Aku sungguh tidak rela Ayah ku menikah lagi. Meski pun ibu ku sudah meninggal lebih dari lima tahun.
Cerita-cerita tentang kejamnya ibu tiri selalu membayangi ku. Aku merasa takut. Tapi aku juga tidak mencegah ayah ku untuk menikah lagi, apa lagi kami tiga bersaudara sudah cukup besar-besar.
Aku sendiri, sebagai anak tertua sudah berusia 20 tahun lebih, dan juga sudah kuliah. Adik ku yang nomor dua, juga laki-laki, berusia 17 tahun dan sebentar lagi akan lulus SMA. Sementara adik bungsu ku yang perempuan sudah SMP.
Ayah ku memang seorang pengusaha yang cukup sukses. Kehidupan kami secara ekonomi memang serba berkecukupan. Karena itu juga, ayah ku ingin menikah lagi.
Ayah ku menikah dengan seorang perempuan yang sebenarnya masih cukup muda, sekitar 25 tahun usianya. Namanya Andini. Dia sebenarnya adalah seorang gadis desa, hanya saja dia sudah cukup lama tinggal di kota dan bekerja di perusahaan ayah ku.
Sejak menikah dengan ayahku, Andini pun berhenti bekerja, tentu saja itu atas permintaan ayah ku.
Mereka juga masih tinggal serumah dengan kami. Hal itu tentu saja, membuat kami adik beradik, mau tidak mau, harus membiasakan diri dengan kehadiran Andini di rumah kami.
Andini sebenarnya seorang perempuan yang cukup baik, lembut dan juga lumayan cantik. Mungkin itu juga alasan ayah ku menjadikan Andini sebagai istrinya.
****
Waktu pun terus berputar, tanpa bisa di cegah atau pun di pacu.
Sudah hampir lima bulan, Andini menjadi ibu tiri ku. Sebagai anak tertua, aku pun berusaha untuk bisa menerima Andini sebagai bagian dari hidup kami. Ayah ku juga selalu mengingatkan hal tersebut.
Kehadiran Andini sebenarnya cukup membantu keadaan keluarga kami. Sejak kehilang sosok seorang ibu, lima tahun yang lalu, kehidupan kami adik beradik memang cukup berantakan. Meski pun untuk urusan masak memasak, membersihkan rumah atau sekedar mencuci pakaian, sudah ada pembantu di rumah kami.
Namun untuk urusan kedisiplinan, perhatian, atau sekedar untuk membangun kami di pagi hari, tentu saja sangat sulit kami lakukan sendiri. Dan sejak kehadiran Andini, kami kembali mendapatkan hal tersebut.
Dulu aku pikir, Andini menikah dengan ayahku hanya karena ia mengharapkan harta ayah ku. Namun dari segala perhatiannya kepada kami dan juga kepada ayah, membuat aku mulai sadar, kalau Andini adalah sosok perempuan yang cocok menggantikan ibu. Meski pun usianya terpaut lebih dari 20 tahun dari ayah ku.
Lama kelamaan aku pun mulai terbiasa dengan adanya Andini di rumah kami. Aku juga sudah mulai dekat dengannya. Kami juga sudah mulai memanggilnya Ibu, padahal dulu awal-awal ayah ku menikah dengannya, kami hanya memanggilnya mbak.
Kedekatan ku dengan Andini akhir-akhir ini, tanpa aku sadari, telah mampu menumbuhkan rasa nyaman dalam diri ku. Aku pun semakin sering menghabiskan waktu di rumah, hanya untuk bisa mengobrol bersama Andini.
Andini memang cukup asyik di ajak ngobrol. Dia selalu penuh perhatian setiap kali aku bercerita dengannya.
Dan pelan namun pasti, perasaan ku pun semakin berkembang terhadap Andini. Aku mulai merasa tertarik padanya. Selain karena Andini memang cantik dan juga cukup seksi. Dia juga sangat baik, lembut dan penuh perhatian.
Hingga pada suatu pagi, saat itu hanya ada aku dan Andini di rumah. Adik-adik ku sudah berangkat sekolah, ayah ku sudah berangkat kerja, dan pembantu kami sedang pergi berbelanja ke pasar.
"kamu gak kuliah, Zul?" tanya Andini, saat aku menemuinya di dapur.
Aku hanya menggeleng ringan, sambil mengambil segelas air minum di atas meja makan.
"kenapa?" tanya Andini lagi.
"aku kurang enak badan." jawab ku, sedikit berbohong.
"mungkin masuk angin kali tuh." balas Andini.
"iya, mungkin." jawabku lemah.
"mau saya kerokin gak?" tanya Andini lugas.
Aku menatap Andini penuh tanya. Aku mencoba berpikir sewajar mungkin.
"biasanya kalau ayah kamu masuk angin, dia selalu minta dikerokin sama saya." ujar Andini lagi.
"kalau ibu gak keberatan." ucapku akhirnya.
"ya udah, kamu tunggu aja di kamar kamu, nanti saya kesana." balas Andini kemudian.
Aku pun segera melangkah ke kamar ku. Pikiran ku juga mulai berkelana entah kemana-mana. Membayangkan aku berdua bersama Andini di dalam kamar. Tiba-tiba membuat gejolak jiwa muda ku meronta.
Beberapa menit kemudian, Andini pun masuk ke kamar ku. Dia ternyata juga sudah berganti pakaian. Dia hanya memakai baju daster cukup tipis dan transparan. Untuk sesaat aku terkesima melihatnya. Aku belum pernah melihatnya memakai pakaian itu di luar kamarnya.
Imajinasi liarku semakin menjadi-jadi. Jiwa ku meronta. Aku semakin terpukau.
Dengan peralatan seadanya, Andini pun perlahan melakukan kerokan di punggung ku.
"kamu udah punya pacar?" tanya Andini di sela-sela kerokannya.
"belum." jawabku tertahan.
"sayanglah, ganteng-ganteng kok jomblo." ucap Andini.
"ya.. mau gimana lagi, gak ada yang mau sih sama saya." balasku.
Dan pembicaraan selanjutnya, pun semakin terdengar sangat akrab. Andini bahkan seperti sengaja bercerita hal-hal yang semakin memancing imajinasi ku.
Hingga tanpa sadar, entah siapa yang memulai, semua itu pun terjadi. Kami melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan.****
Sejak kejadian pagi itu. Kami bukannya merasa menyesal, tapi justru kami semakin sering melakukannya. Kami selalu mencari kesempatan untuk kami bisa berduaan di rumah. Bahkan kadang, Andini sengaja menyuruh pembantu kami untuk pergi berbelanja, meski pun perlengkapan dapur masih cukup, hanya untuk agar kami bisa menghabiskan waktu berdua.
Dan hal itu terus terjadi, selama berbulan-bulan. Kami semakin terlena dengan hubungan terlarang kami. Kami hanyut dalam buaian cinta buta di antara kami.
Hingga setelah hampir setahun hal itu terjadi. Tiba-tiba Andini mengakui kalau ia hamil.
Namun kehamilan Andini bukanlah sesuatu yang mencemaskan kami. Karena biar bagaimana pun, Andini adalah istri sah ayahku, jadi wajar kan kalau ia hamil?
Hanya saja sejak kehamilannya, kami jadi jarang punya waktu berdua. Mengingat ayah ku jadi semakin jarang keluar rumah. Ayah ku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, untuk menemani istrinya yang sedang hamil. Hal itu cukup membuat kami, tidak bisa lagi bersama.
Aku mencoba menahan keinginan ku untuk bisa bersama Andini. Aku tak ingin ayahku curiga akan kedekatan kami. Karena itu, aku jadi sering menghabiskan waktu di luar rumah. Aku juga jadi salah pergaulan.
Untuk melampiaskan kekecewaanku, karena tidak bisa bersama Andini. Aku jadi sering berkumpul dengan anak-anak gaul yang suka dugem. Aku juga jadi sering mabuk-mabukan.
Hingga pada suatu saat, aku terjebak. Aku di jebak oleh salah seorang temanku. Yang membuat aku harus berurusan dengan pihak berwajib.
Ayahku pun terpaksa turun tangan untuk membebaskan ku dari jeratan hukum. Aku tak tahu,seberapa banyak uang ayahku habis, untuk bisa membebaskanku. Namun yang pasti, aku sudah bisa kembali ke rumah lagi, setelah di tahan selama beberapa hari.
Namun sebagai hukumannya, ayahku menitipkan pada sebuah pesantren. Untuk aku di didik di sana menjadi orang yang beragama.
Sejak kecil aku dan keluarga memang terbilang cukup jauh dari agama. Kami sangat jarang sekali beribadah. Bahkan sholat saja, hanya kami lakukan setahun dua kali, yakni saat hari idul fitri dan juga hari raya idul adha.
Aku pun tak bisa menolak, keinginan ayah ku tersebut. Aku dengan sangat terpaksa, harus tinggal di pesantren.
Awalnya semua itu sungguh berat bagiku. Aku yang tidak tahu apa-apa tentang agama, dipaksa untuk melaksanakan ibadah, seperti semua orang yang ada di pesantren tersebut.
Aku tidak tahu pasti, apa alasan ayahku sebenarnya memasukkan aku ke pesantren ini. Padahal selama ini, ayahku termasuk orang yang tidak pernah beribadah. Dia juga tidak pernah mengajarkan kami hal itu. Dia hanya sibuk bekerja dan bekerja.
Hari-hari pun berlalu. Aku pun mulai merasa bosan berada di pesantren itu. Mengikuti semua peraturan yang ada disana. Harus bangun sebelum waktu subuh. Harus sholat lima waktu sehari semalam. Aku benar-benar merasa terbelenggu.
Pernah beberapa kali aku coba untuk kabur. Namun orang-orang suruhan ayahku selalu menemukanku dan memaksa ku untuk kembali ke pesantren.
"jika kamu masih mencoba kabur dari sini. Ayah akan minta pihak berwajib yang menangkap kamu dan memasukan kamu ke dalam penjara kembali. Jadi, kamu pilih tinggal di sini atau tinggal di penjara." ancam ayahku akhirnya, saat terakhir kali aku mencoba untuk kabur.
"aku hanya ingin pulang ke rumah, Yah." pinta ku memohon.
"kamu sudah tidak punya tempat lagi di rumah." balas ayah tegas.
"kenapa?" tanyaku lirih.
"karena ayah sudah tahu perbuatan kamu bersama Andini.." suara ayah terdengar berat mengucapkan kalimat tersebut.
"maksud ayah?" tanyaku ragu.
"kamu tidak usah pura-pura tidak paham, Zul. Kamu pikir, untuk apa ayah memasukan kamu ke pesantren ini? Ayah hanya ingin kamu tahu, kalau perbuatan kamu bersama Andini itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan yang tidak akan pernah bisa di maafkan." jelas ayah dengan suara yang bergetar.
Aku tahu, betapa marahnya ayah mengetahui hal tersebut. Dia pasti sangat membenci ku saat ini.
"lalu bagaimana dengan Andini?" tanya ku terbata.
"Andini itu istri ku, dan kamu tidak berhak tahu apa yang terjadi dengannya." balas ayah tajam.
"tapi anak yang dalam kandungannya itu adalah anak ku." ucapku berusaha tegas. Aku hanya takut terjadi sesuatu yang buruk pada Andini.
"sekali lagi ayah tegas kan, Andini itu istri ku. Dan anak yang ia kandung juga berarti adalah anakku." ucap ayah sangat tegas.
Aku terdiam kembali. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku merasa terpukul. Kepalaku rasanya mau pecah. Aku tidak bisa berpikir lagi.
"pokoknya ayah ingin kamu belajar banyak di sini. Dan jika kamu menolak atau mencoba kabur lagi, ayah akan penjara kan kamu." ayah berucap kembali masih dengan suara tegasnya.
****
Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah. Aku mencoba mengikuti keinginan ayahku. Meski pun aku masih merasa penasaran, dengan apa yang terjadi pada Andini, setelah ayahku mengetahui semuany. Bisa saja Andini juga di usir oleh ayah dari rumah.
Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut. Aku coba menjalani hari-hari ku di pesantren ini. Mencoba memulai hidupku yang baru. Semakin lama kau semakin sadar, kalau apa yang aku lakukan bersama Andini, adalah sebuah kesalahan.
Hari-hari yang aku lalui di pesantren ini, yang meski pun awalnya terasa berat bagiku, justru semakin lama semakin membuat aku nyaman. Aku jadi punya teman-teman baru di sini. Aku juga di minta untuk mengajar ilmu-ilmu umum yang aku kuasai. Yang pastinya bukan ilmu agama, karena aku masih sangat awam akan hal itu.
Namun lama kelamaan, aku pun mulai memahami sedikit demi sedikit ilmu agama yang aku dapatkan di pesantren ini. Semakin aku mempelajarinya, semakin aku tertarik untuk mengetahuinya.
Hidupku yang selama terasa hampa, sekarang jadi terasa bermakna. Aku merasa jadi punya tujuan. Dan aku pun mulai bertobat. Memohon ampunan kepada Tuhan, atas dosa-dosa yang telah aku lakukan selama ini. Terutama dosa yang aku lakukan bersama Andini.
Aku mulai memperbaiki diriku, tingkah laku ku dan cara aku berpikir. Aku pun semakin tertarik untuk memperdalam ilmu agama ku.
Bertahun-tahun aku berada di pesantren tersebut. Sekali-kali ayah dan adik-adik ku datang mengunjungiku. Namun tak pernah sekali pun ada Andini di antara mereka.
Aku pun memberanikan diri untuk diam-diam bertanya pada adik laki-laki ku, tentang Andini.
"Ibu ada di rumah, ia sekarang kan lagi sibuk ngurusin adik kecil kita." begitu jelas adik ku pada ku, yang membuat ku menjadi sedikit lega.
Ternyata ayah tetap mempertahankan Andini, meski pun ia tahu Andini telah berbuat salah. Mungkin Andini memang butuh kesempatan kedua, demikian juga aku.
Karena itu, aku pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah ku ke Mesir. Untuk lebih memperdalam ilmu agama ku. Hal itu aku sampaikan kepada ayah. Beliau pun sangat mendukung keputusan ku tersebut.
Aku tahu, ayah mendukung hal itu, karena memang ia tidak ingin aku kembali ke rumah. Aku pun juga tidak ingin lagi kembali ke rumah. Aku harus menjauh dari masa lalu ku, setidaknya sampai aku benar-benar bisa melupakan hal tersebut. Meski pun aku tak yakin, kalau aku akan begitu mudah untuk melupakannya.
Namun yang pasti untuk saat ini, aku ingin pergi sejauh-jauhnya dan belajar lebih banyak tentang Agama, dan juga tentang hidup ini.
****