Cinta dari sang Elang ... (cerita romantis)

"lupakan saja!" gumamnya.

Sorot matanya setengah kaget oleh sorot perkataannya sendiri.

"lupakan apaan?" aku mengernyit, lalu tatapanku hinggap ke matanya. Sekilas kulihat ia membuang muka, saat matanya bersirobok dengan tatapanku.

"ya, itu tadi, lupakan saja kata-kataku barusan!" ucapnya lagi.

Kali ini seolah ia berbicara dengan angin, pandangan matanya lurus ke gugusan mega di langit sore.

"maksudmu?" tanyaku lagi.

Ia tak menjawab. Hanya mengangkat kedua bahunya, sementara aku sendiri tak tahu harus berkata apa lagi.

Cinta dari sang Elang cerita gay romantis

 

Yah... karena pada kenyataannya, aku bukan tak mendengar kata-katanya!

Bukan, bukan karena aku tak mendengarnya!

Bahkan dengan jelas aku mendengarnya. Tapi sungguh, pada saat ini ... aku tak menanggapi kata-katanya.

Andai saja ... aku mendengar semua itu dulu ..., mungkin kenyataannya akan lain!

Tapi itulah, pada saat ini aku tak sanggup.

Meski aku sudah menduga semua ini akan terjadi, tapi aku tak pernah merasa siap untuk menghadapinya.

"maafkan aku, Sam. Aku tahu, kamu pasti akan kecewa, atau kamu pasti marah atau mungkin kamu akan membenciku."

Sedikit aku tersentak akan kata-katanya, karena beberapa saat tadi pikiranku sedang mengawang-awang.

"kamu berhak marah kok, Sam!" lanjutnya lagi.

"selama ini aku dengan seenaknya datang dan pergi dari kehidupanmu, tanpa mau mempedulikan perasaanmu sendiri. Apakah kamu suka atau tidak atas ulahku. Aku hanya memikirkan perasaanku sendiri, aku memang egois!" kalimatnya terdengar lemah.

Benarkah aku harus marah? Atau seperti yang dikatakannya, aku harus membencinya. Kalau seperti apa yang dikatakannya, seharusnya dari dulu aku melakukannya! Karena bukan pertama kali ini saja ia meminta maaf padaku!

Sudah sering! Bahkan teramat sering! Hingga aku sendiri tak ingat lagi, kapan terakhir kali aku mendengar 'permintaan maafnya'.

Aku hanya diam. Seperti dulu, tiap kali ia datang meminta maaf, setelah sekian lama ia menghilang tanpa memberi kabar padaku.

Pergantian waktu ternyata tak pernah bisa mengajarkan hal lain padaku, selain diam tiap menghadapi keadaan seperti ini.

"jangan hanya diam, Sam! Kamu punya hak sepenuhnya untuk marah, bahkan kalau sampai mengusirku pun, aku akan terima, Sam! Aku memang salah padamu ... bicaralah, Sam!" katanya lagi.

Ah ... Bagaimana mungkin aku akan marah, kalau kejadian seperti ini, bukan hanya sekali dua kali aku alami.

Ia akan tiba-tiba menghilang untuk beberapa waktu, tak memberikan sedikit pun tentang kabar dan keberadaannya. Lalu dengan tiba-tiba pula ia datang, kemudian meminta maaf padaku.

Lalu seperti biasa, aku akan menganggap tak pernah terjadi apa-apa. Menganggap hal itu adalah hal biasa.

Lalu kami akan bersama-sama lagi. Jalan-jalan, ngobrol, atau sekedar makan-makan di pinggir jalan.

Namanya Gilang Erlangga, tapi aku lebih suka memanggilnya Elang. Karena tatapan matanya, tajam seperti Elang. Selain itu, karena memang kami sudah sangat dekat.

Elang adalah sahabatku, sejak aku masuk SMP. Meski pun waktu itu, rumah kami tidak berada dalam kompleks yang sama. Kami tak pernah menganggap jarak adalah halangan bagi keakraban kami.

Di sekolah atau pun di luar sekolah, kami sering bersama-sama, aku menganggap rumah Elang adalah rumahku sendiri! Begitu pula sebaliknya., Elang tak pernah sungkan-sungkan berada di lingkungan keluargaku.

Hingga kebersamaan itu berlangsung sampai kami meninggalkan seragam putih biru dengan putih abu-abu. Kami tetap sering bersama-sama, meski pun di SMA kami tidak satu sekolah. Kadang-kadang kami membuat janji untuk saling ketemu.

Hingga suatu hari ...

"kami akan pindah rumah, Sam." ucap Elang terdengar datar.

"pindah? Pindah kemana maksudmu?" aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

"mungkin kami akan pindah ke Semarang, Sam. Karena dengan demikian, akan lebih dekat dengan tempat kerjaan Papa." tuturnya.

Dan begitulah ...

Di penghujung semester satu kelas satu, Elang pindah bersama seluruh keluarganya. Hingga jarak diantara kami kian terbentang begitu saja.

Tapi bagi kami, hal itu tidaklah menjadi masalah, kami tetap bisa bertemu walaupun jarang. Bahkan kalau kami tak sempat untuk saling bertemu, kami akan menyempatkan diri untuk saling mengabari lewat telpon (karena saat itu, belum ada media sosial, seperti sekarang).

Lalu tiba-tiba aku kehilangan jejaknya.

Aku kehilangan kabarnya. Jangankan ia datang ke rumahku, sekedar memberiku kabar lewat telpon saja, ia tak mau. Dan aku mencoba menghubunginya lewat telpon, ia tidak pernah ada di rumah!

"aku sedang jatuh cinta, Sam..." begitu pengakuannya, ketika pada akhirnya ia datang juga ke tempatku, setelah hampir dua bulan aku tak bertemu dengannya.

"oh, ya, aku boleh mengenalnya dong?" ucapku spontan.

"kapan akan dikenalkan denganku disini?" lanjutku. Tatapanku melumat penampilannya.

Ternyata tak banyak yang berubah dalam dirinya. Aku membathin.

Beberapa saat ia terdiam.

"kamu benar ingin mengenalnya?" tanyanya.

"ho-oh." aku mengangguk pelan.

"kamu tidak marah?" tanyanya lagi.

Tiba-tiba aku menangkap kelabat keheranan dalam sinar matanya yang coklat.

"marah? lho ... kenapa aku harus marah?" aku kembali menatapnya. Karena memang aku tak punya hak untuk marah terhadapnya.

"oh... tidak! sebaiknya lupakan saja!" suaranya terdengar parau.

Gerimis seperti menemani kami sore itu, tetes-tetes hujan yang membasahi teras rumah tidak sanggup mencairkan kebekuan dan kekakuan diantara kami.

Kami hanya lebih banyak diam. Sepertinya kami telah kehilangan keakraban milik hari-hari kebelakang kami.

Beberapa waktu kemudian, aku kembali kehilangan jejaknya, sejak sore itu ia datang. Kemudian ia menghilang lagi tanpa kabar.

Aku berpikir, mungkin ia lebih mementingkan pacarnya ketimbang diriku.

Ah! Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa enggan untuk mencari tahu kabarnya.

Dan tiba-tiba aku merasakan jarak kami menjadi bertambah dua, bahkan tiga kali lipat jauhnya.

Aku berusaha tak menghitung waktu perpisahan kami, hingga ketika mama menanya kabarnya, aku tak tahu harus mengatakan apa!

"Sam ... kalau mama tidak salah hitung, sepertinya sudah lama Gilang tidak main lagi kemari? Kenapa, yah?" tanya mama.

"sibuk, kali ma.." aku menjawab asal-asalan.

"masa' sih sibuk terus hingga tidak memiliki waktu untuk berkunjung kemari seperti dulu?" mama menyelidiki mataku. Aku merasa jengah.

"kapan-kapan undang Gilang kemari, ya! mama sudah kangen..." lanjut mama.

Mama kangen? mama kangen dengan Elang? Lalu kalau mama merasa kangen, lalu perasaan apa yang sedang aku rasakan sekarang ini? Apakah aku merasa kangen juga terhadap Elang?

Ah, tiba-tiba ada yang kurasakan kosong dalam rongga dadaku, tiba-tiba aku merasa kehilangan dirinya! Aku berusaha menekan perasaan sepi itu kuat-kuat.

****

Hari-hari terus berjalan, tanpa dicegah atau dipacu. Dan ketika Elang datang lagi padaku, aku tak tahu, apakah aku merasa senang atau sebaliknya?

Dan aku sudah tak ingat lagi, sudah berapa lama sesungguhnya kami tak bertemu.

"aku minta maaf, Sam. Akhir-akhir ini, aku tak memberikan kabar padamu.." ucapnya.

"bagaimana kabar pacarmu?" oh ... tiba-tiba aku merasa terluka oleh pertanyaanku sendiri.

"pacarku?" sorot matanya tajam menghujam.

Aku hanya mengangguk pelan.

"kami sudah bubaran. Ternyata kami tidak cocok." akunya.

Entah, mendengarkan penuturannya, aku tak tahu, apakah senang atau kecewa?

Yang aku tahu, kemudian setelah kedatangannya itu, ia kembali seperti dulu. Sering mengunjungiku, mengajakku jalan-jalan bahkan sekali-sekali ia memberikan kejutan untukku, dengan menjumpaiku di sekolahan.

Kalau kami sering bersama-sama lagi, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Sementara di hatiku sendiri, getar-getar aneh dengan kehadiran kembali Elang, tak bisa aku sembunyikan. Kadang-kadang tanpa sadar, timbul kepermukaan!

Namun aku selalu berusaha, untuk menekannya kuat-kuat. Aku tak ingin Elang menyadari perasaanku padanya.

Meski terkadang aku memiliki mimpi tentang Elang, namun aku senantiasa menekannya kuat-kuat!

Yah, terkadang aku berharap, bahwa mimpi yang aku miliki, kelak akan menjadi suatu kenyataan.

Namun akhirnya kau harus mengubur mimpi itu sendiri. Ketika pada suatu hari Elang dengan kebiasaannya. Menghilang tanpa kabar!

Dan tiba-tiba sebelah hatiku seperti patah! Sejak saat itulah aku bertekad, untuk memilih dalam menanggapi permintaan maafnya.

Aku sudah terlanjur kecewa!

Bukan kecewa karena ia jatuh cinta! Aku kecewa dengan caranya datang dan menghilang tanpa kabar.

****

Waktu terus berputar, tanpa dapat dicegah atau dipacu. Dan waktu pulalah yang kini mengajarkan padaku, bahwa ketulusan hati milik seorang Raka, ternyata tak bisa diragukan.

Kehadiran seorang Raka, seperti menyadarkanku, bahwa tak semua harus menjadi kenyataan.

Hanya satu dari seribu mimpi, yang kadang bisa menjadi nyata. Dan mimpiku tentang Elang, ternyata tak termasuk dalam jajaran yang satu tadi.

Aku jadi sadar, mengharapkan seorang Elang bagai mengharapkan hujan di tengah gurun

Mengapa aku tak bangun dari mimpi berkepanjangan ini?

Kemudian menerima uluran tulus tangan Raka, yang merupakan teman satu sekolahanku, meski beda kelas.

Raka memang sudah sejak lama menyukaiku. Dan ia cukup berani untuk mengungkapkan itu semua padaku.

Mengapa aku tidak berusaha untuk memupus mimpiku pada Elang, lalu membangun mimpi lain bersama Raka?

Yah, mengapa aku tidak mencobanya saja?

****

"kemarin aku mencarimu! Kata mama kamu pergi sama Raka..." Elang menatapku,

"siapa Raka?" kali ini tatapan matanya tajam menghujam.

Sore yang sebenarnya cerah, seperti tak bersahabat ketika aku menangkap sinar tak suka dari tatapan Elang ketika ia bertanya tentang Raka.

Aku tak menyangka akan ditodong dengan pertanyaan seperti itu oleh Elang.

"oh, dia temanku. Kenapa emangnya?" aku menekan suaraku, mencoba menekan rasa tak suka yang tiba-tiba aku rasakan, ketika Elang bertanya seperti itu.

"teman apaan?" ia masih menatapku tajam.

"maksudmu?" aku menaikan intonasi suaraku. Dan sebisanya aku menentang sinar tak suka dimatanya.

"Sam, dengarlah... aku ... aku ... aku ...hanya takut kamu salah pergaulan. Dan itu pasti akan membuat kamu kecewa..." ujung kalimatnya ku dengar lirih.

Oh, Tuhan.. apa? Dia takut aku kecewa? Lalu bagaiman dengan dirinya? Apakah ia rasa, bahwa sikapnya selama ini, tidak mengecewakanku?

Oh... apakah artinya, bila ia mengkhawatirkanku?

Apakah mimpi yang telah ku kubur, kini akan kembali timbul kepermukaan?

Apakah mimpiku tentang dirinya akan menjelma menjadi suatu cerita yang nyata?

Seksama aku menikam matanya.

Oh, Tuhan ... tak salahkah penglihatanku? Ada guratan cemburu dalam sinar matanya. Ia mencemburui hubunganku dengan Raka?

Apakah.... apakah ia...?

Tidak! Bergegas aku menggeleng, ketika senyum tulus milik Raka seketika melintas.

Aku merasakan bahwa malam itu Elang sangat gelisah, pulang lebih awal, tidak seperti biasanya.

Esok, dan keesokan harinya Elang sering mengunjungiku. Seperti kebiasaannya sebelum menghilang lagi. Dan kali ini Elang tak pernah menuntut padaku untuk balas menghubungi atau pun mengunjunginya.

Dan bagiku menganggap kedatangan Elang adalah sesuatu yang biasa, seperti kebiasaannya selama ini. Sering datang dan tak lama lagi akan menghilang!

Tapi kali ini aku gelisah. Yah, aku gelisah menghadapi sikapnya yang aku rasakan lain. Tidak seperti biasanya. Aku merasakan ini. Dan kadang-kadang dengan terang-terangan ia memperlihatkan sikap tak sukanya terhadap kedekatan dengan Raka.

Menghadapi kenyataan seperti itu, terus terang aku bingung, harus bersikap bagaimana.

Elang cemburu adalah merupakan mimpi masa laluku. Karena kini aku sedang membangun mimpi baru bersama Raka.

Hingga kemudian tiba-tiba Elang menghilang lagi. Dan mengaku sedang jatuh cinta, lalu beberapa waktu kemudian, ia datang lagi, lalu mengatakan, "maaf, Sam. Selama ini aku tak memberi kabar, aku.. sedang jatuh cinta ..."

Begitu kebiasaanya, hingga aku tak tahu lagi harus bagaimana menghadapinya. Aku yakin, ia berharap aku cemburu ketika ia mengatakan, ia sedang jatuh cinta, atau sekedar menanyakan kabar tentang pacarnya atau bertanya tentang hubungannya dengan pacar barunya.

Yah ... aku yakin itu!

Sayang, aku sudah terlanjur patah olehnya. Rasa cemburu untuknya sudah terkubur jauh di dasar hatiku yang paling dalam. Seiring kebiasaannya datang dan menghilang dengan tiba-tiba.

Begitulah Elang dengan kebiasaannya. Dan aku tak pernah tahu, cara menghadapinya.

Juga kali ini... saat ia datang setelah sekian lama menghilang tanpa kabar sedikitpun!

"maafkan aku lagi, Sam..." suaranya memelas, mengawali pembicaraan.

Aku hanya diam. Dia datang sebelum matahari terbenam tadi.

"aku telah capek selama ini membohongi diriku sendiri. Sekarang aku tak bisa berbohong lagi, Sam. Aku mencintaimu!"

Itulah kalimatnya tadi. Kalimat yang ia ucapkan sendiri. Kalimat yang kemudian ia minta padaku untuk melupakannya.

Oh, Tuhan! ia telah mengatakannya! Barusan ia mengatakannya. Meski aku sudah menduganya, bahwa hal ini kelak akan terjadi juga, tetap saja, aku terpana atas kejujuran dan keberaniannya.

Ada getar-getar yang tiba-tiba menyusup ke dalam rongga dadaku, kemudian menyebar dan memenuhi setiap sudut hatiku.

Beberapa saat aku menikmati perasaan indah itu, sebelum pada akhirnya aku menggeleng kuat-kuat.

"maafkan aku, Lang. Aku gak bisa..."

Oh.. suaraku bergetar? Perlahan aku menunduk, tak ingin menyaksikan reaksi air mukanya atas jawabanku barusan.

"karena Raka?" suaranya pelan.

Tanpa menegakkan kepala, aku mengangguk.

Hening beberapa saat. Perlahan ... seperti ada sesuatu yang menuntunku untuk melihat mimik muka Elang dihadapanku.

Oh, Tuhan, separah itukah lukanya?

Ada guratan luka memanjang dimatanya. Buru-buru aku mengalihkan fokus pandangan pada ujung langit yang mulai pekat.

"aku berharap, hubungan kita tetap seperti dulu, Lang.." parau suaraku.

"oh, mimpi... apakah tak boleh aku tetap mengharapkanmu? tak bolehkah aku memilikimu walau hanya dalam anganku?" ku dengar Elang bergumam sendiri.

Kamu terlambat, Lang! Bathinku. Tiba-tiba ada yang terasa kosong dalam dadaku.

Keheningan tiba-tiba terasa mencekam. Kami saling diam.

"aku pamit, Sam. Tolong sampaikan salamku untuk semuanya..." ia memecah keheningan, lalu bangkit.

Aku hanya melongo, tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun, ketika pada akhirnya ia berlalu dari hadapanku.

Yah, aku hanya mampu menatapnya berlalu menuju pintu pagar.

Aku masih belum beranjak, hingga kemudian sosoknya menghilang di tikungan jalan.

Dia akan menghilang lagi. Aku yakin itu! Namun kali ini, aku mempunyai firasat, bahwa kali ini ia akan menghilang sangat lama.

Dan tiba-tiba air mataku menitik.

 Sekian ...

Teman lamaku ...

"istriku hamil, Jo..."

bagai mendengar suara petir di siang hari, saat bang Andi mengucapkan kalimat barusan.

Aku mencoba untuk tidak percaya, namun suara itu cukup lantang. Dan aku sakit karenanya.

Padahal bang Andi sudah berjanji, jika ia tidak akan pernah sama sekali menyentuh istrinya.

Dia berjanji, pernikahannya dengan sang istri hanyalah sebuah status. Pernikahan itu terjadi karena ia harus memenuhi keinginan kedua orangtuanya.

 

Cerita gay

 

Aku dan bang Andi memang sudah pacaran bertahun-tahun, jauh sebelum ia menikah, bahkan jauh sebelum ia ditunangkan.

Hubungan kami sangat indah. Kami tidak bisa terpisahkan.

Namun karena bang Andi sudah berumur kepala tiga dan juga sudah mempunyai kehidupan yang mapan, pihak keluarganya terutama sang Ibu, bersikeras agar bang Andi segera menikah.

Bang Andi berusaha menolak awalnya. Bahkan kami sempat kabur beberapa bulan, hanya untuk menghindari perjodohan itu.

Tapi akhirnya bang Andi tak bisa menolak lagi, karena ibunya jatuh sakit.

Dengan sangat terpaksa, bang Andi pun akhirnya menikah dengan gadis pilihan orangtuanya.

"kita akan tetap bersama, Jo. Aku akan menceraikan istriku, setelah pernikahan kami berjalan beberapa bulan nanti. Dan aku tidak akan pernah menyentuhnya.." begitu janji bang Andi waktu itu, beberapa hari menjelang pernikahannya.

Aku, walau dengan perasaan berat dan hati yang terluka, harus merelakan bang Andi menikah.

Berhari-hari aku menangisi semua itu. Rasanya begitu sakit, membayangkan pria yang aku cintai hidup bersama orang lain.

Aku tidak rela. Aku terlalu mencintai bang Andi. Dan begitu sebaliknya.

Tapi kami memang tidak bisa melawan takdir.

Setelah menikah, bang Andi, memang masih terus berhubungan denganku. Kami masih terus bersama, meski tentu saja, waktu pertemuan kami sudah semakin singkat dan semakin jarang.

Meski terasa sakit, aku mencoba menjalani hubungan tersebut. Setidaknya aku masih memegang janji bang Andi, untuk segera menceraikan sang istri.

Namun setelah beberapa bulan, bang Andi tak kunjung jua bercerai.

"sampai kapan kita akan seperti ini, bang? Katanya abang akan menceraikan istri abang secepatnya.." ucapku suatu hari, menuntut janji bang Andi.

"kamu sabar ya, Jo. Karena ini gak segampang itu.." jawab bang Andi beralasan.

Aku masih mencoba untuk tetap bersabar. Setidaknya bang Andi masih selalu punya waktu untukku, meski sebenarnya terasa sangat singkat bagiku.

Hingga akhirnya kalimat barusan keluar dari mulut bang Andi. Kalimat yang terdengar sangat menyakitkan bagiku.

"istriku hamil, Jo.." terngiang kembali ucapan bang Andi tadi di pikiranku.

"tega kamu, bang.." ucapku akhirnya dengan nada pilu.

Setelah berucap demikian, aku segera menstater motorku, lalu memacunya dengan cepat, keluar dari kebun sawit tersebut.

Berkali-kali bang Andi berteriak memanggilku. Aku tak mempedulikannya.

Aku terus saja memacu motorku keluar dari kebun sawit tersebut. Kebun sawit itu, memang tempat biasa kami bertemu pada siang hari, jika ada hal penting yang ingin kami bicarakan.

Namun jika malam hari, biasanya kami akan bertemu di hotel. Dan saling melepaskan rindu. Menumpahkan segala cinta, serta menyatu dalam lautan keindahan yang penuh dengan bunga-bunga asmara.

Sesampai di rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar kecewa dengan bang Andi.

Dia telah mengingkari janjinya.

Saat ia akan menikah dulu, aku memang terluka, tapi tak separah ini.

Sekarang rasanya hatiku seperti di cabik-cabik.

Sebenarnya bukan karena istrinya hamil, tapi terlebih karena bang Andi ternyata tidak bisa menepati janjinya.

Dalam pikiranku, terlintas bayangan tubuh kekar bang Andi yang tidur bersama istrinya. Dan itu membuatku semakin sakit.

Berkali-kali aku berusaha menepis bayangan itu, namun selalu saja hal itu terus menghantuiku.

Bang Andi, sudah berkali-kali mencoba menghubungiku dan mengirimkan pesan singkat. Namun aku mengabaikannya.

Aku benci pria itu sekarang, aku tidak ingin berhubungan lagi dengannya.

Berbulan-bulan aku bersabar menunggunya, berharap ia akan berpisah dari istrinya, lalu kami akan bersama lagi seperti dulu.

Tapi sekarang..

Sekarang istrinya telah hamil, hal itu tentu saja akan membuat kemungkinan ia bercerai dengan istrinya semakin tidak mungkin.

Harapanku tiada lagi. Dan aku tidak bisa menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri.

Karena pasti waktunya untukku akan sangat terbatas.

Untuk itu, aku pun belajar melupakan bang Andi. Aku harus bisa melangkah tanpanya.

Tidak mudah memang, karena biar bagaiamanapun, hubungan ku dengan bang Andi sudah sangat dalam. Kami telah berhubungan bertahun-tahun. Dan kami juga sudah teramat sering mendaki puncak bersama.

Harus aku akui, kalau bang Andi memang seorang pria yang perkasa dan sangat hebat. Aku selalu dibuatnya ketagihan. Tapi justru karena itu, aku tidak rela harus berbagi dirinya dengan orang lain, sekalipun itu istrinya.

Aku lebih baik tidak bersamanya, dari pada harus menjadi yang kedua.

*******

Berbulan-bulan aku berjuang untuk bisa melupakan bang Andi, meski bang Andi sendiri selalu berusaha untuk menemuiku. Namun aku juga selalu berusaha untuk menghindarinya.

Hingga akhirnya bang Andi sepertinya sudah menyerah. Dia sudah tidak lagi menghubungiku.

Mungkin juga ia sudah terlalu nyaman bersama istrinya, apa lagi saat ini, kehamilan istrinya sudah membesar.

Aku juga tidak peduli dengan semua itu sekarang. Aku mulai menikmati kesendirianku, menikmati indahnya kebebasan.

Sampai suatu saat, aku bertemu dengan seorang teman lamaku.

Namanya Kamal. Dia pria manis yang bertubuh kekar.

Sebenarnya aku sudah sangat mengenal Kamal, bahkan jauh sebelum aku pacaran dengan bang Andi.

Kamal adalah teman kuliahku dulu. Kami sempat dekat, tapi akhirnya harus terpisah, karena Kamal kemudian menikah, setelah kami sama-sama lulus kuliah.

Sejak menikah, aku tidak pernah lagi bertemu Kamal. Aku juga tidak mencari tahu keberadaannya, karena selama itu, hubungan kami hanya sebatas teman biasa.

Meski sejujurnya, aku sangat mengagumi sosok Kamal.

"aku sudah bercerai dari istriku.." begitu ucap Kamal waktu itu, ketika kami pertama kali bertemu lagi, setelah sekian tahun tak berjumpa.

"kenapa?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"karena ia selingkuh, Jo. Aku menceraikannya, apa lagi pernikahan kami memang belum dikaruniai anak.." jelas Kamal terdengar lirih di telingaku.

"oh.." desahku membulatkan bibir.

"kamu sendiri, udah nikah?" tanya Kamal kemudian.

"belum, Mal. Aku memang belum ada rencana untuk menikah.." jawabku.

"kenapa?" tanya Kamal lagi.

"karena aku memang suka kebebasan, Mal. Dan lagi pula aku mana suka perempuan.." ucapku lugas, yang membuat Kamal menolehku seketika.

"maksud kamu?" tanya Kamal dengan kening berkerut.

"aku gay, Mal. Dan aku tidak ingin menikah bila hanya untuk sebuah status.." balasku dengan nada santai. Aku mungkin sudah terbiasa berterus terang seperti itu, jika merasa sudah cukup dekat dengan seseorang.

Kamal terlihat sedikit kaget, meski aku yakin, ia sudah menduganya dari awal.

Karena biar bagaimanapun, pada saat kami kuliah dulu, aku juga sering menggoda Kamal.

Kamal sampai saat ini, masih cukup menarik secara fisik. Tubuhnya bahkan sekarang jadi semakin atletis dan seksi, meski ia sudah berumur sekitar 28 tahun.

"aku memang rajin olahraga, apa lagi semenjak bercerai dari istriku. Biasanya untuk sekedar menghilangkan kesepianku.." jelas Kamal, ketika suatu hari aku memuji bentuk tubuhnya itu.

Aku hanya mengangguk-angguk pelan. Semakin hari, aku semakin menyukai Kamal.

"kamu gak risih jalan sama aku, Mal?" tanyaku kemudian, sedikit penasaran, sih.

"gak, Biasa aja. Justru aku merasa nyaman jalan sama kamu, Jo. Kamu baik padaku.." jawab Kamal dengan nada pelan.

"aku suka sama kamu, Mal.." ucapku lagi, kami ngobrol di sebuah kafe.

Kamal menatapku tajam, penuh tanya.

"apa yang membuat kamu menyukai saya?" tanya Kamal akhirnya.

"ya... kamu manis, baik dan yang paling penting, kamu sangat kekar, Mal. Aku jadi suka berkhayal tentang kamu. Aku jadi penasaran, seperti apa rasanya kamu, Mal.." jawabku sangat terbuka.

Kamal tertawa ringan, kemudian tersenyum manis.

"kamu mau coba gak?" tanya Kamal dengan nada menggoda.

Aku menatap Kamal tajam, mencoba mencari setitik kejujuran dari kalimat yang ia lontarkan dengan nada berkelakar barusan.

"emang kamu mau?" tanyaku akhirnya, kali ini benar-benar ingin tahu dan sangat berharap, sih.

Kamal tersenyum manis lagi. Ia menarik napas dalam.

"aku sudah lebih setahun bercerai dari istriku, Jo. Sudah lebih setahun pula, aku tidak pernah melakukan hal tersebut. Lagi pula, aku juga penasaran, sih. Bagaimana rasanya melakukan hal itu dengan seorang laki-laki.." ucap Kamal, kali ini suaranya terdengar serius.

Aku pun tersenyum, saat menyadari kalau Kamal ternyata serius dengan ucapannya barusan.

Kami pun sepakat, untuk melanjutkan obrolan kami tersebut di sebuah hotel.

"aku gak tahu nih, Jo. Mesti ngapain..?" ucap Kamal, saat kami sudah berada di dalam kamar hotel.

"udah... kamu nikmatin aja, biar aku yang berperan kali ini ..." balasku dengan penuh semangat.

Kamal akhirnya pasrah. Pria kekar itu sedikit merinding dan memejamkan mata.

Aku yang memang sudah sangat lama penasaran dengan Kamal, mulai beraksi.

Apa lagi aku juga sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut. Semenjak hubunganku dengan bang Andi kandas, beberapa bulan yang lalu.

Malam itu, aku merasakan sesuatu yang luar biasa dari Kamal.

Meski pun awalnya ia merasa risih, namun lama-kelamaan ia mulai menikmati hal tersebut.

Kami pun akhirnya mulai mendaki bersama.

Aku melayang serasa terbang di awan, ternyata Kamal jauh lebih perkasa dari bang Andi.

Dia mampu membuatku terbang berkali-kali, dan aku sangat menikmatinya.

Hingga akhirnya, kami pun terhempas bersama.

"kamu luar biasa, Mal.." bisikku di telinga Kamal, ketika keindahan itu berakhir.

"kamu juga hebat, Jo..." balas Kamal juga berbisik.

"ternyata ini jauh lebih indah dari yang pernah aku rasakan sebelumnya bersama istriku ..." lanjut Kamal lagi dengan senyum mengembang.

"jadi gimana? Kita jadian ya..." ucapku meminta.

"hmmmm... kamu tu, ya.." balas Kamal, sambil mencubit hidungku lembut.

Aku tertawa ringan, sambil melepaskan tangan Kamal dari hidungku.

"kamu mau gak?" tanyaku lagi penuh harap.

Kamal bangkit dari rebahannya, lalu kemudian berdiri menuju kamar mandi.

Setelah beberapa saat, Kamal keluar dari kamar mandi, ia terlihat habis mandi.

"kita jalani seperti ini dulu ya, Jo..." ucap Kamal akhirnya, sambil ia memakai pakaiannya kembali.

"kamu mau kemana?" tanyaku, melihat Kamal yang sudah rapi kembali.

"aku mau pergi ..." balas Kamal ringan.

"kamu gak nginap?" tanyaku lagi.

"gak, Jo. Aku ada keperluan lain. Sampai jumpa lain waktu, ya..." setelah berucap demikian, Kamal mulai melangkah menuju pintu dan segera keluar.

Aku masih terbaring malas di atas tempat tidur itu. Sebenarnya aku berharap, bisa melakukannya lagi bersama Kamal malam itu. Tapi Kamal sepertinya tidak mengharapkan hal tersebut.

Aku semakin menyukai Kamal. Ia terasa begitu sempurna bagiku. Semua yang terjadi malam itu bersama Kamal terasa sangat indah. Aku semakin terbuai dalam cintaku kepada Kamal.

***********

Beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu. Kami bertemu di hotel yang berbeda.

Kamal kembali memuatku melayang dan terbang sangat tinggi dan indah.

Namun sekali lagi, ia pergi tanpa menginap.

Selalu seperti itu. Setiap kali kami bertemu, Kamal selalu pulang duluan.

Hal itu terus terjadi hingga berbulan-bulan.

Sampai akhirnya aku tahu, kalau Kamal ternyata selama ini membohongiku.

Ia ternyata belum bercerai dari istrinya, dia bahkan ternyata sudah punya anak dari pernikahannya.

Aku tidak tahu mengapa ia harus berbohong.

Namun yang pasti, Kamal tiba-tiba menghilang, semenjak aku mengetahui kebohongannya itu.

Aku tidak bisa menghubunginya, aku tidak bisa lagi menemuinya.

Kini aku kembali sendiri.

Mungkin sudah menjadi nasibku seperti ini. Harus selalu dibohongi oleh orang yang aku cintai.

*****

Part 2

Sebulan setelah Kamal, teman lamaku itu, tiba-tiba menghilang, ia ternyata kemudian datang menemuiku.

Dia meminta maaf, karena menghilang tanpa kabar. Dan juga telah membohongiku selama ini.

Aku yang sudah terlanjur kecewa oleh Kamal, tentu saja, tidak dengan begitu mudah menerima permintaan maafnya itu.

Namun setelah Kamal akhirnya menjelaskan semuanya, hatiku mulai melunak.

"aku tahu, aku salah, Jo. Aku juga tahu, kamu kecewa. Namun tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya." begitu ucap Kamal akhirnya, dengan nada memelas.

Aku memang marah dan kecewa sama Kamal, namun kenangan indah saat bersamanya, melintas di pikiranku, yang membuatku akhirnya, membiarkan ia bercerita dan menjelaskan semuanya.

"sebenarnya, sudah sejak lama aku menyukai kamu, Jo. Sudah sejak kita masih kuliah dulu.." begitu Kamal memulai ceritanya.

Aku menatapnya, setengah tak percaya. Namun aku hanya diam, membiarkan Kamal untuk terus melanjutkan.

"aku tahu, ada yang salah dengan diriku. Sejak kita saling kenal, dan mulai dekat, perasaan suka perlahan mulai tumbuh di hatiku. Namun aku tak berani untuk berterus terang sama kamu. Aku takut salah paham akan sikap baikmu padaku, selama kita berteman."

"untuk itu, aku hanya bisa memendam perasaanku padamu, Jo. Meski kadang terasa sakit padaku. Lalu kemudian, aku memutuskan untuk menikah. Bukan karena aku benar-benar menginginkannya.."

Kamal menarik napas, ia menghirup minuman dingin, yang tadi kami pesan.

Kami memang bertemu di sebuah kafe. Kamal yang mengajaknya. Katanya, biar lebih santai untuk ngobrol.

"tapi aku menikah, hanya untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Aku berharap, dengan menikah aku bisa melupakan kamu, Jo. Dan tentu saja aku berharap, aku bisa menutupi siapa aku sebenarnya.."

lanjut Kamal, dengan suara mulai terdengar parau.

Aku memperhatikan wajah manis itu. Wajah itu terlihat murung.

"sejujurnya, sebelum dengan kamu, aku belum pernah sekalipun melakukan hal tersebut dengan laki-laki manapun. Aku berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. Dan selalu berusaha untuk melupakan kamu, Jo."

"tapi ternyata aku tidak benar-benar bisa melupakan kamu, Jo. Hari-hariku terasa berat. Bertahun-tahun aku hidup dalam kemunafikan. Sampai akhirnya aku tahu, kalau kamu juga 'sakit' seperti diriku."

Kamal menghentikan kalimatnya, lalu menatapku sendu.

"kamu tahu dari mana, kalau aku juga sakit?" tanyaku sedikit penasaran.

Karena seingatku, aku mengatakan pada Kamal, kalau aku gay, justru setelah kami bertemu kembali, setelah sekian tahun terpisah.

"maaf, Jo. Sebenarnya, bang Andi, yang pernah jadi pacarmu itu, adalah sepupuku. Meski kami tidak begitu dekat, tapi bang Andi pernah cerita padaku, saat ia dipaksa menikah dulu. Ia berbicara jujur padaku, kalau ia sebenarnya tidak ingin menikah, karena ia punya hubungan dengan kamu.."

kalimat Kamal barusan, membuatku sedikit terperangah. Ternyata dunia tidak begitu luas. Bathinku.

"awalnya aku berpikir bahwa Jo yang bang Andi maksud itu, bukan kamu. Tapi karena penasaran, aku meminta bang Andi untuk memperlihatkan poto kamu. Saat itulah aku sadar, kalau kamu juga 'sakit'. Tapi aku tidak mengatakan pada bang Andi, kalau aku sebenarnya mengenal kamu.."

Kamal melanjutkan lagi ceritanya.

"aku sempat berpikir, untuk menemui kamu, dan menyatakan tentang perasaanku padamu. Tapi aku juga tahu, kalau bang Andi sangat mencintai kamu. Aku tak ingin merusak hubungan kalian berdua."

"aku memilih untuk tetap diam dan tetap memendam perasaanku. Sampai kemudian aku tahu, kalau hubungan kamu dan bang Andi telah berakhir. Bang Andi sempat curhat juga padaku, tentang hal itu. Sepertinya ia sangat kecewa, dengan keputusanmu itu. Tapi ia juga sadar kalau ia salah.."

Kamal menatapku lagi beberapa saat, kemudian kembali menghirup minumannya. Lalu menarik napas dalam.

"saat itulah, aku akhirnya nekat untuk menemui kamu, Jo. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Setidaknya aku ingin kita kembali dekat. Dan keterus-teranganmu padaku waktu itu, membuatku semakin yakin untuk bisa memilikimu.."

Kamal mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas panjang.

"lalu kenapa kamu berbohong dengan mengatakan, kalau kamu telah bercerai dari istri kamu?" tanyaku, sambil menatapnya tajam penuh tanya.

"karena bang Andi pernah cerita, kalau kamu tidak suka berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri. Untuk itu, aku terpaksa berbohong, agar kamu tidak menghidariku." jawab Kamal.

"tapi akhinya aku sadar, kalau itu sebuah kesalahan. Dan saat aku ingin menjelaskan semuanya, kamu keburu sudah mengetahui hal tersebut." lanjut Kamal lagi, kali ini ia menunduk.

"lalu kenapa kamu malah menghilang, Mal?" tanyaku kemudian

"karena akhirnya istriku mulai curiga padaku, Jo. Dan aku tidak ingin merusak rumah tanggaku. Untuk itu, aku harus menghindari untuk bertemu kamu lagi."

"lagi pula, kamu sudah tahu, kalau aku sebenarnya belum bercerai dan sudah punya anak. Jika pun kita bertemu, kamu pasti sangat marah padaku. Dan aku tak sanggup melihat kamu marah dan kecewa, Jo." jelas Kamal.

"lalu kamu pikir dengan menghilang tanpa kabar seperti itu, bisa menyelesaikan masalah? Bisa membuat aku tidak kecewa dan marah?" nadaku sedikit meninggi, sambil terus menatap Kamal tajam.

"iya, aku tahu. Karena akhirnya aku memutuskan untuk menemui kamu lagi, Jo. Aku ingin meminta maaf, atas semuanya.." lirih suara itu di telingaku.

"dan karena kamu masih tinggal bersama istrimu saat itu, makanya kamu tidak pernah mau menginap bersamaku?" tanyaku, seolah mengabaikan ucapan Kamal barusan.

Kamal hanya mengangguk pelan, dengan raut wajah bersalahnya.

"sebenarnya aku sudah curiga. Tapi, ya sudahlah. Itu juga gak penting lagi sekarang.." ucapku mulai munurunkan intonasi suaraku lagi.

"kamu mau memaafkan aku, kan, Jo?" Kamal bersuara lagi, kali ini ia beranikan menatap mataku.

"gak semudah itu, Mal." jawabku, suaraku mulai ketus lagi.

"ada satu pertanyaan lagi, yang sebenarnya ingin aku pertanyakan dari tadi.." lanjutku.

"apa?" suara Kamal memelas kembali.

"kenapa waktu pertama kali kita melakukan hal tersebut, kamu seakan merasa risih? Padahal kalau sebenarnya, kamu memang 'sakit' dan juga menginginkanku, kamu sudah bisa menikmati hal itu dari awal." ujarku, sambil terus menatap Kamal.

"dan kenapa juga, pada awal-awal kita bertemu kembali, setelah terpisah sekian tahun, kamu berlagak bak seorang laki-laki normal, yang tidak punya perasaan apa-apa padaku?" aku melanjutkan.

Kamal kembali tertunduk, bak anak kecil yang dimarahi mama.

"maaf, Jo. Seperti yang aku katakan tadi, itu adalah kali pertamanya aku melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki, jadi aku sebenarnya bukan risih, tapi lebih kepada rasa takut." Kamal berujar juga akhirnya, setelah ia terdiam beberapa saat.

"terus terang, saat itu, aku juga merasa bersalah pada istriku. Karena itu adalah pertama kalinya aku mengkhianatinya.." lanjutnya, suara semakin pelan.

"dan kenapa aku harus berlagak bak cowok normal, itu karena aku memang tidak ingin kamu tahu, perasaanku yang sebenarnya. Karena menurutku, jika kamu tahu, kalau aku juga seorang gay dan juga sangat menyukai kamu, aku takut, kamu malah meminta lebih padaku. Kamu pasti akan meminta aku untuk terus bersama kamu. Padahal, waktu itu, aku belum siap, Jo. Aku belum siap untuk meninggalkan istri dan anakku."

"aku memang menyukai kamu, tapi aku juga tetap ingin bersama keluarga kecilku. Aku tak ingin menyakiti mereka."

sekali lagi Kamal mengakhiri kalimatnya dengan sebuah hempasan napas dalam.

Aku mencoba memahami setiap penjelasa yang diungkapkan Kamal. Aku mencoba mencerna.

Meski sebagian kecil hatiku, tak bisa menerima semua itu dengan mudah. Tapi setidaknya Kamal sudah mengatakan yang sejujurnya, dan ia juga sudah meminta maaf padaku.

Apa pun itu, aku memang harus memaafkan Kamal. Namun untuk kembali menjalin hubungan bersamanya, aku rasa, aku belum siap.

Bukan saja, karena Hatiku masih terasa sakit. Tapi juga karena Kamal, sampai saat ini, masih bersama istrinya.

Dan seperti prinsipku dari awal, aku gak mau menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri. Aku tetap tidak mau menjadi yang kedua.

"jadi sekarang kamu mau memaafkan aku, Jo?" suara Kamal terdengar memelas lagi.

Aku menoleh sejenak, menatap wajah penuh rasa bersalah itu, perlahan ada perasaan iba menyusup di hatiku tiba-tiba.

"iya, aku maafkan kamu, Mal.." ucapku akhirnya, meski dengan suara berat. Aku tak tahu, apa aku benar-benar tulus mengucapkannya. Namun yang pasti, selanjutnya kulihat senyum pria manis itu mengembang.

"apa itu artinya kita bisa bersama lagi?" Kamal berucap lagi, kali ini sambil terus tersenyum seakan penuh harap.

"maaf, Mal! Aku mungkin bisa memaafkan kamu. Tapi untuk kembali bersama, aku rasa aku belum siap, Mal. Kamu tahu, kalau aku tidak suka menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri.." jawabku berusaha tegas.

Kamal kembali memperlihatkan wajah murungnya, senyumnya lenyap kembali.

"aku sangat mencintai kamu, Jo. Hal itu yang aku rasakan selama bertahun-tahun. Tapi aku juga sangat menyayangi keluargaku. Aku tak mungkin meninggalkan mereka, dan aku juga tidak bisa berpisah lagi dari mu, Jo. Aku mohon, kamu jangan membuat aku seperti ini, Jo.." ucap Kamal kemudian panjang lebar.

"aku tahu, Mal. Tapi aku memang tidak bisa." balasku datar,

"aku tidak akan memberi kamu pilihan, Mal. Karena aku tahu, itu sulit bagimu. Tapi jika kamu memang mencintaiku, seharusnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Maafkan aku, Mal.." lanjutku, kali ini suaraku mulai bergetar. Ada gejolak yang tiba-tiba aku rasakan.

Entah mengapa aku merasa sakit, mendengar kalimatku sendiri.

Aku memang mencintai Kamal, apa lagi mengingat apa yang telah kami lewati bersama. Tapi aku tak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Dan aku juga tidak menyakiti hatiku sendiri, dengan menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah beristri.

Aku pernah melewati hal itu, saat bersama bang Andi dulu.

Betapa sakitnya, ketika kita sangat membutuhkannya, tapi dia justru sedang bersama istrinya. Dan kita tidak bisa memaksanya.

Betapa sakitnya, ketika saat bersamanya baru beberapa saat, tiba-tiba sang istri menelpon dan memintanya untuk pulang segera.

Aku sering mengalami hal itu, saat bersama bang Andi. Dan itu terasa sakit.

Aku tak ingin mengulanginya lagi, walau dengan alasan apapun.

Seperti yang pernah aku katakan, menjadi yang kedua itu terlalu menyakitkan.

"kalau kamu berubah pikiran, kamu tahu harus mencariku dimana, Jo..." suara Kamal itu cukup mengagetkanku, karena untuk sesaat pikiranku menerawang.

Setelah berucap demikian, Kamal pamit, lalu meninggalkanku sendirian di dalam kafe tersebut.

'kamu yang harusnya berubah pikiran, Mal..' bisikku tak terdengar siapa-siapa.

********

Berhari-hari setelah pertemuanku dengan Kamal di kafe siang itu, Kamal tak pernah lagi menghubungiku.

Aku pun enggan untuk menghubunginya. Jika ia tetap masih bersama istrinya, aku harus bisa merelakannya dan aku harus belajar untuk melupakannya.

Seperti aku telah mampu merelakan bang Andi dan berhasil untuk melupakannya.

Namun, seperti yang pernah aku katakan, dunia ini tidak begitu luas.

Suatu hari aku tak sengaja bertemu bang Andi kembali. Aku tidak begitu ingat sudah berapa lama sebenarnya kami terpisah, sejak pertengkaran terakhir kami di kebun sawit waktu itu.

Aku juga sengaja pindah rumah dan juga mengganti nomorku, agar bang Andi tidak bisa lagi menghubungi dan menemuiku.

Aku memang seorang perantau, orangtua dan keluarga besarku jauh berada di kampung.

Aku mulai merantau sejak aku kuliah. Aku jarang pulang, karena aku sangat menikmati kebebasanku.

Dan lagi pula, setiap kali pulang ke kampung, keluargaku selalu bertanya kapan aku nikah.

Aku tak bisa menjawabnya lagi dan juga tidak bisa menjelaskannya, kenapa aku masih belum menikah. Padahal usiaku sudah hampir kepala tiga, dan juga sudah punya pekerjaan tetap di sebuah Bank swasta.

Tapi begitulah, aku memang tidak ingin menikah. Aku terlalu menikmati kebebasanku, dan aku juga memang tidak tertarik pada wanita.

Jadi mungkin lebih baik, aku hidup melajang. Setidaknya hingga suatu saat aku sadar, bahwa sebagai laki-laki, aku memang harus menjadi seorang suami dan juga seorang ayah.

Namun untuk saat ini, aku masih ingin menikmati semua ini.

"apa kabar kamu?" ucap bang Andi memulai pembicaraan.

Kali ini kami duduk di sebuah bangku taman.

Terus terang aku merasa canggung, setelah sekian lama tidak duduk berdua bersama bang Andi.

Rasanya kaku, tapi aku mencoba untuk rileks.

Rasa sakit, karena telah dibohongi bang Andi, mungkin telah hilang. Namun getar-getar aneh masih terasa di hatiku, saat menatap wajah tampan bang Andi.

Biar bagaimanapun, bang Andi adalah orang pertama yang mampu meluluhkan hatiku. Meski sejujurnya, ia bukan cinta pertamaku.

"baik, bang.." jawabku dengan nada datar, setidaknya aku berusaha bersikap wajar.

"bang Andi apa kabar?" tanyaku melanjutkan, meski sebenarnya terdengar kaku dan basa-basi.

 "saya baik." jawab bang Andi, "kamu kemana saja selama ini?" lanjutnya bertanya.

Untuk sesaat aku hanya terdiam. Bingung juga mau jawab apa. Karena aku memang tidak kemana-mana, meski sudah banyak peristiwa yang terjadi dalam hidupku, sejak berpisah dengan bang Andi.

"gak kemana-mana, bang. Masih disini-sini aja.." jawabku akhirnya, benar-benar kaku.

Lama suasana hening, baik bang Andi ataupun aku, seperti enggan melanjutkan pembicaraan.

Aku menatap jalanan, yang mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan. Maklum hari sudah mulai sore, para pencari rupiah sudah mulai kembali dari tempatnya bekerja masing-masing.

Apa lagi ini malam minggu, banyak muda-mudi yang memanfaatkan moment tersebut.

"aku sudah bercerai dari istriku.." tiba-tiba bang Andi berucap, dengan suara yang sangat pelan, namun mampu membuatku sedikit terlonjak.

Aku menatap bang Andi kembali.

"sudah dua bulan aku pisah dari istriku." bang Andi melanjutkan kalimatnya.

"aku tak sanggup lagi hidup dalam kemunafikan, Jo. Aku tak pernah bisa mencintai istriku, sekalipun kami telah mempunyai anak. Aku memilih untuk menceraikannya, dari pada ia terus tersiksa karena aku yang tak kunjung bisa mencintainya..."

suara bang Andi justru terdengar semakin parau, ia tertunduk lesuh.

"dua bulan ini, aku berusaha untuk mencarimu, Jo. Tapi kamu sangat sulit untuk ditemui." bang Andi berujar lagi.

"aku masih mencintai kamu, Jo. Aku masih menginginkan kamu. Aku ingin kita bisa bersama lagi, seperti dulu..." lanjutnya, yang membuatku terhenyak.

Setelah sekian lama, tak kusangka, kalau bang Andi masih mengharapkanku.

Sementara aku sendiri telah dengan susah payah, menghapus namanya di hatiku.

Bahkan aku telah berhasil menggantinya dengan sosok seorang Kamal.

Yah, saat ini, yang ada dihatiku justru nama Kamal. Meski Kamal masih tetap bertahan bersama istrinya.

Karena sebenarnya, Kamal adalah cinta pertamaku dulu, tapi tidak kesampaian, hingga kami dipertemukan kembali, setelah terpisah bertahun-tahun.

Dan bang Andi adalah pacar pertamaku, meski kami harus terpisah oleh keadaan.

Sekarang aku merasa terjebak oleh perasaanku sendiri.

Kamal adalah cinta pertamaku yang bersemi kembali, semenjak bang Andi mengkhianatiku.

Kamal juga yang akhirnya mampu mengobati lukaku itu.

Tapi Kamal tidak ingin meninggalkan istrinya, meski ia mengaku kalau ia juga mencintaiku.

Sementara, bang Andi adalah pacar pertamaku, kami bahkan sempat pacaran bertahun-tahun. Hingga akhirnya kami terpisah, karena bang Andi dipaksa menikah oleh keluarganya, dan istrinya pun hamil.

Aku memutuskan untuk pergi dari kehidupan bang Andi, karena merasa bang Andi telah mengingkari janjinya untuk menceraikan istrinya.

Tapi sekarang bang Andi datang lagi, dan, meski sudah cukup terlambat, ia telah menepati janjinya untuk bercerai dari istrinya.

Ia rela melakukan semua itu, hanya untuk bisa bersamaku.

Tapi aku sudah terlanjur memupus perasaanku padanya.

Takkan mudah bagiku, untuk jatuh cinta lagi padanya.

Aku jadi semakin bingung dengan semua ini.

"beri aku waktu ya, bang. Aku perlu memikirkan ini lebih dalam lagi.." ucapku akhirnya, melihat bang Andi masih menunggu jawabanku.

"apa karena sudah ada yang lain?" tanya bang Andi, yang membuatku jadi merasa bersalah.

Aku menoleh menatapnya, aku melihat raut kecewa di wajah itu. Ada guratan cemburu di matanya.

Sebesar itukah bang Andi mencintaiku? tanyaku membathin.

"aku sangat mencintai kamu, Jo. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahanku dulu. Aku tahu, seharusnya aku sudah menceraikan istriku sejak dulu. Tapi itu tidak mudah bagiku, Jo." ucap bang Andi lagi, ia masih menatapku.

"banyak yang harus kupertimbangkan. Aku harus menjaga perasaan banyak orang, terutama keluarga besarku, dan juga istriku. Biar bagaimanapun, ia juga punya hati, dan aku tak sanggup menyakitinya."

"aku hanya berharap waktu itu, kamu lebih sabar, Jo.."

"tapi abang menghamili istri abang waktu itu, bang." aku memotong kalimat bang Andi cepat,

"padahal abang sudah berjanji, tidak akan pernah menyentuhnya.." lanjutku.

"iya, aku tahu. Tapi aku terpaksa, Jo. Aku tak tahan, mendengar omongan orang-orang yang mengatakan kalau aku mandul, karena tidak bisa menghamili istriku.." balas bang Andi beralasan.

"dan bang Andi lebih memikirkan hal itu, dari pada perasaanku?" tanyaku tajam, setajam tatapanku padannya.

"maaf, Jo. Kamu tak tahu, betapa bingungnya aku saat itu.." suara bang Andi mulai melamah. Aku merasa kasihan melihatnya.

"sudahlah, bang. Lagi pula itu semua sudah berlalu. Aku sebenarnya tidak berharap apapun lagi dari abang, apa lagi sampai abang bercerai.." ucapku akhirnya, tak ingin berdebat lebih panjang tentang sesuatu yang sebenarnya sudah berlalu.

"apa kamu sudah punya yang lain, Jo?" bang Andi mengulangi pertanyaannya, yang tadi tidak sempat atau lebih tepatnya tidak ingin, aku jawab.

Aku jadi semakin bingung harus menjawab apa. Aku tak mungkin menceritakan tentang Kamal.

Biar bagaimanapun, mereka adalah sepupu. Aku tidak ingin membuat semuanya semakin kacau.

"kalau kamu diam, berarti memang ada, kan, Jo?" bang Andi menekan suaranya, seperti menahan perasaannya sendiri.

Sekali lagi aku melihat raut kecewa di wajah tampan itu, dan juga gurat cemburu dimatanya semakin terlihat jelas.

Oh, aku tak tega melihatnya. Tapi aku juga tak bisa membohongi bang Andi.

Bertahun-tahun pacaran, bang Andi sudah mengenal sebagian besar sifatku.

"siapa, Jo?' lirih suara itu, sangat lirih. Seperti mewakili hatinya yang terluka.

Oh, tidak! Mengapa jadi serumit ini?

Mengapa bang Andi harus kembali?

Padahal aku telah susah payah menghapusnya dari memori ingatanku.

Mengapa ia harus kembali, di saat hatiku telah dimiliki orang lain?

Tapi bukankah saat ini, aku memang tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Kamal?

Meski tak bisa aku pungkiri, kalau aku sangat mencintainya.

"gak ada siapa-siapa, bang. Aku hanya belum siap, untuk memulai semua ini lagi. Karena itu aku butuh waku, bang.." aku berujar juga akhirnya, setelah aku berusaha berpikir keras tentang semua ini.

"oke. Aku akan menunggu jawaban kamu, Jo. Sampai kapanpun. Hanya saja aku berharap, jawabanmu bukanlah sesuatu yang akan menambah luka di hatiku.." balas bang Andi, setelah ia menarik napas sejenak.

Aku tahu, bang Andi, tidak begitu yakin dengan alasanku. Tapi saat ini, hanya itu yang bisa aku katakan padanya.

****

Part 3

Hari-hari selanjutnya, bang Andi semakin sering menghubungi dan menemuiku. Dia bahkan sering memberik kejutan, dengan menjemputku di tempat kerja.

Usahanya untuk membuatku jatuh cinta lagi padanya, harus aku akui memang luar biasa.

Aku jadi ingat saat awal-awal kami kenalan dulu.

Sebenarnya kami berkenalan lewat media sosial. Lalu kemudian, seperti kebanyakan pasangan lainnya, kami pun ketemuan.

Dari pertemuan itu, ternyata bang Andi sangat tertarik padaku. Sementara aku, awal-awalnya merasa biasa saja.

Bang Andi seorang pengacara muda waktu itu. Karirnya boleh dibilang cukup sukses. Dia juga lulusan luar negeri.

Dia juga berasal dari keluarga yang modern. Dia anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakak pertamanya laki-laki, sedangkan adik bungsunya seorang perempuan.

Bang Andi memang memiliki wajah yang tampan, dan tubuh yang atletis, karena bang Andi rajin berolahraga dan juga ikut fitness.

Aku masih ingat perjuangan bang Andi untuk bisa meluluhkan hatiku. Ia sering memberiku hadiah dan juga sering mentraktirku makan-makan dan jalan-jalan.

Perasaanku yang awalnya hanya biasa-biasa saja, lama-kelamaan akhirnya luluh.

Dan aku dengan perasaan bahagia, akhirnya menyambut cinta bang Andi yang begitu besar untukku.

Kami pun akhirnya pacaran.

"aku sayang kamu, Jo." ucap bang Andi padaku waktu itu. Saat itu kami baru jalan sekitar dua bulan.

"aku ingin selamanya bersama kamu. Aku merasa hidupku begitu sempurna saat ini.." lanjutnya, yang membuatku semakin berbunga.

Aku yang baru pertama kali pacaran, tentu saja juga merasa bahagia dengan semua itu.

Bang Andi benar-benar mampu membuatku terasa lengkap.

"aku juga sayang kamu, bang.." balasku lembut.

Bang Andi mengecup keningku, kemudian merangkulku erat.

"lagi ngelamunin apa, sih?" suara bang Andi membuyarkan lamunanku, tentang masa-masa indahku bersamanya dulu.

"gak, bang. Hanya lagi mikirin pekerjaan aja.." kilahku beralasan.

Kali ini kami bertemu di sebuah kafe, bang Andi yang memintaku datang kesini, dalam upayanya, untuk meluluhkan hatiku kembali.

"weekend besok kita jalan-jalan, ya.." ucap bang Andi kemudian.

"kemana?" tanyaku.

"kemana pun yang kamu inginkan, Jo. Asal itu bisa membuat kamu bahagia.." balas bang Andi terdengar puitis.

Aku hanya terdiam, enggan untuk menanggapi ucapan bang Andi barusan.

Aku tahu, bang Andi tidak akan pernah menyerah, untuk merebut hatiku kembali.

Tapi tidak bagiku, untuk membangun kembali perasaan itu.

Biar bagaimanapun, sesuatu yang pernah terputus, sekalipun bisa disambung kembali, tidak akan lagi semulus dulu. Semuanya tidak akan lagi sama.

Tapi apa salahnya, kalau aku memberi bang Andi kesempatan kedua?

Lalu bagaimana dengan Kamal? Bathinku merintih.

Beberapa hari yang lalu, aku pernah bertemu Kamal. Gak sengaja, sih, sebenarnya.

"aku mulai berpikir untuk menceraikan istriku saja, Jo." ucap Kamal waktu itu.

"jika itu satu-satunya cara agar aku bisa bersama kamu, aku akan melakukannya." lanjutnya lagi.

Aku hanya terdiam.

Bang Andi telah menceraikan istrinya, demi aku.

Dan sekarang Kamal juga akan melakukan hal itu, demi aku.

Sebegitu istimewakah aku di mata mereka?

Tidak! Aku tak menginginkan hal ini!

"lebih baik jangan, Mal.." ucapku akhirnya.

"kenapa?" tanya Kamal, "bukankah hal itu yang selama ini kamu inginkan?" lanjutnya.

Aku terdiam kembali.

Mungkin sudah saatnya aku untuk jujur.

Tapi kalau boleh memilih, saat ini, aku lebih memilih Kamal, sih, dari pada bang Andi.

Mereka berdua sama-sama tampan dan bertubuh kekar. Mereka berdua sama-sama baik.

Tapi Kamal adalah cinta pertamaku.

"aku tak ingin menjadi orang yang menghancurkan rumah tangga kamu, Mal." jawabku akhirnya.

"dan lagi pula, saat ini, aku mulai dekat lagi dengan bang Andi, Mal. Dia udah cerai dari istrinya. Dan dia melakukan itu demi aku.." lanjutku menjelaskan.

"kamu masih mencintainya?" pertanyaan Kamal, benar-benar membuatku tertohok.

"aku gak tahu, Mal. Tapi yang pasti bang Andi sangat mencintaiku. Dan aku yakin, aku bisa belajar untuk mencintainya juga.." suaraku pelan.

"aku juga sangat mencintai kamu, Jo." suara Kamal tegas, yang membuatku menatapnya tajam.

"jangan buat aku semakin bingung, Mal." ucapku, tanpa melepaskan tatapanku.

"aku juga bingung, Jo. Aku sangat mencintai kamu, tapi aku juga tidak mungkin meninggalkan istri dan anakku." ucap Kamal.

"makanya jangan, Mal." balasku cepat.

"tapi aku ingin bersama kamu, Jo. Hidupku kacau tanpa kamu.."  ucap Kamal lagi.

"itu bisa saja bukan cinta, Mal. Itu bisa saja, hanya nafsu.." balasku lagi.

"saranku, lebih baik kamu belajar mencintai istri kamu, Mal." lanjutku, sok bijak.

"aku udah coba selama bertahun-tahun, Jo. Tapi tetap saja, aku hanya merasa hampa. Aku merasa disana bukan tempatku. Tapi istriku terlalu polos, ia terlalu baik. Aku justru jadi tidak tega melihatnya. Apa lagi melihat anakku, yang kian hari kian lucu."

"sebenarnya aku menyayangi mereka, Jo. Tapi aku tidak sepenuhnya bahagia. Justru aku merasa sangat bahagia saat bersama kamu.." Kamal menghela napas panjang.

"aku hanya tidak ingin menjadi orang yang membuat rumah tangga kamu hancur, Jo.." ujarku pelan.

"untuk itu, Jo. Mari bersamaku! Dan biarkan aku menjalani hari-hariku bersama keluargaku juga. Rasanya itu tidaklah terlalu berat, Jo. Kita tidak menyakiti siapapun karenanya.." balas Kamal.

"tapi itu menyakiti hatiku, Mal. Aku tak mau menjalani itu semua." aku membalas,

"sudahlah, Mal! Lebih baik, kita belajar untuk saling melupakan. Hubungan kita juga tidak akan sampai kemana-mana, Mal. Hubungan kamu dengan istri dan anakmu, itu yang penting! Itulah sebuah keluarga yang sesungguhnya." lanjutku, sok bijak lagi.

Sebenarnya aku bingung, sih, dengan diriku sendiri.

Bukankah seharusnya aku bahagia, jika Kamal bersedia menceraikan istrinya demi aku?

Tapi entah mengapa, sebagian hatiku tidak rela, kalau Kamal harus bercerai dari istrinnya.

Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa memberikan, apa yang istri Kamal berikan untuknya.

Lagi pula pernikahan mereka sudah berjalan bertahun-tahun.

"melamun lagi.." sekali lagi suara bang Andi mengagetkanku. Pikiranku yang sempat memutar memori pertemuanku dengan Kamal beberapa hari yang lalu, kembali buyar.

"iya, maaf, bang.." ucapku pelan, mencoba tersenyum.

Aku hanya harus bertindak. Aku harus segera mengambil keputusan.

Bang Andi sudah menceraikan istrinya demi aku, dan itu sudah terjadi.

Dan lagi pula pernikahan bang Andi dengan istriya baru seumur jagung, meski mereka sudah punya anak.

Aku dan bang Andi juga sudah pacaran bertahun-tahun, sebelum akhirnya ia dipaksa menikah.

Sementara Kamal, pernikahan Kamal sudah bertahun-tahun. Aku berhubungan dengan Kamal, justru saat ia sudah menikah dan punya anak, meski itu terjadi karena Kamal membohongiku, dengan mengatakan kalau ia sudah bercerai, padahal ia masih bersama istrinya.

Kami juga berhubungan hanya beberapa bulan, meski Kamal mengaku, kalau ia sebenarnya telah jatuh cinta padaku, saat kami masih sama-sama kuliah dulu.

Tapi tetap saja, itu tidak membuatku berhak, menghancurkan rumah tangganya.

Berdasarkan pertimbangan hal itu, aku sudah mulai bisa menentukan pilihanku.

Namun persoalannya adalah,

Pertama, sampai saat ini, aku belum juga bisa jatuh cinta kembali pada bang Andi, meski ia telah melakukan berbagai cara, untuk bisa merebut hatiku kembali.

Kedua, aku masih terlalu mencintai Kamal, dan tak bisa aku pungkiri, kalau dari hatiku yang terdalam, aku masih berharap bisa bersamanya. Meski harus mengorbankan pernikahannya. Karena sejujurnya aku tidak ingin Kamal bercerai dari istrinya. Rasanya terlalu naif.

Ketiga, jika aku memang memilih, untuk bersama bang Andi, bagaimana caranya agar Kamal tidak mengharapkan aku lagi?

Aku ingin ia melupakanku. Meski itu artinya, aku menggores hatiku sendiri.

 Mengapa cinta menjadi sebegitu rumitnya, ya?

Ataukah ini semua hanya perasaanku saja?

****

"bang Andi benar mencintaiku?" tanyaku dengan nada serius. Saat itu kami berada di tepian sebuah pantai yang indah.

Sesuai janjinya, bang Andi memang mengajakku, untuk weekend bersamanya.

Dan aku memilih pantai ini, karena aku ingin membicarakan hal penting dengannya.

"apa hal itu masih harus dipertanyakan?" bang Andi balik menanyaiku. Dan itu wajar, sih.

Karena setelah apa yang dilakukan selama ini oleh bang Andi untukku, harusnya aku sudah bisa menyimpulkannya sendiri. Bahwa betapa bang Andi sangat mencintaiku.

"aku ingin kita pindah dari sini, bang." ucapku memulai rencana yang telah aku siapkan sejak beberapa hari yang lalu.

"kemana? dan kenapa?" tanya bang Andi, keningnya sedikit berkerut. Mungkin ia tidak menduga, aku akan melontarkan kalimat tersebut.

"aku ingin kita pindah ke luar negeri, bang. Dimana tidak ada seorang pun yang mengenal kita. Hingga kita bisa lebih bebas, untuk berhubungan.." ucapku lagi, menyampaikan rencanaku.

"disini kita juga bebas berhubungan kok, Jo." balas bang Andi datar.

"tapi, bang. Aku ingin kita pindah dari sini..." suaraku sedikit memohon.

"iya, tapi kenapa, Jo? Beri aku satu alasan yang lebih masuk akal. Karena ini sesuatu yang besar, kita gak pindah begitu aja, Jo. Banyak yang harus dipertaruhkan disini.." kali ini bang Andi bersuara lantang.

'karena aku ingin menghindar dari Kamal.' bathinku.

Aku ingin Kamal melupakanku, dan aku akan belajar untuk melupakannya.

Aku hanya berharap, dengan tidak pernah bertemu lagi, bisa membuat Kamal akhirnya melupakanku. Aku terus membathin.

"karena ia berusaha untuk menghindariku, bang Andi..."

sebuah suara yang cukup lantang mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara itu.

Seorang cowok kekar berdiri di belakang kami.

"Kamal..." desahku pelan.

"kenapa kamu ada disini?" tanyaku spontan, kali ini suaraku cukup keras.

"aku yang mengundangnya kesini.." kali ini bang Andi angkat bicara. Ia kembali mengalihkan pandangannya, menatap luasnya lautan.

Suara deburan ombak terdengar kembali, tapi aku tak melepaskan tatapanku dari Kamal, yang mulai melangkah mendekat.

Kamal kemudian berdiri di depan kami berdua.

Aku masih menatap Kamal dengan penuh tanya, kemudian bergantian menatap bang Andi, dengan pertanyaan yang hampir sama.

Kulihat mereka berdua tersenyum.

"aku udah cerita semuanya sama bang Andi, Jo. Jadi kamu gak usah khawatir." Kamal yang berbicara.

"yah, akhirnya aku sadar, kalau cinta bang Andi buat kamu jauh lebih besar dari yang aku rasakan, Jo." Kamal melanjutkan.

"bang Andi sudah berani untuk bertindak tegas, dengan menceraikan istrinya. Tapi aku masih berdiri dalam keragu-raguan. Jadi kamu gak usah khawatir, dan gak usah juga harus pindah negara, karena aku tidak akan pernah lagi mengganggu hubungan kalian berdua."

"aku mundur, Jo. Dan seperti saran kamu, aku akan belajar lagi untuk mencintai istriku. Aku berharap, kalian berdua bahagia. Dan aku kesini, untuk mengucapkan selamat." setelah berkata demikian, Kamal mulai memutar tubuhnya, untuk segera melangkah meninggalkan kami.

Setelah beberapa langkah, Kamal memutar tubuhnya kembali, lalu berucap lagi,

"oh, ya, Jo. Mungkin kamu lupa satu hal, aku dan bang Andi adalah sepupu. Jadi kamu jangan berharap, untuk bisa menghindari pertemuan denganku. Karena aku satu-satunya yang tahu hubungan kalian, dan aku satu-satunya tempat curhat bang Andi.."

Kamal mengakhiri kalimatnya, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi.

Aku melepaskan tatapanku dari punggung Kamal, yang melangkah mantap meninggalkan kami.

Aku menoleh menatap bang Andi, yang masih saja berpura-pura menatap hempasan ombak di pinggiran pantai.

"kenapa bang Andi gak cerita?" tanyaku.

"cerita apa?" suara bang Andi, sok cool.

"kamu gak usah pura-pura, bang.." balasku pelan.

"kamu gak pernah nanya, sih.." jawab bang Andi, kali ini ia menatapku lembut.

Mata kami beradu pandang. Tidak ada lagi raut kecewa di wajah itu, apa lagi guratan cemburu di matanya.

"sudah berapa lama bang Andi tahu, kalau aku pernah berhubungan dengan Kamal?" tanyaku lagi.

"dua hari yang lalu, Kamal cerita, ketika aku curhat lagi padanya, tentang kamu. Dia menceritakan semuanya." jelas bang Andi.

"abang gak marah?" tanyaku lagi.

"gak! ngapain marah?! Setiap orang punya masa lalu, setiap orang pasti pernah berbuat salah. Yang terpenting bagaimana hidup kita ke depannya. Dan lagi pula, aku terlalu mencintai kamu, Jo."

setelah berucap demikian, bang Andi mengusap pipiku lembut.

"kamu terlalu sempurna, Jo. Dan aku merasa sangat beruntung, bisa bersama kamu.." bang Andi berucap lagi.

Perlahan hatiku pun akhirnya luluh. Cinta bang Andi terlalu besar dan tulus, untuk tidak aku terima.

Dan akhirnya aku pun kembali jatuh, dalam pelukan hangat bang Andi.

Pacar pertamaku sekaligus pacar terakhirku. Semoga!

****

Sekian...

Saat aku sedang mabuk ...

Untuk kesekian kalinya, aku menghempaskan napas berat. Rasanya ini semua sangat berat bagiku.

Aku ingin menyerah, aku ingin berhenti.

Tapi waktu terus berputar, hidup akan terus berjalan. Tak peduli kita siap atau tidak.

Bayangan peristiwa menyakitkan itu, melintas kembali di benakku. Walau aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Tapi tetap saja, semua itu terlalu berat untuk aku lupakan.

Beberapa tahun silam, aku berkenalan, dekat dan jatuh cinta kepada seorang gadis manis bernama Dinda.

Setelah lebih setahun pacaran, kami pun menikah.

 

Cerita gay sang penuai mimpi

Dinda seorang guru, meski masih berstatus honorer. Sedangkan aku sendiri bekerja di sebuah perusahaan swasta, sebagai seorang karyawan biasa.

Kehidupan kami secara ekonomi boleh dibilang cukup sederhana. Kami merasa bahagia, meski kami masih tinggal di rumah kontrakan.

Hingga anak pertama kami pun lahir. Seorang anak laki-laki. Kebahagiaan kami pun semakian terasa lengkap.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah tentunya. Demikian juga Dinda, sebagai seorang istri dan Ibu, Dinda cukup perhatian dan penuh kasih sayang.

Rumah tangga kami baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang terlalu berarti.

Kebutuhan biologis kami juga terpenuhi dengan baik.

Tapi, setelah hampir empat tahun, usia pernikahan kami. Tiba-tiba sebuah peristiwa hebat menggoncang keutuhan rumah tangga kami.

Tak pernah kusangka sebelumnya, kalau ternyata Dinda telah mengkhianatiku.

Ternyata diam-diam istriku sudah punya selingkuhan. Seorang rekan kerja sesama gurunya.

Dan yang lebih parah lagi, laki-laki selingkuhannya itu juga sudah punya istri dan anak.

Aku tak sengaja memergoki mereka saat sedang berduaan di rumah.

Peristiwa tersebut tentu saja mengguncang semuanya, terutama jiwaku sebagai seorang suami.

Terlalu berat rasanya untuk menceritakan kembali peristiwa itu. Terlalu menyakitkan bagiku.

Namun yang pasti, aku telah menceraikan istriku. Dan aku membawa serta anakku dari rumah kontrakkan itu.

Aku tinggal untuk sementara di rumah orangtuaku, yang merasa turut perihatin atas peristiwa yang aku alami.

Hari-hariku jadi terasa gelap. Aku seperti kehilangan separoh napasku.

Biar bagaimana pun aku sangat mencintai istriku, namun perbuatannya sungguh sudah tidak bisa dimaafkan lagi.

Karena frustasi, aku jadi sering menghabiskan malam-malamku dengan minum minuman keras bersama beberapa orang teman.

Aku jadi sering masuk bar, dan keluar dalam keadaan mabuk parah.

Pernah pada suatu malam, aku minum terlalu banyak, hingga aku benar-benar mabuk dan tak sadarkan diri.

Saat terbangun dan setengah sadar aku sudah berada di dalam sebuah kamar hotel.

Aku dalam keadaan setengah telanjang, dan di sampingku terbaring seorang pria masih muda. Pria itu juga dalam keadaan tanpa baju. Ia terlihat tertidur pulas.

Aku coba berusaha mengingat peristiwa yang aku lalui malam itu.

Terlintas kembali di pikiranku, saat seeorang coba membawaku keluar dari bar, lalu membawaku masuk ke dalam sebuah mobil.

Tak lama kemudian, orang itu membawaku masuk ke dalam sebuah gedung. Menurut perkiraanku, gedung itu, adalah sebuah hotel.

Lalu kemudian pria tersebut, melucuti pakaianku satu persatu.

Aku hanya pasrah tak berdaya. Sampai akhirnya aku merasakan tubuhku melayang. Ada sebuah sensasi keindahan yang aku rasakan.

Sebuah keindahan yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, semenjak aku bercerai dengan istriku.

Semakin lama aku semakin terasa melayang. Pria itu terus berada diatasku, dengan penuh senyuman.

Aku merasakan keindahan itu sungguh luar biasa, meski aku hanya terbaring pasrah.

Sampai akhirnya, aku benar-benar terkulai lemas tak berdaya. Hingga akhirnya aku pun tertidur pulas.

Aku menatap pria yang tertidur di sampingku. Pria itu berwajah manis, dengan tubuh yang berotot kekar.

Karena merasa masih sangat mengantuk, aku mencoba memejamkan mata kembali, dan tertidur lagi.

Saat terbangun lagi beberapa saat kemudian, aku melihat pria tadi sudah berpakaian rapi sehabis mandi.

"kamu siapa?" tanyaku penasaran.

"aku Hendrik, bang. Aku yang bawa abang kesini." jelas pria itu.

"tadinya aku ingin antar abang pulang ke rumah, tapi kondisis abang sangat parah. Jadi aku membawa abang kesini.." lanjut pria itu menjelaskan.

"lalu apa yang kamu lakukan sama saya?" tanyaku lagi.

Dalam pikiranku terlintas kembali peristiwa semalam bersama pria kekar itu.

"maaf, bang. Aku gak bisa menahan diri. Habisnya abang ganteng, sih. Dan juga sangat atletis. Aku jadi terbawa suasana.." jawab Hendrik, sambil tertunduk.

"maksud kamu? Kita...?" tanyaku lagi, dengan menggerakkan tanganku seperti dua paruh burung yang sedang berlaga.

"iya, bang. Dan sepertinya abang juga menikmatinya.." balas Hendrik terdengar lugu.

Aku menghempaskan napas berat. Aku hampir tak percaya dengan apa yang aku dengar.

Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal tersebut?

Sebegitu frustasikah aku? Hingga bisa menikmati hal itu?

Kepala terasa pusing tiba-tiba. Aku memijat kepalaku sendiri beberapa kali.

Lalu kemudian, segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

*********

Hari-hari berikutnya, pikiranku justru dihantui oleh peristiwa manisku bersama Hendrik.

Entah mengapa bayangan itu selalu melintas.

Awalnya aku merasa marah pada Hendrik, karena telah memanfaatkan kesempatan itu.

Namun lama-kelamaan aku justru merasa menginginkannya kembali.

Untuk itu, aku mencoba menghubungi Hendrik kembali.

Kami minum bersama di sebuah bar, tempat biasa aku nongkrong.

Setelah setengah mabuk, kami pun sepakat untuk pindah ke sebuah hotel yang berada tidak begitu jauh dari bar tersebut.

Malam itu, aku membiarkan Hendrik, melakukan keinginannya padaku. Aku bahkan sangat menikmatinya.

Berkali-kali aku dan Hendrik melakukan pendakian bersama. Hendrik cukup pandai membuatku terbuai. Rasanya memang beda. Sensasi yang aku rasakan jauh berbeda dan lebih indah dari pada saat aku bersama istriku dulu.

Aku merasa seperti menemukan sesuatu yang baru. Aku merasa seperti menemukan sisi lain dari diriku yang selama ini aku pendam.

Kehadiran Hendrik benar-benar merubah diriku.

Dan sejak saat itu, aku dan Hendrik jadi semakin sering bertemu. Kami jadi semakin sering melakukannya.

Kini hari-hariku jadi terasa berbeda. Entah mengapa aku merasa bahagia bersama Hendrik.

Kami bahkan sekarang, tidak perlu minum-minum dulu, untuk melakukan hal tersebut.

Hubunganku dan Hendrik, semakin serius. Perlahan rasa sayang pun hadir di hatiku untuk Hendrik. Aku mulai menyukainya. Bukan lagi sekedar pelepas dahaga bagiku.

Hendrik orang yang baik dan juga sabar.

Dia ternyata seorang koki di sebuah restoran terkenal. Penghasilannya pun lumayan, hingga ia sudah bisa membeli rumah sendiri.

Hendrik sering mengajakku main di rumahnya. Rumah yang sederhana namun cukup nyaman.

"Setelah lulus kuliah lima tahun lalu, aku pun merantau ke kota ini, bang. Kebetulan aku memang sudah diterima kerja di sebuah restoran. Orangtua dan keluargaku semuanya ada di kampung, jadi aku hanya tinggal sendirian disini.." jelas Hendrik, saat pertama kali ia mengajakku ke rumahnya.

Sekarang Hendrik memang sudah berusia hampir kepala tiga, sedangkan aku sendiri sudah berusia 38 tahun.

Jarak usia kami, tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap saling tertarik.

Aku pun menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam hidupku pada Hendrik.

"jadi sekarang anak abang dimana?" tanya Hendrik.

"dia bersama orangtuaku. Aku juga tinggal disana sebenarnya, namun aku memang jarang pulang. Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar. Pulang kerja, aku langsung menuju bar untuk minum-minum." aku menjelaskan lagi.

"abang mau gak? Janji untuk gak minum-minum lagi.." ujar Hendrik tiba-tiba, saat kami terdiam beberapa saat.

Hari itu hari minggu, aku sengaja bertamu ke rumah Hendrik. Selain merasa kangen, aku juga sebenarnya merasa sangat nyaman saat bersama Hendrik.

"kamu sendiri kenapa suka minum-minum?" tanyaku seakan mengabaikan ucapannya.

"sebenarnya aku gak suka minum, bang. Cuma saat itu, sudah beberapa malam, aku sering melihat abang keluar masuk bar tersebut. Restoran tempat aku bekerja tidak jauh dari situ, bang. Jadi kalau pulang aku selalu lewat situ."

"setiap malam aku melihat abang keluar dalam keadaan mabuk parah. Hingga suatu malam, aku nekat masuk ke dalam, dan melihat abang lagi minum sendirian. Aku yakin, abang pasti sedang bermasalah. Tapi aku tidak berani untuk mendekat."

"hingga akhirnya, abang pun tak sadarkan diri karena terlalu mabuk. Saat itulah, aku menghampiri abang dan membawa abang keluar dari situ. Hingga peristiwa di hotel itu terjadi.." ucap Hendrik menjelaskan.

"tapi selanjutnya kamu juga ikut minum sama saya?" tanyaku lagi.

"iya. Itu karena saya mencoba menghargai abang. Dan lagi pula, jujur ya, bang. Sejak peristiwa pertama kali kita di hotel itu, aku semakin tertarik pada abang. Jadi jika dengan minum-minum bersama abang, bisa membuat kita menjadi dekat, aku pun menurutinya." Hendrik menarik napas sejenak.

"lagi pula, sehabis minum, aku juga akan mendapat jatah dari abang. Sesuatu yang sangat aku dambakan, semenjak pertama kali kita melakukannya. Dan lama-kelamaan aku menjadi sayang sama abang.." lanjut Hendrik kembali, yang membuatku menjadi tak menentu.

"aku juga sayang sama kamu, Hend.." ucapku tanpa sadar. Tapi aku merasa lega mengungkapkannya, karena memang itu yang aku rasakan saat ini.

"aku ingin kita menjalin hubungan yang lebih serius, bang. Tapi abang harus janji untuk tidak minum-minum lagi. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik abang. Dan mengobati semua luka di hati abang.."

ucapan Hendrik itu, benar-benar membuatku tersanjung.

Meski aku sadar, hubungan kami tidak akan mendapat restu dari siapapun. Tapi kami saling menyayangi, dan hal itu tentu saja membuat kami bahagia.

Tak penting orang lain setuju atau tidak, yang penting kami bahagia dengan hubungan kami.

Dan itu sudah cukup bagiku.

Rasa perih karena dikhianati istriku, kini mulai menghilang. Kehadiran Hendrik, benar-benar membuat aku bahagia.

Hendrik mampu memberiku sesuatu yang luar biasa. Dan aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya.

Meski tak sempurna, cinta ini terasa begitu indah bagiku.

Aku ingin selamanya bersama Hendrik. Dan aku yakin, Hendrik tidak akan pernah mengkhianatiku.

Kami pun saling mendekap erat, menyatu dalam cinta yang indah.

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate