Namaku Fhandi. Dan aku adalah seorang mandor.
Kisah ini berawal dari pertemuanku dengan seorang kuli bangunan yang berasal dari desa.
Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kami empat bersaudara semuanya laki-laki. Ketiga kakak-kakakku semuanya sudah berkeluarga.
Papaku adalah seorang pengusaha sukses, dan punya perusahaan di bidang properti.
Sebagai anak bungsu aku memang dipercaya ayah untuk memegang beberapa proyek.
Aku seorang sarjana lulusan luar negeri. Saat ini aku sudah berusia 26 tahun lebih.
Sejak masih SMP, aku sudah menyadari kalau aku adalah seorang homo.
Aku bahkan pernah berpacaran beberapa kali dengan laki-laki, terutama saat aku kuliah di luar negeri.
Namun sudah hampir dua tahun ini, aku tidak lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Selain karena aku memang sudah kembali ke Indonesia, tapi juga karena aku merasa selalu dikhianati oleh pacar-pacarku.
Sejak bertemu dan berkenalan dengan Ken, si kuli bangunan tersebut, aku mulai jatuh hati padanya.
Awalnya aku merasa cukup ragu untuk mendekati Ken. Selain karena aku yakin Ken adalah laki-laki normal, aku juga melihat Ken sebagai sosok yang pendiam dan sedikit pemalu.
Tapi perasaanku pada Ken kian hari kian berkembang. Aku semakin mengagumi sosok Ken.
Ken adalah salah seorang kuli bangunan yang bekerja bersamaku.
Papa memang sedang membangun sebuah proyek bangunan sebuah perumahan elite, dan aku dipercaya papa untuk menjadi mandor dalam proyek besar tersebut.
Karena itulah aku akhirnya bertemu Ken.
Ken dan para pekerja lainnya, disediakan tempat tinggal sebuah rumah kosong yang berada tak jauh dari tempat proyek perumahan tersebut dibangun.
Ada banyak para pekerja dan juga beberapa orang tukang yang tinggal di rumah kosong tersebut.
Namun dari semuanya hanya Ken yang mampu menarik perhatianku.
Ken memang terlihat kekar dan gagah, meski wajahnya tidak terlalu tampan. Kulitnya sedikit gelap, namun cukup bersih dan terawat.
Ken jarang tersenyum, namun setiap kali ia tersenyum aku selalu merasa salah tingkah dibuatnya. Senyum Ken memang manis.
Karena rasa penasaran dan juga karena aku tidak bisa lagi menahan keinginanku untuk bisa dekat-dekat dengan Ken. Hingga pada suatu malam, saat itu malam minggu, aku nekat mendatangi rumah kediaman Ken dan para pekerja lainnya.
Beruntunglah malam itu, Ken hanya sendirian di rumah tersebut. Karena menurut keterangan Ken, para pekerja lainnya, ada yang pulang kampung dan ada juga yang bermalam mingguan dengan cara mereka sendiri.
"kamu sendiri gak malam mingguan, Ken?" tanyaku, saat itu kami sudah duduk di sebuah bangku yang berada di halaman depan rumah tersebut.
Ken memang dua tahun lebih muda dariku.
"saya hanya lagi pengen istirahat aja di rumah, bang Fhandi.." balas Ken ringan.
"jadi saya ganggu gak nih?" tanyaku lagi.
"gak lah, bang. Kan cuma ngobrol-ngobrol di sini doang.." Ken memabalas.
"emangnya bang Fhandi mau ngobrol tentang apa?" tanya Ken melanjutkan.
"saya
lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelasku beralasan.
Kami
ngobrol cukup lama malam itu, aku bahkan sampai memesan minuman dan
beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami
mengobrol.
Dari Ken aku akhirnya tahu, kalau ia berasal dari kampung dan sudah bertahun-tahun menjadi seorang kuli bangunan.
"aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku." Ken melanjutkan ceritanya.
"orangtuaku
hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup
miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh
baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan." cerita Ken lagi.
"sebagai
seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang
belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang
Rohim bekerja. Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu
tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Membuat aku jadi tidak punya waktu untuk memikirkan tentang pacaran.." Ken manarik napas berat, ia seperti mencoba melepaskan beban di hatinya.
"sudah
banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job
kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah
punya istri dan anak di kampung. Biasanya, kalau tidak bisa
pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering
mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya
sekolah adik-adikku." Ken mengakhiri ceritanya.
"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran, Ken..." ujarku pelan, setelah kami terdiam beberapa saat.
Ken hanya tersenyum. Ia seperti tak begitu berniat untuk meyakinkanku akan hal tersebut.
"padahal
secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjutku lagi.
"kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang
naksir sama kamu.." kali ini aku melanjutkan, dengan tersenyum manis
menatap Ken.
Aku melihat Ken jadi sedikit tersipu mendengar kalimat pujianku barusan. Jika memang Ken belum pernah pacaran, tentu saja ia sangat jarang dipuji seperti itu.
"bang Fhandi sendiri gimana?" tanya Ken tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"maksud kamu?" tanyaku dengan kening berkerut.
"maksud saya, bang Fhandi sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanya Ken lebih jelas.
"pernah
sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih
untuk sendiri..." jawabku dengan nada datar. Aku memang tidak terlalu tertarik untuk membicarakan tentang kisah cintaku.
******
Singkat cerita, sejak malam
itu, aku dan Ken pun menjadi dekat dan akrab. Aku semakin sering
mengajak ken mengobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada
malam hari, aku lebih sering datang ke tempat tinggal Ken. Aku bahkan sering mengajak Ken jalan-jalan berdua naik mobil, sekedar berkeliling kota.
Aku juga sering mentraktir Ken makan-makan di restoran-restoran mewah, mengajaknya nonton di bioskop berdua. Dan bahkan aku cukup berani mengajak Ken menginap di kamarku.
Sebenarnya selain untuk membuat Ken merasa terkesan dengan kebaikanku padanya, aku juga merasa cukup perihatin mendengar cerita perjalanan hidup Ken. Untuk itu aku ingin Ken juga bisa merasakan kehidupan yang mewah. Dan terlebih dari itu semua, aku memang membutuhkan Ken untuk menemaniku, mengingat aku juga tidak punya banyak teman di kota ini.
Semakin hari, aku dan Ken pun semakin akrab dan dekat. Aku merasa cukup bahagia dengan semua itu, meski aku tidak begitu yakin, kalau aku akan bisa memiliki Ken lebih dari sekedar teman biasa.
Hingga suatu hari, Ken mengalami sebuah kecelakaan kerja.
Sebatang
kayu besar menimpa kepala Ken. Cukup parah. Ia hampir kehabisan darah,
kalau saja aku tidak segera membawanya ke rumah sakit.
Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawa Ken masih terselamatkan.
Dan aku juga sempat menyumbangkan darahku, untuk bisa menyelamatkan ken.
Aku juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.
Lebih dari seminggu Ken dirawat. Aku selalu setia menemaninya.Meski aku harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya berobat Ken, namun aku merasa sangat senang melakukannya. Aku bahagia bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk orang yang aku cintai.
Aku memang sangat mencintai Ken. Dan aku rela melakukan apa saja untuknya.
"makasih
ya, bang Fhandi." ucap Ken, ketika aku mengantarnya pulang dari rumah
sakit, "bang Fhandi sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjut ken
lagi.
Aku hanya tesenyum. Aku berusaha terlihat tulus.
Meski sejujurnya aku berharap, Ken akan merasa berhutang budi padaku, dan dengan begitu ia pasti tidak akan mampu menolak saat aku punya keberanian mengungkapkan perasaanku padanya.
Meski aku sudah menyarankan agar Ken untuk pulang ke kampung sementara menjelang lukanya pulih kembali, tapi Ken bersikeras untuk tetap berada di kota.
Aku tahu, Ken enggan untuk pulang, karena ia tidak ingin membuat orangtuanya menjadi cemas. Dan mungkin juga Ken memang sudah tidak punya ongkos untuk pulang. Ken bahkan berpesan kepada mang Rohim, untuk tidak mengabarkan kejadian tersebut kepada orangtuanya di kampung.
"lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi, kok." ucap Ken yakin.
****
Selama Ken sakit, hampir setiap pagi aku selalu datang mengunjunginya dan juga sambil membawakan sarapan untuknya.
Pada suatu pagi, seperti biasa aku datang untuk menemui Ken dan juga membawakan sarapan untuknya. Ken hanya memakai celana pendek kaos waktu itu, dengan baju kaos oblong warna biru.
Meski dengan penampilannya yang sangat sederhana, Ken selalu terlihat menarik di mataku.
"bang Fhandi sudah terlalu
baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. "
ucap Ken terdengar sedikit gugup. Ia baru saja menghabiskan sarapan
yang aku bawa tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu
itu tampa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Aku duduk di samping Ken.
"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucapku memberanikan diri.
Ken hanya menatapku sekilas.
"bang Fhandi mau jujur tentang apa?" tanya Ken dengan nada ingin tahunya.
"tapi
kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin abang, apa lagi sampai
marah sama abang...." balasku, kali ini aku menatap Ken kembali,
dengan raut sedikit memohon.
Ken terlihat semakin penasaran. Matanya menyiratkan sebuah tanda tanya besar.
"saya mana berani marah sama bang Fhandi.." ucap Ken, "bang Fhandi sudah terlalu baik sama saya.." ia melanjutkan.
"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." aku berujar lagi, suaraku sedikit mengecil.
"iya. Bang Fhandi ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balas Ken meyakinkan.
Aku berusaha mengumpulkan keberanianku untuk bisa mengungkapkan tentang perasaanku pada Ken.
Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam, lalu kemudian berujar,
"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suaraku tergagap. Namun cukup mampu membuat Ken terlihat sangat kaget.
"maksud bang Fhandi?" tanya Ken akhirnya, keningnya berkerut dua kali lipat dari biasanya.
"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku mencintai kamu..." aku berujar lagi, suaraku masih terbata.
"tapi saya, kan...."
"iya,
saya tahu. Kita sama-sama cowok." aku memotong ucapan Ken cepat. "tapi
kamu pernah dengarkan? Tentang percintaan sesama jenis. Tentang cowok
gay atau homo?" kali ini aku melanjutkan dengan cukup lancar. "saya
gay, Ken. Dan saya menyukai kamu sejak lama. Kamu mau kan pacaran sama
saya?" aku melanjutkan lagi. Terdengar semakin berani.
Ken terdiam. Benar-benar terdiam. Ia seperti orang yang kebingungan dan kehabisan kata-kata.
Aku yakin, Ken sama sekali tidak menyangka kalau aku akan berucap demikian. Meski pun selama ini perlakuanku pada Ken, sudah cukup mewakili perasaanku. Tapi berdasarkan pengalaman hidup Ken, ia pasti tidak menyangka kalau aku adalah seorang gay.
Tapi aku sudah
berterus terang pada Ken. Aku dengan blak-blakan sudah mengungkapkan
perasaanku.
Aku tahu, Ken terdiam bukan saja karena ia tidak menyangka semua ini, tapi juga karena ia bahkan belum pernah pacaran, sekali pun dengan perempuan. Tentu saja hal itu membuat ia sedikit kagok.
"kamu
gak harus jawab sekarang, Ken." suaraku sedikit membuat Ken kaget lagi. "kamu
bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu
memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai
membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." aku melanjutkan kalimatku, melihat Ken yang hanya terdiam.
Tak lama kemudian, aku pun berdiri.
"saya
permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya
jawabannya." aku mengakhiri kalimatku, lalu melangkah pelan keluar.
******
Antara lega dan cemas, aku pun mencoba menjalani hari-hariku lagi. Lega karena aku telah mampu mengungkapkan perasaanku pada Ken. Namun aku merasa cukup cemas, karena takut kehilangan Ken.
Setelah mengetahui siapa aku sebenarnya, Ken bisa saja menghindariku dan bahkan membenciku. Dan itu berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa dekat-dekat lagi dengan sang kuli kekar itu.
Aku sengaja selama beberapa hari ini tidak lagi menemui Ken. Meski Ken sudah mulai bekerja lagi.
Aku hanya memberanikan diri menatap Ken dari kejauhan saat ia bekerja. Aku hanya ingin memberi Ken waktu untuk berpikir.
Aku yakin, segala kebaikanku selama ini pasti telah menyentuh hati Ken. Ia pasti merasa telah berhutang budi padaku. Dan aku berharap, hal itu setidaknya bisa menjadi pertimbangan bagi Ken, untuk menerima cintaku.
Namun di sudut hatiku yang lain, aku juga tidak ingin berharap terlalu banyak pada Ken. Biar bagaimana pun, Ken berhak menentukan sikapnya terhadapku. Aku tidak akan pernah mendesak ataupun memaksanya, meski pun aku sebenarnya punya kemampuan untuk itu.
Tapi aku ingin Ken bisa menerimaku, benar-benar dari hatinya.
*****
"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanyaku akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.
Saat
itu malam minggu, aku datang sekitar setengah jam yang lalu. Dirumah
memang hanya ada Ken sendirian. Seperti biasa, teman-teman kulinya yang lain,
sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.
"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." aku berujar lagi, melihat Ken hanya terdiam.
Aku yakin, Ken masih merasa berat untuk membuat keputusan. Ia pasti tidak ingin membuatku merasa kecewa, tapi sepertinya ia juga tidak bisa berpura-pura menyukaiku.
"saya bingung, bang. sejujurnya saya tidak
merasakan apa-apa kepada bang Fhandi, selain perasaan sebagai teman.." Ken berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.
"namun....
namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang.
Saya juga tidak ingin bang Fhandi kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya
memang merasa nyaman, saat bersama bang Fhandi. Untuk itu....
mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." Ken berkata cukup
panjang, suaranya semakin terbata.
"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanyaku sekedar untuk meyakinkan diriku sendiri.
Ken tidak menjawab, namun repleks ia pun mengangguk. Meski masih terlihat ragu-ragu.
Aku pun tersenyum senang, memperlihatkan gigi putihku yang tersusun rapi. Aku yakin, mukaku pasti merona saat itu, memperlihatkan kebahagiaan dihatiku. Meski pun Ken hanya mengatakan bahwa akan mencoba, tapi setidaknya aku jadi punya banyak kesempatan untuk terus bersamanya.
Aku menyentuh lembut tangan Ken. Ia terlihat kaget. Namun ia tetap membiarkannya, meski ia terlihat berusaha menahan rasa gelinya.
Tangan Ken terasa hangat mengalir hingga ke jantungku.
*****
Dengan sikap Ken yang masih sangat kaku, kami pun akhirnya menjalin hubungan asmara.
Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.
Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.
Biasanya
kami sering berduaan dikamarku, atau pun di hotel-hotel yang
sengaja aku sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.
Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmaraku dan Ken terjalin.
Lama kelamaan Ken semakin terlihat mulai menikmati hubungan terlarang tersebut.
Ia mulai lebih berani dan sedikit agresif. Ia juga sudah berterus terang akan perasaannya yang mulai jatuh cinta padaku. Tentu saja aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Ternyata segala perjuangan dan pengorbananku untuk mendapatkan Ken tidak sia-sia.
Sejak pacaran, aku memang semakin lebih perhatian pada Ken. Aku berusaha untuk tidak membuatnya kecewa dan selalu tersenyum. Aku juga sering memberi Ken kejutan, dengan
memberinya beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.
Hal
itulah yang mungkin membuat Ken semakin menyayangiku.
Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan cintaku tercurah hanya untuk Ken, aku pun semakin menyayanginya. Aku semakin takut kehilangan Ken.
Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.
Hingga
akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Ken harus
berpisah untuk sementara, karena Ken harus kembali ke kampung halamannya.
Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.
Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Ken. Begitu juga yang dirasakan Ken.
Tapi Ken memang harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama ia tidak
pulang. Dan lagi pula, ia juga tidak punya pekerjaan lagi di kota ini.
Aku berusaha menahankan Ken, dan mengajaknya untuk tinggal bersamaku. Namun Ken bersikeras menolak.
"aku harus pulang, bang. Sudah lama aku tidak bertemu orangtuaku. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi disini. Untuk tetap tinggal bersama bang Fhandi aku merasa tidak enak hati, bang. Aku harap abang mengerti ya.." begitu alasan Ken menolak tawaranku. Aku pun mencoba untuk memahaminya, dan merelakan kepergian Ken. Toh, kami masih tetap saling berhubungan.
*****
Waktu
masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan Ken berada di kampung.
Selama itu, aku dan Ken, masih saling memberi kabar, meski tentu saja
hanya melalui telepon genggam.
Aku pernah sekali datang ke
kampung Ken, untuk mengunjunginya dan sekaligus melepas rasa rinduku. Tapi aku tidak bisa
berlama-lama, karena aku harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampung Ken
dengan kota tempat aku tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir
seharian, untuk aku bisa sampai ke kampung Ken.
Dua bulan lebih kami terpisah.
Hingga akhirnya, aku pun dijodohkan oleh papa dan mama dengan salah seorang gadis anak rekan bisnis papaku.
Aku berusaha menolak awalnya, mengingat aku tidak mungkin meninggalkan Ken. Dan juga karena aku sangat mencintai Ken. Tapi papa dan mama sangat bersikeras untuk segera menikahkanku, mengingat usiaku sendiri yang sudah cukup matang dan juga karena kau sudah punya pekerjaan yang mapan.
Dan lagi pula sebenarnya papa dan mama mengancamku, jika aku tidak menikah dengan gadis pilihan mereka, maka aku tidak akan mendapatkan warisan apa pun dari mereka.
Aku yang memang cukup manja sejak kecil, dan juga sudah terbiasa hidup mewah, tentu saja merasa takut akan ancaman tersebut.
Dengan perasaan berat, aku pun menceritakan hal tersebut kepada Ken. Aku tahu Ken terluka, tapi andai saja ia tahu, bahwa luka yang aku rasakan jauh lebih menyakitkan.
Biar
bagaimana pun, hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Kami tidak
mungkin lagi bisa mempertahankan hubungan terlarang itu. Apa lagi jarak
kami yang begitu jauh.
Pada akhirnya, aku memang harus menikah dengan seorang perempuan. Demikian juga Ken tentunya.
Meski berat rasanya menerima semua itu.
Sebenarnya aku mencoba memberi Ken pilihan, untuk tetap menjalin hubungan denganku meskipun aku sudah menikah. Tapi Ken dengan terang-terangan menolak.
"aku tidak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan bang Fhandi.." begitu alasan Ken padaku.
Aku pun berusaha menerima keputusannya tersebut.
Jujur, ada rasa bersalah yang terus bersarang di hatiku hingga saat ini. Biar bagaimana pun, aku lah orang yang telah membawa Ken masuk ke dalam duniaku. Tapi sekarang, aku dengan sangat terpaksa harus meninggalkannya.
Aku hanya berharap, semoga Ken akhirnya bisa menemukan kebahagiaan hidupnya.
Aku selalu berdo'a untuk Ken. Ia adalah cinta terindah yang pernah singgah di perjalanan hidupku.
Semoga saja Ken tidak membenciku. Semoga saja Ken bisa memaafkanku.
Meski hubungan kami kini hanya tinggal kenangan. Sebuah kenangan terindah dalam hatiku.
Kan ku simpan nama Ken di sudut hatiku yang terdalam.
*****
Sekian...