Namaku Farid. Saat ini aku sudah berusia 18 tahun lebih. Aku sekolah di sebuah SMA favorit di kotaku. Beberapa bulan lagi aku akan menyelesaikan masa SMA-ku.
Aku tinggal di sebuah perumahan sederhana, bersama kedua orangtuaku dan juga dua orang adik-adikku.
Kehidupan
kami cukup sederhana. Ayahku mempunyai sebuah usaha toko bangunan, yang
berada cukup jauh dari rumah tempat kami tinggal. Ayah dan Ibuku setiap
hari selalu berada di toko. Aku dan adik-adikku juga jarang di rumah,
karena harus bersekolah. Dan biasanya adik-adikku akan langsung ke toko
sepulang sekolah. Aku sering sendirian di rumah, bahkan hingga malam.
Karena ayah, Ibu dan adik-adikku memang selalu pulangnya malam.

Aku tahu, aku 'sakit' sejak aku duduk di kelas satu SMA. Entah
mengapa aku lebih menyukai laki-laki. Berawal dari rasa kagumku terhadap
guru olahragaku di sekolah. Beliau memang tampan dan juga sangat
atletis. Sosoknya benar-benar membuatku jatuh cinta padanya. Namun tentu
saja, semua perasaan itu hanya bisa aku pendam. Biar bagaimana pun,
beliau adalah guruku dan juga beliau sudah menikah dan mempunyai dua
orang anak.
Hampir setiap malam, aku selalu berkhayal tentang pak
Afis, guru olahragaku tersebut. Aku begitu menginginkannya. Membayangkan
bisa berada dalam pelukan hangatnya.
Aku seorang yan pendiam dan sedikit pemalu. Aku tidak punya banyak
teman baik di sekolah maupun di lingkungan tempat aku tinggal. Aku lebih
sering menyendiri dan menghabiskan waktuku dengan membaca buku-buku.
Lebih dari dua
tahun aku berada di SMA tersebut, selama itu pula aku hanya bisa
memendam perasaanku terhadap pak Afis. Dua tahun aku hanya bisa
mengaguminya dalam hatiku. Membayangkan tubuh kekarnya hampir setiap
malam. Namun aku cukup bahagia dengan semua itu. Pak Afis adalah sosok
yang sangat pantas untuk dikagumi.
********
Hari-hari berlalu seperti biasa. Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan hidupku.
Hingga
suatu pagi, saat itu hari minggu. Seperti biasa semua keluargaku pergi
ke toko. Tinggallah aku sendirian di rumah. Sehabis mandi dan sarapan,
aku pun merebahkan tubuhku di depan layar TV di ruang keluarga kami.
Setelah beberapa menit, aku mendengar suara ketukan di pintu. Dengan
sedikit malas aku pun menuju ruang tengah untuk melihat siapa yang
datang.
"galonnya, mas..." ucap seorang laki-laki yang sudah berdiri di depan pintu.
sesaat
aku terperangah menatapi laki-laki pengantar galon tersebut. Ia hanya
memakai celana jeans pendek yang memang sengaja di potong, dengan
bertelanjang dada.
Aku sudah beberapa kali pernah melihat
laki-laki tersebut. Aku juga tahu namanya, Alex. Dia memang setiap
minggu mengantar galon ke rumah. Biasanya Ibuku yang mengurus hal
tersebut. Dan biasanya ia datang jauh lebih pagi dari hari ini.
"maaf, mas. Tadi saya ada kerjaan lain, jadi ngantar galonnya agak
sedikit telat. Tadi Ibu mas udah pesan, katanya saya suruh antar
langsung ke rumah..." Alex berucap lagi, setelah melihat aku hanya
terbengong.
"oh..ah...iya...iya... langsung bawa masuk aja, bang..." ucapku tergagap tiba-tiba.
Aku segera membukakan pintu lebih lebar, agar Alex lebih mudah mengangkat galonnya ke dalam.
Alex
tersenyum sambil mengangkat galon ke dalam. Ada empat buah galon yang
berada dalam keranjang besi diatas sebuah motor butut milik Alex.
Aku
terus saja menatap Alex yang dengan cekatan mengangkat galon-galon
tersebut. Otot-otot lengannya terlihat jelas. Alex memang mempunyai
kulit yang agak gelap, namun tubuhnya sangat kekar dan berotot. Dadanya
bidang dengan perut yang ramping. Ada bulu-bulu halus di sekitaran
pusarnya. Alex juga tidak terlalu tampan, tapi ia terlihat manis saat
tersenyum.
Entah mengapa melihat itu semua, dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ada
gejolak yang tiba-tiba aku rasakan. Jantungku berdetak lebih kencang
dari biasanya. Dalam pikiranku aku membayangkan bisa memeluk tubuh seksi
Alex yang terpampang jelas di depanku.
"udah semua, mas..." ucap Alex mengagetkanku, saat ia telah selesai mengangkuti semua galon ke dapur.
Aku
tergagap kembali, terutama saat itu Alex berdiri hanya setengah meter
di depanku. Butiran keringat kecil mengaliri tubuh seksinya. Dan hal itu
tentu saja membuatku semakin gelagapan tak karuan. Aku jarang sekali
berbicara berdekatan dengan orang-orang, terutama dengan laki-laki. Dan
lagi pula Alex berdiri di depanku dengan bertelanjang dada.
Alex tersenyum melihatku yang salah tingkah.
"kamu kenapa, mas Farid?" suara Alex terdengar seperti menggoda di telingaku, yang membuatku semakin merinding.
"oh...gak....aku
gak apa-apa.." jawabku masih dengan suara tergagap. "bang Alex tunggu
disini sebentar ya, aku mau ambil uang di kamar dulu..." lanjutku
berusaha bersikap wajar.
Aku segera melangkah menuju kamarku yang
berada tidak jauh dari ruang tengah. Aku masuk ke kamar dengan sedikit
menarik napas. Aku mencari-cari uang dalam dompetku, hingga tanpa aku
menyadarinya ternyata Alex sudah berada di belakangku. Ternyata Alex
sengaja mengikutiku masuk ke dalam kamar. Aku terperanjat seketika.
Namun Alex tetap melangkah semakin mendekat. Jantungku berdebar kembali.
Perasaanku campur aduk.
Alex berdiri di depanku dengan senyuman manisnya.
"bang Alex kenapa gak tunggu diluar saja.." tanyaku dengan suara bergetar, menahan gejolakku sendiri.
"mas Farid gak suka sama saya?" tanya Alex, yang membuatku sedikit bingung.
"saya......" kalimatku terhenti, ketika tangan Alex tiba-tiba menyentuh pundakku.
"saya suka melihat mas Farid. Mas Farid sangat tampan dan putih..." Alex berkata sambil mengelus-elus pundakku dengan lembut.
Aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa saat itu. Seumur
hidupku, baru kali ini seseorang memujiku. Kalimat Alex barusan
benar-benar membuatku merasa tersanjung. Namun yang paling membuatku
semakin berbunga, ialah ketika dengan blak-blakan Alex mengatakan kalau
ia menyukaiku. Sungguh tak pernah terpikir olehku sebelumnya, jika Alex
juga seorang yang 'sakit'.
Alex memang menarik secara fisik,
tapi aku tidak begitu mengenalnya. Meski pun ada keinginan untuk
menerimaa ajakan Alex, namun aku segera menepis tangan Alex dari bahuku.
"maaf,
Lex. Saya gak bisa..." ujarku pelan. "kita juga tidak mungkin melakukan
hal tersebut dirumahku.." lanjutku mencoba memberi pengertian pada
Alex.
Alex melepaskan tangannya, ia terlihat sedikit murung. Tapi aku
juga tidak begitu peduli. Aku tahu, apa yang dirasakan Alex bukanlah
cinta yang sesungguhnya. Itu semua bisa saja hanya sebuah rasa kagum
atau justru hanya sebuah nafsu belaka.
Aku berjalan keluar, Alex
mengikutiku dengan gontai. Dalam pikiranku saat ini hanya ada pak Afis.
Dia satu-satunya laki-laki yang mampu merasuki hati dan pikiranku.
Meski
pun Alex sempat menyita perhatianku karena keterus-terangannya, namun
semua itu tidak mampu membuatku melupakan sosok pak Afis.
Dari Alex
aku belajar, untuk lebih berani dan berterus terang. Setidaknya dengan
berterus terang kita bakal tahu, apa yang orang tersebut rasakan pada
kita.
"maaf ya, mas Farid. Saya tidak bermaksud..." ucap Alex lemas, saat ia hendak menaiki motornya untuk pergi.
"ya,
saya paham. Saya bisa merasakan apa yang bang Alex rasakan. Tapi sekali
lagi saya mohon maaf, saya belum bisa..." balasku, sambil perlahan
menutup pintu.
***********
Hari-hari berikutnya aku masih
tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Berangkat sekolah pada pagi
hari, seperti biasa. Aku sempat bertemu Alex beberapa kali, namun kami
hanya saling tersenyum dari kejauhan. Rasanya ada yang beda, setiap kali
bertatap pandang dengan Alex. Sekarang aku tahu, bahwa di lingkungan
perumahan ini, aku bukan satu-satunya yang 'sakit'.
Suatu hari,
aku berangkat sekolah agak sedikit terlambat, karena telat bangun pagi.
Sesampai di sekolah, pak Darman, satpam sekolah, sudah menutup pintu
pagar. Dengan sedikit memelas, aku memohon kepada pak Darman untuk
membuka pintu pagar untukku.
Pagi itu jam olahraga, sebuah
pelajaran favoritku. Selain karena belajar di luar ruangan, tentu saja
juga karena aku akan bisa menatap pak Afis dari dekat. Aku akan bisa
melihat tubuh kekar pak Afis yang biasanya akan berkeringat.
Setelah
berganti pakaian, aku pun dengan sedikit berlari menuju lapangan olahraga. Disana
sudah berkumpul teman-teman sekelas dan juga sudah ada pak Afis. Tentu
saja, kehadiranku disana, menarik perhatian mereka, karena tak biasanya
aku terlambat.
Pak Afis memanggilku ke depan. Tubuhku tiba-tiba
gemetaran, dadaku bergemuruh hebat. Aku tak biasa berada dalam situasi
seperti itu. Aku memang pemalu dan jarang sekali tampil ke depan.
Teman-teman tak banyak yang mengenalku, karena aku memang pendiam.
Aku berdiri di depan dengan kepala tertunduk. Perasaanku benar-benar tak karuan.
"kenapa
kamu terlambat?" suara pak Afis mengagetkanku. Namun aku tetap
tertunduk, tak berani menatap wajah pak Afis. Aku tetap diam mematung,
takut untuk berbicara.
Melihat aku yang hanya terdiam, pak Afis
akhirnya menyuruhku untuk ikut berbaris bersama teman-teman yang
lain. Aku pun menurutinya.
"nanti jam istirahat, kamu temui saya
di ruang saya ya..." ucap pak Afis lagi, ketika aku hendak melangkah
menuju barisan. Kali ini, aku beranikan diri menatap pak Afis, sambil
sedikit mengangguk. Aku tidak tahu, kenapa pak Afis menyuruhku
menemuinya. Tapi aku, entah mengapa, semakin merasa tak karuan dan
takut. Aku takut pak Afis akan memarahiku, karena terlambat hari ini.
Ketika
jam istirahat, aku pun melangkah gontai menuju ruangan pak Afis yang
berada di ujung gedung. Aku mengetuk pintu, dan pak Afis mempersilahkan
aku masuk.
Pak Afis hanya sendirian di ruangan tersebut. Ia duduk
di kursi kerjanya sambil menatapku, yang melangkah mendekat. Aku
melangkah dengan tertunduk. Perasaan takutku kian menjadi.
"duduk!" perintah pak Afis, saat aku sudah berada di depan meja kerjanya.
Aku pun kemudian duduk dan dengan ragu mulai menatap wajah pak Afis. Kulihat pak Afis tersenyum tipis.
"dari
dulu saya paling tidak suka ada siswa yang terlambat ketika jam
pelajaran saya. Harus ada hukumannya untuk semua itu..." ucap pak Afis
tegas.
Aku terdiam. Rasa takutku semakin menjadi. Entah hukuman
apa yang akan pak Afis berikan padaku. Tapi aku harus menerimanya,
karena aku memang bersalah.
Tiba-tiba pak Afis berdiri, lalu
melangkah mendekatiku. Ia berdiri di depanku sambil bersandar di meja
kerjanya. Aku mengangkat wajah. Aku menatapi tubuh kekar pak Afis yang memakai celana training ketat itu. Aku menatapnya terkesima. Jarak pak Afis tidak sampai
setengah meter dariku. Jantungku berdebar-debar tak karuan. Tapi pak
Afis terlihat santai.
"kamu saya beri hukuman untuk membersihkan
wc itu.." ucap pak Afis, sambil ia menunjuk ruang wc yang ada di sudut
ruangan tersebut.
"baik pak.." balasku cepat, sambil berdiri. Aku
berdiri di depan pak Afis, wajah kami berdekatan. Aroma harum nafas pak
Afis tercium di hidungku. Aku menghirupnya sejenak, lalu memutar langkah
menuju wc yang tadi pak Afis tunjuk. Gemuruh di dadaku semakin tak
karuan.
Sesampainya di dalam wc, aku menarik napas panjang,
sekedar menenangkan pikiranku.
Imajinasi liarku sempat muncul sesaat tadi, ketika pak Afis berada sangat dekat denganku.
Aku sempat berpikir macam-macam. Tapi ternyata pak Afis hanya menyuruhku untuk membersihkan wc, yang
sebenarnya tidak begitu kotor. Namun karena ini sebuah hukuman, aku dengan
terpaksa mulai membersihkannya.
Selang beberapa saat, saat aku
sedang sibuk menggosok lantai wc tersebut. Tiba-tiba pak Afis muncul di
belakangku. Ia berdiri menatapku.
Aku kaget dan merasa takut. Pak Afis berdiri di
depanku, yang sedang jongkok.
"kamu suka fitness?" pak Afis melontarkan pertanyaannya dengan tegas.
Aku hanya menggeleng ringan. Aku jadi sedikit bingung, kenapa pak Afis tiba-tiba bertanya seperti itu.
"pantas badan kamu kurus dan lembek seperti itu." ucap pak Afis lagi, kali ini lebih lembut namun cukup menyakitkan bagiku.
Tapi aku sudah terbiasa mendengar kalimat seperti itu, terutama dari bullyan teman-teman sekelasku.
"kamu mau gak, ikut fitness di tempat bapak? Kebetulan bapak baru buka tempat fitness, jadi sekalian promosi. Nanti untuk kamu, bapak langsung yang akan jadi mentornya..." lanjut pak Afis berujar lagi.
Entah mengapa aku merasa sangat senang mendengarnya. Pak Afis mau menjadi mentor-ku untuk fitness di tempatnya?
Itu seperti sebuah peluang emas bagiku, untuk bisa selalu berada dekat dengan pak Afis.
"udah tenang aja, untuk kamu nanti bapak kasih diskon, deh.." ujar pak Afis selanjutnya.
"kamu mau gak?" tanya pak Afis, melihat aku hanya terdiam.
Aku menghentikan kegiatanku, lalu berdiri tepat di hadapan pak Afis.
"iya, aku mau, pak.." jawabku lugas.
"oke. Ini alamat tempat fitness-nya, kamu bisa datang setiap sore, agar badan kamu bisa lebih cepat terbentuk..." ucap pak Afis, sambil menyerahkan secarik kertas yang berisi sebuah alamat, tempat fitness tersebut.
Aku dengan segera mengambil kertas tersebut, sambil menatap pak Afis tersenyum.
"makasih, pak.." ucapku.
"kamu memang tampan, tapi jika tidak di dukung dengan tubuh yang kekar, kamu jadi tidak terlalu menarik.." ucapan pak Afis itu, membuatku terasa melayang.
Tak kusangka pak Afis akan memujiku seperti itu, yang membuatku semakin bersemangat untuk ikut fitness bersamanya.
Aku sih berharap, pak Afis juga akan tertarik padaku. Meski hal itu masih terasa mustahil bagiku.
"ya
udah. Sekarang sudah jam masuk. Kamu boleh kembali ke kelas. Tapi
ingat! Lain kali jangan terlambat lagi ya, terutama di jam pelajaran
saya..." ucap pak Afis lagi, sambil ia melangkah menuju meja kerjanya.
Aku
segera melangkah keluar. Perasaanku masih tak karuan. Tapi setidaknya, sekarang aku sudah punya peluang untuk bisa menjadi dekat dengan pak Afis.
***********
Sore itu, aku pun mendatangi alamat tempat fitness pak Afis.
Pak Afis menyambutku dengan ramah. Tempat itu memang terlihat masih baru. Masih belum begitu ramai. Perlatannya juga masih baru-baru.
"bagaimana? Udah siap untuk latihan?" suara khas pak Afis memulai pembicaraan, saat aku sudah berada di dalam ruangan tersebut.
"siap, pak." jawabku.
"tapi kamu jangan lupa promosikan tempat ini ya.." ucap pak Afis lagi.
Aku hanya mengangguk mantap.
Aku menatap pak Afis yang hanya memakai celana pendek dan baju kaos tanpa lengan.
Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku. Karena selama ini, aku hanya melihat pak Afis memakai baju olahraga di sekolah.
Lengannya yang kekar dan berotot terlihat jelas. Pak Afis benar-benar sempurna.
"kamu sudah punya pacar?" tanya pak Afis, di sela-sela latihan kami.
"belum, pak." jawabku.
"kenapa? Padahal kamu tampan.." ucap pak Afis lagi.
Karena aku tidak suka perempuan, pak. Aku sukanya sama bapak. Jawabku dalam hati.
Tapi aku tidak mengeluarkan suara sama sekali.
Pak Afis pun tidak melanjutkan pertanyaannya. Sepertinya ia sadar, kalau pertanyaan itu terlalu pribadi.
"usia bapak udah berapa, sih, pak?" tanyaku, saat kami beristirahat menjelang pulang.
"menurut kamu?" tanya pak Afis balik.
"30 tahun.." tebakku mengira-ngira.
"36 tahun." jawab pak Afis tegas.
"tapi masih terlihat sangat muda, pak. Apa lagi badan bapak kekar seperti itu." ucapku mulai berani.
Pak Afis tersenyum, lalu berucap.
"kamu suka gak?"
Pertanyaan itu, membuatku jadi salah tingkah. Aku tidak benar-benar mengerti maksud dari pertanyaan pak Afis barusan. Aku juga takut salah paham.
"kalau kamu suka, makanya latihan yang rajin, biar nanti tubuh kamu juga seperti ini.." pak Afis berucap lagi, melihat aku hanya tertunduk.
"iya, pak." jawabku singkat.
Setelah berpamitan, aku pun segera pulang.
Diperjalanan pulang menuju rumahku, aku bertemu Alex.
"dari mana, mas Farid?" tanya Alex berbasa-basi.
"gak ada, dari jalan-jalan aja ..." jawabku sedikit berbohong, karena aku memang tidak ingin Alex tahu, kalau aku ikut fitness.
"mau aku antar ke rumahnya, mas?" tanya Alex lagi.
Alex memang sedang berada di atas motor bututnya, tanpa ada galon di belakangnya.
Aku juga tadinya naik angkot, namun hanya sampai di ujung gang menuju perumahan tempat aku tinggal. Jadi dari simpang gang itu, aku memang biasa berjalan kaki.
Karena merasa lelah, sehabis latihan fitness, aku pun menerima tawaran Alex.
Aku duduk di belakang Alex dengan perasaan yang tak karuan. Biar bagaimana pun, aku tahu kalau Alex menyukaiku. Meski perasaanku padanya biasa saja.
Alex mengantarku sampai rumah, lalu kemudian pamit pulang, setelah aku mengucapkan terima kasih.
******
Hari-hari berikutnya aku pun hampir setiap hari bertemu pak Afis, tentu saja di tempat fitness-nya.
Setelah berbulan-bulan, tubuhku pun mulai terbentuk. Pak Afis melatihku dengan sangat sabar.
Kami juga semakin akrab dan dekat. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Selain bisa membentuk tubuhku jadi atletis dan kekar, aku juga bisa selalu dekat dengan pak Afis yang sangat aku kagumi itu.
Hingga akhirnya aku pun lulus SMA.
Meski pun sudah kuliah, aku masih terus ikut fitness bersama pak Afis.
Tempat fitness pak Afis pun semakin berkembang. Tentu saja, ada peran kecilku disana. Aku memang rajin mempromosikannya, terutama di media sosial. Sehingga tempat jadi cukup dikenali orang-orang.
"kamu mau gak, jadi salah seorang personal trainer di sini, Rid?" tanya pak Afis suatu hari padaku.
"tubuh kamu juga udah oke. Kamu hanya perlu mempertahankannya sekarang. Jadi kamu bisa sekalian latihan dan melatih orang lain." lanjutnya lagi.
Tanpa pikir panjang, aku pun menyetujuinya. Lumayan juga hasilnya. Tapi yang paling penting, aku bisa terus bersama pak Afis.
Aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hati pak Afis. Aku akan selalu memperjuangkan cintaku padanya. Sampai kapan pun.
Hingga suatu hari, saat itu hari minggu. Aku memang tidak berniat pergi kemana-mana.
Tiba-tiba alex datang ke rumahku, kali ini ia tidak mengantar galon.
"ada apa, Lex?" tanyaku.
"kita jalan-jalan yuk, mas Farid.." jawab Alex sedikit memohon.
Aku dan Alex memang sudah mulai dekat, apa lagi Alex memang tidak pernah menyerah untuk mendekatiku. Ada saja caranya untuk bisa mengobrol denganku.
Bahkan Alex pernah nekat datang ke rumahku saat malam minggu. Aku menanggapinya biasa saja. Aku hanya mencoba menghargai perasaannya padaku.
Kami pernah beberapa kali jalan bareng. Sekedar makan-makan di warung pinggir jalan atau sekedar nonton di bioskop.
Karena aku yang jarang sekali punya teman dekat, kehadiran Alex cukup menghiburku.
Dari Alex aku jadi tahu, kalau ia seorang yatim piatu sejak kecil. Selama ini ia tinggal bersama kakak tertuanya, yang punya usaha galon itu. Dan ternyata Alex lebih muda setahun dariku.
Namun kehidupannya yang keras, membuat ia terlihat lebih tua dari usianya.
"jalan-jalan kemana?" tanyaku akhirnya.
"ke mall yang kemarin, mas. Aku mau beli sesuatu disana..." jawab Alex lugas.
"oke. Tunggu sebentar ya. Aku mau ganti baju dulu.." ucapku, sambil masuk ke dalam lagi.
"ngapain ganti baju, mas! Mas Farid pakai apapun tetap terlihat keren, kok." aku mendengar sayup-sayup kalimat Alex barusan dari kamarku.
Aku tak menggubrisnya. Alex memang selalu terbuka padaku, terutama tentang perasaannya.
Dia sudah terlalu amat sering melontarkan kalimat-kalimat pujian seperti itu.
Aku memang tersanjung karenanya, namun itu belum mampu mengubah perasaanku padanya.
Aku salut dengan perjuangannya yang tidak kenal menyerah, tapi hal itu justru menjadi inspirasi bagiku untuk tidak menyerah juga dalam menggapai hati seorang pak Afis.
Kami menuju mall itu dengan menaiki sebuah angkot. Sesampai disana, kami langsung menuju tempat yang ingin dituju oleh Alex dari awal.
Saat itu aku bertemu dengan pak Afis. Dia sedang berbelanja dengan istri dan juga anak-anaknya.
"Farid.." pak Afis yang menegurku duluan.
"iya, pak.." jawabku cepat.
"lagi ngapain kamu disini?" tanya pak Afis.
"ini pak, kawan minta ditemani..." jawabku sedikit belepotan, sambil menunjuk ke arah Alex yang menatap kami tersenyum.
Pak Afis hanya manggut-manggut, lalu kemudian ia permisi untuk melanjutkan kegiatannya bersama keluarganya.
Sekilas aku melihat raut tidak senang dari wajah pak Afis, saat aku memperkenalkan Alex padanya.
Tapi aku segera mengabaikan hal tersebut. Bisa saja itu hanya halusinasiku saja.
Setelah beberapa jam berkeliling mall itu, dan mendapatkan benda yang di carinya, Alex segera mengajakku untuk pulang. Karena hari memang sudah mulai sore.
*******
Esoknya aku bertemu pak Afis lagi di tempat fitness. Aku merasa ada yang beda dari sikap pak Afis padaku hari itu.
Tapi aku berusaha bersikap biasa saja. Mungkin pak Afis lagi ada masalah dengan istrinya. Pikirku.
Sampai saat ketika aku hendak pulang, pak Afis memanggilku ke ruang kerjanya.
"yang kemarin itu siapa?" tanya pak Afis, saat aku sudah duduk di depan meja kerjanya. Ia menatapku tajam.
"maksud pak Afis? Alex?" tanyaku dengan kening berkerut. Setengah tak mengerti aku dengan pertanyaan pak Afis, yang bernada seperti curiga itu.
"iya, siapa dia?" pak Afis bertanya lagi, yang membuatku semakin bingung.
"dia Alex, pak. Teman satu kompleks-ku.." jelasku seadanya.
"teman apa teman?" pak Afis bertanya lagi, kali ini nadanya semakin penuh kecurigaan.
"maksud pak Afis apa, sih?" tanyaku akhirnya, aku benar-benar tidak mengerti.
"kamu jangan pura-pura gak paham, deh, Rid. Kamu pacaran, kan sama Alex itu.."
ucapan pak Afis yang terlontar begitu tajam itu, benar-benar membuatku terkesima.
Bagaimana mungkin pak Afis punya pikiran seperti itu?
Tapi bukankah itu berarti, pak Afis sudah tahu, kalau aku seorang gay?
Dan kalau pun benar, pak Afis sudah tahu, lalu apa urusannya dengan aku pacaran atau tidak sama Alex?
Atau jangan-jangan ...
"pak Afis cemburu?" tanyaku, antara penasaran dan rasa khawatir.
Tiba-tiba pak Afis bungkam. Ia tertunduk, bak anak kecil yang sedang dimarahi mama.
"pak Afis suka sama saya?" tanyaku lagi, "pak Afis juga gay?" tanyaku berikutnya, tanpa jeda.
Aku benar-benar penasaran. Aku benar-benar ingin tahu.
Mengapa pak Afis tiba-tiba jadi begitu peduli dengan siapa aku berjalan. Aku merasa ada yang aneh.
Cukup lama suasan hening, pak Afis seperti enggan untuk menjawab.
Tapi aku sudah mengira-ngiranya. Meski hatiku sendiri ragu.
"aku memang suka sama kamu, Farid. Dan aku memang seorang gay." pak Afis berucap juga akhirnya, dia juga cukup berani menatapku.
"dan aku tak rela kamu jalan sama cowok lain..." lanjutnya, tatapannya semakin tajam menusuk jantungku.
"tapi selama ini..." suaraku terbata.
"ya, aku tahu. Selama ini aku cukup cuek sama kamu. Aku terlalu malu untuk mengakuinya.Sebenarnya aku sangat menginginkan kamu, Farid. Sudah sejak lama..." ucap pak Afis terdengar lirih.
"aku dan Alex tidak ada hubungan apa-apa. Meski sebenarnya Alex menyukaiku. Tapi aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Selama ini aku hanya menyukai pak Afis. Tapi pak Afis terlalu cuek orangnya. Jadi selama aku hanya bisa memendam perasaanku.." ucapku menjelaskan, dan aku merasa lega bisa mengungkapkan semua itu.
Rasa yang selama ini hanya bisa aku pendam, hari ini terungkap sudah.
"aku juga menyukai kamu, Rid. Tapi kamu tahu, kan? Kalau aku sudah punya istri dan anak.." ucap pak Afis, sambil ia berdiri mendekatiku.
"iya, aku tahu pak. Tapi itu tidak merubah perasaanku pada pak Afis. Aku mencintai pak Afis dengan sepenuh hatiku. Tak peduli apapun status pak Afis saat ini..." balasku dengan suara lirih.
Tiba-tiba pak Afis meraih tanganku, kemudian menggenggamnya erat.
Aku membalas genggaman itu. Tangan itu terasa hangat. Tubuhku bergetar hebat.
Pak Afis yang selama ini hanya ada dalam khayalanku, kini berada tepay dihadapanku.
Aku berdiri, sambil terus menggenggam tangan kekar itu.
Pak Afis kemudian mendekapku erat. Tubuh itu kekar itu benar-benar terasa hangat, mengaliri setiap nadiku.
Semua itu terasa indah bagiku. Sangat indah!
Aku membalas dekapan pak Afis. Tubuh kami menyatu dalam sebuah ikatan cinta yang sempurna.
Sungguh tak pernah aku duga akan semudah ini. Semua ini benar-benar diluar dugaanku.
Akhirnya aku bisa mendapatkan pria kekar nan tampan itu. Meski butuh waktu bertahun-tahun dan perjuangan serta kesabaran yang cukup berat.
Namun buah dari kesabaran itu sungguh luar biasa.
Kini hari-hari jadi semakin berwarna.
Aku pun mencoba berterus terang kepada Alex dan menceritakan semuanya. Aku tidak ingin ada salah paham, apa lagi jika hal itu bisa merusak hubunganku dengan pak Afis.
Aku tak akan pernah melepaskan pak Afis, walau dengan alasan apapun.
Aku akan menjaga cinta ini, meski apapun resikonya.
Aku sangat mencintai pak Afis. Dan aku sangat bahagia, karena ternyata pak Afis juga mencintaiku.
I love you, pak Afis. Kamu adalah yang terbaik...
****
Sekian ...