Romansa cinta sang pengamen ...

Aku memarkir motor bututku di tempat parkir yang memang telah tersedia, di pasar tradisional itu.

Aku memang sudah biasa menemani Ibu belanja, hampir setiap minggu.

Pasar itu berjarak kurang lebih satu kilo dari perumahan tempat kami tinggal.

Setiap hari minggu, Ibu memintaku untuk menemaninya, berbelanja kebutuhan dapur.

Sebagai anak tertua, dari tiga bersaudara, yang semuanya laki-laki, mau tidak mau aku memang harus ikut berperan serta membantu Ibu.

Cerpen sang penuai mimpi

 

Oh, ya. Sebelumnya perkenalkan namaku Aldi (bukan nama sebenarnya).

Aku masih tujuh belas tahun. Masih SMA, tingkat akhir.

Adikku yang nomor dua, masih SMP, sedangkan adik bungsuku masih di sekolah dasar.

Ayahku seorang buruh bangunan, sedang Ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Kehidupan kami cukup pas-pasan, bahkan terkesan selalu kekurangan.

Kami masih tinggal di rumah kontrakan. Aku bahkan satu kamar dengan kedua adikku.

Meski menemani Ibu belanja, aku tidak pernah benar-benar ikut dengan Ibu mengelilingi pasar, untuk mencari barang belanjaannya.

Aku punya kesibukanku sendiri, sambil menunggu Ibu selesai belanja.

Biasanya aku ikut nongkrong dengan para buruh angkut, yang berada di sekitaran tempat parkir.

Aku kadang ikut menjadi buruh angkut barang, sekedar menambah uang jajanku.

Pagi itu, suasana pasar cukup ramai seperti biasa.

Berita tentang virus berbahaya yang sedang menyebar saat ini, tidak begitu berpengaruh di kota tempat aku tinggal. Orang-orang terlihat tetap melakukan aktivitas seperti biasa.

Apa lagi untuk para pedagang kecil, yang berada di pasar ini. Mereka harus tetap berjualan, agar tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Saat sedang nongkrong itulah, tiba-tiba aku mendengar seorang pengamen sedang bernyanyi sambil memainkan sebuah gitar, tepat berada tidak begitu jauh di belakangku.

Suaranya cukup merdu, dentingan gitarnya mengalun dengan lembut.

Aku menatap pengamen itu dari kejauhan. Beberapa orang yang lewat, tampak memberikan uang receh ke dalam sebuah tempat yang memang telah sengaja si pengamen sediakan di depannya.

Pengamen itu, seorang pemuda yang kuperkirakan sudah berumur kurang lebih 23 tahun.

Rambut panjang sebahunya, tertutup topi hitam yang sengaja ia pakai terbalik.

Rambut itu ia selipkan di telinga kirinya sebagian, hingga anting yang terpasang di telinganya terlihat jelas.

Sepintas pemuda itu menoleh kearah ku. Aku buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura sibuk menatap juru parkir yang sedang mengatur kendaraan.

Aku belum pernah melihat pemuda tersebut. Setidaknya setelah hampir tiga tahun ini, aku menemani Ibu belanja. Meski aku berada di sana hanya setiap hari minggu.

"hei!" sebuah suara mengagetkanku beberapa saat kemudian, "lagi nunggu seseorang?" tanya suara itu melanjutkan.

Aku spontan melirik ke arah asal suara itu. Ternyata pemuda pengamen tadi sudah berdiri tepat di sisi kananku.

Repleks aku tersenyum. Pemuda itu pun balas tersenyum.

"iya. Aku lagi nunggu Ibu belanja.." jawabku terdengar polos.

Pemuda pengamen itu tanpa sungkan duduk di sampingku.

Di tempat parkiran itu, memang  tersedia sebuah bangku tempat biasa orang-orang beristirahat.

"numpang duduk ya.." ucap pemuda itu kemudian, sambil ia membuka topinya.

Aku hanya mengangguk ringan, karena sebenarnya ia gak perlu harus minta izin padaku untuk duduk disitu. Bangku itu jelas tersedia untuk umum. Tapi aku tahu, ia hanya berbasa-basi.

"mas baru ya disini? Belum pernah lihat.." ucapku memberanikan diri.

"iya, baru seminggu disini.." balas pemuda itu terlihat santai.

"emangnya mas dari mana?" tanyaku lagi.

Pemuda tersebut menyebutkan tempat asalnya. Ia sedikit bercerita, kalau di kota tempat asalnya, karena virus yang sedang merajalela sekarang, jadi tidak seramai dulu.

Karena itu ia hijrah ke kota kami.

"oh, ya. Namaku Taslim." ucap pemuda itu di tengah-tengah ceritanya.

Aku menerima uluran tangannya.

"Aldi.." ucapku singkat.

Mas Taslim memiliki kulit yang sedikit gelap. Namun tubuhnya terlihat kekar dan berotot.

Matanya jernih, tatapannya tajam. Wajahnya terlihat teduh, dengan hidung yang sedikit mancung.

Ada cekungan tipis di kedua pipinya, yang membuat ia terlihat manis saat tersenyum.

"kebetulan aku memang punya paman di kota ini. Dan aku sekarang tinggal bersama beliau." Mas Taslim berucap lagi, "Beliau juga kebetulan berjualan di pasar ini.." lanjutnya.

Mas Taslim cukup ramah. Ia juga terlihat sangat supel. Siapa pun yang ngobrol dengannya akan merasa nyaman dan terasa lebih cepat akrab.

"kamu masih sekolah?" tanyanya kemudian.

Aku hanya mengangguk. Sejak tadi, memang mas Taslim yang selalu bercerita.

Aku memang seorang yang sangat pendiam dan cukup pemalu. Aku tidak mudah akrab dengan siapapun. Namun ngobrol dengan mas Taslim, aku merasa seakan sudah mengenalnya cukup lama.

"oke. Aku lanjut kerja lagi ya.." mas Taslim berujar lagi, sambil ia bangkit, dan segara berjalan kembali menerobos keramaian pasar itu.

Aku masih menatapinya dari kejauhan. Ada kesan yang mendalam yang aku rasakan, saat mengobrol dengannya, mendengar cerita-ceritanya.

Hatiku merasa berbunga-bunga tiba-tiba. Aku mulai menyukai sosok mas Taslim yang terlihat energik.

Aku jadi pengen ngobrol lagi sama dia. Tapi aku tidak yakin, apa aku masih bisa bertemu dia lagi?

Beberapa saat kemudia Ibuku pun datang, ia terlihat membawa banyak barang belanjaannya.

Dan kami pun kembali ke rumah, dengan perasaanku yang masih terus membayangkan senyum manis dari bibir tipis sang pengamen tersebut.

Entah mengapa senyum itu seakan membekas di benakku.

"kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ibu, saat aku mencoba membantunya membawa belanjaan ke dalam rumah.

Aku tidak menjawab keheranan ibuku. Aku terus saja melangkah masuk rumah dan meletakkan belanjaan tersebut di dapur.

*******

Seminggu kemudian, aku akhirnya kembali bertemu dengan mas Taslim.

Seperti biasa aku mengantar Ibu belanja dan duduk-duduk di tempat parkir.

Mas Taslim yang menghampiriku lagi.

Seminggu ini, bayangan wajah teduh milik mas Taslim selalu menghiasi dunia khayalku.

Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Aku belum pernah memikirkan seseorang selama ini, sampai sebegitu dalamnya.

Perasaan itu, justru membuatku kian grogi saat bertemu mas Taslim kembali.

"jadi Aldi rencananya kuliah dimana?" tanya mas Taslim, setelah pertanyaan basa-basi nya di awal.

"belum tahu, mas. Mungkin juga gak kuliah. Apa lagi kondisi saat ini. Ayah sekarang jadi jarang dapat pekerjaan.." balasku terdengar lemah.

"sayang, ya.." ucap mas Taslim, lebih terdengar seperti sebuah desahan.

Aku menatap wajah teduh itu. Ada kesan murung terlihat dari matanya tiba-tiba.

Aku tidak berani bertanya. Tapi dari kemurungannya itu, aku bisa menebak. Ada beban yang begitu berat yang mas Taslim pikul di balik tingkah cerianya.

"jadi apa rencana kamu ke depannya?" tanya mas Taslim akhirnya, setelah ia terlihat menarik napas dalam.

"gak tahu, mas. Mungkin ikut ayah kerja jadi kuli bangunan.." jawabku masih dengan nada lemah.

"yah, beginilah hidup, Al. Untuk orang-orang seperti kita, tidak banyak pilihan dalam hidup ini.." mas Taslim berujar sambil menatapku dengan senyum tipis.

Aku yakin, mas Taslim sudah punya banyak pengalaman dalam menjalani kehidupan ini.

Ia terlihat tegar dan dewasa. Aku semakin mengagumi sosok itu. Aku bahkan mungkin telah jatuh cinta padanya.

Cinta pertamaku.

Perasaan indah telah bersarang di hatiku, meski kami baru saja saling kenal.

Namun pesona mas Taslim begitu kuat, aku tak mampu mencegah tumbuhnya rasa kagum itu.

Apa lagi, minggu-minggu berikutnya, kami jadi semakin sering bertemu.

Kami jadi semakin akrab. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Mas Taslim benar-benar mampu membuat aku bahagia.

Rasanya dunia begitu indah. Satu minggu jadi terasa sangat lama bagiku.

Namun sekarang, aku tidak harus menunggu seminggu untuk bisa bertemu dengan mas Taslim.

Karena setelah akhirnya aku lulus dari SMA dengan nilai yang pas-pasan, aku memutuskan untuk menjadi buruh angkut barang di pasar tersebut. Yang artinya aku bisa bertemu dan mengobrol dengan mas Taslim, hampir setiap hari. Orang yang paling aku cintai saat ini.

*******

Hari-hari terus berlalu, dengan perasaanku yang kian berkembang kepada mas Taslim. Namun selama ini, aku selalu berusaha untuk menutupi perasaaku.

Aku berusaha bersikap wajar di hadapan mas Taslim, meski jika malam hari, aku selalu berkhayal tentangnya.

Aku selalu membayangkan senyuman manisnya. Tatapan matanya yang indah. Cerita serta candanya yang kocak. Dan aku sering membayangkan, aku bisa berada dalam dekapan hangat tubuh kekarnya.

Aku benar-benar telah tergila-gila padanya. Seluruh hatiku hanya tertuju padanya. Aku ingin menghabiskan setiap detik waktuku, hanya untuk bersamanya.

Meski hubungan kami, yang bahkan sudah lebih dari setahun itu, hanya sebatas hubungan persahabatan. Namun tetap saja aku merasa sangat bahagia, bisa melewati hari-hari bersama orang yang aku cintai.

*****

Aku tidak tahu, seperti apa sebenarnya perasaan mas Taslim padaku.

Selama ini ia memperlakukanku dengan cukup baik.

Mas Taslim tidak pernah terlihat dekat dengan seorang perempuan. Ia bahkan tidak pernah bercerita tentang perempuan padaku.

Meski sudah sangat akrab, aku tidak berani bertanya tentang hal yang sedikit pribadi pada mas Taslim.

Aku hanya suka mendengarkan ia bernyanyi, bercerita, dan bercanda.

Hingga pada suatu hari, aku tak sengaja memergoki mas Taslim, sedang ngobrol berdua dengan seorang cewek cantik.

Aku melihatnya dari kejauhan. Aku yang awalnya berniat untuk menghampiri mas Taslim, perlahan memutar tubuh sebelum mas Taslim sempat melihatku.

Entah mengapa, ada rasa kecewa di hatiku melihat hal tersebut.

Hatiku terasa begitu sakit. Padahal mas Taslim bukan siapa-siapa ku, kami hanya sekedar bersahabat.

Tapi melihatnya bersama seorang cewek, hatiku seperti terluka.

Aku tak menyalahkan mas Taslim. Ia berhak berhubungan dengan siapa saja. Aku hanya kecewa dengan diriku, yang tidak bisa menerima kenyataan, kalau mas Taslim tak punya rasa padaku.

"kamu kenapa akhir-akhir ini terlihat sering murung?" suara mas Taslim yang duduk di sampingku, saat kami makan siang di tempat parkir pasar, beberapa hari kemudian.

Aku hanya terdiam. Aku enggan menjelaskan apa pun pada mas Taslim saat ini. Aku juga tidak mungkin berbicara jujur padanya, tentang kenapa aku jadi tiba-tiba murung.

"kamu marah padaku?" mas Taslim bertanya lagi.

"gak.." jawabku singkat sambil sedikit menggelengkan kepala.

"terus kamu kenapa? kamu ada masalah ya..?" mas Taslim kembali melontarkan pertanyaannya. Sepertinya ia benar-benar ingin tahu.

Aku terdiam sesaat. Memikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada mas Taslim saat itu.

"mas Taslim punya pacar?" tanyaku dengan sedikit bergetar. Sekedar ingin memastikan.

Mas Taslim menatapku cukup lama, dahinya berkerut. Ia mungkin tidak menyangka, jika aku akan melontarkan pertanyaan tersebut.

"kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" mas Taslim justru balik bertanya padaku, yang membuatku jadi sedikit bimbang.

"pengen tahu aja.." jawabku sekenanya.

Mas Taslim terlihat tersenyum. Seperti biasa, senyum yang sangat manis. Senyum yang selalu membuat dadaku berdebar. Senyum itu terlalu indah. Senyum itu yang membuatku tergila-gila padanya.

"kalau aku punya pacar, emang kenapa?" tanya mas Taslim, seperti enggan menjawab pertanyaanku.

"gak kenapa-kenapa, mas. Hanya pengen tahu aja.." balasku dengan nada lemah.

"kamu cemburu ya?" ucap mas Taslim kemudian, yang membuatku merasa terpojok. Aku yakin, muka ku memerah saat itu. Aku memang terkadang tidak bisa menyembunyikan perasaanku pada mas Taslim.

"ngapain aku cemburu?!" suaraku bergetar, menahan perasaanku sendiri.

"jadi kamu gak cemburu? kalau aku punya pacar?" mas Taslim seakan berusaha membuatku semakin grogi.

Aku menundukkan kepala, berpura-pura sibuk membersihkan tanganku dari sisa makanan yang baru saja aku habiskan.

Aku memang cemburu. Tapi apa aku punya hak untuk itu?

Apa aku boleh untuk cemburu? tanyaku membathin.

Tapi aku tetap terdiam. Aku tak berniat melanjutkan pembicaraan tersebut. Aku segera berdiri, dan menuju tempat cuci tangan yang berada sedikit jauh dari sana.

Mas Taslim terlihat menatapku dengan raut muka penuh tanya.

******

Beberapa hari kemudian, aku kembali melihat mas Taslim bersama cewek yang beberapa hari lalu sempat aku lihat.

Rasa sakit di hatiku kian terasa perih. Aku yakin cewek itu pasti pacarnya mas Taslim.

Aku yang merasa kian sakit, mulai menjaga jarak dari mas Taslim. Aku tak sanggup melihat orang yang sangat aku cintai, bersama orang lain.

Aku bahkan sudah sangat jarang datang ke pasar. Aku lebih memilih ikut bersama ayahku menjadi kuli bangunan.

Beberapa kali mas Taslim coba menghubungiku, tapi aku selalu mengabaikannya.

Hingga setelah hampir sebulan kami tak bertemu, mas Taslim tiba-tiba muncul di depan rumahku.

Saat itu malam minggu.

"kamu kenapa menghindar dariku sih, Al?" mas Taslim bertanya pelan, ketika kami akhirnya duduk berdua di sebuah taman.

"aku gak menghindar, mas. Aku sekarang kan ikut ayah kerja. Jadi aku gak bisa datang ke pasar lagi.." jawabku sambil menahan napas.

Setiap kali berada di dekat mas Taslim, rasanya begitu indah. Aroma tubuh mas Taslim seakan telah melekat di benakku. Aku selalu tak mampu menghindari pesonanya, setiap kali melihat ia tersenyum.

"tapi kamu gak pernah angkat telpon dariku, atau sekedar balas sms.." ucap mas Taslim lagi. Suaranya terdengar sendu.

Tiba-tiba aku merasa bersalah melihatnya seperti itu.

Mungkin aku memang seharusnya tidak menjauh darinya. Meski ia tidak bisa aku miliki sebagai kekasih, setidaknya ia sudah menjadi sahabatku sejak lama. Dan itu seharusnya sudah cukup untuk mebuatku bahagia.

"aku minta maaf ya, mas. Seharusnya aku tidak seperti ini.." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"kamu gak harus minta maaf. Al. Aku hanya bingung melihat sikap kamu akhir-akhir ini. Jika kamu punya masalah, kamu bisa cerita sama aku, Al. Tapi kamu jangan menjauh dariku ya.." kalimat itu, benar-benar membuatku terenyuh.

Selama ini, mas Taslim memang menjadikan ku satu-satunya sahabat baginya. Aku selalu menjadi tempat curhat terbaik baginya. Aku yakin, ia mungkin merasa kehilangan, setelah aku tak lagi bersamanya akhir-akhir ini.

"aku sangat membutuhkanmu, Al. Aku sayang sama kamu.." mas Taslim melanjutkan kalimatnya.

Kali ini, ia menatapku tajam dengan mata indahnya, sambil menyentuh pundakku lembut.

Aku terkesiap tiba-tiba mendengar kalimat mas Taslim barusan. Aku tidak terlalu mengerti maksudnya. Tapi aku juga takut salah paham.

Aku juga sayang kamu, mas. Bisikku dalam hati.

Sejak saat itu, hubunganku dengan mas Taslim kembali membaik. Aku kembali rajin datang ke pasar. Aku kembali rajin mendengar cerita-ceritanya. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Meski aku tidak bisa menjadi kekasihnya, tapi setidaknya aku sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Suatu saat, mas Taslim mengajakku ikut dengannya ke sebuah kampus.

"kita ngapain kesini, mas?" tanyaku saat kami sudah berdiri di depan gerbang sebuah kampus yang cukup besar di kota itu.

"saya mau bertemu seseorang.." jawab mas Taslim ringan.

Aku yakin, mas Taslim pasti ingin bertemu dengan cewek yang sering aku pergoki ngobrol dengannya.

Rasa cemburu kembali menghantui pikiranku. Aku tidak yakin, aku akan sanggup melihat semua itu.

Mas Taslim pasti ingin memperkenalkan aku dengan ceweknya itu. Hatiku tiba-tiba merasa pilu, menyadari itu semua.

Ada rasa penyesalan dalam diriku, kenapa aku harus mau diajak mas Taslim ikut dengannya.

Dalam kegamangan hatiku itu, tiba-tiba dari dalam kampus, berjalan sesosok gadis manis yang terlihat tersenyum pada mas Taslim.

Senyum gadis itu, hampir semanis senyum milik mas Taslim.

Gadis manis itu, memang memakai hijab, yang membuat keanggunannya kian terpancar indah.

Sangat pantas rasanya mas Taslim menyukai gadis itu imut itu. Mereka terlihat sangat cocok.

Dan aku sakit karena harus mengakui hal itu.

"hai, mas. Apa kabar?" suara lembut gadis itu menyapa mas Taslim ketika ia sudah berdiri di hadapan kami berdua. Gadis itu menatapku sejenak, kemudian tersenyum ramah.

Mas Taslim menjawab pertanyaan basa-basi itu. Lalu segera memperkenalkanku pada gadisnya itu.

"Dina.." ucap gadis itu padaku, saat kami saling berjabat tangan.

"Aldi.." balasku singkat, sambil melepaskan jabatan kami.

Mas Taslim kemudian mengeluarkan sejumlah uang dari saku celananya, kemudian menyerahkan uang tersebut, kepada Dina.

"mudah-mudahan ini cukup ya, Din. Buat bayar semester ini.." ucap mas Taslim terdengar sangat lembut.

Dina terlihat tersenyum. Ia segera menyimpan uang tersebut ke dalam tas kecilnya.

"cukup kok, mas. Makasih, ya.." ucap Dina membalas.

Dina menjabat tangan mas Taslim, lalu menciuminya.

"Dina pamit dulu ya, mas. Masih ada kelas.." ucapnya melanjutkan.

Terus terang aku merasa iri melihat Dina. Mas Taslim sepertinya sangat menyayanginya. Mas Taslim terlihat begitu peduli padanya. Dan hatiku sakit melihatnya.

Mas Taslim rela bekerja keras, untuk membiayai kuliah gadis itu.

Semoga saja, Dina tidak hanya sekedar memanfaatkan mas Taslim. Bathinku tiba-tiba.

Kami pun segera berlalu dari kampus tersebut, sambil menaiki sebuah angkot.

"Dina adikku satu-satunya, Al. Dia sudah menjadi tanggungjawabku sejak kedua orangtua kami meninggal empat tahun lalu, karena kecelakaan.." suarau mas Taslim parau.

Namun kalimatnya itu, mampu membuatku sedikit terperanjat.

Ternyata Dina adalah adik kandung mas Taslim. Selama ini aku telah salah sangka padanya.

Maafkan aku, mas Taslim. Bathinku pilu.

"sebenarnya salah satu alasanku pindah kesini, adalah karena Dina diterima di kampus itu. Aku tidak ingin ia sendirian di sini." mas Taslim melanjutkan ceritanya.

"Dina kost tak jauh dari kampus. Karena jika harus tinggal bersamaku di rumah pamanku, selain karena jauh dari kampus, rumah itu juga sangat kecil.." mas Taslim menarik napas berat.

"aku harus kerja keras, Al. Aku ingin Dina menyelesaikan kuliahnya dengan baik, tanpa harus ia ikut memikirkan soal keuangan." lanjutnya lagi.

Aku merasa benar-benar terenyuh mengetahui semua itu. Mungkin itu salah satu alasan mas Taslim terlihat murung, saat mengetahui bahwa aku tidak bisa kuliah.

Pengorbanan dan tanggungjawab mas Taslim terhadap Dina, adiknya itu, membuatku semakin mengagumi sosoknya.

Mas Taslim bukan saja menarik secara fisik, tapi ia juga punya hati yang sangat lembut.

Kini, aku tak perlu lagi mencemburuinya. Justru aku berniat untuk membantunya.

*****

"makasih ya, Al. Sudah menemaniku melewati hari-hari sulit ini.." ucap mas Taslim suatu hari, saat kami bertemu kembali di pasar seperti biasa.

"aku yang harusnya makasih, mas. Mas Taslim sudah sangat baik padaku selama ini. Mas Taslim sudah memberiku banyak pelajaran berharga dalam hidup.." timpalku dengan suara pelan.

Hubunganku dengan mas Taslim memang kian dekat dan akrab. Kami tidak lagi sekedar bersahabat, kami sudah lebih dari bersaudara.

Cintaku pada mas Taslim semakin dalam. Aku merasa mas Taslim adalah hal terpenting dalam hidupku saat ini.

Aku sangat menyayanginya. Entah itu sebagai sahabat, sebagai saudara, atau bahkan aku menganggapnya lebih dari pada itu.

Cinta mungkin memang tidak harus memiliki. Tapi lebih kepada bagaimana kita bisa melihat orang yang kita cintai hidup berbahagia.

Dua tahun kami bersama. Dua tahun persahabatan kami berjalan dengan indah. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Namun sebuah kebahagiaan tidaklah selalu final. Akan selalu ada batu sandungan yang membuat kebahagiaan itu menjadi tidak sempurna.

Suatu saat mas Taslim mengalami sebuah kecelakaan parah.

Meski ia akhirnya berhasil selamat, namun ia harus kehilangan sebelah kakinya.

Kaki kirinya terpaksa harus di amputasi, karena mengalami patah tulang yang tidak bisa diselamatkan.

Beruntunglah orang yang menabraknya cukup bertanggung jawab, sehingga segala biaya rumah sakit dan kebutuhan mas Taslim selama ia sakit, sudah ditanggung orang tersebut.

Mas Taslim harus dirawat selama beberapa bulan, hingga keadaannya pulih kembali.

Aku merasa kasihan melihat mas Taslim. Ia jadi terlihat murung sekarang. Ia seperti kehilangan pegangan. Ia harus berjalan dengan menggunakan satu tongkat.

Tapi ia harus tetap bekerja, demi kebutuhan hidupnya, demi biaya kuliah Dina adiknya.

Dina sempat ingin berhenti kuliah melihat kondisi kakaknya. Tapi mas Taslim dengan tegas meyakinkan Dina, bahwa ia masih mampu mencari uang untuk biaya kuliah Dina.

Mas Taslim masih terus mengamen di pasar, meski dengan satu kakinya yang telah hilang.

Sebagai orang yang sangat mencintai mas Taslim, aku selalu memberikan dukungan penuh padanya.

Aku tetap mencintainya, tak peduli apa pun yang terjadi padanya. Tak peduli seperti apa pun kondisinya saat ini.

"makasih ya, Al. Kamu sudah terlalu baik padaku.." suara mas Taslim terdengar parau.

"kenapa mas Taslim harus selalu berterima kasih padaku? Bukankah sudah seharusnya sebagai seorang sahabat, kita untuk saling membantu dan saling mendukung satu sama lain?" jawabku lembut.

"tapi... kamu selalu ada, Al. Kamu selalu ada untukku.." ucap mas Taslim lagi.

"itu karena aku sangat menyayangi mas Taslim lebih dari apa pun.." suara ku bergetar mengucapkan kalimat yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

Di luar dugaan, mas Taslim tidak terlihat kaget mendengar kalimatku barusan.

Ia menatapku tajam, lalu berucap pelan.

"apa kamu mencintaiku?" pertanyaan itu benar-benar membuatku serba salah.

Aku ingin jujur, tapi aku takut mas Taslim justru akan menjauhiku.

"jawab aku, Al. Aku hanya butuh kepastian." lanjut mas Taslim lagi, melihat aku yang terdiam.

"kenapa?" tanyaku memancing.

"karena aku telah jatuh cinta sama kamu, Al. Bahkan sudah sejak lama.." jawab mas Taslim terdengar tegas.

"aku tidak ingin memendam semua ini lagi, Al. Aku harus jujur sama kamu." lanjutnya, yang membuatku semakin kaget.

Aku benar-benar tak menyangka, kalau mas Taslim juga mencintaiku.

"selama ini, aku berusaha ingin mengungkapkan semua ini, Al. Tapi aku selalu merasa takut. Aku takut kamu akan menjauh dariku. Tapi sekarang aku tak peduli lagi, yang penting kamu sudah mengetahui perasaanku padamu.." mas Taslim kembali melanjutkan kalimatnya.

Aku dengan cukup nekat meraih tangan mas Taslim. Apa lagi suasana saat itu cukup gelap, karena kami duduk di sebuah bangku taman yang mulai sunyi, karena malam yang semakin larut.

"aku juga mencintai kamu, mas Taslim." ucapku akhirnya dengan suara pelan.

"meski pun aku cacat sekarang?" suara itu terdengar parau, yang membuatku terenyuh.

Mas Taslim telah kehilangan sebagian dari rasa percaya dirinya, aku dapat merasakan hal itu.

Aku menggenggam erat tangan kekar itu.

"apa pun yang terjadi, mas. Seperti apapun keadaan mas Taslim, aku akan selalu mencintaimu, mas.." ucapku tegas, berusaha mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya.

"atau sebenarnya kamu hanya kasihan melihatku, Al.." mas Taslim berucap, sambil ia menarik tangannya cukup kasar.

"kenapa mas Taslim berpikir seperti itu?" tanyaku cukup kaget.

"aku mencintai mas Taslim, dari dulu, sekarang dan selama-lamanya. Aku mencintai mas apa adanya. Aku mencintai mas, bukan karena fisik, tapi karena aku tahu, mas memiliki hati yang sangat lembut.." aku melanjutkan lagi.

"tapi aku laki-laki cacat. Al.." suara itu semakin parau.

"apa bedanya, mas. Bagiku, mas adalah yang terbaik." suaraku tegas.

"aku hanya akan menjadi beban buat kamu, Al.." suara itu semakin parau.

"jika dengan menjadi beban buat mas, bisa membuktikan besarnya cintaku pada mas, aku rela menjadi beban bagi mas, sepanjang hidupku. Tapi jika mas juga mencintaiku, seharusnya mas tidak punya pikiran seperti itu.." aku berucap kembali, sambil dengan pelan meraih kembali tangan mas Taslim.

Aku yang sudah bertahun-tahun memendam rasa pada mas Taslim, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Apa lagi sekarang, aku sudah tahu, bagaimana perasaan mas Taslim padaku.

"aku sangat mencintaimu, mas. Aku ingin kita tetap bersama selamanya. Aku ingin hubungan kita bukan lagi sekedar sahabat. Dan aku akan selalu ada buat mas. Tak peduli mas membutuhkanku atau tidak."

Aku terus berusaha meyakinkan mas Taslim akan perasaanku padanya.

Meski terasa begitu sulit, akhirnya mas Taslim pun luluh.

"aku takut kehilanganmu, Al. Aku takut kamu akan pergi meninggalkanku, karena aku yang cacat ini.." ucap mas Taslim, terdengar pilu.

"percaya padaku, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas, apa pun yang akan terjadi."

"aku janji, kita akan melewati ini semua bersama-sama, mas." aku mengakhiri kalimatku, dengan terus menggenggam erat tangan kekar itu.

Kali ini, mas Taslim ikut menggenggam erat tanganku.

Repleks aku pun mendekap tubuh itu. Tubuh yang terasa begitu hangat bagiku.

Tak ku sangka, kalau aku akan bisa merasakan semua itu. Sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

Mas Taslim mengecup lembut keningku. Hal yang sudah sangat lama aku inginkan.

"i love you.." bisik suara itu lembut.

Aku tersenyum dalam gelap. Aku menarik tangan mas Taslim ke atas, lalu mengecup punggung tangannya.

"i love  you too, mas.." balasku juga berbisik.

Keheningan malam yang selalu dihiasi oleh kegelapannya, seperti menjadi saksi bisu, menyatunya dua hati, yang selama ini, ternyata memendam rasa yang sama.

Tak terukir bahagiaku malam itu. Tak ada yang mampu menggantikan semua keindahan itu.

Mas Taslim adalah cinta pertamaku, dan juga pacar pertamaku.

Aku berharap, ia adalah pelabuhan terakhirku.

Semoga.

*****

Part 2

Hubunganku dengan mas Taslim terjalin dengan indah. Kami merasa sangat bahagia dengan semua itu, terutama saya.

Mas Taslim adalah cinta pertama, sekaligus pacar pertamaku.

Cowok bermata teduh dan memiliki senyum yang amat manis itu, mampu memberi warna dalam perjalanan hidupku.

Rasanya dunia begitu indah bagiku. Meski kami harus tetap menjaga rahasia dari hubungan kami.

Kami hanya bisa bermesraan, di saat-saat tertentu dan di tempat-tempat tertentu.

Namun itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Karena yang terpenting adalah, bagaimana kami bisa tetap bersama-sama setiap hari.

Mas Taslim masih terus mengamen di pasar, dan saya juga masih terus jadi kuli angkut barang.

Profesi kami tersebut, tidak mempengaruhi hubungan indah kami.

Meski mas Taslim telah kehilangan sebelah kakinya akibat kecelakaan tersebut, tapi di mataku ia adalah laki-laki terindah saat ini.

"mas, gak pengen jadi penyanyi profesional, kayak orang-orang?" tanyaku suatu hari pada mas Taslim, saat kami hanya berdua di kamarku. Kebetulan ayah ibu dan adik-adikku tidak sedang di rumah.

Mas Taslim tertawa ringan mendengar pertanyaan tersebut.

"dulu, aku memang punya cita-cita untuk menjadi seorang penyanyi. Aku bahkan sudah punya beberapa lagu yang aku ciptakan sendiri. Namun semenjak ayah dan ibu meninggal, semua itu hanya tinggal sebuah angan bagiku." ucap mas Taslim, dengan nada yang sedikit sendu.

"sekarang yang aku inginkan, hanyalah bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup, dan membiayai kuliah Dina, adikku." lanjut mas Taslim, suaranya mulai serak.

"apa lagi saat ini, aku hanya hidup dengan sebelah kaki. Produser mana yang mau rekaman dengan orang cacat sepertiku.." suara itu semakin serak ku dengarkan.

Hatiku terenyuh. Mas Taslim benar-benar telah kehilangan kepercayaan dirinya. Padahal menurutku ia punya ciri khas suara yang bagus. Dia punya bakat yang besar di bidang bernyanyi.

Aku mendekati mas Taslim yang sudah terbaring sejak tadi. Aku sandarkan kepalaku di atas lengan tangan kekarnya itu.

aku selalu merasa nyaman melakukan hal itu. Aku lingkarkan tanganku di dada bidangnya yang terasa begitu hangat.

Mas Taslim mengelus-elus bahuku dengan lembut, kemudian ia mengecup rambutku.

Aku suka saat mas Taslim melakukan hal tersebut. Rasanya sangat indah.

Suasana pagi itu sangat dingin. Aku semakin merapatkan dekapanku. Kehangatan tubuh mas Taslim, terasa mengalir di setiap aliran darahku.

Mas Taslim tiba-tiba menarik tubuhku, hingga tepat berada di atasnya.

"kamu sangat tampan, Al. Aku sayang sama kamu..." bisik mas Taslim lembut.

Aku tersenyuk mendengar kalimat tersebut, "mas Taslim juga sangat manis..." bisikku lirih.

Aku membelai rambut panjang sebahu mas Taslim. Rambut itu terasa lembut, karena selalu di rawat dengan baik.

Lalu kemudian dengan perlahan wajah kami pun saling mendekat. Bibir kami pun akhirnya menyatu.

Aku benar-benar hanyut dengan suasana romantis itu. Rasanya dunia saat itu, hanya milik kami berdua.

Dari gerakan yang awalnya lembut, lama kelamaan gerakan kami semakin liar.

Kami sudah tidak mampu mengendalikan diri, hingga kami pun akhirnya untuk pertama kalinya melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan.

Aku terasa melayang menikmati hal tersebut. Sesuatu yang dulunya hanya ada dalam anganku, kini menjelma menjadi sebuah kenyataan yang indah.

"kamu yakin mau melakukan hal ini denganku, Al..?" tanya mas Taslim di tengah-tengah pergulatan kami.

"kalau mas juga menginginkannya, aku yakin, mas.." jawabku yang terdengar sedikit mendesah.

Aku benar-benar sudah terbuai. Mas Taslim mampu membuatku terlena dan pasrah.

Selain karena aku memang sangat mencintai mas Taslim, aku sebenarnya juga penasaran, seperti apa rasanya hal tersebut.

Mas Taslim mulai melakukan aksinya, bak seorang pendekar yang berusaha menunggangi kudanya.

Kami pun berlayar dalam lautan penuh cinta.

Semuanya terasa indah bagiku, bahkan jauh lebih indah dari yang pernah aku bayangkan.

Mas Taslim terlihat juga sangat menikmati permainan kami.

Cukup lama kami berlayar bersama, aku merasakan tubuh kami mulai berkeringat.

Semakin lama, kami semakin tak terkendali.

Cinta yang hadir di antara kami, membuat hal tersebut jadi terasa penuh makna.

Setelah pergumulan yang panjang, kami pun akhirnya terhempas hampir bersamaan.

Untuk pertama kalinya aku merasakan sebuah keindahan dalam hidupku. Dan yang paling membuatku sangat berkesan, ialah karena aku melakukannya dengan orang yang paling aku cintai.

Mas Taslim tersenyum puas menatapku yang kelelahan.

"makasih ya, Al. Kamu benar-benar hebat.." bisiknya lembut. Sebuah kecupan mendarat di pipiku.

"mas Taslim juga hebat.." balasku dengan menyunggingkan senyum manis.

*******

Hari-hari berlalu semakin indah bagiku.

Berbulan-bulan hubunganku dengan mas Taslim terjalin dengan penuh warna.

Cintaku padanya semakin besar ku rasakan. Aku semakin takut kehilangan mas Taslim.

Hingga pada suatu kesempatan, aku sengaja merekam mas Taslim yang sedang mengamen di pasar.

Rekaman video itu, sengaja aku kirimkan di media sosialku.

Tidak ada maksud apa-apa sebenarnya, aku hanya ingin menunjukkan rasa kagumku dengan kemampuan bernyanyi mas Taslim.

Beberapa minggu kemudian tak kusangka, postingan tersebut ternyata di tonton dan di sukai banyak orang.

Berbagai komentar ada di sana, dan rata-rata mereka memuji suara mas Taslim.

Apa lagi melihat mas Taslim yang bernyanyi hanya dengan sebelah kaki. Hal itu tentu saja menarik simpati orang-orang yang menontonnya.

Ternyata tidak cukup hanya sampai di situ.

Karena banyak yang membagikan video tersebut, akhirnya seorang produser rekaman datang menemui mas Taslim di tempat ia mengamen.

Mas Taslim tentu saja kaget, mengetahui hal tersebut. Tapi aku berusaha menjelaskannya dengan singkat padanya.

Di luar dugaan kami, ternyata sang produser menawarkan mas Taslim untuk rekaman. Apa lagi ketika ia mengetahui, kalau mas Taslim juga punya lagu ciptaannya sendiri.

"tapi kamu harus ikut saya ke Jakarta. Karena studio rekaman kami ada di sana.." jelas sang produser itu lagi.

"kapan?' tanyaku spontan.

Aku memang orang yang paling semangat, mengetahui hal tersebut.

Sementara mas Taslim terlihat ogah-ogahan dan seperti tidak begitu yakin.

"kalau bisa secepatnya, mumpung lagi viral, kan." jawab sang produser.

"tapi semua terserah Taslim, sih. Jika ia memang bersedia.." lanjutnya.

"mas Taslim pasti bersedia, pak. Saya yang jamin.." ucapku masih dengan nada penuh semangat.

"ini kartu nama saya. Di situ ada nomor yang bisa kalian hubungi. Kapan pun Taslim siap, silahkan hubungi saya.." sang produser berucap, sambil memberikan sebuah kartu nama.

Setelah berucap demikian, sang produser pun segera pamit.

******

"ini kesempatan emas loh, mas." ucapku meyakinkan mas Taslim, ketika sang produser itu telah berlalu.

"iya, aku tahu, Al..." jawab mas Taslim, seperti tanpa semangat.

"ya udah, mas Taslim tunggu apa lagi?' tanyaku.

"aku harus tanya Dina dulu, Al. Aku takut meninggalkan ia sendirian di kota ini.." jawab mas Taslim.

"kan ada paman mas Taslim disini. Lagi pula aku juga ada di sini. Mas gak usah khawatir soal Dina. Aku yakin, ia pasti juga mendukung mas.." balasku lagi.

"lalu bagaimana dengan kamu, Al?" tanya mas Taslim tiba-tiba.

"aku? aku gak apa-apa, kok. Selama hal itu baik untuk mas, aku pasti akan selalu support, mas.." ucapku yakin.

"tapi kita akan terpisah oleh jarak, Al. Aku pasti akan sangat merindukanmu.." mas Taslim berucap sambil ia menatapku sendu.

"kita masih bisa berhubungan melalui handphone, mas. Aku juga pasti sangat merindukanmu, mas. Tapi ini semua kan demi masa depan mas juga.." ujarku berusaha terdengar tegar.

Meski hatiku sebenarnya takut, karena harus terpisah jauh dari mas Taslim.

Aku tahu, waktu dan jarak bisa merubah pendirian seseorang. Waktu dan jarak bisa mengubah segalanya.

Namun aku selalu yakin, bahwa kekuatan cinta akan selalu menjaga hati kami, sejauh apa pun jarak yang coba memisahkannya.

"aku akan selalu setia menunggu mas disini.." suaraku pelan.

Mas Taslim tiba-tiba meraih tanganku dan kemudian menggenggamnya erat.

"aku akan selalu sayang kamu, Al. Apa pun yang akan terjadi ke depannya.." ucapnya lembut.

*****

Seminggu kemudian, mas Taslim pun terbang ke Jakarta bersama sang produser.

Aku dan Dina turut mengantarnya ke bandara.

Rasanya begitu berat harus melepaskan orang yang aku cintai pergi begitu jauh.

Namun semua demi masa depan mas Taslim. Aku hanya berharap, semoga kota Jakarta tidak merubah apa pun dalam diri mas Taslim, terutama perasaan cintanya padaku.

Hari-hari selanjutnya aku jalani dengan terasa sedikit berat.

Ketiadaan mas Taslim di sampingku, membuat hari-hariku jadi tidak bermakna lagi.

Kami masih sering berhubungan melalui handphone. Mas Taslim selalu rajin mengabariku tentang perkembangannya di Jakarta.

Ia sudah mulai rekaman. Ia juga sudah mulai sedikit sibuk.

Aku mencoba untuk mengerti keadaannya. Meski sejujurnya rasa rindu ini, sering menyiksaku.

Sebulan berlalu, yang terasa bertahun-tahun bagiku, mas Taslim sudah meluncurkan single pertamanya.

Nama mas Taslim juga sudah mulai di kenal publik. Karena orang-orang sudah mengenalnya, semenjak video rekamannya saat mengamen itu, aku sebarkan di media sosial.

Single pertamanya, disambut dengan meriah oleh para penggemarnya. Video-video tentang mas Taslim mulai menyebar, terutama di youtube.

Mas Taslim semakin sibuk, hingga ia bahkan tidak punya waktu lagi, untuk sekedar mengabariku.

Berbulan-bulan, mas Taslim tak pernah menghubungiku lagi. Setiap kali aku coba menghubunginya, nomornya selalu sibuk. Pesanku juga tidak pernah ia balas.

Aku hanya tahu kabarnya, melalui media sosial dan infotainment.

Terakhir aku mendapat kabar, kalau adiknya, Dina, juga ikut hijrah ke Jakarta.

Setelah berbulan-bulan, bahkan hampir setahun, tanpa kabar apa pun dari mas Taslim, aku akhirnya memutuskan untuk menyerah.

Aku tak ingin mengharapkannya lagi, meski itu terasa sangat menyakitkan bagiku.

Setiap hari goresan luka seakan terus menyayat hatiku, mengingat mas Taslim.

Aku mulai menyibukkan diriku, dengan ikut jadi kuli bangunan bersama ayah.

Aku tak ingin menjadi kuli angkut lagi di pasar. Karena setiap kali aku berada di pasar, bayangan kenangan indahku bersama mas Taslim selalu melintas.

Aku jadi ingat, saat pertama kali kami bertemu dulu.

Bagaimana mas Taslim yang berusaha mendekatiku, yang kemudian membuat kami menjadi sangat dekat.

Kedekatan itu, menumbuhkan rasa cinta yang dalam di antara kami.

Mas Taslim sempat mengalami kecelakaan parah, yang merenggut kaki sebelah kirinya.

Ia sempat mengalami keterpurukan, namun aku berhasil meyakinkannya untuk kembali bangkit.

Hingga kami pun menjalin hubungan yang serius.

Kenangan-kenangan itu, selalu melintas di pikiranku, setiap kali aku berada di pasar tersebut.

Untuk itu, aku lebih bekerja jadi kuli bangunan bersama ayah.

Namun ketenaran mas Taslim saat ini, membuat wajahnya selalu muncul di mana-mana.

Orang-orang di tempat aku kerja, sering menonton video mas Taslim, saat jam istirahat.

"bukannya dulu ia ini cacat, ya.." celetuk salah seorang pekerja saat menonton video mas Taslim.

"iya. Sekarang ia kan pakai kaki palsu kabarnya.." balas seorang pekerja lainnya, yang ikut menonton.

Aku mendengar pembicaraan itu sayup-sayup dari kejauhan.

Karena penasaran dengan kondisi terbaru mas Taslim, aku mencoba membuka handphone-ku.

Ternyata memang sekarang, mas Taslim tidak cacat lagi. Ia sudah memakai kaki palsu.

Mas Taslim yang memang sudah keren sejak dulu, jadi semakin terlihat sangat keren.

Hatiku meringis melihat penampilan mas Taslim sekarang. Ia bak sosok seorang laki-laki sempurna, yang di kagumi banyak orang.

Akh... hatiku terasa sakit kembali.

Sudah hampir sebulan ini, aku mencoba melupakannya. Aku mencoba tidak melihat kabar apa pun tentangnya di media sosial.

Tapi tetap saja, aku selalu merindukannya. Tetap saja, aku selalu berharap, ia datang tiba-tiba menemuiku.

Oh, mimpi. Sekarang aku dan mas Taslim itu, seperti langit dan bumi. Ia sudah sangat tinggi untuk bisa aku gapai.

Dan untuk nekat menggapainya, aku takut jatuh. Karena itu pasti akan sangat menyakitkan.

Aku menarik napas dalam, berusaha sekuat mungkin, agar tidak menangis lagi.

Beberapa minggu belakangan ini, aku memang sering menangis sendirian. Aku tak mampu menahan perih yang aku rasakan.

Aku seperti di campakkan. Aku merasakan kalau mas Taslim tidak lagi membutuhkanku.

Dan hal itu, membuatku semakin terluka parah.

*****

Hampir setahun berlalu. Aku mulai belajar melalui hari-hari tanpa mengingat mas Taslim.

Aku harus bisa melupakannya. Aku takut mengharapkannya lagi.

Hingga suatu hari, tiba-tiba mas Taslim menghubungiku.

Ia meminta aku datang ke sebuah hotel tempat ia menginap.

"kebetulan aku ada konser di kota ini, Al. Aku ingat kamu, karena itu aku meminta kamu datang." ucap mas Taslim, saat aku akhirnya memenuhi penggilannya, meski dengan perasaan yang cukup berat.

Banyak yang ingin aku ceritakan pada mas Taslim, banyak yang ingin aku tanyakan padanya.

Tapi entah mengapa lidahku terasa kelu.

Setelah hampir setahun tak pernah bertemu, aku merasa sedikit asing berada di dekat mas Taslim.

Apa lagi mas Taslim yang sekarang bukan mas Taslim yang dulu aku kenal.

"aku minta maaf, Al. Aku sudah mengabaikanmu cukup lama. Aku tidak pernah mengabarimu lagi. Aku tak pernah menghubungimu lagi.." suara mas Taslim pelan.

"sejak mulai rekaman hingga akhirnya aku di kenal publik. Rasanya dunia ku menjadi sangat terbatas. Setiap gerak-gerik ku selalu menjadi pusat perhatian. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk sendiri."

"aku juga jadi tidak punya waktu, untuk menghubungi kamu. Aku takut orang-orang tahu, kalau aku punya hubungan istimewa dengan seorang laki-laki.."

"aku bukannya takut karirku hancur. Aku hanya takut, jika hubungan kita  diketahui oleh publik, itu pasti akan menjadi berita yang sangat besar.."

"banyak yang harus ku pikirkan, Al. Terutama perasaan adikku, Dina. Aku tidak ingin hidupnya hancur, jika hubungan kita tersebar."

"andai aku tidak seterkenal sekarang. Andai aku masih seperti dulu. Aku tidak masalah, jika hubungan kita diketahui orang-orang, karena resikonya sangat kecil."

"tapi sekarang, jelas hal itu, akan mencoreng nama baik kamu, keluarga kamu dan juga perasaan Dina.."

mas Taslim menarik napas panjang.

"dulu aku pernah bermimpi hidup menjadi seorang artis. Tapi ternyata setelah aku benar-benar menjalaninya. Itu semua tidak seindah yang aku bayangkan."

"duniaku menjadi semakin sempit. Kebebasanku di renggut. Aku hampir tidak punya privacy lagi." mas Taslim melanjutkan ceritanya.

Suaranya perlahan mulai terdengar parau.

"andai aku bisa memutar waktu kembali, aku ingin menjadi Taslim yang dulu lagi. Aku ingin hidup seperti dulu lagi. Aku ingin mendapatkan kebebasanku lagi.." mas Taslim masih terus melanjutkan ceritanya, meski sebulir air mata jatuh membasahi pipinya.

"aku lelah, Al. Setahun kita tidak bertemu, setahun juga aku harus menahan lelahnya rasa rindu. Setahun juga perasaan dan hatiku tersiksa."

"aku ingin bertemu kamu, Al. Tapi seperti yang aku katakan, setiap tindakanku akan selalu menjadi berita bagi orang-orang, apa lagi bagi orang-orang yang tidak menyukai kesuksesanku.."

"kamu mungkin telah membenciku saat ini, Al. Dan menganggap aku telah melupakanmu. Namun asal kamu tahu, sampai detik ini, aku masih sangat mencintaimu. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa.." mas Taslim mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

"lalu sekarang, mas Taslim ingin aku bagaimana?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.

Semua penjelasan mas Taslim, sebenarnya cukup masuk akal.

Biar bagaimana pun, hubungan kami memang bukan sesuatu yang bisa di umbar sembarangan.

Tapi terkadang cinta itu egois. Cinta bukan hanya soal logika.

Mas Taslim kembali menghela napas panjang.

"entahlah, Al. Aku juga bingung dengan apa yang aku inginkan sebenarnya. Aku sangat mencintai kamu. Tapi aku juga tidak ingin hubungan kita diketahui siapa pun." balas mas Taslim.

"sementara jika kita tetap saling berhubungan dengan sembunyi-sembunyi. Kita pasti akan sangat jarang bertemu, Al. Dan aku takut kita gak bakal kuat.." lanjut mas Taslim lagi.

Aku kembali terdiam. Aku juga bingung sebenarnya. Aku benar-benar tidak tahu, harus apa.

Setahun hubungan tanpa status yang jelas. Setahun kami tidak pernah bertemu, bahkan tidak pernah saling berkomunikasi.

Aku juga sudah mulai belajar melupakan mas Taslim.

Tapi sekarang, tiba-tiba mas Taslim muncul lagi. Tapi ia datang bukan untuk mengulang kembali kisah indah kami.

Ia datang dengan kebingungannya, yang membuatku juga turut menjadi bingung.

"mungkin lebih baik, kalau kita saling melupakan..." ucapku dengan suara berat, seberat perasaanku untuk mengungkapkannya.

Mas Taslim menatapku tajam.

"ini tidak mudah bagiku, mas. Tapi semua demi kebaikan mas Taslim. Demi kebaikanku juga. Mungkin kisah cinta kita, memang harus berakhir seperti ini..." aku melanjutkan kalimatku lagi.

"apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya mas Taslim tiba-tiba.

"aku selalu mencintai mas Taslim, dari dulu, sekarang, besok dan selama-lamanya. Tapi cinta tidak selamanya harus menyatu, mas. Apa lagi cinta yang terjalin diantara kita, bukanlah cinta yang semestinya.." jawabku terdengar sedikit bijak.

"aku ingin kamu ikut denganku ke Jakarta, Al. Dan tinggal bersamaku..." mas Taslim berucap pelan.

Aku kembali menatap mata teduh milik mas Taslim. Aku mencoba memahami maksud dari pernyataannya barusan.

"aku serius, Al. Kita bisa tinggal bersama. Kamu bisa jadi asistenku.." mas Taslim melanjutkan lagi, ia seperti berusaha meyakinkanku.

Mas Taslim tiba-tiba mendekatiku. Ia duduk sangat dekat denganku. Tubuh kami saling berdempetan.

"aku ingin kita tetap bersama, Al. Aku tak ingin lagi jauh darimu. Aku mohon kamu mau, ya, Al.." mas Taslim berucap, sambil mulai meraih jemariku.

Aku masih terdiam. Tawaran yang diberikan mas Taslim, sangat membuatku bingung.

Aku bukannya gak mau ikut mas Taslim. Tapi saat ini, keluargaku sangat membutuhkanku.

Ayah sudah sering sakit-sakitan. Aku yang harus sering menggantikannya bekerja.

Mungkin dengan menerima tawaran dari mas Taslim, aku jadi punya pekerjaan. Dan tentunya sebagian hasilnya bisa aku kirimkan pada Ibu.

Tapi rasanya berat harus meninggalkan mereka dalam kondisi ayah yang sering sakit-sakitan.

"aku gak bisa jawab sekarang, mas. Aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua.." ucapku akhirnya, sambil membalas genggaman tangan mas Taslim.

Rasa rindu yang hampir setahun terpendam. Malam itu akhirnya tercurah sudah.

Aku tidak bisa menahan, ketika mas Taslim akhirnya membawaku berlayar dalam lautan cintanya yang indah.

Kami berusaha menumpahkan semua kerinduan kami selama ini, malam itu.

"aku sangat merindukanmu, Al.." mas Taslim terus berbisik di telingaku dengan kata-kata cintanya yang terdengar sangat romantis bagiku.

Raga kami akhirnya menyatu. Berpadu mewakili setiap perasaan yang kami rasakan selama ini.

Kami enggan untuk saling mengakhiri. Kami tidak ingin saling melepaskan.

Berkali-kali mas Taslim membuatku melayang.

Sungguh sebuah pelayaran yang sangat indah. Setelah setahun tidak merasakan hal tersebut, aku menjadi sedikit liar.

Aku ingin mas Taslim benar-benar terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya.

Aku ingin menikmati setiap detik kebersamaan kami.

Aku ingin moment itu menjadi moment terindah di antara kami, setelah moment saat pertama kali kami melakukan hal tersebut.

Mas Taslim juga terasa sangat menikmati hal tersebut.

Kami melakukan pelayaran hingga berkali-kali malam itu.

Sampai kami sama-sama merasa lelah.

******

Part 3

Aku menghempaskan tubuhku berat, di atas sebuah ranjang empuk.

Perjalanan yang harus aku tempuh dari kota ku menuju kota Jakarta ini, cukup membuat sedikit lelah.

Apa lagi ini pertama kalinya aku naik pesawat.

Dan pertama kalinya juga, aku melakukan perjalanan yang cukup dari kota kelahiranku.

Ya, aku memutuskan untuk menerima tawaran mas Taslim, untuk ikut dengannya ke Jakarta dan bekerja sebagai asisten pribadinya.

Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa soal pekerjaan seorang asisten artis terkenal seperti mas Taslim.

"nanti kamu bisa sekalian belajar, Al. Apa-apa saja tugas seorang asisten itu." jawab mas Taslim saat aku mempertanyakan hal tersebut, ketika di perjalanan tadi.

"selain kamu, aku kan juga punya seorang manajer, Al. Jadi tugas kamu sebenarnya tidak terlalu berat. Yang penting kita bisa selalu bersama-sama.." lanjut mas Taslim lagi.

Aku tahu, tujuan utama mas Taslim mengajak aku ikut dengannya ialah agar kami tetap bisa bertemu setiap hari. Dan sebenarnya itu juga yang aku inginkan.

Tapi sebagai seseorang yang di beri gaji, tentu saja aku harus bekerja secara profesional.

Apa lagi, mas Taslim sudah berbuat banyak padaku sebelum kami berangkat ke Jakarta.

Mas Taslim memberiku sejumlah uang, untuk biaya berobat ayah ke rumah sakit.

Uang itu cukup banyak, meski mas Taslim tidak meminta aku untuk mengganti uang tersebut.

"anggap saja itu hadiah dariku, Al. Karena sebelum aku jadi seperti sekarang, kamu dulu juga sering membantuku.." jelas mas Taslim, saat aku mempertanyakan tentang uang tersebut.

Ayah sudah mulai membaik, karena sudah mendapat pengobatan dari rumah sakit.

Karena itu juga, aku memutuskan untuk menerima tawaran mas Taslim. Setidaknya aku tidak perlu terlalu mencemaskan keadaan di rumah.

Meski tentu saja, aku akan tetap mengirimkan sebagian dari gajiku untuk membantu keluargaku.

Aku menarik napas dalam, sambil memejamkan mata.

Ranjang yang aku tempati terasa begitu nyaman. Jauh lebih nyaman, di bandingkan ketika aku berada di rumahku.

Mas Taslim memang menyediakan sebuah kamar untuk tempat aku tinggal dirumahnya.

Rumah itu sangat besar. Ada beberapa orang pembantu yang tinggal di sana. Dan Dina, adiknya mas Taslim juga tinggal di sana.

Kamar yang aku tempati cukup luas. Kamar itu berada di lantai atas, berada tepat di samping kamar mas Taslim.

"kamu anggap aja seperti rumah sendiri ya, Al.." ucap mas Taslim tadi, saat mengantar aku ke dalam kamar.

"kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa tanya langsung sama bi Sumi, ia asisten pembantu di rumah ini." jelas mas Taslim melanjutkan.

"sekarang kamu istirahat dulu. Besok kita bicarakan lagi, soal pekerjaan kamu.." lanjutnya lagi.

Setelah berkata demikian, mas Taslim lalu pamit untuk beristirahat di kamarnya.

 *****

"perkenalkan ini mas Anto. Dia yang sudah menjadi manajerku sejak awal.." ucap mas Taslim, keesokan paginya.

"kamu nanti bisa belajar banyak darinya.." lanjutnya.

"mas Anto yang mengatur semua jadwal-ku, dan juga mengurus segala kontrak kerjaku." mas Taslim berucap lagi, setelah aku dan mas Anto saling berkenalan.

"nanti kamu yang akan menghandle segala keperluanku untuk manggung. Pekerjaan kamu lebih kepada urusan personal-ku." lanjutnya lagi.

"termasuk mengingatkan mas Taslim untuk kontrol rutin pengobatan kakinya, dan juga mengingatkan untuk selalu meminum obatnya tepat waktu.." Dina ikut menimpali pembicaraan tersebut.

"selama ini aku yang melakukannya.." lanjutnya Dina lagi.

"karena sekarang aku sudah mulai sibuk di kampus, jadi tugas itu aku serahkan sepenuhnya padamu, Al..." ucap Dina lagi, dengan sedikit mengerlingkan mata.

"kamu tenang aja. Nanti kamu juga di bantu sama teman team lainnya, kalau soal urusan peralatan manggung mas Taslim.." kali ini mas Anto yang berbicara.

Mas Anto kalau ku perkirakan sudah berumur kurang lebih 35 tahun. Menurut ceritanya ia juga sudah menikah dan sudah mempunyai dua orang anak.

Mas Anto memiliki paras yang oriental, dengan matanya yang sedikit menyipit apa lagi saat ia tertawa.

Mas Anto terlihat mungil dengan tubuh pendeknya. Namun ia terlihat pintar dan lincah.

Setelah perkenalan singkat itu, kami mulai di sibukkan dengan kegiatan konser mas Taslim selanjutnya yang akan diadakan malam nanti.

Sebenarnya segala persiapan mereka sudah cukup matang. Hanya saja ada beberapa hal yang harus kami lakukan sebagai perbaikan.

Aku mulai berkenalan dengan beberapa orang yang terlibat dengan konser mas Taslim malam itu.

Aku mencoba belajar banyak hal dari pekerjaan baruku tersebut.

Meski aku kesulitan awalnya, namun mas Taslim selalu punya cara untuk memberikan aku spirit, agar tetap bersemangat.

Ia kadang-kadang mengirimkan aku sebuah emoticon senyum melalui whatsapp-nya.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Setidaknya sekarang, aku bisa hampir setiap saat bisa menatap wajah teduh nan indah itu.

Melihat senyumnya yang selalu manis di mataku.

Hatiku selalu berbunga-bunga, setiap kali mas Taslim menatapku dengan mata indahnya.

Walau kami tidak bisa saling bermesraan, namun setidaknya kami bisa saling memberi support.

Cinta bukan hanya soal kebutuhan fisik, tapi juga kebutuhan hati.

Meski raga kami tidak bisa selalu saling berdampingan, tapi aku yakin, hati kami selalu saling mengingat.

******

Hari-hari kembali terasa indah bagiku.

Kesibukanku bersama mas Taslim membuat waktu terasa begitu cepat berlalu.

Aku juga sering ikut mas Taslim ke luar kota, untuk beberapa konsernya.

Ada malam-malam tertentu, kami sering menghabiskan waktu berdua.

Jika kami tidak punya kesempatan di rumah, maka saat di luar kota lah kami memanfaatkan kesempatan untuk tidur di kamar hotel yang sama.

Jika di rumah, mas Taslim sering mencuri-curi waktu untuk menyelinap ke kamarku malam-malam.

Kami selalu memanfaatkan kesempatan seperti itu, untuk menumpahkan segala hasrat kami yang sudah terpendam.

Kami saling bergumul dan bermesraan dengan penuh cinta.

Aku selalu merasa melayang setiap kali mas Taslim melakukan hal tersebut.

Rasanya dunia begitu sempurna. Aku bak musafir yang menemukan setetes air di tengah gurun pasir, setiap kali kami saling bercumbu.

Aku tidak ingin melewatkan sedetik pun kemesraan kami. Aku selalu berusaha menikmatinya.

Demikian juga mas Taslim. Ia selalu berhasil membuatku mengalami sebuah pendakian yang indah dan sempurna.

Hati kami menyatu, raga kami tak ingin saling melepaskan.

Kebahagiaan itu hanya milik kami. Kesempurnaan itu hanya milik kami berdua.

Aku berharap tidak ada lagi air mata duka diantara kami. Aku berharap cinta kami tetap menyatu selamanya, meski apa pun yang akan terjadi.

****

Berbulan-bulan aku menjalani hari-hari indahku bersama mas Taslim.

Berbulan-bulan aku bekerja dengannya. Dan sebagian dari hasil kerja ku, aku kirimkan pada Ibu.

Hingga suatu saat.....

"tapi ini demi menunjang karir, mas Taslim.." itu suara mas Anto.

Kami ngobrol bertiga di ruang kerja mas Taslim.

"tapi aku tidak menyukai Devina, mas Anto.." ucap mas Taslim membalas.

"itu tidak penting mas Taslim. Para penggemar menginginkan kalian untuk segera jadian." mas Anto berucap pelan.

"lagian selama ini, orang-orang tidak pernah melihat mas Taslim pacaran. Mereka ingin mas Taslim dan Devina segera berpacaran.." lanjutnya mas Anto.

Kali ini mas Taslim terdiam, ekor matanya menatap ke arahku.

Devina itu adalah penyanyi baru yang sedang naik daun. Devina dan mas Taslim memang sekarang sering duet berdua. Mereka terlihat dekat ketika di depan kamera.

Dan dari yang aku perhatikan, Devina sebenarnya menyukai mas Taslim.

Ya, siapa yang tidak suka dengan mas Taslim. Semua cewek berharap bisa menjadi pacarnya, termasuk Devina.

"kalian berdua harus jadian, agar orang-orang tidak kecewa. Dan tentu saja, itu semua akan sangat menunjang karir kalian berdua. Orang-orang akan selalu mengikuti perkembangan hubunngan mas Taslim dan Devina." mas Anto berujar lagi, ia terlihat sangat berusaha meyakinkan mas Taslim.

"aku harus memikirkan hal ini dulu, mas Anto. Aku gak mau terlalu gegabah.." ucap mas Taslim akhirnya, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

Aku sejak tadi hanya menundukkan kepala. Aku tidak tahu, apa yang aku rasakan saat itu.

"lagi pula Devina itu gadis yang cantik dan juga sangat baik. Masa iya, mas Taslim mau melewatkan gadis seperti itu.." ujar mas Anto lagi.

"iya, aku tahu, mas Anto. Tapi ini masalah perasaan.." ucap mas Taslim terdenga parau.

"abaikan dulu soal perasaaan, mas Taslim. Yang penting sekarang, bagaimana caranya agar karir mas Taslim tetap cemerlang dan tetap bertahan. Siapa tahu, nanti mas Taslim bisa benar-benar jatuh cinta pada Devina..." lanjut mas Anto lagi.

Mas Taslim kembali terdiam, ia terlihat menarik napas berat.

"ingat mas Taslim. Sekarang mulai banyak bermunculan penyanyi baru. Hal itu bukan tidak mungkin bisa membuat mas Taslim tenggelam dari dunia tarik suara. Tapi kalau mas Taslim mau mengikuti anjuran saya, saya yakin karir mas Taslim bisa bertahan lama..."

Setelah berucap demikian, mas Anto pun pamit untuk pulang, dan meninggalkan kami berdua.

****

"ini hanya pura-pura, Al. Ini hanya di depan kamera. Lagi pula, setidaknya ini bisa menutupi siapa aku sebenarnya.." suara mas Taslim serak.

Saat itu kami berada berdua di dalam kamarku.

Aku langsung menolak, keinginan mas Taslim untuk menjalin hubungan dengan Devina, seperti yang di sarankan mas Anto.

"orang-orang juga mulai penasaran, kenapa aku tidak pernah terdengar pacaran selama ini. Apa lagi saat ini, usiaku sudah hampir kepala tiga. Setidaknya orang-orang harus tahu, kalau aku ini laki-laki normal.." mas Taslim melanjutkan.

"tapi aku tidak sanggup melihat mas bermesraan dengan orang lain, mas. Itu terlalu menyakitkan bagiku.." suara mulai serak.

Hatiku tidak bisa menerima begitu saja hal tersebut. Biar bagaimana pun, aku sangat mencintai mas Taslim.

"itu tidak akan merubah apa pun, Al. Percayalah, aku hanya mencintai kamu. Tidak akan ada yang bisa mengubah perasaanku padamu, Al..." mas Taslim perlahan mendekap tubuhku dari belakang.

Aku membiarkan mas Taslim melakukan hal tersebut, aku selalu merasa nyaman setiap kali mas Taslim melakukannya.

"aku sangat mencintai kamu, Al. Tapi jika aku terus menjomblo, orang-orang akan semakin curiga dengan kedekatan kita, Al..." mas Taslim berbisik.

Aku sekali lagi menarik napas dalam. Berat rasanya untuk memenuhi permintaan mas Taslim kali ini.

Tapi aku juga tidak boleh egois. Aku harus memikirkan mas Taslim juga.

"aku dan Devina tidak akan melakukan apa pun, Al. Kami hanya pacaran, dan harus terlihat mesra terutama di depan para wartawan. Untuk urusan ranjang, aku pasti lebih memilih untuk bersama kamu, Al.." mas Taslim terus berbisik di telingaku, yang membuat hati kian luluh.

Mas Taslim mengecup bahuku lembut. Tangannya semakin erat mendekapku.

Aku akhirnya hanya pasrah. Aku juga tidak ingin kehilangan mas Taslim. Tapi pada kenyataannya, hubungan kami sampai kapan pun, tetap akan hanya menjadi sebuah rahasia.

"kamu mau kan, Al?" tanya mas Taslim meyakinkan.

Aku memutar kepala, wajah kami menjadi saling berdekatan.

Wajah sendu itu, terlihat sangat tampan di mataku, terutama jika berada sedekat ini.

Aku elus pipi mas Taslim, lalu mengecup pipi itu dengan lembut.

"jika itu yang terbaik bagi mas Taslim. Aku berusaha untuk ikhlas, mas.." ucapku lembut.

"ini bukan yang terbaik, Al. Tapi ini memang harus aku lakukan..." balas mas Taslim, sambil perlahan mendekatkan bibirnya.

Untuk kesekian kalinya malam itu, kami pun kembali berlayar bersama.

Tapi kali ini rasanya berbeda.

Aku merasa seakan-akan ini adalah kali terakhir kami punya kesempatan melakukannya.

*****

Sesuai dengan yang telah di rencanakan oleh mas Anto, Devina dan juga mas Taslim.

Mereka berdua, mas Taslim dan Devina, pun resmi berpacaran.

Bahkan mas Anto dengan tegas mengumumkan hal tersebut kepada para wartawan.

Semua orang terlihat bahagia mengetahui hal tersebut, tak terkecuali Dina, adik mas Taslim.

Tapi aku justru merasakan hal sebaliknya. Aku merasa terluka dan kecewa.

Sakit rasanya melihat mas Taslim bermesraan dengan orang lain.

Namun aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya berharap mas Taslim akan menepati janjinya.

Hari-hari selanjutnya, mas Taslim dan Devina jadi semakin sering bersama. Mereka juga terlihat semakin mesra.

Mas Taslim jadi jarang punya waktu denganku sekarang.

Ia semakin sibuk dengan karirnya, yang ternyata seperti yang mas Anto katakan, memang semakin membaik.

Mereka berdua tiba-tiba menjadi pusat perhatian publik. Banyak dari para netizen yang berharap mereka untuk segera menikah.

"pasangan yang serasi, semoga langgeng sampai akad.." begitu salah satu komentar netizen yang aku baca di postingan instagram mas Taslim.

Hatiku semakin terhiris menyadari hal itu. Rasanya begitu sakit.

"maaf ya, Al. Aku jadi sering mengabaikanmu sekarang.." ucap mas Taslim, ketika akhirnya kami punya kesempatan untuk berdua.

Aku tidak tahu, apa aku harus marah pada mas Taslim? Apa aku harus membencinya?

Tapi cintaku terlalu besar, untuk bisa membencinya.

Selama ia masih punya waktu denganku, aku mencoba untuk menerima semuanya.

"apa mas mencintai Devina?" tanyaku tiba-tiba.

Aku tidak tahu, mengapa aku harus mempertanyakan hal tersebut. Mungkin rasa cemburuku yang mendorongnya.

Mas Taslim tersenyum kecut, melihat raut wajah cemburuku.

"aku tidak bisa mencintai siapa pun di dunia ini, selain kamu, Al.." ucapnya terdengar mesra.

Aku merinding mendengat kalimat mas Taslim barusan. Seandainya ucapan itu benar-benar dari hati mas Taslim, betapa beruntungnya aku.

"tapi cinta saja tidak cukup, Al. Untuk membuat kita bisa menyatu." lanjutnya kemudian.

"kita harus juga mendapat persetujuan semua orang. Karena kita hidup diantara orang-orang yang peduli dengan kita." mas Taslim tiba-tiba menghela napas.

"dan sayangnya hal itu yang tidak akan pernah kita dapatkan. Tidak akan ada seorang pun yang setuju dengan hubungan kita, Al.." mas Taslim melanjutkan.

"jadi mas Taslim ingin mengakhirinya?" tanyaku spontan.

"selama kamu masih mau bertahan dengan keadaan hubungan kita seperti ini, tidak ada yang ingin aku akhiri, Al. Hanya saja kamu harus lebih banyak bersabar. Karena hubunganku dengan Devina, semakin lama akan semakin serius.." balas mas Taslim.

"apa mas Taslim akan menikahi Devina?" tanyaku lagi.

"iya. Sebagai laki-laki, aku memang harus menikah, Al. Dan sepertinya Devina gadis yang baik, meski aku sebenarnya tidak pernah mencintainya.." mas Taslim menjawab sambil memejamkan mata.

Ia terlihat seperti sedang menahan sesuatu di dalam hatinya.

"itu artinya, mas membohongi Devina dan juga semua orang.." ucapku ringan.

"bahkan aku selalu membohongi diriku sendiri, Al. Setiap hari aku melakukan hal tersebut. Namun beginilah kehidupan, segala yang terjadi tidak selalu seperti yang kita inginkan..." suara mas Taslim mulai sedikit parau.

"aku tahu kita saling mencintai, Al. Aku juga, kalau kamu sangat mencintaiku. Tapi sekali lagi, itu semua tidak cukup, Al..."

Aku terenyuh mendengar kalimat mas Taslim barusan.

Ia benar, hubungan yang terjalin diantara kami tidak akan pernah sampai kemana-mana.

Meski kami saling mencintai, meski kami saling ingin memiliki.

Tapi cinta yang tidak mendapat restu dari siapa pun, bukanlah cinta yang layak untuk diperjuangkan.

Cinta kami tidak akan bisa diterima oleh siapapun.

Namun hubungan mas Taslim dan Devina adalah keinginan banyak orang.

****

Mas Taslim dan Devina akhirnya menikah, beberapa bulan kemudian.

Tidak ada yang salah dengan pernikahan itu. Semua orang berbahagia melihatnya, semua orang memberi ucapan selamat kepada mereka berdua.

Dan aku, berusaha setegar mungkin menerima kenyataan pahit itu.

Aku tidak ingin menangis lagi. Sudah hampir seminggu ini, aku selalu menangis setiap malam.

Membayangkan mas Taslim berada dalam dekapan orang lain, adalah hal paling menyakitkan sepanjang perjalanan hidupku.

Tapi aku bisa apa. Jika kekuatan cinta, bahkan tidak bisa membuat kami menyatu.

Mas Taslim berhak untuk bahagia, meski aku tahu, hatiku juga terluka dengan semua ini.

Aku masih ingat, ketika seminggu menjelang hari pernikahannya, mas Taslim masuk ke kamarku.

"maafkan aku, Al. Aku benar-benar minta maaf sama kamu.." suara mas Taslim serak.

"aku tahu ini menyakitkan bagimu. Aku juga tahu, kalau kamu pasti sangat menderita dengan semua ini. Tapi seandainya engkau tahu, bahwa betapa beratnya ini semua bagiku. Bahwa betapa aku tidak ingin hal ini terjadi..." mas Taslim menahan napas.

"mungkin aku salah. Mungkin juga aku terlalu lemah sebagai laki-laki. Tapi aku juga tidak ingin mengingkari takdirku, Al. Aku hanya berharap agar kamu bisa mengerti.." mas Taslim melanjutkan kalimatnya, meski sebulir air mata jatuh membasahi pipinya.

Aku tak tega melihat mas Taslim seperti itu. Aku selalu tak tega melihatnya menangis.

Bukan salan mas Taslim, jika ia harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai.

Bukan salahku juga, yang terlanjur hadir di dalam hidupnya.

Bukan salah takdir juga, yang terus memaksa kami untuk bisa menerima kenyataan.

Jika pun ada yang harus dipersalahkan, mungkin cinta kami yang salah berlabuh.

Aku menarik napas kembali. Kali ini lebih panjang, sepanjang torehan luka yang menyayat hatiku saat ini.

Aku sekali lagi menatap kemeriahan pesta pernikahan mas Taslim dan Devina, dari kejauhan.

Aku tidak sanggup lagi melihatnya. Hatiku sudah terlanjur hancur berkeping-keping.

Aku tak mampu mempertahankan cintaku pada mas Taslim. Terlalu besar resiko yang harus kami tanggung, jika kami tetap nekat untuk terus bersama.

Aku bisa saja, untuk terus menjalin hubungan dengan mas Taslim, meski pun ia sudah menikah nantinya.

Kami mungkin saja, masih punya kesempatan untuk berduaan nantinya.

Tapi, jujur saja, aku tidak ingin berbagi mas Taslim dengan siapa pun. Aku hanya ingin memilikinya sendiri.

Namun jika aku tidak mampu memilikinya sendiri, maka aku lebih memilih untuk tidak lagi bersamanya.

Dan karena itu juga, aku memutuskan untuk pergi dari rumah mas Taslim, pergi dari kehidupannya dan berusaha sekuat mungkin untuk pergi dari hatinya.

"kamu yakin, Al? untuk berhenti dari pekerjaanmu?" suara Dina mengagetkanku, saat aku sedang mengemasi barang-barangku  untuk segera pergi dari rumah itu.

"iya. Aku yakin, Din. Keluargaku sangat membutuhkanku saat ini.." jawabku berusaha terlihat baik-baik saja.

"tapi kenapa harus sekarang, Al? Kenapa gak tunggu pesta mas Taslim selesai dulu?" tanya Dina lagi.

"aku harus buru-buru, Din. Sampaikan permintaan maafku pada mas Taslim, ya.." jawabku seadanya.

Dina pun segera beranjak dari kamarku. Ia harus segera kembali ke pesta.

Aku pun bergegas berkemas.

Setelah cukup yakin, tidak ada barang yang tertinggal, aku segera keluar dari rumah itu secara diam-diam lewat pintu samping.

Tiket pesawat memang sengaja aku pesan sejak tadi malam.

Aku tidak sanggup lagi terus disini, rasanya terlalu sakit bagiku.

Sesampai di luar, aku segera membuka aplikasi ojek online, untuk mengantarku ke bandara.

Sampai di bandara, aku berniat masuk ke ruang tunggu, saat tiba-tiba sebuah suara memanggilku dengan keras dari luar.

"Aldi..! Tunggu...!" itu suara mas Taslim.

Ia tiba-tiba datang dengan napas terengah dan masih memakai pakaian pengantinnya.

"mas Taslim?" tanyaku setengah tak percaya.

"aku mohon, Al. Kamu jangan pergi! Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.." ucap mas Taslim, dengan napasnya yang masih terengah-engah.

Beberapa orang yang berada di pintu masuk memperhatikan kami.

"aku akan lakukan apa pun, Al. Tapi kamu jangan pergi, ya..." ucap mas Taslim lagi, dengan nada memohon.

Ia mengabaikan perhatian orang-orang yang berada di sana kepada kami.

Aku terpaku. Tidak tahu harus mengatakan apa. Aku juga tidak ingin berdebat dengan mas Taslim saat itu. Aku tidak ingin orang-orang akan berpikir aneh-aneh tentang kami.

"aku gak bisa, mas. Aku harus pergi.." aku berusaha memelankan suaraku, agar tidak terdengar siapa-siapa.

"jangan, Al. Aku mohon... jika kamu ingin hubungan kita diketahui semua orang, aku akan mengumumkannya sekarang..." suara mas Taslim terbata.

Aku semakin tak tega melihatnya.

"mas jangan melakukan tindakan bodoh, mas..." ucapku akhirnya.

"aku tidak peduli, Al. Jika hal itu bisa membuat kita tetap bersama, aku akan melakukannya.." balas mas Taslim tegas.

"aku mohon, mas. Jangan lakukan hal itu. Aku pasti kembali, mas. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri.." ucapku pelan.

"kamu jangan membohongiku, Al. Aku tahu, kamu ingin meninggalkanku, kan?" suara itu semakin menghiba.

Aku mulai merasa tak nyaman. Orang-orang semakin ramai memperhatikan kami.

"oke, mas. Aku akan ikut mas pulang sekarang. Tapi aku mohon, mas jangan melakukan tindakan bodoh disini, ya.." aku berujar, sambil menarik tangan mas Taslim untuk segera pergi dari situ.

Mas Taslim terlihat tersenyum bahagia.

"aku janji, aku akan menceraikan Devina, setelah beberapa bulan pernikahan kami. Hanya saja kamu harus sabar, Al..." ucap mas Taslim, ketika kami sudah berada di dalam mobilnya.

"jika pernikahanku dengan Devina bisa menarik perhatian para netizen, aku yakin perceraianku nantinya juga pasti akan menarik perhatian mereka. Dan itu artinya karirku di dunia tarik suara akan tetap bertahan, tanpa aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai..." lanjutnya lagi, yang membuatku terdiam dan tak mampu berkata apa-apa lagi.

Jika cinta mas Taslim begitu kuat, tak ada alasan lagi bagiku, untuk pergi meninggalkannya.

Apa pun resikonya nanti, aku akan menghadapinya, selama aku masih bisa mendapatkan mas Taslim.

Mas Taslim tiba-tiba menyentuh tanganku lembut, sambil ia terus menyetir mobilnya.

Aku tersenyum menatap wajah teduh nan menenangkan itu.

Aku akan bersabar, untuk sebuah kebahagiaan yang telah menantiku di suatu waktu nanti.

Saat cintaku dan cinta mas Taslim akhinya menyatu, tanpa ada yang bisa memisahkannya, sekalipu nitu sebuah takdir.

Karena aku percaya, bahwa cinta yang tulus akan mampu mengalahkan takdir.

Semoga saja...

*****

Bersambung ..

Semalam di Andromeda (Cinta yang salah part 4)

Apa kamu percaya, dengan cinta pada pandangan pertama?

Dulunya aku tidak percaya sama sekali. Bagaimana mungkin kita bisa merasa tertarik pada seseorang hanya melalui sebuah tatapan?

Namun semenjak bertemu Damar, aku mulai mempercayai hal tersebut.

Siapa Damar?

Dan bagaimana akhirnya kami bisa bertemu?

Kali ini saya akan menceritakannya disini.

Kumpulan cerpen sang penuai mimpi

 

Cerita yang selama ini hanya aku pendam sendiri. Cerita yang hanya menjadi rahasia dalam hidupku.

Dan beginilah ceritanya.

Namaku Abe. Begitu biasa orang-orang memanggilku.

Mungkin masih ada yang ingat tentang kisahku sebelumnya.

Kisahku yang telah jatuh cinta kepada orang yang salah berkali-kali.

Mulai dari jatuh cinta kepada seorang pemuda desa, yang merupakan sahabatku sendiri, hingga akhirnya ia pun menikah, yang membuatku harus pergi meninggalkan kampung halamanku.

Lalu kemudian aku jatuh cinta pada mandor tempat aku bekerja, yang saat itu sudah berstatus suami orang. Meski akhirnya kami bisa dekat, namun cintaku tetap bertepuk sebelah tangan, yang membuatku patah untuk yang kedua kalinya.

Sampai akhirnya aku bertemu Zai, seorang rekan kerjaku, sebagai sesama tukang panen sawit di sebuah kebun perusahaan. Aku kembali merasakan jatuh cinta pada Zai, setelah hampir setahun kami tinggal bersama.

Meski aku berhasil memiliki Zai, tapi pada akhirnya hatiku kembali hancur, karena Zai memilih untuk pergi meninggalkanku, yang sudah terlanjur bahagia bersamanya.

Dua tahun kebersamaanku dengan Zai, namun semua memang harus berakhir dengan sangat menyakitkan bagiku.

Dan setahun kemudian, disinilah aku sekarang. Di kampung halamanku.

Yah,aku memutuskan untuk kembali ke kampung, dan berencana memulai hidup baru.

Aku memang kembali bertemu, dengan pemuda kampung yang merupakan cinta pertamaku itu. Tapi semua rasa cintaku padanya, kini hanya menjadi sepenggal cerita yang telah ku kubur rapi di dalam hatiku.

Aku mulai menata hidupku lagi, menata hatiku kembali.

Aku berharap, aku bisa berubah. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi kepada orang yang salah. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi, kepada orang yang tidak akan pernah bisa aku miliki.

Namun yang terjadi, terkadang tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan.

Aku sekarang bekerja di sebuah perusahaan kebun sawit, sebagai seorang mandor. Seorang abang iparku, yang sudah bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut, merekomendasikan ku untuk bisa bekerja disana, meski hanya bermodal ijazah SMP.

Karena sudah punya pekerjaan tetap, aku juga jadi punya penghasilan yang tetap.

Sebagai seseorang yang masih hidup melajang, gaji yang aku terima sudah lebih dari pada cukup.

"jadi kapan kamu akan memutuskan untuk menikah?" kakakku kembali mempertanyakan hal itu padaku, pada suatu hari.

Keluargaku sekarang, memang sangat berharap aku segera menikah.

"kamu udah 30 tahun lebih loh, Be. Kamu mau selamanya hidup melajang?" lanjut kakakku lagi.

Aku selalu terdiam, setiap kali pihak keluargaku mempertanyakan hal tersebut.

Aku bukannya tidak mau menikah. Aku juga ingin merasakan kehidupan yang normal. Jadi seorang suami, punya keturunan. Tapi apa mungkin, aku bisa membuat istriku bahagia nantinya, jika aku tidak bisa benar-benar mencintainya.

Aku takut, pernikahanku nantinya, hanyalah sebuah kepalsuan.

Namun biar bagaimana pun, aku memang harus mulai memikirkan hal tersebut.

Sebagai orang yang tinggal di kampung, menikah adalah sesuatu yang sudah lebih dari sebuah kewajiban.

Laki-laki yang sudah berkepala tiga, namun masih melajang, akan menjadi bahan gunjingan yang empuk bagi para warga. Mungkin karena itu juga, keluargaku sangat bersikeras, untuk aku segera menikah.

Apa lagi, secara fisik, sebenarnya aku cukup menarik, menurut orang-orang terdekat ku, sih. Dan kehidupanku secara ekonomi juga sudah lumayan mapan.

Tapi ya, itu tadi, aku tidak bisa menemukan wanita, yang bisa membuatku jatuh cinta padanya.

*****

Hari-hari kembali berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Sampai suatu saat, aku pergi berjalan-jalan sendirian. Aku berniat untuk menghilangkan segala kejenuhanku setelah bekerja selama berbulan-bulan.

Kebetulan saat itu, masih dalam suasana libur lebaran. Kami para pekerja, mendapat jatah libur beberapa hari.

Aku memutuskan untuk menaiki sebuah travel, menuju sebuah daerah yang baru-baru ini cukup viral dibicarakan orang-orang. Sebuah pulau kecil di tengah lautan, yang katanya mempunyai pemandangan alam yang indah.

Meski daerah tersebut, cukup jauh dari desa tempat aku tinggal, setidaknya aku harus menempuh perjalanan hampir setengah hari naik travel untuk bisa sampai kesana.

Sesampai disana, aku harus naik sebuah kapal kecil untuk menuju pulau tersebut.

Memang sebuah pulau yang amat indah. Dan juga di kunjungi oleh banyak orang.

Pulau Andromeda, begitu masyarakat disekitar menyebut nama pulau nan eksotik tersebut.

Aku menaiki sebuah kapal kecil bersama beberapa orang pengunjung lainnya.

Sesampai di pulau tersebut, kami diturunkan di sebuah pelabuhan kecil, dan disambut oleh beberapa orang pemandu.

Para pemandu yang rata-rata laki-laki itu, mencoba menawarkan jasanya kepada setiap pengunjung yang datang. Meski terlihat banyak dari para pengunjung, untuk memilih menjelajahi pulau kecil itu tanpa pemandu.

Aku yang memang sendirian, dan baru pertama kali ke Andromeda, mencoba menerima tawaran dari seorang pemandu.

Selain memang tidak mengetahui daerah tersebut, aku juga butuh teman bercerita.

"aku Damar, bang.." begitu pemuda tersebut namanya, setelah kami melakukan tawar menawar mengenai harga yang telah ditetapkan.

"Abe..." jawabku singkat.

Damar tersenyum ramah. Senyum yang membuat degupan di jantungku menjadi tak karuan.

Damar memiliki sebuah belahan tipis di dagunya, yang membuat ia terlihat manis, terutama saat ia tersenyum.

Pemuda berbadan gelap nan eksotik itu, memiliki tubuh yang atletis dan berotot.

Perutnya terlihat ramping, ketika hembusan angin di pantai tersebut, meniup-niup baju kaos oblong hijau yang dipakainya siang itu.

Damar memakai sebuah celana jeans pendek, dengan sedikit seboken di bagian paha kirinya. Kakinya dipenuhi bulu-bulu yang hampir tak kelihatan karena hampir menyerupai warna kulitnya, meski sebenarnya bulu-bulu itu sangat lebat, hingga ke bagian pahanya.

Rambut Damar sedikit ikal, namun terlihat lembut tertiup hembusan angin. Matanya memancarkan sejuta keindahan. Bibirnya tipis, dengan hidung yang terlihat mungil.

Rahang kokohnya memperlihatkan tonjolan di lehernya, menjadi terlihat seksi.

Secara keseluruhan, Damar memang tidaklah terlalu tampan, tapi ia punya pesona tersendiri, yang membuatku menjadi tidak bosan menatapnya.

Dan aku sepertinya tiba-tiba saja, merasa sangat tertarik pada Damar.

Sehingga sebuah kalimat yang selama ini hanya mitos bagiku, kini justru terjadi padaku.

'Cinta pada pandangan pertama' desisku dalam hati.

Damar membantuku membawa beberapa barangku, menuju tempat peristirahatanku.

Di pulau ini, memang menyediakan sebuah tempat penginapan, untuk para pengunjung beristirahat atau bahkan untuk menginap beberapa malam disini.

Tempat penginapan itu, hanyalah seperti sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu, namun dibangun dengan karakteristik yang indah. Terlihat kokoh dan terkesan mewah,

Pondok-pondok kecil itu tersusun rapi, hampir di sepanjang pantai pulau tersebut. Ada puluhan banyaknya.

Untuk bisa menyewa tempat tersebut, kita harus memesannya dari awal, karena jika sudah menjelang sore, pondok-pondok itu, akan habis tersewa oleh para pengunjung.

Meski dengan harga yang sedikit mahal, tapi pondok itu cukup nyaman dan luas.

"pondok ini, memang dibuat untuk menampung sebuah keluarga, bang. Jadi, ya memang harus luas.." Damar mencoba menjelaskannya padaku, ketika kami telah berada di dalam salah satu pondok, yang sudah aku sewa tadi.

"jadi bang Abe sendirian?" tanya Damar lagi.

Aku hanya mengangguk kecil, karena aku tahu, pertanyaan tersebut hanyalah sebuah pertanyaan basa-basi.

Damar memang ramah dan terlihat sopan.

"sudah berapa lama kerja disini?" tanyaku, ketika akhirnya kami pun berjalan-jalan menyelusuri pantai tersebut.

"udah hampir dua tahun, bang.." jawab pemuda yang ternyata baru berusia 21 tahun tersebut.

Aku memang berencana untuk menginap satu malam di pulau tersebut. Namun karena masih sore, Damar menawarkanku untuk berkeliling sebentar, sambil kami mengobrol tentunya.

Ada banyak pengunjung disana, dan juga berbagai jenis jualan ada disana. Mulai dari berbagai jenis makanan dan minuman, berbagai aksesoris, serta beberapa cenderamata yang unik.

Sebuah pulau yang sangat menarik, namun dibalik itu semua, ada Damar yang telah mampu mengetuk hatiku, bahkan sejak pertama kali aku melihatnya.

Berjalan berdua bersama Damar, aku seperti merasakan keindahan pantai itu, menjadi dua kali bahkan tiga kali lipat lebih indah.

Damar cukup jangkung, aku terkadang harus tengadah untuk bisa menatap wajah teduhnya.

Kami ngobrol banyak hal, bahkan aku tanpa sengaja, juga menceritakan beberapa bagian dari kisah hidupku. Tapi tentu saja, bukan tentang aku yang seorang gay.

"bang Abe, mau berapa malam menginap disini?" tanya Damar, di sela-sela obrolan kami.

"hanya satu malam, Mar.." jawabku, mulai merasa akrab.

Senja pun akhirnya tiba. Orang-orang terlihat sedang asyik menikmati tenggelamnya sang mentari, sebuah momen yang menjadi pesona tersendiri di pulau itu.

Aku menatapi tenggelamnya sang mentari yang menghilang perlahan.

Terlihat indah. Terasa begitu indah. Apa lagi, dengan adanya Damar disisiku. Keindahan itu terasa lengkap.

Setelah mulai gelap, kami pun berjalan kembali ke pondok sewaanku.

Sebelum pamit, Damar menawarkan untuk menemaniku malam itu.

"kalau bang Abe masih butuh teman ngobrol, sih.." ucapnya lembut.

Aku tentu saja dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Bukan saja, karena aku yang memang butuh teman, tapi juga rasanya terlalu berat harus berpisah dari Damar.

*******

Malam pun datang. Sehabis mandi di kamar mandi yang memang tersedia di dalam pondok berukuran kurang lebih 4x4 itu, aku pun memesan makan malam, melalui salah seorang kurir pengantar makanan.

Beberapa saat setelah aku menghabiskan makan malamku, Damar pun muncul kembali di pondok itu.

Kali ini ia memakai sebuah baju kemeja lengan pendek, bercorak garis-garis putih. Dengan celana jeans panjang, yang membuat ia terlihat lebih maskulin.

Sementara aku hanya memakai baju kaos oblong dengan celana pendek, sejenis celana olahraga, yang biasa aku pakai jika aku hendak tertidur.

Aku memang tidak berniat kemana-mana malam itu. Aku hanya ingin beristirahat di pondok itu.

"jadi kita kemana malam ini?" tanya Damar, ketika ia sudah berada di dalam pondok.

Di dalam pondok, terdapat sebuah ranjang besar dan sebuah lemari pakaian.

"aku sedang tidak ingin kemana-mana, Mar. Kita ngobrol disini aja, ya.." balasku pada Damar.

"sayang loh, bang. Udah di pulau ini, tapi bang Abe justru hanya diam di pondok. Kita bisa keliling, bang. Ada banyak kegiatan di pulau ini, kalau malam hari, salah satunya ada api unggun.." Damar berucap lagi, sambil ia duduk di sampingku di sisi ranjang.

"aku capek, Mar. Aku hanya pengen istirahat.." ucapku, sambil sedikit melirik Damar.

"jadi aku ganggu nih, bang? kalau gitu aku pamit, ya.." ucap Damar, mencoba untuk bangkit.

Aku repleks menahan Damar.

"bukan itu maksudku, Mar. Aku justru pengen kamu nemani aku disini..." ucapku cepat, takut Damar benar-benar pergi.

Damar kembali manatapku dengan senyum manisnya.

"aku pengen kamu tidur disini, bisa?" tanyaku hati-hati.

"tenang aja, nanti aku kasih doble tip-nya.." lanjutku, takut Damar salah paham.

"oke, bang." jawab Damar mantap. "selama itu bisa membuat bang Abe senang.." lanjutnya.

"sebelumnya kamu pernah menemani pengunjung tidur gak..?" tanyaku, mencoba mencari tahu, seperti apa Damar sebenarnya.

"pernah, bang. Tapi biasanya cewek, kalau ia datang sendiri, dan merasa takut tidur sendirian.." jawab Damar, terlihat terbuka.

"cowok belum pernah ya?" tanyaku meyakinkan.

Damar hanya menggeleng.

"biasanya cuma menemani tidur aja?" tanyaku lagi, benar-benar ingin tahu.

Damar menyunggingkan senyum tipis. Ia menatapku penuh tanya, mungkin ia tak menyangka aku akan mempertanyakan hal tersebut.

"yaa... tergantung sih, bang. Tergantung yang ngajak. Ada yang cuma menemani tidur, tapi jujur, ada juga yang minta dilayani.." jawab Damar akhirnya, yang membuatku punya kesimpulan tersendiri tentang Damar.

Damar bisa dibayar. Itu kesimpulanku. Ada secercah harapan, pikirku.

"itu bayarnya lebih, ya?" tanyaku terus berusaha memancing.

"biasanya iya, bang. Apa lagi kalau cewek tajir, dan sedang bermasalah. Ia pasti bayar aku mahal.." Damar semakin terbuka. Seperti peluangku yang juga terbuka untuk bisa mendapatkannya malam itu.

Damar memang mengakui kalau ia belum pernah menemani seorang cowok tidur, tapi bukan berarti dia tidak mau.

Aku yang sudah terlanjur jatuh cinta pada Damar, akan sangat bersedia membayar berapa aja, asal Damar mau melakukannya denganku. Hanya saja, aku merasa bingung harus bagaimana mengatakannya pada Damar.

Biar bagaimana pun, aku tetap merasa takut, kalau Damar akan menolak.

"kalau aku yang bayar kamu, untuk tidur denganku, kamu mau gak?" tanyaku akhirnya dengan suara yang tertahan.

Damar menatapku tajam, dahinya berkerut.

"maksud bang Abe?' tanya Damar dengan suara pelan.

"maksud ... maksud saya... kamu mau gak saya bayar untuk melayani saya.." jawabku meski dengan sedikit terbata.

"bang Abe homo?" Damar bertanya kembali, ia meluruskan duduknya.

Aku tidak segera menjawab, aku tidak harus menjawab. Aku biarkan Damar menyimpulkannya sendiri.

Damar berdiri tiba-tiba.

"maaf, aku gak bisa, bang..." ucapnya pelan.

"aku bukannya gak mau, bang. Tapi itu sesuatu yang berat. Aku belum pernah melakukannya. Membayangkannya saja, aku sudah merasa mual. Maaf, bang. Tapi begitulah kenyataannya." lanjut Damar lagi, masih dalam keadaan berdiri.

Aku segera bangkit dari rebahanku. Aku tahu, ini sulit bagi Damar. Karena itu, aku harus berusaha lebih keras lagi, untuk membujuknya.

"aku akan bayar kamu dua kali lipat dari biasanya." ucapku, kali ini aku duduk di sisi ranjang.

Damar duduk kembali, ia terlihat sedang berpikir keras.

"bang Abe serius?" tanya Damar, sambil ia melirikku.

Aku mengangguk berat.

Nafsu sudah menguasaiku saat itu. Aku bahkan tidak peduli, jika uang dalam tabunganku harus terkuras, untuk bisa menikmati Damar.

"tapi aku geli loh, bang, dipegang-pegang sama cowok.." Damar berucap lagi, ia menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

"kamu pejam mata aja, Mar.." saranku.

Damar kembali terdiam. Aku masih terus berusaha meyakinnya. Meski Damar masih terlihat ragu-ragu.

Aku yakin, uang yang aku tawarkan, sangat banyak bagi Damar. Ia bahkan butuh waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu.

Dan hal itu yang akhirnya membuat Damar akhirnya menyerah.

"tapi aku ingin semua lampu dimatikan ya, bang.." pinta Damar dalam kepasrahannya.

"aku juga ingin melakukannya, sambil nonton video dewasa.." lanjutnya lagi.

Aku memenuhi semua permintaan Damar. Apa pun caranya, yang penting aku bisa menikmatinya malam itu.

Keadaan dalam ruangan itu menjadi gelap, setelah Damar mematikan semua lampu. Ia kemudian memutar sebuah video dewasa melalui ponselnya.

Aku pun mulai beraksi. Tanganku menyentuh bagian-bagian sensitif tubuh Damar.

Aku merasakan Damar mencoba sekuat mungkin menahan rasa gelinya.

Namun aku lebih berusaha lagi, untuk membangkitkan gairahnya.

Dengan bantuan video dewasa normal yang ia tonton, akhirnya aku berhasil membuat Damar mulai menikmati hal tersebut.

Perlahan namun pasti, Damar mulai menikmati setiap permainanku. Ia bahkan tidak lagi menonton video tersebut.

Dalam kegelapan itu, aku dan Damar akhirnya memulai sebuah pelayaran.

Sebuah pelayaran yang kurasakan sangat indah. Aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut, benar-benar terlena dan terbuai dengan sebuah sensasi yang berbeda.

Biar bagaimanapun, itu adalah pengalaman pertamaku melakukan hal tersebut dengan seorang cowok normal.

Dan terlebih, aku melakukannya dengan orang yang aku cintai.

Aku berhasil merasakan tubuh kekar Damar malam itu. Meski aku tahu, Damar melakukannya bukan dari hati. Tapi karena ia berusaha menumpahkan hasratnya yang sudah terlanjur bangkit, karena menonton video dewasa tersebut.

Dan juga tentu saja, karena ia mendapatkan upah dari hal tersebut.

Sebuah pelayaran yang sangat panjang. Damar benar-benar tangguh. Ia seakan berpacu dengan lautan penuh ombak, yang membuat ia semakin berkeringat.

Aku berusaha mengikuti setiap ayunan gelombang keindahan yang Damar berikan. Aku tidak ingin melewati hal itu, walau sedetik pun.

Aku ingin menikmati, setiap hentakan dayung kemesraan yang Damar lakukan.

Aku merasakan keindahan itu. Tubuhku terguncang, dalam setiap hempasan alunan yang penuh cinta itu.

Debaran di jantungku berdetak semakin tak beraturan. Berkali-kali aku memejamkan mata. Berharap semua itu bukanlah sebuah mimpi. Berharap semua itu, tidak akan pernah berakhir.

Aku ingin sepanjang malam itu merasakan keindahan tersebut.

Suara deburan ombak di tepi pantai itu, terdengar begitu riuh dari luar. Mereka seperti mengimbangi permainan yang sedang kami lakukan.

Sampai akhirnya tubuhku pun terhempas. Aku dan Damar sama-sama berlabuh di sebuah dermaga penuh warna.

Damar ikut menghempaskan tubuh kekarnya, setelah ia sempat mengejang sesaat.

Aku tahu, Damar sangat menikmati permainan kami tadi.

Dan aku merasa sangat puas. Tak sia-sia rasanya, segala perjuanganku untuk bisa mendapatkan Damar malam itu.

Karena sama-sama merasa kelelahan, kami pun akhirnya sama-sama tertidur.

Namun menjelang subuh, aku terbangun.

Aku pun mencoba memancing Damar lagi.

Damar tak berniat untuk menolak. Ia terlihat pasrah. Aku tak ingin menghabiskan sisa malam itu, dengan sia-sia.

Aku harus bisa benar-benar menikmatinya.

Hingga untuk yang kedua kalinya malam itu, kami pun kembali berlayar bersama.

Mengayuh biduk cinta dalam lautan kemesraan. Sampai kami pun kembali berlabuh di tepian kebahagiaan.

Aku kembali memejamkan mata. Tertidur dengan perasaan penuh kelegaan.

******

Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, aku pun pamit kepada Damar. Berat rasanya harus berpisah dari Damar. Setelah semua keindahan yang kami lalui bersama.

"kapan kesini lagi, bang?" tanya Damar melepaskan kepergianku.

Aku hanya menggeleng. Karena aku memang tidak tahu, kapan aku akan bisa kesini lagi. Butuh biaya besar untuk bisa kembali ke pulau nan indah ini.

Tapi, aku pasti kembali. Aku pasti akan menemui Damar lagi. Aku terlanjur jatuh cinta padanya.

Rasa rindu pasti akan menghantuiku sepanjang waktu. Dan aku takut, aku tak mampu menahannya.

Cinta pada pandangan pertama, memang terasa berbeda. Apa lagi kesan yang Damar berikan padaku, sangat indah.

Kutatap wajah Damar untuk yang terakhir kalinya. Aku tak tahu, entah kapan aku akan bisa menatapnya lagi.

Damar kembali memamerkan senyum manisnya dengan belahan dagunya yang terlihat indah.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kembali memutar memori kenangan indahku bersama Damar.

Meski hanya satu malam, semua itu terasa sangat berkesan dan begitu membekas dalam benakku.

Damar sebenarnya tidak menerima semua uang yang aku berikan padanya. Ia hanya mengambil sebagiannya.

"segini udah lebih dari cukup, bang.." ucap Damar, sambil mengembalikan sebagian uang lagi padaku.

Aku tersenyum sendiri, mengingat semua itu. Aku tahu, Damar pasti sangat terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya. Ia mungkin telah menemukan sesuatu yang berbeda, yang membuat ia tidak tega menerima semua uang yang aku berikan padanya.

****

Hari-hari kembali berlalu. Aku kembali bekerja seperti biasa. Hanya saja bedanya, aku seperti menemukan sebuah semangat baru dalam hidupku.

Kenangan indah satu malam bersama Damar, benar-benar membuatku terlena.

Hingga sebulan kemudian, aku memutuskan untuk datang lagi ke pulau andomeda.

Aku ingin bertemu Damar lagi. Aku ingin mengulangnya lagi bersama Damar.

Tapi ternyata, kenyataan tak seindah yang aku harapkan.

"Damar udah pindah, mas. Ia sudah gak kerja disini lagi.." jawab salah seorang pemandu, ketika aku bertanya tentang Damar padanya.

"kenapa?" tanyaku terdengar lemah. Jauh-jauh aku datang kesini untuk menemuinya, tapi aku justru harus menelan kepahitan.

"gak tahu juga, mas. Katanya ia mau pulang kampung." jawab laki-laki itu lagi.

Aku terhempas kecewa.

Sebulan aku coba menahan rindu pada Damar. Saat aku sudah punya kesempatan untuk menemuinya, namun yang aku dapatkan hanyalah sebuah kehampaan.

Aku kecawa. Benar-benar kecewa. Pulau yang tadinya terlihat begitu indah bagiku, sekarang terlihat begitu suram.

Aku yang tadinya berencana untuk menginap di pulau itu, akhirnya memutuskan untuk kembali pulang.

Hidupku yang tadinya sangat bergairah, tiba-tiba terasa hampa. Kosong.

Aku kehilangan semangat. Aku kehilangan pegangan. Aku benar-benar tidak punya harapan lagi untuk bisa bertemu dengan Damar.

Sekali lagi, aku harus menelan pahitnya sebuah perpisahan.

Meski kisahku dengan Damar hanya terjadi satu malam. Namun luka yang ditorehkannya terasa begitu dalam.

Aku tahu, Damar tidak mencintaiku, seperti aku yang sangat mencintainya.

Tapi mengapa Damar harus pergi?

Mengapa ia harus pergi disaat aku sangat ingin bertemu dengannya?

Oh, Damar!

Meski hanya satu malam bersamamu, namun seluruh jiwaku telah mampu engkau renggut.

Tapi aku tidak mungkin menyalahkan Damar.

Jika pun harus ada yang dipersalahkan, mungkin hatiku yang terlalu cepat jatuh cinta.

Kini hatiku kembali terasa hambar dan datar. Tiada siapa-siapa yang menghuninya.

Dalam kehampaan jiwaku itu, aku akhirnya memenuhi permintaan keluargaku.

Yah, aku akhirnya menerima perjodohanku dengan seorang gadis pilihan keluargaku.

Aku memang harus menikah. Aku memang harus menjalankan kodratku sebagai seorang laki-laki.

Tak peduli aku menginginkannya atau tidak.

Tak peduli aku menyukainya atau tidak.

Namun yang pasti, semua cerita yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku. Akan menjadi butiran-butiran kenangan, yang akan selalu kusimpan rapi di dasar hatiku.

Semua kisah itu akan menjadi rahasia dalam perjalanan hidupku.

******

Part 5

(Sebuah cinta dari masa lalu...)

Setelah menikah dan akhirnya memiliki keturunan. Ku pikir petualanganku di dunia gay telah berakhir.

Namun ternyata, sepenggal cerita di masa lalu, yang telah aku kubur dalam-dalam, tiba-tiba mencuat kembali ke permukaan.

Masa lalu itu kembali menjelma.

Ya, setelah bertahun-tahun berpisah dan tidak pernah bertemu lagi dengan Am.

Kini tiba-tiba ia muncul.

"bertahun-tahun aku coba mencari tahu keberadaan bang Abe.." ucap Am, saat ia akhirnya aku persilahkan masuk ke dalam rumah kami.

Am tiba-tiba muncul di ambang pintu rumahku sore itu, saat aku baru saja selesai mandi sepulang kerja.

Iya, Am. Masih ingatkan?

Cowok yang memiliki senyum paling manis, yang merupakan mandor-ku, ketika aku bekerja di pabrik dulu.

Am sudah menikah waktu itu, meski belum mempunyai anak.

Aku sempat menolongnya saat sebuah kecelakaan menimpanya. Aku bahkan sempat menyumbangkan darahku padanya waktu itu.

Aku jatuh cinta padanya. Walau akhirnya kami bisa menjadi begitu dekat, dan menjalin persahabatan. Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari kehidupan Am secara diam-diam.

Aku tak sanggup menahan perasaanku padanya waktu itu. Jika aku terus bersamanya, aku takut, aku tidak kuat lagi memendam rasa cintaku padanya.

Karena itu, aku memutuskan untuk pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Am.

Dan setelah sekian tahun berlalu, bahkan aku sudah hampir melupakannya, tiba-tiba ia muncul.

"aku takut terjadi apa-apa sama bang Abe waktu itu, karena bang Abe pergi tanpa ada penjelasan sama sekali.." Am melanjutkan kalimatnya.

Kami duduk di kursi ruang tamu rumahku. Aku sudah meminta istriku untuk menyediakan minuman dan beberapa makanan ringan untuk kami.

"maaf, Am.." aku berucap juga akhirnya.

"aku... aku ... waktu itu, perginya juga dadakan, jadi aku gak sempat pamit sama kamu.." lanjutku terbata, karena harus sedikit berbohong.

"tapi setidaknya abang kan bisa nelpon aku." balas Am cepat.

"ini malah nomor abang gak aktif lagi. Aku kan khawatir, bang. Takutnya terjadi apa-apa.." lanjutnya lagi.

Aku terdiam sesaat. Aku mengerti kekhawatiran Am padaku waktu itu. Biar bagaimana pun, kami memang sudah sangat dekat. Jadi rasanya wajar, kalau Am mengkhawatirkanku.

Tapi waktu itu, aku hanya pergi. Itu satu-satunya cara, agar aku bisa menghapus semua rasa cintaku pada Am. Karena aku sadar cintaku pada Am tidak akan pernah berbalas.

"jadi gimana kamu bisa sampai sini?" tanyaku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.

Setelah berpisah sekian tahun, ternyata mampu membuat keakraban kami selama ini, jadi ikut memudar.

Sudah sangat banyak peristiwa yang terjadi, selepas aku pergi dari Am.

Bahkan aku tidak ingat lagi, sudah berapa lama sebenarnya kami tak bertemu.

Mengingat jarak tempat tinggal Am dengan kampungku sangatlah jauh, aku yakin Am kesini pasti penuh perjuangan.

Meski ia kesini naik mobilnya, tapi ia menyetir sendirian.

Aku benar-benar tidak menyangka Am akan mencariku sampai kesini.

"beberapa tahun lalu, aku juga sampai kesini, bang." ucap Am, seperti mengabaikan pertanyaanku barusan.

"tapi kata orang-orang abang belum kembali kesini. Justru itu membuatku semakin merasa khawatir."

"Tapi aku yakin, abang pasti baik-baik saja, karena menurut cerita teman yang satu tempat kost dengan bang Abe waktu itu, ia melihat abang pergi dengan membawa koper, yang artinya abang memang sengaja pergi dari kota."

"Hanya saja aku tidak pernah tahu, kemana abang pergi selama ini."

"aku terus berusaha mencari tahu, kemana sebenarnya abang pergi, dan kenapa abang harus pergi?" Am terus melanjutkan penjelasannya.

Aku menatap Am berkali-kali. Perlahan rasa bersalah mulai menghantuiku.

Aku tak menyangka, Am akan sebegitu pedulinya padaku.

"sampai akhirnya aku mendapat kabar kalau abang sudah kembali ke kampung. Aku tahu, abang sudah di kampung lebih dari setahun. Dan sebenarnya sudah sejak lama aku ingin kesini."

"namun karena kesibukan kerja, aku hampir tidak punya waktu untuk datang kesini, karena kan jauh bang. Tapi setidaknya aku sudah tahu, kalau abang baik-baik saja," Am menghentikan kalimatnya, sambil menarik napas ringan.

"dan sekarang lah aku punya kesempatan untuk datang kesini.." lanjut Am lagi.

Aku kembali terdiam.

Entah penjelasan Am tersebut bisa aku mengerti atau tidak, aku mencoba mengangguk. Berpura-pura memahaminya.

"apa yang membuat kamu merasa, kalau aku bisa saja tidak baik-baik saja?" tanyaku tiba-tiba. Entah dari mana dorongan pertanyaan itu muncul.

"karena aku tahu siapa abang. Aku tahu, bagaimana perasaan abang padaku.." jawab Am lugas.

"maksud kamu?' tanyaku benar-benar penasaran.

"kita tidak bisa ngomong soal itu disini, bang.." balas Am, "bagaimana kalau abang ikut saya ke kota?" lanjutnya menawarkan.

"sekarang?' tanyaku, dengan sedikit mengerutkan dahi.

"iya.." jawab Am tegas.

"tapi aku besok kerja, Am.." timpalku kemudian.

"aku kenal dengan atasan tempat abang kerja, ia temanku. Aku bisa minta ia memberi izin untuk abang selama beberapa hari. Abang tenang aja.." balas Am, penuh percaya diri.

*******

Setelah berpamitan dengan istri dan anakku, aku akhirnya pergi bersama Am ke kota.

Aku tidak tahu, apa maksud Am membawaku ke kota bersamanya.

Namun karena penasaran, aku pun ikut bersamanya.

Sepanjang perjalanan, Am bercerita banyak padaku. Ia bercerita kejadian-kejadian yang ia alami, semenjak aku pergi dari kehidupannya.

"karena tak kunjung punya keturunan, aku akhirnya bercerai dengan istriku, sekitar tiga tahun yang lalu.." cerita Am padaku.

"sekarang aku hidup sendirian. Pernah terpikir untuk menikah lagi, tapi aku takut. Aku takut, justru sebenarnya aku ini mandul.." lanjut Am sangat terbuka.

Sepanjanga perjalanan itu, aku lebih banyak diam. Aku lebih fokus mendengarkan cerita Am perihal kepedihan hidupnya.

Meski secara ekonomi, kehidupan Am sudah sangat mapan. Namun sebenarnya ia tidak bahagia.

Perjalanan yang kami tempuh hampir enam itu, akhirnya sampai ke tujuan.

Pikiranku kembali memutar memori kenangan ku di kota tersebut. Hampir dua tahun aku tinggal di kota itu, banyak hal telah terjadi, terutama kenanganku dengan Am.

Meski hubungan kami hanya sebatas persahabatan, tapi aku merasa sangat bahagia waktu itu.

Menjadi dekat dan akrab dengan Am, adalah sebuah anugerah bagiku. Meski akhirnya aku lebih memilih untuk pergi dari semua keindahan itu.

Kini Am kembali. Ia dengan susah payah berusaha untuk bisa bertemu lagi denganku.

Aku tahu, Am masih merasa berhutang budi padaku. Mungkin karena itu juga, ia sangat ingin bertemu denganku kembali.

Am mengajakku masuk ke rumahnya yang besar dan mewah. Setelah bertahun-tahun ternyata tidak banyak perubahan di rumah itu, meski sekarang tidak ada lagi sentuhan wanita disana.

Am punya dua orang pembantu di rumah itu, sepasang suami istri, yang Am tugaskan juga sebagai penjaga rumahnya, saat Am tidak sedang di rumah.

Kedua orang itu, sudah seperti keluarga bagi Am. Mereka memang sudah bertahuh-tahun bekerja disana.

"mama papa udah meninggal beberapa tahun lalu, bang.." ucap Am, ketika ia akhirnya mengajakku masuk ke kamarnya.

Sebenarnya aku merasa canggung berada di dalam kamar itu. Namun karena Am yang terlihat santai dan begitu akrab, aku mencoba bersikap biasa saja.

Sejujurnya, aku merasa bahagia bisa bertemu Am kembali setelah sekian tahun aku tak lagi melihat senyum manis itu.

Getar-getar indah itu masih aku rasakan, saat melihat Am tersenyum.

Sejak menikah dan memiliki anak, aku sudah jarang bahkan hampir tak pernah lagi memikirkan seorang cowok. Meski aku juga sebenarnya belum benar-benar jatuh cinta pada istriku.

Tapi aku selalu mencoba menjadi suami dan ayah yang baik. Kehidupan rumah tanggaku juga sebenarnya baik-baik saja.

Istriku mampu membuatku terasa menjadi seorang laki-laki seutuhnya. Aku juga sudah bertekad, untuk melupakan semua tentang masa laluku. Aku berusaha menjalani kehidupanku, sebagai mana layaknya seorang laki-laki.

Namun kehadiran Am kembali, mampu membuatku mengais-ngais sebagian dari kisah masa laluku.

Aku berusaha sekuat mungkin untuk menepis semua pesona Am. Aku tak ingin terlena oleh sisa-sisa perasaanku pada Am. Aku harus bisa menganggap Am hanyalah seorang sahabat dari masa laluku.

Malam itu, setelah mandi dan makan malam, Am kembali mengajakku mengobrol di kamarnya.

"bang Abe tidur disini aja, ya.." ucap Am menawarkan.

Aku pun menyetujuinya.

"sebenarnya aku masih penasaran, dengan ucapan kamu ketika di rumahku kemarin, Am..." aku berucap, ketika kami sudah sama-sama berbaring diatas ranjang mewah milik Am.

"ucapan yang mana?" tanya Am, entah ia berpura-pura tidak ingat atau karena ia memang tidak ingin membahas hal tersebut.

"kamu bilang kalau kamu tahu tentang perasaanku padamu..." ucapku mencoba mengingatkan Am.

Am memutar kepalanya untuk menatapku. Kulihat ia tersenyum.

"apa yang bang Abe lakukan padaku di masa lalu, sudah cukup membuktikan, bang. Kalau bang Abe sebenarnya mencintaiku, kan?" ucap Am kemudian.

Aku terkesiap. Aku benar-benar tidak menyangka Am akan berucap demikian.

Entah bagaimana caranya, Am bisa menyimpulkan seperti itu.

Am tidak salah, ia benar tentang hal itu. Karena aku memang jatuh cinta pada Am, waktu itu.

"kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" tanyaku akhirnya setelah untuk sesaat aku hanya terdiam.

"kita tidak saling kenal waktu itu, bang. Dan abang rela melakukan apa saja, untuk bisa menyelamatkan nyawaku. Hanya kekuatan cinta yang bisa melakukan hal itu, bang."

"dan aku juga tidak terlalu bodoh, untuk percaya, jika waktu itu abang bilang, itu semua hanyalah sebuah bentuk kemanusiaan."

"gak ada orang yang bisa melakukan itu, bang. Kecuali untuk orang yang ia cintai.." Am melontarkan kalimatnya dengan lancar, yang membuatku kembali terdiam.

"aku sudah tahu abang mencintaiku, karena itu aku berusaha menjadi sahabat yang baik buat bang Abe." Am melanjutkan.

"sebenarnya aku juga tertarik pada bang Abe waktu itu. Tapi karena status-ku yang sudah menikah, membuatku untuk memilih tetap memendam perasaanku.."

"aku ingin kita tetap dekat, bang. Sampai aku punya keberanian untuk jujur pada bang Abe. Namun tiba-tiba bang Abe menghilang." Am kembali melanjutkan kalimatnya.

Kali ini, Am memiringkan tubuhnya sambil terus menatapku.

"terus terang aku kecewa, karena harus kehilangan bang Abe waktu itu. Aku jadi sering murung dan marah-marah gak jelas." Am berucap lagi.

"dan karena perubahan itu juga akhirnya, istriku memilih untuk pergi." lanjut Am.

"aku terpuruk cukup lama. Aku merasa hidupku sia-sia, karena orang yang aku cintai telah pergi meninggalkanku tanpa penjelasan."

"sampai akhirnya kematian mama dan papa menyadarkanku, bahwa hidupku masih harus tetap berlanjut. Aku mulai menata hatiku kembali. Mencoba memulai hidupku yang baru."

"tapi bayangan bang Abe selalu menghantuiku setiap saat, yang membuatku terus berusaha untuk mencari tahu keberadaan bang Abe. "

"saat aku tahu, kalau bang Abe sudah kembali ke kampung, aku merasa senang mendengar kabar itu. Tapi kemudian aku mendapat kabar, kalau bang Abe akan menikah, yang membuatku kembali patah."

"aku yang semula berniat untuk menemui bang Abe, kembali mengurungkan niatku, karena aku pasti tidak sanggup melihat bang Abe menikah."

Am menarik napas cukup dalam.

"aku sudah mencoba untuk melupakan bang Abe, tapi hatiku justru semakin sakit karenanya." Am masih terus melanjutkan kalimatnya.

Aku berkali-kali menatap wajah Am. Aku mencoba untuk tidak percaya, tapi Am terlihat jujur.

"sampai akhirnya aku nekat, bang. Untuk menemui abang dan mengajak abang kesini.." kali ini Am mengakhiri kalimatnya dengan sebuah hembusan napas berat.

Aku duduk tiba-tiba.

Entah apa yang aku rasakan saat itu. Pikirianku tiba-tiba kacau tak menentu.

Bukan ini yang aku harapkan.

Aku memang pernah jatuh cinta pada Am. Tapi itu dulu, jauh sebelum aku bertemu Zai dan Damar. Jauh sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan istriku saat ini.

Kalau sekarang Am mengakui semua itu, rasanya sudah sangat terlambat.

Aku tak bisa lagi sekarang.

Aku seorang suami dan juga seorang ayah. Aku tak mungkin meninggalkan keluargaku.

"jadi sekarang kamu mau nya gimana?" tanyaku kemudian.

"aku yakin bang Abe masih mencintaiku. Cinta bang Abe terlalu tulus. Apa yang telah bang Abe perbuat padaku di masa lalu, sudah membuktikan semua itu. Tidak ada cinta setulus itu, bang."

"orang yang rela mengorbankan apa saja untuk orang yang ia cintai, adalah cinta yang sangat pantas untuk diperjuangkan, bang." Am menjawab dengan penuh perasaan.

Mungkin Am benar. Aku terlalu mencintainya.

Tapi semua itu bagiku telah berlalu. Rasa itu tak lagi seindah dulu. Sudah banyak yang mengisi hatiku setelah Am.

"kenapa baru sekarang, Am?" tanyaku pelan.

"karena bang Abe pergi terlalu cepat, bang. Dan aku tak bisa mencegahnya." balas Am.

"kini semua terserah abang. Aku tahu, ini berat bagi bang Abe, karena abang sudah berkeluarga. Tapi aku tidak akan menuntut apapun dari abang. Aku hanya ingin bang Abe tahu, tentang perasaanku selama ini."

"aku hanya ingin abang tahu, kalau bukan hanya abang yang memendam rasa, tapi aku juga.." lanjut Am lagi.

Aku menarik napas panjang dan kemudian menghempaskannya perlahan.

Bingung. Itu yang aku rasakan saat itu.

Haruskah aku menjalin hubungan dengan Am?

Yang artinya, aku akan kembali terjerumus dalam dunia gay, yang telah berusaha aku hindari.

Atau ku bunuh saja rasa ini, dan biarkan semuanya tidak pernah sampai.

Yang berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk memiliki pria yang pernah sangat aku cintai.

Aku masih mengagumi sosok Am. Aku masih menginginkannya.

Jika di masa lalu, aku tak sempat memilikinya sebagai kekasih. Namun sekarang aku punya kesempatan untuk itu.

Aku punya kesempatan untuk memiliki pria yang mempunyai senyum yang sangat manis itu.

Am perlahan mendekatiku.

"aku sangat merindukan bang Abe.." bisiknya pelan.

Tangannya merangkul tubuhku. Dan aku hanya pasrah.

Berada dalam dekapan hangat seorang Am, sungguh membuatku terlena.

Rasanya begitu indah. Sangat indah.

Aku bahkan hampir meneteskan air mata, menikmati keindahan itu.

Rasanya sungguh bahagia, bisa mendekap orang yang kita cintai.

"aku sangat menyayangi bang Abe..." Am terus berbisik tanpa berniat melepaskan dekapannya.

"izinkan aku bersamamu, bang. Kan ku buktikan, bahwa aku pasti bisa membuat bang Abe bahagia." lanjut Am lagi.

"kamu tidak perlu membuktikan apa-apa, Am. Aku juga sangat menginginkanmu.." balasku ikut berbisik.

"tapi kamu sendiri tahu, sekarang aku sudah punya istri dan anak, Am. Apa kamu mau, menjalin hubungan dengan orang yang sudah menikah?" lanjutku kemudian.

"aku gak peduli status abang saat ini. Selama abang masih punya waktu untukku, aku akan menjalaninya, bang." balas Am lembut.

"jarak diantara kita terlalu jauh, Am. Pasti kita akan sangat jarang bertemu." aku berucap lagi, berusaha menyadarkan Am, akan keadaan kami saat ini.

"itu tidaklah akan menjadi masalah, bang. Kita bisa bertemu seminggu sekali. Aku akan datang ke tempat abang setiap libur kerja.." ucap Am mencoba meyakinkanku.

"entahlah Am, aku bingung. Aku takut kamu kecewa karena-ku." aku berucap lagi.

"kita jalani aja dulu, bang. Dan biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.." Am berucap, sambil ia mulai melepaskan dekapannya perlahan.

Am memegang dagu seketika. Tubuhku tiba-tiba bergetar.

Sudah sangat lama, aku tidak disentuh oleh seorang laki-laki.

Tapi Am seperti tak mempedulikan reaksi-ku. Ia terus saja mendekatkan wajahnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, setelah aku menikah, aku kembali merasakan kehangatan dari seorang laki-laki.

Am, yang dulunya hanya ada dalam khayalanku, kini menjelma menjadi sebuah kenyataan.

Aku terlarut dalam kenanagan perasaanku pada Am.

Aku terbuai dalam kerinduan Am yang memuncak.

Perlahan, kami pun akhirnya memulai sebuah pendakian.

Aku tidak tahu, entah bagian mana yang paling indah yang aku rasakan malam itu.

Entah karena aku akhirnya tahu, kalau selama ini, Am juga mencintaiku.

Atau entah karena aku akhirnya bisa merasakan kehangatan tubuh kekar Am.

Aku mencoba menikmati pria dari masa laluku itu. Memanjakannya dengan penuh perasaan.

Raga kami menyatu dalam lautan penuh keindahan.

Malam itu benar-benar luar biasa bagiku.

Kami seakan enggan untuk saling mengakhiri.

Tapi sejauh apa pun sebuah pelayaran, pada akhirnya harus tetap berlabuh.

Kami berlabuh di tepian dermaga dengan sebuah rasa yang tak terkira.

Malam itu, kami pun tertidur dengan pulas.

*****

Sejak malam itu, aku dan Am pun sepakat untuk menjalin sebuah hubungan asmara.

Jarak tidak menjadi penghalang diantara kami. Am selalu punya kesempatan untuk mendatangiku.

Aku bahagia dengan semua itu.

Meski dalam keseharianku, aku harus tetap memerankan peranku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.

Namun bersama Am, aku bak musafir cinta yang haus sentuhan kasih sayang.

Bersama Am akhirnya menyadarkanku, bahwa setiap pengorbanan pada akhirnya akan membuahkan sebuah hasil.

Bahwa sejauh apapun kamu berlari, pada akhirnya cinta itu akan menemukanmu.

Aku yang sudah tidak punya harapan apa-apa lagi terhadap Am, kini akhirnya bisa merasakan kebahagiaan yang utuh.

Kisahku bersama Am, akan terus terjalin. Karena aku sudah lelah berpetualang.

Am adalah pelabuhan terakhirku.

***

Cinta sang psikopat ...

Aku seorang suami, dan juga seorang ayah.

Aku menikah 13 tahun yang lalu, saat aku masih berusia 25 tahun.

Aku bekerja di sebuah perusahaan perangkat lunak yang cukup terkenal, sudah hampir 14 tahun.

Istriku sendiri seorang wanita biasa, ia hanya seorang ibu rumah tangga.

Anakku satu-satunya, namanya Adam, sekarang sudah berusia 12 tahun, dan baru saja masuk SMP.

Secara ekonomi kehidupan rumah tanggaku baik-baik saja. Hubunganku dengan istriku, Hanna, juga tidak pernah ada masalah yang berarti.

Secara keseluruhan, kehidupan rumah tangga kami, boleh dibilang cukup bahagia.

Kumpulan cerpan sang penuai mimpi

 

Sampai akhirnya, aku  mengetahui, kalau istriku ternyata diam-diam menjalin hubungan gelap dengan mantan kekasihnya, yang juga sudah menikah.

Hal itu aku ketahui, sejak istriku mulai sering keluar rumah, tanpa alasan yang jelas. Aku mulai mencurigainya, sampai akhirnya aku benar-benar memergoki mereka berdua.

Aku tidak ingin ada keributan, untuk itu, aku menceraikan istriku secara baik-baik.

Anakku, memilih untuk ikut tetap tinggal bersamaku, di rumah kami. Sementara istriku, dengan terpaksa pindah ke rumah orangtuanya.

Aku tidak tahu pasti, seperti apa hubungan istriku dan selingkuhannya selanjutnya, karena aku memang sudah tidak peduli lagi.

Hari-hari selanjutnya, tentu saja, semuanya berbeda. Terus terang aku merasa kehilangan, sosok seorang istri dan juga seorang ibu di rumah kami.

Tapi aku berusaha menjalani itu semua, setidaknya demi anakku.

Hari-hari berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Sampai suatu saat, aku bertemu dan berkenalan, dengan seorang pemuda tetangga baruku.

"aku Sandi, bang. Aku tinggal di sebelah rumah, bersama paman Yanto..." begitu jelas pemuda tersebut, ketika suatu sore kami tak sengaja bertemu di warung dekat rumah kami.

Yang aku tahu, pak Yanto, paman yang dimaksud Sandi barusan, adalah seorang duda tua, yang ditinggal mati oleh istrinya, beberapa tahun lalu.

Pak Yanto memang tinggal sendirian di rumah itu, karena anak-anaknya sudah berkeluarga semua.

"bukan paman kandung sih, bang. Cuma kami memang punya hubungan keluarga. Dan kebetulan tahun ini, aku baru mulai kuliah di kota ini. Jadi, paman Yanto meminta aku untuk tinggal bersamanya.." Sandi terus menjelaskan, sambil kami berjalan pulang.

Secara fisik, Sandi memiliki tubuh yang jangkung dan terlihat kekar. Aku hampir tak percaya, kalau ia baru berusia 19 tahun.

"kelihatan tua ya, bang.." ucap Sandi, suatu sore, saat aku mempertanyakan hal tersebut.

"gak, kok. Hanya saja, kamu kelihatan lebih dewasa.." balasku kemudian.

Sandi tersenyum. Beberapa hari belakangan ini, Sandi memang jadi rajin datang ke rumahku, setidaknya kami duduk di teras rumahku.

Sandi juga sudah kelihatan dekat dengan anakku, Adam.

Sandi terlihat pintar dan berwawasan luas, untuk itu aku memintanya memberi les tambahan untuk Adam.

"wah... aku ... takutnya gak bisa nih, bang.." ucap Sandi, mencoba menolak tawaranku.

"kamu pasti bisa kok, San. Nanti aku akan beri kamu upah." aku berujar dengan nada penuh harap.

Jadilah Sandi sejak saat itu, mengajar les tambahan untuk Adam. Hampir setiap malam, Sandi datang ke rumah, untuk melaksanakan tugas barunya tersebut.

Suatu saat, pak Yanto, paman Sandi tersebut, ikut bersama salah seorang anaknya, ke kota lain. Hingga Sandi harus tinggal sendirian di rumah tersebut.

"berapa lama, pak Yanto akan pergi?" tanyaku, saat Sandi datang lagi ke rumah.

"satu atau dua minggu, bang. Gak pasti juga, karena ia harus menunggu anaknya lahiran.." jawab Sandi santai.

"jadi besok, Adam ke tempat ibunya?" tanya Sandi melanjutkan.

"iya. Kasihan ibunya, sudah beberapa bulan tidak bertemu Adam.." balasku ringan.

"mumpung sekolahnya libur beberapa hari.." lanjutku lagi.

Malam itu, aku sendirian di rumah. Aku mencoba tidur lebih awal dari biasanya.

Saat tiba-tiba ponselku berdering.

"Sandi? Ada apa?" tanyaku di telpon.

"maaf bang, ganggu malam-malam. Ini kebetulan komputer saya mati gak jelas nih, bang. Kira-kira bang Ronal, bisa gak memperbaikinya?" jawab Sandi di seberang.

"matinya kenapa?" tanyaku lagi.

"gak tahu nih, bang. Tiba-tiba mati aja.." jelas Sandi.

"oke, abang ke situ ya..." ucapku akhirnya.

Beberapa menit kemudian, aku pun sampai ke rumah Sandi. Karena memang jarak rumah kami hanya beberapa langkah.

Aku mencoba memperbaiki komputer tersebut. Sementara itu, Sandi menghidangkan beberapa makanan ringan dan juga minuman dingin.

Saat komputer itu, akhirnya bisa aku perbaiki. Kami pun mengobrol di ruang tamu rumah Sandi.

"jadi bang Ronal, sudah berapa lama pisah dari istrinya?" tanya Sandi, di sela-sela obrolan kami.

"ya... sudah hampir enam bulanan..." jawabku terdengar lemah. Tiba-tiba aku teringat anakku, yang sedang bersama istriku.

"bang Ronal gak kesepian?" tanya Sandi selanjutnya.

"kesepian pasti lah, kan aku juga laki-laki normal, pasti butuh hal-hal tersebut. Apa lagi aku sudah terbiasa tidur di dampingi seorang istri.." jawabku terbuka.

Kulihat Sandi tersenyum, ia menatapku lama. Kemudian tiba-tiba ia berpindah duduk di sampingku.

Aku membiarkannya, meski Sandi duduk hampir berdempetan denganku.

Sandi saat itu, hanya memakai baju singlet berwarna hitam, yang membuat tubuh kekarnya semakin terlihat jelas. Ia juga hanya memakai celana pendek kaos.

Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa gugup, saat Sandi berada di sampingku.

Sandi sepertinya mampu menguasai keadaan, ia mulai berbicara tentang sesuatu yang lebih sensitif dan mengarah pada konteks dewasa.

Aku mengikuti obrolannya. Dan tanpa sadar, aku mulai membayangkan hal-hal yang diucapkan Sandi, dengan bahasanya yang vulgar.

Aku yang memang sudah sangat lama merasa kesepian, tiba-tiba merasa bergairah.

Sandi begitu pandai membuatku terlena dengan cerita-ceritanya.

Ia seperti sudah sangat berpengalaman dalam melakukan hal tersebut.

Tapi kemudian, karena merasa mulai tidak nyaman, aku memutuskan untuk pamit pulang.

"kenapa buru-buru, bang?" tanya Sandi.

"udah larut, San.." jawabku, sambil mulai berdiri.

"tidur sini aja ya, bang.." ucap Sandi meminta.

Aku menatap Sandi sekilas. Ada perasaan tak karuan menghantuiku tiba-tiba, melihat perlakuan Sandi padaku malam itu.

"kamu gay?" tanyaku akhirnya, sekedar meyakinkan diriku sendiri.

Sandi tersenyum kembali.

"iya, bang. Dan sepertinya, aku suka sama bang Ronal..." balas Sandi jujur.

Aku terkesiap. Meski aku sudah bisa menduga hal tersebut, namun tetap saja, aku merasa kaget mendengar pengakuan jujur Sandi barusan.

Sandi kemudian ikut berdiri dihadapanku. Kami berdiri sangat berdekatan.

Sandi mencoba mendekatkan wajahnya. Aku mendorong tubuh Sandi, kemudian dengan terburu berjalan menuju pintu keluar rumah tersebut.

Sesampai di rumah, napasku terasa sesak. Selain karena kelelahan, juga karena ada sesuatu yang aku tahan.

Jujur, kesepianku selama ini memang sering membuatku gelisah. Hasratku yang tidak tersalurkan, membuatku sering berpikir aneh-aneh.

Dan saat bersama Sandi tadi, entah mengapa, aku merasa tubuhku bergetar.

Perlahan, bayangan tubuh kekar Sandi, merasuki pikiranku.

Aku menepisnya segera, tapi bayangan itu justru semakin jelas terlihat. Sepertinya Sandi mampu menghipnotisku dengan pesonanya.

Akhirnya aku pun tertidur, dengan perasaanku yang masih campur aduk.

*****

"aku minta maaf, bang. Soal kejadian semalam.." suara Sandi lemah, saat ia akhirnya datang ke rumah pagi itu.

"gak ada yang perlu di maafkan, San. Karena memang tidak terjadi apa-apa..." balasku datar.

"tapi aku sudah membuat bang Ronal merasa ketakutan.." ucap Sandi lagi.

Aku terdiam. Aku bukannya takut, hanya saja rasanya aku belum siap masuk ke dunia seperti itu saat ini. Ada begitu banyak hal yang harus aku pertimbangkan, terutama anakku.

Sebagai laki-laki yang kesepian, aku memang butuh belaian. Tapi selama ini, hanya Sandi yang mau mendekatiku.

Dan kehadiran Sandi, mampu memberi warna tersendiri dalam hidupku.

Perlahan hatiku pun mulai terbuka, setidaknya aku mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

Malam berikutnya, aku pun mencoba mendatangi Sandi.

"aku mau mencobanya." ucapku pelan, yang membuat Sandi tersenyum senang.

Sandi mulai melakukan aksinya. Aku merasa geli awalnya, tapi Sandi memang sudah berpengalaman dalam hal tersebut.

Dia mampu membuaiku dengan geloranya yang membara. Segala hasratku yang terpendam selama ini, terasa menemukan tempat untuk disalurkan.

Hatiku yang mulai membeku, kini perlahan mulai mencair kembali.

Kubiarkan semua itu terjadi. Berawal dari rasa penasaranku.

Aku bak seorang pendekar, yang menunggangi kuda menuju medan perang.

Aku ingin memenangi pertarungan itu. Ternyata dibalik penampilan Sandi yang terkesan atletis, tersimpan sisi kelembutannya, yang membuatku terlena.

Ada sensasi berbeda yang aku rasakan. Sesuatu yang tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Rasanya terlalu indah. Aku terbuai dalam lautan penuh ketenangan.

Di sisi lain, kulihat Sandi tersenyum penuh kemenangan.

Hingga akhirnya, aku benar-benar merasa lega. Sangat lega. Aku seperti menemukan setetes air dalam kegersangan hatiku.

Dan aku terhempas. Tubuhku terasa lemas, setelah menyelesaikan pertarungan tersebut. Aku pun tertidur pulas, dengan perasaan penuh kelegaan.

*****

Aku terbangun di pagi itu,, dengan sebuah perasaan bersalah.

Aku buru-buru memakai pakaianku kembali, dan berniat untuk segera pulang.

Saat tiba-tiba Sandi datang.

"bang Ronal mau kemana?" tanya Sandi ringan.

"aku mau pulang, San. Maaf soal semalam ya. Seharusnya hal itu tidak terjadi.." ucapku, sambil menatap Sandi sendu.

"abang gak perlu minta maaf. Aku sangat menikmatinya, bang. Itu sesuatu yang luar biasa. Itu adalah cinta, bang..." Sandi berujar, sambil ia mulai melangkah mendekat.

Aku mundur beberapa langkah.

"tidak, San. Itu bukan cinta. Itu adalah sebuah kesalahan. Seharusnya aku lebih bisa menahan diri. Aku lebih dewasa disini, dan seharusnya aku tidak melakukannya padamu..." ucapanku mulai terbata.

"itu cinta, bang. Aku melihatnya di mata abang.." balas Sandi, ia menghentikan langkahnya, melihat aku yang melangkah mundur.

"tidak, San. Itu kesalahan. Dan itu tidak boleh terjadi lagi.." aku berucap lagi.

"jadi maksud bang Ronal, yang terjadi tadi malam adalah sebuah kesalahan? Bang Ronal tidak mencintaiku?" suara Sandi tiba-tiba meninggi.

"aku tidak mungkin mencintai kamu, San. Aku laki-laki beristri dan juga seorang ayah.." balasku sedikit tajam.

"istri yang berselingkuh?" Sandi membalas lebih tajam.

"kurasa itu bukan urusan kamu. Dan aku ingin, kita melupakan kejadian semalam.." aku berucap, sambil mulai melangkah menuju pintu untuk segera keluar dari kamar itu.

Sandi coba menahanku, namun aku dengan sedikit kasar menepis tangannya.

"aku sangat mencintai kamu, bang Ronal..." Sandi berucap dengan nada lirih, "dan aku tidak akan pernah melepaskan bang Ronal!" Sandi melanjutkan dengan sedikit berteriak, karena saat itu aku sudah berada di luar.

******

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Kejadian malam tadi bersama Sandi, kembali melintas di pikiranku. Aku tak menyangka, kalau aku akan bisa melakukan hal tersebut.

Bagaimana mungkin aku bisa menikmati hal tersebut? tanyaku membathin.

Tapi semua sudah terjadi. Aku hanya berharap, semoga saja Sandi tidak lagi berusaha menggodaku.

Siang itu, anakku kembali ke rumah, ia bersama Ibunya.

"apa kabar, mas?" tanya Hanna, berbasa-basi.

"baik.." jawabku sedikit cuek. Biar bagaimana pun, rasa sakit yang ditorehkan Hanna di hatiku, masih belum benar-benar kering.

Hanna mencoba tersenyum.

"aku kangen rumah ini.." ucap Hanna lagi, saat anakku sudah masuk ke dalam kamarnya.

Aku menoleh sesaat, menatap Hanna yang hanya berdiri di ruang tamu tersebut. Hanna memang perempuan yang cantik dan lembut, dan karena itu aku jatuh cinta padanya dulu.

Kalau boleh jujur, sampai saat ini, aku masih mencintainya. Hanya saja perbuatannya padaku, benar-benar membuatku kecewa dan sakit.

"andai saja aku masih punya kesempatan untuk kembali lagi kesini?" Hanna berucap, seolah-olah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Aku tahu, Hanna sudah menyesali perbuatannya. Ia sudah teramat sering meminta maaf padaku. Tapi tidak mudah bagiku, untuk memberinya kesempatan kedua. Aku takut.

Tak lama berselang, Hanna pun pamit. Aku melepas kepergiannya dengan perasaan yang tak karuan.

Aku melihat Sandi menatap kami di balik jendela rumahnya. Tatapannya tajam. Aku semakin merasa tak karuan.

Hari-hari selanjutnya, Hanna jadi semakin sering datang ke rumah. Terutama saat aku libur kerja. Ia sering membawakan makanan untuk aku dan Adam.

Aku berusaha sebiasa mungkin, menyambut kedatangan Hanna. Aku tidak melarangnya, untuk datang. Biar bagaimana pun, Adam adalah darah dagingnya. Dan sepertinya Adam sudah bisa  memaafkan ibunya.

Dan seiring berjalannya sang waktu jua, akhirnya menyadarkanku, kalau aku sebenarnya sangat membutuhkan kehadiran Hanna di rumah kami.

Tapi tak mudah bagiku, untuk melupakan apa yang telah dilakukan Hanna.

Sebenarnya aku dan Hanna bisa kembali kapan saja. Karena, secara hukum aku belum benar-benar menceraikan Hanna. Aku baru menjatuhkan satu talak padanya.

Tapi ...

"jadi sekarang, bang Ronal, sibuk sama istri bang Ronal yang tukang selingkuh itu?" suara Sandi mengagetkanku, ketika sore itu aku duduk di teras rumah.

Aku tidak menyadari kehadiran Sandi, karena untuk beberapa saat pikiranku melayang.

Aku menatap Sandi yang terus melangkah mendekat dan akhirnya duduk di sampingku.

"aku sekarang sudah tidak ada artinya bagi bang Ronal?!" Sandi berucap lagi, ia menatap lurus ke depan, tatapannya terlihat sendu.

Kadang aku merasa prihatin melihat Sandi. Ia mungkin memang sangat mencintaiku. Tapi aku tidak ingin terjebak dalam cinta sesama jenis.

Meski jujur, kadang ada rasa ingin mengulang kembali kejadian malam itu bersama Sandi.

"aku kan udah ngomong, San. Diantara kita tidak ada apa-apa. Kita harus bisa melupakan kejadian tersebut.." ucapku akhirnya.

"mudah bagi bang Ronal, berucap demikian. Tapi aku tidak semudah itu untuk bisa melupakan bang Ronal. Aku masih berharap, bang Ronal mau memberikanku kesempatan.." Sandi membalas ucapanku dengan nada terdengar sedikit lirih.

"kamu tahu itu salah, San. Dan kita tidak mungkin melanjutkan sesuatu yang sudah jelas salah dari awal." aku berusaha berucap selembut mungkin. Aku tidak ingin Sandi tersinggung.

Tiba-tiba Sandi berdiri, kemudian berucap.

"ini belum berakhir, bang. Aku akan tetap berjuang." suara itu terdengar tegas ditelingaku.

Setelah berucap demikian, Sandi pun melangkah pergi meninggalkanku, dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya.

*****

Dua hari kemudian, aku menerima sebuah video di pesan whatsapp-ku. Itu dari Sandi.

Aku mencoba membuka video tersebut. Ternyata itu sebuah video rekaman kemesraanku bersama Sandi malam itu.

Aku terkaget melihatnya. Aku tak pernah menyangka, kalau Sandi akan merekam semua itu.

Selanjutnya, sebuah pesan baru muncul. Masih dari Sandi.

"aku akan sebarkan video ini, jika bang Ronal masih tidak mau memberiku kesempatan..."

Sekali lagi aku merasa kaget. Itu seperti Sandi yang aku kenal.

"kamu jangan macam-macam ya, San." aku membalas pesan itu.

"aku tidak akan macam-macam, bang. Kalau bang Ronal mau menuruti permintaanku." Sandi membalas.

"sekarang mau kamu apa?" balasku lagi.

"aku ingin kita mengulanginya lagi. Dan aku ingin kita menjalin hubungan yang lebih serius." balas Sandi.

Aku tak menanggapi lagi pesan itu. Aku mulai merasa semakin bingung.

Bagaimana jika Sandi memang benar-benar nekat menyebarkan video tersebut? tanya hatiku.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

*****

Sekarang yang harus aku pikirkan adalah, bagaimana caranya agar Sandi tidak menyebarkan video tersebut.

Atau setidaknya, aku harus bisa mengambil file video tersebut dari Sandi dan menghapusnya.

Tapi Sandi pasti sudah menyimpannya dengan baik.

Oh, mengapa Sandi justru jadi ancaman bagiku sekarang?

Aku tidak ingin hidupku hancur. Aku sudah mulai mencoba untuk memberi kesempatan kedua untuk Hanna. Aku ingin memulainya lagi.

Tapi sekarang itu jadi tidak mudah, karena Sandi.

Aku mencoba mendatangi rumah Sandi. Aku ingin membicarakannya dengan cara baik-baik bersama Sandi.

"pilihannya hanya dua, bang. Video itu menyebar atau bang Ronal turuti semua keinginanku." begitu ucap Sandi dengan sangat tegas, ketika aku coba memohon padanya.

Aku seolah tak mengenal Sandi lagi. Dia benar-benar tidak seperti Sandi yang ku kenal dari awal.

Atau sebenarnya, inilah watak Sandi yang sesungguhnya.

"oke. saya beri waktu bang Ronal untuk berpikir. Dua hari." Sandi melanjutkan.

"aku butuh sepuluh hari." tawarku.

"seminggu.." ucap Sandi singkat, namun sangat tegas.

Aku dengan sangat terpaksa menyetujuinya. Aku berharap, dalam waktu seminggu aku bisa menerobos masuk ke kamar Sandi diam-diam, dan menemukan file video tersebut.

Satu pertanyaan muncul dibenakku tiba-tiba.

Kemana pak Yanto? Bukankah waktu itu Sandi bilang, kalau pak Yanto hanya akan pergi paling lama dua minggu. Tapi ini sudah hampir dua bulan, pak Yanto belum juga kembali.

Aku ingin mempertanyakan hal tersebut. Namun aku mengurungkan niatku. Bisa saja pak Yanto memang sedang di rumah anaknya.

Lagi pula itu bukan fokusku saat ini. Aku hanya lebih fokus, pada video tersebut.

*****

Malam itu, diam-diam, aku mencoba memasuki rumah Sandi. Aku tahu, Sandi tidak sedang berada di rumah. Aku melihatnya tadi sore keluar, dan belum pulang sampai saat ini.

Aku melangkah pelan menuju arah dapur. Aku berharap, pintu dapur akan lebih dibuka.

Setelah dengan sedikit susah payah, akhirnya aku bisa menjebol pintu dapur tersebut.

Aku sedikit berlari, menuju kamar Sandi. Tepat seperti dugaanku, kamar itu memang terkunci.

Aku mencoba mendobraknya dengan hati-hati. Aku takut, para tetangga mendengarnya.

Setelah beberapa kali hantaman, pintu itu akhirnya terbuka.

Saat itulah, aku mendengar suara mobil parkir diluar rumah.

Aku buru-buru menghidupkan komputer, untuk mencari file video tersebut.

Namun, sebelum aku sempat menemukan video tersebut, sebuah langkah berat ku dengar dibelakangku.

Aku menoleh cepat, dan melihat sesosok pria berdiri sambil menatapku penuh tanya.

"mas Ronal? ngapain disini?" tanya laki-laki itu.

Aku gelagapan seketika. Tidak tahu harus menjelaskan apa pada laki-laki tersebut.

"aku... aku sedang mencari flashdisk-ku yang kemarin ketinggalan di kamar Sandi.." ucapku terbata, sambil mulai melangkah mendekati laki-laki tersebut.

"Sandi? Siapa Sandi?" tanya laki-laki itu lagi, keningnya berkerut.

"mas Akbar, tidak kenal Sandi?" aku balik bertanya, dengan kening yang ikut berkerut.

"aku kesini mau melihat keadaan ayahku. Sudah hampir dua bulan, ia tidak memberi kabar kepada kami. Ponselnya dan juga telepon rumah tidak bisa dihubungi." Laki-laki itu menjelaskan.

Aku tahu Akbar. Dia putra sulung dari pak Yanto, orang yang diakui oleh Sandi sebagai pamannya, dan tinggal di rumahnya.

Aku pernah beberapa kali bertemu Akbar, setiap kali ia kesini mengunjungi ayahnya.

"tapi Sandi bilang, kalau pak Yanto, bukannya ke rumah mas Akbar? Katanya istri mas Akbar melahirkan.." aku mencoba menjelaskan.

Begitu banyak pertanyaan yang muncul tiba-tiba dibenakku.

Siapa sebenarnya Sandi?

Apa yang telah ia lakukan?

Dan kemana Pak Yanto sebenarnya?

********

"pertama. Saya tidak tahu, siapa itu Sandi. Kedua ayah saya tidak pernah datang ke rumah kami, setidaknya dua bulan terakhir ini. Istri saya memang melahirkan sebulan yang lalu. Tapi saya tidak pernah meminta ayah saya untuk datang." Akbar memulai ceritanya, saat kami akhirnya duduk di ruang tamu.

"karena tidak bisa dihubungi, saya mulai khawatir dengan ayah. Saya juga sudah menghubungi adik-adik saya, tapi mereka sepertinya sama khawatirnya dengan saya." Akbar melanjutkan.

"karena khawatir, makanya saya kesini malam-malam. Kebetulan saya selalu menyimpan kunci rumah ayah. Jadi tadi saya langsung masuk, dan tiba-tiba saya melihat mas Ronal di dalam kamar.." ucap Akbar lagi, yang membuat saya kian bingung.

"jadi mas Akbar, benar-benar tidak tahu siapa Sandi? Dia bilang kalau pak Yanto adalah pamannya. Seharusnya mas Akbar pasti tahu.." ucapku kemudian, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau Sandi sudah berbohong selama ini.

"tidak ada seorang pun dari keluarga kami yang bernama Sandi. Lagi pula ayah juga sudah tidak punya saudara di kampung." Akbar berucap dengan yakin.

Aku kemudian memperlihatkan poto Sandi yang ada di ponselku. Namun Akbar tetap yakin, kalau ia tidak mengenali orang tersebut.

Saat kami sedang ngobrol tersebut, tiba-tiba sebuah mobil parkir di depan rumah. Aku yakin itu Sandi. aku menoleh dari balik jendela.

Sandi keluar dari mobil, dan melihat ada mobil lain parkir di depan rumahnya, Sandi buru-buru masuk ke dalam rumah.

Sandi masuk, dan dengan sedikit kaget melihat kami berdua.

"siapa orang ini? Dan bagaimana kalian bisa masuk?" Sandi melontarkan pertanyaan, sambil ia menatapku. Seolah-olah pertanyaan itu adalah untukku.

"saya yang seharusnya bertanya, siapa kamu? Dan dimana ayahku?" Akbar balas bertanya, sambil bangkit dari duduknya, dan melangkah mendekati Sandi.

"oh, jadi anda putra dari pak Yanto yang malang itu.." diluar dugaan, Sandi justru terlihat tersenyum sinis.

"apa yang telah kamu lakukan pada ayahku?" Akbar terlihat panik, ia mencoba mencengkeram leher baju Sandi.

Saat itulah, tiba-tiba Sandi mengeluarkan sebuah pistol, dari punggungnya yang tertutup jaket tersebut.

Aku terkesiap, benar-benar tak menyangka kalau Sandi memiliki sebuah pistol.

Akbar mundur beberapa langkah melihat hal tersebut, mukanya tiba-tiba pucat.

Aku yakin, Akbar seperti itu, bukan saja karena merasa takut, tapi juga karena ia yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi pada ayahnya. Seperti keyakinanku juga.

Melihat Sandi sekarang, aku yakin, Sandi telah berbuat sesuatu yang jahat terhadap pak Yanto.

Sandi tersenyum sinis lagi, sambil ia terus mengacungkan pistol ke arah kami.

"ayah busukmu itu, sudah ku kubur dibelakang sana." suara Sandi lantang.

Malam memang sudah mulai larut, mungkin para tetangga juga sudah mulai tertidur. Dan lagi pula, suara raungan mobil di jalan raya, cukup untuk membuat suara keributan kami tidak terdengar siapa-siapa.

"saya membunuhnya, karena ia mencoba membeberkan rahasia saya." Sandi melanjutkan, kali ini lebih sedikit pelan.

"rahasia apa?" tiba-tiba Akbar mengeluarkan suara.

"rahasia, kalau saya adalah seorang gay, dan juga seorang pembunuh. Saya sudah pernah membunuh sebelumnya, jadi membunuh ayah anda yang tua renta itu, adalah hal mudah. Dan malam ini adalah giliran anda..." diluar dugaan, Sandi menjawab.

Ia terus mengarahkan pistol tersebut kepada Akbar, yang terlihat bergidik, mendengat ucapan Sandi barusan.

Aku masih duduk terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Melihat Sandi yang memegang senjata, dan mengetahui kalau ia seorang pembunuh, membuatku jadi semakin merasa takut.

"lalu sekarang apa yang kamu inginkan?" tanya Akbar dengan cukup berani.

"anda tidak sedang berada dalam kondisi tawar menawar. Pilihannya hanya satu. Anda mati!" setelah berucap demikina, Sandi pun menarik pelatuk pistol tersebut dengan telunjuknya yang sudah bersiap dari tadi.

Sebuah peluru melayang menuju Akbar.

Akbar terlihat kaget, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Peluru tersebut, dengan cepat mengenai dada kirinya. Terlihat kalau Sandi memang sudah berpengalaman menggunakan pistol tersebut.

Akbar terjerembab ke lantai, darah mengalir deras dari dadanya.

Ia mengerang menahan sakit, dengan mata yang sedikit melotot.

Spontan aku bangkit dan berlari mendekati Akbar. Namun Akbar sudah sekarat. Peluru itu mungkin mengenai jantungnya.

Aku mencoba menahan aliran darah tersebut, tapi Akbar sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya pun terkulai dalam pangkuanku.

Sandi masih mengacungkan pistolnya ke arah kami, tatapannya sinis.

Aku menoleh kearahnya. Tubuhku bergetar. Aku belum pernah barada dalam situasi seperti itu.

Sandi menyimpan pistolnya kembali, ia melangkah mendekatiku.

"sekarang bang Ronal bantu saya untuk menguburkan mayat ini.." ucap Sandi terdengar sangat santai.

"aku gak mau.." suaraku bergetar.

"sederhana saja, bang Ronal. Jika bang Ronal tidak mau menuruti perintah saya, pilihannya hanya dua. Pertama, saya bisa saja menyebarkan video kita, saat ini juga. Dan pilihan kedua, bang Ronal bisa saja menjadi sasaran peluru berikutnya.." Sandi berucap, sambil ia kembali memegang pistolnya.

Aku kembali bergetar. Tubuhku merinding. Rasa takut semakin menyelimutiku.

Dengan sangat terpaksa, aku pun memopong tubuh Akbar yang sudah tidak bernyawa tersebut.

Kami melangkah menuju pekarangan belakang rumah tersebut.

Rumah pak Yanto, memang memiliki pekarangan belakang yang cukup luas. Ia suka menanam beberapa tanaman bumbu dapur disana.

Sebuah gundukan tanah terlihat masih basah. Aku yakin itu kuburan pak Yanto. Aku kembali bergidik, menyadari hal tersebut.

Sandi menggali tanah disamping gundukan tersebut dengan sebuah sekop. Saat itulah aku seperti punya kesempatan untuk melarikan diri.

Namun kaki ku terasa kaku. Lututku terasa nyeri. Aku membayangkan, kalau aku lari saat itu, bisa saja Sandi menembakiku. Hingga akhirnya aku hanya berdiri terpaku, melihat Sandi mendorong mayat Akbar ke dalam lobang yang telah selesai ia gali. Kemudian menimbunnya dengan buru-buru.

*****

Malam itu, Sandi menahanku di dalam kamarnya. Beruntunglah anakku, Adam, sedang bersama Ibunya. Setidaknya ia tidak akan kehilanganku, saat terbangun di pagi harinya.

Sandi terlihat gelisah. Ia mondar mandir di dalam kamar tersebut, sambil tetap memegang pistolnya.

"kita harus segera pergi dari sini.." ucapnya tiba-tiba.

"kita harus pergi, sebelum pihak keluarga Akbar menyadari, kalau Akbar tidak pernah kembali.." lanjutnya lagi.

"Sandi. Aku mohon, kamu pergi saja dari sini, dan lepaskan aku." aku berucap penuh harap.

"aku janji, aku tidak akan menceritakan semua ini, pada siapa pun.." lanjutku lagi.

Sandi menatapku tajam.

"satu-satunya alasanku melakukan semua ini, adalah karena aku ingin memiliki bang Ronal. Jadi bagaimana mungkin aku akan melepaskan bang Ronal begitu saja.." ucap Sandi tajam.

Aku terdiam kembali. Aku mulai memikirkan bagaimana caranya, agar bisa melepaskan diri dari Sandi.

Tapi pikiranku terasa buntu. Akbar dibunuh di depanku, dan itu jelas menumbuhkan rasa takut tersendiri dalam diriku. Dan itu pertama kalinya aku melihat seseorang dibunuh di depan mataku.

Lagi pula, aku tidak mungkin melawan Sandi yang saat ini memegang kendali. Ia punya senjata, dan ia seorang pembunuh. Membayangkan itu semua aku semakin bergidik.

Tak pernah aku sangka, jika aku ternyata telah bercinta dengan seorang psikopat kejam. Padahal Sandi terlihat lembut, dan ia mempu membuatku terbuai.

Sandi tiba-tiba menarik tanganku. Ia mendorongku keluar kamar, sambil ia menodongkan pistol di pinggangku, di balik jaketnya. Sebelah tangannya memegang sebuah tas, yang berisi beberapa pakaian dan sebuah laptop, yang aku yakin, di dalam laptop itulah ia menyimpan video tersebut.

Karena saat aku memeriksanya tadi di komputernya, sesaat sebelum Akbar datang, aku tidak menemukan apa-apa.

Meski aku juga yakin, jika ia pasti juga menyimpannya di dalam ponselnya.

Sandi menggiringku masuk ke dalam mobilnya, setelah ia mengunci pintu, dan membiarkan mobil Akbar terparkir disana.

Sandi meminta aku yang menyetir mobilnya, sambil ia terus menodongkan pistolnya di pinggangku.

Jalanan mulai sepi. Sandi memintaku untuk memasuki areal sebuah hotel.

Sesampai disana, Sandi terus menggiringku untuk memasuki sebuah kamar hotel, yang mungkin sudah ia booking sebelum ia kembali ke rumah tadi.

Seolah-olah Sandi telah mempersiapkan segala sesuatunya.

"tadinya aku ingin pakai kamar ini, saat bang Ronal menyetujui permintaanku untuk ikut bersamaku." ucap Sandi, sambil melepas jaketnya.

"tapi sekarang, aku tidak perlu tunggu apa-apa lagi. Bang Ronal harus mau ikut denganku.." lanjutnya lagi, yang membuatku merinding.

*****

Sandi meraba pahaku tiba-tiba, saat aku terduduk di atas ranjang. Ia mencoba membujukku, untuk mau melakukannya lagi malam itu dengannya.

Aku berusaha menolak, tapi Sandi mengancam akan menyebarkan video tersebut, yang membuatku menjadi sedikit pasrah.

Aku berusaha mencari cara, agar bisa menghindari Sandi.

"aku mau mandi dulu, badanku terasa gerah semua.." ucapku akhirnya. Setidaknya di dalam kamar mandi, aku bisa memikirkan bagaimana caranya mengakhiri ini semua.

"kalau begitu kita mandi berdua.." ucap Sandi, yang membuatku kembali merasa lemas.

Aku tak bisa menolak, apa yang dilakukan Sandi padaku. Bukan karena aku tak mampu melawan. Tapi faktanya, Sandi punya video sebagai senjatanya mengancamku, selain pistol nya juga.

Kami mandi bersama. Sandi kembali mencoba melakukan aksinya padaku.

Aku akhirnya benar-benar pasrah. Sandi membawaku berlayar, dengan caranya. Ia yang mengendalikanku. Aku merasa merinding.

Sekali lagi, aku harus bercinta dengan seorang psikopat, seorang pembunuh.

Tubuhku terasa begitu lemas tak berdaya. Sandi terus memaksaku berlayar dengannya, yang membuatku kian terlena.

Sentuhan-sentuhan yang diberikan Sandi, membuatku kian bergejolak.

Aku lupa siapa Sandi, aku lupa tentang apa yang telah diperbuatnya. Yang aku rasakan hanyalah keindahan penuh sensasi.

Sandi terus membawaku berlayar, sampai aku akhirnya mencapai pelabuhan terakhir tersebut dengan sempurna.

Sehabis mandi dan berlayar bersama, Sandi memberiku pakaiannya. Aku juga tidak mau memakai pakaianku yang tadi, karena bercak darah Akbar masih membekas disana.

Aku mencoba memejamkan mata, melepaskan segala kelelahanku.

Tubuhku terasa begitu capek, dan pikiranku terasa begitu berat.

Sandi masih terus mengawasiku. Ia menawarkanku makan, tapi aku menolaknya.

Dan aku pun akhirnya terlelap dalam lelahku.

*****

Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar hotel tersebut.

Aku tersentak, namun Sandi terlebih dulu bangun. Dia segera menuju pintu.

Aku bersiap-siap, aku berharap orang yang datang tersebut, bisa membantuku keluar dari situ.

Tapi yang datang hanya seorang pelayan hotel, yang menawarkan sarapan.

Aku memejamkan mata kembali, mencoba untuk tertidur lagi.

Seharian, Sandi mengurungku dalam kamar tersebut bersamanya. Aku sempat makan siang, karena perutku terasa begitu lapar. Sandi sengaja memesannya secara online.

"kita disini dulu seharian." ucap Sandi.

"nanti malam, aku akan bawa abang dari sini. Perjalanan malam, akan lebih aman." lanjutnya.

Aku tidak terlalu menyimak kata-katanya. Aku juga tidak peduli, apa pun rencananya. Aku hanya harus bisa melarikan diri secepatnya.

Seharian, aku terus berpikir, bagaimana caranya untuk mengakhiri itu semua.

Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ponselku sengaja ditahan Sandi.

"nanti sore, istriku akan mengantarkan Adam ke rumah." ucapku pelan.

"ia pasti akan merasa aneh, karena aku tidak berada di rumah. Dan mungkin saja, ia akan melaporkan hal tersebut pada polisi.." lanjutku mencoba memberi peringatan kecil pada Sandi.

"aku sudah kirimkan pesan singkat pada mantan istri bang Ronal itu, pake ponsel bang Ronal.." balas Sandi, ia terlihat begitu cuek.

"aku sudah kirim pesan, bahwa bang Ronal untuk beberapa hari ke depan, akan keluar kota, jadi Adam untuk sementara tinggal bersamanya.." Sandi melanjutkan, yang membuatku merasa semakin tak berdaya.

Harapanku untuk terbebas dari Sandi kian menipis. Sekarang aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri.

"bagaimana dengan keluarga Akbar?" tanyaku tiba-tiba dalam keputusasaan.

"aku sudah kirim pesan pada istrinya, kalau Akbar akan lama di rumah ayahnya. Jadi aku masih bisa menunda, sampai kejadian ini sampai ke pihak berwajib. Dan saat polisi sudah menyadari hal tersebut, kita sudah berada di tempat yang jauh. Dimana tidak ada seorangpun yang tahu siapa kita disana." jawaban Sandi membuatku harus mengakui kejeniusannya dalam hal itu.

"kamu mengambil ponsel Akbar juga?" tanyaku dengan nada lemas.

Sandi tidak menjawab, namun aku sudah tahu pasti jawabannya.

Sandi ternyata benar-benar kejam dan licik.

Entah apa yang telah kuperbuat, sampai aku harus bertemu orang seperti Sandi.

"aku ingin buang air.." ucapku, sambil mulai bangkit berdiri dan lalu melangkah pelan ke dalam kamar mandi.

Aku sebenarnya tidak sedang ingin buang air. Aku hanya sedang berpikir, dan berharap di dalam kamar mandi tersebut, ada celah untukku bisa melarikan diri.

Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi tentang video tersebut. Yang aku pikirkan saat ini, hanyalah pergi dari situ secepatnya.

Sampai akhirnya aku melihat tutup kloset dalam kamar mandi itu yang seperti terlepas dari gagangnya.

Aku coba mengangkatnya, dan memang terlepas.

Aku seakan menemukan sebuah ide.

Aku memanggil Sandi dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mandi tersebut.

Aku berpura-pura sedang merasa ingin bercinta dengannya.

"aku suka, ketika kita melakukannya di dalam ini.." ucapku dengan nada mesum.

Sandi tersenyum menatapku. Ia tanpa curiga masuk dan mengunci pintu kamar mandi tersebut.

Ia melangkah mendekat dan mulai hendak menciumiku. Tapi kali ini aku yang pegang kendali.

Aku mulai meraba-raba dada bidang Sandi. Membuka kancing baju kemeja satu persatu secara perlahan.

Aku mendorong tubuh Sandi ke dinding, sambil terus memainkan tanganku di dadanya.

Aku putar tubuh Sandi hingga membelakangiku. Aku tahu, Sandi sangat menyukai posisi seperti itu.

Aku mulai mnyentuh bagian-bagian sensitifnya, yang membuat Sandi mulai terlena.

Ia terlihat memejamkan mata menikmati setiap sentuhanku.

Saat itulah, aku dengan cekatan meraih tutup kloset tadi, yang telah sengaja aku letakkan di tempat yang mudah kugapai.

Secepat kilat aku mengayunkan benda keras tersebut, hingga mengenai bagian tengkorak belakang kepala Sandi. Dahinya pun terbentur dengan keras ke dinding.

Sandi berteriak tertahan, lalu kemudian ia tersungkur. Darah mulai mengalir deras di kepalanya.

Aku bergegas keluar dari kamar mandi tersebut.

Aku mengambil tas berisi laptop dan juga ponsel Sandi serta ponselku sendiri.

Aku berjalan santai keluar hotel, aku tidak ingin para petugas hotel curiga.

Aku tidak yakin, apa yang akan terjadi dengan Sandi. Entah ia akan selamat, atau justru akan mengalami kematian.

Tapi menurutku, jika ia tidak segera mendapat pertolongan, ia akan tewas karena kehabisan darah.

Dengan menaiki sebuah taksi, aku kembali ke rumahku. Disana aku menghapus semua file video tersebut, lalu menghancurkan laptop dan ponsel milik Sandi.

Aku mengemasi beberapa pakaian dan perlengkapan kerjaku.

Aku berniat untuk pindah sementara ke tempat istriku. Aku tidak mungkin tinggal disini, sampai keadaan benar-benar membaik.

Sandi bisa saja masih hidup, dan dia pasti akan mencariku.

Aku bahkan berniat menjual rumah tersebut, dan pindah ke tempat yang jauh dari situ.

Tapi itu semua masih berada dalam pikiranku, yang pasti saat ini, aku harus segera menemui istri dan anakku.

"ada apa, mas?" tanya istriku, saat aku sampai disana dengan membawa beberapa buah koper, seperti orang yang hendak pindah.

"aku belum bisa cerita sekarang." balasku, "yang pasti sekarang kita tidak bisa kembali ke rumah dulu. Dan aku merasa sangat capek, aku butuh istirahat.." lanjutku sambil melangkah masuk, mencoba mengabaikan tatapan penuh tanya dari kedua mertuaku.

"katanya mas keluar kota beberapa hari.." istriku berucap lagi, ketika aku sudah terbaring di kamarnya.

"tapi kok tiba-tiba pulang kesini.." lanjutnya.

"panjang ceritanya, Han. Dan tolong jangan wawancarai aku sekarang. Aku harus istirahat.." balasku dengan sedikit memohon.

Malam mulai menjelma. Tubuhku terasa remuk. Bayangan semburan darah yang keluar dari kepala Sandi terus membayangiku.

Namun karena aku yang sudah terlalu lelah, akhirnya benar-benar tertidur.

******

Pagi itu, Adam membangunkanku. Ia mempertontonkan sebuah video siaran langsung dari ponselnya.

"ini bang Sandi kan, Yah.." ucapnya sambil memperlihatkan video tersebut.

Aku terkesiap sesaat.

Dalam video tersebut, terlihat Sandi yang sudah dikabarkan tewas. Pihak polisi sudah mengidentifikasinya.

Ternyata Sandi adalah seorang residivis, yang sudah diburu sejak lama oleh pihak polisi, karena berbagai kasus pembunuhan yang dilakukannya.

Pihak polisi tidak lagi akan mengusut atas kematiannya. Karen Sandi sebenarnya memang akan dihukum mati.

Pihak polisi juga mengatakan, kalau Sandi adalah pria dewasa yang sudah berumur 27 tahun.

Pantas saja aku tidak mempercayainya, saat ia mengaku baru kuliah dan baru berusia 19 tahun.

Entah apa yang aku rasakan saat itu.

Entah merasa lega, atau justru merasa takut.

Lega, karena akhirnya aku terbebas dari ancaman pria homo tersebut.

Takut, karena bisa saja ada yang mengetahui, kalau kematian Sandi ada hubungannya denganku.

Aku tidak meceritakan tentang kejadian yang menimpa Akbar dan Ayahnya, biar kan polisi yang mengungkapnya.

Setidaknya itu salah satu cara agar aku tetap aman.

Aku akhirnya memutuskan untuk kembali kepada istriku.

Aku merasa, setidaknya jika aku hidup bersama istriku, tidak akan ada lagi laki-laki homo yang menggodaku.

Semoga.

Sekian ..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate