Arlan, si Tukang panen sawit kekar ...

Ini pertama kali saya pergi ke kebun. Kebun sawit milik ayah, cukup luas. Kebun itu berada di sebuah desa tak seberapa jauh dari kota tempat saya tinggal. Kebetulan ayah sedang ada kerjaan di luar kota, untuk itu ayah meminta saya untuk menengok kebunnya, kebetulan saya sedang libur kuliah.

Sampai disana saya disambut oleh pak Darman, orang kepercayaan ayah untuk mengelola kebunnya.
"eh, mas Aji.." kata pak Darman menjabat tangan saya, "tumben mas ke kebun..." lanjutnya.

Saya sudah cukup kenal dengan pak Darman, karena beliau sering datang kerumah, jika ada hal tentang kebun yang ingin dibicarakannya dengan ayah.
"iya, nih. Pak Darman.." jawab saya, setelah melepaskan tangannya, "disuruh ayah, soalnya ayah lagi diluar kota." lanjut saya menjelaskan.

Cerita gay

Pak Darman hanya tersenyum manggut-manggut. Saya tak begitu paham dengan kebun sawit, karena saya memang kurang suka. Saya juga tidak tahu, apa yang ayah lakukan jika ia ke kebun.

 Untuk itu, saya hanya berjalan berkeliling kebun di dampingi pak Darman, sambil melihat para pekerja yang sedang sibuk bekerja. Saya memperhatikan mereka bekerja. Kemudian setelah merasa lelah, saya kembali lagi ke rumah-rumah para bekerja.

Di kebun tersebut terdapat beberapa buah rumah berderetan, yang memang sengaja dibuat untuk tempat tinggal para pekerja.

Sesampainya saya di perumahan tersebut, saya menuju ke salah satu rumah yang paling ujung, saya hanya ingin menumpang istirahat sejenak.
Waktu itu hari masih sekitar jam 10 pagi, para pekerja masih berada di kebun, untuk bekerja. Rumah-rumah mereka semuanya tertutup, kecuali rumah paling ujung. Untuk itu saya segera menuju kesana.

Saya mencoba mengucapkan salam, ketika telah sampai di depan pintu. Namun belum sempat saya menyelesaikan ucapan salam, seorang pemuda muncul di ambang pintu.
Pemuda itu tersenyum ramah, ia hanya memakai baju singlet putih dan celana pendek. Badannya terlihat kekar dan gagah. Tiba-tiba saya merasa jantung saya berdegup cukup kencang. Sambil saya berusaha membalas senyum pemuda itu.

"ada apa, mas Aji?" tanya pemuda itu kemudian. Saya tidak tahu, dari mana ia tahu nama saya, mungkin pak Darman udah cerita, pikir saya.
"kamu gak kerja?" tanya saya akhirnya, berusaha mengatasi rasa grogi yang tiba-tiba saya rasakan.
"oh. belum, mas Aji." jawabnya, "saya kan tukang panen, mas. Jadi kerjanya biasanya tiga atau empat hari seminggu, kebetulan hari ini belum ada yang akan di panen." lanjutnya menjelaskan.
 
Saya manggut-manggut. Kemudian berujar, "saya boleh numpang istirahat sejenak disini?"
"ya, silahkan, mas. Masuk aja..." balasnya.
"kamu sendirian aja disini?" tanya saya lagi.
"gak, sih, mas. Saya bersama dua orang lainnya. Tapi sekarang mereka lagi kerja di kebun."
"perumahan emang sunyi seperti ini ya?" saya bertanya lagi, sambil melangkah masuk.
"ya, mas. Soalnya kalau jam segini, anak-anak pada sekolah semua. Bapak-bapaknya dikebun dan para Ibu-ibu biasanya ke pasar atau ikut ke kebun." jelasnya cukup panjang.

"istirahat di kamar aja, mas Aji.." Pemuda itu berujar lagi. Setelah melihat saya hanya berdiri di ruang tengah. Rumah itu cukup luas dengan satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur serta terdapat kamar mandi di begian belakang.
Antara rumah satu dengan rumah lainnya saling berdempetan. Meski terbuat dari papan, rumah-rumah itu cukup kokoh dan rapi.
Saya pun masuk ke kamar tidur, di dalam tidak ada ranjang. Hanya terdapat dua buah kasur tersusun rapi.

"maaf ya, mas Aji. Kamarnya berantakan. Maklum, kami bertiga tinggal disini, belum ada yang berkeluarga. Jadi masih bujang semua, sehingga rumah beserta isinya agak berserakan.." pemuda itu berujar lagi.
"oh, gak apa-apa. Saya hanya mau tiduran sebentar." balas saya, sambil saya langsung duduk di atas kasur.
"mas, mau saya ambilkan minum?" tanyanya lagi.
"oh. gak usah..." pemuda itu masih berdiri di ambang pintu kamar.

"oh, ya. Nama kamu siapa?" tanya saya kemudian.
"Saya Arlan, mas. Saya udah hampir setahun bekerja jadi tukang panen disini." jawabnya.
"kamu gak usah berdiri aja. Kamu duduk disini saja, temanin saya ngobrol." ucap saya selanjutnya.
Pemuda itu, Arlan, melangkah masuk. Namun sebelum ia masuk, saya memintanya untuk menutup dan mengunci pintu kamar. Dengan sedikit ragu, Arlan melakukannya.
 
Arlan duduk disamping saya agak jauh. Darah saya berdesir menatap Arlan yang begitu kekar. Meski pun kulit Arlan tergolong hitam, namun wajahnya sangat manis. Saya merasa tidak bosan menatap wajah itu.
Jiwa gay saya meronta tiba-tiba, melihat Arlan yang hanya memakai singlet dan celana pendek itu. Apalagi cuaca saat itu mendung dan udara terasa dingin, ditambah pula suasana begitu sunyi.
Pikiran saya mulai menerawang, membayangkan tubuh Arlan dalam pelukan saya.
Namun Arlan terlalu sopan, saya harus lebih sabar untuk menghadapinya. Saya tidak boleh buru-buru, harus pelan-pelan.

"mas, mau saya pijitin...?" tanya Arlan tiba-tiba, membuyarkan lamunan saya.
Saya menatapnya cukup lama, berpikir, mungkinkah Arlan juga punya pikiran yang sama dengan apa yang barusan saya khayalkan.
Saya tersenyum, "boleh. Kalau Arlan tak keberatan.." balas saya akhirnya.
"ya udah, mas buka aja pakaiannya.." ucap Arlan lagi. Saya kemudian mulai membuka pakaian saya satu persatu, kecuali celana boxer saya.

"mas tengkurap, ya.." Arlan berujar lagi, setelah cukup lama menatap saya yang sudah setengah telanjang. Saya segera tengkurap, dan Arlan pun mulai memijat bagian kaki saya.
Jujur saya merasa pijatan Arlan cukup enak. Tekanannya terasa. Mungkin karena Arlan bekerja sebagai tukang panen, sehingga tenaganya sangat kuat.

Selesai memijat bagian kaki dan paha saya, Arlan berpindah ke bagian punggung saya. Lalu kemudian meminta saya untuk telentang dan ia pun mulai memijat bagian kaki saya lagi. Memijat bagian tangan saya, kemudian melanjutkan ke bagian dada dan perut saya. Saya menikmati setiap sentuhan Arlan dibagian tubuh saya. Arlan sangat cekatan. Saya merasa nyaman dan rileks.

"kulit mas Aji, putih dan bersih sekali.." ucap Arlan, ketika ia mengurut bagian perut saya. "Badannya juga bagus, perut mas Aji sangat six pack, dadanya bidang.." lanjutnya, yang membuat saya merasa tersanjung dan tersenyum menatapnya.
Saya memang selalu rutin ikut fitness, untuk membentuk tubuh saya.
 
Hampir setengah jam Arlan memijat tubuh saya, ia mulai berkeringat. Karena merasa gerah, Arlan pun membuka baju singletnya.
Saya terkesima meliaht Arlan yang bertelanjang dada tersebut. Dadanya terlihat bidang, perutnya six pack, otot-otot lengannya terlihat jelas.
Jiwa gay saya kembali bergejolak, melihat pemandangan indah itu. Jarang-jarang saya bisa bertemu dengan cowok kekar seperti Arlan.
 
Arlan masih terus memijat bagian dada dan perut saya. Lalu kemudian ia berpindah untuk memijat tangan saya. Arlan terlihat serius dan fokus melakukan pijatannya.
Saat Arlan memijat bagian lengan saya, ia entah sengaja, atau memang tehnik memijatnya seperti itu, meletakkan telapak tangan saya, tepat diatas pahanya.
Paha itu memang masih terbalut celana pendek kaos tipis, tapi tetap saja saya bisa merasakan kehangatannya.
 
Cukup lama Arlan melakukan gerakan itu, hingga membuat saya merasa tidak tahan sendiri.
Perlahan saya pun mengelusnya.
Paha itu terasa hangat, bulu-bulunya membuat saya semakin bergetar.
 
Merasakan hal itu, Arlan sedikit terperanjat. Ia spontan menghentikan pijatannya. Lalu menatap saya cukup lama. Saya pun tersenyum mambalas tatapan Arlan.

"mas Aji, mau apa?" tanya Arlan terdengar lugu.
Untuk sesaat saya hanya terdiam. Saya bingung mau menjawab apa. Tapi repleks, saya pun bangkit untuk duduk. Saya duduk pas berada di depan Arlan. Wajah Arlan berada sangat dekat dengan wajah saya. Jantung saya pun kembali bergemuruh saat itu.
Saya tatap wajah itu penuh perasaan.
"saya.... saya ingin kamu..." ucap saya akhirnya dengan suara bergetar menahan gejolak.
"mas Aji, ingin saya bagaimana?" Arlan bertanya lagi, sambil sedikit menunduk, menghindari tatapan saya.

Saya tidak tahu, apa Arlan berpura-pura lugu, atau sebenarnya ia merasa takut, karena ia tahu, bahwa saya adalah anak dari pemilik kebun sawit ini.

Tidak tahu harus menjelaskan apa, saya pun akhirnya memegang dagu Arlan dan mengangkat wajahnya ke atas, lalu dengan perlahan saya pun mencoba mendekatkan bibir saya dengan bibir Arlan.
Kali ini, Arlan terperanjat lagi, lalu dengan repleks segera mendorong tubuh saya.
 
Saya merasa cukup kaget. Tapi Arlan semakin menjauhkan tubuhnya. Bergerak mundur, lalu berdiri dengan perlahan.
"maaf, mas Aji. Saya tidak bisa....... saya........ saya.. merasa geli...." begitu ucap Arlan, ketika ia sudah berdiri, dengan suara sedikit terbata.

Saya merasa tertohok. Bibir saya kelu tiba-tiba.
Semangat saya yang sudah terlanjur memuncak, tidak bisa menerima ucapan Arlan barusan.
 
Saya menarik napas panjang, mencoba menahan segala gejolak saya. Tapi saya, justru semakin tertantang untuk melampiaskannya. Saya semakin penasaran dengan Arlan.

Namun saya juga tidak mungkin memaksa Arlan. Saya harus lebih sabar lagi, dan hati-hati.
 
Meski akhirnya saya sadar, jika Arlan tidaklah seperti yang saya pikirkan sejak tadi. Ia laki-laki normal. Semua yang terjadi barusan, hanyalah mungkin, karena ia merasa tidak enak hati, untuk menolak keinginan dari anak pemilik kebun ini.

Beberapa saat, saya masih mematung. Menarik napas panjang sekali lagi, lalu menghempaskannya perlahan. Saya merasa sudah terlanjur malu di depan Arlan.
Namun saya tidak kehabisan akal. Bahkan jika perlu, saya akan menggunakan kekuasaan saya, sebagai anak pemilik kebun sawit ini, untuk bisa mendapatkan Arlan pagi itu.

Saya pun akhirnya berdiri. Saya berdiri tepat dihadapan Arlan. Jarak kami tidak lebih dari setengah meter. Arlan mencoba mundur, tapi tubuhnya terbentur dinding kamar, yang membuat ia harus terhenti.
Saya terus melangkah mendekat.
Arlan terlihat panik, tapi saya tidak peduli. Saya hanya ingin menyalurkan keinginan saya yang sudah terlanjur bergejolak.
Arlan terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Meski saya sadar, Arlan tidak mudah untuk ditaklukkan.

Namun saya bahkan hampir kehilangan akal sehat saya waktu itu.
 
Saya sudah berdiri kembali di hadapan Arlan, sangat dekat. Namun Arlan dengan spontan kembali mendorong tubuh saya, agar menjauh.
 
"jangan mas Aji...!" mohon Arlan, terdengar sedikit menghiba.
Saya memegangi tangan Arlan yang mencoba mendorong saya.
 
"kalau kamu tetap tidak mau, saya akan minta pak Darman untuk memecat kamu dari sini...!" kalimat ancaman itu akhirnya keluar juga dari mulut saya.
Saya sendiri hampir tidak percaya, mendengarkan ucapan saya sendiri.
 
Arlan bahkan terlihat sangat kaget mendengar hal itu, raut wajahnya terlihat pucat tiba-tiba.
"tapi saya gak bisa, mas. Saya.... tidak pernah melakukan hal seperti ini..." ucap Arlan akhirnya dengan masih terbata. "tadi saya berniat memijat mas, karena mas Aji kelihatan capek dan sedikit lesuh. Saya tidak ada maksud apa-apa. Tolong saya, mas Aji. Jangan lakukan hal ini sama saya. Saya sangat butuh pekerjaan ini...." Arlan terus berbicara panjang lebar, suaranya semakin terdengar menghiba.

Terus terang, saya pun merasa iba melihat Arlan seperti itu, namun akal sehat saya tidak berjalan dengan normal waktu itu.
Yang saya inginkan hanyalah menikmati hangatnya tubuh kekar Arlan, tak peduli apa pun caranya.
 
"justru karena kamu belum pernah melakukannya, biarkan saya menjadi yang pertama buatmu, Arlan!" saya berucap lagi, kali ini terdengar semakin jahat.
"nanti saya kasih kamu uang yang banyak, asal kamu mau melakukannya sekarang..." saya melanjutkan lagi, mencoba memberi tawaran kepada Arlan.

Arlan kembali terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

Saya tahu, posisi Arlan serba sulit. Ia pasti sangat takut kehilangan pekerjaannya. Namun sebagai laki-laki normal, tentu saja ia merasa jijik dan geli untuk melakukan hal tersebut dengan saya.
Tapi sekali lagi, saya sudah tidak peduli dengan hal itu. Saya sudah benar-benar tidak terkendali. Logika saya sudah tidak berjalan pada koridornya.
Saya hanya menginginkan Arlan, yang sudah terpampang jelas di depan mataku.

Setelah cukup lama Arlan terdiam dan berpikir. Ia pun berucap,
"baik..... baiklah, mas Aji. Saya mau. Asal saya dikasih uang, dan tolong jangan ceritakan kepada siapa pun tentang hal ini." Suara Arlan terdengar bergetar.

Saya pun tersenyum penuh kemenangan, sambil melangkah kian mendekat.
Saya tahu, Arlan tak akan berani menolak saya. Hati saya bersorak riang. Saya kembali merasa bergejolak. Sebuah keindahan nan sempurna telah terbayang dalam anganku.
Arlan terlalu indah, saya tidak akan melepaskannya.

"tapi saya belum pernah melakukan hal ini, mas Aji. Apa lagi dengan sesama lelaki." Arlan berujar, ketika saya hendak menyentuh dadanya. "saya tidak tahu harus melakukan apa..." lanjutnya, yang membuat saya tersenyum senang.

"kamu nikmati aja apa yang saya lakukan sama kamu..." ucap saya membalas, sambil saya mulai merapatkan tubuh saya ke tubuh atletis milik Arlan.

Saya tahu, Arlan berusaha menahan rasa jijik dan rasa gelinya. Ia terlihat memejamkan mata dan menahan nafas.
Saya juga tahu, tidak akan mudah bagi saya, untuk membuat Arlan bisa menikmati hal tersebut.
 
Tubuh Arlan bergetar kembali. Keringat dingin membasahi dada bidangnya.

Ketika bibir saya hendak menyentuh bibir Arlan, saat itulah tiba-tiba saya mendengar suara gaduh di luar.
Ternyata para pekerja telah kembali dari kebun, suara mereka terdengar ramai berbincang-bincang. Hala itu tentu saja membuat saya kaget. Saya pun spontan menghentikan tindakan saya terhadap Arlan. Saya melirik jam di dinding kamar, sudah hampir jam dua belas siang.
Tentu saja, ini adalah jam istirahat para pekerja.

Tak lama kemudian, saya mendengar suara pintu rumah terbuka. Saya pun dengan repleks memungut kembali pakaian saya yang berserakan, demikian juga Arlan. Kami memakai pakaian dengan tergesa.
Saya menyuruh Arlan untuk membuka pintu kamar, lalu saya berbaring berpura-pura tidur.
 
Dua orang teman Arlan hendak masuk ke dalam kamar, namun mereka kembali mundur, melihat saya yang sedang tertidur.
 
Siang itu saya gagal mendapatkan Arlan.
Namun hal itu justru membuat saya semakin penasaran.
Saya akan berusaha melakukan apa saja, untuk bisa mendapatkan Arlan.
Saya akan mengatur waktu dan tempat yang tepat, agar saya bisa lebih leluasa melampiaskan segala keinginan saya terhadap Arlan.
 
*******
 
Beberapa hari kemudian, setelah kejadian menegangkan di kebun sawit itu, saya kembali mendatangi barak tempat Arlan tinggal.
Kali ini, saya ke kebun sawit, bukan lagi karena disuruh ayah. Tapi karena aku masih penasaran dengan Arlan.
Karena itu, saya ke sana diam-diam. Lalu menemui pak Darman, untuk meminta izin membawa Arlan ke kota.

"saya hanya minta ditemani ke kota sebentar, pak Darman. Nanti sore saya antar lagi Arlan ke sini.."
ucap saya menjelaskan.
Dengan sedikit bingung, pak Darman pun mengizinkannya.

Saya dan Arlan berangkat ke kota, dengan mengendarai mobil yang memang sengaja saya bawa dari rumah tadi.

"tawaran saya masih berlaku buat kamu, Arlan." ucap saya mengawali pembicaraan, ketika kami sudah berada dalam perjalanan.
"kalau kamu mau, saya akan kasih kamu uang. Dan tentu saja, pekerjaanmu tetap aman.." saya melanjutkan.
 
Arlan masih terus terdiam. Saya tahu, ia merasa terpaksa untuk ikut dengan saya.
Tapi saya yakin, pada akhirnya ia tidak akan menyesali semua ini.
 
"lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Arlan akhirnya, setelah kami sudah berada di keramaian kota.
"ke sebuah hotel.." jawab saya singkat.
 
Tak lama berselang, mobil kami pun parkir di sebuah gedung hotel yang cukup mewah.
Saya memang sudah memesan sebuah kamar secara online.
Sehingga ketika sampai disana, kami langsung menuju kamar tersebut.

Arlan mengikuti langkah saya masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Setelah berada di dalam, saya segera menutup dan mengunci pintu.

Arlan terlihat sedikit kebingungan. Sepertinya ini pertama kalinya bagi Arlan, memasuki sebuah hotel.
Arlan benar-benar terlihat lugu.

"usia kamu berapa sih, Arlan?" tanya saya memecah keheningan.
Arlan duduk di tepian ranjang, saya berdiri tepat di hadapannya.

"19 tahun, mas..." jawabnya dengan suara terdengar bergetar.

Pantas. Pikirku.
Arlan masih terlalu sangat muda, empat tahun lebih muda dariku.

Sepertinya perjalanan hidupnya yang keras, membuat Arlan terlihat lebih dewasa dari usianya.

Setelah sedikit saya paksa, Arlan akhirnya pun bercerita tentang sepintas perjalanan hidupnya, hingga ia harus berada di perkebunan sawit tersebut.

"aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang miskin, sih." ucap Arlan memulai ceritanya.
"aku anak ke lima dari tujuh bersaudara. Aku memang berasal dari kampung, semua keluargaku tinggal di kampung. Pada saat usiaku masih empat belas tahun, aku sudah mulai merantau." lanjutnya.
"Karena kehidupan kami yang selalu kekurangan, aku dan saudara-saudaraku yang lain hampir tidak bersekolah sama sekali. Kecuali hanya lulusan SD."
"Dan merantau bukanlah sesuatu yang asing dalam keluarga kami."
Arlan menarik napas sejenak, lalu meneguk minuman dingin, yang sudah saya pesan sejak tadi.

Aku memang sengaja memesan beberapa makanan ringan dan berbagai minuman, untuk kami. Aku ingin Arlan merasa terkesan, dan tentu saja aku ingin, agar malam pertamaku dengan Arlan benar-benar menjadi malam yang luar biasa.
 
"Kakak pertamaku sudah merantau sejak masih berusia enam belas tahun. Begitu juga kakak ketiga ku, ia sudah sejak lama tidak pulang ke kampung." Arlan melanjutkan ceritanya lagi.
 
"Alasanku merantua bukan saja karena mengikuti jejak kakak-kakakku. Tapi juga karena tuntutan hidup. Tidak banyak pilihan pekerjaan di kampungku, selain jadi petani dan buruh."
 
Saya merasa cukup perihatin, mendengar cerita Arlan.

"Saya sempat beberapa tahun terlunta-lunta di kota. Sampai akhirnya saya bertemu pak Darman. Dan beliau pun mengajak saya ikut bekerja dengannya di perkebunan sawit itu..." lanjut Arlan mengakhiri ceritanya.

Dan saya masih terpaku. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup menyedihkan. Perlahan rasa iba kembali menyelinap dalam hatiku.
Perasaan tak tega semakin menguasaiku.

"saya sudah terbiasa hidup susah, mas Aji." ucap Arlan kemudian. "tapi saya juga takut kehilangan pekerjaan saya. Jadi saya sudah pasti tidak bisa menolak apapun keinginan mas Aji saat ini.." lanjutnya dengan nada lirih.

Mendengar hal itu, saya semakin tak tega. Saya seperti memanfaatkan kekuasaan saya, untuk mendapatkan keinginan saya.
Namun Arlan juga sudah pasrah, dan tentu saja hal itu merupakan sebuah keuntungan bagi saya.

"uang bukan tujuan utama saya, mas Aji. Tapi yang penting saya tetap bisa bekerja di kebun sawit tersebut.." suara lirih itu terdengar kembali.

"sekarang mas Aji, mau saya bagaimana?" tanya Arlan melanjutkan.

Saya masih terdiam. Berpikir panjang. Saya bisa saja dengan mudah mendapatkan tubuh Arlan. Tapi bukan itu tujuan utama saya.
Saya ingin Arlan juga jatuh cinta sama saya. Meksi itu merupakan sesuatu yang sulit dan butuh proses panjang.

Perlahan saya pun mulai mendekati Arlan. Memeluk tubuh kekarnya yang masih terasa sangat kaku bagiku.
Arlan memejamkan matanya, mencoba menahan rasa geli dan jijiknya padaku.

Namun pelan tapi pasti, saya mulai menguasai keadaan. Kepasrahan Arlan, membuatku lebih leluasa untuk mempermainkannya.

Siang itu, kami pun bersimbah keringat mencapai pendakian yang panjang.
Sungguh sangat luar biasa bagiku. Sebuah pengalaman yang sangat indah.

Arlan terhempas kelelahan, dan sepertinya ia bisa menikmati hal tersebut.
Itu terlihat dari senyumnya yang penuh kepuasan.

Dan bahkan, kami sampai menginap malam itu di hotel.
Aku sengaja menelpon pak Darman, untuk meminta izin Arlan pulang esok harinya.

"urusan saya belum selesai, pak Darman. Jadi kemungkinan kami pulangnya esok siang.." jelasku beralasan kepada pak Darman.
Aku yakin, pak Darman bisa memakluminya.

"kamu hebat, Arlan.." bisikku di telinga Arlan, ketika untuk kedua kalinya kami terhempas dari sebuah pendakian yang indah.
"kamu benar-benar perkasa. Aku semakin menyukaimu.." lanjutku masih berbisik.

Arlan hanya tersenyum tipis. Sepertinya ia benar-benar kelelahan. Saya pun segera memesan makan malam secara online. Untuk bisa memulihkan tenaga kami kembali.
Karena saya yakin, akan ada ronde berikutnya. Waktu masih sangat panjang untuk kami habiskan berdua malam ini.

Benar-benar hari yang panjang dan melelahkan, namun sangat berkesan bagiku.

Arlan sekarang sudah berada dalam genggamanku. Ia sudah mulai bisa menikmati hal tersebut.
Dan saya merasa sangat bangga bisa menaklukan pemuda kekar itu.

*********

Hari-hari selanjutnya, saya semakin sering meminta Arlan untuk menemani saya ke kota. Berbagai alasan saya berikan untuk meminta izin pada pak Darman.
Hubungan saya dan Arlan semakin dalam dan parah.
Dan tentu saja, saya selalu memberi sejumlah uang kepada Arlan, setiap kali kami menyelesaikan pendakian bersama.

Saya merasa puas dengan Arlan, jadi saya tidak merasa berat untuk memberinya upah yang layak.
Setidaknya dengan begitu, Arlan jadi punya pemasukan lain, selain dari upah dia memanen sawit.

Berbulan-bulan hal itu terjadi, aku semakin ketagihan karena Arlan. Dia memang laki-laki yang luar biasa. Aku semakin tak bisa untuk melupakannya.

Hingga suatu saat, Arlan pun berkata padaku. Saat kami bertemu kembali untuk kesekian kalinya di hotel yang berbeda.

"Ibuku sakit keras di kampung, mas Aji. Aku harus pulang besok.." ucapnya.
Kampung Arlan memang sangat jauh. Diperlukan perjalanan kurang lebih dua hari naik bis, untuk bisa sampai kesana.

"iya, gak apa-apa. Kamu pulang aja.." balasku dengan sedikit berat.
Biar bagaimanapun, saya masih belum bisa kehilangan Arlan. Saya sudah terlalu terbiasa melalui hari-hari bersama Arlan.
Tapi saya memang harus merelakan ia pergi. Setidaknya untuk beberapa waktu, menjelang ia kembali lagi kesini.

Esoknya, Arlan pun pulang kembali ke kampung halamannya. Saya, dengan berat hati melepaskan kepergiannya.

"aku pasti kembali, mas Aji..." ucap Arlan saat ia hendak menaiki bis yang ia tumpangi.
"aku pasti akan selalu menunggumu disini, Arlan.." balasku dengan nada sedih.

Sekuat mungkin aku berusaha untuk terlihat tegar. Sekuat mungkin aku berusaha untuk menahan air mataku agar tidak tumpah saat itu juga.
Berat rasanya harus terpisah dari Arlan. Tapi aku harus bisa ikhlas.
 
******
 
Seminggu dari hari kepergian Arlan, saya masih bisa terus menghubunginya melalui ponsel.
Arlan mengabarkan kalau ibunya akhirnya meninggal. Saya pun menyampaikan rasa turut berduka saya pada Arlan.
 
"saya mungkin masih sangat disini, mas Aji.." ucap Arlan kemudian.
"iya, gak apa-apa, Arlan. Aku akan tetap menunggu kamu disini.." balasku lirih.
Hatiku sebenarnya ingin Arlan segera kembali, tapi aku tidak mungkin memaksanya.
Biar bagaimanapun sebenarnya kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami tidak punya ikatan apa-apa.
Yang terjadi selama ini hanyalah, Arlan bersedia melayani saya, karena ia mendapatkan upah.
Bukan atas dasar suka sama suka.
Meski tidak bisa saya pungkuri, kalau Arlan sebenarnya mulai menikmati hubungan kami.
 
Hari-hari terus berlalu, hingga lebih dari sebulan, Arlan belum juga kembali.
Dia bahkan sudah tidak bisa dihubungi lagi, nomornya sudah tidak aktif.
Saya mulai merasa khawatir, jangan-jangan Arlan memang tidak akan pernah kembali lagi kesini.
Dan hal itu tentu saja, membuat saya sangat kecewa dan terluka.
 
Hari-hari saya semakin terasa sepi dan tak bergairah. Saya sering menghabiskan waktu, mengurung diri di kamar. Hidupku tiba-tiba terasa hampa.
 
Sedalam itukah saya mencintai Arlan?
Mengapa bayangan selalu melintas dalam pikiranku?
Mengapa saya tidak berusaha untuk melupakannya?
Padahal sudah jelas-jelas Arlan sudah menghilang.
Saya masygul. Saya benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa saat ini.
 
Ingin rasanya saya mendatangi kampung Arlan, untuk bertemu dengannya.
Namun selain karena jarak yang jauh, saya juga tidak tahu pasti dimana kampung Arlan sebenarnya.
Saya hanya tahu namanya, tapi tidak tahu tempatnya.
 
Lagi pula, jika pun saya nekat mendatangi Arlan di kampungnya, belum tentu Arlan akan menyambut saya dengan manis. Karena bisa saja sebenarnya, Arlan memang sengaja menghindar.
Untuk itu saya akhirnya hanya bisa pasrah.
 
*******
 
Beberapa bulan berlalu, saya enggan untuk menghitungnya. Saya benar-benar sudah pasrah. Harapan saya untuk bisa bertemu Arlan lagi terasa sudah musnah.
Arlan benar-benar menghilang, dan saya merasa sangat sakit karenanya.
 
Dalam kepasrahan saya itulah, tiba-tiba saya mendapat kabar kalau Arlan sudah kembali lagi ke perkebunan sawit. Pak Darman yang cerita, ketika ia datang ke rumah untuk bertemu ayah.
 
"udah dua hari Arlan mulai bekerja lagi di kebun, mas Aji.." jelas pak Darman padaku, yang membuatku tersenyum riang.
 
Esoknya saya pun berangkat ke kebun, untuk menemui Arlan. Rasa rindu saya sudah sangat menggunung. Rasanya saya sudah tidak sanggup menahannya.
Saya sangat merindukan senyuman manis Arlan.
 
Sesampai disana Arlan menyambut saya dengan senyum khas-nya itu. Tapi tentu saja, kami hanya bisa saling tatap, tanpa bisa saling peluk. Pastinya hal itu akan terlihat aneh di mata orang-orang.
Namun yang pasti hati saya merasa sangat bahagia melihat Arlan kembali.
 
Sore itu, saya pun meminta izin pada pak Darman untuk mengajak Arlan ke kota.
Saya pun menyewa sebuah hotel untuk tempat kami bertemu dan saling melepas rindu.
 
"kemana saja kamu, Arlan? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" saya memberondongi Arlan dengan beberapa pertanyaan, saat kami sudah berada di dalam hotel.

"maaf, mas Aji. Saya terpaksa menjual ponsel saya, untuk membantu biaya sekolah adik saya yang paling kecil. Ia baru saja lulus SMP tahun ini, jadi butuh biaya banyak." jelas Arlan.

"aku juga harus kerja dulu di kampung, mas Aji. Untuk cari ongkos kembali kesini.." lanjut Arlan.

Kemudian ia pun duduk di sampingku di atas ranjang.
"aku sangat merindukan mas Aji.." ucap Arlan pelan, yang membuatku merasa tersanjung.
Ternyata bukan hanya saya yang menanggung rindu selama ini. Tapi Arlan juga.
Hatiku semakin bersorak senang menyadari semua itu.

"aku.. aku sayang sama mas Aji..." ucap Arlan lagi dengan sedikit terbata.
"aku juga sayang kamu, Arlan.." balasku tegas.

Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aroma harum napas Arlan tercium di hidungku.
Aku merasa begitu bahagia malam itu. Segala rasa rindu yang selama ini terpendam aku tumpahkan dengan segenap jiwaku.

Arlan juga seperti enggan melepaskanku. Dia ingin kembali merasakan pendakian yang indah itu bersamaku.

"kamu begitu sempurna, mas Aji. Aku tidak bisa melupakan kelembutan mas Aji. Aku ingin selalu merasakannya. Tak peduli aku di bayar atau tidak, yang penting aku bisa terus bersama mas Aji..." kali ini Arlan membisikkannya di telingaku, sambil ia terus membuaiku dalam lautan cinta yang indah.

Cinta kami pun akhirnya menyatu padu, melebur dalam sebuah rasa yang indah.
Pendakian-pendakian berikutnya semakin penuh gejolak.
Hati kami menyatu, jiwa raga kami pun tak ingin terpisah.
Kami enggan untuk saling mengakhiri, kami ingin tetap menyatu dalam lautan cinta itu.
 
Kini hatiku benar-benar bahagia, akhirnya aku bisa memiliki pemuda kekar sang tukang panen itu.
Aku bukan hanya bisa memiliki raganya tetapi juga hati dan jiwanya.
 
Kan kuserahkan seluruh hidupku untuk Arlan. Aku akan selalu ada untuknya. Membantunya melewati beratnya sebuah perjalanan hidup.
 
Kami akan tetap bersama, meski itu semua tidaklah akan selalu mudah.
Tapi aku percaya, kekuatan cinta bisa mengalahkan apapun.
Semoga saja..
 ****
Sekian ...

Antara Guru olahraga ku dan cowok si tukang galon

Namaku Farid. Saat ini aku sudah berusia 18 tahun lebih. Aku sekolah di sebuah SMA favorit di kotaku. Beberapa bulan lagi aku akan menyelesaikan masa SMA-ku.
Aku tinggal di sebuah perumahan sederhana, bersama kedua orangtuaku dan juga dua orang adik-adikku.
Kehidupan kami cukup sederhana. Ayahku mempunyai sebuah usaha toko bangunan, yang berada cukup jauh dari rumah tempat kami tinggal. Ayah dan Ibuku setiap hari selalu berada di toko. Aku dan adik-adikku juga jarang di rumah, karena harus bersekolah. Dan biasanya adik-adikku akan langsung ke toko sepulang sekolah. Aku sering sendirian di rumah, bahkan hingga malam. Karena ayah, Ibu dan adik-adikku memang selalu pulangnya malam.

 

Cerita gay sang penuai mimpi

Aku tahu, aku 'sakit' sejak aku duduk di kelas satu SMA. Entah mengapa aku lebih menyukai laki-laki. Berawal dari rasa kagumku terhadap guru olahragaku di sekolah. Beliau memang tampan dan juga sangat atletis. Sosoknya benar-benar membuatku jatuh cinta padanya. Namun tentu saja, semua perasaan itu hanya bisa aku pendam. Biar bagaimana pun, beliau adalah guruku dan juga beliau sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Hampir setiap malam, aku selalu berkhayal tentang pak Afis, guru olahragaku tersebut. Aku begitu menginginkannya. Membayangkan bisa berada dalam pelukan hangatnya.

Aku seorang yan pendiam dan sedikit pemalu. Aku tidak punya banyak teman baik di sekolah maupun di lingkungan tempat aku tinggal. Aku lebih sering menyendiri dan menghabiskan waktuku dengan membaca buku-buku.

Lebih dari dua tahun aku berada di SMA tersebut, selama itu pula aku hanya bisa memendam perasaanku terhadap pak Afis. Dua tahun aku hanya bisa mengaguminya dalam hatiku. Membayangkan tubuh kekarnya hampir setiap malam. Namun aku cukup bahagia dengan semua itu. Pak Afis adalah sosok yang sangat pantas untuk dikagumi.

********
Hari-hari berlalu seperti biasa. Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan hidupku.
Hingga suatu pagi, saat itu hari minggu. Seperti biasa semua keluargaku pergi ke toko. Tinggallah aku sendirian di rumah. Sehabis mandi dan sarapan, aku pun merebahkan tubuhku di depan layar TV di ruang keluarga kami. Setelah beberapa menit, aku mendengar suara ketukan di pintu. Dengan sedikit malas aku pun menuju ruang tengah untuk melihat siapa yang datang.
"galonnya, mas..." ucap seorang laki-laki yang sudah berdiri di depan pintu.
sesaat aku terperangah menatapi laki-laki pengantar galon tersebut. Ia hanya memakai celana jeans pendek yang memang sengaja di potong, dengan bertelanjang dada.

Aku sudah beberapa kali pernah melihat laki-laki tersebut. Aku juga tahu namanya, Alex. Dia memang setiap minggu mengantar galon ke rumah. Biasanya Ibuku yang mengurus hal tersebut. Dan biasanya ia datang jauh lebih pagi dari hari ini.

"maaf, mas. Tadi saya ada kerjaan lain, jadi ngantar galonnya agak sedikit telat. Tadi Ibu mas udah pesan, katanya saya suruh antar langsung ke rumah..." Alex berucap lagi, setelah melihat aku hanya terbengong.
"oh..ah...iya...iya... langsung bawa masuk aja, bang..." ucapku tergagap tiba-tiba.
Aku segera membukakan pintu lebih lebar, agar Alex lebih mudah mengangkat galonnya ke dalam.
Alex tersenyum sambil mengangkat galon ke dalam. Ada empat buah galon yang berada dalam keranjang besi diatas sebuah motor butut milik Alex.

Aku terus saja menatap Alex yang dengan cekatan mengangkat galon-galon tersebut. Otot-otot lengannya terlihat jelas. Alex memang mempunyai kulit yang agak gelap, namun tubuhnya sangat kekar dan berotot. Dadanya bidang dengan perut yang ramping. Ada bulu-bulu halus di sekitaran pusarnya. Alex juga tidak terlalu tampan, tapi ia terlihat manis saat tersenyum.

Entah mengapa melihat itu semua, dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ada gejolak yang tiba-tiba aku rasakan. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Dalam pikiranku aku membayangkan bisa memeluk tubuh seksi Alex yang terpampang jelas di depanku.

"udah semua, mas..." ucap Alex mengagetkanku, saat ia telah selesai mengangkuti semua galon ke dapur.
Aku tergagap kembali, terutama saat itu Alex berdiri hanya setengah meter di depanku. Butiran keringat kecil mengaliri tubuh seksinya. Dan hal itu tentu saja membuatku semakin gelagapan tak karuan. Aku jarang sekali berbicara berdekatan dengan orang-orang, terutama dengan laki-laki. Dan lagi pula Alex berdiri di depanku dengan bertelanjang dada.
Alex tersenyum melihatku yang salah tingkah.
"kamu kenapa, mas Farid?" suara Alex terdengar seperti menggoda di telingaku, yang membuatku semakin merinding.
"oh...gak....aku gak apa-apa.." jawabku masih dengan suara tergagap. "bang Alex tunggu disini sebentar ya, aku mau ambil uang di kamar dulu..." lanjutku berusaha bersikap wajar.

Aku segera melangkah menuju kamarku yang berada tidak jauh dari ruang tengah. Aku masuk ke kamar dengan sedikit menarik napas. Aku mencari-cari uang dalam dompetku, hingga tanpa aku menyadarinya ternyata Alex sudah berada di belakangku. Ternyata Alex sengaja mengikutiku masuk ke dalam kamar. Aku terperanjat seketika. Namun Alex tetap melangkah semakin mendekat. Jantungku berdebar kembali. Perasaanku campur aduk.

Alex berdiri di depanku dengan senyuman manisnya.
"bang Alex kenapa gak tunggu diluar saja.." tanyaku dengan suara bergetar, menahan gejolakku sendiri.
"mas Farid gak suka sama saya?" tanya Alex, yang membuatku sedikit bingung.
"saya......" kalimatku terhenti, ketika tangan Alex tiba-tiba menyentuh pundakku.
"saya suka melihat mas Farid. Mas Farid sangat tampan dan putih..." Alex berkata sambil mengelus-elus pundakku dengan lembut.

Aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa saat itu. Seumur hidupku, baru kali ini seseorang memujiku. Kalimat Alex barusan benar-benar membuatku merasa tersanjung. Namun yang paling membuatku semakin berbunga, ialah ketika dengan blak-blakan Alex mengatakan kalau ia menyukaiku. Sungguh tak pernah terpikir olehku sebelumnya, jika Alex juga seorang yang 'sakit'.

Alex memang menarik secara fisik, tapi aku tidak begitu mengenalnya. Meski pun ada keinginan untuk menerimaa ajakan Alex, namun aku segera menepis tangan Alex dari bahuku.
"maaf, Lex. Saya gak bisa..." ujarku pelan. "kita juga tidak mungkin melakukan hal tersebut dirumahku.." lanjutku mencoba memberi pengertian pada Alex.
Alex melepaskan tangannya, ia terlihat sedikit murung. Tapi aku juga tidak begitu peduli. Aku tahu, apa yang dirasakan Alex bukanlah cinta yang sesungguhnya. Itu semua bisa saja hanya sebuah rasa kagum atau justru hanya sebuah nafsu belaka.

Aku berjalan keluar, Alex mengikutiku dengan gontai. Dalam pikiranku saat ini hanya ada pak Afis. Dia satu-satunya laki-laki yang mampu merasuki hati dan pikiranku.
Meski pun Alex sempat menyita perhatianku karena keterus-terangannya, namun semua itu tidak mampu membuatku melupakan sosok pak Afis.
Dari Alex aku belajar, untuk lebih berani dan berterus terang. Setidaknya dengan berterus terang kita bakal tahu, apa yang orang tersebut rasakan pada kita.

"maaf ya, mas Farid. Saya tidak bermaksud..." ucap Alex lemas, saat ia hendak menaiki motornya untuk pergi.
"ya, saya paham. Saya bisa merasakan apa yang bang Alex rasakan. Tapi sekali lagi saya mohon maaf, saya belum bisa..." balasku, sambil perlahan menutup pintu.

***********

Hari-hari berikutnya aku masih tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Berangkat sekolah pada pagi hari, seperti biasa. Aku sempat bertemu Alex beberapa kali, namun kami hanya saling tersenyum dari kejauhan. Rasanya ada yang beda, setiap kali bertatap pandang dengan Alex. Sekarang aku tahu, bahwa di lingkungan perumahan ini, aku bukan satu-satunya yang 'sakit'.

Suatu hari, aku berangkat sekolah agak sedikit terlambat, karena telat bangun pagi. Sesampai di sekolah, pak Darman, satpam sekolah, sudah menutup pintu pagar. Dengan sedikit memelas, aku memohon kepada pak Darman untuk membuka pintu pagar untukku.

Pagi itu jam olahraga, sebuah pelajaran favoritku. Selain karena belajar di luar ruangan, tentu saja juga karena aku akan bisa menatap pak Afis dari dekat. Aku akan bisa melihat tubuh kekar pak Afis yang biasanya akan berkeringat.

Setelah berganti pakaian, aku pun dengan sedikit berlari menuju lapangan olahraga. Disana sudah berkumpul teman-teman sekelas dan juga sudah ada pak Afis. Tentu saja, kehadiranku disana, menarik perhatian mereka, karena tak biasanya aku terlambat.

Pak Afis memanggilku ke depan. Tubuhku tiba-tiba gemetaran, dadaku bergemuruh hebat. Aku tak biasa berada dalam situasi seperti itu. Aku memang pemalu dan jarang sekali tampil ke depan. Teman-teman tak banyak yang mengenalku, karena aku memang pendiam.

Aku berdiri di depan dengan kepala tertunduk. Perasaanku benar-benar tak karuan.

"kenapa kamu terlambat?" suara pak Afis mengagetkanku. Namun aku tetap tertunduk, tak berani menatap wajah pak Afis. Aku tetap diam mematung, takut untuk berbicara.

Melihat aku yang hanya terdiam, pak Afis akhirnya menyuruhku untuk ikut berbaris bersama teman-teman yang lain. Aku pun menurutinya.

"nanti jam istirahat, kamu temui saya di ruang saya ya..." ucap pak Afis lagi, ketika aku hendak melangkah menuju barisan. Kali ini, aku beranikan diri menatap pak Afis, sambil sedikit mengangguk. Aku tidak tahu, kenapa pak Afis menyuruhku menemuinya. Tapi aku, entah mengapa, semakin merasa tak karuan dan takut. Aku takut pak Afis akan memarahiku, karena terlambat hari ini.

Ketika jam istirahat, aku pun melangkah gontai menuju ruangan pak Afis yang berada di ujung gedung. Aku mengetuk pintu, dan pak Afis mempersilahkan aku masuk.

Pak Afis hanya sendirian di ruangan tersebut. Ia duduk di kursi kerjanya sambil menatapku, yang melangkah mendekat. Aku melangkah dengan tertunduk. Perasaan takutku kian menjadi.

"duduk!" perintah pak Afis, saat aku sudah berada di depan meja kerjanya.

Aku pun kemudian duduk dan dengan ragu mulai menatap wajah pak Afis. Kulihat pak Afis tersenyum tipis.

"dari dulu saya paling tidak suka ada siswa yang terlambat ketika jam pelajaran saya. Harus ada hukumannya untuk semua itu..." ucap pak Afis tegas.

Aku terdiam. Rasa takutku semakin menjadi. Entah hukuman apa yang akan pak Afis berikan padaku. Tapi aku harus menerimanya, karena aku memang bersalah.

Tiba-tiba pak Afis berdiri, lalu melangkah mendekatiku. Ia berdiri di depanku sambil bersandar di meja kerjanya. Aku mengangkat wajah. Aku menatapi tubuh kekar pak Afis yang memakai celana training ketat itu. Aku menatapnya terkesima. Jarak pak Afis tidak sampai setengah meter dariku. Jantungku berdebar-debar tak karuan. Tapi pak Afis terlihat santai.

"kamu saya beri hukuman untuk membersihkan wc itu.." ucap pak Afis, sambil ia menunjuk ruang wc yang ada di sudut ruangan tersebut.

"baik pak.." balasku cepat, sambil berdiri. Aku berdiri di depan pak Afis, wajah kami berdekatan. Aroma harum nafas pak Afis tercium di hidungku. Aku menghirupnya sejenak, lalu memutar langkah menuju wc yang tadi pak Afis tunjuk. Gemuruh di dadaku semakin tak karuan.

Sesampainya di dalam wc, aku menarik napas panjang, sekedar menenangkan pikiranku.

Imajinasi liarku sempat muncul sesaat tadi, ketika pak Afis berada sangat dekat denganku.

Aku sempat berpikir macam-macam. Tapi ternyata pak Afis hanya menyuruhku untuk membersihkan wc, yang sebenarnya tidak begitu kotor. Namun karena ini sebuah hukuman, aku dengan terpaksa mulai membersihkannya.

Selang beberapa saat, saat aku sedang sibuk menggosok lantai wc tersebut. Tiba-tiba pak Afis muncul di belakangku. Ia berdiri menatapku.

Aku kaget dan merasa takut. Pak Afis berdiri di depanku, yang sedang jongkok.

"kamu suka fitness?" pak Afis melontarkan pertanyaannya dengan tegas.

Aku hanya menggeleng ringan. Aku jadi sedikit bingung, kenapa pak Afis tiba-tiba bertanya seperti itu.

"pantas badan kamu kurus dan lembek seperti itu." ucap pak Afis lagi, kali ini lebih lembut namun cukup menyakitkan bagiku.

Tapi aku sudah terbiasa mendengar kalimat seperti itu, terutama dari bullyan teman-teman sekelasku.

"kamu mau gak, ikut fitness di tempat bapak? Kebetulan bapak baru buka tempat fitness, jadi sekalian promosi. Nanti untuk kamu, bapak langsung yang akan jadi mentornya..." lanjut pak Afis berujar lagi.

Entah mengapa aku merasa sangat senang mendengarnya. Pak Afis mau menjadi mentor-ku untuk fitness di tempatnya?

Itu seperti sebuah peluang emas bagiku, untuk bisa selalu berada dekat dengan pak Afis.

"udah tenang aja, untuk kamu nanti bapak kasih diskon, deh.." ujar pak Afis selanjutnya.

"kamu mau gak?" tanya pak Afis, melihat aku hanya terdiam.

Aku menghentikan kegiatanku, lalu berdiri tepat di hadapan pak Afis.

"iya, aku mau, pak.." jawabku lugas.

"oke. Ini alamat tempat fitness-nya, kamu bisa datang setiap sore, agar badan kamu bisa lebih cepat terbentuk..." ucap pak Afis, sambil menyerahkan secarik kertas yang berisi sebuah alamat, tempat fitness tersebut.

Aku dengan segera mengambil kertas tersebut, sambil menatap pak Afis tersenyum.

"makasih, pak.." ucapku.

"kamu memang tampan, tapi jika tidak di dukung dengan tubuh yang kekar, kamu jadi tidak terlalu menarik.." ucapan pak Afis itu, membuatku terasa melayang.

Tak kusangka pak Afis akan memujiku seperti itu, yang membuatku semakin bersemangat untuk ikut fitness bersamanya.

Aku sih berharap, pak Afis juga akan tertarik padaku. Meski hal itu masih terasa mustahil bagiku.

"ya udah. Sekarang sudah jam masuk. Kamu boleh kembali ke kelas. Tapi ingat! Lain kali jangan terlambat lagi ya, terutama di jam pelajaran saya..." ucap pak Afis lagi, sambil ia melangkah menuju meja kerjanya.

Aku segera melangkah keluar. Perasaanku masih tak karuan. Tapi setidaknya, sekarang aku sudah punya peluang untuk bisa menjadi dekat dengan pak Afis.

 ***********

Sore itu, aku pun mendatangi alamat tempat fitness pak Afis.

Pak Afis menyambutku dengan ramah. Tempat itu memang terlihat masih baru. Masih belum begitu ramai. Perlatannya juga masih baru-baru.

"bagaimana? Udah siap untuk latihan?" suara khas pak Afis memulai pembicaraan, saat aku sudah berada di dalam ruangan tersebut.

"siap, pak." jawabku.

"tapi kamu jangan lupa promosikan tempat ini ya.." ucap pak Afis lagi.

Aku hanya mengangguk mantap.

Aku menatap pak Afis yang hanya memakai celana pendek dan baju kaos tanpa lengan.

Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku. Karena selama ini, aku hanya melihat pak Afis memakai baju olahraga di sekolah.

Lengannya yang kekar dan berotot terlihat jelas. Pak Afis benar-benar sempurna.

"kamu sudah punya pacar?" tanya pak Afis, di sela-sela latihan kami.

"belum, pak." jawabku.

"kenapa? Padahal kamu tampan.." ucap pak Afis lagi.

Karena aku tidak suka perempuan, pak. Aku sukanya sama bapak. Jawabku dalam hati.

Tapi aku tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Pak Afis pun tidak melanjutkan pertanyaannya. Sepertinya ia sadar, kalau pertanyaan itu terlalu pribadi.

"usia bapak udah berapa, sih, pak?" tanyaku, saat kami beristirahat menjelang pulang.

"menurut kamu?" tanya pak Afis balik.

"30 tahun.." tebakku mengira-ngira.

"36 tahun." jawab pak Afis tegas.

"tapi masih terlihat sangat muda, pak. Apa lagi badan bapak kekar seperti itu." ucapku mulai berani.

Pak Afis tersenyum, lalu berucap.

"kamu suka gak?"

Pertanyaan itu, membuatku jadi salah tingkah. Aku tidak benar-benar mengerti maksud dari pertanyaan pak Afis barusan. Aku juga takut salah paham.

"kalau kamu suka, makanya latihan yang rajin, biar nanti tubuh kamu juga seperti ini.." pak Afis berucap lagi, melihat aku hanya tertunduk.

"iya, pak." jawabku singkat.

Setelah berpamitan, aku pun segera pulang.

Diperjalanan pulang menuju rumahku, aku bertemu Alex.

"dari mana, mas Farid?" tanya Alex berbasa-basi.

"gak ada, dari jalan-jalan aja ..." jawabku sedikit berbohong, karena aku memang tidak ingin Alex tahu, kalau aku ikut fitness.

"mau aku antar ke rumahnya, mas?" tanya Alex lagi.

Alex memang sedang berada di atas motor bututnya, tanpa ada galon di belakangnya.

Aku juga tadinya naik angkot, namun hanya sampai di ujung gang menuju perumahan tempat aku tinggal. Jadi dari simpang gang itu, aku memang biasa berjalan kaki.

Karena merasa lelah, sehabis latihan fitness, aku pun menerima tawaran Alex.

Aku duduk di belakang Alex dengan perasaan yang tak karuan. Biar bagaimana pun, aku tahu kalau Alex menyukaiku. Meski perasaanku padanya biasa saja.

Alex mengantarku sampai rumah, lalu kemudian pamit pulang, setelah aku mengucapkan terima kasih.

******

Hari-hari berikutnya aku pun hampir setiap hari bertemu pak Afis, tentu saja di tempat fitness-nya.

Setelah berbulan-bulan, tubuhku pun mulai terbentuk. Pak Afis melatihku dengan sangat sabar.

Kami juga semakin akrab dan dekat. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Selain bisa membentuk tubuhku jadi atletis dan kekar, aku juga bisa selalu dekat dengan pak Afis yang sangat aku kagumi itu.

Hingga akhirnya aku pun lulus SMA.

Meski pun sudah kuliah, aku masih terus ikut fitness bersama pak Afis.

Tempat fitness pak Afis pun semakin berkembang. Tentu saja, ada peran kecilku disana. Aku memang rajin mempromosikannya, terutama di media sosial. Sehingga tempat jadi cukup dikenali orang-orang.

"kamu mau gak, jadi salah seorang personal trainer di sini, Rid?" tanya pak Afis suatu hari padaku.

"tubuh kamu juga udah oke. Kamu hanya perlu mempertahankannya sekarang. Jadi kamu bisa sekalian latihan dan melatih orang lain." lanjutnya lagi.

Tanpa pikir panjang, aku pun menyetujuinya. Lumayan juga hasilnya. Tapi yang paling penting, aku bisa terus bersama pak Afis.

Aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hati pak Afis. Aku akan selalu memperjuangkan cintaku padanya. Sampai kapan pun.

Hingga suatu hari, saat itu hari minggu. Aku memang tidak berniat pergi kemana-mana.

Tiba-tiba alex datang ke rumahku, kali ini ia tidak mengantar galon.

"ada apa, Lex?" tanyaku.

"kita jalan-jalan yuk, mas Farid.." jawab Alex sedikit memohon.

Aku dan Alex memang sudah mulai dekat, apa lagi Alex memang tidak pernah menyerah untuk mendekatiku. Ada saja caranya untuk bisa mengobrol denganku.

Bahkan Alex pernah nekat datang ke rumahku saat malam minggu. Aku menanggapinya biasa saja. Aku hanya mencoba menghargai perasaannya padaku.

Kami pernah beberapa kali jalan bareng. Sekedar makan-makan di warung pinggir jalan atau sekedar nonton di bioskop.

Karena aku yang jarang sekali punya teman dekat, kehadiran Alex cukup menghiburku.

Dari Alex aku jadi tahu, kalau ia seorang yatim piatu sejak kecil. Selama ini ia tinggal bersama kakak tertuanya, yang punya usaha galon itu. Dan ternyata Alex lebih muda setahun dariku.

Namun kehidupannya yang keras, membuat ia terlihat lebih tua dari usianya.

"jalan-jalan kemana?" tanyaku akhirnya.

"ke mall yang kemarin, mas. Aku mau beli sesuatu disana..." jawab Alex lugas.

"oke. Tunggu sebentar ya. Aku mau ganti baju dulu.." ucapku, sambil masuk ke dalam lagi.

"ngapain ganti baju, mas! Mas Farid pakai apapun tetap terlihat keren, kok." aku mendengar sayup-sayup kalimat Alex barusan dari kamarku.

Aku tak menggubrisnya. Alex memang selalu terbuka padaku, terutama tentang perasaannya.

Dia sudah terlalu amat sering melontarkan kalimat-kalimat pujian seperti itu.

Aku memang tersanjung karenanya, namun itu belum mampu mengubah perasaanku padanya.

Aku salut dengan perjuangannya yang tidak kenal menyerah, tapi hal itu justru menjadi inspirasi bagiku untuk tidak menyerah juga dalam menggapai hati seorang pak Afis.

Kami menuju mall itu dengan menaiki sebuah angkot. Sesampai disana, kami langsung menuju tempat yang ingin dituju oleh Alex dari awal.

Saat itu aku bertemu dengan pak Afis. Dia sedang berbelanja dengan istri dan juga anak-anaknya.

"Farid.." pak Afis yang menegurku duluan.

"iya, pak.." jawabku cepat.

"lagi ngapain kamu disini?" tanya pak Afis.

"ini pak, kawan minta ditemani..." jawabku sedikit belepotan, sambil menunjuk ke arah Alex yang menatap kami tersenyum.

Pak Afis hanya manggut-manggut, lalu kemudian ia permisi untuk melanjutkan kegiatannya bersama keluarganya.

Sekilas aku melihat raut tidak senang dari wajah pak Afis, saat aku memperkenalkan Alex padanya.

Tapi aku segera mengabaikan hal tersebut. Bisa saja itu hanya halusinasiku saja.

Setelah beberapa jam berkeliling mall itu, dan mendapatkan benda yang di carinya, Alex segera mengajakku untuk pulang. Karena hari memang sudah mulai sore.

*******

Esoknya aku bertemu pak Afis lagi di tempat fitness. Aku merasa ada yang beda dari sikap pak Afis padaku hari itu.

Tapi aku berusaha bersikap biasa saja. Mungkin pak Afis lagi ada masalah dengan istrinya. Pikirku.

Sampai saat ketika aku hendak pulang, pak Afis memanggilku ke ruang kerjanya.

"yang kemarin itu siapa?" tanya pak Afis, saat aku sudah duduk di depan meja kerjanya. Ia menatapku tajam.

"maksud pak Afis? Alex?" tanyaku dengan kening berkerut. Setengah tak mengerti aku dengan pertanyaan pak Afis, yang bernada seperti curiga itu.

"iya, siapa dia?" pak Afis bertanya lagi, yang membuatku semakin bingung.

"dia Alex, pak. Teman satu kompleks-ku.." jelasku seadanya.

"teman apa teman?" pak Afis bertanya lagi, kali ini nadanya semakin penuh kecurigaan.

"maksud pak Afis apa, sih?" tanyaku akhirnya, aku benar-benar tidak mengerti.

"kamu jangan pura-pura gak paham, deh, Rid. Kamu pacaran, kan sama Alex itu.."

ucapan pak Afis yang terlontar begitu tajam itu, benar-benar membuatku terkesima.

Bagaimana mungkin pak Afis punya pikiran seperti itu?

Tapi bukankah itu berarti, pak Afis sudah tahu, kalau aku seorang gay?

Dan kalau pun benar, pak Afis sudah tahu, lalu apa urusannya dengan aku pacaran atau tidak sama Alex?

Atau jangan-jangan ...

"pak Afis cemburu?" tanyaku, antara penasaran dan rasa khawatir.

Tiba-tiba pak Afis bungkam. Ia tertunduk, bak anak kecil yang sedang dimarahi mama.

"pak Afis suka sama saya?" tanyaku lagi, "pak Afis juga gay?" tanyaku berikutnya, tanpa jeda.

Aku benar-benar penasaran. Aku benar-benar ingin tahu.

Mengapa pak Afis tiba-tiba jadi begitu peduli dengan siapa aku berjalan. Aku merasa ada yang aneh.

Cukup lama suasan hening, pak Afis seperti enggan untuk menjawab.

Tapi aku sudah mengira-ngiranya. Meski hatiku sendiri ragu.

"aku memang suka sama kamu, Farid. Dan aku memang seorang gay." pak Afis berucap juga akhirnya, dia juga cukup berani menatapku.

"dan aku tak rela kamu jalan sama cowok lain..." lanjutnya, tatapannya semakin tajam menusuk jantungku.

"tapi selama ini..." suaraku terbata.

"ya, aku tahu. Selama ini aku cukup cuek sama kamu. Aku terlalu malu untuk mengakuinya.Sebenarnya aku sangat menginginkan kamu, Farid. Sudah sejak lama..." ucap pak Afis terdengar lirih.

"aku dan Alex tidak ada hubungan apa-apa. Meski sebenarnya Alex menyukaiku. Tapi aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Selama ini aku hanya menyukai pak Afis. Tapi pak Afis terlalu cuek orangnya. Jadi selama aku hanya bisa memendam perasaanku.." ucapku menjelaskan, dan aku merasa lega bisa mengungkapkan semua itu.

Rasa yang selama ini hanya bisa aku pendam, hari ini terungkap sudah.

"aku juga menyukai kamu, Rid. Tapi kamu tahu, kan? Kalau aku sudah punya istri dan anak.." ucap pak Afis, sambil ia berdiri mendekatiku.

"iya, aku tahu pak. Tapi itu tidak merubah perasaanku pada pak Afis. Aku mencintai pak Afis dengan sepenuh hatiku. Tak peduli apapun status pak Afis saat ini..." balasku dengan suara lirih.

Tiba-tiba pak Afis meraih tanganku, kemudian menggenggamnya erat.

Aku membalas genggaman itu. Tangan itu terasa hangat. Tubuhku bergetar hebat.

Pak Afis yang selama ini hanya ada dalam khayalanku, kini berada tepay dihadapanku.

Aku berdiri, sambil terus menggenggam tangan kekar itu.

Pak Afis kemudian mendekapku erat. Tubuh itu kekar itu benar-benar terasa hangat, mengaliri setiap nadiku.

Semua itu terasa indah bagiku. Sangat indah!

Aku membalas dekapan pak Afis. Tubuh kami menyatu dalam sebuah ikatan cinta yang sempurna.

Sungguh tak pernah aku duga akan semudah ini. Semua ini benar-benar diluar dugaanku.

Akhirnya aku bisa mendapatkan pria kekar nan tampan itu. Meski butuh waktu bertahun-tahun dan perjuangan serta kesabaran yang cukup berat.

Namun buah dari kesabaran itu sungguh luar biasa.

Kini hari-hari jadi semakin berwarna.

Aku pun mencoba berterus terang kepada Alex dan menceritakan semuanya. Aku tidak ingin ada salah paham, apa lagi jika hal itu bisa merusak hubunganku dengan pak Afis.

Aku tak akan pernah melepaskan pak Afis, walau dengan alasan apapun.

Aku akan menjaga cinta ini, meski apapun resikonya.

Aku sangat mencintai pak Afis. Dan aku sangat bahagia, karena ternyata pak Afis juga mencintaiku.

I love you, pak Afis. Kamu adalah yang terbaik...

****

Sekian ...

Kenangan indah saat KKN ...

Cerita berawal ketika saya ikut kegiatan KKN disebuah desa.

Disana lah saya bertemu Ryan, seorang pemuda desa yang sederhana.

Awalnya semuanya berjalan biasa saja. Kami memang sering bertemu. Karena Ryan salah seorang pengurus Pemuda di Desa tersebut. Jadi kegiatan kami selama KKN disana sering dibantu oleh pengurus pemuda disana.

Ryan sangat aktif selama kami disana. Dia sering membantu kami dalam melaksanakan berbagai kegiatan di desa.

Cerita gay

Kami sering bercerita mengenai kegiatan-kegiatan yang kami lakukan disana. Ryan orang yang cerdas. Meski ia tidak pernah kuliah. Usianya sudah 27 tahun waktu itu.

Dia suka bermain voly setiap sore dilapangan desa. Saya selalu suka memperhatikan Ryan, saat ia bermain voli.

Selain memiliki wajah yang tampan, Ryan juga mempunyai postur tubuh yang kekar dan atletis. Karena Ryan memang seorang pekerja keras.

Dari awal saya memang sudah tertarik dengan Ryan. Dia cowok yang baik, ramah dan juga sangat rajin.

Aku merasa sangat senang bisa bertemu dan berkenalan dengannya. Apa lagi kian hari, aku dan Ryan kian dekat dan akrab.

Kedekatan kami itu, justru membuatku semakin mengaguminya. Kadang aku jadi sering salah tingkah, bila harus berhadapan dengan Ryan.

Namun sekuat mungkin aku berusaha menahan perasaanku. Aku tidak ingin Ryan tahu, tentang betapa kagumnya aku padanya.

Kami melaksanakan KKN selama lebih kurang dua bulan. Kami berjumlah 9 orang, lima cewek dan 4 cowok.

Kami yang cowok tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari lapangan voly tempat biasa Ryan bermain. Sedangkan yang cewek tinggal di salah satu rumah penduduk.

Saat itu sudah hampir 2 minggu kami berada di Desa Ryan. Sudah banyak kegiatan yang kami lakukan.

Malam hari biasanya aku sering ikut nongkrong bersama Ryan dan teman-temannya, yang berada disekitaran lapangan voli tersebut.

Aku juga kadang-kadang sering menghabiskan waktu ngobrol berdua bersama Ryan.

Dari Ryan, aku akhirnya tahu, kalau ia anak bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakak-kakaknya semuanya sudah berkeluarga.

Orangtua Ryan mempunyai sebuah kebun sawit yang cukup luas. Dan Ryan dipercayai oleh orangtuanya untuk mengelola kebun tersebut.

Ryan mengerjakan kebunnya sendiri, mulai dari merawat hingga memanennya. Mungkin karena itu juga, tubuh Ryan terbentuk dengan sempurna, selain karena ia memang suka berolahraga.

Pada suatu malam, saya berjalan ke tempat Ryan dan teman-temannya biasa nongkrong. Kebetulan malam itu saya memang sedang tidak ada kegiatan bersama teman-teman KKN.

Saat sampai ditempat itu, saya melihat Ryan duduk sendirian disana, sambil bermain gitar. Ryan memang suka bermain gitar dan suaranya bagus. Saya suka mendengarkan dia bernyanyi.

"sendirian saja," tegur saya, saat sudah duduk disamping Ryan, "mana yang lain..?" lanjut saya.

Ryan berhenti sejenak memainkan gitarnya, lalu menjawab "yang lain pergi lihat hiburan ke desa tetangga.."

"oh.." saya mengangguk. Ryan kembali memainkan gitarnya, dia menatapku sejenak, seraya memperlihatkan senyuman yang begitu manis. Saya membalas tersenyum, sambil menahan debaran di dada saya yang bergemuruh.

Senyum Ryan memang teramat manis, dihiasi lesung pipi tipisnya.
"abang gak ikut?" tanyaku lagi.
"gak!" jawabnya singkat. Ryan memang sedikit pendiam orangnya. Dia hanya berbicara seperlunya saja. 

"pergi yuk!" ucapku, setelah Ryan menyanyikan sebuah lagu.

Ryan kembali menatapku, kali ini cukup lama."kemana?" tanyanya kemudian.
"lihat hiburan di desa tetangga itu.." jawabku.

"oh.." balasnya, "kamu suka lihat hiburan seperti itu?' lanjutnya bertanya.
"gak juga, sih. tapi dari pada bengong disini, kan..?" jawabku lagi.

"ayoklah.." balasnya, setelah terdiam sesaat. "kamu tunggu sini ya, saya ambil motor dulu.." sambil ia berdiri dan pergi menuju rumahnya.

Rumah Ryan hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari situ.

Setelah Ryan kembali dengan membawa motornya, kami pun segera berangkat.

Ryan membawa motornya pelan-pelan menuju desa tetangga, saya duduk dibelakangnya dengan dada yang semakin berdebar.

Jujur, saya merasa sangat bahagia saat itu. Bisa berduaan bersama Ryan, merupakan sebuah keindahan tersendiri bagiku.

"dingin gak?" tanya Ryan padaku, ketika diperjalanan. Jarak desa tetangga tersebut kurang lebih 6 kilo meter.

"lumayan lah..." jawabku jujur.
"peluk aja, kalau dingin.." katanya lagi.

Saya terdiam sejenak, debaran di jantung saya semakin tak karuan. Namun kemudian akhirnya saya melingkarkan tangan ke tubuh Ryan yang gagah.

Tubuh itu terasa hangat. Dada saya semakin bergemuruh dan berdebar hebat. Jantung saya berdetak lebih kencang dari biasanya.

Tak berapa jauh kemudian, tiba-tiba motor kami mogok. Ryan mencoba menstater-nya beberapa kali, tetap tak mau hidup.
Ryan meminta saya untuk turun, sementara suasana di jalan tersebut sangat sepi. Saya sedikit merasa takut.

"bensinnya habis.." jelas Ryan, saat ia juga turun untuk membuka jok. "saya lupa mengisinya tadi.." lanjutnya.

"oh.." keluhku, "jadi gimana?" tanyaku.
"ya. kita tunggu aja orang lewat.." jawabnya, "itupun kalau ada.." lanjutnya.

"kok, kalau ada...?" tanyaku lagi.
"iya. karena udah jam segini, biasanya jarang orang lewat.." ucap Ryan.
 
Saya melihat jam ditangan saya, sudah menunjukkan hampir jam 10 malam.
"teman-teman yang pergi lihat hiburan pulang jam berapa?" tanyaku.

"biasanya jam 2 atau jam 3.." jelasnya.

Saya terdiam. Ryan menatap saya, kemudian berujar, "kita tunggu disana aja yuk..."
 
Ryan menunjuk ke arah dalam sebuah kebun karet masyarakat. Disana ada sebuah pondok tak jauh dari situ.
Cahaya rembulan yang benderang, membuat pondok itu terlihat jelas dari kejauhan.
Saya mengangguk. Setuju.

Ryan mendorong motor ke dalam kebun, menuju pondok tersebut. Saya mengikutinya dari belakang. Sesampainya di pondok, kami masuk kedalam, ternyata pondok itu tidak dikunci.

"ini pondok siapa?" tanyaku berbasa-basi.
"pondok warga yang punya kebun ini.." jawabnya sekenanya. Kemudian bertanya,"kamu takut?"

"sedikit..." jawabku jujur. "dan dingin juga..." lanjutku lagi.
Tiba-tiba Ryan duduk disampingku. Tangannya merangkul pundakku. Aku merasa begitu hangat.
"masih dingin?" tanya Ryan. Aku hanya diam.

Ryan kemudian melingkarkan tangannya memeluk tubuhku. Aku gemetaran, dadaku semakin tak karuan. Ryan memelukku begitu erat dan hangat.

Aku membalas memeluknya. Aku merasakan begitu kekarnya tubuh Ryan.

Kutatap mata Ryan, dia tersenyum. Seperti biasa, senyum yang begitu manis. Tapi kali ini begitu dekat, sangat dekat.

Aku merasakan hembusan nafas Ryan. Kami saling tatap cukup lama.

Ryan semakin mendekatkan wajahnya. Aku sedikit bergetar, dadaku bergemuruh hebat lagi. Hembusan napas Ryan terasa begitu wangi menyeruak ke dalam hidungku.
 
"aku boleh cium kamu?" tanya Ryan tiba-tiba, yang membuatku semakin berdebar.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa, namun repleks aku mengangguk.
 
Ryan mulai menyentuh pipiku dengan tangannya. Ia tatapi wajahku lama.
"kamu sangat tampan, dik." ucapnya lagi. Aku tersenyum bangga.
 
"bang Ryan juga sangat tampan.." balasku dengan suara bergetar.
"abang suka sama kamu." ujar Ryan lagi. "kamu mau gak jadi pacar abang.?" tanya Ryan melanjutkan.
 
Rasanya saat itu, semua bunga bermekaran di sekelilingku. Hatiku begitu bergembira mendengar pernyataan bang Ryan barusan.
Siapa yang tak ingin menjadi pacar seorang Ryan. Seorang pemuda tampan dan atletis. Tak ada yang mampu menolak pesona Ryan, tak terkecuali saya, yang memang sudah sejak pertama bertemu telah mengaguminya.
Untuk itu, aku pun mengangguk.
"aku juga suka sama bang Ryan..." aku mengeluarkan suara lagi.
 
Kulihat Ryan tersenyum. Kemudian perlahan tangannya mengusap pipiku lagi dengan lembut. Tangan kekar itu terasa hangat di pipiku.
 
Cuaca dingin dan suasana yang sunyi, menambah keromantisan kami malam itu.
 
Sungguh tak pernah kusangka, jika Ryan juga menyukaiku. Aku merasa begitu bahagia malam itu. Rasanya dunia sudah menjadi milik kami berdua.
 
Malam yang sangat indah bagiku. Malam yang penuh dengan kenangan. Kenangan yang tidak mungkin bisa aku lupakan sepanjang hidupku.
 
Jujur, itu adalah pengalaman pertamaku dengan seorang laki-laki. Itu adalah pertama kalinya, aku merasakan sebuah keindahan yang terasa sangat luar biasa.
 
Ryan begitu sempurna dimataku. Dia mampu membuatku terbuai dengan cintanya yang kurasakan begitu indah.
 
Malam itu, Ryan berhasil membuatku merasakan sebuah keindahan yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.
 
Berkali-kali aku merasakan tubuhku melayang-layang. Pondok kecil yang sunyi itu, menjadi saksi bahwa betapa aku dan Ryan saling membutuhkan dan saling melengkapi.
 
Rasanya semua begitu sempurna. Aku merasa berada ditempat yang tepat bersama orang yang tepat.
 
Aku bisa merasakan, kalau Ryan sudah sangat berpengalaman dalam hal itu.
Aku tidak tahu, dari mana Ryan belajar hal tersebut. Namun dari caranya memperlakukanku, terlihat sekali kalau Ryan sudah sering melakukannya.
 
Aku juga tidak begitu peduli dengan semua itu. Yang terpenting bagiku saat ini, Ryan ada bersamaku. Dan aku sangat menginginkannya.
 
Aku mencintai Ryan, dan aku berharap Ryan juga menyayangiku.
 
****************

Sejak malam itu, aku dan Ryan semakin sering bertemu. Ryan selalu punya lokasi strategis untuk kami dapat saling melepaskan rindu.

Selama aku melaksanakan kegiatan KKN di desa Ryan, setidaknya lebih dari sepuluh kali kami bertemu secara diam-diam. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka.
 
Setiap kali berduaan dengan Ryan, aku merasa sangat bahagia. Karena biar bagaimana pun, Ryan adalah pacar pertamaku. Dan aku sangat menyayanginya.
 
Ryan juga memperlakukanku sangat lembut. Dia selalu terdengar romantis.
 
"kamu suka gak?" tanya Ryan suatu malam, saat kami bertemu kembali. Kali ini kami bertemu di kebun sawit milik Ryan. Disana memang terdapat sebuah pondok kecil, tempat biasa Ryan beristirahat, kalau ia sedang bekerja di kebun.
 
"suka apa?" tanyaku manja.
"suka melakukan semua ini bersama abang..." balas Ryan terdengar lembut di telingaku.
 
"suka lah, bang. Kalau gak suka, gak mungkin aku mau bertemu abang lagi, kan?" ucapku, masih dengan suara manjaku.
 
Ryan tersenyum sambil menatapku kembali. Kegelapan malam tidak menghalangi pandanganku, untuk dapat menikmati senyuman manis Ryan.
 
Senyum itu terlalu indah. Dan aku sangat mengaguminya.
 
*******
Hari-hari pun terus berlalu, dengan terasa begitu indah bagiku. Rasanya waktu begitu cepat berlalu.

Hingga masa KKN-ku pun berakhir. Aku pun dengan cukup berat hati, karena harus berpisah dengan Ryan, kembali ke kota.
 
Jarak desa Ryan dengan kota tempat aku tinggal memang cukup jauh. Dan hal itu tentu saja membuat aku dan Ryan akan sangat jarang bertemu.

Sejujurnya aku sangat berat harus terpisah dari Ryan. Namun Ryan mampu meyakinkanku kalau hubungan kami akan baik-baik saja.

Tapi ternyata, setelah aku kembali ke kota, Ryan tidak pernah lagi menghubungiku. Dia tidak pernah berusaha untuk bertemu lagi denganku.
Dia seperti sengaja untuk menghilang.
 
Aku pernah beberapa kali mencoba mendatangi desa Ryan sendirian, tapi Ryan selalu menghindar. Ia Selalu tidak berada di rumah.
Aku tidak pernah tahu, mengapa Ryan menghilang. Mungkin saja, karena selama ini Ryan tak benar-benar mencintaiku.
Ia hanya sekedar memanfaatkanku. Karena ia tahu, aku sangat mencintainya, dan ia juga tahu, kalau pada saatnya aku pasti akan kembali ke kota.
 
Setidaknya selama aku berada di desa Ryan, dia jadi punya tempat untuk menyalurkan keinginannya.
 
Meski aku tidak bisa menemukan jawaban dari semua itu, namun aku akan berusaha untuk bisa merelakannya.
Merelakan semua kenangan indahku bersama Ryan.
Merelakan kisah cintaku yang harus berakhir, tanpa ada penjelasan apapun dari Ryan.
 
Awalnya aku merasa terluka dan sangat kecewa, namun lama-kelamaan aku pun mulai belajar melupakan Ryan dan tak ingin mengharapkannya lagi.
 
Walau tak bisa lagi bersamanya, setidaknya aku pernah merasakan kesempurnaan sebuah cinta bersama laki-laki yang aku impikan.
Setidaknya, Ryan telah memberiku sebuah pengalaman yang begitu indah.

Ryan adalah pacar pertamaku sekaligus laki-laki pertama yang berhasil merebut hatiku dengan pesonanya.

Pengalamanku bersama merupakan hal terindah dalam perjalanan hidupku sampai saat ini.

Aku hanya berharap, semoga Ryan selalu berbahagia.

Dan semoga aku juga akan menemukan kebahagiaan lain dalam hidupku.

Untuk Ryan, andai engkau mendengar atau membaca kisah ini,

"aku masih mencintaimu dan akan selalu mencintaimu...."

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate