Kisah cowok kampung part 4 (bersama suami ibu kost)

Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!

Terngiang kembali kalimat itu di pikiranku, saat aku kembali berada di jalanan.

Apa selanjutnya yang akan terjadi dalam perjalanan hidupku?

Bagaimanakah akhirnya aku bisa  menemukan kembali semangat dalam hidupku?

Simak kisahku selanjutnya kali ini ya..

Cerpen sang penuai mimpi

Dan seperti biasa, saya kembali ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh subscriber setia saya. Terima kasih atas kesetiaannya, terima kasih atas segala motivasi, dukungan, saran dan masukannya.

Terima kasih udah mampir, udah like, udah komen dan sudah share video ini.

Bagi yang baru mampir, jangan lupa untuk subscribe channel ini dan klik tanda lonceng, untuk menyaksikan video-video menarik lainnya.

Selamat menikmati dan semoga terhibur..

Salam sayang untuk kalian semua..

****

Aku melangkah gontai menelusuri trotoar. Hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang mengiringi langkahku.

Aku melangkah dalam kegelapan malam, tanpa arah dan tujuan. Aku tidak tahu harus kemana lagi.

Aku tidak punya banyak teman di kota ini. Ada beberapa teman kuliah dan juga teman kerja-ku, tapi aku tidak begitu dekat dengan mereka.

Satu-satunya yang ingin aku lakukan saat ini ialah mencari kost-kost-an untuk aku tinggal sementara waktu.

Beruntunglah uang simpanan ku masih cukup untuk aku bertahan hidup setidaknya satu atau dua bulan ke depan, sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan.

Aku tidak mungkin kembali ke kampung, ayah pasti akan memarahi ku habis-habisan, terlebih jika ia tahu kalau aku telah berhenti bekerja.

Aku harus tetap berjuang di kota ini, aku harus tetap kuliah. Aku harus tetap kuat, meski aku sendiri tidak tahu, bagaimana akhirnya kisah ku ini.

Karena sudah cukup larut, aku akhirnya memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di teras sebuah ruko yang kosong. Aku berusaha menahan rasa laparku.

Meski aku masih punya uang untuk membeli makanan, namun aku harus belajar berhemat.

Karena merasa lelah dan juga karena pikiran ku yang kacau, aku akhirnya bisa tertidur. Walau aku lebih sering terbangun, karena banyak nyamuk yang mengganggu.

Hingga akhirnya pagi pun datang, aku memutuskan untuk pergi ke kampus dulu, baru nanti mencoba mencari tempat kost.

Di kampus aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, lalu kemudian pergi ke kantin untuk sarapan.

"kamu tahu ada tempat kost yang murah gak di dekat-dekat sini?" tanyaku pada Radit, salah seorang teman kampusku, sambil kami sarapan bersama.

"kalau yang dekat-dekat sini banya, Sab. Tapi kalau cari yang murah agak susah.." balas Radit.

"kalau pun ada yang murah, pasti fasilitasnya kurang lengkap dan juga terkesan jorok.." lanjut Radit lagi.

"saya gak masalah soal fasilitas atau pun kebersihannya, yang penting saya bisa tinggal sementara." ucapku kemudian.

Radit menatapku sekilas, lalu kemudian menyebutkan beberapa tempat kost murah yang berada di sekitaran kampus.

Sepulang kuliah, aku segera menuju tempat-tempat kost yang Radit sebutkan tadi.

Tempat pertama yang aku datangi memang cukup murah, tapi semua kamar terisi penuh.

Aku pun melanjutkan ke tempat berikutnya.

"ada sih satu yang kosong, tapi tempatnya paling pojok. Dan juga kamarnya sedikit kecil dari yang lain, tapi harganya murah, kok." ucap seorang ibu paroh baya, yang aku ketahui adalah pemilik kost tersebut.

"gak apa-apa, buk. Yang penting saya bisa tinggal di sini.." balasku ringan.

"ya udah, mari kita lihat kamarnya.." balas ibu itu.

Kami pun berjalan beriringan menuju kamar kost paling pojok tersebut. Kamar itu memang sedikit sempit, dan terkesan jorok, karena sudah lama tidak di tempati.

"beginilah kamarnya, Nak. Nanti saya minta suami saya untuk membersihkannya, kalau kamu memang bersedia tinggal di sini.." ibu itu berujar, sambil memungut beberapa sampah yang berserakan di dalam kamar itu.

"iya, buk. Saya mau.." balasku, meski hatiku sendiri tidak begitu yakin. Namun selain karena aku sudah tidak punya banyak pilihan, harga sewa kamar ini juga murah.

"baiklah, nak. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Nanti aku suruh suami ku datang ke sini, untuk membersihkannya.." ucap ibu itu lagi, lalu kemudian ia pun segera berlalu.

Sambil menunggu suami ibu tersebut datang, aku mencoba membersihkan kamar tersebut.

Dan beberapa menit kemudian, seorang bapak-bapak, yang ku perkirakan adalah suami ibu kost tadi, pun datang.

"nama kamu siapa?" tanya bapak tersebut, sambil ia mulai membantu ku membersihkan kamar tersebut.

"Sabri, pak." jawab ku singkat.

"Nama saya Alim, panggil aja pak Alim. Saya suami dari ibu pemilik kost ini. Kalau nama istri saya itu, biasa di panggil buk Rana.." ucap laki-laki itu cukup ramah.

"iya, pak." balasku berusaha sopan.

"sebenarnya kamar ini sudah sangat lama tidak di huni. Tapi kata ibuk, kamu sangat membutuhkan tempat kost dengan harga yang murah, makanya ia bersedia untuk menyewakan kamar ini.." jelas lelaki itu lagi.

Setelah hampir setengah jam, kamar itu pun akhirnya selesai kami bersihkan. Tak lama kemudian, buk Rana, si pemilik kost datang dengan membawa minuman dingin untuk kami.

"makasih, buk.." ucapku sambil menerima sebotol minuman dingin dari buk Rana.

Setelah memberikan minuman tersebut, buk Rana segera pamit dari situ. Sementara pak Alim, suaminya, masih terduduk di lantai kamar, sambil meminum minuman yang tadi di berikan istrinya.

Pak Alim kelihatan sangat lelah setelah membersihkan kamar tersebut.

Pak Alim memang sudah cukup tua, setidaknya kalau aku perkirakan usianya sudah mencapai 48 tahun.

Tapi ia masih kelihatan sehat dan bugar. Meski pun berperut sedikit buncit, namun tubuh pak Alim cukup kekar. Wajahnya juga masih kelihatan tampan.

"kamu kuliah atau kerja?" tanya pak Alim berbasa-basi.

"saya kuliah, pak. Tapi saya juga berencana ingin mencari pekerjaan paroh waktu, untuk biaya kuliah.." jawabku jujur.

"oh.." pak Alim membulatkan bibir, "jadi sebelumnya kamu kerja dimana?" tanyanya kemudian.

"saya sebelumnya sempat kerja di supermarket, pak. Tapi karena jadwal kerja saya yang selalu bentrok dengan jadwal saya kuliah, saya akhirnya di pecat.." jawabku sedikit berbohong.

Untuk selanjutnya pak Alim pun mempertanyakan beberapa pertanyaan basa-basi padaku. Ia pun sedikit bercerita tentang dirinya.

Ternyata pak Alim bekerja sebagai seorang sopir angkot. Namun saat ini, pekerjaannya tersebut sudah tidak bisa ia andalkan, karena sekarang orang-orang lebih memilih untuk memakai jasa ojek online atau pun taksi online.

"karena itu, sekarang saya lebih sering berada di tempat kost ini, untuk membantu istri saya.." ucap pak Alim terdengar lesuh.

"saya dan Rana, istri saya tersebut, sudah menikah lebih kurang dua puluh tahun. Tapi sampai saat ini kami belum punya keturunan.." cerita pak Alim lagi.

"sebenarnya tempat kost ini adalah milik orangtua istriku, tapi sejak kedua orangtuanya meninggal, istri ku lah yang mengelola tempat ini. kebetulan ia juga anak tunggal.." lanjutnya.

"rumah yang kami tempati sekarang juga rumah peninggalan orangtua istriku..." pak Alim terus saja bercerita.

Aku tidak tahu, kenapa pak Alim menjadi begitu terbuka padaku, padahal kami baru saja saling kenal.

Tapi aku juga merasa senang mendengar cerita pak Alim. Setidaknya aku jadi punya teman untuk bercerita.

Rumah pak Alim memang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kost ini. Tepatnya rumah itu berada di depan kost. Di rumah itu, pak Alim juga membuka usaha warung harian.

Karena tidak punya keturunan, sepertinya buk Rana dan pak Alim memang sengaja mencari banyak kesibukan. Padahal kalau hanya untuk biaya hidup mereka berdua, aku rasa uang hasil sewa kost ini sudah jauh lebih dari cukup.

Jumlah kamar kost milik buk Rana ada sekitar dua puluh kamar, dan semua kamar sudah terisi. Jelas penghasilannya juga lumayan banyak. Tapi pak Alim tetap menarik angkot, dan juga membuka warung harian.

*****

"kamu udah dapat pekerjaan?" tanya pak Alim beberapa hari kemudian. Sore itu tiba-tiba ia muncul di depan kamar kost-ku.

"belum, pak." jawabku terdengar lemah, sambil sedikit menggeleng.

"saya punya tawaran pekerjaan buat kamu, tapi itu pun kalau kamu bersedia.." ucap pak Alim kemudian, kami duduk di ambang pintu kamar kost tersebut.

"pekerjaan apa, pak?" tanyaku sedikit bersemangat. Tak ku sangkan kalau pak Alim akan begitu perhatian padaku.

"jadi saya sudah memutuskan untuk berhenti menarik angkot." ucap pak Alim pelan.

"sebenarnya sudah sejak lama istri saya meminta saya untuk berhenti menjadi supir angkot, tapi selama ini saya selalu menolak. Tidak mudah bagi saya melepaskan pekerjaan yang sudah puluhan tahun saya jalani."

"saya menjadi supir angkot sejak saya masih lajang. Tapi sekarang saya sudah tidak bisa lagi, karena selain penumpang sudah mulai sepi, juga karena mata saya sudah tidak awas lagi.." lanjut pak Alim.

"jadi saya setujui permintaan istri saya untuk berhenti. Karena saya ingat kamu butuh pekerjaan, makanya saya dan istri sepakat untuk memberikan angkot tersebut sama kamu. Hitung-hitung dari pada angkot tersebut, hanya nonggok di rumah aja.." jelas pak Alim lagi.

"kamu tak usah terlalu memikirkan soal setorannya. Yang penting kamu jaga dengan baik angkot tersebut. Kamu mau, kan?" lanjut pak Alim bertanya.

"iya, saya mau, pak. Tapi... saya belum punya SIM." jawabku akhirnya.

"gampang. Itu bisa di urus, yang penting kamu mau.." balas pak Alim.

"iya, pak. Saya mau.." balasku mengulang.

Aku memang merasa beruntung bisa bertemu orang sebaik pak Alim. Padahal aku sudah mulai bingung untuk mencari pekerjaan.

"kamu bisa menarik angkot sebelum berangkat kuliah dan juga setelah pulang kuliah, jadi kuliah kamu gak terganggu.." ucap pak Alim lagi.

"iya, pak. Makasih banyak ya, pak. Pak Alim sudah sangat baik padaku, padahal kita baru saling kenal.." ucapku kemudian.

"udah.. kamu santai aja. Karena kami tidak punya anak, kamu bisa anggap kami seperti orangtua sendiri. Anak-anak kost yang lain juga gitu, kok. Malahan ada beberapa anak kost yang gak segan-segan makan di rumah kami. Tapi kami senang, kok. Bisa dekat dengan anak-anak kost kami." pak Alim berucap sambil menyentuh pundakku.

"iya, pak. Sekali lagi terima kasih. Sampaikan juga ucapan terima kasih saya sama Buk Rana.." balasku terdengar sendu.

"iya, nanti bapak sampaikan." ucap pak Alim lembut, "nanti juga kalau kamu ada perlu apa-apa, kamu bilang aja sama bapak atau ibuk. Kalau kamu butuh pinjaman uang, kami pasti bantu, kok. Atau kalau kamu mau makan dan mandi di rumah kami juga boleh.." lanjut pak Alim, sambil perlahan ia menurunkan tangannya.

Terus terang saya merasa cukup terharu mendengar kalimat pak Alim barusan. Tak ku sangka aku akan bertemu dengan orang sebaik pak Alim dan buk Rana.

Aku memang sering melihat keakraban buk Rana mau pun pak Alim dengan para penghuni kost lainnya.

Meski pun semua penghuni kost ini adalah laki-laki, tapi suasana kekeluargaan sangat terlihat jelas, karena pak Alim dan buk Rana yang penuh perhatian kepada seluruh anak kost-nya.

Aku seakan menemukan sebuah keluarga baru di sini. Anak-anak kost yang lain juga sangat baik padaku.

****

Seminggu kemudian, aku pun mulai bekerja sebagai seorang supir angkot. Pak Alim sudah membantuku untuk mendapatkan SIM.

Walau aku merasa kagok awalnya, karena aku belum punya pengalaman apa-apa menjadi seorang supir. Tapi lama kelamaan aku pun mulai terbiasa melakukan hal tersebut.

Beruntunglah dulu waktu di kampung, salah seorang temanku yang punya mobil sempat mengajari ku untuk menyetir mobil.

Aku mulai terbiasa mengelilingi kota, untuk mencari penumpang, setidaknya setiap pagi sebelum kuliah dan siang sampai malam sepulang kuliah.

Meski pun tidak banyak penumpang yang aku dapatkan setiap harinya, tapi setidaknya aku masih punya penghasilan. Dan setiap kali aku ingin menyetor pendapatanku kepada pak Alim, ia selalu menolak.

"kamu gunakan aja uangnya untuk biaya kuliah kamu.." begitu selalu alasan pak Alim, menolak setoranku.

"lagian hasilnya juga gak seberapa kan? Kalau kamu harus nyetor juga, pasti uangnya tidak akan cukup buat biaya kuliah kamu..." lanjut pak Alim.

"terima kasih banyak ya pak Alim. Saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih pada pak Alim, saya tidak tahu bagaimana membalas semua ini.." ucapku akhirnya dengan nada lirih.

"kamu tidak usah terlalu memikirkan hal tersebut, yang penting kamu kuliah aja dengan baik, supaya nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.." balas pak Alim lagi.

Aku terdiam kembali. Aku merasa pak Alim dan istrinya sudah terlalu baik padaku. Aku tahu, karena mereka yang tidak punya anak, membuat mereka jadi perhatian padaku.

Tapi tetap saja aku merasa berhutang budi kepada mereka.

****

Dua bulan berlalu, aku semakin mahir memerankan peranku sebagai seorang sopir angkot. Penghasilan ku juga cukup lumayan. Setidaknya cukuplah untuk biaya aku hidup dan juga untuk biaya aku kuliah.

Hubunganku dengan pak Alim juga semakin dekat dan akrab. Hubungan kami sudah seperti anak dan ayah.

Namun beberapa hari belakangan ini, aku mulai merasa ada yang aneh dengan sikap pak Alim padaku.

Ia sering datang ke kost-ku malam-malam dengan membawa beberapa makanan ringan dan juga minuman.

Awalnya pak Alim hanya bercerita seperti biasa padaku.

Namun pada suatu malam, pak Allim tiba-tiba berucap padaku, "saya suka sama kamu, Sabri.."

Pelan suara itu, tapi mampu membuatku menatapnya tajam dengan tatapan penuh tanya.

"saya suka sama kamu. Saya sayang sama kamu. Bukan sebagai anak, tapi lebih dari itu. Aku mencintai kamu, Sabri. Apa kamu mau. menjalin hubungan cinta sama saya?" pak Alim melanjutkan, tanpa pedulikan reaksi keterkejutan saya.

Aku bak mendengar suara petir di siang hari, ketika mendengar semua itu. Meski pun aku juga seorang gay, dan bahkan sudah beberapa kali terlibat cinta sesama jenis. Tapi tetap saja aku merasa tidak percaya, kalau pak Alim akan berkata demikian.

Ini semua sungguh di luar dugaanku. Bagaimana mungkin pak Alim yang terlihat gagah itu ternyata adalah penyuka sesama jenis?

Lalu apa bedanya pak Alim dengan laki-laki yang pernah aku temui sebelumnya? Om Zainan? Pak Anwar? atau Indra, putra tunggal pak Anwar?

Kenapa aku selalu di pertemukan dengan laki-laki penyuka sesama jenis?

Padahal aku sudah bertekad dalam hatiku, kalau aku akan berubah. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam dunia pelangi itu.

Tapi sekarang aku justru di pertemukan dengan pak Alim. Laki-laki yang aku sangka awalnya, akan jadi penyelamatku, tapi ternyata ia hanya memanfaatkan keterpurukanku.

Untuk menolak pak Alim, jelas itu bukan hal yang mudah. Biar bagaimana pun, pak Alim sudah sangat banyak membantuku.

Tapi jika aku tetap menerimanya, itu artinya niatku untuk berubah tidak akan terwujud. Dan lagi pula aku takut, kejadian yang sama bisa terulang kembali.

Terlintas di benakku kejadian saat aku di pergoki tante Ratna sedang asyik-asyik dengan om Zainan, suaminya.

Bisa jadi kalau aku juga menjalin hubungan dengan pak Alim, nanti juga akan dipergoki oleh buk Rana, istrinya.

Bagaimana kalau hal itu terulang lagi? Kebetulan, nama mereka berdua juga hampir sama.

Ratna dan Rana.

Hal ini justru membuatku kian dilema.

Aku juga tidak ingin kehilangan pekerjaanku saat ini. Tidak mudah menemukan pekerjaan di kota ini. Di tambah lagi jika aku menolak keinginan pak Alim, aku pasti akan di usir dari tempat kost dengan berbagai alasan.

Ahk, aku jadi bingung. Aku harus bagaimana menghadapi semua ini?

Haruskah aku menerima tawaran dari pak Alim, dengan resiko yang sangat besar?

Atau haruskah aku menolaknya dengan resiko yang juga hampir sama besarnya?

Tunggu jawabannya di kisah selanjutnya ya..

****

Rahasia cinta Zaky 2 (kehadiran orang ketiga)

Jerman adalah negara tujuan saya. Meski dari awal aku tidak pernah bercita-cita untuk kuliah di luar negeri.

Tapi aku pergi hanya untuk melarikan diri, menghindar dari sebuah kenyataan.

Ya, akhirnya aku memutuskan untuk pergi.

Aku tak sanggup lagi menyaksikan kemesraan hubungan Nelson dan Dhena.

Cerpen sang penuai mimpi

Nelson adalah sahabat ku sejak kecil, dan beriring berjalannya waktu, aku pun jatuh cinta padanya.

Namun tidak bagi Nelson, ternyata ia hanya menganggapku sebagai sahabat dan memutuskan untuk berpacaran dengan seorang gadis adik kelas kami, namanya Dhena.

Nelson dan Dhena memang pasangan yang cocok, jauh lebih cocok jika dibandingkan dengan aku dan Nelson.

Tapi sebagai orang yang sudah terlanjur jatuh cinta pada Nelson, tentu saja aku tidak rela jika ia menjadi milik orang lain.

Namun sebagai sahabat aku berusaha untuk selalu mendukung hubungan mereka. Meski hatiku sakit karenanya. Dan aku merasa hancur.

Nelson sempat tidak setuju dengan keputusan ku untuk kuliah ke luar negeri, tapi aku tetap tak peduli.

Aku tidak ingin menghabiskan waktu hanya untuk menyaksikan orang yang aku cintai berbahagia dengan orang lain.

Aku tidak menyalahkan Nelson apa lagi membencinya. Tapi aku juga tidak bisa terus berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Dan dengan pergi, aku berharap aku bisa memupus segala rasaku pada Nelson.

*****

Sudah sebulan aku berada di Jerman. Menjalani kehidupan baruku. Bertemu dengan orang-orang baru dan lingkungan baru.

Memang tidak mudah bagiku untuk beradaptasi, apa lagi ini negara asing. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin kembali ke Indonesia.

Di Jerman akhirnya aku bertemu dengan Fido, lelaki yang juga berasal dari Indonesia dan sudah dua tahun bekerja di Jerman.

Fido bekerja sebagai seorang delivery driver atau pengantar makanan di sebuah restoran mewah.

Aku bertemu dan berkenalan dengan Fido karena kebetulan tempat tinggal kami berdekatan, dan juga aku pernah memesan makanan di restoran tempat Fido bekerja, dan Fido yang mengantarnya ke alamat ku.

Karena tahu, kalau kami sama-sama orang Indonesia, membuat kami jadi cepat akrab.

Fido tidak terlalu tampan, meski juga tidak bisa di bilang jelek. Badannya bagus, terkesan atletis dan macho.

Sebenarnya Fido juga seorang mahasiswa di Jerman, tapi karena sudah lama tinggal di Jerman, ia jadi bisa bekerja di sana.

Fido sudah berumur dua puluh dua tahun, empat tahun lebih tua dariku.

Sebagai orang yang baru pindah ke Jerman dan baru saja mulai kuliah, kehadiran Fido cukup membantu, untuk aku lebih mengenal daerah tempat aku tinggal.

Dan beriring berjalannya waktu, aku dan Fido kian akrab dan dekat. Fido semakin sering datang ke tempatku, begitu juga sebaliknya.

Kedekatan ku dengan Fido perlahan mulai bisa membuatku menghapus bayangan Nelson dalam pikiranku. Meski harus aku akui, kalau aku masih mencintainya.

"aku suka sama kamu, Zaky.." ucap Fido cukup blak-blakan.

Meski pun kami sudah dekat dan akrab, namun ungkapan Fido barusan, mampu membuatku sedikit kaget dan setengah tak percaya.

"maksud kamu?" tanyaku sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau aku tidak salah dengar.

"aku suka sama kamu. Aku jatuh cinta sama kamu, bahkan mungkin sejak pertama kali kita bertemu.." balas Fido, yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Fido memang terdengar blak-blakan, tapi ia terlihat serius.

Aku justru jadi bingung dengan semua itu. Biar bagaimana pun, sampai saat ini di dalam hatiku hanya ada nama Nelson.

Namun kehadiran Fido tidak bisa aku abaikan begitu saja. Fido cukup menarik secara fisik, dia juga orang yang baik. Dia sering membantuku selama di sini.

Tapi aku belum merasakan perasaan apa-apa padanya, selain menganggapnya sebagai teman baruku.

Aku merasa takut untuk menolak Fido. Aku takut, jika aku menolaknya, ia akan menjauh dariku, padahal saat ini aku masih membutuhkannya. Fido temanku satu-satunya saat ini. Apa lagi aku berada negara asing.

Aku memang punya teman selain Fido, tentu saja yang berasal dari Jerman dan juga negara-negara lainnya. Tapi dengan Fido aku lebih merasa nyaman, selain karena kami berasal dari negara yang sama, aku juga merasa Fido terlalu baik.

"kalau kamu gak bisa jawab sekarang gak apa-apa, Zak. Aku gak bakal nuntut, kok." ucap Fido kemudian, melihat aku yang hanya terdiam.

Aku menatap sekilas ke arah Fido, menatap matanya yang sendu, penuh pengharapan.

"sebenarnya... sebenarnya aku punya seseorang yang aku cintai di Indonesia, Do. Tapi selama ini aku hanya memendamnya.." ungkap ku akhirnya setelah kami terdiam beberapa saat.

Kemudian aku pun menceritakan kisahku. Kisahku yang telah jatuh cinta kepada Nelson, sahabatku sendiri. Sebuah kisah yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

"jadi kamu ke sini, hanya untuk menghindar dari orang yang kamu cintai?" tanya Fido kemudian, setelah aku mengakhiri cerita ku.

Aku mengangguk ringan, meski aku sendiri tidak tahu pasti apa alasan ku yang sebenarnya.

******

Meski aku belum memberi jawaban apa-apa pada Fido, namun hubungan ku dan Fido justru semakin erat. Fido bahkan tidak segan-segan untuk sekedar mendekapku diam-diam.

Fido juga cukup berani untuk sering-sering menginap di tempat ku, meski sampai saat ini belum terjadi apa-apa di antara kami.

Fido selalu bersikap mesra kepada ku, seolah-olah ia menganggap kalau aku adalah kekasihnya.

Hubungan kami sudah menjadi seperti teman tapi mesra.

Aku tidak pernah mempermasalahkan sikap Fido tersebut, aku justru menikmati hal tersebut.

Entah mengapa aku justru merasa nyaman saat Fido memperlakukan ku dengan mesra dan penuh kasih sayang.

"maaf, Do. Aku belum bisa.." ucapku tertahan, ketika suatu malam Fido mencoba menciumi ku.

Fido memperlihatkan raut wajah kecewa nya.

Tapi aku memang belum bisa, bayangan wajah tampan Nelson masih terus menari-nari di benak ku.

Meski telah berbagai cara Fido lakukan untuk membuatku terkesan, aku masih saja belum bisa menerima kehadiran Fido sebagai seorang kekasih.

*****

"aku kangen kamu, Zak." lembut suara itu, suara seorang laki-laki yang hampir setahun ini aku coba menghapusnya.

Ya, Nelson akhirnya datang menemuiku, setelah setahun aku tinggal di Jerman ini. Setelah setahun, aku berusaha melupakannya. Setelah kehadiran Fido perlahan mulai membuatku merasa nyaman.

Nelson datang tiba-tiba. Menurut ceritanya dari awal, ia sudah tahu keberadaanku sejak lama dari mama ku tentunya.

Namun baru sekarang ia memberanikan diri untuk datang.

"setelah kamu pergi, aku merasa kesepian, Zak. Kehadiran Dhena tidak mampu menggantikan apa-apa tentang mu, Zak, Aku sangat membutuhkan kamu.." lanjut Nelson lagi.

"aku juga sudah memutuskan hubungan ku dengan Dhena, karena aku sebenarnya tidak bahagia dengan hubungan tersebut. Dan aku juga sudah memutuskan untuk pindah kuliah ke sini, Zak. Agar aku bisa selalu bersama kamu.." Nelson masih terus berucap.

Sementara aku masih terdiam. Aku masih tak percaya, kalau Nelson akan menyusul ku ke sini.

Aku bahagia bisa bertemu Nelson lagi. Tapi aku sedikit khawatir, karena kehadiran Nelson di sini, tentu saja akan menghambat perkembangan hubungan ku dengan Fido.

Padahal aku sudah berjanji dalam hatiku, akan belajar untuk bisa mencintai Fido.

Dengan adanya Nelson di sini, aku akan semakin berat untuk bisa melupakannya, dan tentu saja aku harus menjaga jarak dari Fido, agar Nelson tidak mencurigai hubungan kami.

Nelson ternyata sudah mengurus segala sesuatunya untuk pindah, dan dia menetapkan untuk tinggal bersama ku.

"karena dengan begitu, kita bisa terus bersama-sama setiap harinya, Zak. Dan selain itu, juga untuk menghemat biaya.." begitu alasan Nelson, saat aku mempertanyakan kenapa ia harus tinggal bersamaku.

Sebagai sahabat, tentu saja aku tidak bisa menolak, apa lagi kata Nelson hal itu juga telah ia bicarakan dengan mamaku.

****

"Nelson!" tegas suara itu, ketika akhirnya ia aku perkenalkan kepada Fido.

"Fido.." balas Fido lebih tegas lagi.

Aku menatap mereka berdua dengan perasaan penuh dilema.

Biar bagaimana pun, Fido sudah tahu tentang bagaimana perasaanku pada Nelson. Hal ini tentu saja membuat Fido merasa kurang nyaman saat bertemu Nelson.

"jadi itu pria yang selama ini kamu puja-puja? Pria yang membuat aku jadi sulit untuk masuk ke hati kamu?" bisik Fido bertanya, saat kami punya kesempatan untuk ngobrol berdua.

Aku hanya mengangguk ringan. Aku juga tidak tahu harus mengatakan apa.

Sejak saat itu, sikap Fido pada ku pun berubah. Ia tak lagi pernah mesra, bahkan cenderung terlihat lebih sering diam. Fido juga jadi jarang datang ke tempat ku.

Entah mengapa aku jadi merasa kehilangan dia. Hari-hari yang aku lewati bersama Fido setahun belakangan ini, cukup memberi warna dan kesan tersendiri dalam hatiku.

Tiba-tiba saja aku merindukan kemesraannya. Tiba-tiba saja aku merindukan gurau canda dan juga pujian-pujian cintanya padaku.

Ah, aku jadi semakin dilema. Perasaanku menjadi semakin kacau.

Kalau saja, Nelson tidak datang ke sini, menyusulku. Mungkin aku dan Fido bisa saja jadian. Mungkin aku bisa saja melupakan sosok Nelson.

"kamu kenapa sering melamun, sih?" tanya Nelson mengagetkan ku tiba-tiba.

Nelson memang tinggal bersamaku, kami tinggal sekamar dan juga tidur seranjang. Hal ini membuat aku jadi sedikit tidak punya privacy.

Namun harus aku akui, kalau aku suka tidur seranjang bareng Nelson. Aku bahagia bisa bersama Nelson lagi.

Tapi aku merasa sedikit tidak nyaman, karena perasaan cintaku kepada Nelson, membuatku jadi sering salah tingkah, apa lagi jika melihat Nelson bertelanjang dada.

"kamu gak suka, kalau aku tinggal bersama kamu?" tanya Nelson lagi, yang melihat aku masih terdiam.

Aku menatap wajah tampan Nelson untuk ke sekian kalinya. Jika dibandingkan dengan Fido Nelson memang jauh lebih tampan.

"kamu ngomong apa sih, Nel. Aku malah senang kamu akhirnya memutuskan untuk tinggal bersamaku.." jawabku jujur.

Nelson tiba-tiba memiringkan tubuhnya menatapku.

"kamu dengan Fido ada hubungan apa?" tanyanya tiba-tiba.

"gak ada hubungan apa-apa. Kami hanya berteman. Emangnya kenapa?" balasku sambil bertanya.

"gak kenapa-kenapa, sih. Aku perhatiin, sejak aku berada di sini, Fido jadi jarang datang ke sini. Kamu juga jadi sering melamun.." Nelson menjawab, sambil ia kembali menelentangkan tubuh kekarnya.

"emangnya kalau aku punya hubungan khusus dengan Fido, kenapa?" tanyaku mencoba memancing perasaan Nelson yang sebenarnya.

"kamu jangan macam-macam deh, Zak. Aku jauh-jauh nyusul kamu ke sini, kamu malah bersama orang lain.." suara itu terdengar sedikit ketus.

"kita kan cuma sahabat, Nel. Kamu gak bisa dong melarang aku untuk dekat dengan siapa pun.." balasku lagi masih mencoba untuk memancing perasaannya.

"karena itu, Zak. Karena kita bersahabat terlalu dekat. Aku jadi tidak bisa mendefenisikan perasaanku yang sebenarnya kepada kamu.." ucap Nelson mulai lembut.

"aku sayang sama kamu, Zak. Tapi aku tidak tahu rasa sayang seperti apa sebenarnya yang aku rasakan untuk kamu. Namun yang pasti aku selalu merasa nyaman saat bersama kamu." lanjut Nelson, yang membuatku jadi punya sedikit harapan.

"lalu bagaimana dengan Dhena dan cewek-cewek lain yang pernah kamu cerita kan padaku dulu?" tanyaku masih terus memancing kejujuran Nelson.

"aku mendekati cewek-cewek itu, hanya untuk memastikan perasaanku yang sebenarnya. Aku pikir aku bisa jatuh cinta pada mereka. Tapi kenyataannya, yang ada dalam pikiranku cuma kamu, Zak."

"aku juga ingin tahu reaksi kamu, saat aku cerita soal cewek dan aku bahkan mencoba jadian dengan Dhena, hanya supaya kamu bisa cemburu. Tapi nyatanya kamu malah biasa saja." jelas Nelson panjan lebar.

Aku kembali menatap cowok tampan itu, sekedar meyakinkan bahwa Nelson tidak sedang mengarang cerita.

"setelah kamu pergi, aku baru sadar, kalau aku ternyata sangat membutuhkan kamu. Dan lebih parahnya, aku ternyata telah jatuh cinta padamu, Zak. Namun karena yang telah pergi dan sepertinya tidak menginginkanku, aku justru belajar untuk melupakan kamu.." Nelson melanjutkan.

"tapi semakin aku mencoba melupakanmu, semakin bayangan mu kerap hadir menghiasi mimpiku. Aku tidak bisa memungkirinya lagi. Aku mencintai kamu, Zak. Karena itu, aku memutuskan untuk menyusul kamu ke sini.." lanjut Nelson lagi.

Terus terang aku merasa bahagia mendengar semua itu. Tapi di sisi lain, ada rasa bersalah yang aku rasakan untuk Fido. Meski selama ini, aku tidak pernah memberi harapan apa-apa pada Fido. Dan lagi pula Fido juga sudah tahu, semua tentang Nelson.

"lalu bagaimana dengan kamu, Zak? Apa kamu juga mencintaiku? Atau kamu sudah pacaran dengan Fido?" pertanyaan penuh dengan nada cemburu itu, membuatku jadi sedikit menyunggingkan senyum.

"aku juga sayang kamu, Nel. Aku pergi juga karena tidak sanggup lagi melihat kamu bersama Dhena." ucapku akhirnya, yang membuat Nelson tertawa ringan.

"jadi benar kan dugaanku, kamu berubah dan pergi karena aku jadian sama Dhena? Ternyata kamu cemburu karena Dhena?" ucap Nelson kemudian.

"kamu juga cemburu karena aku dekat dengan Fido, Nel. Itu artinya kita impas." timpal ku sengit.

"ya sudahlah, yang penting sekarang kita sudah tahu perasaan kita masing-masing. Jadi tidak ada lagi rahasia antara kita." ucap Nelson akhirnya.

Kemudian kami sama-sama tersenyum. Saling tatap dan mulai saling mendekat.

Cinta yang selama ini hanya kami pendam, akhirnya tercurah sudah. Cinta yang selama ini hanya menjadi rahasia, kini terungkap sudah.

Aku dan Nelson akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan asmara.

Hubungan kami bukan lagi sekedar hubungan dua orang sahabat, tapi sudah menjadi hubungan dua orang kekasih.

Hanya saja masalahnya, aku harus melukai hati seorang Fido. Meski aku yakin, Fido sangat mengerti akan hal tersebut.

Biar bagaimana pun Nelson jauh lebih dulu hadir di hidup dan di hatiku.

Nelson adalah sahabat sekaligus cinta pertamaku, dan aku berharap ia adalah pelabuhan terakhirku.

Semoga saja..

****

Selesai...

Brondong tampan sopir pribadi ku

Namaku Andra, dan sering di panggil om Andra.

Orang-orang memanggilku om, karena memang usiaku sudah memasuki kepala empat.

Dan terus terang aku suka dipanggil om. Ada kesan eksotic pada kata tersebut, menurutku.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku sudah menikah, sudah punya dua orang anak.

Aku menikah bukan karena aku suka atau pun tertarik pada perempuan.

Aku menikah karena aku merasa begitulah kodrat ku. Sebagai seorang laki-laki aku memang harus menikah, tak peduli aku menginginkannya atau tidak.

Tak peduli aku bahagia akan pernikahan tersebut atau tidak.

Aku menikah, ya karena aku memang harus menikah. Karena aku sudah semakin tua dan juga sudah memiliki kehidupan ekonomi yang cukup mapan.

Aku menikah pada saat aku berusia 30 tahun, tepatnya sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Aku sengaja menikahi gadis desa, selain karena memang lugu, gadis desa juga tidak terlalu ingin ikut campur urusanku di luar rumah.

Tugasnya hanyalah melayaniku, dan membesarkan anak-anak.

Kehidupanku memang secara ekonomi sudah sangat mapan sejak lama.

Aku memulai bisnis ku dari nol. Aku memulainya dari jadi seorang sales, bahkan aku juga pernah menjadi seorang buruh bangunan.

Sebenarnya aku berasal dari desa, namun pada saat aku lulus SMA, karena orangtua ku yang tidak mampu membiayai aku untuk kuliah, aku pun memutuskan untuk merantau ke kota.

Orangtua ku memang hanya petani biasa di kampung, dan aku merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Karena itu juga, orangtua ku tidak mampu membiayai kuliahku.

Saat pertama kali aku datang ke kota, aku mulai bekerja di sebuah toko elektronik, menjadi sales.

Dari sana aku mulai belajar membangun bisnis ku sendiri. Namun perjuanganku tidak mudah. Aku harus melewati begitu banyak batu sandungan. Aku sering jatuh bangun dalam perjuanganku.

Bahkan aku pernah merasakan tidak makan selama satu hari, karena tidak punya uang sepeser pun.

Aku juga pernah jadi buruh angkut dan buruh bangunan hanya untuk bertahan hidup.

Namun karena perjuanganku yang tak kenal lelah dan tak pernah putus asa, setelah beberapa tahun, akhirnya aku bisa membangun bisnisku sendiri.

Dan setelah kehidupanku mulai membaik, aku pun semakin punya semangat untuk terus berkembang.

Hingga akhirnya, aku pun sukses dan meraih semua impianku.

Aku sudah bisa membeli rumah mewah, mobil mewah dan barang-barang mewah lainnya.

Intinya, hidupku sudah benar-benar mapan, dan karena itu juga aku akhirnya memutuskan untuk menikah.

Aku selalu mengirimkan uang ke kampung, untuk membantu ayah dan ibu ku dan juga membantu biaya sekolah adik-adikku.

Dan gadis yang aku nikahi tersebut, juga berasal dari kampung ku.

Setelah menikah kehidupanku semakin membaik dan terus berkembang.

Sungguh sebuah kehidupan yang di dambakan banyak orang.

Namun di balik segala kesuksesan ku tersebut, tersimpan sebuah rahasia dalam hidupku. Sebuah rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

Seperti yang aku katakan dari awal, aku menikah bukan karena aku suka atau pun tertarik pada perempuan, tapi aku menikah karena memang begitulah kodratku.

Dan alasan ku tidak tertarik pada perempuan adalah karena aku seorang gay, seorang penyuka sesama jenis.

Aku telah menyadari hal tersebut, sejak aku masih remaja. Pada saat SMP aku pernah jatuh cinta pada seorang cowok teman sekelas ku, tapi tentu saja itu hanya cinta yang terpendam.

Ketika SMA, aku juga pernah jatuh cinta pada adik kelas ku. Tapi sekali lagi itu hanya cinta yang terpendam.

Aku tak pernah mengungkapkannya dan tak ingin mengungkapkannya, karena aku tahu itu sebuah kesalahan.

Setelah lulus SMA dan hijrah ke kota, aku mulai berani menunjukkan perasaanku. Berawal dari perkenalanku dengan salah seorang rekan kerja ku sesam sales.

Merasa sama-sama tertarik, kami pun berpacaran. Tapi hubungan itu tidak bertahan lama, karena pada akhirnya kami pun menemukan titik kejenuhan.

Sejak saat itu, aku tak berniat lagi untuk menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki, karena aku cukup sadar bahwa hubungan sesama jenis tidak akan pernah bertahan lama dan akan selalu menemukan jalan buntu.

Aku hanya melakukan hubungan dengan laki-laki yang aku temui atas suka sama suka, hanya cinta satu malam, tanpa ada ikatan apa pun.

Sejak aku mulai sukses, aku bahkan hanya menyewa laki-laki bayaran untuk sekedar melepaskan hasrat ku yang menyimpang tersebut.

Hingga akhirnya aku pun menikah. Dan meski pun aku sudah menikah, aku tetap terus mempertahankan perilaku menyimpang ku tersebut, namun sekali lagi, aku tidak pernah mau terikat dengan laki-laki mana pun.

Kalau akku tertarik dan orang tersebut juga tertarik, maka ayo lakukan, tapi tidak untuk di pakai lama.

Atau aku lebih rela menghabiskan uang ku hanya untuk menyewa laki-laki yang aku suka, hanya untuk satu malam.

****

Begitulah kehidupanku berjalan selama bertahun-tahun, hingga aku sudah mempunyai dua orang anak dari istri ku.

Sampai akhirnya aku bertemu Alexander. Alex, begitu aku menyebutnya.

Seorang pria muda berwajah tampan dengan tubuh yang atletis.

Dan beginilah kisah indahku bersama Alex.

Aku bertemu Alex, antara sengaja dan tak sengaja.

Sengaja karena aku menemukannya saat interview kerja.

Ya, karena usia ku yang mulai menua, aku berniat untuk memiliki seorang sopir pribadi. Selama ini aku selalu menyetir mobilku sendiri. Tapi sekarang, selain karena mulai merasa capek, penglihatanku juga mulai tak jelas.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk membuka lowongan kerja menjadi sopir pribadi ku.

Dan tak sengajanya, aku tak menyangka bahwa dari puluhan pelamar, ada sosok Alex yang sempurna di sana.

Ada puluhan pelamar sebenarnya, dari yang tua, yang muda, yang berpengalaman dan juga yang amatiran. Tapi dari semuanya hanya Alex yang mampu membuatku terkesan.

Sejak pertama bertemu Alex, aku langsung jatuh hati padanya, sebuah rasa yang sudah sangat lama tidak aku rasakan. Dan karena itulah aku memilih Alex.

Sebenarnya bukan hanya karena Alex menarik secara fisik, tapi juga karena Alex sudah punya pengalaman. Dari cerita Alex aku tahu, dulunya ia adalah seorang sopir angkot. Namun karena kemajuan teknologi saat ini, perlahan pekerjaan seorang sopir angkot tidak lagi menjanjikan.

Orang-orang saat ini lebih suka memesan ojek online atau pun taksi online, sehingga keberadaan angkot sudah mulai punah.

Setidaknya begitulah yang aku ketahui dari Alex.

"terima kasih ya pak Andra, sudah menerimaku bekerja. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini.." begitu ucap Alex, saat pertama kali ia mulai bekerja denganku.

Aku hanya mengangguk ringan sambil berkata, "mulai sekarang, kamu jangan panggil aku bapak, panggil om Andra aja.." ucapku diplomatis.

Seperti yang aku katakan dari awal, aku lebih suka di panggil om. Dan tentu saja salah satu tujuanku meminta Alex memanggilku om, agar kami lebih cepat akrab dan juga agar Alex tidak terlalu menjaga jarak dariku.

Dari awal aku memang berniat untuk mendekati Alex secara perlahan, aku berniat untuk lebih mengenalnya secara personal, bukan sekedar antara atasan dan bawahan.

Alex tidak mempertanyakan kenapa aku memintanya memanggilku om, mungkin ia tidak berani.

Tapi yang pasti ia meski dengan sedikit kaku, mulai memanggil om.

Oh, ya. Sebelumnya aku juga ingin memberitahu, bahwa selain memiliki rumah mewah di sebuah kawasan elit di pinggir kota, aku juga punya sebuah apartemen mewah di tengah kota.

Apartemen tersebut, berada tidak begitu jauh dari gedung kantor perusahaanku.

Istri dan anak-anakku tinggal di rumah mewah kami, sementara aku kadang sering menginap di apartemenku sendirian.

Aku beralasan kepada istriku, bahwa dengan menginap di apartemen, aku jadi lebih dekat ke kantorku.

Istriku juga tidak bisa membantah hal tersebut. Seperti yang pernah aku katakan, istriku tidak pernah ikut campur urusan pekerjaan dan juga semua urusan ku di luar rumah.

Meski pun aku hanya pulang ke rumah satu atau dua kali dalam seminggu. Istriku tidak pernah protes.

Di apartemen inilah, aku menjadi diriku sendiri. Aku sering mengajak laki-laki sewaan untuk menemani aku tidur di apartemenku.

Di apartemen ini, aku bebas melakukan apa pun yang aku suka.

Dan saat aku pulang ke rumah, aku akan kembali menjadi seorang suami dan juga seorang ayah.

Sejak Alex mulai bekerja denganku, aku sengaja mengajaknya tinggal bersamaku di apartemen, karena hal itu termasuk dalam perjanjian kerja kami.

Aku menyediakan sebuah kamar untuk Alex di apartemenku.

Dan saat aku pulang ke rumah, aku juga mengajak Alex dan juga menyediakan sebuah kamar di rumahku untuk Alex.

Sebagai orang yang memiliki kehidupan yang mapan, aku juga punya beberapa orang pembantu di rumah. Mulai dari asisten rumah tangga, pengasuh anak, penjaga kebun dan juga beberapa orang pembantu lainnya.

Aku memperkenalkan Alex sebagai sopir pribadi ku, kepada seluruh penghuni rumah, termasuk istriku.

Meski aku dan Alex lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen ku.

****

Aku yang memang dari awal sudah menyukai sosok Alex, mulai mencari cara agar aku bisa menarik perhatiannya.

Aku ingin Alex jatuh dalam pelukanku, tapi aku tidak mau buru-buru. Aku harus melakukannya perlahan-lahan. Aku ingin Alex terkesan padaku.

Karena itu, aku juga memperlakukan Alex dengan sangat baik. Aku bahkan sering membelikannya barang-barang mewah, mulai dari pakaian, jam tangan, handphone dan juga barang-barang mewah lainnya.

"anggap aja ini bonus.." ucapku saat Alex berusaha menolak pemberianku tersebut.

Selain itu, aku juga memberi gaji untuk Alex jauh lebih besar dari perjanjian awal kami. Pokoknya aku ingin Alex benar-benar terkesan, sehingga saat aku mengungkapkan perasaanku padanya, ia tidak akan berani menolak.

Dan ddari Alex aku tahu, kalau ia ternyata seorang anak yatim piatu. Kedua orangtuanya sudah meninggal sejak Alex masih kecil.

"selama ini saya tinggal bersama paman saya, paman Alim.." begitu cerita Alex, suatu malam.

"kebetulan paman Alim juga tidak punya anak. Jadi beliau lah yang membesarkan saya bersama istrinya." lanjutnya.

"meski kehidupan paman Alim sangat sederhana, beliau tetap mampu menyekolahkan saya hingga lulus SMA. Paman Alim adalah seorang sopir angkot, dan dulu saya sering ikut beliau. Tapi setelah saya tamat SMA, paman Alim sudah mulai sakit-sakitan, jadi saya yang kemudian menggantinya menjadi sopir angkot.." cerita Alex lagi.

"semakin lama penyakit paman Alim semakin parah. Dokter mengatakan kalau beliau mengalami gagal ginjal, dan harus melakukan cuci darah setidaknya dua kali seminggu. Sementara pendapatanku sebagai seorang sopir angkot, semakin lama semakin menurun."

"saya sudah tidak sanggup lagi mencari biaya untuk cuci darah paman Alim. Sementara istri paman Alim juga tidak bekerja, beliau juga sebenarnya sakit, meski tak separah paman Alim."

"intinya saat ini saya butuh uang yang banyak untuk biaya berobat paman Alim dan istrinya, orang yang telah berjasa selama ini padaku." Alex kemudian menarik napas berat.

"selama ini kami hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, dan itu pun kami masih sering menunggak." lanjut Alex.

Aku merasa terenyuh mendengar cerita Alex barusan. Aku jadi ingat perjuanganku dulu, meski tidak seberat Alex.

Aku merasa perihatin, karena itu keeskokan harinya, aku mengajak Alex untuk mengunjungi pamannya.

Aku juga membantu biaya perawatan paman Alex, dan juga memberinya sejumlah uang untuk biaya hidup dan berobat mereka.

Dan bahkan sesuai dengan saran dokter, paman Alim juga akhirnya di operasi, dan aku yang menanggung semua biayanya.

Hal itu aku lakukan bukan lagi sekedar untuk membuat Alex terkesan, tapi juga karena aku benar-benar merasa kasihan melihat keadaan keluarga tersebut.

Alex, pamannya dan sang istri tentu saja sangat berterima kasih padaku.

Selesai di operasi, keadaan paman Alim sudah semakin membaik dan istrinya juga mulai sehat kembali.

Alex pun merasa tidak terlalu berat lagi meninggalkan mereka berdua di kontrakan mereka dan Alex pun tinggal bersama ku di apartemenku.

Selain itu, aku juga memberi sedikit modal untuk paman Alim, untuk membuka usaha kecil-kecilan, sehingga mereka tidak lagi akan kesulitan uang.

"terima kasih banyak om Andra. Om sudah sangat banyak membantu aku dan keluarga paman Alim. Saya tidak tahu, bagaimana cara membalas semua itu." ucap Alex, saat kami kembali berada di apartemen.

"kamu tak perlu melakukan apa pun, Lex. Saya ikhlas, kok." balasku.

*****

Sejak saat itu aku dan Alex pun menjadi dekat dan akrab. Sesuai harapanku, hubunganku dengan Alex bukan hanya sebuah hubungan antara bawahan dan majikannya.

Kami sudah seperti teman dan aku merasa bahagia dengan semua itu.

Karena merasa sudah cukup akrab dan juga sudah melakukan banyak hal untuk hidup Alex, setahun kemudian aku pun berniat untuk mengungkapkan isi hatiku kepada Alex.

Yah, aku rasa pengorbananku selama ini sudah lebih dari cukup untuk membuat Alex terkesan.

"om ingin ngomong sesuatu sama kamu, Lex. Dan ini penting.." ucapku memulai pembicaraan. Malam itu aku sengaja masuk ke kamar Alex di apartemenku.

Aku sebenarnya sudah sering masuk ke kamar Alex, tapi selama ini pembicaraan hanyalah hal yang umum atau pun masalah pekerjaan.

"om Andra mau ngomong apa?" tanya Alex terdengar lugu.

"sebenarnya om suka sama kamu, Lex. Om sudah jatuh hati sama Alex, bahkan sejak pertama kali kita bertemu.." balasku dengan suara sedikit bergetar.

"maksudnya, Om?" tanya Alex lagi, masih dengan nada lugu.

"saya suka sama kamu, Lex. Dan saya ingin kita menjalin hubungan asmara.." jelasku semakin berani.

"tapi saya kan cowok, om. Dan lagi pula om Andra kan juga sudah punya istri dan anak.." balas Alex, keluguannya masih terlihat.

Alex memang masih berusia 20 tahun. Aku yakin perjalanan hidupnya yang sulit, membuat ia jadi tidak punya waktu untuk sekedar berpacaran. Tapi aku cukup yakin, Alex bisa mengerti maksudku.

"justru karena kamu seorang cowok, om jadi suka. Om sudah lama tidak merasakan perasaan tersebut, sejak om menikah.." ujarku sedikit berbohong.

"maksudnya om ini homo atau penyuka sesama jenis?" tanya Alex akhirnya mulai mengerti.

Aku hanya mengangguk ringan, merasa tidak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi.

"tapi mengapa om Andra justru menikah? Karena setahu saya kalau laki-laki homo itu tidak suka perempuan.." balas Alex sedikit bertanya.

"om menikah, karena om juga pengen punya keturunan. Dan terlepas dari itu semua, dengan menikah om bisa menyembunyikan siapa om sebenarnya." jelasku ringan.

Alex terdiam kemudian, ia terlihat sedang berpikir keras. Aku yakin, Alex sedang mempertimbangkan keinginanku padanya.

"jadi gimana, Lex. Kamu mau gak jadi kekasih om. Kamu tenang aja, semua kebutuhan kamu akan om tanggung.Dan kehidupan kamu pasti akan lebih baik.." ucapku akhirnya, setelah membiarkan Alex berpikir cukup lama.

Alex menatapku, menyunggingkan senyum tipis, lalu kemudian berujar.

"saya gak tahu mesti jawab apa, om. Selama ini om Andra sudah sangat baik padaku. Aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikan om. Tapi aku juga tidak bisa membayangkan akan menjadi kekasih simpanan om.. " suara Alex bergetar.

"kalau kamu memang belum siap, kamu gak usah jawab sekarang, Lex. Om akan beri waktu kamu untuk berpikir. Om tahu, ini sangat berat buat kamu. Tapi om sangat berharap, kalau kamu mau menjadi kekasih om. Karena om sangat mencintai kamu, Lex." ucapku kemudian.

Setelah berkata demikian, aku pun segara beranjak dari kamar Alex, membiarkan Alex berpikir sendiri.

****

Part 2

Cukup lama aku menatap Alex tanpa kedip. Wajah Alex memperlihatkan keseriusan.

Sejak kejadian malam itu, di mana aku dengan cukup berani mengungkapkan perasaanku pada Alex, hubungan kami memang menjadi sedikit renggang. Kami tak lagi banyak bicara.

Alex juga sepertinya mulai menjaga jarak dariku.

Namun beberapa hari kemudian, Alex tiba-tiba masuk ke kamarku.

"saya ingin bicara om.." begitu ucap Alex memulai pembicaraan.

"oh, ya. Masuk aja.." balasku, sambil mempersilahkan Alex untuk masuk dan duduk di tepian ranjang tidurku.

Selama ini Alex memang belum pernah masuk ke kamarku. Tapi kali ini aku membiarkannya.

"kamu mau ngomong apa?" tanyaku sedikit diplomatis.

"saya mau membicarakan soal yang kemarin om. Tentang tawaran om untuk menjadikan saya kekasih om.." jawab Alex, dengan suara sedikit bergetar.

"oh.." desahku dengan sedikit membulatkan bibir. "jadi gimana? kamu sudah membuat keputusan?" tanyaku ringan.

Aku memang sangat berharap Alex bisa menerimaku, karena aku memang mencintainya. Aku bahkan sudah berkorban banyak untuknya.

"tapi sebelumnya saya ingin memastikan dulu, om." balas Alex.

"kamu ingin memastikan apa lagi?" tanyaku mulai tak sabar.

"kalau... kalau seandainya saya tidak bersedia, apa om akan memecat saya?" suara Alex terbata.

Aku sedikit kecewa mendengar pertanyaan Alex barusan. Itu sama saja berarti bahwa Alex masih belum bisa menerimaku.

Aku tahu Alex cowok normal, dan tentu saja ia merasa berat untuk menjadi kekasihku. Tapi mengingat semua yang telah aku lakukan untuknya, masa' iya tak terketuk sedikit pun di hati Alex untuk mencobanya? Setidaknya untuk membalas semua kebaikanku padanya selama ini.

Dan aku tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Karena jika aku memecat Alex, hanya karena ia menolakku, itu sangat tidak manusiawi, dan terlebih itu tidak ada dalam kontrak kerja kami.

Namun jika aku tetap mempekerjakan Alex, sementara ia sudah tahu perasaanku padanya, rasanya aku akan merasa sulit berada di posisi tersebut.

Aku tahu, aku bisa saja memecat Alex, sebagai sopir pribadi ku, dengan alasan yang berbeda. Tapi si satu sisi hatiku yang lain, aku benar-benar takur kehilangan Alex.

Meski aku tidak bisa memilikinya sebagai kekasih, tapi setidaknya aku masih bisa setiap hari berada di dekatnya dan menatap wajah tampan brondong manis itu dari jarak dekat.

"om tidak akan memecat kamu Lex, hanya karena alasan itu. Tapi .... om tidak bisa menjamin, akan berapa lama lagi om mempertahankan kamu untuk terus menjadi sopir pribadi om. Karena om tidak bisa hanya sekedar menatap kamu, Lex. Om juga ingin bisa memiliki kamu." ucapku akhirnya setelah berpikir cukup lama.

"Alex bingung, om. Di satu sisi, om sudah sangat baik padaku, dan juga telah berkorban banyak untukku. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa memaksa hatiku untuk bisa mencintai om. Karena aku memang tidak pernah tertarik pada laki-laki, aku hanya tertarik pada perempuan."

"dan jika aku memaksakan diri untuk menjadi kekasih om, rasanya itu sangat berat om. Dan om juga akan kecewa nantinya, karena aku tidak akan bisa memberikan apa-apa untuk om.." ucap Alex panjang lebar, yang membuatku jadi terdiam.

****

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang dengan perasaan berat. Penolakan Alex barusan, benar-benar membuat aku patah hati.

Aku merasa pengorbananku selama ini sia-sia. Ternyata perasaan memang tidak bisa di beli dengan apa pun.

Meski aku bisa saja memaksa Alex, tapi jika melihat ketegasan Alex akan perasaannya, itu jelas akan sangat sulit.

Karena meski pun aku sudah berkorban begitu banyak untuknya, Alex tetap tak bergeming.

Jika pun aku menawarkan sesuatu yang lebih besar kepada Alex, uang yang banyak misalnya, sepertinya Alex juga gak bakal tertarik.

Yang aku takutkan adalah, jika aku tetap memaksa, maka bisa saja Alex menyebarkan siapa aku sebenarnya kepada orang-orang. Dan aku tidak mau hidupku hancur, hanya karena terlalu mengikuti perasaanku.

Mungkin lebih baik aku biarkan saja semua ini terjadi. Mencintai Alex dalam diam, mengagumi dalam hening. Dan membiarkan semua rasa itu terus terpendam selamanya.

Oh, Alex.. mengapa aku harus jatuh cinta padamu, sementara aku tahu kalau kamu adalah laki-laki normal. Tapi aku juga bisa mengatur hatiku untuk jatuh cinta kepada siapa pun. Perasaan itu tumbuh begitu saja, dan aku tidak mampu mencegahnya. Rintih hatiku pilu.

****

Hari-hari selanjutnya, aku jadi kehilangan gairah. Aku kehilangan semangat.

Meski Alex masih tetap bekerja bersamaku dan masih tinggal di apartemen bersamaku, tapi tetap saja aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa memilikinya.

Hubungan kami kembali seperti hubungan antara atasan dan bawahan. Tidak ada lagi gurau canda, tidak ada lagi cerita atau curhatan dari Alex.

Alex juga lebih diam, ia seperti sengaja menjaga jarak dariku. Tapi aku tidak bisa membenci atau pun menyalahkannya, karena ini memang bukan salah Alex.

Ini murni salahku, karena sudah terlanjur jatuh cinta pada Alex.

Suatu saat, Alex meminta izin padaku untuk mengunjungi pamannya, saat ia sudah mengantarku ke kantor. Alex memang sudah cukup lama tidak mengunjungi pamannya tersebut.

Awalnya aku meminta Alex untuk menggunakan mobilku saja, tapi Alex menolak dan justru memakai jasa ojek online untuk ke rumah pamannya tersebut.

Beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar jika Alex mengalami kecelakaan. Motor yang ditumpanginya tak sengaja bertabrakan dengan sebuah mobil bus, yang mengakibatkan Alex harus masuk rumah sakit.

Aku yang mendengar kabar tersebut, segera menuju rumah sakit tempat Alex di rawat.

Alex koma selama beberapa hari. Aku yang memang masih selalu mencintai Alex, tentu saja merasa sedikit cemas. Aku berusaha melakukan apa saja untuk menyelamatkan nyawanya.

Aku mencarikan dokter terbaik untuk Alex dan juga ikut mendonorkan darahku untuknya.

Hingga beberapa hari kemudian, Alex pun siuman dan mulai membaik.

Setelah hampir sebulan, Alex akhirnya bisa pulih kembali. Dan aku dengan suka rela, membayar semua biaya rumah sakit selama Alex di rawat.

Aku tak peduli berapa banyak uangku habis, demi untuk menyelamatkan Alex. Aku merasa senang, karena Alex bisa pulih kembali.

*****

"makasih ya, om." pelan suara Alex, ketika ia sudah mulai bekerja kembali. Saat itu kami sedang melakukan perjalanan pulang menuju rumahku.

Rumah dimana anak dan istriku sedang menungguku. Rutinitasku pulang ke rumah memang masih sama. Kalau aku tidak bisa pulang dua kali seminggu, minimalnya aku harus pulang sekali seminggu.

Aku hanya mendengus kecil mendengar ucapan Alex barusan, karena aku sudah cukup mengerti arah pembicaraan Alex.

"sekali lagi om sudah berkorban untukku. Om rela mengeluarkan uang yang begitu banyak hanya untuk biaya pengobatanku, dan yang paling membuat aku terkesan, om rela mendonorkan darah om hanya untuk orang sepertiku." Alex berucap lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

"aku tidak tahu, bagaimana harus membalas semua itu, om. Aku punya hutang budi yang begitu banyak pada om Andra.." lanjut Alex lagi.

Aku menghempaskan napas berat, lalu kemudian berujar,

"kamu sebenarnya cukup tahu. Lex. Bagaimana cara membalas semuanya. Kamu nya aja yang tidak mau mengakuinya.." ucapku sedikit ketus dan tegas.

Kali ini Alex terdiam. Ucapan ku sepertinya cukup mengena.

Tapi Alex tidak bereaksi apa-apa, ia hanya diam hingga kami pun sampai ke tujuan.

Sesampai di rumah aku pun di sambut oleh istri dan anak-anakku.

Seharian aku menghabiskan waktu bermain dengan kedua anak-anakku.

Hingga malam pun tiba, dan aku kembali menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami untuk istriku.

****

"kehidupan om dan keluarga om sudah sangat bahagia.." ucap Alex, keesokan harinya saat kami sudah kembali ke apartemenku.

"kehidupan om sudah sangat mapan, punya istri yang cantik dan anak-anak yang pintar. Lalu mengapa om masih mau melakukan sesuatu yang menyimpang?" lanjut Alex dengan sedikit bertanya, kali ini kami ngobrol di ruang tamu apartemenku.

"di depan istri dan anak-anak om, om memang harus tetap terlihat bahagia, Lex. Om harus terlihat seperti sangat menikmati hidup ini. Padahal jauh di dalam hati om sendiri, om merasa kosong, Lex. Hampa. Dan kehadiran kamu lah yang mampu mengisi kekosongan tersebut.." balasku dengan nada sendu.

"bukan kehadiran ku yang akan mengisi kekosongan tersebut, om. Tapi keimanan. Om merasa kosong dan hampa, karena selama ini saya lihat om tidak pernah beribadah sama sekali. Om terlalu sibuk mengejar ambisi om sendiri. Om juga sibuk mengejar cinta yang tidak di halalkan untuk om.."

ucapan Alex tersebut benar-benar menampar mukaku. Aku merasa terhenyak dan terpojok.

Tak ku sangka Alex akan berkata demikian. Selama ini tidak ada seorang pun yang berani menasehatiku, terutama soal agama. Istri bahkan orangtua ku tidak pernah sekali pun mempertanyakan tentang ibadahku.

Karena setiap kali mereka membahas hal tersebut, aku akan menghardik mereka. Dan hal itu membuat mereka jadi sedikit takut berbicara tentang ibadah di depanku.

Dengan kehidupanku yang serba berkecukupan sekarang, tidak ada seorang pun yang berani mengaturku. Bahkan kedua orangtuaku.

Namun mendengat ucapan Alex barusan, aku benar-benar merasa terpukul, dan aku bahkan tak mampu berkata apa-apa.

Sebagai seorang manusia, harus aku akui, kalau hidup penuh dengan gelimangan dosa. Aku hampir menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisiku. Aku juga sering berzina dengan laki-laki.

Aku juga tidak memperlakukan orangtuaku dengan baik. Karena aku merasa punya segalanya, aku juga merasa punya kekuasaan untuk mengatur segalanya.

Selama mereka, orangtua dan istriku, aku beri uang, aku merasa mereka tidak lagi punya hak untuk sekedar menasehatiku.

Tapi Alex berbeda. Kalimat sederhananya mampu menyentuh bagian hatiku yang terdalam. Bagian hatiku yang selama ini aku sembunyikan.

Nurani ku bergetar tiba-tiba.

Selama ini, Alex memang tidak pernah meninggalkan sholatnya. Ia selalu menyempatkan diri untuk sholat, meski kehidupannya tidak terlalu baik.

Sementara aku, yang hampir punya segalanya, justru semakin menjauh dari Tuhan.

Oh, tidak. Mungkinkah Alex adalah malaikat yang di kirimkan Tuhan untukku, untuk menyadarkanku bahwa selama ini aku telah salah melangkah. Bahwa selama ini aku tidak pernah sekali pun bersyukur akan hidupku.

"maaf, om. Saya tidak bermaksud apa-apa." ucap Alex lagi, "tapi kehidupan yang om Andra jalani saat ini, adalah kehidupan yang di impikan semua orang. Dan om akan merusak semuanya, hanya karena memperturutkan secuil nafsu dalam diri om Andra.." Alex melanjutkan, yang membuatku kian terhenyak.

"saya bisa saja memenuhi keinginan om Andra. Setidaknya untuk membalas semua kebaikan dan pengorbanan om Andra padaku selama ini.  Tapi itu artinya, saya juga ikut berperan dalam menghancurkan kehidupan sempurna yang telah om Andra miliki." Alex melanjutkan kalimatnya.

"artinya juga, saya ikut berperan dalam mengundang murka Tuhan kepada om Andra. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu saya menolak om, meski saya merasa sangat bersalah akan hal tersebut."

"jika saya tetap nekat menerima tawaran om Andra, maka saya tidak akan sanggup menyaksikan kehancuran hidup om kelak.." Alex mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku masih terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa. Semua yang di utarakan Alex tidak bisa aku pungkiri.

Mungkin selama ini Tuhan masih memberikan aku kesempatan, meski pun aku sudah berulang kali melakukan kesalahan.

Dan kehadiran Alex di sini, adalah sebuah teguran untukku. Teguran Tuhan tidak selalu dengan memberi azab atau musibah, tapi juga melalui orang lain.

****

Sejak saat itu, aku justru jadi belajar banyak dari Alex. Aku mulai mendekatkan diri kepada Tuhan.

Aku belajar agama dari Alex.

Aku mulai memperbaiki beberapa kesalahanku. Mulai dari meminta maaf kepada kedua orangtuaku dan juga istriku.

Hubunganku dengan Alex bukan lagi hubungan antara majikan dan bawahan, tapi aku sudah menganggap Alex seperti adikku sendiri.

Aku juga menjadikan Alex sebagai mentor dalam hidupku.

Cintaku kepada Alex memang salah, dan aku mulai belajar untuk mengubah rasa cinta itu menjadi rasa sayang kepada seorang adik.

Dan begitulah kisahku. Aku akhirnya bertaubat, karena sosok yang aku cintai.

Semoga kisah sederhana ini, mampu memberi pelajaran bagi siapa pun yang mendngarkannya.

Terima kasih..

****

Selesai...

Rahasia cinta Zaky

"kamu kenapa, Zak?" suara datar Nelson mengagetkanku, yang sejak tadi termenung sendiri di sebuah bangku taman sekolah.

Pikiranku menerawang, hingga aku tidak sadar, kalau Nelson sudah berdiri di sampingku.

Aku menatap sekilas kearah Nelson, "gak kenapa-kenapa, kok." jawabku sedikit acuh.

 

Sang penuai mimpi

"kita sudah berteman sejak kecil, Zaky," ucap Nelson, sambil ia ikut duduk di sampingku, "aku tahu persis bagaimana kamu. Kalau kamu sudah menyendiri seperti ini, itu artinya kamu lagi ada masalah.." lanjutnya, mata Nelson mengawasiku. Aku tiba-tiba merasa sedikit kaku.

"aku gak apa-apa kok, Nel. Cuma lagi pengen sendiri aja.." balasku, menghindari tatapan Nelson yang terus mengawasiku.

"kamu marah sama saya?" tanya Nelson kemudian.

"marah? Kenapa aku harus marah?" aku justru balik nanya, kali ini aku beranikan diri untuk menatap ke arah Nelson. Mata kami bertemu pandang, namun segera aku memalingkan muka. Jengah.

Ku dengar Nelson menarik napas, "sejak aku jadian sama Dhena, aku perhatikan kamu jadi lebih sering murung dan menyendiri.." ucapnya.

Aku menatap Nelson kembali, dengan sedikit susah payah aku tersenyum. "kamu apaan sih, Nel. Aku biasa aja, kok." ucapku pelan.

"aku tahu, sekarang kita jadi jarang jalan bareng, main bareng, gak kayak dulu lagi. Tapi kita tetap sahabatan, Zak." suara Nelson datar lagi.

"iya, Nel. Kita tetap sahabatan. Gak ada yang berubah, kok. Kalau kita sekarang jadi jarang main bareng lagi, ya gak apa-apa. Kamu kan memang harus punya waktu juga untuk Dhena. Aku ngerti, kok!" kali ini aku sedikit menunduk. Hatiku meringis.

*****

Aku dan Nelson memang sudah berteman sejak kecil. Sejak kami masih sama-sama di sekolah dasar. Kami masuk SMP yang sama, dan sudah dua tahun kami berada di SMA yang sama.

Kami memang sering main bareng, belajar bareng dan melakukan banyak hal berdua. Karena memang rumah kami satu kompleks. Hubungan kami selama ini sangat dekat, meski hanya sebatas sahabat.

Aku sering main ke rumah Nelson, begitu juga sebaliknya. Kami selalu bersama-sama. Kami tumbuh dengan persahabatan yang indah.

Neslon seorang cowok yang periang, ramah, tampan dan juga pintar.

Terus terang aku memang mengagumi sosok Nelson. Beranjak remaja, perasaanku justru kian berkembang. Aku bukan lagi sekedar mengagumi Nelson, tapi juga telah jatuh cinta padanya.

Namun aku tak pernah berani mengungkapkan itu semua. Aku selalu berusaha bersikap biasa sajadi depan Nelson. Aku sadar kalau hubungan kami hanya sebatas sahabat.

Meski jauh dari lubuk hatiku, aku berharap suatu saat kelak aku dan Nelson bisa berpacaran, bukan lagi hanya sekedar bersahabat.

Aku sering membayangkan hal tersebut. Bahkan hampir setiap malam.

Aku sering mengkhayalkan bisa menjalin hubungan yang lebih dengan Nelson.

Namun aku juga cukup sadar, kalau Nelson jelas tidak mungkin punya harapan yang sama denganku.

Biar bagaimana pun, Nelson adalah laki-laki normal. Dia tidak mungkin akan tertarik padaku.

Tapi sebagai seseorang yang telah terlanjur jatuh cinta kepada Nelson,  kadang aku sering berharap sesuatu yang di luar nalarku.

Mencintai Nelon adalah sebuah keindahan, namun memilikinya adalah sebuah kemustahilan.

Tapi aku cuku bahagia, bisa menjadi sahabatnya. Melewati hari bersama dan saling berbagi cerita.

Nelson memang selalu terbuka padaku. Hampir tidak ada rahasia yang Nelson sembunyikan dariku, terutama soal kisah asmaranya.

"aku akhirnya nembak Dhena, Zak." cerita Nelson suatu hari padaku.

"dan ternyata Dhena juga menyukaiku. Jadi sekarang kami sudah resmi pacaran.." lanjut Nelson.

Beberapa bulan belakangan ini, Nelson memang sering cerita tentang Dhena, adik kelas kami.

Meski Dhena bukan cinta pertama Nelson, tapi setahuku, selama ini Nelson belum pernah benar-benar pacaran.

Dan sepertinya Nelson juga sangat serius dengan Dhena. Hampir setiap hari ia selalu bercerita tentang kekagumannya pada Dhena.

Awalnya aku menganggapnya biasa saja. Karena ini bukan pertama kalinya Nelson bercerita dan jatuh cinta pada seorang cewek.

Hanya saja selama ini, Nelson belum pernah berani menembak cewek.

Tapi untuk Dhena, sepertinya Nelson memang benar-benar telah jatuh cinta.

Terus terang, aku memang selalu merasa cemburu setiap kali Nelson menyebut nama Dhena. Tapi sebagai sahabat, aku harus selalu berpura-pura mendukungnya.

Rasa cemburu ku semakin menjadi, saat aku melihat Nelson semakin dekat dengan Dhena.

Dan sekarang, aku bukan lagi hanya sekedar merasa cemburu, mendengar Nelson dan Dhena jadian. Tapi aku juga merasa patah dan hancur.

Aku memang tidak terlalu berharap, bisa menjadi pacar Nelson, karena itu memang sedikit mustahil.

Tapi aku sudah cukup bahagia, meski hanya menjadi sahabatnya.

Aku bahagia bisa selalu bersama Nelson. Namun kehadiran Dhena tentunya akan mengurangi intensitas kebersamaan ku dan Nelson.

Biara bagaimana pun, Nelson tentu akan lebih sering menghabiskan waktunya bersama Dhena dari pada bersama ku.

Dan hal itulah yang akhirnya membuatku patah dan kecewa.

Karena itu juga, sejak Nelson dan Dhena jadian, aku mulai menjaga jarak. Aku tidak sanggup melihat keromantisan mereka. Aku tidak sanggup mendengar cerita-cerita Nelson tentang kemesraannya bersama Dhena.

Aku lebih sering menghabiskan waktu sendiri. Meratapi kisah cintaku yang tak terungkap dan tak berujung.

"kamu benar gak marah, Zak?' suara Nelson mengagetkanku lagi.

Aku hanya menggeleng. Nelson memang selalu berusaha untuk menghubungiku atau sekedar datang ke rumahku, tapi aku selama ini selalu menghindar.

"tapi kenapa akhir-akhir ini kamu seakan menghindar dariku, Zak?" Nelson bertanya lagi.

"aku gak menghindar, Nel. Aku hanya sedang banyak kegiatan. Lagi pula kamu kan sudah ada Dhena. Jadi aku juga harus cari kesibukan lain.." balasku beralasan.

"oke.. baiklah kalau begitu.." ucap Nelson, sambil ia kemudian pamit untuk kembali ke kelas.

Aku masih termangu menatap kepergian Nelson dengan langkah gagah menuju kelas.

Laki-laki itu semakin terlihat sempurna di mataku.

Huh.. aku menghempaskan napas berat. Entah mengapa semuanya menjadi begitu pahit bagiku.

Aku tidak masalah kalau Nelson tidak punya perasaan apa-apa padaku selain perasaan seorang sahabat. Tapi aku tetap tidak rela kalau Nelson harus berpacaran dengan orang lain, karena itu pasti akan menyita waktunya dan tentu saja akan mengurangi kesempatanku untuk bisa berlama-lama dengannya.

Tapi aku bisa apa? Rintihku.

Aku kembali menghempaskan napas, lebih berat.

****

Sudah lebih dari delapan bulan Nelson dan Dhena berpacaran. Hubungan mereka terlihat semakin mesra.

Aku sendiri juga sudah mulai terbiasa dengan kesendirianku. Meratapi kepatah hatianku. Meski cintaku untuk Nelson tak pernah luntur.

Kami memang masih bersahabat, meski tak seerat dulu. Nelson sudah jarang main ke rumah, begitu juga aku.

Setiap kali aku ke rumah Nelson, selalu saja ada Dhena di sana. Jadi aku memilih untuk tetap menjaga jarak dengan Nelson.

Setidaknya aku masih bisa menatap Nelson dari kejauhan, melihat senyumnya yang selalu mengembang. Membayangkan wajahnya yang tampan, dan tatapan matanya yang berbinar indah.

Yah, aku hanya bisa membayangkannya.

Entah mengapa desakan haru dan rasa kagum itu selalu ada, setiap kali menatap mata beningnya dan setiap kali mendengar tawanya. Kejujuran, senyuman dan ceria yang tak pernah ia paksakan, bagai air segar bagi hatiku yang tawar.

Bicaranya yang ceplas-ceplos, blak-blakan, sederhana, jujur dan apa adanya. Aku seperti memandang setetes embun yang bening, bersih dan belum terkotori.

Berada di dekatnya, aku bagai mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Betapa sebenarnya aku membutuhkannya.

Kadang ingin rasanya aku selalu berada di dekatnya, sekedar mendengar cerita dan candanya. Aku ingin selalu ada di dekatnya.

Menjaga saat suntuk menyergapnya, saat kesunyian menyelimuti hatinya. Menawarkan hatinya yang lagi gusar atau menampung curhat dan candanya, lalu berbagi suka dan duka.

Ah, mungkinkah itu aku lakukan?

Justru sebaliknya, ia yang selalu berhasil membuatku tertawa dan tersenyum. Ketika aku hampir menyerah oleh kehidupan yang ku rasa mulai membosankan dan menggerogoti napasku perlahan.

Dia selalu jadi penawar, ketika ku anggap hidupku terasa hambar dan datar. Dan ketika ku anggap hidupku sudah tiada berarti, hampa dan tak bergairah.

Dia selalu buat aku tersenyum dan merasa berarti. Kadang ingin aku menjadi bagian dari dirinya dan selalu berada di sampingnya.

Tapi mustahi, ada dinding yang kokoh di antara kami. Aku tidak mungkin bisa menembusnya.

Aku hanya berharap semoga dia tetap menjadi seseorang yang aku kagumi.

Semoga ceria dan sinar itu tak lekang, semoga ia tetap mampu menawarkan hati orang-orang disekelilingnya, yang butuh kasih dan keceriaan.

Seperti ia mampu membuatku tersenyum, tertawa dan kadang menangis, karena kangen mendengar tawanya dan rindu mendengar ceritanya.

Saat ini, memang ada jarak diantara kami.

Tapi rasanya hatiku selalu dekat, selalu butuh candanya yang kocak, ceritanya yang blak-blakan atau senyumnya yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

Ah, dia seperti cahaya bagiku.

Dia selalu menjadi inspirasi bagiku. Dia selalu menghiasi setiap fantasi indahku.

Aku bangga dan bahagia bisa menjadi sahabatnya, tapi tetap saja rasa cintaku padanya membuat aku sakit.

****

Nelson menatapku tak percaya, keningnya mengerut.

"kamu yakin?" tanyanya.

Aku menarik napas pelan, kemudian mengangguk.

Kenapa kamu tak pernah cerita?" tanya Nelson lagi.

"maaf, Nel. Tadinya aku ingin cerita. Tapi menurutku percuma, kamu juga gak bakal peduli.." jawabku.

"kamu apa sih, Zak!" Nelson menyela dengan nada tinggi, "kamu pikir dengan aku pacaran sama Dhena, akan merubah persahabatan kita?" lanjutnya.

"tidak ada yang berubah, Nel. Tapi aku memang harus pergi.." suaraku pelan.

"iya. Tapi mengapa tiba-tiba, Zak?" tanya Nelson lagi.

"tiba-tiba apanya?" sela ku cepat.

"kamu mendadak ingin kuliah ke luar negeri, Zak. Kamu tak pernah cerita ini sebelumnya. Bahkan kita pernah berjanji, kalau kita bakal tetap bersama sampai kita kuliah." ucap Nelson, suaranya tiba-tiba parau.

"itu janji masa kecil, Nel. Waktu itu kita belum tahu, akan jadi apa kita setelah dewasa.." balasku datar.

Nelson terdiam. Ia memainkan jemarinya. Aku coba menatap wajah tampan itu. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"kamu sekarang sudah punya Dhena, Nel. Kamu gak bakal kesepian tanpa aku.." ucapku akhirnya.

"apa karena itu?" tanya Nelson tiba-tiba.

"maksud kamu?" tanyaku balik.

"karena aku sekarang pacaran dengan Dhena. Dan kamu merasa kalau aku telah melupakan persahabatan kita. Kamu merasa kalau aku telah mengabaikanmu?" jelas Nelson sengit.

Aku menyunggingkan senyum. Andai saja kamu tahu, Nel. Betapa aku tersiksa selama ini? Sejak kamu jadian sama Dhena! Rintih bathinku.

"ini tak ada hubungannya dengan semua itu, Nel. Keputusanku untuk kuliah ke luar negeri adalah karena aku ingin mengejar mimpiku. Ingin mengejar cita-citaku.." dalihku beralasan.

"cita-citamu? Impianmu? Bukankah dulu kamu hanya bercita-cita untuk bisa kuliah bersama-sama? Tak pernah sekali pun kamu bercerita tentang kuliah ke luar negeri, Zak.."suara Nelson terdengar ketus.

"ternyata kamu memang telah berubah, Zak!" lanjutnya lagi.

Kamu yang berubah, Nel. Kamu juga yang membuat aku berubah. Bathinku pilu.

Tapi aku tak mungkin menyalahkan Nelson. Aku yang terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan, bahwa Nelson tak akan pernah bisa aku miliki lebih dari sekedar sahabat.

Aku yang terlalu larut dengan perasaanku padanya. Aku yang terlalu berharap.

Seandainya saja aku tidak jatuh cinta sedalam ini pada Nelson. Mungkin semuanya akan baik-baik saja. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini.

Aku yang salah. Telah membiarkan benih-benih cinta itu tumbuh dengan subur di hatiku.

Harusnya aku bisa mengatasi ini. Harusnya aku bisa menganggap Nelson hanya sebatas sahabat, seperti yang ia lakukan padaku.

Tapi semua sudah terlambat, cinta itu telah tumbuh subur dalam hatiku. Aku tak bisa membunuhnya begitu saja. Aku tak bisa membunuh perasaan cintaku pada Nelson.

Dan lebih menyakitkannya lagi, aku juga tidak bisa mengungkapkannya.

Biarlah semua hanya menjadi rahasia. Tidak akan ada siapa pun yang tahu.

Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa terus disini. Aku harus bisa melupakan Nelson. Meski aku tahu, itu butuh waktu, bahkan seumur hidup..

****

Selesai..

Curahan hati seorang aktor (sesama aktor)

Sebagai seorang aktor ternama, aku memang memiliki kebebasan yang sangat terbatas.

Setiap gerak-gerik-ku selalu menjadi perhatian publik, terutama para wartawan pengincar berita.

Kadang aku merasa, aku hampir tidak punya privacy sama sekali.

Orang-orang selalu memperhatikan hampir setiap langkahku.

Kemana aku pergi? Dengan siapa aku pergi? Dan dengan siapa aku dekat saat ini?

Selalu saja akan muncul di media-media sosial, tentang semua peristiwa yang terjadi dalam hidupku.

Aku tidak membenci dunia selebriti, aku malah mengingingkannya sejak lama. Hanya saja aku tidak pernah menyangka, jika kehidupanku sebagai seorang aktor akan menjadi pusat perhatian.

Aku juga tidak ingin melepaskan semua ini begitu saja. Selain karena saat ini aku memang sedang berada di atas daun dan juga sedang banyak job, aku juga sudah memperjuangkan hal ini sejak lama.

Aku memulainya benar-benar dari nol. Dari aku yang tidak di kenal siapa-siapa, hingga aku menjadi seseorang yang terkenal seperti saat ini.

Sudah banyak film-film dan sinetron-sinetron yang aku perankan sebagai pemeran utama.

Aku juga sudah punya banyak penggemar, kehidupan yang mapan dan pergaulan yang luas.

Sebenarnya kehidupanku sebagai seorang aktor juga cukup nyaman. Hanya saja ada saat dimana aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tanpa akting, tanpa kepura-puraan.

Namun aku sudah kehilangan semua itu. Bukan saja karena jadwal-ku yang padat, tapi juga karena aku selalu menjadi sorotan publik saat ini.

Sebut saja namaku Gito, bukan namaku yang sebenarnya.

Saat ini aku sudah berusia 25 tahun lebih. Aku menjadi aktor sudah hampir lima tahun. Namun baru sekitar dua tahun belakangan ini, namaku sudah mulai di kenal banyak orang.

Aku memulainya dari ikut berbagai casting untuk berbagai peran, hingga aku mendapatkan peran-peran kecil di beberapa film, dan kemudian karena akting-ku yang cukup bagus, aku pun di percaya untuk mulai berperan sebagai pemeran utama.

Sejak film pertama yang aku perankan sebagai pemeran utama, yang berhasil meraih berbagai penghargaan, namaku sudah mulai dikenal publik. Hingga peran-peran berikutnya semakin banyak berdatangan.

Aku pun mulai sibuk menikmati dunia peranku, hingga aku hampir tidak punya waktu untuk diriku sendiri.

Aku memang seorang perantau, karena aku berasal dari sebuah kampung yang cukup jauh dari ibu kota.

Di ibu kota ini aku tinggal sendirian. Aku memang sudah bertekad untuk mengadu nasib di kota besar ini. Dan sepertinya perjuanganku tidak sia-sia. Sekarang aku sudah punya apartemen sendiri, mobil mewah dan keuangan yang jauh lebih dari pada cukup.

Sebagian dari hasil kerjaku memang aku kirimkan ke kampung untuk membantu perekonomian keluargaku di kampung.

Hidupku sebenarnya baik-baik saja dan bahkan aku sangat merasa bersyukur akan kehidupanku saat ini.

Tapi ada satu hal dalam diriku yang selama hanya aku pendam sendiri.

Satu-satunya rahasia dalam hidupku yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun.

Sejak aku beranjak remaja aku sudah menyadari kalau aku punya selera yang berbeda dari laki-laki pada umumnya.

Ketika SMA, aku pernah jatuh cinta pada salah seorang seniorku. Meski tentu saja, aku hanya bisa memendamnya. Karena orang yang aku cintai tersebut adalah seorang laki-laki, sama sepertiku.

Menyadari akan hal tersebut, aku mulai menyibukan diriku dengan melakukan berbagai kegiatan positif, agar aku tidak terlalu larut dalam dunia tersebut.

Aku memang berhasil melupakan sosok laki-laki seniorku tersebut, tapi aku tetap tidak bisa merasa tertarik pada lawan jenis-ku.

Berkali-kali aku mencoba untuk mendekatkan diri pada sosok perempuan, tapi tetap saja yang ada dala pikiranku adalah seorang laki-laki.

Aku bahkan pernah mencoba pacaran dengan seorang perempuan, tapi setelah berbulan-bulan aku tetap saja tidak merasakan perasaan apa-apa terhadap pacarku. Hingga aku pun akhirnya memutuskan pacarku, karena aku tidak ingin menyiksa diriku sendiri dan menyiksa perasaan pacarku.

Setelah disibukkan oleh kehidupanku yang baru sebagai aktor terkenal, aku semakin tidak punya waktu untuk memikirkan soal pacaran.

Tapi sebagai seorang aktor yang cukup terkenal, tentu saja banyak yang bertanya-tanya tentang hubungan asmaraku.

'tampan-tampan kok jomblo..' begitu salah satu komentar netizen padaku, saat aku mengakui kalau aku sedang tidak dekat dengan siapa pun.

Menjadi seorang selebriti ternama memang memiliki banyak resiko. Salah satunya ialah kita harus menghadapi berbagai komentar dari para netizen. Baik itu komentar positif atau pun komentar-komentar negatif.

Apa lagi jika kita punya wajah yang tampan, tapi tidak punya pacar, pasti para netizen akan sibuk mengomentari hidup kita.

Kadang aku merasa risih juga mendengar komentar-komentar tersebut. Karena bukan satu dua kali dan bukan satu dua orang yang berkomentar seperti itu.

Aku bukannya tidak mau pacaran, setidaknya untuk mengubah status jomblo-ku di depan publik. Tapi sampai saat ini, tidak ada seorang wanita cantik pun yang bisa membuatku jatuh hati.

Karena aku memang tidak punya ketertarikan pada perempuan. Justru aku lebih tertarik kepada para selebritis pria yang berwajah tampan dan bertubuh atletis.

****

"besok jadi, kan, To?" tanya salah seorang rekan seniorku, sebut saja namanya Antonio.

Antonio merupakan seorang aktor senior, usianya sudah mencapai kepala tiga.

Antonio juga seorang aktor yang cukup terkenal, ia sudah membintangi berbagai film dan sinetron.

"iya, jadi. Kan sudah pesan tiket.." jawabku lugas.

Aku dan Antonio memang berencana untuk pergi liburan ke Paris selama beberapa hari. Hanya kami berdua.

Meski sudah berusia 30 tahun dan memiliki kehidupan yang sangat mapan, Antonio juga belum menikah.

Tapi selama ini Antonio terkenal sebagai sosok yang suka gonta-ganti pacar.

Aku dan Antonio memang cukup dekat. Selain sebagai senior, Antonio juga sudah aku anggap sebagai sahabat. Dari sekian banyak rekan-rekan sesama artis, Antonio satu-satunya orang yang paling dekat denganku.

Karena itu juga kami berencana untuk pergi liburan berdua. Kebetulan juga aku belum pernah sampai ke Paris, salah satu kota yang menjadi impianku sejak lama.

Dan sesuai rencana, dua hari kemudian kami pun terbang ke Paris.

Sesampai di Paris, kami pun menginap di sebuah hotel mewah di tengah-tengah kota Paris.

Kami menyewa dua buah kamar, untuk kami tempati masing-masing selama beberapa hari ke depan.

Pada malam pertama kami menginap di sana, aku tak sengaja melihat Antonio membawa seorang pria bule masuk ke kamarnya.

Awalnya aku berpikir kalau pria bule tersebut adalah salah seorang teman Antonio. Tapi aku mulai curiga, saat aku tahu kalau pria bule tersebut justru menginap di kamar Antonio. Hal itu aku ketahui ketika paginya, pria bule itu baru keluar dari kamar Antonio.

"siapa laki-laki yang menginap di kamar kamu semalam, Ton?" tanyaku ketika kami sama-sama sarapan.

"laki-laki semalam? Kamu melihatnya?" Antonio justru balik bertanya.

Aku mengangguk ringan, "tak sengaja, sih" ujarku polos.

"oh, dia laki-laki bayaran." jawab Antonio tegas.

"laki-laki bayaran untuk apa?" tanyaku dengan nada heran.

"ya.. untuk tidur denganku lah.." balas Antonio terlihat santai.

"maksud kamu?" tanyaku semakin heran.

"kamu gak usah berlagak polos gitu lah, To. Kamu pasti tahu maksud ku apa.." jawab Antonio lagi masih dengan nada santai.

"tapi dia kan laki-laki?" ucapku dengan ragu.

"iya. emang kenapa?" Antonio justru balik bertanya.

"gak kenapa-kenapa, sih. Cuma... apa kamu penyuka sesama jenis?" aku bertanya lagi, kali ini keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

Di luar dugaan, Antonio justru mengangguk mantap. Ia terlihat tanpa beban.

"tapi bukannya selama ini kamu selalu pacaran dengan banyak perempuan?" tanyaku lagi.

"itu hanya topeng, To. Dan di sini aku bisa membuka topengku sendiri. Di sini aku bebas menjadi diriku sendiri.." balas Antonio terdengar mantap.

Aku terdiam. Aku benar-benar tidak menyangka sama sekali, jika laki-laki segagah dan setampan Antonio justru punya selera terhadap laki-laki.

Akh, lalu apa bedanya denganku? Bathinku bertanya.

"dan gimana dengan kamu sendir?" tanya Antonio tiba-tiba, setelah kami terdiam sesaat.

"aku? aku ... aku jelas suka perempuan lah.." balasku berbohong.

Biar bagaimana pun aku belum berani untuk jujur pada Antonio, meski Antonio sendiri sudah begitu terbuka padaku.

"kamu yakin suka perempuan? Kamu bahkan belum pernah pacaran.." timpal Antonio, yang membuatku sedikit salah tingkah.

"pernah, kok. Dulu.." jawabku cepat.

"iya. Tapi kan cuma sekali dan itu pun gak sampe satu tahun.." ucap Antonio lagi.

Aku terdiam kembali. Lalu segera bangkit untuk berdiri dan berlalu dari tempat tersebut. Tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

*****

Malam itu, tiba-tiba Antonio masuk ke kamarku.

"ada apa, Ton?" tanyaku berbasa-basi.

"gak ada apa-apa. Cuma pengen ngobro aja sama kamu.." jawab Antonio, sambil ia duduk di sisi ranjang.

"kamu gak takut, Ton. Kalau suatu saat kelakuan kamu tersebut diketahui orang-orang?" tanyaku, setelah beberapa saat kemudian.

Aku sebenarnya masih penasaran. Kenapa Antonio bisa memiliki ketertarikan pada laki-laki. Padahal sebagai laki-laki, ia terlihat sangat sempurna.

"selama ini aku selalu memilih untuk pergi liburan sendiri. Semua itu aku lakukan, agar aku bisa menikmati hal tersebut, tanpa diketahui siapa pun. Ke kota mana pun aku berlibur, aku selalu mencari laki-laki bayaran untuk bisa menumpahkan hasratku tersebut." cerita Antonio.

"hingga saat ini, hanya kamu satu-satunya yang mengetahui siapa aku sebenarnya, To. Itu karena aku menganggap kamu adalah orang yang bisa dipercaya. Jadi aku harap kamu bisa memegang kepercayaanku ini.." lanjut Antonio.

"aku.. aku juga pengen cerita sesuatu sama kamu, Ton. Tapi aku harap kamu juga bisa aku percaya.." ucapku kemudian.

"kamu cerita aja, To. Aku jamin rahasia kamu aman sama ku.." balas Antonio.

"aku.. aku ... aku juga sebenarnya penyuka sesama jenis, Ton." suaraku bergetar.

Aku memang berencana untuk jujur pada Antonio. Mengingat Antonio juga seorang gay, dan terlebih karena aku juga butuh teman untuk menceritakan ini semua. Selama ini aku merasa tersiksa karena selalu memendamnya sendiri. Aku butuh orang yang bisa aku percaya untuk mendengarkan ceritaku, dan Antonio saat ini adalah orang yang tepat.

Antonio terlihat tidak begitu kaget mendengar pengakuanku barusan. Sepertinya ia sudah menduga hal tersebut.

"tapi sejujurnya aku belum pernah melakukan hal tersebut dengan siapa pun, Ton. Jadi aku juga ingin merasakannya. Aku juga ingin kamu mencarikan aku laki-laki bayaran di sini.." lanjutku merasa mulai santai.

Terus terang aku merasa cukup lega telah berani untuk jujur pada Antonio, terutama pada diriku sendiri.

"kalau kamu memang ingin mencobanya, kenapa kamu tidak mencobanya saja denganku?" balas Antonio, yang membuatku sedikit membelalakan mata.

"dengan kamu? emangnya kamu mau?" tanyaku kembali bergetar.

"sebenarnya aku sudah lama menaruh perasaan padamu, To. Tapi tentu saja aku tidak berani untuk mengungkapkannya padamu. Karena setahuku selama ini, kamu adalah laki-laki normal."

"namun karena kamu sudah jujur tentang dirimu yang sebenarnya, aku jadi punya keberanian untuk mengatakan perasaanku padamu. Aku suka sama kamu, To." jawab Antonio panjang lebar.

Aku terdiam kembali. Aku tak menyangka kalau Antonio punya perasaan padaku selama ini, sama hal aku tidak menyangka kalau ia adalah seorang gay.

"tapi kalau kamu gak tertarik sama saya, gak apa-apa kok, To. Saya akan carikan pria bayaran buat kamu malam ini.." Antonio berucap lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

"aku gak tahu pasti apa yang aku rasakan sebenarnya, Ton. Selama ini aku selalu berusaha untuk menutup hatiku rapat-rapat, hingga tak membiarkan siapa pun untuk masuk. Baik itu perempuan mau pun perempuan." ucapku akhirnya, setelah berpikir sejenak.

"tapi kalau memang kamu mau, aku juga mau mencobanya dengan kamu, Ton. Dari pada aku harus melakukannya dengan orang yang tidak aku kenal. Apa lagi ini adalah pertama kali aku mencobanya.." lanjutku.

Antonio tersenyum senang mendengar kalimatku barusan.

"tapi seperti yang aku katakan aku belum pernah melakukannya. Jadi aku ingin, kamu yang mengajari aku, Ton." aku berucap lagi.

"kamu tenang saja, To. Aku pasti akan memperlakukanmu dengan lembut. Kamu pasti tidak akan menyesal, karena telah memilih aku menjadi orang pertama yang melakukannya denganmu.." balas Antoni terdengar berusaha meyakinkanku.

"aku juga tidak tahu harus berperan sebagai apa di sini, Ton. Karena aku tidak pernah benar-benar memikirkan hal tersebut. Yang aku tahu selama ini, aku hanya suka mengkhayalkan sosok laki-laki yang aku kagumi.." ucapku lagi.

"malam ini kita akan mengetahuinya, To. Apa peran kamu sebenarnya. Karena aku sendiri bisa berperan sebagai apa saja yang kamu inginkan.." balas Antonio kemudian.

Antonio pun mulai melakukan aksinya padaku. Meski dengan sedikit risih, aku mencoba menerima perlakuan Antonio padaku malam itu.

Hal yang selama ini hanya ada dalam khayalku, malam ini benar-benar menjadi nyata.

Antonio benar-benar sudah berpengalaman, yang membuatku semakin terkesan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, akhirnya aku bisa merasakan hal tersebut. Dan aku merasakan sebuah sensasi keindahan yang luar biasa malam ini.

Sungguh sebuah kesan yang teramat indah yang telah Antonio berikan padaku. Dan aku terlena.

Aku terlena dalam lautan cinta yang penuh warna keindahan.

Aku terbuai dalam gelora asmara yang selama ini hanya ada dalam lamunanku.

"terima kasih, Antonio.." bisikku, ketika semua keindahan itu pun berakhir.

Antonio membalas dengan sebuah senyuman yang tiba-tiba saja terlihat manis di mataku.

****

Malam-malam selanjutnya, kami lebih sering menghabiskan waktu berdua di kamar.

Sepertinya Antonio benar-benar berhasil membuatku ingin selalu melakukannya.

Hingga masa liburan kami pun berakhir.

"aku harap, setelah ini kita masih tetap bisa bersama, Gito." begitu ucap Antonio, sesaat sebelum kami keluar dari hotel, untuk segera menuju bandara.

"tapi ... apakah nanti di Indonesia kita tetap bisa melakukannya dengan aman?" tanyaku.

"sepertinya kita memang harus sering-sering pergi liburan berdua, To. Supaya lebih punya banyak waktu untuk bisa melakukannya lagi.." ucap Antonio, seakan mengabaikan pertanyaanku barusan.

"jadi saat kita berada di Indonesia, atau pun saat kita berada di kehidupan kita masing-masing, kita bisa menjaga diri agar tidak terlalu mengundang kecurigaan orang-orang.." lanjut Antonio lagi, yang membuatku mulai paham maksud dari kalimatnya barusan.

Ya, seperti yang aku duga, Antonio jelas tidak ingin hubungan kami diketahui oleh siapa pun. Yang artinya jika kami sudah kembali ke kehidupan artis kami, kami harus kembali menjadi orang lain.

"kita harus tetap bisa mempertahankan topeng kita di depan orang-orang, To. Setidaknya demi menjaga nama baik kita dan juga demi menjaga karir kita sebagai seorang aktor. Karena jika ada yang mengetahuinya, kehidupan kita berdua akan hancur, To. Aku harap kamu memahami ini.." Antonio berucap, sambil mulai melangkah keluar.

Aku paham. Aku sangat paham dengan apa yang dimaksud oleh Antonio. Hanya saja di dalam hatiku bertanya.

Sampai kapan semua ini akan terus terjadi?

Sampai kapan kami mampu menipu orang-orang?

*****

Waktu masih terus bergulir. Kami berdua kembali disibukan oleh kegiatan kami masing-masing.

Meski pun pada waktu-waktu tertentu kami juga punya kesempatan bertemu, namun pertemuan kami hanya sebatas pertemuan dua orang sahabat. Seperti yang orang-orang ketahui selama ini.

Tapi beberapa bulan kemudian, kami kembali membuat janji, untuk melakukan liburan berdua lagi.

Kali ini ke negara yang berbeda dan kota yang berbeda.

Tentu saja, kami pun kembali melakukan hal tersebut.

Kami manfaatkan waktu liburan kami, untuk saling melepaskan rindu. Melepaskan segala hasrat yang sudah terpendam selama berbulan-bulan.

Dan hal itu terus terjadi selama beberapa tahun.

Sampai akhirnya Antonio pun memutuskan untuk menikah. Meski hatiku sakit sebenarnya menerima keputusan Antonio tersebut. Tapi aku harus bisa merelakannya. Karena biar bagaimana pun, pada akhirnya kami memang harus menikah.

Bukan saja karena kami harus memenuhi keinginan keluarga kami, dan juga keinginan dari para penggemar kami, tentu saja juga karena kami harus menjalankan kodrat kami sebagai seorang laki-laki.

Sejak menikah, Antonio tidak pernah lagi berhubungan denganku. Ia sudah disibukan dengan keluarga barunya.

Namun aku sendiri, masih sering melakukan perjalanan liburan sendiri. Dan aku juga menyempatkan untuk menyewa laki-laki bayaran di kota yang aku kunjungi. Seperti yang sering Antonio lakukan, ketika ia belum bersamaku.

Aku hanya ingin menikmati masa-masa lajangku, sebelum akhirnya aku juga harus memilih untuk menikah nantinya.

Namun yang pasti saat ini aku harus bisa menikmati hidupku dengan cara ku dan menjadi diriku sendiri.

Memakai topengku lagi saat kembali menjalankan pekerjaanku, dan akan membuka topengku saat aku punya waktu untuk liburan sendiri.

Dan begitulah kisahku.

Kisahku bersama salah seorang aktor senior dan juga kisahku yang merupakan seorang aktor penyuka sesama jenis.

Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan seperti ini?

Namun yang pasti, suatu saat kelak aku pasti akan berubah..

Semoga saja..

****

Selesai...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate