Nasib cinta sang tukang panen ...

"ada apa, mas Adjie?" tanyaku sedikit heran, ketika seorang pria muda berdiri di depan pintu dan mengucapkan salam.

Pria muda tersebut terlihat sedikit kaget, sepertinya ia tak menduga kalau saya sudah mengetahui namanya.

cerpen Sang penuai mimpi

Dia adalah mas Adjie, setidaknya begitulah yang aku ketahui tentangnya.

Mas Adjie merupakan anak tunggal dari seorang pengusaha kebun sawit. Papanya seorang pengusaha yang sangat sukses dan juga punya beberapa kebun sawit yang cukup luas.

Aku bekerja di salah satu kebun sawit milik papa mas Adjie sebagai seorang tukang panen. Aku menjadi tukang panen di kebun ini baru sekitar satu tahun yang lalu.

Kebun sawit ini cukup luas. Biasanya papa mas Adjie yang selalu datang ke kebun ini untuk melihat kami bekerja, tapi entah mengapa kali ini justru mas Adjie sendiri yang datang. Dan ini merupakan pertama kalinya aku melihat sosok mas Adjie. Karena selama ini aku hanya tahu cerita tentang mas Adjie dari pak Darman, salah seorang orang kepercayaan papanya mas Adjie, yang juga tinggal di kebun ini.

"kamu gak kerja?" tiba-tiba mas Adjie bertanya, setelah cukup lama ia menatapku tanpa kedip. Aku tak mengerti mengapa mas Adjie menatapku seperti itu.

"oh, belum, mas Adjie." jawabku, "saya kan tukang panen, mas. Jadi kerjanya biasanya hanya empat atau lima hari dalam seminggu. Kebetulan hari ini saya libur.." lanjutku berusaha menjelaskan.

Mas Adjie terlihat manggut-manggut mendengar penjelasanku barusan. Ia masih berdiri di depan pintu.

"saya boleh numpang istirahat sejenak di sini?" tanya mas Adjie kemudian.

"iya, boleh. Silahkan masuk aja, mas." balasku spontan.

Di kebun sawit ini memang tersedia rumah-rumah tempat kami para pekerja tinggal. Kami biasa menyebutnya barak. Rumah-rumah ini tersusun rapi dan berdempetan satu sama lain. Meski hanya terbuat dari kayu, rumah-rumah ini sangat kokoh dan rapi.

Ada setidaknya sekitar sepuluh buah rumah yang berderetan di sini. Setiap rumah memiliki satu ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur di bagian belakang serta sebuah kamar mandi kecil di sudut belakang rumah.

Rumah yang aku tempati berada dipaling ujung. Aku tinggal di sini bersama dua orang temanku yang sama-sama masih lajang. Kebetulan pagi itu, kedua temanku sedang ikut bekerja di kebun. Jadi saya hanya sendirian di rumah, saat mas Adjie datang tadi.

Aku melihat jam di dinding, masih jam sepuluh pagi. Yang berarti kedua temanku baru akan pulang sekitar dua jam lagi. Aku cukup bingung harus menghadapi mas Adjie, yang merupakan anak pemilik kebun sawit tempat aku bekerja ini.

"kamu sendirian aja disini?" tanya mas Adjie lagi.
"gak, sih, mas. Saya bersama dua orang lainnya. Tapi sekarang mereka lagi kerja di kebun." jawabku.
"perumahan emang sunyi seperti ini ya?" mas Adjie bertanya lagi, sambil ia melangkah masuk.
"ya, mas. Soalnya kalau jam segini, anak-anak pada sekolah semua. Bapak-bapaknya dikebun dan para Ibu-ibu biasanya ke pasar atau ikut ke kebun." jelasku cukup panjang.

"istirahat di kamar aja, mas Adjie.." aku berujar lagi, karena melihat mas Adjie hanya berdiri di ruang tengah.

Mas Adjie pun segera masuk ke kamar. Di dalam kamar tersebut memang tidak ada ranjang, hanya terdapat dua buah kasur untuk tempat kami tidur.

"maaf ya, mas Aji. Kamarnya berantakan. Maklum, kami bertiga tinggal disini, belum ada yang berkeluarga. Jadi masih lajang semua, sehingga rumah beserta isinya agak berserakan.." aku berujar, karena merasa kurang nyaman melihat keadaan kamar yang berantakan.

"oh, gak apa-apa. Saya hanya mau tiduran sebentar, kok." balas mas Adjie, sambil ia langsung duduk di atas kasur.

"mas, mau saya ambilkan minum?" tanyaku lagi, karena melihat mas Adjie agak sedikit kelelahan.

"oh. gak usah..." balas mas Adjie cepat. "oh, ya. Nama kamu siapa?" tanyanya melanjutkan.

"Saya Arlan, mas. Saya udah hampir setahun bekerja jadi tukang panen disini." jawabku lugas.

"kamu jangan berdiri aja. Kamu duduk disini ya, temani saya ngobrol." ucap mas Adjie selanjutnya.

Saya pun dengan sedikit ragu mencoba melangkah masuk. Namun sebelum saya masuk, tiba-tiba mas Adjie meminta saya untuk menutup dan mengunci pintu kamar. Meski saya tidak begitu mengerti kenapa mas Adjie ingin pintunya tertutup, saya tetap melakukan perintahnya.

Setelah menutup dan mengunci pintu kamar, saya masuk dan duduk agak sedikit jauh dari mas Adjie.

Mas Adjie memperhatikan saya dengan seksama, saya cukup merasa risih. Tatapan mas Adjie seperti melumat setiap detail tubuh saya. Pandangannya tajam.

Saya merasa tidak begitu nyaman, apa lagi saat itu saya hanya memakai celana pendek dan baju singlet.

Saya mencoba membalas tatapan mas Adjie. Mas Adjie kemudian menundukan kepalanya. Ia terlihat sedikit capek, karena baru saja berkeliling melihat kebun sawit.

Saya tahu mas Adjie anak orang kaya yang pastinya sedikit manja. Dan berada di kebun sawit, apa lagi harus berjalan kaki melihat-lihat kebun tadi, pasti membuat ia kelelahan. Karena itu juga mungkin, ia ingin beristirahat disini.

"mas, mau saya pijitin...?" tanyaku menawarkan, karena saya tidak tahu harus menawarkan apa lagi pada mas Adjie.

Mas Adjie menatapku kembali. Kali ini cukup lama. Ia terlihat sedang berpikir. Mungkin juga ia tidak mengira kalau aku akan menawarkan hal tersebut.

"boleh. Kalau Arlan gak keberatan.." ucapnya akhirnya, sambil memasang senyum manisnya.

"ya udah, mas Adjie buka aja pakaiannya.." ucapku lagi.

Mas Adji pun mulai membuka pakaiannya satu persatu, ia hanya memakai celana boxer bercorak coklatnya.

"mas tengkurap, ya.." aku berujar lagi, setelah cukup lama menatap mas Adjie yang sudah setengah telanjang. Mas Adjie segera tengkurap, dan aku pun mulai memijat bagian kakinya.

Saya memang sudah sering memijat, terutama memijat rekan-rekan kerja saya sesama pemanen. Biasanya kalau siangnya kami memanen, malam harinya kami akan saling bergantian memijat.

Selesai memijat bagian kaki dan paha mas Adjie, saya pun berpindah ke bagian punggungnya.
Lalu kemudian meminta mas Adjie untuk telentang dan mulai memijat bagian kakinya lagi.
Memijat bagian tangannya, kemudian melanjutkan ke bagian dada dan perutnya.
 
Mas Adjie terlihat sangat menikmati setiap pijatan yang saya berikan. Ia terlihat nyaman dan rileks.

"kulit mas Adjie putih dan bersih..." ucapku tanpa sadar mengungkapkan kekagumanku, karena aku sendiri memiliki kulit yang cukup gelap. "Badan mas Adjie juga bagus, perut mas Adjie sangat six pack, dan dada mas Adjie juga bidang.." lanjutku jujur.
Sepertinya mas Adjie memang tipe orang yang rajin olahraga dan fitnes.
 
Hampir setengah jam saya memijat tubuh mas Adjie, saya mulai berkeringat. Karena merasa gerah, aku pun membuka baju singletku.
 
Aku melihat mas Adjie kembali menatap tubuhku yang tanpa baju. Aku merasa sedikit risih, tapi tetap berusaha melanjutkan tugasku.

"badan kamu juga bagus, Arlan. Kamu terlihat kekar dan berotot. Dada kamu bidang dan perutmu juga six pack." tiba-tiba mas Adjie berucap. Saya merasa sedikit tersanjung.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka olahraga. Tubuh saya terbentuk secara alami, karena sudah biasa kerja keras sejak kecil.

Saya masih terus memijat bagian dada dan perut mas Adjie. Lalu kemudian berpindah untuk memijat tangannya. Saya berusaha untuk tetap fokus melakukan pijatan saya, meski mas Adjie tak berhenti menatap saya.

Saat saya memijat bagian lengan mas Adjie, saya tanpa sengaja meletakkan telapak tangan mas Adjie di atas paha saya, agar lebih gampang untuk menjaga keseimbangannya. Saya biasa melakukan hal tersebut, setiap kali memijat orang.
 
Cukup lama saya melakukan gerakan tersebut, mas Adjie terlihat sedikit gelisah. Lalu kemudian saya merasakan tangan mas Adjie tiba-tiba mengelus paha saya yang masih terbalut celana kaos pendek tersebut.
 
Saya merasa geli dan sedikit kaget menyadari hal tersebut. Spontan saya pun menghentikan pijatan saya. Saya menatap mas Adjie cukup lama. Tapi mas Adjie malah membalas tersenyum.

"mas Adjie, mau apa?" tanyaku terdengar lugu.
 
Untuk sesaat ia hanya terdiam. Ia terlihat bingung. Namun sedetik kemudian, ia pun bangkit untuk duduk. Mas Adjie duduk tepat berada di depanku. Wajahnya sangat dekat. Saya merasa sedikit risih.
 
Mas Adjie menatapku dengan penuh perasaan, sambil ia berucap,
"saya ... saya ... ingin kamu..." suara mas Adjie terdengar bergetar.
"mas Adjie ... mas Adjie ingin saya bagaimana?" aku bertanya kembali, lalu kemudian menunduk, tak berani menentang tatapan tajam mas Adjie.
 
Sebenarnya saya mulai mengerti apa yang mas Adjie inginkan. Tapi selain karena saya tidak begitu yakin, saya juga merasa cukup takut harus menghindar dari mas Adjie.
 
Lalu kemudian, tanpa menjelaskan apa pun, tiba-tiba mas Adjie memegang dagu saya dan mengangkat wajah saya ke atas. Mas Adjie dengan pelan mulai mendekatkan bibirnya.
Aku spontan kaget, lalu dengan repleks segera mendorong tubuh mas Adjie.
 
Mas Adjie cukup kaget melihat reaksi saya barusan. Saya terus menjauh. Bergerak mundur, lalu berdiri dengan perlahan.
 
"maaf, mas Adjie. Saya ... saya ... tidak bisa... saya ... saya merasa geli..." aku berucap terbata, ketika aku sudah berdiri.

Mas Adjie terlihat terdiam. Ia seperti tak percaya dengan apa yang barusan saya ucapkan. Sepertinya mas Adjie terlanjur berharap dan ia seperti tak menerima apa yang aku ucapkan.

Mas Adjie kemudian menarik napas, ia seperti mencoba menahan sesuatu yang sudah terlanjur bangkit.

Saya semakin mengerti sekarang, siapa mas Adjie sebenarnya. Saya hanya tidak menyangka sama sekali kalau mas Adjie adalah laki-laki penyuka sesama jenis. Padahal secara fisik ia terlihat macho.

Tiba-tiba saya merasa menyesal, telah menawarkan mas Adjie untuk pijat. Mungkin saja ia salah mengartikan tawaran saya tersebut. Apa lagi tadi saya sempat memujinya. Mungkin juga mas Adjie berpikir, kalau saya juga menginginkan hal tersebut.
Padahal semua itu, murni sebagai bentuk rasa hormat saya kepada mas Adjie, karena ia adalah anak pemilik kebun sawit tempat saya bekerja.

Mas Adjie terlihat menarik napas dalam sekali lagi, kali ini lebih panjang.
Aku yakin, mas Adjie sedikit merasa malu padaku saat ini, karena sudah mengetahui siapa dia sebenarnya.
Meski aku pun yakin mas Adjie bisa saja memaksaku untuk melakukannya, karena ia punya kekuasaan akan hal tersebut.

Biar bagaimana pun mas Adjie adalah anak dari pemilik kebun sawit tempat aku bekerja.

Mas Adjie tiba-tiba ikut berdiri. Ia berdiri tepat di hadapanku. Jarak kami tak lebih hanya setengah meter. Aku pun perlahan mulai mundur, tapi aku merasakan tubuhku terbentur dinding kamar, yang membuatku harus terhenti.

Sementara mas Adjie terus melangkah mendekat. Aku mulai sedikit panik. Tapi mas Adjie terlihat tidak begitu peduli, ia seperti sudah kerasukan sesuatu. Sepertinya ia benar-benar menginginkanku. Mas Adjie sudah seperti kehilangan akal sehatnya.

Mas Adjie sudah berdiri kembali di hadapanku, ia sangat dekat. Aku segera mendorong tubuhnya, agar menjauh.

"jangan mas Adjie.." ucapku memohon, dengan nada sedikit menghiba.

Mas Adjie justru memegang tanganku yang coba mendorongnya.
 
"kalau kamu tetap tidak mau, saya akan minta pak Darman untu memecat kamu dari sini...!" kalimat ancaman itu akhirnya keluar juga dari mulut mas Adjie.
 
Saya tentu saja merasa kaget mendengar hal tersebut. Tak kusangkan mas Adjie akan berucap demikian.
Tiba-tiba perasaan takut menyelimutiku. Perasaan takut akan kehilangan pekerjaanku.
 
"tapi... tapi saya gak bisa, mas. Saya.. saya tidak pernah melakukan hal seperti ini..."ucapku akhirnya dengan suara terbata, "tadi saya berniat memijat mas Adjie karena mas Adjie kelihatan capek dan sedikit lesuh. Saya tidak ada maksud apa-apa. Tolong saya, mas. Jangan lakukan hal ini sama saya. Saya sangat butuh pererjaan ini..." aku terus berbicara panjang lebar dengan suara semakin menghiba. Berharap mas Adjie mau mengerti dan melepaskan saya.
 
Tapi sepertinya mas Adjie tidak begitu peduli dengan ucapan saya. Ia masih saja terus berusaha mendekati saya.
 
"justru karena kamu belum pernah melakukannya, biarkan saya menjadi yang pertama buatmu, Arlan!" ucapan mas Adjie terdengar semakin jahat.
"nanti saya akan kasih kamu uang yang banyak, asal kamu mau melakukannya sekarang..." ia melanjutkan, mencoba memberikan saya sebuah tawaran.
 
Kali ini aku terdiam. Aku harus berpikir lebih keras lagi untuk mempertimbangkan semua ini.
Terus terang saya merasa sangat jijik membayangkan akan melakukan hal tersebut dengan mas Adjie. Tapi saya juga tidak ingin kehilangan pekerjaan saya.

Dan  terlepas dari itu semua, saya juga tidak begitu berani menolak permintaan dari anak pemilik kebun sawit tempat saya bekerja selama ini. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Saya pasti tidak bisa lari begitu saja. Mas Adjie pasti tidak akan begitu saja melepaskan saya. Melihat dari caranya menatap saya saat ini. Dan lagi pula bahkan ia juga bersedia membayar saya mahal.
 
"baik... baiklah, mas Adjie. Saya mau. Asal saya di kasih uang, dan tolong jangan pecat saya dari sini. Saya juga ingin mas Adjie berjanji untuk tidak menceritakan semua ini kepada siapa pun..." jawabku akhirnya, setelah berpikir cukup panjang.
 
Bukan sebuah keputusan yang tepat sebenarnya. Tapi saat ini, aku memang tidak punya pilihan lain.
Apa lagi mas Adjie berjanji akan memberiku sejumlah uang. Saat ini aku memang sangat membutuhkan uang.
 
Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar dari kampung kalau ibuku sakit parah dan butuh biaya banyak. Aku ingin mengirimkan uang untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung, tapi saat ini aku benar-benar tidak punya uang. Dan tawaran dari mas Adjie, aku rasa bisa menjadi jalan keluar untukku saat ini.
 
Meski aku harus mengorbankan harga diriku sebagai seorang laki-laki. Meski aku harus menelan semua rasa jijik dan geliku.
Aku akan mencobanya, setidaknya demi sejumlah uang dan juga untuk mempertahankan pekerjaanku.
 
Aku melihat mas Adjie tersenyum penuh kemenangan, setelah mendengar jawabanku barusan. Ia bak anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan baru.

"tapi saya belum pernah melakuakn hal ini, mas Adjie. Apa lagi dengan sesama laki-laki.." aku berujar, ketika mas Adjie hendak menyentuh dadaku. "saya tidak tahu harus melakukan apa.." lanjutku jujur.

"kamu nikmati saja, apa yang saya lakukan sama kamu.." ucap mas Adjie membalas, sambil ia kembali memasang senyum mesumnya.
Ia mulai merapatkan tubuhnya mendekat. Saya merasa merinding. Sekuat mungkin saya berusaha menahan rasa geli dan jijik saya. Saya memejamkan mata dan menahan napas. Keringat dingin mulai membasahi dada saya.

Dan sedetik saat bibir mas Adjie hendak menyentuh bibir saya, saat itulah tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar.
Mas Adjie segera menghentikan tindakannya dan mulai menjauhi tubuh saya kembali.

Ternyata para pekerja telah kembali dari kebun. Suara mereka terdengar ramai berbincang-bincang.
Setengah bersyukur saya kembali membuka mata saya dan melihat jam di dinding. Sudah jam 12 siang, dan tentu saja ini adalah jam istirahat para pekerja.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu rumah terbuka. Mas Adjie dengan tergesa memungut pakiannya kembali dan segera memakainya, saya pun melakukan hal tersebut.

Mas Adjie meminta saya untuk membuka pintu kamar, lalu ia berbaring di kasur dan berpura-pura tertidur. Tapi sebelumnya ia sempat berucap,
"ini belum berakhir, Lan.." suaranya lirih.
 
Aku hanya terdiam. Berbagai perasaan mulai berkecamuk di benakku. Kali ini aku mungkin lolos dari memenuhi keinginan mas Adjie. Tapi sepertinya hal ini justru membuat mas Adjie semakin penasaran.
 
Aku yakin, setelah ini mas Adjie pasti akan mencari waktu yang tepat untuk bisa memenuhi hasratnya denganku.
 
Aku menarik napas dalam, dan ikut berpura-pura tertidur. Saat kedua temanku hendak masuk kamar, mereka mundur kembali, karena melihat mas Adjie yang sedang tertidur di dalam kamar kami.
 
Sebagian hatiku memang merasa cukup bersyukur siang itu, karena aku telah selamat dari keinginan bejat mas Adjie. Namun sebagian hatiku yang lain juga merasa kecewa. Karena dengan  begitu, aku tetap tidak bisa mengirimkan uang untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung.
 
*****
 
Beberapa hari kemudian, setelah kejadian menegangkan di kebun sawit tersebut, mas Adjie kembali datang ke barak tempat saya tinggal.
Kali ini ia datang bukan lagi atas perintah ayahnya, tapi hanya untuk menemuiku.
 
"saya hanya minta di temani ke kota sebentar, pak Darman. Nanti saya antar lagi Arlan ke sini.." begitu ucap mas Adjie, meminta izin kepada pak Darman.
 
Pak Darman tentu saja tidak bisa menolak permintaan dari anak majikannya tersebut. Meski pak Darman terlihat sedikit bingung dengan permintaan mas Adjie tersebut.
 
Akhirnya dengan sedikit terpaksa, saya pun ikut bersama mas Adjie ke kota menaiki mobilnya.
"tawaran saya masih berlaku buat kamu, Lan." ucap mas Adjie, ketika kami sudah berada di perjalanan.
"kalau kamu mau saya akan kasih kamu uang. Dan tentu saja pekerjaanmu akan aman." lanjutnya.
 
Aku masih terdiam. Aku memang terpaksa harus ikut bersama mas Adjie, karena saya tidak berani menolak.
 
"lalu sekarang kita mau kemana?" tanyaku akhirnya, setelah kami berada di keramaian kota.
"ke sebuah hotel." jawab mas Adjie terdengar tegas.
 
Tak lama kemudian mobil kami pun parkir di sebuah gedung hotel yang cukup mewah. Sepertinya mas Adjie memang sudah memesan hotel tersebut, mungkin secara online. Karena ketika kami sampai di hotel, mas Adjie langsung mengajak saya masuk ke salah satu kamar hotel tersebut.
 
Saya merasa sangat gugup ketika akhirnya kami sampai di dalam kamar hotel. Jujur, ini adalah kali pertamanya aku memasuki sebuah hotel. Seumur hidup aku belum pernah memasuki kamar hotel semewah ini.
 
"usia kamu berapa sih, Lan?" tanya mas Adjie, saat aku sudah duduk di atas ranjang. Sementara mas Adjie masih berdiri tepat di depan saya.
"19 tahun, mas." jawabku singkat.

Mas Adjie terlihat sedikit manggut-manggut. Ia sepertinya mulai memahami kenapa saya terlihat sedikit bingung dan ketakutan.
Hidup saya yang keras sejak kecil, membuat saya jadi terlihat sedikit dewasa dari usia saya yang sebenarnya.

Sesaat kemudian, mas Adjie pun duduk di sampingku. Lalu ia dengan sedikit memaksa meminta saya untuk bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga aku bisa sampai di kebun sawit tersebut.

"aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Kalau tidak boleh di bilang miskin, sih." ucapku memulai ceritaku.
 
"aku anak ke lima dari tujuh bersaudara. Aku memang berasal dari kampung, semua keluargaku tinggal di kampung. Pada saat usiaku masih empat belas tahun, aku sudah mulai merantau." lanjutku.

"Karena kehidupan kami yang selalu kekurangan, aku dan saudara-saudaraku yang lain hampir tidak bersekolah sama sekali. Kecuali hanya lulusan SD. Dan merantau bukanlah sesuatu yang asing dalam keluarga kami."
Aku menarik napas sejenak, lalu meneguk minuman dingin, yang sengaja mas Adjie pesan sejak tadi.

Mas Adjie memang sengaja memesan beberapa makanan ringan dan berbagai minuman, untuk kami. Sepertinya mas Adjie memang ingin membuatku merasa terkesan, dan tentu saja ia ingin, agar aku malam ini mau memenuhi permintaannya, yang sempat tertunda beberapa hari yang lalu.
 
"Kakak pertama saya sudah merantau sejak masih berusia enam belas tahun. Begitu juga kakak ketiga saya, ia sudah sejak lama tidak pulang ke kampung." aku melanjutkan ceritaku lagi.
 
"Alasanku merantau bukan saja karena mengikuti jejak kakak-kakakku. Tapi juga karena tuntutan hidup. Tidak banyak pilihan pekerjaan di kampungku, selain jadi petani dan buruh." lanjutku lagi, kali ini aku beranikan diri untuk melirik sekilas ke arah mas Adjie.

Terlihat mas Adjie cukup serius mendengarkan ceritaku, wajahnya memperlihatkan keperihatinan.
 
"Saya sempat beberapa tahun terlunta-lunta di kota. Sampai akhirnya saya bertemu pak Darman. Dan beliau pun mengajak saya ikut bekerja dengannya di perkebunan sawit itu..." lanjutku mengakhiri ceritaku.
 
Mas Adjie masih terdiam. Ia semakin menunjukkan wajah penuh rasa iba padaku. Aku yakin, kisah hidupku cukup menyentuh nurani mas Adjie.

"saya sudah terbiasa hidup susah, mas Adjie." ucapku kemudian. "tapi saya juga takut kehilangan pekerjaan saya. Jadi saya sudah pasti tidak bisa menolak apapun keinginan mas Adjie saat ini.." lanjutku dengan nada lirih.
 
Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran dari mas Adjie. Biar bagaimana pu naku memang sedang membutuhkan uang untuk biaya berobat ibuku di kampung. Selain itu, aku juga takut kehilangan pekerjaanku. Jadi jika dengan memenuhi keinginan mas Adjie, bisa menghasilkan uang dan juga bisa menyelamatkan pekerjaanku, tak ada salahnya aku mencoba. Meski perasaan jijik masih terus membayangiku.

"uang bukan tujuan utama saya, mas Adjie. Tapi yang penting saya tetap bisa bekerja di kebun sawit tersebut.." aku mengeluarkan suara kembali, masih dengan nada lirih. Dan dengan sedikit berbohong.

"sekarang mas Adjie, mau saya bagaimana?" tanyaku melanjutkan.

Mas Adjie masih terdiam. Berpikir panjang. Saya tidak tahu apa yang sedang mas Adjie pikirkan. Padahal ia yang bersikeras mengajak ke hotel ini. Ia bisa saja dengan begitu mudah memaksaku untuk melakukannya.

Namun tak lama kemudian, perlahan mas Adjie pun mulai mendekat. Memeluk tubuhku yang masih terasa sangat kaku. Aku memejamkan mata, mencoba menahan rasa geli dan jijik-ku padanya.

Namun pelan tapi pasti, mas Adjie mulai menguasai keadaan. Dan aku pun akhirnya mencoba untuk pasrah. Benar-benar pasrah. Kepasrahanku, justru membuat mas Adjie jadi lebih leluasa untuk mempermainkanku.
 
Siang itu, untuk pertama kalinya dalam hidup melakukan hal tersebut dengan mas Adjie. Dengan seorang laki-laki.
Meski pun awalnya aku benar-benar merasa tidak nyaman, namun mas Adjie mampu membuatku merasakan sensasi keindahan yang luar biasa.

Itu adalah pengalaman pertama dalam hidupku, meski terjadi bukan dengan orang yang aku inginkan. Tapi mas Adjie sepertinya sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut, yang membuat saya merasa sedikit lega.

Aku pikir semua itu telah berakhir, namun ternyata mas Adji justru mengajakku untuk menginap malam itu di hotel tersebut. Ia sengaja menelepon pak Darman, dan mengatakan bahwa kami akan pulang esok pagi.

Aku walau dengan perasaan berat terpaksa sekali lagi memenuhi permintaan mas Adjie. Dan malam itu, setelah mandi dan makan malam, mas Adjie kembai mengajakku untuk melakukannya.
Mas Adjie memang cukup liar, aku merasa kelelahan karenanya.

"kamu hebat, Arlan. Kamu benar-benar perkasa. Aku jadi semakin menyukaimu.." begitu bisik mas Adjie, saat kali keduanya kami terhempas.

Aku hanya tersenyum tipis. Tubuhku benar-benar merasa lelah. Sementara mas Adjie terlihat tersenyum bangga menatapku. Sepertinya ia merasa bangga telah berhasil menaklukkanku.

******

Hari-hari selanjutnya mas Adjie semakin sering mengajakku ke kota. Berbagai alasan ia berikan kepada pak Darman, untuk meminta izin.
Semakin lama hubunganku dengan mas Adjie semakin dalam dan parah.

Mas Adjie memang selalu memberi saya sejumlah uang setiap kali kami selesai melakukannya. Uang yang diberikan mas Adjie cukup banyak. Sebagian uang tersebut, aku kirimkan ke kampung untuk membantu biaya berobat ibuku di kampung.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Mas Adjie sepertinya benar-benar ketagihan denganku. Dan jika harus jujur, aku juga mulai menikmati hal tersebut.
Berkali-kali melakukan hal tersebut dengan mas Adjie, akhirnya menumbuhkan sebuah rasa di hatiku.
Kadang aku merasa rindu, jika mas Adjie tak datang menjemputku.

Saya belum berani menyimpulkan bahwa itu cinta, tapi yang pasti aku mulai merasa nyaman saat bersama mas Adjie. Aku mulai sering memikirkannya.

Sampai suatu saat aku mendapat kabar dari kampung, kalau penyakit parah. Aku mau tidak mau harus segera pulang ke kampung. Untuk itu, aku pun menyampaikan hal tersebut kepada mas Adjie.

"iya, gak apa-apa. Kamu pulang aja.." ucap mas Adjie, ketika aku menyampaikan niatku tersebut.

Jarak kampungku memang sangat jauh. Setidaknya butuh waktu dua hari dua malam naik bis, untuk bisa sampai kesana.

Sebenarnya mas Adjie terlihat berat melepaskan kepergianku. Tapi aku memang harus pulang.
Aku sendiri juga sebenarnya merasa sedikit berat harus berpisah dari mas Adjie.
Berbulan-bulan kami bersama, dan hal itu mampu menumbuhkan kesan yang mendalam di hatiku untuk mas Adjie.

"aku pasti kembali, mas Aji..." ucapku saat aku hendak menaiki bis yang aku tumpangi.
"aku pasti akan selalu menunggumu disini, Arlan.." balas mas Adjie dengan nada sedih.
 
Entah mengapa saat itu tiba-tiba aku merasa sedih. Aku merasa berat harus berpisah dari mas Adjie.
Namun aku berusaha tegar, aku tak ingin mas Adjie melihat raut kesedihanku.
 
Hingga bis itu pun segera berlalu, dan aku melihat mas Adjie masih berdiri menatap dari kejauhan.

*****

Sesampai di kampung, aku melihat kondisi ibuku semakin parah. Segala obat telah di coba, namun ibu tak kunjung membaik.
Hingga akhirnya beliau pun meninggal.
 
"Ibu meninggal, mas. Jadi saya mungkin masih cukup lama berada di kampung." ucapku kepada mas Adjie ditelpon.
Mas Adjie memang sering menghubungiku, dan ketika ibu akhirnya meninggal aku pun menceritakannya.
 
"iya, gak apa-apa, Lan. Aku akan tetap menunggu kamu disini.." balas mas Adjie terdengar lirih.
 
Meski pun aku dan mas Adjie tidak punya ikatan hubungan apa pun, tapi aku mulai merasa dekat dengan mas Adjie. Dan selama di kampung aku juga sering memikirkannya.
 
Ingin rasanya aku segera kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja. Ingin rasanya aku segera bertemu mas Adjie lagi. Tapi, selain karena ibuku baru saja meninggal, keadaan keluarga juga sedang sulit.
 
Ayah yang sudah mulai menua tidak mampu lagi bekerja terlalu berat, sementara kakak-kakakku juga tidak punya kehidupan yang baik.
 
Adikku yang paling bungsu, tahun ini baru saja lulus SMP, dan butuh biaya banyak untuk melanjutkan sekolahnya. Karena itu, meski dengan sedikit berat aku pun terpaksa menjual handphone-ku, untuk membantu biaya sekolah adikku tersebut.
 
Karena sudah tidak punya handphone, tentu saja mas Adjie sudah tidak bisa menghubungiku lagi.
Hubungan kami terputus begitu saja, meski pun sebenarnya kami belum punya hubungan apa pun, sampai saat ini.
 
Tapi hatiku selalu merindukannya. Aku selalu mengingatnya. Memikirkannya di hampir setiap malamku.
Mungkin aku memang telah jatuh cinta kepada mas Adjie, dan hal itu tanpa pernah aku sadari.
 
Tapi untuk saat ini, aku harus bisa menahan diriku untuk tidak bertemu dan berhubungan dengan mas Adjie.
Aku juga harus melakukan beberapa pekerjaan di kampung, agar aku bisa mengumpulkan uang untuk ongkos kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja.
 
Setelah berbulan-bulan, aku akhirnya bisa mengumpulkan uang, dan segera kembali ke kebun sawit tempat aku bekerja.
 
Aku tak berharap bisa bertemu mas Adjie kembali. Aku yakin, setelah berbulan-bulan mas Adjie pasti sudah berubah. Ia pasti tidak akan mengharapkanku lagi. Ia pasti sudah menemukan pengganti diriku yang jauh lebih baik.
 
Karena itu aku tidak berusaha mengabarinya kalau aku sudah kembali. Aku langsung menuju kebun sawit, dan mulai bekerja lagi seperti biasa.
 
Namun setelah tiga hari aku mulai bekerja, tiba-tiba mas Adjie datang menemuiku. Katanya ia mendapat kabar dari pak Darman, kalau saya sudah kembali.
 
Saya merasa bahagia bisa melihat pria tampan itu lagi. Dan sore itu, mas Adjie meminta izin kepada pak Darman untuk membawaku ke kota. Ia mengajakku untuk menginap di hotel malam itu.
 
"kemana saja kamu, Arlan? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" mas Adjie memberondongiku dengan beberapa pertanyaan, saat kami sudah berada di dalam hotel.

"maaf, mas Adjie. Saya terpaksa menjual ponsel saya, untuk membantu biaya sekolah adik saya yang paling kecil. Ia baru saja lulus SMP tahun ini, jadi butuh biaya banyak." jelasku jujur.

"aku juga harus kerja dulu di kampung, mas Adjie. Untuk cari ongkos kembali kesini.." lanjutku.
 
Kemudian aku pun duduk di samping mas Adjie di atas ranjang.
"aku sangat merindukan mas Adjie.." ucapku pelan, yang membuat mas Adjie tersenyum senang.
"aku.. aku sayang sama mas Aji..." ucapku lagi dengan sedikit terbata.
"aku juga sayang kamu, Arlan.." balas mas Adjie tegas.
 
Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aroma harum napas mas Adjie tercium di hidungku.
Aku merasa begitu bahagia malam itu. Segala rasa rindu yang selama ini terpendam aku tumpahkan dengan segenap jiwaku.

Mas Adjie juga seperti enggan melepaskanku. Dia ingin kembali merasakan pendakian yang indah itu bersamaku.
 
"kamu begitu sempurna, mas Adjie. Aku tidak bisa melupakan kelembutan mas Adjie. Aku ingin selalu merasakannya. Tak peduli aku di bayar atau tidak, yang penting aku bisa terus bersama mas Adjie..." kali ini aku membisikkannya di telinga mas Adjie, sambil aku terus membuainya dalam lautan cinta yang indah.

Cinta kami pun akhirnya menyatu padu, melebur dalam sebuah rasa yang indah.
Pendakian-pendakian berikutnya semakin penuh rasa.
Hati kami menyatu, jiwa raga kami pun tak ingin terpisah.
Kami enggan untuk saling mengakhiri, kami ingin tetap menyatu dalam lautan cinta itu.
 
Kini hatiku benar-benar bahagia, akhirnya aku bisa memiliki pemuda tampan anak juragan sawit itu.
Aku yang dulunya hanya merasa terpaksa, kini benar-benar menginginkannya.
 
Kan ku serahkan seluruh hidupku hanya untuk mas Adjie. Aku akan selalu ada untuknya. Memberinya kebahagiaan yang tak akan pernah ia lupakan.
 
Kami akan tetap bersama, meski itu semua tidaklah akan selalu mudah.
Tapi aku percaya, kekuatan cinta bisa mengalahkan apapun.
Semoga saja..
 
*****
Sekian...

Cinta lelaki bodoh ..

"kamu serius, Nik?" suara Alan terdengar pelan.

Aku hanya mengangguk ringan. Karena menurutku apa yang barusan aku sampaikan sudah sangat jelas dan juga sangat serius.

"tapi aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu, Nik. Kecuali perasaan sebagai sahabat. Maaf ya, Nik. Dan mungkin setelah ini kita gak usah bertemu dulu. Saya masih belum siap.." Alan berucap lagi, suaranya cukup datar.

Aku merasa sakit sebenarnya mendengar kalimat Alan barusan. Tapi jauh sebelum aku memberanikan diri untuk jujur pada Alan tentang siapa aku dan bagaimana perasaanku padanya, aku sudah mempersiapkan hatiku untuk terluka.

Namun setidaknya aku sekarang merasa cukup lega, karena sudah berani untuk berterus terang kepada Alan. Meski pada akhirnya aku akan kehilangan Alan sebagai sahabat. Dan aku juga sudah siap untuk itu.

Namaku Niko, dan Alan adalah sahabatku sejak kecil. Sejak SD kami sudah berteman, hingga sekarang kami mulai kuliah. Kami selalu bersama-sama, selain karena rumah kami yang satu kompleks, kami juga punya hobi yang sama.

Sejak SD hingga SMA, kami selalu sekolah di tempat yang sama. Rumah Alan sudah menjadi rumah kedua bagiku, demikian juga sebaliknya. Aku sangat dekat orangtua Alan, begitu juga Alan, ia sudah seperti anak sendiri bagi ayah dan ibuku.

Kebetulan aku anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami, kedua adikku perempuan. Dan Alan sendiri merupakan anak tunggal.

Sejak aku SMP, aku mulai mengagumi sosok Alan. Alan anak yang cerdas, supel dan juga ramah. Selain itu, Alan juga tampan dan bertubuh atletis.

Perlahan dari rasa kagum, lalu tumbuh rasa cinta. Ya, aku jatuh pada Alan, pada sahabatku sendiri.

Aku sendiri tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja aku jatuh hati pada Alan. Padahal aku sendiri tahu, kalau Alan seorang laki-laki sama sepertiku. Tapi rasa itu tumbuh begitu saja.

Namun selama bertahun-tahun, aku hanya mampu memendamnya. Dan terkadang merasa sakit, saat alan justru berpacaran dengan perempuan. Tapi sebagai sahabat aku tetap berusaha untuk selalu ada buat Alan.

Hingga akhirnya kami lulus SMA dan mulai memasuki jenjang kuliah. Alan memilih untuk tidak satu jurusan denganku, meski kami tetap kuliah di kampus yang sama.

Karena berbeda jurusan aku dan Alan jadi sedikit jarang bertemu. Meski kami masih sering menghabiskan waktu berdua.

Cintaku kepada Alan kian hari justru kian membesar, dan aku sudah tidak sanggup lagi memendamnya.

Karena itulah aku pun menghimpun keberanianku untuk mengungkapnya pada Alan sore itu. Meski aku tahu, Alan pasti akan menolakku dan juga pasti akan menjauhiku. Namun aku hanya ingin Alan kalau aku sangat menyayanginya.

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Lan.." begitu ucapku awalnya.

"mau ngomong apa sih, Nik. Kok keliatannya serius banget.." balas Alan ringan.

"aku .. aku mau ngomong... kalau aku.. aku... aku suka.. sama kamu, Lan.." ucapku terbata.

"aku.. jatuh cinta sama kamu, bahkan sejak kita masih SMP.." lanjutku.

Alan terlihat terperangah, ia seperti tak percaya kalau aku akan berucap demikian.

Dan itulah jawaban Alan selanjutnya yang membuatku merasa terluka dan patah.

****

"tapi aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu, Nik. Kecuali perasaan sebagai sahabat. Maaf ya, Nik. Dan mungkin setelah ini kita gak usah bertemu dulu. Saya masih belum siap.." terngiang kembali ucapan Alan tempo hari.

Ya, setelah mendengar jawaban Alan tersebut, aku pun langsung pamit dengan perasaan yang sangat kecewa.

Kini jelas Alan sangat jijik melihatku, setelah ia tahu siapa aku sebenarnya. Aku mencoba menabahkan hatiku, menguatkan perasaanku dan berusaha menjalani hari-hariku meski tanpa ada Alan lagi.

Alan benar-benar menjauhiku dan bahkan ia selalu menghindar dariku. Tapi setidaknya aku yakin, Alan tidak mungkin menceritakan hal tersebut kepada siapa pun.

Berbulan-bulan hal itu terjadi, aku dan Alan semakin terasa jauh.

Namun pada suatu saat aku mendapat kabar dari papanya Alan kalau Alan masuk rumah sakit.

Sebagai sahabat aku mencoba menjenguknya. Dan disana aku melihat tubuh Alan yang terbaring lemas di kamar rumah sakit.

"Alan mengalami gagal ginjal, Nik. Ia butuh perawatan intensif..." keterangan dari papa Alan membuatku benar-benar syok.

"kata dokter hanya ada dua pilihan pengobatan untuk Alan. Yang pertama ia harus rutin cuci darah, Nik." cerita papa Alan lagi.

"dan pilihan kedua Alan harus melakukan transplantasi atau pencangkokan ginjal, tapi untuk itu ia butuh pendonor ginjal. Namun tidak mudah mencari orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya.." lanjut papa Alan lagi.

Aku semakin syok mendengar itu semua. Bagaimana mungkin di usianya yang masih muda dan dengan bentuk fisiknya yang atletis, Alan bisa mengalami penyakit tersebut.

"om akan bersedia membayar berapa saja, kalau seandainya ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya untuk Alan, Nik.." suara papa Alan terdengar lagi, suara itu semakin serak.

Aku tahu, betapa sayangnya papa dan mama Alan kepadanya, karena Alan adalah anak mereka satu-satunya. Mereka pasti sangat takut akan kehilangan Alan.

Dan terlepas dari itu semua, aku juga sangat takut kehilangan Alan. Meski akhir-akhir ini, Alan justru menjauhiku.

*****

"kamu yakin, Nik? mau melakukan ini semua?" tanya papa Alan, keningnya mengerut.

"saya yakin, Om. Asal om mau berjanji tidak akan menceritakan ini semua kepada siapa pun, terutama kepada Alan dan juga orangtuaku. Alan adalah sahabat baikku sejak kecil, Om. Dia juga sangat baik padaku selama ini. Mungkin ini saatnya aku membalas semua kebaikannya.." jawabku dengan sedikit beralasan.

"tapi kamu nantinya akan hidup dengan satu ginjal loh, Nik.." ucap papa Alan lagi.

"iya, aku tahu, Om. Mungkin resikonya cukup besar. Tapi saya siap, Om. Kata dokter kedua ginjalku cukup sehat. Jadi sekalipun nantinya aku hanya hidup dengan satu ginjal, aku masih tetap sehat kok, Om..." jelasku yakin.

"pengorbanan kamu terlalu besar, Nik. Om gak tahu bagaimana cara membalas ini semua.." suara papa Alan bergetar.

"om gak perlu memikirkan hal itu sekarang. Saat ini yang penting Alan bisa pulih kembali, Om.." balasku ringan.

Aku memang sudah bertekad untuk mendonorkan ginjalku untuk Alan. Aku sangat mencintai Alan. Apa pun akan aku lakukan agar Alan bisa pulih kembali. Meski aku tidak bisa memilikinya, tapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu yang penting untuknya.

"jika kamu memang bersikeras, Nik. Om akan mengatur semuanya dan menjadikan hanya rahasia kita berdua.." ucap papa Alan akhirnya.

Dan setelah kesepakatan kami tersebut, kami pun mengatur waktu untuk melakukan transplantasi ginjal pada Alan.

Aku sengaja izin kepada ayah dan ibu, untuk pergi ke luar kota, karena ada tugas kuliah. Karena menurut dokter, setelah operasi pendonoran dilakukan, aku harus istirahat selama seminggu.

Meski sebenarnya aku hanya bermalam dan tinggal di sebuah hotel, tentu saja atas bantuan dari papa Alan yang telah mengatur semuanya.

Semuanya diatur dengan baik, sehingga hanya aku, papa Alan dan dokter yang mengetahui hal tersebut. Sementara papa Alan sudah meyakinkan dokter tersebut, untuk menyembunyikan siapa orang yang telah mendonorkan ginjal untuk Alan.

*****

Sebulan kemudian, aku kembali melakukan rutinitasku seperti biasa. Kuliah seperti biasa.

Aku juga tahu, kalau Alan sudah mulai kuliah kembali. Keadaannya sudah membaik. Operasi yang dilakukan memang berjalan lancar dan tanpa ada kendala.

Aku merasa senang melihat Alan bisa pulih kembali. Meski aku tidak berani untuk mendekatinya lagi. Biar bagaimana pun Alan sudah pasti tidak menyukaiku, walau hanya sekedar sahabat.

Ya, siapa yang ingin punya sahabat seorang laki-laki gay seperti saya. Tapi setidaknya aku merasa cukup bahagia masih bisa terus melihat Alan.

Hari-hari kembali berlalu, waktu masih terus berputar. Dan aku masih terus memikirkan Alan setiap malamnya.

Mencintainya dalam diam, menyayanginya sepenuh hati dan menjadikannya satu-satunya orang yang mampu memberikan aku semangat setiap harinya. Meski pun aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan.

Cintaku untuk Alan terlalu besar. Aku tak akan pernah bisa menghapusnya.

Aku tak berharap bisa memilikinya. Aku hanya ingin bahagia, meski bukan denganku.

Aku mencintainya secara sederhana, seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh kayu kepada api yang menjadi abu. Seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh angin kepada hujan yang menjadi butiran mutiara di dasar lautan.

Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti mentari yang selalu setia menanti pagi.

Cinta adalah sebuah perasaan yang unik. Cinta terkadang tidak bisa wakilkan dengan kalimat apa pun, ia terlalu indah untuk tidak dinikmati. Dan mencintai tidak harus selalu memiliki.

Karena cinta sejati, selalu punya kekuatan untuk memberi tanpa keinginan untuk berharap.

Dan begitulah cintaku untuk Alan. Memberi tanpa menerima, berkorban tanpa mengharap apa pun.

Dan aku cukup bahagia dengan semua itu.

****

"kenapa kamu harus melakukan semua itu untukku, Nik?" tanya Alan dengan suara sedikit tinggi.

"melakukan apa?" tanyaku balik, dengan nada pelan.

"kamu gak usah pura-pura lagi, Nik. Saya sudah tahu semuanya.." balas Alan, kali ini suaranya mulai memelan.

"saya tahu, kalau kamu sudah mendonorkan ginjalmu untukku. Saya tahu semuanya dari papa. Saya yang memaksa papa untuk cerita.." lanjut Alan lagi, yang membuatku sedikit kaget.

Aku ingin sedikit protes, tapi Alan segera berucap lagi.

"kamu gak usah menyalahkan papa, karena udah cerita padaku. Saya tahu perjanjian kalian, tapi papa juga tahu kalau persahabatan kita sudah tidak seperti dulu."

"karena itu papa memaksa saya untuk kembali menjalin persahabatan dengan kamu, Nik. Tapi saya selalu menolak, karena saya merasa sudah tidak nyaman saat bersama kamu."

"hingga akhirnya papa pun menceritakan semuanya. Beliau menceritakan hal tersebut, hanya supaya saya tidak lagi menjaga jarak dari kamu. Agar saya bisa selalu berteman dengan kamu, Nik." cerita Alan panjang lebar.

"hanya saja saya tidak habis pikir, kalau kamu akan melakukan hal tersebut.." lanjutnya pelan.

"kita sudah bersahabat sejak kecil, Lan. Kamu juga sudah sangat baik padaku selama ini. Jadi sudah sewajarnya aku melakukan hal tersebut.." balasku akhirnya.

"tapi bagiku itu tetap bukan sesuatu yang wajar, Nik. Bagiku itu berlebihan untuk alasan sebuah persahabatan. Aku tahu, kamu melakukan itu semua, hanya karena kamu ingin membuktikan bahwa kamu benar-benar mencintaiku.." ucap Alan tajam.

Aku terkesima. Aku melakukan hal itu memang karena aku sangat mencintai Alan.

Tapi apa itu salah?

Apa aku salah berkorban untuk orang yang aku cintai?

"dengan melakukan semua itu, kamu justru membuatku menjadi bingung, Nik. Aku tak mungkin bisa mencintaimu, seperti yang kamu harapkan, tapi aku juga bukan orang yang tidak tahu terima kasih.." Alan berujar lagi, suaranya sedikit serak.

"sejujurnya aku melakukannya memang karena aku mencintai kamu, Lan. Tapi bukan berarti aku berharap kamu bisa membalas cintaku. Aku juga tidak ingin kamu tahu. Aku hanya mencoba melakukan sesuatu untuk orang yang aku sayangi dan untuk sahabatku sendiri. Apa itu salah?" suaraku bergetar, menahan perasaanku sendiri.

"gak. Kamu gak salah. Apa yang kamu lakukan juga tidak salah. Hanya saja kamu melakukannya untuk orang yang salah. Aku bukanlah orang yang tepat untuk menerima semua pengorbananmu itu, Nik." suara Alan semakin serak.

"hanya orang bodoh yang rela mengorbankan ginjalnya untuk orang yang egois seperti saya, Nik..." lanjutnya semakin serak, kulihat matanya mulai berkaca.

"aku memang bodoh, Lan. Aku memang bodoh karena terlalu mencintai kamu. Tapi aku bahagia dengan semua itu, Lan. Aku bahagia bisa melihat kamu pulih kembali. Dan bagiku apa yang aku lakukan tersebut, belum sebanding dengan besarnya rasa cintaku padamu.." suaraku ikut terdengar serak, mataku pun ikut berkaca.

"tapi apa yang bisa kamu dapatkan dari semua pengorbananmu itu, Nik. Aku bahkan tetap tak bisa mencintai kamu.." ucap Alan.

"kebahagiaan, Lan. Sebuah kebahagiaan yang hanya aku yang bisa merasakannya. Aku tak peduli betapa sakitnya tak bisa memiliki orang yang aku cintai. Tapi semua rasa sakit itu akan musnah ketika melihat orang yang aku cintai tersenyum bahagia. Meski aku sadar senyumnya itu bukan untukku dan bukan karena-ku.." aku berucap pelan, bak seorang penyair kesepian.

"dan hal itulah yang membuat aku semakin merasa bersalah, Nik. Aku tetap tak bisa mencintai kamu seperti kamu mencintaiku. Tapi aku juga tidak akan pernah sanggup melihat kamu terluka karena aku." balas Alan lagi.

"aku menyayangi kamu sebagai sahabat, Nik. Aku juga sangat menghargai segala pengorbanan kamu. Tapi aku tidak bisa mencintai kamu..." lanjutnya.

"kamu tak perlu mencintaiku, Lan. Kamu tak perlu melakukannya. Kamu hanya harus bahagia, Lan. Dan hal itulah yang membuatku juga bahagia.." aku membalas, suaraku lirih.

"tapi bagaimana aku bisa bahagia, sementara aku tahu bahwa cintamu terlalu besar untukku, Nik." ucap Alan lagi.

"jadi sekarang kamu inginnya bagaimana, Lan? sekarang justru aku yang jadi bingung.." keluhku kemudian.

"aku ingin kita bersahabat lagi seperti dulu, Nik. Dan aku akan pelan-pelan belajar untuk mencintai kamu..." balas Alan.

"kamu tak perlu melakukan itu, Lan. Kamu tak harus melakukannya, hanya karena kamu merasa berhutang budi padaku.." timpalku cepat.

"aku bukan hanya berhutang budi padamu, Nik. Tapi kita memang sudah bersahabat sejak lama. Aku ingin kita tetap terus bersahabat seperti dulu, dan biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.." ujar Alan, sambil ia merangkul pundakku.

****

Sejak saat itu, aku dan Alan dekat kembali. Persahabatan kami yang sempat terputus, kini kembali terjalin.

Aku tahu, butuh waktu bertahun-tahun untuk Alan bisa mencintaiku. Atau bahkan ia tidak akan pernah bisa mencintaiku. Aku juga tidak peduli dengan hal itu saat ini. Yang penting bagiku, aku bisa selalu bersama Alan. Menghabiskan waktu berdua dengannya.

Aku bahagia, bisa melewati hari-hari bersama Alan lagi. Meski tetap saja hanya sebatas hubungan persahabatan.

Aku hanya berharap, meski apa pun yang akan terjadi nanti, semoga aku tetap bisa terus bersama Alan.

Terlepas hanya sebagai sahabat atau bukan, Alan adalah hal terindah yang pernah hadir dalam perjalanan hidupku.

****

Gejolak cinta sang mandor

Namaku Fhandi. Dan aku adalah seorang mandor.

Kisah ini berawal dari pertemuanku dengan seorang kuli bangunan yang berasal dari desa.

Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kami empat bersaudara semuanya laki-laki. Ketiga kakak-kakakku semuanya sudah berkeluarga.

 

cerpen sang penuai mimpi

Papaku adalah seorang pengusaha sukses, dan punya perusahaan di bidang properti.

Sebagai anak bungsu aku memang dipercaya ayah untuk memegang beberapa proyek.

Aku seorang sarjana lulusan luar negeri. Saat ini aku sudah berusia 26 tahun lebih.

Sejak masih SMP, aku sudah menyadari kalau aku adalah seorang homo.

Aku bahkan pernah berpacaran beberapa kali dengan laki-laki, terutama saat aku kuliah di luar negeri.

Namun sudah hampir dua tahun ini, aku tidak lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Selain karena aku memang sudah kembali ke Indonesia, tapi juga karena aku merasa selalu dikhianati oleh pacar-pacarku.

Sejak bertemu dan berkenalan dengan Ken, si kuli bangunan tersebut, aku mulai jatuh hati padanya.

Awalnya aku merasa cukup ragu untuk mendekati Ken. Selain karena aku yakin Ken adalah laki-laki normal, aku juga melihat Ken sebagai sosok yang pendiam dan sedikit pemalu.

Tapi perasaanku pada Ken kian hari kian berkembang. Aku semakin mengagumi sosok Ken.

Ken adalah salah seorang kuli bangunan yang bekerja bersamaku.

Papa memang sedang membangun sebuah proyek bangunan sebuah perumahan elite, dan aku dipercaya papa untuk menjadi mandor dalam proyek besar tersebut.

Karena itulah aku akhirnya bertemu Ken.

Ken dan para pekerja lainnya, disediakan tempat tinggal sebuah rumah kosong yang berada tak jauh dari tempat proyek perumahan tersebut dibangun.

Ada banyak para pekerja dan juga beberapa orang tukang yang tinggal di rumah kosong tersebut.

Namun dari semuanya hanya Ken yang mampu menarik perhatianku.

Ken memang terlihat kekar dan gagah, meski wajahnya tidak terlalu tampan. Kulitnya sedikit gelap, namun cukup bersih dan terawat.

Ken jarang tersenyum, namun setiap kali ia tersenyum aku selalu merasa salah tingkah dibuatnya. Senyum Ken memang manis.

Karena rasa penasaran dan juga karena aku tidak bisa lagi menahan keinginanku untuk bisa dekat-dekat dengan Ken. Hingga pada suatu malam, saat itu malam minggu, aku nekat mendatangi rumah kediaman Ken dan para pekerja lainnya.

Beruntunglah malam itu, Ken hanya sendirian di rumah tersebut. Karena menurut keterangan Ken, para pekerja lainnya, ada yang pulang kampung dan ada juga yang bermalam mingguan dengan cara mereka sendiri.

"kamu sendiri gak malam mingguan, Ken?" tanyaku, saat itu kami sudah duduk di sebuah bangku yang berada di halaman depan rumah tersebut.

Ken memang dua tahun lebih muda dariku.

"saya hanya lagi pengen istirahat aja di rumah, bang Fhandi.." balas Ken ringan.

"jadi saya ganggu gak nih?" tanyaku lagi.

"gak lah, bang. Kan cuma ngobrol-ngobrol di sini doang.." Ken memabalas.

"emangnya bang Fhandi mau ngobrol tentang apa?" tanya Ken melanjutkan.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelasku beralasan.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, aku bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Dari Ken aku akhirnya tahu, kalau ia berasal dari kampung dan sudah bertahun-tahun menjadi seorang kuli bangunan.

"aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku." Ken melanjutkan ceritanya.

"orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan." cerita Ken lagi.

"sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Membuat aku jadi tidak punya waktu untuk memikirkan tentang pacaran.." Ken manarik napas berat, ia seperti mencoba melepaskan beban di hatinya.

"sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung. Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku." Ken mengakhiri ceritanya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran, Ken..." ujarku pelan, setelah kami terdiam beberapa saat.

Ken hanya tersenyum. Ia seperti tak begitu berniat untuk meyakinkanku akan hal tersebut.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjutku lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini aku melanjutkan, dengan tersenyum manis menatap Ken.

Aku melihat Ken jadi sedikit tersipu mendengar kalimat pujianku barusan. Jika memang Ken belum pernah pacaran, tentu saja ia sangat jarang dipuji seperti itu.

"bang Fhandi sendiri gimana?" tanya Ken tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanyaku dengan kening berkerut.

"maksud saya, bang Fhandi sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanya Ken lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawabku dengan nada datar. Aku memang tidak terlalu tertarik untuk membicarakan tentang kisah cintaku.

******

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Ken pun menjadi dekat dan akrab. Aku semakin sering mengajak ken mengobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, aku lebih sering datang ke tempat tinggal Ken. Aku bahkan sering mengajak Ken jalan-jalan berdua naik mobil, sekedar berkeliling kota.

Aku juga sering mentraktir Ken makan-makan di restoran-restoran mewah, mengajaknya nonton di bioskop berdua. Dan bahkan aku cukup berani mengajak Ken menginap di kamarku.

Sebenarnya selain untuk membuat Ken merasa terkesan dengan kebaikanku padanya, aku juga merasa cukup perihatin mendengar cerita perjalanan hidup Ken. Untuk itu aku ingin Ken juga bisa merasakan kehidupan yang mewah. Dan terlebih dari itu semua, aku memang membutuhkan Ken untuk menemaniku, mengingat aku juga tidak punya banyak teman di kota ini.

Semakin hari, aku dan Ken pun semakin akrab dan dekat. Aku merasa cukup bahagia dengan semua itu, meski aku tidak begitu yakin, kalau aku akan bisa memiliki Ken lebih dari sekedar teman biasa.

Hingga suatu hari, Ken mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepala Ken. Cukup parah. Ia hampir kehabisan darah, kalau saja aku tidak segera membawanya ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawa Ken masih terselamatkan.

Dan aku juga sempat menyumbangkan darahku, untuk bisa menyelamatkan ken.

Aku juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu Ken dirawat. Aku selalu setia menemaninya.Meski aku harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya berobat Ken, namun aku merasa sangat senang melakukannya. Aku bahagia bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk orang yang aku cintai.

Aku memang sangat mencintai Ken. Dan aku rela melakukan apa saja untuknya.

"makasih ya, bang Fhandi." ucap Ken, ketika aku mengantarnya pulang dari rumah sakit, "bang Fhandi sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjut ken lagi.

Aku hanya tesenyum. Aku berusaha terlihat tulus.

Meski sejujurnya aku berharap, Ken akan merasa berhutang budi padaku, dan dengan begitu ia pasti tidak akan mampu menolak saat aku punya keberanian mengungkapkan perasaanku padanya.

Meski aku sudah menyarankan agar Ken untuk pulang ke kampung sementara menjelang lukanya pulih kembali, tapi Ken bersikeras untuk tetap berada di kota.

Aku tahu, Ken enggan untuk pulang, karena ia tidak ingin membuat orangtuanya menjadi cemas. Dan mungkin juga Ken memang sudah tidak punya ongkos untuk pulang. Ken bahkan berpesan kepada mang Rohim, untuk tidak mengabarkan kejadian tersebut kepada orangtuanya di kampung.

"lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi, kok." ucap Ken yakin.

****

Selama Ken sakit, hampir setiap pagi aku selalu datang mengunjunginya dan juga sambil membawakan sarapan untuknya.

Pada suatu pagi, seperti biasa aku datang untuk menemui Ken dan juga membawakan sarapan untuknya. Ken hanya memakai celana pendek kaos waktu itu, dengan baju kaos oblong warna biru.

Meski dengan penampilannya yang sangat sederhana, Ken selalu terlihat menarik di mataku.

"bang Fhandi sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucap Ken terdengar sedikit gugup. Ia baru saja menghabiskan sarapan yang aku bawa tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tampa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Aku duduk di samping Ken.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucapku memberanikan diri.

Ken hanya menatapku sekilas.

"bang Fhandi mau jujur tentang apa?" tanya Ken dengan nada ingin tahunya.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin abang, apa lagi sampai marah sama abang...." balasku, kali ini aku menatap Ken kembali, dengan raut sedikit memohon.

Ken terlihat semakin penasaran. Matanya menyiratkan sebuah tanda tanya besar.

"saya mana berani marah sama bang Fhandi.." ucap Ken, "bang Fhandi sudah terlalu baik sama saya.." ia melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." aku berujar lagi, suaraku sedikit mengecil.

"iya. Bang Fhandi ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balas Ken meyakinkan.

Aku berusaha mengumpulkan keberanianku untuk bisa mengungkapkan tentang perasaanku pada Ken.

Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam, lalu kemudian berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suaraku tergagap. Namun cukup mampu membuat Ken terlihat sangat kaget.

"maksud bang Fhandi?" tanya Ken akhirnya, keningnya berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku mencintai kamu..." aku berujar lagi, suaraku masih terbata.

"tapi saya, kan...."

"iya, saya tahu. Kita sama-sama cowok." aku memotong ucapan Ken cepat. "tapi kamu pernah dengarkan? Tentang percintaan sesama jenis. Tentang cowok gay atau homo?" kali ini aku melanjutkan dengan cukup lancar. "saya gay, Ken. Dan saya menyukai kamu sejak lama. Kamu mau kan pacaran sama saya?" aku melanjutkan lagi. Terdengar semakin berani.

Ken terdiam. Benar-benar terdiam. Ia seperti orang yang kebingungan dan kehabisan kata-kata.

Aku yakin, Ken sama sekali tidak menyangka kalau aku akan berucap demikian. Meski pun selama ini perlakuanku pada Ken, sudah cukup mewakili perasaanku. Tapi berdasarkan pengalaman hidup Ken, ia pasti tidak menyangka kalau aku adalah seorang gay.

Tapi aku sudah berterus terang pada Ken. Aku dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaanku.

Aku tahu, Ken terdiam bukan saja karena ia tidak menyangka semua ini, tapi juga karena ia bahkan belum pernah pacaran, sekali pun dengan perempuan. Tentu saja hal itu membuat ia sedikit kagok.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suaraku sedikit membuat Ken kaget lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." aku melanjutkan kalimatku, melihat Ken yang hanya terdiam.

Tak lama kemudian, aku pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." aku mengakhiri kalimatku, lalu melangkah pelan keluar.

******

Antara lega dan cemas, aku pun mencoba menjalani hari-hariku lagi. Lega karena aku telah mampu mengungkapkan perasaanku pada Ken. Namun aku merasa cukup cemas, karena takut kehilangan Ken.

Setelah mengetahui siapa aku sebenarnya, Ken bisa saja menghindariku dan bahkan membenciku. Dan itu berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa dekat-dekat lagi dengan sang kuli kekar itu.

Aku sengaja selama beberapa hari ini tidak lagi menemui Ken. Meski Ken sudah mulai bekerja lagi.

Aku hanya memberanikan diri menatap Ken dari kejauhan saat ia bekerja. Aku hanya ingin memberi Ken waktu untuk berpikir.

Aku yakin, segala kebaikanku selama ini pasti telah menyentuh hati Ken. Ia pasti merasa telah berhutang budi padaku. Dan aku berharap, hal itu setidaknya bisa menjadi pertimbangan bagi Ken, untuk menerima cintaku.

Namun di sudut hatiku yang lain, aku juga tidak ingin berharap terlalu banyak pada Ken. Biar bagaimana pun, Ken berhak menentukan sikapnya terhadapku. Aku tidak akan pernah mendesak ataupun memaksanya, meski pun aku sebenarnya punya kemampuan untuk itu.

Tapi aku ingin Ken bisa menerimaku, benar-benar dari hatinya.

*****

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanyaku akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, aku datang sekitar setengah jam yang lalu. Dirumah memang hanya ada Ken sendirian. Seperti biasa, teman-teman kulinya yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." aku berujar lagi, melihat Ken hanya terdiam.

Aku yakin, Ken masih merasa berat untuk membuat keputusan. Ia pasti tidak ingin membuatku merasa kecewa, tapi sepertinya ia juga tidak bisa berpura-pura menyukaiku.

"saya bingung, bang. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada bang Fhandi, selain perasaan sebagai teman.." Ken berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin bang Fhandi kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama bang Fhandi. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." Ken berkata cukup panjang, suaranya semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanyaku sekedar untuk meyakinkan diriku sendiri.

Ken tidak menjawab, namun repleks ia pun mengangguk. Meski masih terlihat ragu-ragu.

Aku pun tersenyum senang, memperlihatkan gigi putihku yang tersusun rapi. Aku yakin, mukaku pasti merona saat itu, memperlihatkan kebahagiaan dihatiku. Meski pun Ken hanya mengatakan bahwa akan mencoba, tapi setidaknya aku jadi punya banyak kesempatan untuk terus bersamanya.

Aku menyentuh lembut tangan Ken. Ia terlihat kaget. Namun ia tetap membiarkannya, meski ia terlihat berusaha menahan rasa gelinya.

Tangan Ken terasa hangat mengalir hingga ke jantungku.

*****

Dengan sikap Ken yang masih sangat kaku, kami pun akhirnya menjalin hubungan asmara.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamarku, atau pun di hotel-hotel yang sengaja aku sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmaraku dan Ken terjalin.

Lama kelamaan Ken semakin terlihat mulai menikmati hubungan terlarang tersebut.

Ia mulai lebih berani dan sedikit agresif. Ia juga sudah berterus terang akan perasaannya yang mulai jatuh cinta padaku. Tentu saja aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Ternyata segala perjuangan dan pengorbananku untuk mendapatkan Ken tidak sia-sia.

Sejak pacaran, aku memang semakin lebih perhatian pada Ken. Aku berusaha untuk tidak membuatnya kecewa dan selalu tersenyum. Aku juga sering memberi Ken kejutan, dengan memberinya beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat Ken semakin menyayangiku.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan cintaku tercurah hanya untuk Ken, aku pun semakin menyayanginya. Aku semakin takut kehilangan Ken.

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Ken harus berpisah untuk sementara, karena Ken harus kembali ke kampung halamannya.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

 

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Ken. Begitu juga yang dirasakan Ken.

Tapi Ken memang harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama ia tidak pulang. Dan lagi pula, ia juga tidak punya pekerjaan lagi di kota ini.

Aku berusaha menahankan Ken, dan mengajaknya untuk tinggal bersamaku. Namun Ken bersikeras menolak.

"aku harus pulang, bang. Sudah lama aku tidak bertemu orangtuaku. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi disini. Untuk tetap tinggal bersama bang Fhandi aku merasa tidak enak hati, bang. Aku harap abang mengerti ya.." begitu alasan Ken menolak tawaranku. Aku pun mencoba untuk memahaminya, dan merelakan kepergian Ken. Toh, kami masih tetap saling berhubungan.

*****

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan Ken berada di kampung. Selama itu, aku dan Ken, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Aku pernah sekali datang ke kampung Ken, untuk mengunjunginya dan sekaligus melepas rasa rinduku. Tapi aku tidak bisa berlama-lama, karena aku harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampung Ken dengan kota tempat aku tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk aku bisa sampai ke kampung Ken.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, aku pun dijodohkan oleh papa dan mama dengan salah seorang gadis anak rekan bisnis papaku.

Aku berusaha menolak awalnya, mengingat aku tidak mungkin meninggalkan Ken. Dan juga karena aku sangat mencintai Ken. Tapi papa dan mama sangat bersikeras untuk segera menikahkanku, mengingat usiaku sendiri yang sudah cukup matang dan juga karena kau sudah punya pekerjaan yang mapan.

Dan lagi pula sebenarnya papa dan mama mengancamku, jika aku tidak menikah dengan gadis pilihan mereka, maka aku tidak akan mendapatkan warisan apa pun dari mereka.

Aku yang memang cukup manja sejak kecil, dan juga sudah terbiasa hidup mewah, tentu saja merasa takut akan ancaman tersebut.

Dengan perasaan berat, aku pun menceritakan hal tersebut kepada Ken. Aku tahu Ken terluka, tapi andai saja ia tahu, bahwa luka yang aku rasakan jauh lebih menyakitkan.

Biar bagaimana pun, hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankan hubungan terlarang itu. Apa lagi jarak kami yang begitu jauh.

Pada akhirnya, aku memang harus menikah dengan seorang perempuan. Demikian juga Ken tentunya.

Meski berat rasanya menerima semua itu.

Sebenarnya aku mencoba memberi Ken pilihan, untuk tetap menjalin hubungan denganku meskipun aku sudah menikah. Tapi Ken dengan terang-terangan menolak.

"aku tidak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan bang Fhandi.." begitu alasan Ken padaku.

Aku pun berusaha menerima keputusannya tersebut.

Jujur, ada rasa bersalah yang terus bersarang di hatiku hingga saat ini. Biar bagaimana pun, aku lah orang yang telah membawa Ken masuk ke dalam duniaku. Tapi sekarang, aku dengan sangat terpaksa harus meninggalkannya.

Aku hanya berharap, semoga Ken akhirnya bisa menemukan kebahagiaan hidupnya.

Aku selalu berdo'a untuk Ken. Ia adalah cinta terindah yang pernah singgah di perjalanan hidupku.

Semoga saja Ken tidak membenciku. Semoga saja Ken bisa memaafkanku.

Meski hubungan kami kini hanya tinggal kenangan. Sebuah kenangan terindah dalam hatiku.

Kan ku simpan nama Ken di sudut hatiku yang terdalam.

*****

Sekian...

Kisah cowok kampung (part 3)

 Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!

Yaps, kalimat itu masih terus membayangiku. Meski pun saat ini aku sudah bisa kuliah lagi dan masih terus bekerja sore harinya di supermarket.

Namun sebagai imbalannya, saya harus menjadi teman tidur pak Anwar, sang manager supermarket, yang seorang duda dan juga merupakan salah seorang teman ayahku.

Sang penuai mimpi

Walau pun sejujurnya aku juga menyukai pak Anwar dan sangat menikmati hubungan kami tersebut.

Tapi sampai kapan semua itu akan terus terjadi?

Sampai kapan aku mampu menjalani kehidupan seperti ini?

Pak Anwar bisa kapan saja membuangku dari kehidupannya. Atau bisa saja hubungan kami lambat laun diketahui oleh orang lain. Bisa saja hubungan kami diketahui oleh putra pak Anwar.

Sudah hampir tiga tahun jalinan asmaraku dengan pak Anwar terjalin.

Sekarang putranya yang bernama Indra itu, sudah mulai tumbuh dewasa. Ia sekarang sudah mulai kuliah.

Jarak usiaku dengan Indra memang cukup jauh, sekitar enam tahunan. Aku dulu sempat berhenti kuliah, karena kasusku dengan om Zainan dan tante Ratna, dan terpaksa mengulang lagi dari awal.

Jadi meski pun aku masih kuliah di semester enam, namun usiaku sendiri sudah hampir 25 tahun.

Jika aku tidak sempat terhenti untuk kuliah, seharusnya aku sudah meraih gelar sarjana-ku.

Tapi beginilah perjalanan hidupku.

Dan hubunganku sendiri dengan pak Anwar sudah semakin parah dan kadang tak terkendali.

Hampir tiada malam yang kami lewati tanpa kebersamaan.

Sampai suatu ketika, saat itu sore minggu. Aku memang tidak ada jadwal kerja, tapi pak Anwar sendiri memang sedang berada di supermarket untuk bekerja.

"saya tahu bang Sabri sering masuk kamar papa, terutama kalau malam hari saat bang Anwar pulang kerja.." ucapan lugu Indra mengagetkanku tiba-tiba.

Saat itu aku sedang memasak makanan di dapur.

Aku memang suka memasak. Sejak tinggal bersama pak Anwar, aku selalu masak setiap harinya. Untuk makan kami bertiga.

Aku dan Indra sebenarnya juga sudah sering ngobrol, tapi selama ini yang kami bicarakan hanyalah tentang pelajaran sekolah Indra.

Indra sering meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

"maksud kamu apa, Ndra?" tanyaku berlagak bodoh.

"awalnya aku tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Namun lama kelamaan aku jadi penasaran. Hingga suatu malam aku mencoba mengintip kalian..." Indra berucap lagi, seakan mengabaikan pertanyaan bodohku barusan.

Aku sendiri mulai menghentikan kegiatan memasakku, sepertinya Indra terdengar serius ingin membicarakan hal tersebut.

aku mengajak Indra untuk duduk di teras belakang rumah.

"saya merasa syok mengetahui kalau papaku melakukan perbuatan tak senonoh tersebut di rumah kami, dan saya semakin syok lagi menyadari kalau ternyata papaku adalah seorang homo.." Indra berucap lagi, setelah ia duduk di sampingku.

Indra memang telah tumbuh dewasa, sudah sewajarnya ia mengetahui hal tersebut. Apa lagi selama ini aku dan pak Anwar tidak terlalu berhati-hati dan agak sedikit susah menahan diri.

"saya ingin marah pada papa.." lanjut Indra lagi, "tapi saya tidak pernah berani. Saya terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Hingga saya tetap membiarkan hal tersebut terjadi selama bertahun-tahun."

"namun satu hal yang tidak saya sadari. Saya justru merasa ketagihan untuk terus mengintip kalian setiap malam. Saya terus melakukannya hampir setiap malam. Dan hal itu justru menumbuhkan sesuatu yang aneh dalam hatiku."

"sesuatu yang aku rasakan mulai tumbuh perlahan di dalam hatiku. Sesuatu yang pada akhirnya aku ketahui bahwa itu adalah cinta. Ya, aku akhirnya sadar, kalau aku diam-diam telah jatuh cinta pada bang Sabri."

"semua yang bang Sabri lakukan pada papa, rasanya ingin sekali aku juga merasakannya. Segala khayalku selama ini selalu tentang bang Sabri. Aku sangat menginginkan bang Sabri.."

Ungkapan kejujuran Indra barusan benar-benar membuatku jadi sedikit merasa syok. Tiba-tiba saja ada rasa bersalah menyentuh hatiku seketika.

"lalu sekarang kamu mau nya gimana?" tanyaku tanpa mengerti maksud dari pertanyaanku sendiri.

"seperti yang aku katakan, aku menginginkan bang Sabri.." suara Indra pelan.

"kamu tahu, Ndra. Jelas hal itu tidak mungkin. Bukan saja karena kita sama-sama laki-laki. Tapi juga karena aku punya hubungan dengan papa kamu. Bagaimana nanti kalau papa kamu tahu? Beliau pasti akan marah besar sama saya. Dan itu artinya saya akan kehilangan pekerjaan saya dan juga kesempatan saya untuk kuliah.." ucapku akhirnya setelah berpikir cukup panjang.

"papa gak harus tahu, bang. Kita bisa melakukannya diam-diam. Kita bisa melakukannya saat papa tidak sedang di rumah, atau kita juga bisa buat janji bertemu di luar rumah saat jam kuliah. Papa pasti gak bakal curiga.." ujar Indra membalas.

"tapi resikonya terlalu besar, Ndra. Abang gak sanggup. Abang takut, Ndra.." suaraku lirih.

"Indra mohon, bang. Beri saya kesempatan untuk bisa merasakan hal tersebut bersama abang. Aku sudah terlanjur jatuh cinta pada bang Sabri.." suara Indra memelas.

Secara fisik Indra sebenarnya cukup menarik. Sama seperti papanya, Indra juga terlihat kekar dan tampan. Indra memang suka memanfaatkan waktu luangnya untuk berolahraga menggunakan alat olahraga papanya di rumah.

Dan lagi pula aku juga belum pernah melakukan hal tersebut dengan laki-laki yang lebih muda dariku.

Aku malah jadi penasaran ingin merasakan hal tersebut. Berhubung Indra juga terus bersikeras membujukku agar mau bersamanya.

Tapi aku juga merasa khawatir. Aku takut hubungan kami nantinya akan diketahui oleh pak Anwar, papanya Indra, yang juga merupakan kekasihku itu.

Dan dalam kewas-wasanku itu, aku akhirnya menerima tawaran Indra.

Sore itu, aku dan Indra untuk pertama kalinya mencoba melakukan hal tersebut.

Dan seperti yang aku bayangkan, hal itu memang terasa berbeda. Indra jauh lebih baik dari pada papanya.

Sejak saat itulah, aku dan Indra pun menjalin hubungan secara diam-diam.

Sementara aku dan pak Anwar juga masih terus berhubungan.

Jika pak Anwar mendapatkan jatah dariku setiap malam sebelum tidur, maka Indra mendapat giliran ketika pagi sebelum kami sama-sama berangkat kuliah. Karena pak Anwar sendiri selalu berangkat kerja lebih pagi setiap harinya.

Dan kadang Indra juga sering mengajakku melakukan hal tersebut saat jam kuliah, dengan menyewa sebuah penginapan murah.

Hal itu terus terjadi. Aku pun menikmatinya. Hari-hari terasa lebih berwarna sejak kehadiran Indra dalam hatiku.

Cinta segitiga itu terus berlanjut hingga berjalan hampir setahun.

Dan setelah hampir setahun, bangkai yang aku simpan itu akhirnya tercium juga oleh pak Anwar.

Suatu pagi, pak Anwar dengan sengaja memergoki kami di dalam kamar Indra.

Sepertinya pak Anwar memang sudah lama mencurigai hubungan kami, sehingga ia sengaja mencari waktu yang tepat untuk bisa memergoki kami secara langsung.

Dan terjadi lagi. Peristiwa beberapa tahun silam yang pernah aku alami kini terulang kembali.

Kalau dulu aku dipergoki oleh tante Ratna, tanteku sendiri, sedang memadu kasih dengan suaminya, om Zainan.

Sekarang, aku dipergoki oleh papanya Indra, pak Anwar, yang merupakan kekasihku juga, sedang menuju puncak bersama anaknya.

Tragis sekali rasanya. Tapi aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Ini murni kesalahanku sendiri, yang selalu tidak bisa menahan diri.

Pak Anwar tentu saja sangat marah. Aku dan pak Anwar sempat bertengkar hebat. Sementara Indra sendiri lebih memilih untuk pergi dari rumah.

Pak Anwar mengusirku dengan kasar. Ia bukan saja marah karena mengetahui kalau aku telah berselingkuh dengan anaknya sendiri, tapi ia juga kecewa karena mengetahui kalau anak semata wayangnya ternyata juga mengikuti jejaknya menjadi seorang gay.

Pak Anwar juga sudah memastikan kalau aku akan dipecat dari pekerjaanku. Dengan kekuasaannya saat ini, aku percaya pak Anwar pasti bisa melakukannya.

Aku pergi dari rumah itu, dengan perasaan campur aduk.

Esok adalah misteri, hari ini adalah kenyataan dan kejadian lalu tidak mungkin terulang. Namun hari ini aku ragu, kejadian lalu bisa saja terjadi kembali. Dan hal itu yang terbukti padaku saat ini.

Aku kehilangan tempat tinggal, aku kehilangan pekerjaanku. Tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk kuliah.

Biar bagaimana pun caranya, aku harus tetap melanjutkan kuliahku.

Aku tidak ingin kembali lagi ke kampung. Aku harus segera mencari pekerjaan lain.

Meski aku tidak begitu yakin, namun aku tahu pasti kalau pak Anwar tidak akan berani menceritakan kejadian tersebut kepada ayahku.

Tapi bisa saja, sih. Ia menceritakan kebohongan kepada ayahku, seperti yang dilakukan tante Ratna dulu.

Namun apa untungnya hal tersebut bagi pak Anwar?

Dan aku juga tidak tahu, apa yang terjadi dengan Indra selanjutnya setelah peristiwa tersebut.

Aku juga tidak tahu, bagaimana hubungan ayah dan anak itu selanjutnya.

Aku juga tidak peduli saat ini.

Yang harus aku pikir sekarang ialah bagaimana caranya supaya aku bisa mendapatkan tempat tinggal dan juga segera menemukan pekerjaan.

Sementara uang tabunganku tidak seberapa. Gaji yang aku terima selama ini, sebagiannya memang aku kirim ke kampung, untuk membantu ayah dan ibuku.

Selebihnya juga untuk membiayai kuliahku sendiri. Jadi sebenarnya aku tidak bisa menyimpan uang terlalu banyak setiap bulannya.

Untuk sekedar membayar kost satu atau dua bulan, aku yakin uangku masih cukup. Tapi bagaimana dengan kebutuhanku sehari-hari dan juga untuk membayar uang kuliahku.

Satu-satunya jalan adalah aku harus segera mencari pekerjaan baru.

Tapi pekerjaan apa yang bisa aku lakukan saat ini. Aku hampir tidak punya keahlian apa-apa.

Untuk kedua kalinya aku kembali terhempas oleh kehidupan ini.

Dan masa depan itu kembali seperti hantu. Menakutkan...

*****

Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate