harus pulang?" aku meluahkan semua pertanyaan yang ada di pikiran ku saat itu.
"udahlah, kamu gak bakal ngerti.." balas mas Danang tajam, "lagi pula, bagaimana kami melanjutkan urusan kami, kalau kamu tiba-tiba datang mengganggu. Perasaan teman saya jadi tidak enak.. Jadi lebih baik kita pulang sekarang..." lanjut mas Danang masih kasar.
Kami sampai ke luar hotel, lalu kemudian mas Danang terus melangkah menuju tempat parkir.
"saya pulang naik taksi aja.." kali ini suara ku sedikit ketus, karena merasa kecewa dengan sikap mas Danang barusan. Lagi pula, aku jadi malas satu mobil sama mas Danang saat ini. Sikapnya benar-benar aneh. Semua alasannya tidak masuk akal sama sekali.
****
Sejak kejadian malam itu, hubungan ku dengan mas Danang kian berantakan. Kami bahkan sudah tidak lagi saling tegur sapa. Mas Danang juga semakin jarang berada di rumah. Ia semakin mengabaikan ku.
Hingga pada suatu saat, aku terpaksa harus pulang kampung, karena aku mendapat kabar, kalau ibu ku sedang di rawat di rumah sakit. Aku terpaksa pergi malam-malam, karena kondisi ibu yang kian parah.
Aku sempat mengajak mas Danang untuk ikut, tapi ia beralasan kalau ia sedang banyak kerjaan. Aku terpaksa pergi sendiri bersama anak ku. Aku berpamitan kepada mas Danang, karena ia harus tinggal sendiri di rumah.
Di tengah perjalanan aku baru sadar, mungkin karena aku perginya buru-buru, hingga tas ku ketinggalan di dalam kamar. Padahal semua uang dan kartu-kartu ku ada di dalamnya. Aku memang pergi dengan membawa mobil sendiri, sehingga aku terpaksa harus putar arah untuk kembali lagi ke rumah.
Sesampai di rumah aku langsung masuk menuju kamar ku. Aku memang sengaja tak mengetuk pintu, karena aku yakin mas Danang pasti udah tertidur.
Dan sungguh di luar dugaan ku, kalau akan melihat sebuah pemandangan yang membuat hati ku terasa hancur.
Di dalam kamar itu, aku menyaksikan dengan mata kepala ku sendiri, kalau mas Danang sedang bermesraan dengan seorang laki-laki. Laki-laki muda yang aku temui di hotel waktu itu.
Aku benar-benar bagai melihat hantu di siang bolong, rasanya aku hampir tak percaya. Rasanya aku mau pingsan saat itu juga. Aku benar-benar shock melihat itu semua.
Kalau saja, aku melihat mas Danang bersama perempuan lain, mungkin rasa sakit yang aku rasakan tidak akan sepedih ini. Tapi... ini dengan seorang laki-laki... Sungguh tak pernah aku sangka sama sekali. Rasanya begitu sakit dan pedih. Dan aku pun hanya bisa menangis.
Mas Danang tentu saja kaget melihat kedatangan ku yang tiba-tiba. Ia segera berusaha untuk mendekati ku, tapi aku dengan spontan langsung menutup dan menghempaskan pintu kamar itu dengan kasar. Aku segera berlari kembali ke mobil.
Aku masih mendengar suara mas Danang berteriak memanggil nama ku berkali-kali. Tapi aku mengabaikannya. Aku segera masuk ke mobil dan langsung tancap gas, karena memang mesin mobil sengaja tidak aku matikan tadi.
Aku masih bisa melihat lewat kaca spion, kalau mas Danang masih berusaha mengejar ku sampai ke pintu pagar rumah kami. Tapi aku terus saja menancap gas mobil sekencang-kencangnya, meninggalkan mas Danang yang pasti sedang merasa bersalah tersebut. Beruntunglah anak ku sudah tertidur sejak tadi di jok belakang.
****
Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah lagi kembali ke rumah itu. Aku merasa jijik. Perbuatan suami ku benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi. Aku sangat membencinya saat ini.
Aku meminta adik-adik ku untuk mengambil semua barang-barang ku yang berada di rumah tersebut, dan juga semua barang-barang anak ku. Aku tak sudi kembali ke rumah itu. Walau dengan alasan apa pun.
Bertahun-tahun aku hidup bersama mas Danang, bertahun-tahun aku menjadi istrinya. Aku tidak menyangka sama sekali, kalau ia adalah seorang homo.
Kalau saja, ia melakukan semua itu dengan seorang perempuan, mungkin aku masih bisa memakluminya. Dan aku akan dengan rela hati, untuk bersaing dengan perempuan tersebut, untuk mendapatkan kembali cinta mas Danang.
Tapi.. jika aku harus bersaing dengan seorang laki-laki, rasanya hal itu sangat tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak ingin punya suami yang punya pria idaman lain. Aku jijik membayangkan hal tersebut. Aku benci mereka berdua.
Aku akan meminta cerai dari mas Danang, dan aku akan pindah ke kampung halaman ku bersama anak ku. Tidak akan aku izinkan sedetik pun mas Danang untuk menemui anak ku. Aku tidak sudi anak ku punya seorang ayah seperti mas Danang. Tidak akan!
Cukup kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi ku. Aku tidak akan menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Aku juga tidak akan membongkar rahasia mas Danang. Aku hanya ingin bercerai darinya, dan tidak ingin lagi melanjutkan hidup bersamanya.
Semoga aku kuat menjalani semua ini. Semoga aku menemukan jalan yang terbaik dalam hidupku. Dan semoga aku mampu membesarkan anak ku, meski tanpa seorang suami.
Yah.. semoga saja...
****