Teman lamaku ...

"istriku hamil, Jo..."

bagai mendengar suara petir di siang hari, saat bang Andi mengucapkan kalimat barusan.

Aku mencoba untuk tidak percaya, namun suara itu cukup lantang. Dan aku sakit karenanya.

Padahal bang Andi sudah berjanji, jika ia tidak akan pernah sama sekali menyentuh istrinya.

Dia berjanji, pernikahannya dengan sang istri hanyalah sebuah status. Pernikahan itu terjadi karena ia harus memenuhi keinginan kedua orangtuanya.

 

Cerita gay

 

Aku dan bang Andi memang sudah pacaran bertahun-tahun, jauh sebelum ia menikah, bahkan jauh sebelum ia ditunangkan.

Hubungan kami sangat indah. Kami tidak bisa terpisahkan.

Namun karena bang Andi sudah berumur kepala tiga dan juga sudah mempunyai kehidupan yang mapan, pihak keluarganya terutama sang Ibu, bersikeras agar bang Andi segera menikah.

Bang Andi berusaha menolak awalnya. Bahkan kami sempat kabur beberapa bulan, hanya untuk menghindari perjodohan itu.

Tapi akhirnya bang Andi tak bisa menolak lagi, karena ibunya jatuh sakit.

Dengan sangat terpaksa, bang Andi pun akhirnya menikah dengan gadis pilihan orangtuanya.

"kita akan tetap bersama, Jo. Aku akan menceraikan istriku, setelah pernikahan kami berjalan beberapa bulan nanti. Dan aku tidak akan pernah menyentuhnya.." begitu janji bang Andi waktu itu, beberapa hari menjelang pernikahannya.

Aku, walau dengan perasaan berat dan hati yang terluka, harus merelakan bang Andi menikah.

Berhari-hari aku menangisi semua itu. Rasanya begitu sakit, membayangkan pria yang aku cintai hidup bersama orang lain.

Aku tidak rela. Aku terlalu mencintai bang Andi. Dan begitu sebaliknya.

Tapi kami memang tidak bisa melawan takdir.

Setelah menikah, bang Andi, memang masih terus berhubungan denganku. Kami masih terus bersama, meski tentu saja, waktu pertemuan kami sudah semakin singkat dan semakin jarang.

Meski terasa sakit, aku mencoba menjalani hubungan tersebut. Setidaknya aku masih memegang janji bang Andi, untuk segera menceraikan sang istri.

Namun setelah beberapa bulan, bang Andi tak kunjung jua bercerai.

"sampai kapan kita akan seperti ini, bang? Katanya abang akan menceraikan istri abang secepatnya.." ucapku suatu hari, menuntut janji bang Andi.

"kamu sabar ya, Jo. Karena ini gak segampang itu.." jawab bang Andi beralasan.

Aku masih mencoba untuk tetap bersabar. Setidaknya bang Andi masih selalu punya waktu untukku, meski sebenarnya terasa sangat singkat bagiku.

Hingga akhirnya kalimat barusan keluar dari mulut bang Andi. Kalimat yang terdengar sangat menyakitkan bagiku.

"istriku hamil, Jo.." terngiang kembali ucapan bang Andi tadi di pikiranku.

"tega kamu, bang.." ucapku akhirnya dengan nada pilu.

Setelah berucap demikian, aku segera menstater motorku, lalu memacunya dengan cepat, keluar dari kebun sawit tersebut.

Berkali-kali bang Andi berteriak memanggilku. Aku tak mempedulikannya.

Aku terus saja memacu motorku keluar dari kebun sawit tersebut. Kebun sawit itu, memang tempat biasa kami bertemu pada siang hari, jika ada hal penting yang ingin kami bicarakan.

Namun jika malam hari, biasanya kami akan bertemu di hotel. Dan saling melepaskan rindu. Menumpahkan segala cinta, serta menyatu dalam lautan keindahan yang penuh dengan bunga-bunga asmara.

Sesampai di rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar kecewa dengan bang Andi.

Dia telah mengingkari janjinya.

Saat ia akan menikah dulu, aku memang terluka, tapi tak separah ini.

Sekarang rasanya hatiku seperti di cabik-cabik.

Sebenarnya bukan karena istrinya hamil, tapi terlebih karena bang Andi ternyata tidak bisa menepati janjinya.

Dalam pikiranku, terlintas bayangan tubuh kekar bang Andi yang tidur bersama istrinya. Dan itu membuatku semakin sakit.

Berkali-kali aku berusaha menepis bayangan itu, namun selalu saja hal itu terus menghantuiku.

Bang Andi, sudah berkali-kali mencoba menghubungiku dan mengirimkan pesan singkat. Namun aku mengabaikannya.

Aku benci pria itu sekarang, aku tidak ingin berhubungan lagi dengannya.

Berbulan-bulan aku bersabar menunggunya, berharap ia akan berpisah dari istrinya, lalu kami akan bersama lagi seperti dulu.

Tapi sekarang..

Sekarang istrinya telah hamil, hal itu tentu saja akan membuat kemungkinan ia bercerai dengan istrinya semakin tidak mungkin.

Harapanku tiada lagi. Dan aku tidak bisa menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri.

Karena pasti waktunya untukku akan sangat terbatas.

Untuk itu, aku pun belajar melupakan bang Andi. Aku harus bisa melangkah tanpanya.

Tidak mudah memang, karena biar bagaiamanapun, hubungan ku dengan bang Andi sudah sangat dalam. Kami telah berhubungan bertahun-tahun. Dan kami juga sudah teramat sering mendaki puncak bersama.

Harus aku akui, kalau bang Andi memang seorang pria yang perkasa dan sangat hebat. Aku selalu dibuatnya ketagihan. Tapi justru karena itu, aku tidak rela harus berbagi dirinya dengan orang lain, sekalipun itu istrinya.

Aku lebih baik tidak bersamanya, dari pada harus menjadi yang kedua.

*******

Berbulan-bulan aku berjuang untuk bisa melupakan bang Andi, meski bang Andi sendiri selalu berusaha untuk menemuiku. Namun aku juga selalu berusaha untuk menghindarinya.

Hingga akhirnya bang Andi sepertinya sudah menyerah. Dia sudah tidak lagi menghubungiku.

Mungkin juga ia sudah terlalu nyaman bersama istrinya, apa lagi saat ini, kehamilan istrinya sudah membesar.

Aku juga tidak peduli dengan semua itu sekarang. Aku mulai menikmati kesendirianku, menikmati indahnya kebebasan.

Sampai suatu saat, aku bertemu dengan seorang teman lamaku.

Namanya Kamal. Dia pria manis yang bertubuh kekar.

Sebenarnya aku sudah sangat mengenal Kamal, bahkan jauh sebelum aku pacaran dengan bang Andi.

Kamal adalah teman kuliahku dulu. Kami sempat dekat, tapi akhirnya harus terpisah, karena Kamal kemudian menikah, setelah kami sama-sama lulus kuliah.

Sejak menikah, aku tidak pernah lagi bertemu Kamal. Aku juga tidak mencari tahu keberadaannya, karena selama itu, hubungan kami hanya sebatas teman biasa.

Meski sejujurnya, aku sangat mengagumi sosok Kamal.

"aku sudah bercerai dari istriku.." begitu ucap Kamal waktu itu, ketika kami pertama kali bertemu lagi, setelah sekian tahun tak berjumpa.

"kenapa?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"karena ia selingkuh, Jo. Aku menceraikannya, apa lagi pernikahan kami memang belum dikaruniai anak.." jelas Kamal terdengar lirih di telingaku.

"oh.." desahku membulatkan bibir.

"kamu sendiri, udah nikah?" tanya Kamal kemudian.

"belum, Mal. Aku memang belum ada rencana untuk menikah.." jawabku.

"kenapa?" tanya Kamal lagi.

"karena aku memang suka kebebasan, Mal. Dan lagi pula aku mana suka perempuan.." ucapku lugas, yang membuat Kamal menolehku seketika.

"maksud kamu?" tanya Kamal dengan kening berkerut.

"aku gay, Mal. Dan aku tidak ingin menikah bila hanya untuk sebuah status.." balasku dengan nada santai. Aku mungkin sudah terbiasa berterus terang seperti itu, jika merasa sudah cukup dekat dengan seseorang.

Kamal terlihat sedikit kaget, meski aku yakin, ia sudah menduganya dari awal.

Karena biar bagaimanapun, pada saat kami kuliah dulu, aku juga sering menggoda Kamal.

Kamal sampai saat ini, masih cukup menarik secara fisik. Tubuhnya bahkan sekarang jadi semakin atletis dan seksi, meski ia sudah berumur sekitar 28 tahun.

"aku memang rajin olahraga, apa lagi semenjak bercerai dari istriku. Biasanya untuk sekedar menghilangkan kesepianku.." jelas Kamal, ketika suatu hari aku memuji bentuk tubuhnya itu.

Aku hanya mengangguk-angguk pelan. Semakin hari, aku semakin menyukai Kamal.

"kamu gak risih jalan sama aku, Mal?" tanyaku kemudian, sedikit penasaran, sih.

"gak, Biasa aja. Justru aku merasa nyaman jalan sama kamu, Jo. Kamu baik padaku.." jawab Kamal dengan nada pelan.

"aku suka sama kamu, Mal.." ucapku lagi, kami ngobrol di sebuah kafe.

Kamal menatapku tajam, penuh tanya.

"apa yang membuat kamu menyukai saya?" tanya Kamal akhirnya.

"ya... kamu manis, baik dan yang paling penting, kamu sangat kekar, Mal. Aku jadi suka berkhayal tentang kamu. Aku jadi penasaran, seperti apa rasanya kamu, Mal.." jawabku sangat terbuka.

Kamal tertawa ringan, kemudian tersenyum manis.

"kamu mau coba gak?" tanya Kamal dengan nada menggoda.

Aku menatap Kamal tajam, mencoba mencari setitik kejujuran dari kalimat yang ia lontarkan dengan nada berkelakar barusan.

"emang kamu mau?" tanyaku akhirnya, kali ini benar-benar ingin tahu dan sangat berharap, sih.

Kamal tersenyum manis lagi. Ia menarik napas dalam.

"aku sudah lebih setahun bercerai dari istriku, Jo. Sudah lebih setahun pula, aku tidak pernah melakukan hal tersebut. Lagi pula, aku juga penasaran, sih. Bagaimana rasanya melakukan hal itu dengan seorang laki-laki.." ucap Kamal, kali ini suaranya terdengar serius.

Aku pun tersenyum, saat menyadari kalau Kamal ternyata serius dengan ucapannya barusan.

Kami pun sepakat, untuk melanjutkan obrolan kami tersebut di sebuah hotel.

"aku gak tahu nih, Jo. Mesti ngapain..?" ucap Kamal, saat kami sudah berada di dalam kamar hotel.

"udah... kamu nikmatin aja, biar aku yang berperan kali ini ..." balasku dengan penuh semangat.

Kamal akhirnya pasrah. Pria kekar itu sedikit merinding dan memejamkan mata.

Aku yang memang sudah sangat lama penasaran dengan Kamal, mulai beraksi.

Apa lagi aku juga sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut. Semenjak hubunganku dengan bang Andi kandas, beberapa bulan yang lalu.

Malam itu, aku merasakan sesuatu yang luar biasa dari Kamal.

Meski pun awalnya ia merasa risih, namun lama-kelamaan ia mulai menikmati hal tersebut.

Kami pun akhirnya mulai mendaki bersama.

Aku melayang serasa terbang di awan, ternyata Kamal jauh lebih perkasa dari bang Andi.

Dia mampu membuatku terbang berkali-kali, dan aku sangat menikmatinya.

Hingga akhirnya, kami pun terhempas bersama.

"kamu luar biasa, Mal.." bisikku di telinga Kamal, ketika keindahan itu berakhir.

"kamu juga hebat, Jo..." balas Kamal juga berbisik.

"ternyata ini jauh lebih indah dari yang pernah aku rasakan sebelumnya bersama istriku ..." lanjut Kamal lagi dengan senyum mengembang.

"jadi gimana? Kita jadian ya..." ucapku meminta.

"hmmmm... kamu tu, ya.." balas Kamal, sambil mencubit hidungku lembut.

Aku tertawa ringan, sambil melepaskan tangan Kamal dari hidungku.

"kamu mau gak?" tanyaku lagi penuh harap.

Kamal bangkit dari rebahannya, lalu kemudian berdiri menuju kamar mandi.

Setelah beberapa saat, Kamal keluar dari kamar mandi, ia terlihat habis mandi.

"kita jalani seperti ini dulu ya, Jo..." ucap Kamal akhirnya, sambil ia memakai pakaiannya kembali.

"kamu mau kemana?" tanyaku, melihat Kamal yang sudah rapi kembali.

"aku mau pergi ..." balas Kamal ringan.

"kamu gak nginap?" tanyaku lagi.

"gak, Jo. Aku ada keperluan lain. Sampai jumpa lain waktu, ya..." setelah berucap demikian, Kamal mulai melangkah menuju pintu dan segera keluar.

Aku masih terbaring malas di atas tempat tidur itu. Sebenarnya aku berharap, bisa melakukannya lagi bersama Kamal malam itu. Tapi Kamal sepertinya tidak mengharapkan hal tersebut.

Aku semakin menyukai Kamal. Ia terasa begitu sempurna bagiku. Semua yang terjadi malam itu bersama Kamal terasa sangat indah. Aku semakin terbuai dalam cintaku kepada Kamal.

***********

Beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu. Kami bertemu di hotel yang berbeda.

Kamal kembali memuatku melayang dan terbang sangat tinggi dan indah.

Namun sekali lagi, ia pergi tanpa menginap.

Selalu seperti itu. Setiap kali kami bertemu, Kamal selalu pulang duluan.

Hal itu terus terjadi hingga berbulan-bulan.

Sampai akhirnya aku tahu, kalau Kamal ternyata selama ini membohongiku.

Ia ternyata belum bercerai dari istrinya, dia bahkan ternyata sudah punya anak dari pernikahannya.

Aku tidak tahu mengapa ia harus berbohong.

Namun yang pasti, Kamal tiba-tiba menghilang, semenjak aku mengetahui kebohongannya itu.

Aku tidak bisa menghubunginya, aku tidak bisa lagi menemuinya.

Kini aku kembali sendiri.

Mungkin sudah menjadi nasibku seperti ini. Harus selalu dibohongi oleh orang yang aku cintai.

*****

Part 2

Sebulan setelah Kamal, teman lamaku itu, tiba-tiba menghilang, ia ternyata kemudian datang menemuiku.

Dia meminta maaf, karena menghilang tanpa kabar. Dan juga telah membohongiku selama ini.

Aku yang sudah terlanjur kecewa oleh Kamal, tentu saja, tidak dengan begitu mudah menerima permintaan maafnya itu.

Namun setelah Kamal akhirnya menjelaskan semuanya, hatiku mulai melunak.

"aku tahu, aku salah, Jo. Aku juga tahu, kamu kecewa. Namun tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya." begitu ucap Kamal akhirnya, dengan nada memelas.

Aku memang marah dan kecewa sama Kamal, namun kenangan indah saat bersamanya, melintas di pikiranku, yang membuatku akhirnya, membiarkan ia bercerita dan menjelaskan semuanya.

"sebenarnya, sudah sejak lama aku menyukai kamu, Jo. Sudah sejak kita masih kuliah dulu.." begitu Kamal memulai ceritanya.

Aku menatapnya, setengah tak percaya. Namun aku hanya diam, membiarkan Kamal untuk terus melanjutkan.

"aku tahu, ada yang salah dengan diriku. Sejak kita saling kenal, dan mulai dekat, perasaan suka perlahan mulai tumbuh di hatiku. Namun aku tak berani untuk berterus terang sama kamu. Aku takut salah paham akan sikap baikmu padaku, selama kita berteman."

"untuk itu, aku hanya bisa memendam perasaanku padamu, Jo. Meski kadang terasa sakit padaku. Lalu kemudian, aku memutuskan untuk menikah. Bukan karena aku benar-benar menginginkannya.."

Kamal menarik napas, ia menghirup minuman dingin, yang tadi kami pesan.

Kami memang bertemu di sebuah kafe. Kamal yang mengajaknya. Katanya, biar lebih santai untuk ngobrol.

"tapi aku menikah, hanya untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Aku berharap, dengan menikah aku bisa melupakan kamu, Jo. Dan tentu saja aku berharap, aku bisa menutupi siapa aku sebenarnya.."

lanjut Kamal, dengan suara mulai terdengar parau.

Aku memperhatikan wajah manis itu. Wajah itu terlihat murung.

"sejujurnya, sebelum dengan kamu, aku belum pernah sekalipun melakukan hal tersebut dengan laki-laki manapun. Aku berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. Dan selalu berusaha untuk melupakan kamu, Jo."

"tapi ternyata aku tidak benar-benar bisa melupakan kamu, Jo. Hari-hariku terasa berat. Bertahun-tahun aku hidup dalam kemunafikan. Sampai akhirnya aku tahu, kalau kamu juga 'sakit' seperti diriku."

Kamal menghentikan kalimatnya, lalu menatapku sendu.

"kamu tahu dari mana, kalau aku juga sakit?" tanyaku sedikit penasaran.

Karena seingatku, aku mengatakan pada Kamal, kalau aku gay, justru setelah kami bertemu kembali, setelah sekian tahun terpisah.

"maaf, Jo. Sebenarnya, bang Andi, yang pernah jadi pacarmu itu, adalah sepupuku. Meski kami tidak begitu dekat, tapi bang Andi pernah cerita padaku, saat ia dipaksa menikah dulu. Ia berbicara jujur padaku, kalau ia sebenarnya tidak ingin menikah, karena ia punya hubungan dengan kamu.."

kalimat Kamal barusan, membuatku sedikit terperangah. Ternyata dunia tidak begitu luas. Bathinku.

"awalnya aku berpikir bahwa Jo yang bang Andi maksud itu, bukan kamu. Tapi karena penasaran, aku meminta bang Andi untuk memperlihatkan poto kamu. Saat itulah aku sadar, kalau kamu juga 'sakit'. Tapi aku tidak mengatakan pada bang Andi, kalau aku sebenarnya mengenal kamu.."

Kamal melanjutkan lagi ceritanya.

"aku sempat berpikir, untuk menemui kamu, dan menyatakan tentang perasaanku padamu. Tapi aku juga tahu, kalau bang Andi sangat mencintai kamu. Aku tak ingin merusak hubungan kalian berdua."

"aku memilih untuk tetap diam dan tetap memendam perasaanku. Sampai kemudian aku tahu, kalau hubungan kamu dan bang Andi telah berakhir. Bang Andi sempat curhat juga padaku, tentang hal itu. Sepertinya ia sangat kecewa, dengan keputusanmu itu. Tapi ia juga sadar kalau ia salah.."

Kamal menatapku lagi beberapa saat, kemudian kembali menghirup minumannya. Lalu menarik napas dalam.

"saat itulah, aku akhirnya nekat untuk menemui kamu, Jo. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Setidaknya aku ingin kita kembali dekat. Dan keterus-teranganmu padaku waktu itu, membuatku semakin yakin untuk bisa memilikimu.."

Kamal mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas panjang.

"lalu kenapa kamu berbohong dengan mengatakan, kalau kamu telah bercerai dari istri kamu?" tanyaku, sambil menatapnya tajam penuh tanya.

"karena bang Andi pernah cerita, kalau kamu tidak suka berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri. Untuk itu, aku terpaksa berbohong, agar kamu tidak menghidariku." jawab Kamal.

"tapi akhinya aku sadar, kalau itu sebuah kesalahan. Dan saat aku ingin menjelaskan semuanya, kamu keburu sudah mengetahui hal tersebut." lanjut Kamal lagi, kali ini ia menunduk.

"lalu kenapa kamu malah menghilang, Mal?" tanyaku kemudian

"karena akhirnya istriku mulai curiga padaku, Jo. Dan aku tidak ingin merusak rumah tanggaku. Untuk itu, aku harus menghindari untuk bertemu kamu lagi."

"lagi pula, kamu sudah tahu, kalau aku sebenarnya belum bercerai dan sudah punya anak. Jika pun kita bertemu, kamu pasti sangat marah padaku. Dan aku tak sanggup melihat kamu marah dan kecewa, Jo." jelas Kamal.

"lalu kamu pikir dengan menghilang tanpa kabar seperti itu, bisa menyelesaikan masalah? Bisa membuat aku tidak kecewa dan marah?" nadaku sedikit meninggi, sambil terus menatap Kamal tajam.

"iya, aku tahu. Karena akhirnya aku memutuskan untuk menemui kamu lagi, Jo. Aku ingin meminta maaf, atas semuanya.." lirih suara itu di telingaku.

"dan karena kamu masih tinggal bersama istrimu saat itu, makanya kamu tidak pernah mau menginap bersamaku?" tanyaku, seolah mengabaikan ucapan Kamal barusan.

Kamal hanya mengangguk pelan, dengan raut wajah bersalahnya.

"sebenarnya aku sudah curiga. Tapi, ya sudahlah. Itu juga gak penting lagi sekarang.." ucapku mulai munurunkan intonasi suaraku lagi.

"kamu mau memaafkan aku, kan, Jo?" Kamal bersuara lagi, kali ini ia beranikan menatap mataku.

"gak semudah itu, Mal." jawabku, suaraku mulai ketus lagi.

"ada satu pertanyaan lagi, yang sebenarnya ingin aku pertanyakan dari tadi.." lanjutku.

"apa?" suara Kamal memelas kembali.

"kenapa waktu pertama kali kita melakukan hal tersebut, kamu seakan merasa risih? Padahal kalau sebenarnya, kamu memang 'sakit' dan juga menginginkanku, kamu sudah bisa menikmati hal itu dari awal." ujarku, sambil terus menatap Kamal.

"dan kenapa juga, pada awal-awal kita bertemu kembali, setelah terpisah sekian tahun, kamu berlagak bak seorang laki-laki normal, yang tidak punya perasaan apa-apa padaku?" aku melanjutkan.

Kamal kembali tertunduk, bak anak kecil yang dimarahi mama.

"maaf, Jo. Seperti yang aku katakan tadi, itu adalah kali pertamanya aku melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki, jadi aku sebenarnya bukan risih, tapi lebih kepada rasa takut." Kamal berujar juga akhirnya, setelah ia terdiam beberapa saat.

"terus terang, saat itu, aku juga merasa bersalah pada istriku. Karena itu adalah pertama kalinya aku mengkhianatinya.." lanjutnya, suara semakin pelan.

"dan kenapa aku harus berlagak bak cowok normal, itu karena aku memang tidak ingin kamu tahu, perasaanku yang sebenarnya. Karena menurutku, jika kamu tahu, kalau aku juga seorang gay dan juga sangat menyukai kamu, aku takut, kamu malah meminta lebih padaku. Kamu pasti akan meminta aku untuk terus bersama kamu. Padahal, waktu itu, aku belum siap, Jo. Aku belum siap untuk meninggalkan istri dan anakku."

"aku memang menyukai kamu, tapi aku juga tetap ingin bersama keluarga kecilku. Aku tak ingin menyakiti mereka."

sekali lagi Kamal mengakhiri kalimatnya dengan sebuah hempasan napas dalam.

Aku mencoba memahami setiap penjelasa yang diungkapkan Kamal. Aku mencoba mencerna.

Meski sebagian kecil hatiku, tak bisa menerima semua itu dengan mudah. Tapi setidaknya Kamal sudah mengatakan yang sejujurnya, dan ia juga sudah meminta maaf padaku.

Apa pun itu, aku memang harus memaafkan Kamal. Namun untuk kembali menjalin hubungan bersamanya, aku rasa, aku belum siap.

Bukan saja, karena Hatiku masih terasa sakit. Tapi juga karena Kamal, sampai saat ini, masih bersama istrinya.

Dan seperti prinsipku dari awal, aku gak mau menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri. Aku tetap tidak mau menjadi yang kedua.

"jadi sekarang kamu mau memaafkan aku, Jo?" suara Kamal terdengar memelas lagi.

Aku menoleh sejenak, menatap wajah penuh rasa bersalah itu, perlahan ada perasaan iba menyusup di hatiku tiba-tiba.

"iya, aku maafkan kamu, Mal.." ucapku akhirnya, meski dengan suara berat. Aku tak tahu, apa aku benar-benar tulus mengucapkannya. Namun yang pasti, selanjutnya kulihat senyum pria manis itu mengembang.

"apa itu artinya kita bisa bersama lagi?" Kamal berucap lagi, kali ini sambil terus tersenyum seakan penuh harap.

"maaf, Mal! Aku mungkin bisa memaafkan kamu. Tapi untuk kembali bersama, aku rasa aku belum siap, Mal. Kamu tahu, kalau aku tidak suka menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri.." jawabku berusaha tegas.

Kamal kembali memperlihatkan wajah murungnya, senyumnya lenyap kembali.

"aku sangat mencintai kamu, Jo. Hal itu yang aku rasakan selama bertahun-tahun. Tapi aku juga sangat menyayangi keluargaku. Aku tak mungkin meninggalkan mereka, dan aku juga tidak bisa berpisah lagi dari mu, Jo. Aku mohon, kamu jangan membuat aku seperti ini, Jo.." ucap Kamal kemudian panjang lebar.

"aku tahu, Mal. Tapi aku memang tidak bisa." balasku datar,

"aku tidak akan memberi kamu pilihan, Mal. Karena aku tahu, itu sulit bagimu. Tapi jika kamu memang mencintaiku, seharusnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Maafkan aku, Mal.." lanjutku, kali ini suaraku mulai bergetar. Ada gejolak yang tiba-tiba aku rasakan.

Entah mengapa aku merasa sakit, mendengar kalimatku sendiri.

Aku memang mencintai Kamal, apa lagi mengingat apa yang telah kami lewati bersama. Tapi aku tak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Dan aku juga tidak menyakiti hatiku sendiri, dengan menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah beristri.

Aku pernah melewati hal itu, saat bersama bang Andi dulu.

Betapa sakitnya, ketika kita sangat membutuhkannya, tapi dia justru sedang bersama istrinya. Dan kita tidak bisa memaksanya.

Betapa sakitnya, ketika saat bersamanya baru beberapa saat, tiba-tiba sang istri menelpon dan memintanya untuk pulang segera.

Aku sering mengalami hal itu, saat bersama bang Andi. Dan itu terasa sakit.

Aku tak ingin mengulanginya lagi, walau dengan alasan apapun.

Seperti yang pernah aku katakan, menjadi yang kedua itu terlalu menyakitkan.

"kalau kamu berubah pikiran, kamu tahu harus mencariku dimana, Jo..." suara Kamal itu cukup mengagetkanku, karena untuk sesaat pikiranku menerawang.

Setelah berucap demikian, Kamal pamit, lalu meninggalkanku sendirian di dalam kafe tersebut.

'kamu yang harusnya berubah pikiran, Mal..' bisikku tak terdengar siapa-siapa.

********

Berhari-hari setelah pertemuanku dengan Kamal di kafe siang itu, Kamal tak pernah lagi menghubungiku.

Aku pun enggan untuk menghubunginya. Jika ia tetap masih bersama istrinya, aku harus bisa merelakannya dan aku harus belajar untuk melupakannya.

Seperti aku telah mampu merelakan bang Andi dan berhasil untuk melupakannya.

Namun, seperti yang pernah aku katakan, dunia ini tidak begitu luas.

Suatu hari aku tak sengaja bertemu bang Andi kembali. Aku tidak begitu ingat sudah berapa lama sebenarnya kami terpisah, sejak pertengkaran terakhir kami di kebun sawit waktu itu.

Aku juga sengaja pindah rumah dan juga mengganti nomorku, agar bang Andi tidak bisa lagi menghubungi dan menemuiku.

Aku memang seorang perantau, orangtua dan keluarga besarku jauh berada di kampung.

Aku mulai merantau sejak aku kuliah. Aku jarang pulang, karena aku sangat menikmati kebebasanku.

Dan lagi pula, setiap kali pulang ke kampung, keluargaku selalu bertanya kapan aku nikah.

Aku tak bisa menjawabnya lagi dan juga tidak bisa menjelaskannya, kenapa aku masih belum menikah. Padahal usiaku sudah hampir kepala tiga, dan juga sudah punya pekerjaan tetap di sebuah Bank swasta.

Tapi begitulah, aku memang tidak ingin menikah. Aku terlalu menikmati kebebasanku, dan aku juga memang tidak tertarik pada wanita.

Jadi mungkin lebih baik, aku hidup melajang. Setidaknya hingga suatu saat aku sadar, bahwa sebagai laki-laki, aku memang harus menjadi seorang suami dan juga seorang ayah.

Namun untuk saat ini, aku masih ingin menikmati semua ini.

"apa kabar kamu?" ucap bang Andi memulai pembicaraan.

Kali ini kami duduk di sebuah bangku taman.

Terus terang aku merasa canggung, setelah sekian lama tidak duduk berdua bersama bang Andi.

Rasanya kaku, tapi aku mencoba untuk rileks.

Rasa sakit, karena telah dibohongi bang Andi, mungkin telah hilang. Namun getar-getar aneh masih terasa di hatiku, saat menatap wajah tampan bang Andi.

Biar bagaimanapun, bang Andi adalah orang pertama yang mampu meluluhkan hatiku. Meski sejujurnya, ia bukan cinta pertamaku.

"baik, bang.." jawabku dengan nada datar, setidaknya aku berusaha bersikap wajar.

"bang Andi apa kabar?" tanyaku melanjutkan, meski sebenarnya terdengar kaku dan basa-basi.

 "saya baik." jawab bang Andi, "kamu kemana saja selama ini?" lanjutnya bertanya.

Untuk sesaat aku hanya terdiam. Bingung juga mau jawab apa. Karena aku memang tidak kemana-mana, meski sudah banyak peristiwa yang terjadi dalam hidupku, sejak berpisah dengan bang Andi.

"gak kemana-mana, bang. Masih disini-sini aja.." jawabku akhirnya, benar-benar kaku.

Lama suasana hening, baik bang Andi ataupun aku, seperti enggan melanjutkan pembicaraan.

Aku menatap jalanan, yang mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan. Maklum hari sudah mulai sore, para pencari rupiah sudah mulai kembali dari tempatnya bekerja masing-masing.

Apa lagi ini malam minggu, banyak muda-mudi yang memanfaatkan moment tersebut.

"aku sudah bercerai dari istriku.." tiba-tiba bang Andi berucap, dengan suara yang sangat pelan, namun mampu membuatku sedikit terlonjak.

Aku menatap bang Andi kembali.

"sudah dua bulan aku pisah dari istriku." bang Andi melanjutkan kalimatnya.

"aku tak sanggup lagi hidup dalam kemunafikan, Jo. Aku tak pernah bisa mencintai istriku, sekalipun kami telah mempunyai anak. Aku memilih untuk menceraikannya, dari pada ia terus tersiksa karena aku yang tak kunjung bisa mencintainya..."

suara bang Andi justru terdengar semakin parau, ia tertunduk lesuh.

"dua bulan ini, aku berusaha untuk mencarimu, Jo. Tapi kamu sangat sulit untuk ditemui." bang Andi berujar lagi.

"aku masih mencintai kamu, Jo. Aku masih menginginkan kamu. Aku ingin kita bisa bersama lagi, seperti dulu..." lanjutnya, yang membuatku terhenyak.

Setelah sekian lama, tak kusangka, kalau bang Andi masih mengharapkanku.

Sementara aku sendiri telah dengan susah payah, menghapus namanya di hatiku.

Bahkan aku telah berhasil menggantinya dengan sosok seorang Kamal.

Yah, saat ini, yang ada dihatiku justru nama Kamal. Meski Kamal masih tetap bertahan bersama istrinya.

Karena sebenarnya, Kamal adalah cinta pertamaku dulu, tapi tidak kesampaian, hingga kami dipertemukan kembali, setelah terpisah bertahun-tahun.

Dan bang Andi adalah pacar pertamaku, meski kami harus terpisah oleh keadaan.

Sekarang aku merasa terjebak oleh perasaanku sendiri.

Kamal adalah cinta pertamaku yang bersemi kembali, semenjak bang Andi mengkhianatiku.

Kamal juga yang akhirnya mampu mengobati lukaku itu.

Tapi Kamal tidak ingin meninggalkan istrinya, meski ia mengaku kalau ia juga mencintaiku.

Sementara, bang Andi adalah pacar pertamaku, kami bahkan sempat pacaran bertahun-tahun. Hingga akhirnya kami terpisah, karena bang Andi dipaksa menikah oleh keluarganya, dan istrinya pun hamil.

Aku memutuskan untuk pergi dari kehidupan bang Andi, karena merasa bang Andi telah mengingkari janjinya untuk menceraikan istrinya.

Tapi sekarang bang Andi datang lagi, dan, meski sudah cukup terlambat, ia telah menepati janjinya untuk bercerai dari istrinya.

Ia rela melakukan semua itu, hanya untuk bisa bersamaku.

Tapi aku sudah terlanjur memupus perasaanku padanya.

Takkan mudah bagiku, untuk jatuh cinta lagi padanya.

Aku jadi semakin bingung dengan semua ini.

"beri aku waktu ya, bang. Aku perlu memikirkan ini lebih dalam lagi.." ucapku akhirnya, melihat bang Andi masih menunggu jawabanku.

"apa karena sudah ada yang lain?" tanya bang Andi, yang membuatku jadi merasa bersalah.

Aku menoleh menatapnya, aku melihat raut kecewa di wajah itu. Ada guratan cemburu di matanya.

Sebesar itukah bang Andi mencintaiku? tanyaku membathin.

"aku sangat mencintai kamu, Jo. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahanku dulu. Aku tahu, seharusnya aku sudah menceraikan istriku sejak dulu. Tapi itu tidak mudah bagiku, Jo." ucap bang Andi lagi, ia masih menatapku.

"banyak yang harus kupertimbangkan. Aku harus menjaga perasaan banyak orang, terutama keluarga besarku, dan juga istriku. Biar bagaimanapun, ia juga punya hati, dan aku tak sanggup menyakitinya."

"aku hanya berharap waktu itu, kamu lebih sabar, Jo.."

"tapi abang menghamili istri abang waktu itu, bang." aku memotong kalimat bang Andi cepat,

"padahal abang sudah berjanji, tidak akan pernah menyentuhnya.." lanjutku.

"iya, aku tahu. Tapi aku terpaksa, Jo. Aku tak tahan, mendengar omongan orang-orang yang mengatakan kalau aku mandul, karena tidak bisa menghamili istriku.." balas bang Andi beralasan.

"dan bang Andi lebih memikirkan hal itu, dari pada perasaanku?" tanyaku tajam, setajam tatapanku padannya.

"maaf, Jo. Kamu tak tahu, betapa bingungnya aku saat itu.." suara bang Andi mulai melamah. Aku merasa kasihan melihatnya.

"sudahlah, bang. Lagi pula itu semua sudah berlalu. Aku sebenarnya tidak berharap apapun lagi dari abang, apa lagi sampai abang bercerai.." ucapku akhirnya, tak ingin berdebat lebih panjang tentang sesuatu yang sebenarnya sudah berlalu.

"apa kamu sudah punya yang lain, Jo?" bang Andi mengulangi pertanyaannya, yang tadi tidak sempat atau lebih tepatnya tidak ingin, aku jawab.

Aku jadi semakin bingung harus menjawab apa. Aku tak mungkin menceritakan tentang Kamal.

Biar bagaimanapun, mereka adalah sepupu. Aku tidak ingin membuat semuanya semakin kacau.

"kalau kamu diam, berarti memang ada, kan, Jo?" bang Andi menekan suaranya, seperti menahan perasaannya sendiri.

Sekali lagi aku melihat raut kecewa di wajah tampan itu, dan juga gurat cemburu dimatanya semakin terlihat jelas.

Oh, aku tak tega melihatnya. Tapi aku juga tak bisa membohongi bang Andi.

Bertahun-tahun pacaran, bang Andi sudah mengenal sebagian besar sifatku.

"siapa, Jo?' lirih suara itu, sangat lirih. Seperti mewakili hatinya yang terluka.

Oh, tidak! Mengapa jadi serumit ini?

Mengapa bang Andi harus kembali?

Padahal aku telah susah payah menghapusnya dari memori ingatanku.

Mengapa ia harus kembali, di saat hatiku telah dimiliki orang lain?

Tapi bukankah saat ini, aku memang tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Kamal?

Meski tak bisa aku pungkiri, kalau aku sangat mencintainya.

"gak ada siapa-siapa, bang. Aku hanya belum siap, untuk memulai semua ini lagi. Karena itu aku butuh waku, bang.." aku berujar juga akhirnya, setelah aku berusaha berpikir keras tentang semua ini.

"oke. Aku akan menunggu jawaban kamu, Jo. Sampai kapanpun. Hanya saja aku berharap, jawabanmu bukanlah sesuatu yang akan menambah luka di hatiku.." balas bang Andi, setelah ia menarik napas sejenak.

Aku tahu, bang Andi, tidak begitu yakin dengan alasanku. Tapi saat ini, hanya itu yang bisa aku katakan padanya.

****

Part 3

Hari-hari selanjutnya, bang Andi semakin sering menghubungi dan menemuiku. Dia bahkan sering memberik kejutan, dengan menjemputku di tempat kerja.

Usahanya untuk membuatku jatuh cinta lagi padanya, harus aku akui memang luar biasa.

Aku jadi ingat saat awal-awal kami kenalan dulu.

Sebenarnya kami berkenalan lewat media sosial. Lalu kemudian, seperti kebanyakan pasangan lainnya, kami pun ketemuan.

Dari pertemuan itu, ternyata bang Andi sangat tertarik padaku. Sementara aku, awal-awalnya merasa biasa saja.

Bang Andi seorang pengacara muda waktu itu. Karirnya boleh dibilang cukup sukses. Dia juga lulusan luar negeri.

Dia juga berasal dari keluarga yang modern. Dia anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakak pertamanya laki-laki, sedangkan adik bungsunya seorang perempuan.

Bang Andi memang memiliki wajah yang tampan, dan tubuh yang atletis, karena bang Andi rajin berolahraga dan juga ikut fitness.

Aku masih ingat perjuangan bang Andi untuk bisa meluluhkan hatiku. Ia sering memberiku hadiah dan juga sering mentraktirku makan-makan dan jalan-jalan.

Perasaanku yang awalnya hanya biasa-biasa saja, lama-kelamaan akhirnya luluh.

Dan aku dengan perasaan bahagia, akhirnya menyambut cinta bang Andi yang begitu besar untukku.

Kami pun akhirnya pacaran.

"aku sayang kamu, Jo." ucap bang Andi padaku waktu itu. Saat itu kami baru jalan sekitar dua bulan.

"aku ingin selamanya bersama kamu. Aku merasa hidupku begitu sempurna saat ini.." lanjutnya, yang membuatku semakin berbunga.

Aku yang baru pertama kali pacaran, tentu saja juga merasa bahagia dengan semua itu.

Bang Andi benar-benar mampu membuatku terasa lengkap.

"aku juga sayang kamu, bang.." balasku lembut.

Bang Andi mengecup keningku, kemudian merangkulku erat.

"lagi ngelamunin apa, sih?" suara bang Andi membuyarkan lamunanku, tentang masa-masa indahku bersamanya dulu.

"gak, bang. Hanya lagi mikirin pekerjaan aja.." kilahku beralasan.

Kali ini kami bertemu di sebuah kafe, bang Andi yang memintaku datang kesini, dalam upayanya, untuk meluluhkan hatiku kembali.

"weekend besok kita jalan-jalan, ya.." ucap bang Andi kemudian.

"kemana?" tanyaku.

"kemana pun yang kamu inginkan, Jo. Asal itu bisa membuat kamu bahagia.." balas bang Andi terdengar puitis.

Aku hanya terdiam, enggan untuk menanggapi ucapan bang Andi barusan.

Aku tahu, bang Andi tidak akan pernah menyerah, untuk merebut hatiku kembali.

Tapi tidak bagiku, untuk membangun kembali perasaan itu.

Biar bagaimanapun, sesuatu yang pernah terputus, sekalipun bisa disambung kembali, tidak akan lagi semulus dulu. Semuanya tidak akan lagi sama.

Tapi apa salahnya, kalau aku memberi bang Andi kesempatan kedua?

Lalu bagaimana dengan Kamal? Bathinku merintih.

Beberapa hari yang lalu, aku pernah bertemu Kamal. Gak sengaja, sih, sebenarnya.

"aku mulai berpikir untuk menceraikan istriku saja, Jo." ucap Kamal waktu itu.

"jika itu satu-satunya cara agar aku bisa bersama kamu, aku akan melakukannya." lanjutnya lagi.

Aku hanya terdiam.

Bang Andi telah menceraikan istrinya, demi aku.

Dan sekarang Kamal juga akan melakukan hal itu, demi aku.

Sebegitu istimewakah aku di mata mereka?

Tidak! Aku tak menginginkan hal ini!

"lebih baik jangan, Mal.." ucapku akhirnya.

"kenapa?" tanya Kamal, "bukankah hal itu yang selama ini kamu inginkan?" lanjutnya.

Aku terdiam kembali.

Mungkin sudah saatnya aku untuk jujur.

Tapi kalau boleh memilih, saat ini, aku lebih memilih Kamal, sih, dari pada bang Andi.

Mereka berdua sama-sama tampan dan bertubuh kekar. Mereka berdua sama-sama baik.

Tapi Kamal adalah cinta pertamaku.

"aku tak ingin menjadi orang yang menghancurkan rumah tangga kamu, Mal." jawabku akhirnya.

"dan lagi pula, saat ini, aku mulai dekat lagi dengan bang Andi, Mal. Dia udah cerai dari istrinya. Dan dia melakukan itu demi aku.." lanjutku menjelaskan.

"kamu masih mencintainya?" pertanyaan Kamal, benar-benar membuatku tertohok.

"aku gak tahu, Mal. Tapi yang pasti bang Andi sangat mencintaiku. Dan aku yakin, aku bisa belajar untuk mencintainya juga.." suaraku pelan.

"aku juga sangat mencintai kamu, Jo." suara Kamal tegas, yang membuatku menatapnya tajam.

"jangan buat aku semakin bingung, Mal." ucapku, tanpa melepaskan tatapanku.

"aku juga bingung, Jo. Aku sangat mencintai kamu, tapi aku juga tidak mungkin meninggalkan istri dan anakku." ucap Kamal.

"makanya jangan, Mal." balasku cepat.

"tapi aku ingin bersama kamu, Jo. Hidupku kacau tanpa kamu.."  ucap Kamal lagi.

"itu bisa saja bukan cinta, Mal. Itu bisa saja, hanya nafsu.." balasku lagi.

"saranku, lebih baik kamu belajar mencintai istri kamu, Mal." lanjutku, sok bijak.

"aku udah coba selama bertahun-tahun, Jo. Tapi tetap saja, aku hanya merasa hampa. Aku merasa disana bukan tempatku. Tapi istriku terlalu polos, ia terlalu baik. Aku justru jadi tidak tega melihatnya. Apa lagi melihat anakku, yang kian hari kian lucu."

"sebenarnya aku menyayangi mereka, Jo. Tapi aku tidak sepenuhnya bahagia. Justru aku merasa sangat bahagia saat bersama kamu.." Kamal menghela napas panjang.

"aku hanya tidak ingin menjadi orang yang membuat rumah tangga kamu hancur, Jo.." ujarku pelan.

"untuk itu, Jo. Mari bersamaku! Dan biarkan aku menjalani hari-hariku bersama keluargaku juga. Rasanya itu tidaklah terlalu berat, Jo. Kita tidak menyakiti siapapun karenanya.." balas Kamal.

"tapi itu menyakiti hatiku, Mal. Aku tak mau menjalani itu semua." aku membalas,

"sudahlah, Mal! Lebih baik, kita belajar untuk saling melupakan. Hubungan kita juga tidak akan sampai kemana-mana, Mal. Hubungan kamu dengan istri dan anakmu, itu yang penting! Itulah sebuah keluarga yang sesungguhnya." lanjutku, sok bijak lagi.

Sebenarnya aku bingung, sih, dengan diriku sendiri.

Bukankah seharusnya aku bahagia, jika Kamal bersedia menceraikan istrinya demi aku?

Tapi entah mengapa, sebagian hatiku tidak rela, kalau Kamal harus bercerai dari istrinnya.

Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa memberikan, apa yang istri Kamal berikan untuknya.

Lagi pula pernikahan mereka sudah berjalan bertahun-tahun.

"melamun lagi.." sekali lagi suara bang Andi mengagetkanku. Pikiranku yang sempat memutar memori pertemuanku dengan Kamal beberapa hari yang lalu, kembali buyar.

"iya, maaf, bang.." ucapku pelan, mencoba tersenyum.

Aku hanya harus bertindak. Aku harus segera mengambil keputusan.

Bang Andi sudah menceraikan istrinya demi aku, dan itu sudah terjadi.

Dan lagi pula pernikahan bang Andi dengan istriya baru seumur jagung, meski mereka sudah punya anak.

Aku dan bang Andi juga sudah pacaran bertahun-tahun, sebelum akhirnya ia dipaksa menikah.

Sementara Kamal, pernikahan Kamal sudah bertahun-tahun. Aku berhubungan dengan Kamal, justru saat ia sudah menikah dan punya anak, meski itu terjadi karena Kamal membohongiku, dengan mengatakan kalau ia sudah bercerai, padahal ia masih bersama istrinya.

Kami juga berhubungan hanya beberapa bulan, meski Kamal mengaku, kalau ia sebenarnya telah jatuh cinta padaku, saat kami masih sama-sama kuliah dulu.

Tapi tetap saja, itu tidak membuatku berhak, menghancurkan rumah tangganya.

Berdasarkan pertimbangan hal itu, aku sudah mulai bisa menentukan pilihanku.

Namun persoalannya adalah,

Pertama, sampai saat ini, aku belum juga bisa jatuh cinta kembali pada bang Andi, meski ia telah melakukan berbagai cara, untuk bisa merebut hatiku kembali.

Kedua, aku masih terlalu mencintai Kamal, dan tak bisa aku pungkiri, kalau dari hatiku yang terdalam, aku masih berharap bisa bersamanya. Meski harus mengorbankan pernikahannya. Karena sejujurnya aku tidak ingin Kamal bercerai dari istrinya. Rasanya terlalu naif.

Ketiga, jika aku memang memilih, untuk bersama bang Andi, bagaimana caranya agar Kamal tidak mengharapkan aku lagi?

Aku ingin ia melupakanku. Meski itu artinya, aku menggores hatiku sendiri.

 Mengapa cinta menjadi sebegitu rumitnya, ya?

Ataukah ini semua hanya perasaanku saja?

****

"bang Andi benar mencintaiku?" tanyaku dengan nada serius. Saat itu kami berada di tepian sebuah pantai yang indah.

Sesuai janjinya, bang Andi memang mengajakku, untuk weekend bersamanya.

Dan aku memilih pantai ini, karena aku ingin membicarakan hal penting dengannya.

"apa hal itu masih harus dipertanyakan?" bang Andi balik menanyaiku. Dan itu wajar, sih.

Karena setelah apa yang dilakukan selama ini oleh bang Andi untukku, harusnya aku sudah bisa menyimpulkannya sendiri. Bahwa betapa bang Andi sangat mencintaiku.

"aku ingin kita pindah dari sini, bang." ucapku memulai rencana yang telah aku siapkan sejak beberapa hari yang lalu.

"kemana? dan kenapa?" tanya bang Andi, keningnya sedikit berkerut. Mungkin ia tidak menduga, aku akan melontarkan kalimat tersebut.

"aku ingin kita pindah ke luar negeri, bang. Dimana tidak ada seorang pun yang mengenal kita. Hingga kita bisa lebih bebas, untuk berhubungan.." ucapku lagi, menyampaikan rencanaku.

"disini kita juga bebas berhubungan kok, Jo." balas bang Andi datar.

"tapi, bang. Aku ingin kita pindah dari sini..." suaraku sedikit memohon.

"iya, tapi kenapa, Jo? Beri aku satu alasan yang lebih masuk akal. Karena ini sesuatu yang besar, kita gak pindah begitu aja, Jo. Banyak yang harus dipertaruhkan disini.." kali ini bang Andi bersuara lantang.

'karena aku ingin menghindar dari Kamal.' bathinku.

Aku ingin Kamal melupakanku, dan aku akan belajar untuk melupakannya.

Aku hanya berharap, dengan tidak pernah bertemu lagi, bisa membuat Kamal akhirnya melupakanku. Aku terus membathin.

"karena ia berusaha untuk menghindariku, bang Andi..."

sebuah suara yang cukup lantang mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara itu.

Seorang cowok kekar berdiri di belakang kami.

"Kamal..." desahku pelan.

"kenapa kamu ada disini?" tanyaku spontan, kali ini suaraku cukup keras.

"aku yang mengundangnya kesini.." kali ini bang Andi angkat bicara. Ia kembali mengalihkan pandangannya, menatap luasnya lautan.

Suara deburan ombak terdengar kembali, tapi aku tak melepaskan tatapanku dari Kamal, yang mulai melangkah mendekat.

Kamal kemudian berdiri di depan kami berdua.

Aku masih menatap Kamal dengan penuh tanya, kemudian bergantian menatap bang Andi, dengan pertanyaan yang hampir sama.

Kulihat mereka berdua tersenyum.

"aku udah cerita semuanya sama bang Andi, Jo. Jadi kamu gak usah khawatir." Kamal yang berbicara.

"yah, akhirnya aku sadar, kalau cinta bang Andi buat kamu jauh lebih besar dari yang aku rasakan, Jo." Kamal melanjutkan.

"bang Andi sudah berani untuk bertindak tegas, dengan menceraikan istrinya. Tapi aku masih berdiri dalam keragu-raguan. Jadi kamu gak usah khawatir, dan gak usah juga harus pindah negara, karena aku tidak akan pernah lagi mengganggu hubungan kalian berdua."

"aku mundur, Jo. Dan seperti saran kamu, aku akan belajar lagi untuk mencintai istriku. Aku berharap, kalian berdua bahagia. Dan aku kesini, untuk mengucapkan selamat." setelah berkata demikian, Kamal mulai memutar tubuhnya, untuk segera melangkah meninggalkan kami.

Setelah beberapa langkah, Kamal memutar tubuhnya kembali, lalu berucap lagi,

"oh, ya, Jo. Mungkin kamu lupa satu hal, aku dan bang Andi adalah sepupu. Jadi kamu jangan berharap, untuk bisa menghindari pertemuan denganku. Karena aku satu-satunya yang tahu hubungan kalian, dan aku satu-satunya tempat curhat bang Andi.."

Kamal mengakhiri kalimatnya, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi.

Aku melepaskan tatapanku dari punggung Kamal, yang melangkah mantap meninggalkan kami.

Aku menoleh menatap bang Andi, yang masih saja berpura-pura menatap hempasan ombak di pinggiran pantai.

"kenapa bang Andi gak cerita?" tanyaku.

"cerita apa?" suara bang Andi, sok cool.

"kamu gak usah pura-pura, bang.." balasku pelan.

"kamu gak pernah nanya, sih.." jawab bang Andi, kali ini ia menatapku lembut.

Mata kami beradu pandang. Tidak ada lagi raut kecewa di wajah itu, apa lagi guratan cemburu di matanya.

"sudah berapa lama bang Andi tahu, kalau aku pernah berhubungan dengan Kamal?" tanyaku lagi.

"dua hari yang lalu, Kamal cerita, ketika aku curhat lagi padanya, tentang kamu. Dia menceritakan semuanya." jelas bang Andi.

"abang gak marah?" tanyaku lagi.

"gak! ngapain marah?! Setiap orang punya masa lalu, setiap orang pasti pernah berbuat salah. Yang terpenting bagaimana hidup kita ke depannya. Dan lagi pula, aku terlalu mencintai kamu, Jo."

setelah berucap demikian, bang Andi mengusap pipiku lembut.

"kamu terlalu sempurna, Jo. Dan aku merasa sangat beruntung, bisa bersama kamu.." bang Andi berucap lagi.

Perlahan hatiku pun akhirnya luluh. Cinta bang Andi terlalu besar dan tulus, untuk tidak aku terima.

Dan akhirnya aku pun kembali jatuh, dalam pelukan hangat bang Andi.

Pacar pertamaku sekaligus pacar terakhirku. Semoga!

****

Sekian...

Saat aku sedang mabuk ...

Untuk kesekian kalinya, aku menghempaskan napas berat. Rasanya ini semua sangat berat bagiku.

Aku ingin menyerah, aku ingin berhenti.

Tapi waktu terus berputar, hidup akan terus berjalan. Tak peduli kita siap atau tidak.

Bayangan peristiwa menyakitkan itu, melintas kembali di benakku. Walau aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Tapi tetap saja, semua itu terlalu berat untuk aku lupakan.

Beberapa tahun silam, aku berkenalan, dekat dan jatuh cinta kepada seorang gadis manis bernama Dinda.

Setelah lebih setahun pacaran, kami pun menikah.

 

Cerita gay sang penuai mimpi

Dinda seorang guru, meski masih berstatus honorer. Sedangkan aku sendiri bekerja di sebuah perusahaan swasta, sebagai seorang karyawan biasa.

Kehidupan kami secara ekonomi boleh dibilang cukup sederhana. Kami merasa bahagia, meski kami masih tinggal di rumah kontrakan.

Hingga anak pertama kami pun lahir. Seorang anak laki-laki. Kebahagiaan kami pun semakian terasa lengkap.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah tentunya. Demikian juga Dinda, sebagai seorang istri dan Ibu, Dinda cukup perhatian dan penuh kasih sayang.

Rumah tangga kami baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang terlalu berarti.

Kebutuhan biologis kami juga terpenuhi dengan baik.

Tapi, setelah hampir empat tahun, usia pernikahan kami. Tiba-tiba sebuah peristiwa hebat menggoncang keutuhan rumah tangga kami.

Tak pernah kusangka sebelumnya, kalau ternyata Dinda telah mengkhianatiku.

Ternyata diam-diam istriku sudah punya selingkuhan. Seorang rekan kerja sesama gurunya.

Dan yang lebih parah lagi, laki-laki selingkuhannya itu juga sudah punya istri dan anak.

Aku tak sengaja memergoki mereka saat sedang berduaan di rumah.

Peristiwa tersebut tentu saja mengguncang semuanya, terutama jiwaku sebagai seorang suami.

Terlalu berat rasanya untuk menceritakan kembali peristiwa itu. Terlalu menyakitkan bagiku.

Namun yang pasti, aku telah menceraikan istriku. Dan aku membawa serta anakku dari rumah kontrakkan itu.

Aku tinggal untuk sementara di rumah orangtuaku, yang merasa turut perihatin atas peristiwa yang aku alami.

Hari-hariku jadi terasa gelap. Aku seperti kehilangan separoh napasku.

Biar bagaimana pun aku sangat mencintai istriku, namun perbuatannya sungguh sudah tidak bisa dimaafkan lagi.

Karena frustasi, aku jadi sering menghabiskan malam-malamku dengan minum minuman keras bersama beberapa orang teman.

Aku jadi sering masuk bar, dan keluar dalam keadaan mabuk parah.

Pernah pada suatu malam, aku minum terlalu banyak, hingga aku benar-benar mabuk dan tak sadarkan diri.

Saat terbangun dan setengah sadar aku sudah berada di dalam sebuah kamar hotel.

Aku dalam keadaan setengah telanjang, dan di sampingku terbaring seorang pria masih muda. Pria itu juga dalam keadaan tanpa baju. Ia terlihat tertidur pulas.

Aku coba berusaha mengingat peristiwa yang aku lalui malam itu.

Terlintas kembali di pikiranku, saat seeorang coba membawaku keluar dari bar, lalu membawaku masuk ke dalam sebuah mobil.

Tak lama kemudian, orang itu membawaku masuk ke dalam sebuah gedung. Menurut perkiraanku, gedung itu, adalah sebuah hotel.

Lalu kemudian pria tersebut, melucuti pakaianku satu persatu.

Aku hanya pasrah tak berdaya. Sampai akhirnya aku merasakan tubuhku melayang. Ada sebuah sensasi keindahan yang aku rasakan.

Sebuah keindahan yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, semenjak aku bercerai dengan istriku.

Semakin lama aku semakin terasa melayang. Pria itu terus berada diatasku, dengan penuh senyuman.

Aku merasakan keindahan itu sungguh luar biasa, meski aku hanya terbaring pasrah.

Sampai akhirnya, aku benar-benar terkulai lemas tak berdaya. Hingga akhirnya aku pun tertidur pulas.

Aku menatap pria yang tertidur di sampingku. Pria itu berwajah manis, dengan tubuh yang berotot kekar.

Karena merasa masih sangat mengantuk, aku mencoba memejamkan mata kembali, dan tertidur lagi.

Saat terbangun lagi beberapa saat kemudian, aku melihat pria tadi sudah berpakaian rapi sehabis mandi.

"kamu siapa?" tanyaku penasaran.

"aku Hendrik, bang. Aku yang bawa abang kesini." jelas pria itu.

"tadinya aku ingin antar abang pulang ke rumah, tapi kondisis abang sangat parah. Jadi aku membawa abang kesini.." lanjut pria itu menjelaskan.

"lalu apa yang kamu lakukan sama saya?" tanyaku lagi.

Dalam pikiranku terlintas kembali peristiwa semalam bersama pria kekar itu.

"maaf, bang. Aku gak bisa menahan diri. Habisnya abang ganteng, sih. Dan juga sangat atletis. Aku jadi terbawa suasana.." jawab Hendrik, sambil tertunduk.

"maksud kamu? Kita...?" tanyaku lagi, dengan menggerakkan tanganku seperti dua paruh burung yang sedang berlaga.

"iya, bang. Dan sepertinya abang juga menikmatinya.." balas Hendrik terdengar lugu.

Aku menghempaskan napas berat. Aku hampir tak percaya dengan apa yang aku dengar.

Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal tersebut?

Sebegitu frustasikah aku? Hingga bisa menikmati hal itu?

Kepala terasa pusing tiba-tiba. Aku memijat kepalaku sendiri beberapa kali.

Lalu kemudian, segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

*********

Hari-hari berikutnya, pikiranku justru dihantui oleh peristiwa manisku bersama Hendrik.

Entah mengapa bayangan itu selalu melintas.

Awalnya aku merasa marah pada Hendrik, karena telah memanfaatkan kesempatan itu.

Namun lama-kelamaan aku justru merasa menginginkannya kembali.

Untuk itu, aku mencoba menghubungi Hendrik kembali.

Kami minum bersama di sebuah bar, tempat biasa aku nongkrong.

Setelah setengah mabuk, kami pun sepakat untuk pindah ke sebuah hotel yang berada tidak begitu jauh dari bar tersebut.

Malam itu, aku membiarkan Hendrik, melakukan keinginannya padaku. Aku bahkan sangat menikmatinya.

Berkali-kali aku dan Hendrik melakukan pendakian bersama. Hendrik cukup pandai membuatku terbuai. Rasanya memang beda. Sensasi yang aku rasakan jauh berbeda dan lebih indah dari pada saat aku bersama istriku dulu.

Aku merasa seperti menemukan sesuatu yang baru. Aku merasa seperti menemukan sisi lain dari diriku yang selama ini aku pendam.

Kehadiran Hendrik benar-benar merubah diriku.

Dan sejak saat itu, aku dan Hendrik jadi semakin sering bertemu. Kami jadi semakin sering melakukannya.

Kini hari-hariku jadi terasa berbeda. Entah mengapa aku merasa bahagia bersama Hendrik.

Kami bahkan sekarang, tidak perlu minum-minum dulu, untuk melakukan hal tersebut.

Hubunganku dan Hendrik, semakin serius. Perlahan rasa sayang pun hadir di hatiku untuk Hendrik. Aku mulai menyukainya. Bukan lagi sekedar pelepas dahaga bagiku.

Hendrik orang yang baik dan juga sabar.

Dia ternyata seorang koki di sebuah restoran terkenal. Penghasilannya pun lumayan, hingga ia sudah bisa membeli rumah sendiri.

Hendrik sering mengajakku main di rumahnya. Rumah yang sederhana namun cukup nyaman.

"Setelah lulus kuliah lima tahun lalu, aku pun merantau ke kota ini, bang. Kebetulan aku memang sudah diterima kerja di sebuah restoran. Orangtua dan keluargaku semuanya ada di kampung, jadi aku hanya tinggal sendirian disini.." jelas Hendrik, saat pertama kali ia mengajakku ke rumahnya.

Sekarang Hendrik memang sudah berusia hampir kepala tiga, sedangkan aku sendiri sudah berusia 38 tahun.

Jarak usia kami, tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap saling tertarik.

Aku pun menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam hidupku pada Hendrik.

"jadi sekarang anak abang dimana?" tanya Hendrik.

"dia bersama orangtuaku. Aku juga tinggal disana sebenarnya, namun aku memang jarang pulang. Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar. Pulang kerja, aku langsung menuju bar untuk minum-minum." aku menjelaskan lagi.

"abang mau gak? Janji untuk gak minum-minum lagi.." ujar Hendrik tiba-tiba, saat kami terdiam beberapa saat.

Hari itu hari minggu, aku sengaja bertamu ke rumah Hendrik. Selain merasa kangen, aku juga sebenarnya merasa sangat nyaman saat bersama Hendrik.

"kamu sendiri kenapa suka minum-minum?" tanyaku seakan mengabaikan ucapannya.

"sebenarnya aku gak suka minum, bang. Cuma saat itu, sudah beberapa malam, aku sering melihat abang keluar masuk bar tersebut. Restoran tempat aku bekerja tidak jauh dari situ, bang. Jadi kalau pulang aku selalu lewat situ."

"setiap malam aku melihat abang keluar dalam keadaan mabuk parah. Hingga suatu malam, aku nekat masuk ke dalam, dan melihat abang lagi minum sendirian. Aku yakin, abang pasti sedang bermasalah. Tapi aku tidak berani untuk mendekat."

"hingga akhirnya, abang pun tak sadarkan diri karena terlalu mabuk. Saat itulah, aku menghampiri abang dan membawa abang keluar dari situ. Hingga peristiwa di hotel itu terjadi.." ucap Hendrik menjelaskan.

"tapi selanjutnya kamu juga ikut minum sama saya?" tanyaku lagi.

"iya. Itu karena saya mencoba menghargai abang. Dan lagi pula, jujur ya, bang. Sejak peristiwa pertama kali kita di hotel itu, aku semakin tertarik pada abang. Jadi jika dengan minum-minum bersama abang, bisa membuat kita menjadi dekat, aku pun menurutinya." Hendrik menarik napas sejenak.

"lagi pula, sehabis minum, aku juga akan mendapat jatah dari abang. Sesuatu yang sangat aku dambakan, semenjak pertama kali kita melakukannya. Dan lama-kelamaan aku menjadi sayang sama abang.." lanjut Hendrik kembali, yang membuatku menjadi tak menentu.

"aku juga sayang sama kamu, Hend.." ucapku tanpa sadar. Tapi aku merasa lega mengungkapkannya, karena memang itu yang aku rasakan saat ini.

"aku ingin kita menjalin hubungan yang lebih serius, bang. Tapi abang harus janji untuk tidak minum-minum lagi. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik abang. Dan mengobati semua luka di hati abang.."

ucapan Hendrik itu, benar-benar membuatku tersanjung.

Meski aku sadar, hubungan kami tidak akan mendapat restu dari siapapun. Tapi kami saling menyayangi, dan hal itu tentu saja membuat kami bahagia.

Tak penting orang lain setuju atau tidak, yang penting kami bahagia dengan hubungan kami.

Dan itu sudah cukup bagiku.

Rasa perih karena dikhianati istriku, kini mulai menghilang. Kehadiran Hendrik, benar-benar membuat aku bahagia.

Hendrik mampu memberiku sesuatu yang luar biasa. Dan aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya.

Meski tak sempurna, cinta ini terasa begitu indah bagiku.

Aku ingin selamanya bersama Hendrik. Dan aku yakin, Hendrik tidak akan pernah mengkhianatiku.

Kami pun saling mendekap erat, menyatu dalam cinta yang indah.

****

Sekian ...

Arlan, si Tukang panen sawit kekar ...

Ini pertama kali saya pergi ke kebun. Kebun sawit milik ayah, cukup luas. Kebun itu berada di sebuah desa tak seberapa jauh dari kota tempat saya tinggal. Kebetulan ayah sedang ada kerjaan di luar kota, untuk itu ayah meminta saya untuk menengok kebunnya, kebetulan saya sedang libur kuliah.

Sampai disana saya disambut oleh pak Darman, orang kepercayaan ayah untuk mengelola kebunnya.
"eh, mas Aji.." kata pak Darman menjabat tangan saya, "tumben mas ke kebun..." lanjutnya.

Saya sudah cukup kenal dengan pak Darman, karena beliau sering datang kerumah, jika ada hal tentang kebun yang ingin dibicarakannya dengan ayah.
"iya, nih. Pak Darman.." jawab saya, setelah melepaskan tangannya, "disuruh ayah, soalnya ayah lagi diluar kota." lanjut saya menjelaskan.

Cerita gay

Pak Darman hanya tersenyum manggut-manggut. Saya tak begitu paham dengan kebun sawit, karena saya memang kurang suka. Saya juga tidak tahu, apa yang ayah lakukan jika ia ke kebun.

 Untuk itu, saya hanya berjalan berkeliling kebun di dampingi pak Darman, sambil melihat para pekerja yang sedang sibuk bekerja. Saya memperhatikan mereka bekerja. Kemudian setelah merasa lelah, saya kembali lagi ke rumah-rumah para bekerja.

Di kebun tersebut terdapat beberapa buah rumah berderetan, yang memang sengaja dibuat untuk tempat tinggal para pekerja.

Sesampainya saya di perumahan tersebut, saya menuju ke salah satu rumah yang paling ujung, saya hanya ingin menumpang istirahat sejenak.
Waktu itu hari masih sekitar jam 10 pagi, para pekerja masih berada di kebun, untuk bekerja. Rumah-rumah mereka semuanya tertutup, kecuali rumah paling ujung. Untuk itu saya segera menuju kesana.

Saya mencoba mengucapkan salam, ketika telah sampai di depan pintu. Namun belum sempat saya menyelesaikan ucapan salam, seorang pemuda muncul di ambang pintu.
Pemuda itu tersenyum ramah, ia hanya memakai baju singlet putih dan celana pendek. Badannya terlihat kekar dan gagah. Tiba-tiba saya merasa jantung saya berdegup cukup kencang. Sambil saya berusaha membalas senyum pemuda itu.

"ada apa, mas Aji?" tanya pemuda itu kemudian. Saya tidak tahu, dari mana ia tahu nama saya, mungkin pak Darman udah cerita, pikir saya.
"kamu gak kerja?" tanya saya akhirnya, berusaha mengatasi rasa grogi yang tiba-tiba saya rasakan.
"oh. belum, mas Aji." jawabnya, "saya kan tukang panen, mas. Jadi kerjanya biasanya tiga atau empat hari seminggu, kebetulan hari ini belum ada yang akan di panen." lanjutnya menjelaskan.
 
Saya manggut-manggut. Kemudian berujar, "saya boleh numpang istirahat sejenak disini?"
"ya, silahkan, mas. Masuk aja..." balasnya.
"kamu sendirian aja disini?" tanya saya lagi.
"gak, sih, mas. Saya bersama dua orang lainnya. Tapi sekarang mereka lagi kerja di kebun."
"perumahan emang sunyi seperti ini ya?" saya bertanya lagi, sambil melangkah masuk.
"ya, mas. Soalnya kalau jam segini, anak-anak pada sekolah semua. Bapak-bapaknya dikebun dan para Ibu-ibu biasanya ke pasar atau ikut ke kebun." jelasnya cukup panjang.

"istirahat di kamar aja, mas Aji.." Pemuda itu berujar lagi. Setelah melihat saya hanya berdiri di ruang tengah. Rumah itu cukup luas dengan satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur serta terdapat kamar mandi di begian belakang.
Antara rumah satu dengan rumah lainnya saling berdempetan. Meski terbuat dari papan, rumah-rumah itu cukup kokoh dan rapi.
Saya pun masuk ke kamar tidur, di dalam tidak ada ranjang. Hanya terdapat dua buah kasur tersusun rapi.

"maaf ya, mas Aji. Kamarnya berantakan. Maklum, kami bertiga tinggal disini, belum ada yang berkeluarga. Jadi masih bujang semua, sehingga rumah beserta isinya agak berserakan.." pemuda itu berujar lagi.
"oh, gak apa-apa. Saya hanya mau tiduran sebentar." balas saya, sambil saya langsung duduk di atas kasur.
"mas, mau saya ambilkan minum?" tanyanya lagi.
"oh. gak usah..." pemuda itu masih berdiri di ambang pintu kamar.

"oh, ya. Nama kamu siapa?" tanya saya kemudian.
"Saya Arlan, mas. Saya udah hampir setahun bekerja jadi tukang panen disini." jawabnya.
"kamu gak usah berdiri aja. Kamu duduk disini saja, temanin saya ngobrol." ucap saya selanjutnya.
Pemuda itu, Arlan, melangkah masuk. Namun sebelum ia masuk, saya memintanya untuk menutup dan mengunci pintu kamar. Dengan sedikit ragu, Arlan melakukannya.
 
Arlan duduk disamping saya agak jauh. Darah saya berdesir menatap Arlan yang begitu kekar. Meski pun kulit Arlan tergolong hitam, namun wajahnya sangat manis. Saya merasa tidak bosan menatap wajah itu.
Jiwa gay saya meronta tiba-tiba, melihat Arlan yang hanya memakai singlet dan celana pendek itu. Apalagi cuaca saat itu mendung dan udara terasa dingin, ditambah pula suasana begitu sunyi.
Pikiran saya mulai menerawang, membayangkan tubuh Arlan dalam pelukan saya.
Namun Arlan terlalu sopan, saya harus lebih sabar untuk menghadapinya. Saya tidak boleh buru-buru, harus pelan-pelan.

"mas, mau saya pijitin...?" tanya Arlan tiba-tiba, membuyarkan lamunan saya.
Saya menatapnya cukup lama, berpikir, mungkinkah Arlan juga punya pikiran yang sama dengan apa yang barusan saya khayalkan.
Saya tersenyum, "boleh. Kalau Arlan tak keberatan.." balas saya akhirnya.
"ya udah, mas buka aja pakaiannya.." ucap Arlan lagi. Saya kemudian mulai membuka pakaian saya satu persatu, kecuali celana boxer saya.

"mas tengkurap, ya.." Arlan berujar lagi, setelah cukup lama menatap saya yang sudah setengah telanjang. Saya segera tengkurap, dan Arlan pun mulai memijat bagian kaki saya.
Jujur saya merasa pijatan Arlan cukup enak. Tekanannya terasa. Mungkin karena Arlan bekerja sebagai tukang panen, sehingga tenaganya sangat kuat.

Selesai memijat bagian kaki dan paha saya, Arlan berpindah ke bagian punggung saya. Lalu kemudian meminta saya untuk telentang dan ia pun mulai memijat bagian kaki saya lagi. Memijat bagian tangan saya, kemudian melanjutkan ke bagian dada dan perut saya. Saya menikmati setiap sentuhan Arlan dibagian tubuh saya. Arlan sangat cekatan. Saya merasa nyaman dan rileks.

"kulit mas Aji, putih dan bersih sekali.." ucap Arlan, ketika ia mengurut bagian perut saya. "Badannya juga bagus, perut mas Aji sangat six pack, dadanya bidang.." lanjutnya, yang membuat saya merasa tersanjung dan tersenyum menatapnya.
Saya memang selalu rutin ikut fitness, untuk membentuk tubuh saya.
 
Hampir setengah jam Arlan memijat tubuh saya, ia mulai berkeringat. Karena merasa gerah, Arlan pun membuka baju singletnya.
Saya terkesima meliaht Arlan yang bertelanjang dada tersebut. Dadanya terlihat bidang, perutnya six pack, otot-otot lengannya terlihat jelas.
Jiwa gay saya kembali bergejolak, melihat pemandangan indah itu. Jarang-jarang saya bisa bertemu dengan cowok kekar seperti Arlan.
 
Arlan masih terus memijat bagian dada dan perut saya. Lalu kemudian ia berpindah untuk memijat tangan saya. Arlan terlihat serius dan fokus melakukan pijatannya.
Saat Arlan memijat bagian lengan saya, ia entah sengaja, atau memang tehnik memijatnya seperti itu, meletakkan telapak tangan saya, tepat diatas pahanya.
Paha itu memang masih terbalut celana pendek kaos tipis, tapi tetap saja saya bisa merasakan kehangatannya.
 
Cukup lama Arlan melakukan gerakan itu, hingga membuat saya merasa tidak tahan sendiri.
Perlahan saya pun mengelusnya.
Paha itu terasa hangat, bulu-bulunya membuat saya semakin bergetar.
 
Merasakan hal itu, Arlan sedikit terperanjat. Ia spontan menghentikan pijatannya. Lalu menatap saya cukup lama. Saya pun tersenyum mambalas tatapan Arlan.

"mas Aji, mau apa?" tanya Arlan terdengar lugu.
Untuk sesaat saya hanya terdiam. Saya bingung mau menjawab apa. Tapi repleks, saya pun bangkit untuk duduk. Saya duduk pas berada di depan Arlan. Wajah Arlan berada sangat dekat dengan wajah saya. Jantung saya pun kembali bergemuruh saat itu.
Saya tatap wajah itu penuh perasaan.
"saya.... saya ingin kamu..." ucap saya akhirnya dengan suara bergetar menahan gejolak.
"mas Aji, ingin saya bagaimana?" Arlan bertanya lagi, sambil sedikit menunduk, menghindari tatapan saya.

Saya tidak tahu, apa Arlan berpura-pura lugu, atau sebenarnya ia merasa takut, karena ia tahu, bahwa saya adalah anak dari pemilik kebun sawit ini.

Tidak tahu harus menjelaskan apa, saya pun akhirnya memegang dagu Arlan dan mengangkat wajahnya ke atas, lalu dengan perlahan saya pun mencoba mendekatkan bibir saya dengan bibir Arlan.
Kali ini, Arlan terperanjat lagi, lalu dengan repleks segera mendorong tubuh saya.
 
Saya merasa cukup kaget. Tapi Arlan semakin menjauhkan tubuhnya. Bergerak mundur, lalu berdiri dengan perlahan.
"maaf, mas Aji. Saya tidak bisa....... saya........ saya.. merasa geli...." begitu ucap Arlan, ketika ia sudah berdiri, dengan suara sedikit terbata.

Saya merasa tertohok. Bibir saya kelu tiba-tiba.
Semangat saya yang sudah terlanjur memuncak, tidak bisa menerima ucapan Arlan barusan.
 
Saya menarik napas panjang, mencoba menahan segala gejolak saya. Tapi saya, justru semakin tertantang untuk melampiaskannya. Saya semakin penasaran dengan Arlan.

Namun saya juga tidak mungkin memaksa Arlan. Saya harus lebih sabar lagi, dan hati-hati.
 
Meski akhirnya saya sadar, jika Arlan tidaklah seperti yang saya pikirkan sejak tadi. Ia laki-laki normal. Semua yang terjadi barusan, hanyalah mungkin, karena ia merasa tidak enak hati, untuk menolak keinginan dari anak pemilik kebun ini.

Beberapa saat, saya masih mematung. Menarik napas panjang sekali lagi, lalu menghempaskannya perlahan. Saya merasa sudah terlanjur malu di depan Arlan.
Namun saya tidak kehabisan akal. Bahkan jika perlu, saya akan menggunakan kekuasaan saya, sebagai anak pemilik kebun sawit ini, untuk bisa mendapatkan Arlan pagi itu.

Saya pun akhirnya berdiri. Saya berdiri tepat dihadapan Arlan. Jarak kami tidak lebih dari setengah meter. Arlan mencoba mundur, tapi tubuhnya terbentur dinding kamar, yang membuat ia harus terhenti.
Saya terus melangkah mendekat.
Arlan terlihat panik, tapi saya tidak peduli. Saya hanya ingin menyalurkan keinginan saya yang sudah terlanjur bergejolak.
Arlan terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Meski saya sadar, Arlan tidak mudah untuk ditaklukkan.

Namun saya bahkan hampir kehilangan akal sehat saya waktu itu.
 
Saya sudah berdiri kembali di hadapan Arlan, sangat dekat. Namun Arlan dengan spontan kembali mendorong tubuh saya, agar menjauh.
 
"jangan mas Aji...!" mohon Arlan, terdengar sedikit menghiba.
Saya memegangi tangan Arlan yang mencoba mendorong saya.
 
"kalau kamu tetap tidak mau, saya akan minta pak Darman untuk memecat kamu dari sini...!" kalimat ancaman itu akhirnya keluar juga dari mulut saya.
Saya sendiri hampir tidak percaya, mendengarkan ucapan saya sendiri.
 
Arlan bahkan terlihat sangat kaget mendengar hal itu, raut wajahnya terlihat pucat tiba-tiba.
"tapi saya gak bisa, mas. Saya.... tidak pernah melakukan hal seperti ini..." ucap Arlan akhirnya dengan masih terbata. "tadi saya berniat memijat mas, karena mas Aji kelihatan capek dan sedikit lesuh. Saya tidak ada maksud apa-apa. Tolong saya, mas Aji. Jangan lakukan hal ini sama saya. Saya sangat butuh pekerjaan ini...." Arlan terus berbicara panjang lebar, suaranya semakin terdengar menghiba.

Terus terang, saya pun merasa iba melihat Arlan seperti itu, namun akal sehat saya tidak berjalan dengan normal waktu itu.
Yang saya inginkan hanyalah menikmati hangatnya tubuh kekar Arlan, tak peduli apa pun caranya.
 
"justru karena kamu belum pernah melakukannya, biarkan saya menjadi yang pertama buatmu, Arlan!" saya berucap lagi, kali ini terdengar semakin jahat.
"nanti saya kasih kamu uang yang banyak, asal kamu mau melakukannya sekarang..." saya melanjutkan lagi, mencoba memberi tawaran kepada Arlan.

Arlan kembali terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

Saya tahu, posisi Arlan serba sulit. Ia pasti sangat takut kehilangan pekerjaannya. Namun sebagai laki-laki normal, tentu saja ia merasa jijik dan geli untuk melakukan hal tersebut dengan saya.
Tapi sekali lagi, saya sudah tidak peduli dengan hal itu. Saya sudah benar-benar tidak terkendali. Logika saya sudah tidak berjalan pada koridornya.
Saya hanya menginginkan Arlan, yang sudah terpampang jelas di depan mataku.

Setelah cukup lama Arlan terdiam dan berpikir. Ia pun berucap,
"baik..... baiklah, mas Aji. Saya mau. Asal saya dikasih uang, dan tolong jangan ceritakan kepada siapa pun tentang hal ini." Suara Arlan terdengar bergetar.

Saya pun tersenyum penuh kemenangan, sambil melangkah kian mendekat.
Saya tahu, Arlan tak akan berani menolak saya. Hati saya bersorak riang. Saya kembali merasa bergejolak. Sebuah keindahan nan sempurna telah terbayang dalam anganku.
Arlan terlalu indah, saya tidak akan melepaskannya.

"tapi saya belum pernah melakukan hal ini, mas Aji. Apa lagi dengan sesama lelaki." Arlan berujar, ketika saya hendak menyentuh dadanya. "saya tidak tahu harus melakukan apa..." lanjutnya, yang membuat saya tersenyum senang.

"kamu nikmati aja apa yang saya lakukan sama kamu..." ucap saya membalas, sambil saya mulai merapatkan tubuh saya ke tubuh atletis milik Arlan.

Saya tahu, Arlan berusaha menahan rasa jijik dan rasa gelinya. Ia terlihat memejamkan mata dan menahan nafas.
Saya juga tahu, tidak akan mudah bagi saya, untuk membuat Arlan bisa menikmati hal tersebut.
 
Tubuh Arlan bergetar kembali. Keringat dingin membasahi dada bidangnya.

Ketika bibir saya hendak menyentuh bibir Arlan, saat itulah tiba-tiba saya mendengar suara gaduh di luar.
Ternyata para pekerja telah kembali dari kebun, suara mereka terdengar ramai berbincang-bincang. Hala itu tentu saja membuat saya kaget. Saya pun spontan menghentikan tindakan saya terhadap Arlan. Saya melirik jam di dinding kamar, sudah hampir jam dua belas siang.
Tentu saja, ini adalah jam istirahat para pekerja.

Tak lama kemudian, saya mendengar suara pintu rumah terbuka. Saya pun dengan repleks memungut kembali pakaian saya yang berserakan, demikian juga Arlan. Kami memakai pakaian dengan tergesa.
Saya menyuruh Arlan untuk membuka pintu kamar, lalu saya berbaring berpura-pura tidur.
 
Dua orang teman Arlan hendak masuk ke dalam kamar, namun mereka kembali mundur, melihat saya yang sedang tertidur.
 
Siang itu saya gagal mendapatkan Arlan.
Namun hal itu justru membuat saya semakin penasaran.
Saya akan berusaha melakukan apa saja, untuk bisa mendapatkan Arlan.
Saya akan mengatur waktu dan tempat yang tepat, agar saya bisa lebih leluasa melampiaskan segala keinginan saya terhadap Arlan.
 
*******
 
Beberapa hari kemudian, setelah kejadian menegangkan di kebun sawit itu, saya kembali mendatangi barak tempat Arlan tinggal.
Kali ini, saya ke kebun sawit, bukan lagi karena disuruh ayah. Tapi karena aku masih penasaran dengan Arlan.
Karena itu, saya ke sana diam-diam. Lalu menemui pak Darman, untuk meminta izin membawa Arlan ke kota.

"saya hanya minta ditemani ke kota sebentar, pak Darman. Nanti sore saya antar lagi Arlan ke sini.."
ucap saya menjelaskan.
Dengan sedikit bingung, pak Darman pun mengizinkannya.

Saya dan Arlan berangkat ke kota, dengan mengendarai mobil yang memang sengaja saya bawa dari rumah tadi.

"tawaran saya masih berlaku buat kamu, Arlan." ucap saya mengawali pembicaraan, ketika kami sudah berada dalam perjalanan.
"kalau kamu mau, saya akan kasih kamu uang. Dan tentu saja, pekerjaanmu tetap aman.." saya melanjutkan.
 
Arlan masih terus terdiam. Saya tahu, ia merasa terpaksa untuk ikut dengan saya.
Tapi saya yakin, pada akhirnya ia tidak akan menyesali semua ini.
 
"lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Arlan akhirnya, setelah kami sudah berada di keramaian kota.
"ke sebuah hotel.." jawab saya singkat.
 
Tak lama berselang, mobil kami pun parkir di sebuah gedung hotel yang cukup mewah.
Saya memang sudah memesan sebuah kamar secara online.
Sehingga ketika sampai disana, kami langsung menuju kamar tersebut.

Arlan mengikuti langkah saya masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Setelah berada di dalam, saya segera menutup dan mengunci pintu.

Arlan terlihat sedikit kebingungan. Sepertinya ini pertama kalinya bagi Arlan, memasuki sebuah hotel.
Arlan benar-benar terlihat lugu.

"usia kamu berapa sih, Arlan?" tanya saya memecah keheningan.
Arlan duduk di tepian ranjang, saya berdiri tepat di hadapannya.

"19 tahun, mas..." jawabnya dengan suara terdengar bergetar.

Pantas. Pikirku.
Arlan masih terlalu sangat muda, empat tahun lebih muda dariku.

Sepertinya perjalanan hidupnya yang keras, membuat Arlan terlihat lebih dewasa dari usianya.

Setelah sedikit saya paksa, Arlan akhirnya pun bercerita tentang sepintas perjalanan hidupnya, hingga ia harus berada di perkebunan sawit tersebut.

"aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang miskin, sih." ucap Arlan memulai ceritanya.
"aku anak ke lima dari tujuh bersaudara. Aku memang berasal dari kampung, semua keluargaku tinggal di kampung. Pada saat usiaku masih empat belas tahun, aku sudah mulai merantau." lanjutnya.
"Karena kehidupan kami yang selalu kekurangan, aku dan saudara-saudaraku yang lain hampir tidak bersekolah sama sekali. Kecuali hanya lulusan SD."
"Dan merantau bukanlah sesuatu yang asing dalam keluarga kami."
Arlan menarik napas sejenak, lalu meneguk minuman dingin, yang sudah saya pesan sejak tadi.

Aku memang sengaja memesan beberapa makanan ringan dan berbagai minuman, untuk kami. Aku ingin Arlan merasa terkesan, dan tentu saja aku ingin, agar malam pertamaku dengan Arlan benar-benar menjadi malam yang luar biasa.
 
"Kakak pertamaku sudah merantau sejak masih berusia enam belas tahun. Begitu juga kakak ketiga ku, ia sudah sejak lama tidak pulang ke kampung." Arlan melanjutkan ceritanya lagi.
 
"Alasanku merantua bukan saja karena mengikuti jejak kakak-kakakku. Tapi juga karena tuntutan hidup. Tidak banyak pilihan pekerjaan di kampungku, selain jadi petani dan buruh."
 
Saya merasa cukup perihatin, mendengar cerita Arlan.

"Saya sempat beberapa tahun terlunta-lunta di kota. Sampai akhirnya saya bertemu pak Darman. Dan beliau pun mengajak saya ikut bekerja dengannya di perkebunan sawit itu..." lanjut Arlan mengakhiri ceritanya.

Dan saya masih terpaku. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup menyedihkan. Perlahan rasa iba kembali menyelinap dalam hatiku.
Perasaan tak tega semakin menguasaiku.

"saya sudah terbiasa hidup susah, mas Aji." ucap Arlan kemudian. "tapi saya juga takut kehilangan pekerjaan saya. Jadi saya sudah pasti tidak bisa menolak apapun keinginan mas Aji saat ini.." lanjutnya dengan nada lirih.

Mendengar hal itu, saya semakin tak tega. Saya seperti memanfaatkan kekuasaan saya, untuk mendapatkan keinginan saya.
Namun Arlan juga sudah pasrah, dan tentu saja hal itu merupakan sebuah keuntungan bagi saya.

"uang bukan tujuan utama saya, mas Aji. Tapi yang penting saya tetap bisa bekerja di kebun sawit tersebut.." suara lirih itu terdengar kembali.

"sekarang mas Aji, mau saya bagaimana?" tanya Arlan melanjutkan.

Saya masih terdiam. Berpikir panjang. Saya bisa saja dengan mudah mendapatkan tubuh Arlan. Tapi bukan itu tujuan utama saya.
Saya ingin Arlan juga jatuh cinta sama saya. Meksi itu merupakan sesuatu yang sulit dan butuh proses panjang.

Perlahan saya pun mulai mendekati Arlan. Memeluk tubuh kekarnya yang masih terasa sangat kaku bagiku.
Arlan memejamkan matanya, mencoba menahan rasa geli dan jijiknya padaku.

Namun pelan tapi pasti, saya mulai menguasai keadaan. Kepasrahan Arlan, membuatku lebih leluasa untuk mempermainkannya.

Siang itu, kami pun bersimbah keringat mencapai pendakian yang panjang.
Sungguh sangat luar biasa bagiku. Sebuah pengalaman yang sangat indah.

Arlan terhempas kelelahan, dan sepertinya ia bisa menikmati hal tersebut.
Itu terlihat dari senyumnya yang penuh kepuasan.

Dan bahkan, kami sampai menginap malam itu di hotel.
Aku sengaja menelpon pak Darman, untuk meminta izin Arlan pulang esok harinya.

"urusan saya belum selesai, pak Darman. Jadi kemungkinan kami pulangnya esok siang.." jelasku beralasan kepada pak Darman.
Aku yakin, pak Darman bisa memakluminya.

"kamu hebat, Arlan.." bisikku di telinga Arlan, ketika untuk kedua kalinya kami terhempas dari sebuah pendakian yang indah.
"kamu benar-benar perkasa. Aku semakin menyukaimu.." lanjutku masih berbisik.

Arlan hanya tersenyum tipis. Sepertinya ia benar-benar kelelahan. Saya pun segera memesan makan malam secara online. Untuk bisa memulihkan tenaga kami kembali.
Karena saya yakin, akan ada ronde berikutnya. Waktu masih sangat panjang untuk kami habiskan berdua malam ini.

Benar-benar hari yang panjang dan melelahkan, namun sangat berkesan bagiku.

Arlan sekarang sudah berada dalam genggamanku. Ia sudah mulai bisa menikmati hal tersebut.
Dan saya merasa sangat bangga bisa menaklukan pemuda kekar itu.

*********

Hari-hari selanjutnya, saya semakin sering meminta Arlan untuk menemani saya ke kota. Berbagai alasan saya berikan untuk meminta izin pada pak Darman.
Hubungan saya dan Arlan semakin dalam dan parah.
Dan tentu saja, saya selalu memberi sejumlah uang kepada Arlan, setiap kali kami menyelesaikan pendakian bersama.

Saya merasa puas dengan Arlan, jadi saya tidak merasa berat untuk memberinya upah yang layak.
Setidaknya dengan begitu, Arlan jadi punya pemasukan lain, selain dari upah dia memanen sawit.

Berbulan-bulan hal itu terjadi, aku semakin ketagihan karena Arlan. Dia memang laki-laki yang luar biasa. Aku semakin tak bisa untuk melupakannya.

Hingga suatu saat, Arlan pun berkata padaku. Saat kami bertemu kembali untuk kesekian kalinya di hotel yang berbeda.

"Ibuku sakit keras di kampung, mas Aji. Aku harus pulang besok.." ucapnya.
Kampung Arlan memang sangat jauh. Diperlukan perjalanan kurang lebih dua hari naik bis, untuk bisa sampai kesana.

"iya, gak apa-apa. Kamu pulang aja.." balasku dengan sedikit berat.
Biar bagaimanapun, saya masih belum bisa kehilangan Arlan. Saya sudah terlalu terbiasa melalui hari-hari bersama Arlan.
Tapi saya memang harus merelakan ia pergi. Setidaknya untuk beberapa waktu, menjelang ia kembali lagi kesini.

Esoknya, Arlan pun pulang kembali ke kampung halamannya. Saya, dengan berat hati melepaskan kepergiannya.

"aku pasti kembali, mas Aji..." ucap Arlan saat ia hendak menaiki bis yang ia tumpangi.
"aku pasti akan selalu menunggumu disini, Arlan.." balasku dengan nada sedih.

Sekuat mungkin aku berusaha untuk terlihat tegar. Sekuat mungkin aku berusaha untuk menahan air mataku agar tidak tumpah saat itu juga.
Berat rasanya harus terpisah dari Arlan. Tapi aku harus bisa ikhlas.
 
******
 
Seminggu dari hari kepergian Arlan, saya masih bisa terus menghubunginya melalui ponsel.
Arlan mengabarkan kalau ibunya akhirnya meninggal. Saya pun menyampaikan rasa turut berduka saya pada Arlan.
 
"saya mungkin masih sangat disini, mas Aji.." ucap Arlan kemudian.
"iya, gak apa-apa, Arlan. Aku akan tetap menunggu kamu disini.." balasku lirih.
Hatiku sebenarnya ingin Arlan segera kembali, tapi aku tidak mungkin memaksanya.
Biar bagaimanapun sebenarnya kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami tidak punya ikatan apa-apa.
Yang terjadi selama ini hanyalah, Arlan bersedia melayani saya, karena ia mendapatkan upah.
Bukan atas dasar suka sama suka.
Meski tidak bisa saya pungkuri, kalau Arlan sebenarnya mulai menikmati hubungan kami.
 
Hari-hari terus berlalu, hingga lebih dari sebulan, Arlan belum juga kembali.
Dia bahkan sudah tidak bisa dihubungi lagi, nomornya sudah tidak aktif.
Saya mulai merasa khawatir, jangan-jangan Arlan memang tidak akan pernah kembali lagi kesini.
Dan hal itu tentu saja, membuat saya sangat kecewa dan terluka.
 
Hari-hari saya semakin terasa sepi dan tak bergairah. Saya sering menghabiskan waktu, mengurung diri di kamar. Hidupku tiba-tiba terasa hampa.
 
Sedalam itukah saya mencintai Arlan?
Mengapa bayangan selalu melintas dalam pikiranku?
Mengapa saya tidak berusaha untuk melupakannya?
Padahal sudah jelas-jelas Arlan sudah menghilang.
Saya masygul. Saya benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa saat ini.
 
Ingin rasanya saya mendatangi kampung Arlan, untuk bertemu dengannya.
Namun selain karena jarak yang jauh, saya juga tidak tahu pasti dimana kampung Arlan sebenarnya.
Saya hanya tahu namanya, tapi tidak tahu tempatnya.
 
Lagi pula, jika pun saya nekat mendatangi Arlan di kampungnya, belum tentu Arlan akan menyambut saya dengan manis. Karena bisa saja sebenarnya, Arlan memang sengaja menghindar.
Untuk itu saya akhirnya hanya bisa pasrah.
 
*******
 
Beberapa bulan berlalu, saya enggan untuk menghitungnya. Saya benar-benar sudah pasrah. Harapan saya untuk bisa bertemu Arlan lagi terasa sudah musnah.
Arlan benar-benar menghilang, dan saya merasa sangat sakit karenanya.
 
Dalam kepasrahan saya itulah, tiba-tiba saya mendapat kabar kalau Arlan sudah kembali lagi ke perkebunan sawit. Pak Darman yang cerita, ketika ia datang ke rumah untuk bertemu ayah.
 
"udah dua hari Arlan mulai bekerja lagi di kebun, mas Aji.." jelas pak Darman padaku, yang membuatku tersenyum riang.
 
Esoknya saya pun berangkat ke kebun, untuk menemui Arlan. Rasa rindu saya sudah sangat menggunung. Rasanya saya sudah tidak sanggup menahannya.
Saya sangat merindukan senyuman manis Arlan.
 
Sesampai disana Arlan menyambut saya dengan senyum khas-nya itu. Tapi tentu saja, kami hanya bisa saling tatap, tanpa bisa saling peluk. Pastinya hal itu akan terlihat aneh di mata orang-orang.
Namun yang pasti hati saya merasa sangat bahagia melihat Arlan kembali.
 
Sore itu, saya pun meminta izin pada pak Darman untuk mengajak Arlan ke kota.
Saya pun menyewa sebuah hotel untuk tempat kami bertemu dan saling melepas rindu.
 
"kemana saja kamu, Arlan? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" saya memberondongi Arlan dengan beberapa pertanyaan, saat kami sudah berada di dalam hotel.

"maaf, mas Aji. Saya terpaksa menjual ponsel saya, untuk membantu biaya sekolah adik saya yang paling kecil. Ia baru saja lulus SMP tahun ini, jadi butuh biaya banyak." jelas Arlan.

"aku juga harus kerja dulu di kampung, mas Aji. Untuk cari ongkos kembali kesini.." lanjut Arlan.

Kemudian ia pun duduk di sampingku di atas ranjang.
"aku sangat merindukan mas Aji.." ucap Arlan pelan, yang membuatku merasa tersanjung.
Ternyata bukan hanya saya yang menanggung rindu selama ini. Tapi Arlan juga.
Hatiku semakin bersorak senang menyadari semua itu.

"aku.. aku sayang sama mas Aji..." ucap Arlan lagi dengan sedikit terbata.
"aku juga sayang kamu, Arlan.." balasku tegas.

Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aroma harum napas Arlan tercium di hidungku.
Aku merasa begitu bahagia malam itu. Segala rasa rindu yang selama ini terpendam aku tumpahkan dengan segenap jiwaku.

Arlan juga seperti enggan melepaskanku. Dia ingin kembali merasakan pendakian yang indah itu bersamaku.

"kamu begitu sempurna, mas Aji. Aku tidak bisa melupakan kelembutan mas Aji. Aku ingin selalu merasakannya. Tak peduli aku di bayar atau tidak, yang penting aku bisa terus bersama mas Aji..." kali ini Arlan membisikkannya di telingaku, sambil ia terus membuaiku dalam lautan cinta yang indah.

Cinta kami pun akhirnya menyatu padu, melebur dalam sebuah rasa yang indah.
Pendakian-pendakian berikutnya semakin penuh gejolak.
Hati kami menyatu, jiwa raga kami pun tak ingin terpisah.
Kami enggan untuk saling mengakhiri, kami ingin tetap menyatu dalam lautan cinta itu.
 
Kini hatiku benar-benar bahagia, akhirnya aku bisa memiliki pemuda kekar sang tukang panen itu.
Aku bukan hanya bisa memiliki raganya tetapi juga hati dan jiwanya.
 
Kan kuserahkan seluruh hidupku untuk Arlan. Aku akan selalu ada untuknya. Membantunya melewati beratnya sebuah perjalanan hidup.
 
Kami akan tetap bersama, meski itu semua tidaklah akan selalu mudah.
Tapi aku percaya, kekuatan cinta bisa mengalahkan apapun.
Semoga saja..
 ****
Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate