Antara Guru olahraga ku dan cowok si tukang galon

Namaku Farid. Saat ini aku sudah berusia 18 tahun lebih. Aku sekolah di sebuah SMA favorit di kotaku. Beberapa bulan lagi aku akan menyelesaikan masa SMA-ku.
Aku tinggal di sebuah perumahan sederhana, bersama kedua orangtuaku dan juga dua orang adik-adikku.
Kehidupan kami cukup sederhana. Ayahku mempunyai sebuah usaha toko bangunan, yang berada cukup jauh dari rumah tempat kami tinggal. Ayah dan Ibuku setiap hari selalu berada di toko. Aku dan adik-adikku juga jarang di rumah, karena harus bersekolah. Dan biasanya adik-adikku akan langsung ke toko sepulang sekolah. Aku sering sendirian di rumah, bahkan hingga malam. Karena ayah, Ibu dan adik-adikku memang selalu pulangnya malam.

 

Cerita gay sang penuai mimpi

Aku tahu, aku 'sakit' sejak aku duduk di kelas satu SMA. Entah mengapa aku lebih menyukai laki-laki. Berawal dari rasa kagumku terhadap guru olahragaku di sekolah. Beliau memang tampan dan juga sangat atletis. Sosoknya benar-benar membuatku jatuh cinta padanya. Namun tentu saja, semua perasaan itu hanya bisa aku pendam. Biar bagaimana pun, beliau adalah guruku dan juga beliau sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Hampir setiap malam, aku selalu berkhayal tentang pak Afis, guru olahragaku tersebut. Aku begitu menginginkannya. Membayangkan bisa berada dalam pelukan hangatnya.

Aku seorang yan pendiam dan sedikit pemalu. Aku tidak punya banyak teman baik di sekolah maupun di lingkungan tempat aku tinggal. Aku lebih sering menyendiri dan menghabiskan waktuku dengan membaca buku-buku.

Lebih dari dua tahun aku berada di SMA tersebut, selama itu pula aku hanya bisa memendam perasaanku terhadap pak Afis. Dua tahun aku hanya bisa mengaguminya dalam hatiku. Membayangkan tubuh kekarnya hampir setiap malam. Namun aku cukup bahagia dengan semua itu. Pak Afis adalah sosok yang sangat pantas untuk dikagumi.

********
Hari-hari berlalu seperti biasa. Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan hidupku.
Hingga suatu pagi, saat itu hari minggu. Seperti biasa semua keluargaku pergi ke toko. Tinggallah aku sendirian di rumah. Sehabis mandi dan sarapan, aku pun merebahkan tubuhku di depan layar TV di ruang keluarga kami. Setelah beberapa menit, aku mendengar suara ketukan di pintu. Dengan sedikit malas aku pun menuju ruang tengah untuk melihat siapa yang datang.
"galonnya, mas..." ucap seorang laki-laki yang sudah berdiri di depan pintu.
sesaat aku terperangah menatapi laki-laki pengantar galon tersebut. Ia hanya memakai celana jeans pendek yang memang sengaja di potong, dengan bertelanjang dada.

Aku sudah beberapa kali pernah melihat laki-laki tersebut. Aku juga tahu namanya, Alex. Dia memang setiap minggu mengantar galon ke rumah. Biasanya Ibuku yang mengurus hal tersebut. Dan biasanya ia datang jauh lebih pagi dari hari ini.

"maaf, mas. Tadi saya ada kerjaan lain, jadi ngantar galonnya agak sedikit telat. Tadi Ibu mas udah pesan, katanya saya suruh antar langsung ke rumah..." Alex berucap lagi, setelah melihat aku hanya terbengong.
"oh..ah...iya...iya... langsung bawa masuk aja, bang..." ucapku tergagap tiba-tiba.
Aku segera membukakan pintu lebih lebar, agar Alex lebih mudah mengangkat galonnya ke dalam.
Alex tersenyum sambil mengangkat galon ke dalam. Ada empat buah galon yang berada dalam keranjang besi diatas sebuah motor butut milik Alex.

Aku terus saja menatap Alex yang dengan cekatan mengangkat galon-galon tersebut. Otot-otot lengannya terlihat jelas. Alex memang mempunyai kulit yang agak gelap, namun tubuhnya sangat kekar dan berotot. Dadanya bidang dengan perut yang ramping. Ada bulu-bulu halus di sekitaran pusarnya. Alex juga tidak terlalu tampan, tapi ia terlihat manis saat tersenyum.

Entah mengapa melihat itu semua, dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ada gejolak yang tiba-tiba aku rasakan. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Dalam pikiranku aku membayangkan bisa memeluk tubuh seksi Alex yang terpampang jelas di depanku.

"udah semua, mas..." ucap Alex mengagetkanku, saat ia telah selesai mengangkuti semua galon ke dapur.
Aku tergagap kembali, terutama saat itu Alex berdiri hanya setengah meter di depanku. Butiran keringat kecil mengaliri tubuh seksinya. Dan hal itu tentu saja membuatku semakin gelagapan tak karuan. Aku jarang sekali berbicara berdekatan dengan orang-orang, terutama dengan laki-laki. Dan lagi pula Alex berdiri di depanku dengan bertelanjang dada.
Alex tersenyum melihatku yang salah tingkah.
"kamu kenapa, mas Farid?" suara Alex terdengar seperti menggoda di telingaku, yang membuatku semakin merinding.
"oh...gak....aku gak apa-apa.." jawabku masih dengan suara tergagap. "bang Alex tunggu disini sebentar ya, aku mau ambil uang di kamar dulu..." lanjutku berusaha bersikap wajar.

Aku segera melangkah menuju kamarku yang berada tidak jauh dari ruang tengah. Aku masuk ke kamar dengan sedikit menarik napas. Aku mencari-cari uang dalam dompetku, hingga tanpa aku menyadarinya ternyata Alex sudah berada di belakangku. Ternyata Alex sengaja mengikutiku masuk ke dalam kamar. Aku terperanjat seketika. Namun Alex tetap melangkah semakin mendekat. Jantungku berdebar kembali. Perasaanku campur aduk.

Alex berdiri di depanku dengan senyuman manisnya.
"bang Alex kenapa gak tunggu diluar saja.." tanyaku dengan suara bergetar, menahan gejolakku sendiri.
"mas Farid gak suka sama saya?" tanya Alex, yang membuatku sedikit bingung.
"saya......" kalimatku terhenti, ketika tangan Alex tiba-tiba menyentuh pundakku.
"saya suka melihat mas Farid. Mas Farid sangat tampan dan putih..." Alex berkata sambil mengelus-elus pundakku dengan lembut.

Aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa saat itu. Seumur hidupku, baru kali ini seseorang memujiku. Kalimat Alex barusan benar-benar membuatku merasa tersanjung. Namun yang paling membuatku semakin berbunga, ialah ketika dengan blak-blakan Alex mengatakan kalau ia menyukaiku. Sungguh tak pernah terpikir olehku sebelumnya, jika Alex juga seorang yang 'sakit'.

Alex memang menarik secara fisik, tapi aku tidak begitu mengenalnya. Meski pun ada keinginan untuk menerimaa ajakan Alex, namun aku segera menepis tangan Alex dari bahuku.
"maaf, Lex. Saya gak bisa..." ujarku pelan. "kita juga tidak mungkin melakukan hal tersebut dirumahku.." lanjutku mencoba memberi pengertian pada Alex.
Alex melepaskan tangannya, ia terlihat sedikit murung. Tapi aku juga tidak begitu peduli. Aku tahu, apa yang dirasakan Alex bukanlah cinta yang sesungguhnya. Itu semua bisa saja hanya sebuah rasa kagum atau justru hanya sebuah nafsu belaka.

Aku berjalan keluar, Alex mengikutiku dengan gontai. Dalam pikiranku saat ini hanya ada pak Afis. Dia satu-satunya laki-laki yang mampu merasuki hati dan pikiranku.
Meski pun Alex sempat menyita perhatianku karena keterus-terangannya, namun semua itu tidak mampu membuatku melupakan sosok pak Afis.
Dari Alex aku belajar, untuk lebih berani dan berterus terang. Setidaknya dengan berterus terang kita bakal tahu, apa yang orang tersebut rasakan pada kita.

"maaf ya, mas Farid. Saya tidak bermaksud..." ucap Alex lemas, saat ia hendak menaiki motornya untuk pergi.
"ya, saya paham. Saya bisa merasakan apa yang bang Alex rasakan. Tapi sekali lagi saya mohon maaf, saya belum bisa..." balasku, sambil perlahan menutup pintu.

***********

Hari-hari berikutnya aku masih tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Berangkat sekolah pada pagi hari, seperti biasa. Aku sempat bertemu Alex beberapa kali, namun kami hanya saling tersenyum dari kejauhan. Rasanya ada yang beda, setiap kali bertatap pandang dengan Alex. Sekarang aku tahu, bahwa di lingkungan perumahan ini, aku bukan satu-satunya yang 'sakit'.

Suatu hari, aku berangkat sekolah agak sedikit terlambat, karena telat bangun pagi. Sesampai di sekolah, pak Darman, satpam sekolah, sudah menutup pintu pagar. Dengan sedikit memelas, aku memohon kepada pak Darman untuk membuka pintu pagar untukku.

Pagi itu jam olahraga, sebuah pelajaran favoritku. Selain karena belajar di luar ruangan, tentu saja juga karena aku akan bisa menatap pak Afis dari dekat. Aku akan bisa melihat tubuh kekar pak Afis yang biasanya akan berkeringat.

Setelah berganti pakaian, aku pun dengan sedikit berlari menuju lapangan olahraga. Disana sudah berkumpul teman-teman sekelas dan juga sudah ada pak Afis. Tentu saja, kehadiranku disana, menarik perhatian mereka, karena tak biasanya aku terlambat.

Pak Afis memanggilku ke depan. Tubuhku tiba-tiba gemetaran, dadaku bergemuruh hebat. Aku tak biasa berada dalam situasi seperti itu. Aku memang pemalu dan jarang sekali tampil ke depan. Teman-teman tak banyak yang mengenalku, karena aku memang pendiam.

Aku berdiri di depan dengan kepala tertunduk. Perasaanku benar-benar tak karuan.

"kenapa kamu terlambat?" suara pak Afis mengagetkanku. Namun aku tetap tertunduk, tak berani menatap wajah pak Afis. Aku tetap diam mematung, takut untuk berbicara.

Melihat aku yang hanya terdiam, pak Afis akhirnya menyuruhku untuk ikut berbaris bersama teman-teman yang lain. Aku pun menurutinya.

"nanti jam istirahat, kamu temui saya di ruang saya ya..." ucap pak Afis lagi, ketika aku hendak melangkah menuju barisan. Kali ini, aku beranikan diri menatap pak Afis, sambil sedikit mengangguk. Aku tidak tahu, kenapa pak Afis menyuruhku menemuinya. Tapi aku, entah mengapa, semakin merasa tak karuan dan takut. Aku takut pak Afis akan memarahiku, karena terlambat hari ini.

Ketika jam istirahat, aku pun melangkah gontai menuju ruangan pak Afis yang berada di ujung gedung. Aku mengetuk pintu, dan pak Afis mempersilahkan aku masuk.

Pak Afis hanya sendirian di ruangan tersebut. Ia duduk di kursi kerjanya sambil menatapku, yang melangkah mendekat. Aku melangkah dengan tertunduk. Perasaan takutku kian menjadi.

"duduk!" perintah pak Afis, saat aku sudah berada di depan meja kerjanya.

Aku pun kemudian duduk dan dengan ragu mulai menatap wajah pak Afis. Kulihat pak Afis tersenyum tipis.

"dari dulu saya paling tidak suka ada siswa yang terlambat ketika jam pelajaran saya. Harus ada hukumannya untuk semua itu..." ucap pak Afis tegas.

Aku terdiam. Rasa takutku semakin menjadi. Entah hukuman apa yang akan pak Afis berikan padaku. Tapi aku harus menerimanya, karena aku memang bersalah.

Tiba-tiba pak Afis berdiri, lalu melangkah mendekatiku. Ia berdiri di depanku sambil bersandar di meja kerjanya. Aku mengangkat wajah. Aku menatapi tubuh kekar pak Afis yang memakai celana training ketat itu. Aku menatapnya terkesima. Jarak pak Afis tidak sampai setengah meter dariku. Jantungku berdebar-debar tak karuan. Tapi pak Afis terlihat santai.

"kamu saya beri hukuman untuk membersihkan wc itu.." ucap pak Afis, sambil ia menunjuk ruang wc yang ada di sudut ruangan tersebut.

"baik pak.." balasku cepat, sambil berdiri. Aku berdiri di depan pak Afis, wajah kami berdekatan. Aroma harum nafas pak Afis tercium di hidungku. Aku menghirupnya sejenak, lalu memutar langkah menuju wc yang tadi pak Afis tunjuk. Gemuruh di dadaku semakin tak karuan.

Sesampainya di dalam wc, aku menarik napas panjang, sekedar menenangkan pikiranku.

Imajinasi liarku sempat muncul sesaat tadi, ketika pak Afis berada sangat dekat denganku.

Aku sempat berpikir macam-macam. Tapi ternyata pak Afis hanya menyuruhku untuk membersihkan wc, yang sebenarnya tidak begitu kotor. Namun karena ini sebuah hukuman, aku dengan terpaksa mulai membersihkannya.

Selang beberapa saat, saat aku sedang sibuk menggosok lantai wc tersebut. Tiba-tiba pak Afis muncul di belakangku. Ia berdiri menatapku.

Aku kaget dan merasa takut. Pak Afis berdiri di depanku, yang sedang jongkok.

"kamu suka fitness?" pak Afis melontarkan pertanyaannya dengan tegas.

Aku hanya menggeleng ringan. Aku jadi sedikit bingung, kenapa pak Afis tiba-tiba bertanya seperti itu.

"pantas badan kamu kurus dan lembek seperti itu." ucap pak Afis lagi, kali ini lebih lembut namun cukup menyakitkan bagiku.

Tapi aku sudah terbiasa mendengar kalimat seperti itu, terutama dari bullyan teman-teman sekelasku.

"kamu mau gak, ikut fitness di tempat bapak? Kebetulan bapak baru buka tempat fitness, jadi sekalian promosi. Nanti untuk kamu, bapak langsung yang akan jadi mentornya..." lanjut pak Afis berujar lagi.

Entah mengapa aku merasa sangat senang mendengarnya. Pak Afis mau menjadi mentor-ku untuk fitness di tempatnya?

Itu seperti sebuah peluang emas bagiku, untuk bisa selalu berada dekat dengan pak Afis.

"udah tenang aja, untuk kamu nanti bapak kasih diskon, deh.." ujar pak Afis selanjutnya.

"kamu mau gak?" tanya pak Afis, melihat aku hanya terdiam.

Aku menghentikan kegiatanku, lalu berdiri tepat di hadapan pak Afis.

"iya, aku mau, pak.." jawabku lugas.

"oke. Ini alamat tempat fitness-nya, kamu bisa datang setiap sore, agar badan kamu bisa lebih cepat terbentuk..." ucap pak Afis, sambil menyerahkan secarik kertas yang berisi sebuah alamat, tempat fitness tersebut.

Aku dengan segera mengambil kertas tersebut, sambil menatap pak Afis tersenyum.

"makasih, pak.." ucapku.

"kamu memang tampan, tapi jika tidak di dukung dengan tubuh yang kekar, kamu jadi tidak terlalu menarik.." ucapan pak Afis itu, membuatku terasa melayang.

Tak kusangka pak Afis akan memujiku seperti itu, yang membuatku semakin bersemangat untuk ikut fitness bersamanya.

Aku sih berharap, pak Afis juga akan tertarik padaku. Meski hal itu masih terasa mustahil bagiku.

"ya udah. Sekarang sudah jam masuk. Kamu boleh kembali ke kelas. Tapi ingat! Lain kali jangan terlambat lagi ya, terutama di jam pelajaran saya..." ucap pak Afis lagi, sambil ia melangkah menuju meja kerjanya.

Aku segera melangkah keluar. Perasaanku masih tak karuan. Tapi setidaknya, sekarang aku sudah punya peluang untuk bisa menjadi dekat dengan pak Afis.

 ***********

Sore itu, aku pun mendatangi alamat tempat fitness pak Afis.

Pak Afis menyambutku dengan ramah. Tempat itu memang terlihat masih baru. Masih belum begitu ramai. Perlatannya juga masih baru-baru.

"bagaimana? Udah siap untuk latihan?" suara khas pak Afis memulai pembicaraan, saat aku sudah berada di dalam ruangan tersebut.

"siap, pak." jawabku.

"tapi kamu jangan lupa promosikan tempat ini ya.." ucap pak Afis lagi.

Aku hanya mengangguk mantap.

Aku menatap pak Afis yang hanya memakai celana pendek dan baju kaos tanpa lengan.

Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku. Karena selama ini, aku hanya melihat pak Afis memakai baju olahraga di sekolah.

Lengannya yang kekar dan berotot terlihat jelas. Pak Afis benar-benar sempurna.

"kamu sudah punya pacar?" tanya pak Afis, di sela-sela latihan kami.

"belum, pak." jawabku.

"kenapa? Padahal kamu tampan.." ucap pak Afis lagi.

Karena aku tidak suka perempuan, pak. Aku sukanya sama bapak. Jawabku dalam hati.

Tapi aku tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Pak Afis pun tidak melanjutkan pertanyaannya. Sepertinya ia sadar, kalau pertanyaan itu terlalu pribadi.

"usia bapak udah berapa, sih, pak?" tanyaku, saat kami beristirahat menjelang pulang.

"menurut kamu?" tanya pak Afis balik.

"30 tahun.." tebakku mengira-ngira.

"36 tahun." jawab pak Afis tegas.

"tapi masih terlihat sangat muda, pak. Apa lagi badan bapak kekar seperti itu." ucapku mulai berani.

Pak Afis tersenyum, lalu berucap.

"kamu suka gak?"

Pertanyaan itu, membuatku jadi salah tingkah. Aku tidak benar-benar mengerti maksud dari pertanyaan pak Afis barusan. Aku juga takut salah paham.

"kalau kamu suka, makanya latihan yang rajin, biar nanti tubuh kamu juga seperti ini.." pak Afis berucap lagi, melihat aku hanya tertunduk.

"iya, pak." jawabku singkat.

Setelah berpamitan, aku pun segera pulang.

Diperjalanan pulang menuju rumahku, aku bertemu Alex.

"dari mana, mas Farid?" tanya Alex berbasa-basi.

"gak ada, dari jalan-jalan aja ..." jawabku sedikit berbohong, karena aku memang tidak ingin Alex tahu, kalau aku ikut fitness.

"mau aku antar ke rumahnya, mas?" tanya Alex lagi.

Alex memang sedang berada di atas motor bututnya, tanpa ada galon di belakangnya.

Aku juga tadinya naik angkot, namun hanya sampai di ujung gang menuju perumahan tempat aku tinggal. Jadi dari simpang gang itu, aku memang biasa berjalan kaki.

Karena merasa lelah, sehabis latihan fitness, aku pun menerima tawaran Alex.

Aku duduk di belakang Alex dengan perasaan yang tak karuan. Biar bagaimana pun, aku tahu kalau Alex menyukaiku. Meski perasaanku padanya biasa saja.

Alex mengantarku sampai rumah, lalu kemudian pamit pulang, setelah aku mengucapkan terima kasih.

******

Hari-hari berikutnya aku pun hampir setiap hari bertemu pak Afis, tentu saja di tempat fitness-nya.

Setelah berbulan-bulan, tubuhku pun mulai terbentuk. Pak Afis melatihku dengan sangat sabar.

Kami juga semakin akrab dan dekat. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Selain bisa membentuk tubuhku jadi atletis dan kekar, aku juga bisa selalu dekat dengan pak Afis yang sangat aku kagumi itu.

Hingga akhirnya aku pun lulus SMA.

Meski pun sudah kuliah, aku masih terus ikut fitness bersama pak Afis.

Tempat fitness pak Afis pun semakin berkembang. Tentu saja, ada peran kecilku disana. Aku memang rajin mempromosikannya, terutama di media sosial. Sehingga tempat jadi cukup dikenali orang-orang.

"kamu mau gak, jadi salah seorang personal trainer di sini, Rid?" tanya pak Afis suatu hari padaku.

"tubuh kamu juga udah oke. Kamu hanya perlu mempertahankannya sekarang. Jadi kamu bisa sekalian latihan dan melatih orang lain." lanjutnya lagi.

Tanpa pikir panjang, aku pun menyetujuinya. Lumayan juga hasilnya. Tapi yang paling penting, aku bisa terus bersama pak Afis.

Aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hati pak Afis. Aku akan selalu memperjuangkan cintaku padanya. Sampai kapan pun.

Hingga suatu hari, saat itu hari minggu. Aku memang tidak berniat pergi kemana-mana.

Tiba-tiba alex datang ke rumahku, kali ini ia tidak mengantar galon.

"ada apa, Lex?" tanyaku.

"kita jalan-jalan yuk, mas Farid.." jawab Alex sedikit memohon.

Aku dan Alex memang sudah mulai dekat, apa lagi Alex memang tidak pernah menyerah untuk mendekatiku. Ada saja caranya untuk bisa mengobrol denganku.

Bahkan Alex pernah nekat datang ke rumahku saat malam minggu. Aku menanggapinya biasa saja. Aku hanya mencoba menghargai perasaannya padaku.

Kami pernah beberapa kali jalan bareng. Sekedar makan-makan di warung pinggir jalan atau sekedar nonton di bioskop.

Karena aku yang jarang sekali punya teman dekat, kehadiran Alex cukup menghiburku.

Dari Alex aku jadi tahu, kalau ia seorang yatim piatu sejak kecil. Selama ini ia tinggal bersama kakak tertuanya, yang punya usaha galon itu. Dan ternyata Alex lebih muda setahun dariku.

Namun kehidupannya yang keras, membuat ia terlihat lebih tua dari usianya.

"jalan-jalan kemana?" tanyaku akhirnya.

"ke mall yang kemarin, mas. Aku mau beli sesuatu disana..." jawab Alex lugas.

"oke. Tunggu sebentar ya. Aku mau ganti baju dulu.." ucapku, sambil masuk ke dalam lagi.

"ngapain ganti baju, mas! Mas Farid pakai apapun tetap terlihat keren, kok." aku mendengar sayup-sayup kalimat Alex barusan dari kamarku.

Aku tak menggubrisnya. Alex memang selalu terbuka padaku, terutama tentang perasaannya.

Dia sudah terlalu amat sering melontarkan kalimat-kalimat pujian seperti itu.

Aku memang tersanjung karenanya, namun itu belum mampu mengubah perasaanku padanya.

Aku salut dengan perjuangannya yang tidak kenal menyerah, tapi hal itu justru menjadi inspirasi bagiku untuk tidak menyerah juga dalam menggapai hati seorang pak Afis.

Kami menuju mall itu dengan menaiki sebuah angkot. Sesampai disana, kami langsung menuju tempat yang ingin dituju oleh Alex dari awal.

Saat itu aku bertemu dengan pak Afis. Dia sedang berbelanja dengan istri dan juga anak-anaknya.

"Farid.." pak Afis yang menegurku duluan.

"iya, pak.." jawabku cepat.

"lagi ngapain kamu disini?" tanya pak Afis.

"ini pak, kawan minta ditemani..." jawabku sedikit belepotan, sambil menunjuk ke arah Alex yang menatap kami tersenyum.

Pak Afis hanya manggut-manggut, lalu kemudian ia permisi untuk melanjutkan kegiatannya bersama keluarganya.

Sekilas aku melihat raut tidak senang dari wajah pak Afis, saat aku memperkenalkan Alex padanya.

Tapi aku segera mengabaikan hal tersebut. Bisa saja itu hanya halusinasiku saja.

Setelah beberapa jam berkeliling mall itu, dan mendapatkan benda yang di carinya, Alex segera mengajakku untuk pulang. Karena hari memang sudah mulai sore.

*******

Esoknya aku bertemu pak Afis lagi di tempat fitness. Aku merasa ada yang beda dari sikap pak Afis padaku hari itu.

Tapi aku berusaha bersikap biasa saja. Mungkin pak Afis lagi ada masalah dengan istrinya. Pikirku.

Sampai saat ketika aku hendak pulang, pak Afis memanggilku ke ruang kerjanya.

"yang kemarin itu siapa?" tanya pak Afis, saat aku sudah duduk di depan meja kerjanya. Ia menatapku tajam.

"maksud pak Afis? Alex?" tanyaku dengan kening berkerut. Setengah tak mengerti aku dengan pertanyaan pak Afis, yang bernada seperti curiga itu.

"iya, siapa dia?" pak Afis bertanya lagi, yang membuatku semakin bingung.

"dia Alex, pak. Teman satu kompleks-ku.." jelasku seadanya.

"teman apa teman?" pak Afis bertanya lagi, kali ini nadanya semakin penuh kecurigaan.

"maksud pak Afis apa, sih?" tanyaku akhirnya, aku benar-benar tidak mengerti.

"kamu jangan pura-pura gak paham, deh, Rid. Kamu pacaran, kan sama Alex itu.."

ucapan pak Afis yang terlontar begitu tajam itu, benar-benar membuatku terkesima.

Bagaimana mungkin pak Afis punya pikiran seperti itu?

Tapi bukankah itu berarti, pak Afis sudah tahu, kalau aku seorang gay?

Dan kalau pun benar, pak Afis sudah tahu, lalu apa urusannya dengan aku pacaran atau tidak sama Alex?

Atau jangan-jangan ...

"pak Afis cemburu?" tanyaku, antara penasaran dan rasa khawatir.

Tiba-tiba pak Afis bungkam. Ia tertunduk, bak anak kecil yang sedang dimarahi mama.

"pak Afis suka sama saya?" tanyaku lagi, "pak Afis juga gay?" tanyaku berikutnya, tanpa jeda.

Aku benar-benar penasaran. Aku benar-benar ingin tahu.

Mengapa pak Afis tiba-tiba jadi begitu peduli dengan siapa aku berjalan. Aku merasa ada yang aneh.

Cukup lama suasan hening, pak Afis seperti enggan untuk menjawab.

Tapi aku sudah mengira-ngiranya. Meski hatiku sendiri ragu.

"aku memang suka sama kamu, Farid. Dan aku memang seorang gay." pak Afis berucap juga akhirnya, dia juga cukup berani menatapku.

"dan aku tak rela kamu jalan sama cowok lain..." lanjutnya, tatapannya semakin tajam menusuk jantungku.

"tapi selama ini..." suaraku terbata.

"ya, aku tahu. Selama ini aku cukup cuek sama kamu. Aku terlalu malu untuk mengakuinya.Sebenarnya aku sangat menginginkan kamu, Farid. Sudah sejak lama..." ucap pak Afis terdengar lirih.

"aku dan Alex tidak ada hubungan apa-apa. Meski sebenarnya Alex menyukaiku. Tapi aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Selama ini aku hanya menyukai pak Afis. Tapi pak Afis terlalu cuek orangnya. Jadi selama aku hanya bisa memendam perasaanku.." ucapku menjelaskan, dan aku merasa lega bisa mengungkapkan semua itu.

Rasa yang selama ini hanya bisa aku pendam, hari ini terungkap sudah.

"aku juga menyukai kamu, Rid. Tapi kamu tahu, kan? Kalau aku sudah punya istri dan anak.." ucap pak Afis, sambil ia berdiri mendekatiku.

"iya, aku tahu pak. Tapi itu tidak merubah perasaanku pada pak Afis. Aku mencintai pak Afis dengan sepenuh hatiku. Tak peduli apapun status pak Afis saat ini..." balasku dengan suara lirih.

Tiba-tiba pak Afis meraih tanganku, kemudian menggenggamnya erat.

Aku membalas genggaman itu. Tangan itu terasa hangat. Tubuhku bergetar hebat.

Pak Afis yang selama ini hanya ada dalam khayalanku, kini berada tepay dihadapanku.

Aku berdiri, sambil terus menggenggam tangan kekar itu.

Pak Afis kemudian mendekapku erat. Tubuh itu kekar itu benar-benar terasa hangat, mengaliri setiap nadiku.

Semua itu terasa indah bagiku. Sangat indah!

Aku membalas dekapan pak Afis. Tubuh kami menyatu dalam sebuah ikatan cinta yang sempurna.

Sungguh tak pernah aku duga akan semudah ini. Semua ini benar-benar diluar dugaanku.

Akhirnya aku bisa mendapatkan pria kekar nan tampan itu. Meski butuh waktu bertahun-tahun dan perjuangan serta kesabaran yang cukup berat.

Namun buah dari kesabaran itu sungguh luar biasa.

Kini hari-hari jadi semakin berwarna.

Aku pun mencoba berterus terang kepada Alex dan menceritakan semuanya. Aku tidak ingin ada salah paham, apa lagi jika hal itu bisa merusak hubunganku dengan pak Afis.

Aku tak akan pernah melepaskan pak Afis, walau dengan alasan apapun.

Aku akan menjaga cinta ini, meski apapun resikonya.

Aku sangat mencintai pak Afis. Dan aku sangat bahagia, karena ternyata pak Afis juga mencintaiku.

I love you, pak Afis. Kamu adalah yang terbaik...

****

Sekian ...

Kenangan indah saat KKN ...

Cerita berawal ketika saya ikut kegiatan KKN disebuah desa.

Disana lah saya bertemu Ryan, seorang pemuda desa yang sederhana.

Awalnya semuanya berjalan biasa saja. Kami memang sering bertemu. Karena Ryan salah seorang pengurus Pemuda di Desa tersebut. Jadi kegiatan kami selama KKN disana sering dibantu oleh pengurus pemuda disana.

Ryan sangat aktif selama kami disana. Dia sering membantu kami dalam melaksanakan berbagai kegiatan di desa.

Cerita gay

Kami sering bercerita mengenai kegiatan-kegiatan yang kami lakukan disana. Ryan orang yang cerdas. Meski ia tidak pernah kuliah. Usianya sudah 27 tahun waktu itu.

Dia suka bermain voly setiap sore dilapangan desa. Saya selalu suka memperhatikan Ryan, saat ia bermain voli.

Selain memiliki wajah yang tampan, Ryan juga mempunyai postur tubuh yang kekar dan atletis. Karena Ryan memang seorang pekerja keras.

Dari awal saya memang sudah tertarik dengan Ryan. Dia cowok yang baik, ramah dan juga sangat rajin.

Aku merasa sangat senang bisa bertemu dan berkenalan dengannya. Apa lagi kian hari, aku dan Ryan kian dekat dan akrab.

Kedekatan kami itu, justru membuatku semakin mengaguminya. Kadang aku jadi sering salah tingkah, bila harus berhadapan dengan Ryan.

Namun sekuat mungkin aku berusaha menahan perasaanku. Aku tidak ingin Ryan tahu, tentang betapa kagumnya aku padanya.

Kami melaksanakan KKN selama lebih kurang dua bulan. Kami berjumlah 9 orang, lima cewek dan 4 cowok.

Kami yang cowok tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari lapangan voly tempat biasa Ryan bermain. Sedangkan yang cewek tinggal di salah satu rumah penduduk.

Saat itu sudah hampir 2 minggu kami berada di Desa Ryan. Sudah banyak kegiatan yang kami lakukan.

Malam hari biasanya aku sering ikut nongkrong bersama Ryan dan teman-temannya, yang berada disekitaran lapangan voli tersebut.

Aku juga kadang-kadang sering menghabiskan waktu ngobrol berdua bersama Ryan.

Dari Ryan, aku akhirnya tahu, kalau ia anak bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakak-kakaknya semuanya sudah berkeluarga.

Orangtua Ryan mempunyai sebuah kebun sawit yang cukup luas. Dan Ryan dipercayai oleh orangtuanya untuk mengelola kebun tersebut.

Ryan mengerjakan kebunnya sendiri, mulai dari merawat hingga memanennya. Mungkin karena itu juga, tubuh Ryan terbentuk dengan sempurna, selain karena ia memang suka berolahraga.

Pada suatu malam, saya berjalan ke tempat Ryan dan teman-temannya biasa nongkrong. Kebetulan malam itu saya memang sedang tidak ada kegiatan bersama teman-teman KKN.

Saat sampai ditempat itu, saya melihat Ryan duduk sendirian disana, sambil bermain gitar. Ryan memang suka bermain gitar dan suaranya bagus. Saya suka mendengarkan dia bernyanyi.

"sendirian saja," tegur saya, saat sudah duduk disamping Ryan, "mana yang lain..?" lanjut saya.

Ryan berhenti sejenak memainkan gitarnya, lalu menjawab "yang lain pergi lihat hiburan ke desa tetangga.."

"oh.." saya mengangguk. Ryan kembali memainkan gitarnya, dia menatapku sejenak, seraya memperlihatkan senyuman yang begitu manis. Saya membalas tersenyum, sambil menahan debaran di dada saya yang bergemuruh.

Senyum Ryan memang teramat manis, dihiasi lesung pipi tipisnya.
"abang gak ikut?" tanyaku lagi.
"gak!" jawabnya singkat. Ryan memang sedikit pendiam orangnya. Dia hanya berbicara seperlunya saja. 

"pergi yuk!" ucapku, setelah Ryan menyanyikan sebuah lagu.

Ryan kembali menatapku, kali ini cukup lama."kemana?" tanyanya kemudian.
"lihat hiburan di desa tetangga itu.." jawabku.

"oh.." balasnya, "kamu suka lihat hiburan seperti itu?' lanjutnya bertanya.
"gak juga, sih. tapi dari pada bengong disini, kan..?" jawabku lagi.

"ayoklah.." balasnya, setelah terdiam sesaat. "kamu tunggu sini ya, saya ambil motor dulu.." sambil ia berdiri dan pergi menuju rumahnya.

Rumah Ryan hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari situ.

Setelah Ryan kembali dengan membawa motornya, kami pun segera berangkat.

Ryan membawa motornya pelan-pelan menuju desa tetangga, saya duduk dibelakangnya dengan dada yang semakin berdebar.

Jujur, saya merasa sangat bahagia saat itu. Bisa berduaan bersama Ryan, merupakan sebuah keindahan tersendiri bagiku.

"dingin gak?" tanya Ryan padaku, ketika diperjalanan. Jarak desa tetangga tersebut kurang lebih 6 kilo meter.

"lumayan lah..." jawabku jujur.
"peluk aja, kalau dingin.." katanya lagi.

Saya terdiam sejenak, debaran di jantung saya semakin tak karuan. Namun kemudian akhirnya saya melingkarkan tangan ke tubuh Ryan yang gagah.

Tubuh itu terasa hangat. Dada saya semakin bergemuruh dan berdebar hebat. Jantung saya berdetak lebih kencang dari biasanya.

Tak berapa jauh kemudian, tiba-tiba motor kami mogok. Ryan mencoba menstater-nya beberapa kali, tetap tak mau hidup.
Ryan meminta saya untuk turun, sementara suasana di jalan tersebut sangat sepi. Saya sedikit merasa takut.

"bensinnya habis.." jelas Ryan, saat ia juga turun untuk membuka jok. "saya lupa mengisinya tadi.." lanjutnya.

"oh.." keluhku, "jadi gimana?" tanyaku.
"ya. kita tunggu aja orang lewat.." jawabnya, "itupun kalau ada.." lanjutnya.

"kok, kalau ada...?" tanyaku lagi.
"iya. karena udah jam segini, biasanya jarang orang lewat.." ucap Ryan.
 
Saya melihat jam ditangan saya, sudah menunjukkan hampir jam 10 malam.
"teman-teman yang pergi lihat hiburan pulang jam berapa?" tanyaku.

"biasanya jam 2 atau jam 3.." jelasnya.

Saya terdiam. Ryan menatap saya, kemudian berujar, "kita tunggu disana aja yuk..."
 
Ryan menunjuk ke arah dalam sebuah kebun karet masyarakat. Disana ada sebuah pondok tak jauh dari situ.
Cahaya rembulan yang benderang, membuat pondok itu terlihat jelas dari kejauhan.
Saya mengangguk. Setuju.

Ryan mendorong motor ke dalam kebun, menuju pondok tersebut. Saya mengikutinya dari belakang. Sesampainya di pondok, kami masuk kedalam, ternyata pondok itu tidak dikunci.

"ini pondok siapa?" tanyaku berbasa-basi.
"pondok warga yang punya kebun ini.." jawabnya sekenanya. Kemudian bertanya,"kamu takut?"

"sedikit..." jawabku jujur. "dan dingin juga..." lanjutku lagi.
Tiba-tiba Ryan duduk disampingku. Tangannya merangkul pundakku. Aku merasa begitu hangat.
"masih dingin?" tanya Ryan. Aku hanya diam.

Ryan kemudian melingkarkan tangannya memeluk tubuhku. Aku gemetaran, dadaku semakin tak karuan. Ryan memelukku begitu erat dan hangat.

Aku membalas memeluknya. Aku merasakan begitu kekarnya tubuh Ryan.

Kutatap mata Ryan, dia tersenyum. Seperti biasa, senyum yang begitu manis. Tapi kali ini begitu dekat, sangat dekat.

Aku merasakan hembusan nafas Ryan. Kami saling tatap cukup lama.

Ryan semakin mendekatkan wajahnya. Aku sedikit bergetar, dadaku bergemuruh hebat lagi. Hembusan napas Ryan terasa begitu wangi menyeruak ke dalam hidungku.
 
"aku boleh cium kamu?" tanya Ryan tiba-tiba, yang membuatku semakin berdebar.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa, namun repleks aku mengangguk.
 
Ryan mulai menyentuh pipiku dengan tangannya. Ia tatapi wajahku lama.
"kamu sangat tampan, dik." ucapnya lagi. Aku tersenyum bangga.
 
"bang Ryan juga sangat tampan.." balasku dengan suara bergetar.
"abang suka sama kamu." ujar Ryan lagi. "kamu mau gak jadi pacar abang.?" tanya Ryan melanjutkan.
 
Rasanya saat itu, semua bunga bermekaran di sekelilingku. Hatiku begitu bergembira mendengar pernyataan bang Ryan barusan.
Siapa yang tak ingin menjadi pacar seorang Ryan. Seorang pemuda tampan dan atletis. Tak ada yang mampu menolak pesona Ryan, tak terkecuali saya, yang memang sudah sejak pertama bertemu telah mengaguminya.
Untuk itu, aku pun mengangguk.
"aku juga suka sama bang Ryan..." aku mengeluarkan suara lagi.
 
Kulihat Ryan tersenyum. Kemudian perlahan tangannya mengusap pipiku lagi dengan lembut. Tangan kekar itu terasa hangat di pipiku.
 
Cuaca dingin dan suasana yang sunyi, menambah keromantisan kami malam itu.
 
Sungguh tak pernah kusangka, jika Ryan juga menyukaiku. Aku merasa begitu bahagia malam itu. Rasanya dunia sudah menjadi milik kami berdua.
 
Malam yang sangat indah bagiku. Malam yang penuh dengan kenangan. Kenangan yang tidak mungkin bisa aku lupakan sepanjang hidupku.
 
Jujur, itu adalah pengalaman pertamaku dengan seorang laki-laki. Itu adalah pertama kalinya, aku merasakan sebuah keindahan yang terasa sangat luar biasa.
 
Ryan begitu sempurna dimataku. Dia mampu membuatku terbuai dengan cintanya yang kurasakan begitu indah.
 
Malam itu, Ryan berhasil membuatku merasakan sebuah keindahan yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.
 
Berkali-kali aku merasakan tubuhku melayang-layang. Pondok kecil yang sunyi itu, menjadi saksi bahwa betapa aku dan Ryan saling membutuhkan dan saling melengkapi.
 
Rasanya semua begitu sempurna. Aku merasa berada ditempat yang tepat bersama orang yang tepat.
 
Aku bisa merasakan, kalau Ryan sudah sangat berpengalaman dalam hal itu.
Aku tidak tahu, dari mana Ryan belajar hal tersebut. Namun dari caranya memperlakukanku, terlihat sekali kalau Ryan sudah sering melakukannya.
 
Aku juga tidak begitu peduli dengan semua itu. Yang terpenting bagiku saat ini, Ryan ada bersamaku. Dan aku sangat menginginkannya.
 
Aku mencintai Ryan, dan aku berharap Ryan juga menyayangiku.
 
****************

Sejak malam itu, aku dan Ryan semakin sering bertemu. Ryan selalu punya lokasi strategis untuk kami dapat saling melepaskan rindu.

Selama aku melaksanakan kegiatan KKN di desa Ryan, setidaknya lebih dari sepuluh kali kami bertemu secara diam-diam. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka.
 
Setiap kali berduaan dengan Ryan, aku merasa sangat bahagia. Karena biar bagaimana pun, Ryan adalah pacar pertamaku. Dan aku sangat menyayanginya.
 
Ryan juga memperlakukanku sangat lembut. Dia selalu terdengar romantis.
 
"kamu suka gak?" tanya Ryan suatu malam, saat kami bertemu kembali. Kali ini kami bertemu di kebun sawit milik Ryan. Disana memang terdapat sebuah pondok kecil, tempat biasa Ryan beristirahat, kalau ia sedang bekerja di kebun.
 
"suka apa?" tanyaku manja.
"suka melakukan semua ini bersama abang..." balas Ryan terdengar lembut di telingaku.
 
"suka lah, bang. Kalau gak suka, gak mungkin aku mau bertemu abang lagi, kan?" ucapku, masih dengan suara manjaku.
 
Ryan tersenyum sambil menatapku kembali. Kegelapan malam tidak menghalangi pandanganku, untuk dapat menikmati senyuman manis Ryan.
 
Senyum itu terlalu indah. Dan aku sangat mengaguminya.
 
*******
Hari-hari pun terus berlalu, dengan terasa begitu indah bagiku. Rasanya waktu begitu cepat berlalu.

Hingga masa KKN-ku pun berakhir. Aku pun dengan cukup berat hati, karena harus berpisah dengan Ryan, kembali ke kota.
 
Jarak desa Ryan dengan kota tempat aku tinggal memang cukup jauh. Dan hal itu tentu saja membuat aku dan Ryan akan sangat jarang bertemu.

Sejujurnya aku sangat berat harus terpisah dari Ryan. Namun Ryan mampu meyakinkanku kalau hubungan kami akan baik-baik saja.

Tapi ternyata, setelah aku kembali ke kota, Ryan tidak pernah lagi menghubungiku. Dia tidak pernah berusaha untuk bertemu lagi denganku.
Dia seperti sengaja untuk menghilang.
 
Aku pernah beberapa kali mencoba mendatangi desa Ryan sendirian, tapi Ryan selalu menghindar. Ia Selalu tidak berada di rumah.
Aku tidak pernah tahu, mengapa Ryan menghilang. Mungkin saja, karena selama ini Ryan tak benar-benar mencintaiku.
Ia hanya sekedar memanfaatkanku. Karena ia tahu, aku sangat mencintainya, dan ia juga tahu, kalau pada saatnya aku pasti akan kembali ke kota.
 
Setidaknya selama aku berada di desa Ryan, dia jadi punya tempat untuk menyalurkan keinginannya.
 
Meski aku tidak bisa menemukan jawaban dari semua itu, namun aku akan berusaha untuk bisa merelakannya.
Merelakan semua kenangan indahku bersama Ryan.
Merelakan kisah cintaku yang harus berakhir, tanpa ada penjelasan apapun dari Ryan.
 
Awalnya aku merasa terluka dan sangat kecewa, namun lama-kelamaan aku pun mulai belajar melupakan Ryan dan tak ingin mengharapkannya lagi.
 
Walau tak bisa lagi bersamanya, setidaknya aku pernah merasakan kesempurnaan sebuah cinta bersama laki-laki yang aku impikan.
Setidaknya, Ryan telah memberiku sebuah pengalaman yang begitu indah.

Ryan adalah pacar pertamaku sekaligus laki-laki pertama yang berhasil merebut hatiku dengan pesonanya.

Pengalamanku bersama merupakan hal terindah dalam perjalanan hidupku sampai saat ini.

Aku hanya berharap, semoga Ryan selalu berbahagia.

Dan semoga aku juga akan menemukan kebahagiaan lain dalam hidupku.

Untuk Ryan, andai engkau mendengar atau membaca kisah ini,

"aku masih mencintaimu dan akan selalu mencintaimu...."

****

Sekian ...

Gelora Cinta (cerita romantis)

 "aku mencintai kamu, Hend. Tapi aku memang harus pergi. Aku tak mungkin terus berada disini. Aku harus ikut orangtuaku ke Thailand. Kamu harusnya ngerti ..."

Risky berucap, sambil terus memainkan kedua jemarinya.

"aku ngerti, Ris. Tapi ..." kalimatku tertahan, berat rasanya harus terpisah dari Risky.

Aku mungkin terlalu mencintainya.

Gelora cinta

 

"kita masih bisa terus berhubungan, kok." uajr Risky lagi, kali ini ia menatapku.

"tapi kita gak bisa bertemu, Ris..." balasku cepat.

"aku pasti pulang, kok." ucap Risky pelan.

"iya. Sampai kapan? Satu tahun? Dua tahun? Terlalu berat, Ris. Aku gak sanggup." balasku sedikit terdengar lirih.

"ayolah, Hend. Kita pasti bisa, kok. Jarak seharusnya tidak akan memudarkan perasaan kita, selagi kita masih terus saling berkomunikasi ..." Risky meremas kedua jemarinya kembali.

"apa artinya sebuah hubungan kalau kita tidak bisa saling bertemu, Ris? Emangnya kamu kuat?" tanyaku.

"aku juga pasti akan sangat merindukan kamu, Hend. Tapi aku juga tidak mungkin terus disini. Sementara kedua orangtuaku haru pindah ke Thailand. Ini juga berat bagiku. Namun aku tidak punya pilihan lain..." Risky berujar sambil ia mulai berdiri.

"aku pergi, Hend. Aku harus pergi ..." Risky melanjutkan kalimatnya, lalu kemudian melangkah keluar dari kamar kost-ku.

Aku hanya terpaku menatap kepergian Risky.

Risky memang akan pindah ke Thailand bersama kedua orangtuanya, karena papanya harus ditugaskan kesana.

Lebih dari dua tahun aku dan Risky menjalin hubungan asmara. Kami pacaran sejak tahun pertama kami mulai kuliah.

Hubungan kami terjalin dengan indah. Risky mampu menghiasi ahri-hariku dengan cintanya yang indah.

Dan aku sangat bahagia dengan semua itu.

Tapi, sekarang ...

Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hariku tanpa Risky.

Tapi aku juga tidak bisa mencegahnya untuk pergi.

*******

Beberapa hari kemudian, Risky dan keluarga akhirnya terbang ke Thailand. Dan aku tidak sanggup mengucapkan kata perpisahan buat Risky. Seharian aku hanya mengurung diri di kamar.

Hari-hari selanjutnya, Rsiky masih terus menghubungiku. Aku berusaha terdengar tegar. Aku tak ingin Risky tahu, bahwa betapa terlukanya aku dengan semua itu.

Awal-awal hubungan kami masih terus berlanjut, meski hanya lewat media sosial dan telpon.

Namun lama-kelamaan, kami jadi semakin jarang berkomunikasi. Rasanya bosan juga menjalin hubungan seperti itu.

Apa artinya sebuah hubungan, bila kita tidak bisa saling bertemu.

Hingga hampir setahun, Risky berada di Thailand. Kami sudah tidak lagi saling memberi kabar.

Hubungan kami terputus begitu saja.

Sepertinya jarak dan waktu, benar-benar mampu mengubah segalanya.

Kini hari-hari ku, lebih sering disibukkan dengan usaha baru ku. Selain kuliah tentunya.

Aku membuka usaha sebuah coffe shop, bersama seorang teman, yang baru aku kenal beberapa bulan yang lalu.

Namanya Kevin, dia senior ku di kampus.

Kami berkenalan tak sengaja di media sosial, dan ternyata kami punya hobi yang sama.

Hingga akhirnya kami bisa bekerja sama, untuk membuka sebuah usaha.

Kevin orangnya baik, ramah dan juga pintar.

Sama seperti diriku, Kevin juga seorang perantau.

Setelah beberapa bulan bekerja sama, kami pun memutuskan untuk tinggal di  sebuah apartemen murah yang kami sewa secara patungan.

Tentu saja itu karena kami sudah punya penghasilan yang lumayan, dari usaha kami bersama.

Usaha kami memang boleh dibilang cukup maju, kami bahkan sudah punya beberapa orang karyawan untuk membantu kami.

Singkat cerita, aku dan Kevin pun kian menjadi mendekat. Kami hampir menghabiskan waktu 24 jam bersama.

Mulai dari di apartemen, di kampus dan di tempat kerja.

Secara fisik, Kevin sebenarnya cukup menarik. Meski tidak terlalu tampan, Kevin memiliki bentuk wajah yang tidak membosankan untuk dilihat.

Meski bertubuh sedikit kurus, namun Kevin cukup berotot dan sedikit terlihat kekar.

Awal-awal hubungan kami benar-benar hanya hubungan dua orang sahabat dan rekan kerja.

Namun akhir-akhir ini, entah mengapa, aku merasa Kevin mulai memberikan perhatian lebih padaku.

Aku sering memergoki Kevin menatapku diam-diam.

Aku mencoba mengabaikan hal tersebut, menganggap semua itu adalah hal biasa.

Namun kian hari Kevin kian berani. Dia jadi sering merangkulku, meski terlihat tanpa sengaja.

Sampai akhirnya pada suatu malam....

"aku suka sama kamu, Hend." begitu ucapan tegas Kevin padaku.

"aku sangat menyayangi kamu. Aku hubungan kita lebih dari pada ini..." Kevin melanjutkan lagi.

Terus terang meski aku sudah menduganya dari awal, namun tetap saja aku merasa kaget mendengarnya.

"aku tahu, kalau kamu juga seorang gay, Hend. Meski aku tidak tahu, bagaimana perasaan kamu terhadap aku..." Kevin berucap lagi.

"dari mana kamu tahu, kalau aku gay?" tanyaku penasaran.

"dari media sosial kamu, Hend. Suatu malam, aku pernah melihat notifikasi sebuah aplikasi di handphone kamu ..." jelas Kevin.

Aku terdiam kembali. Karena menurutku hal itu memang tidak begitu penting untuk dibahas.

"kamu mau gak, Hend? Kalau kita bepacaran." suara Kevin terdengar lagi. Aku mengangkat wajah, mencoba menatap mata Kevin.

Tapi aku tidak merasakan getaran apapun saat itu.

Yang terlintas dalam pikiranku, justru bayangan wajah Risky, dengan senyuman khas-nya.

Risky memang sudah hampir dua tahun berada di Thailand. Dan sudah hampir setahun, kami tidak lagi saling berkomunikasi.

Tapi sejujurnya aku belum benar-benar bisa melupakannya.

"maaf, Vin. Aku belum bisa ..." suaraku lirih.

Kulihat wajah Kevin tiba-tiba muram. Tapi aku memang tidak punya perasaan apa-apa sama Kevin.

"oke. Gak apa-apa, Hend. Tapi kita tetap berteman, kan?" balas Kevin.

Aku hanya mengangguk. Yah, semoga saja aku tetap bisa menjaga hubungan pertemanan kami.

Meski ke depannya, tentu semuanya akan berbeda. Apa lagi aku sudah tahu, kalau Kevin menyukaiku.

Tapi Kevin ternyata tidak menyerah begitu saja. Dia bahkan semakin memperlakukan ku dengan istimewa.

Hingga suatu hari aku sakit, Kevin-lah yang berusaha merawatku. Kevin rela menemaniku seharian, bahkan membawaku ke rumah sakit untuk berobat.

Kevin benar-benar penuh perhatian terhadapku.

Dia selalu berusaha untuk membuatku selalu tersenyum.

Dia berusaha untuk selalu ada untukku.

Segala perhatian Kevin terhadapku sebenarnya telah mampu menyentuh hati kecilku.

Namun bayangan Risky masih terus melintas di benakku. Meski Risky tak pernah lagi menghubungiku.

Semakin lama, aku semakin bingung dengan perasaanku sendiri.

Di satu sisi aku masih sering memikirkan Risky, aku masih merindukannya.

Namun ego-ku, tak ingin memulai untuk menghubunginya. Aku ingin Risky yang seharusnya menghubungiku duluan.

Dan di sisi lain, Kevin sudah terlalu sangat baik padaku. Dia sudah terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku.

Namun aku belum merasakan perasaan istimewa untuk Kevin. Tidak ada getar-getar apapun saat bersamanya. Aku merasa biasa saja.

*******

"hei, Hendra. Apa kabar kamu?" sebuah pesan masuk ke ponsel-ku. Aku melihat si pengirim. Risky!

Antara senang dan kecewa aku membacanya.

Senang karena Risky akhirnya menghubungiku. Tapi aku juga kecewa, karena setelah sekian lama Risky baru menghubungiku.

"aku baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?" aku membalas juga  pesan itu.

"aku juga baik. Aku mau telpon kamu boleh?" balas Risky cepat.

Aku terdiam sesaat. Setelah sekian lama tak berbicara dengan Risky, sejujurnya ada rasa canggung untuk memulainya kembali.

Tapi aku juga penasaran, kenapa tiba-tiba Risky menghubungiku.

"oke.." jawabku singkat.

Setelah beberapa saat, ponsel-ku pun berdering, aku segera mengangkatnya.

"aku minta maaf ya, Hend. Udah lama gak menghubungi kamu..." ujar Risky memulai pembicaraan.

Aku masih terdiam. Karena aku tidak benar-benar tahu, siapa yang salah dalam hal ini.

"tapi aku disini sangat sibuk, Hend. Memulai kehidupan baru, bertemu dengan orang-orang baru dan teman-teman baru." lanjut Risky.

"aku juga sengaja untuk memberi kita waktu, Hend. Memberi kita waktu untuk berfikir, sebesar apa sebenarnya cinta kita? Mampukah kita tetap bertahan, ketika jarak dan waktu memisahkan kita? Mampukah kita tetap setia?" Risky menghentikan kalimatnya. Aku mendengar ia menghempaskan napas berat.

"hingga akhirnya aku sadar, kalau aku sangat membutuhkan kamu dalam hidupku. Hari-hariku terasa hampa disini, Hend. Tapi aku juga harus membuktikan, apakah kamu tetap setia, meski aku tidak pernah mengabarimu?" Risky melanjutkan lagi.

Sampai saat itu aku masih belum berkomentar apa-apa.

"untuk itu aku menghubungi Kevin, sepupuku yang ada disana. Aku menceritakan semuanya kepada Kevin, dan memintanya untuk mendekati kamu. Mencoba untuk merebut hatimu..." lanjut Risky.

"maksud kamu, Kevin Ananta?" tanyaku penasaran, menyebutkan nama lengkap Kevin, yang selama ini tinggal bersamaku.

"iya. Dia sepupuku. Aku sengaja memintanya untuk mendekatimu. Hanya untuk menguji, sebesar apa sebenarnya kamu mencintaiku.." jawab Risky.

"jadi maksud kamu apa? Kamu sengaja ingin mempermainkan perasaanku?" tanyaku dengan suara cukup tinggi.

Menurutku apa yang Risky lakukan, sangat keterlaluan.

"terserah kamu mikirnya bagaimana, Hend. Tapi yang pasti, aku hanya ingin memastikan, bahwa kamu benar-benar mencintaiku. Agar aku tidak akan pernah menyesali keputusanku kelak. Terlalu banyak yang harus aku korbankan, Hend. Aku memang mencintai kamu, dan ingin hidup bersama kamu disana. Tapi itu artinya, aku rela terpisah dari kedua orangtuaku. Untuk itu, aku harus benar-benar yakin, kalau kamu tidak akan pernah meninggalkanku, jika nanti aku kembali kesana untukmu...." ucap Risky panjang lebar.

Untuk beberapa saat, aku terdiam. Mencoba memahami setiap kalimat yang dilontarkan Risky barusan.

Kemudian aku sadar, kalau semua itu sangat masuk akal. Dan itu artinya juga, Risky siap kembali untukku disini.

"oke, aku ngerti. Lalu apa sekarang?" ucapku akhirnya.

"beberapa hari yang lalu, untuk kesekian kalinya, Kevin menghubungiku. Sebenarnya, Kevin memang selalu menghubungiku, untuk mengabarkan semuanya. Dan kemarin Kevin bilang, kalau ia sudah capek dan menyerah, untuk berusaha merebut hatimu. Kevin mengatakan, kalau kamu masih tetap setia dengan perasaanmu padaku ..." jelas Risky.

"jadi?" tanyaku penasaran.

"jadi aku sudah ngomong sama kedua orangtuaku, kalau aku akan kembali ke Indonesia. Meski sedikit berat mereka akhirnya setuju. Aku kembali ke Indonesia, hanya untuk kamu, Hend. Dan jika kamu masih mencintaiku, aku menunggumu sekarang di tempat biasa kita bertemu. Aku sudah semenjak tadi disini...." jawaban Risky benar-benar membuatku terlonjak. Antara bahagia, terharu dan berbagai hal menghantui perasaanku.

Aku memang masih mencintai Risky, aku selalu merindukannya.

Aku pernah berharap, kalau Risky akan kembali untukku. Dan hari ini harapanku telah menjadi nyata.

Antara bahagia dan rasa tak percaya, aku pun bersiap-siap, untuk pergi menuju tempat biasa aku dan Risky memadu kasih.

****

Sekian ...

Romantisme dua sahabat (Rino dan Ben)

 RINO

Aku punya seorang teman. Lebih tepatnya, sih, sahabat.

Aku biasa memanggilnya Ben.

Aku dan Ben sudah berteman sejak awal-awal kami masuk SMA. Sekarang kamu sudah kuliah semester empat. Kami kuliah di kampus dan fakultas yang sama.

Ben orangnya baik, perhatian dan juga kami punya hobi yang sama. Makanan favorit kami juga sama.

Kami memang punya banyak kesamaan. Mungkin karena itu juga, kami menjadi sangat akrab.

Ben selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia rela meluangkan waktunya berhari-hari, hanya untuk menemaniku dan juga menghiburku dikala aku sedang galau.

Cerita gay

 

Aku memang sering galau, terutama soal cewek. Aku sudah teramat sering dikhianati dan diselingkuhi cewek. Dan Ben selalu ada untuk menghiburku.

Selain baik, Ben juga punya tampang yang lumayan, loh. Badannya juga bagus. Atletis.

Namun yang selalu menjadi tanda tanya bagiku, aku belum pernah mendengar atau pun melihat Ben pacaran. Padahal Ben orangnya sangat menarik dan banyak juga cewek yang suka sama dia.

Tapi Ben memang belum pernah pacaran.

"pacaran itu bikin ribet aja, Rin." jawab Ben beralasan, ketika suatu saat aku mempertanyakan hal tersebut.

"buktinya kamu sering galau, kan? karena cewek." lanjutnya.

Kalau dipikir, benar juga sih, kata Ben.

"tapi bukannya pacaran itu adalah warna dalam hidup.." balasku tanpa sadar, gak tahu juga kalimat itu datang dari mana.

"hidup terlalu banyak warna juga gak bagus, Rin. Lagi pula hidupku sudah penuh warna, kok. Apa lagi semenjak ada kamu di hidupku." balas Ben, dengan nada sedikit berkelakar.

Aku dan Ben memang sudah sangat akrab. Jadi kalimat-kalimat seperti itu sudah biasa terlontar dari mulut kami. Aku tidak akan terlalu menanggapinya.

Ben sering menginap di rumahku, begitu juga sebaliknya. Semua keluarga kami sudah tahu tentang persahabatan kamu. Aku justru sangat dekat dengan Ibunya Ben.

Ben anak tunggal. Ayahnya seorang satpam, dan Ibunya punya usaha kue di rumahnya.

Kehidupan Ben boleh dibilang cukup sederhana. Namun keluarga mereka terlihat bahagia.

Aku sendiri anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahku sudah meninggal beberapa tahun silam. Ketiga kakakku sudah berkeluarga dan sudah punya rumah sendiri.

Jadi aku tinggal hanya berdua dengan Ibu di rumah.

Ibuku punya usaha kafe yang cukup maju. Sebenarnya kafe itu, peninggalan ayahku. Sekarang dikelola oleh Ibu dan kakak tertuaku.

Secara ekonomi, kehidupanku memang cukup terpenuhi. Meski jujur, kadang aku juga sering merasa kesepian. Ibu lebih serig berada di kafe. Di rumah aku lebih sering sendirian.

Karena itulah mungkin, aku jadi suka gonta-ganti pacar. Sebagai pelarian dari rasa kesepianku.

Dan kehadiran Ben cukup membantu menutupi sebagian besar rasa kesepianku.

"kamu kenapa, Rin? Diputusin lagi?" tanya Ben suatu malam padaku. Aku sengaja menghubunginya malam-malam dan memintanya untuk datang ke rumahku.

"tapi kali ini lebih parah, Ben..." jawabku parau.

"parah? parahnya seperti apa?" Ben bertanya lagi, kalau sudah seperti ini, Ben jarang sekali bercanda.

"aku bukan cuma diputusin, Ben. Tapi juga ditinggal nikah.." balasku mengadu, "dan parahnya lagi, dia ngundang aku, Ben.." lanjutku dengan suara iba.

"ya udah, gak usah datang..." jawab Ben simpel.

"ya gak semudah itu juga, Ben. Kalau aku gak datang, berarti aku pengecut, dong..." balasku sedikit ngotot.

"ya udah, kalau gitu datang aja..." Ben menjawab lagi, dengan nada yang sangat santai. Mungkin sesantai hidupnya.

Ben memang selalu terlihat santai, dia tidak pernah terlihat punya masalah. Saking santainya, aku terkadang susah membedakan, kapan waktu ia serius dan kapan waktu ia becanda.

"tapi aku gak sanggup, Ben. Lihat dia bersanding dengan orang lain..." ucapku sedikit lebai, sih.

"terus kamu maunya gimana?" tanya Ben.

"ya, gak tahu. Aku bingung, Ben. Makanya aku butuh kamu disini..." balasku ringan, tanpa sadar aku pun menyandarkan kepalaku di pundak Ben.

"emangnya pernikahannya kapan, sih?" tanya Ben lagi.

"minggu depan.." jawabku manja, aku masih menyandarkan kepalaku, rasanya nyaman.

"berarti kamu masih punya waktu seminggu lagi, untuk menguatkan hatimu, agar tetap tegar melihat kenyataan..." ucap Ben lagi, sambil ia mendorong ringan kepalaku. Aku duduk tegak lagi di sampingnya.

Begitulah Ben. Ia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Kehadiran Ben, benar-benar mampu memberi warna tersendiri dalam hidupku.

Hingga suatu malam, aku memang sengaja mengajak Ben nginap di rumahku. Sorenya, kami baru saja menghadiri pesta pernikahan mantanku. Seperti saran Ben, aku memang sudah menguatkan hatiku, untuk melihat kenyataan. Sakit sih, sebenarnya. Namun aku berusaha tegar.

Dan malam itu, aku masih meminta Ben untuk menemaniku. Entah mengapa rasanya bebanku berkurang, setiap ada Ben di dekatku.

"makasih ya, Ben. Udah setia menemaniku selama ini..." ucapku pelan. Kami sama-sama terbaring telentang di ranjang.

"iya, sama-sama. Makasih juga udah mempercayaiku untuk menemani kamu..." balas Ben, terdengar sendu.

"kamu sangat baik padaku, Ben. Kamu sahabat terbaikku..." aku berucap lagi, meski kalimat itu sudah ribuan kali aku ucapkan pada Ben.

"biasa aja, Rin. Itulah gunanya sahabat..." balas Ben, kali ini ia melirikku sekilas.

"kenapa ya Ben? Aku tidak pernah beruntung dalam percintaan?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri.

"kamu bukan gak beruntung, Rin. Hanya saja, mungkin kamu belum bertemu orang yang tepat." Ben membalas ucapanku yang terdengar bijak.

"coba saja ada seseorang yang mencintaiku dengan tulus..." aku berujar lagi.

"ada kok, Rin. Kamunya aja yang belum menyadarinya..." balas Ben cepat.

Aku terdiam. Tidak mengerti juga dengan apa yang barusan diucapkan Ben.

Bagiku sekarang, semua cewek itu sama saja. Mereka tidak bisa menghargai perasaan cowok yang mencintai meraka.

Sudah berkali-kali, lebih dari enam kali, aku dikhiantai cewek. Rasanya kepercayaanku mulai memudar. Rasanya aku takut untuk berpacaran lagi. Aku takut terluka lagi.

Tiba-tiba Ben duduk, ia memutar tubuhnya untuk menatapku yang masih terbaring. Kedua tangan ben menyilang di dadanya.

"aku mau ngomong jujur sama kamu, Rin. Tapi kamu jangan marah, ya..." Ben berujar, tatapannya terlihat sendu.

"mau ngomong apa sih, Ben? Serius amat..." balasku sekenanya.

"tapi kamu janji dulu, gak bakal marah ..." ujar Ben lagi.

Aku mengangguk ringan. Selain penasaran, aku juga yakin, Ben gak bakal ngomong yang macam-macam.

Kulihat Ben manarik napas dalam. Ia memejamkan mata. Kedua tangannya mengepal.

Aku semakin panasaran. Sepertinya, apa yang ingin disampaikan Ben sangat penting dan serius.

"aku...aku...aku suka sama kamu, Rin..." suara Ben bergetar dan terbata, aku hampir tidak mendengarnya dengan jelas.

"maksudku, aku ... suka sama kamu, lebih dari sekedar sahabat ..." Ben melanjutkan lagi.

Aku tiba-tiba merinding.

"entah kapan perasaan itu datang, Rin. Aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti, aku merasa sangat nyaman saat bersama kamu. Aku bahagia bisa bersama kamu. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak sanggup lagi memendamnya. Aku ... aku jatuh cinta sama kamu, Rin. Aku sangat menyayangimu..."

Ben terus berujar, kali ini cukup lancar. Ia bahkan cukup berani menatap mataku.

Aku terkesima. Berbagai perasaan berkecamuk seketika.

Ben ternyata gay!

Oh, tidak...!!

Kemana saja aku selama ini?

Kenapa selama ini aku tidak pernah curiga?

Tidak ada sekalipun tingkah pola Ben yang menunjukkan kalau ia seorang gay.

Pantas Ben tak pernah pacaran.

"kamu boleh membenciku, Rin. Kamu boleh tidak mau lagi berteman denganku. Tapi setidaknya, aku merasa lega sekarang, karena sudah mengungkapkan semuanya."

Selepas berkata demikian, Ben bangkit, lalu melangkah pelan menuju pintu.

"kamu... kamu mau kemana?" tanyaku, aku merasakan suaraku ikut bergetar.

Ada yang terasa asing bagiku. Tiba-tiba saja, ada jarak yang membentang diatara kami.

"aku pulang, Rin. Aku tak seharusnya berada disini..." jawab Ben, sambil ia membuka pintu dan melangkah keluar.

Aku terpaku menatap kepergian Ben. Aku yakin setelah ini, hubungan kami akan terasa berbeda.

Tidak akan ada lagi hari-hari indah dengan tawa Ben. Jarak itu akan semakin melebar.

Tapi aku tidak tahu, apa yang aku rasakan sebenarnya saat ini.

Di satu sisi, aku sangat membutuhkan Ben sebagai sahabat. Namun di sisi lain, aku jelas tidak akan merasa nyaman lagi, jika terus bersama Ben.

Ben, Ben...

Kenapa sih kamu?

Kenapa kamu harus jatuh cinta padaku?

Jadi bingung, kan saya?

Hidup yang awalnya terasa begitu santai dan ringan. Sekarang tiba-tiba terasa berat.

*****

Esoknya aku tidak melihat batang hidung Ben di kampus. Sepertinya ia memang tidak datang. Aku tidak berani bertanya, tidak berniat juga untuk menghubunginya.

Sepertinya Ben memang sengaja membuat jarak diantara kami kian terbentang luas.

Sebenarnya aku tidak marah pada Ben. Aku juga tidak membencinya.

Hanya saja ada perasaan aneh yang menghantuiku setiap kali aku mengingat Ben. Apa lagi mengingat kedekatan kami selama ini.

Lebih dari seminggu Ben tidak menampakkan dirinya di kampus. Aku mulai penasaran. Dan perlahan rasa kehilangan muncul tiba-tiba dihatiku.

Aku yang biasanya selalu bersama Ben, kini harus melangkah sendiri. Rasanya ada yang kurang.

Namun aku tak berniat untuk menghubunginya.

Bukankah seharusnya dia yang menghubungiku? tanya egoku dalam hati.

Aku tidak tahu, kenapa Ben tiba-tiba menghilang, setelah ia mengungkapkan perasaannya padaku.

Mungkin saja dia malu untuk bertemu lagi denganku.

Hampir sebulan aku tidak pernah lagi bertemu dengan Ben. Dia tidak pernah terlihat lagi di kampus.

Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Antara penasaran rasa khawatir, aku pun mencoba menghubungi Ben. Tapi nomornya tidak aktif.

Aku semakin penasaran. Aku hubungi nomor telepon rumahnya.

"ya, mau berbicara dengan siapa?" suara Ibu Ben terdengar di seberang sana.

"Ben... Ben-nya ada, tante?" tanyaku terbata.

"Ben? Kamu siapa?" tanya suara itu balik.

"saya Rino, tante..." jawabku cepat.

"oo nak Rino. Apa kabar kamu? udah lama gak ke rumah.." suara Ibu Ben terdengar lembut.

"iya, tante. Maklum, lagi banyak tugas di kampus." jawabku sekenanya.

"Ben-nya ada tante?" tanyaku lagi.

"emangnya Ben gak cerita sama kamu?" Ibu Ben justru balik bertanya lagi.

"cerita soal apa ya, tante?" tanyaku penasaran.

"aduh, Ben masa' gak cerita sama sahabatnya sendiri.." balas Ibu Ben, terdengar geram. "jadi Ben itu pindah kuliah ke Bandung, ia ikut pamannya disana. Sudah dua minggu ini, ia pindah kesana. Masa' Rino gak tahu?" lanjutnya lagi.

"oh, iya, tante. Saya yang lupa..." jawab saya asal, kemudian buru-buru menutup telepon.

Bandung? Ngapain Ben harus pindah ke Bandung?

Ben benar-benar membuatku semakin bingung.

*******

BEN

Aku harus pergi. Aku sudah terlanjur malu pada Rino. Aku sudah terlanjur jujur padanya. Saat ini mungkin Rino sudah membenciku. Aku takut bertemu dengan dia lagi.

Untunglah ayah dan Ibu setuju aku pindah, karena memang dari awal mereka sebenarnya ingin aku kuliah di Bandung. Tapi karena aku yang ingin selalu bersama Rino, tetap ngotot untuk kuliah di kota kelahiranku.

Sudah hampir dua bulan aku disini. Rasa rinduku kian berat. Tapi aku harus bisa menahannya.

Perasaanku terhadap Rino adalah sebuah kesalahan. Aku harus bisa memupusnya, meski terasa berat.

Rino terlalu sempurna untuk bisa aku lupakan. Rasa cintaku terlalu besar padanya. Aku takkan mampu menghapusnya.

Rino yang tampan dengan senyum manisnya. Matanya yang teduh dan hidungnya yang mancung, selalu menghiasi anganku.

Tubuh kekarnya selalu melintas di benakku.

Cinta ini terlalu dalam, bahkan teramat dalam.

Namun justru kedalamannya itu, yang membuat aku sakit.

Sakit karena tidak bisa memilikinya.

Aku tak menyalahkan Rino, karena telah membuatku jatuh cinta padanya. Aku juga tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Bahkan aku tidak ingin menyalahkan takdir.

Jika pun ada yang harus kupersalahkan, mungkin cintaku yang salah berlabuh.

Disini aku harus belajar mandiri. Belajar hidup tanpa ada Rino di sampingku.

Aku harus kuat, aku harus bisa.

Meski rasa rindu, menyayat-nyayat hatiku, setiap saat.

Ting tong! Ting tong!

Suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bergegas keluar kamar dan menuju ruang tengah untuk membukakan pintu.

Mungkin paman atau bibi sudah pulang. Bathinku.

Namun saat pintu terbuka, aku terperanjat.

Berkali-kali aku kucek mataku sendiri, hanya sekedar untuk meyakinkan, bahwa cowok yang berdiri di depanku adalah Rino.

"Rino?" ucapku setengah tak percaya.

"ngapain kamu disini? dari mana kamu tahu aku disini?" tanyaku beruntun.

"satu-satu dong, pertanyaannya. Aku jadi bingung mau jawab yang mana..." balas Rino, ia terlihat santai.

"tapi pertama-tama, aku gak dipersilahkan masuk nih?" lanjut Rino. Ia tersenyum. Seperti yang aku bilang, senyumnya itu manis banget.

"oh, iya. Mari masuk, Rin..." jawabku bergetar, karena grogi tiba-tiba.

"sepi, ya..." ucap Rino, ketika kami sudah duduk di ruang tamu rumah pamanku.

"iya. Aku sendirian di rumah. Paman dan Bibi memang setiap hari selalu kerja, dan mereka juga belum punya anak. Karena itu, mereka sangat senang aku pindah kesini. Biar ada yang jaga rumah katanya.." jawabku panjang lebar.

Kulihat Rino hanya manggut-manggut, ia masih saja tersenyum manis.

"kamu belum jawab pertanyaanku, Rin." ucapku kemudian, setelah kami terdiam sesaat. Aku tak sanggup menentang tatapan Rino, karena itu aku hanya tertunduk.

"oh, iya, lupa." balas Rino, "aku tahu kamu disini, sudah pasti dari Ibumu-lah Ben. Dan kenapa aku disini, itu karena.... aku..... aku kangen sama kamu, Ben..." Rino melanjutkan dengan suara tiba-tiba terbata.

Kali ini aku mendongak, mencoba membalas tatapan mata Rino. Mencari setitik kejujuran disana.

"kamu kangen?" tanyaku penasaran.

"iya. Aku kangen kamu, Ben. Aku kangen ceritamu, aku kangen tawamu, aku kangen menghabiskan hari-hari bersamamu. Kamu balik ya, Ben. Aku ingin kita bersama-sama lagi. Hidupku tanpa kamu kacau, Ben. Aku kesepian. Aku ... aku juga sayang sama kamu, Ben." Rino berucap sambil terus menatapku. Aku melihat mata itu berkaca-kaca.

"kamu balik ya, Ben..." lanjut Rino, kali ini dengan nada sedikit memohon.

"tapi aku gak bisa, Rin. Aku gak mungkin balik kesana. Aku sudah terlanjur janji sama Ibu dan Ayah, akan menyelesaikan kuliahku disini..." balasku.

"kalau begitu, aku yang akan pindah kesini..." suara Rino tegas.

"kamu jangan main-main, Rin.." balasku lagi.

"aku gak main-main. Aku serius. Begitu juga dengan perasaanku padamu. Aku hanya ingin selalu bersama kamu. Hidupku hampa tanpa kamu, Ben."

"tapi bagaimana dengan Ibumu, Rin?"

"Ibu pasti setuju aku pindah kesini. Lagi pula di rumah aku juga selalu sendiri. Ibu terlalu sibuk dengan bisnisnya."

"lalu disini kamu mau tinggal dimana" tanyaku.

"aku bisa kost..." jawab Rino, terdengar begitu yakin.

"maafkan aku ya, Rin. Seharusnya tak seperti ini.." aku berucap dengan nada menyesal.

Sejujurnya, setelah tahu seperti ini, aku memang menyesal, karena buru-buru memutuskan untuk pindah. Seandainya aku bisa sedikit lebih sabar...

"gak, Ben. Kamu gak salah. Aku yang salah. Aku yang terlambat menyadari perasaanku sendiri. Aku yang terlalu egois, untuk menutupi hatiku sendiri. Setelah kamu pergi, aku baru sadar, jika aku sangat membutuhkanmu..." Ben berucap, sambil ia berpindah duduk di sampingku.

"sekarang aku disini, Ben. Tolong jangan tinggalkan aku lagi." lanjut Rino, sambil menyentuh lembut jemariku.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Rin. Aku akan selalu mencintai kamu..." balasku.

Tiba-tiba Rino melingkarkan tangannya di tubuhku. Ia mendekapku erat. Aku membalas dekapan itu, tubuh Rino terasa begitu hangat.

"I Love You..." bisik Rino di telingaku, yang membuat perasaanku berbunga. Segala rasa bahagia menyeruak di hatiku. Rino, sekarang bukan lagi sekedar sahabatku, tapi ia telah menjadi kekasih hatiku.

"I love you too..." balasku lembut.

"kita ke kamar, yuk.." ajakku, "takutnya nanti paman atau bibiku pulang..." lanjutku lagi, sambil berdiri dan melangkah menuju kamar.

Rino mengikuti langkahku. Sesampai di dalam, aku segera menutup dan mengunci pintu. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bertahun-tahun aku hanya bisa memendam perasaanku. Bertahun-tahun aku hanya bisa berkhayal tentang Rino.

Dan malam ini, dia ada disini. Dihadapanku. Nyata. Bukan sekedar khayalan belaka.

Pria tampan dengan senyum manisnya dan tubuhnya yang kekar itu, sekarang bukan lagi sekedar sahabat bagiku.

Aku bebas melakukan apa saja padanya mulai malam ini dan selanjutnya.

Aku akan berusaha menjadi pasangan yang baik untuknya. Aku akan membuat Rino tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk berpacaran denganku.

Aku akan menjaga cinta kami. Membuatnya selalu merasa bahagia...

****

Selesai...

Bersama sang tutor yang manis ...

Umur saya 26 tahun. Saya sudah 2 tahun lulus kuliah dan bekerja sebagai seorang tenaga honorer di sebuah sekolah swasta. Saya sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh dinas Pendidikan. Dan kali ini, saya juga mengikuti pelatihan di sebuah hotel di kota P. Saya berangkat pagi tadi dari rumah. Dan sampai di hotel sekitaran jam 1 siang.

 

sang penuai mimpi

 

Saat itu, sudah banyak peserta yang datang dari berbagai daerah. Saya langsung menuju kamar yang telah di sediakan oleh panitia. Berdasarkan keterangan dari resepsionis tadi teman satu kamar saya tidak bisa datang. Jadi selama pelatihan ini, saya hanya sendirian di kamar ini.
Pelatihan dibuka jam 4 sore nanti, jadi saya masih punya waktu untuk istirahat sejenak.

Pelatihan dilaksanakan selama seminggu. Dari pagi sampai malam setiap hari. Ada beberapa orang tutor yang hadir pada saat pelatihan itu. Tapi mereka semua tidak ada yang menginap, kecuali bagi yang dapat jadwal menjadi tutor pada malam hari. Pelatihan pada malam hari selesai setiap jam 10 malam.

Pada malam keempat pelatihan. Tutornya seorang laki-laki yang menurut saya manis banget. Wajahnya biasa saja, namun ada lesung pipi tipis yang membuatnya enak dilihat, apa lagi ketika ia tersenyum. Namanya pak Hafis. Badannya juga bagus. Saya suka lihat pria seperti itu. Pria idaman saya banget.

Pelatihan selesai pas jam 10 malam. Saya melihat pak Hafis keluar ruang aula dengan santai. Ngobrol dengan beberapa orang peserta lainnya. Tanpa sengaja mata kami bertatapan, ia tersenyum. Saya sedikit grogi, tapi berusaha membalas senyumnya. Sebagian peserta sudah banyak yang masuk ke kamarnya masing-masing. Mungkin karena udah capek mengikuti pelatihan seharian.

Tiba-tiba pak Hafis memanggil saya dari kejauhan. "Hei! Kamu Abe, kan?" tanyanya kemudian setelah ia berdiri disamping saya.
"iya, pak.." jawab saya sedikit bingung, dari mana pak Hafis tahu nama saya.
"Jadi gini." ucap pak Hafis lagi. "tadi teman-teman bilang, kalau kamu sendirian aja di kamar itu..." lanjutnya.
"Iya, pak..." jawab saya lagi. "teman sekamar saya gak jadi datang. Katanya istrinya melahirkan." lanjut saya menjelaskan.
 
"Oh. Jadi saya bisa numpang nginap malam ini di kamar kamu, kan? Soalnya mau pulang udah larut gini.." katanya.
"bisa pak.." jawab saya cepat.
"oke. yuk kita langsung ke kamar aja.." ajak nya.
"yuk, pak..." balas saya sambil mulai melangkah menuju kamar saya yang berada dilantai 3 hotel itu.
Pak Hafis mengikuti saya berjalan disamping.

Sesampainya di kamar, pak Hafis langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Ranjang itu cukup luas untuk dua orang. Saya menaruh berkas dan laptop saya di meja. Kemudian duduk di sisi ranjang.
"Abe berasal dari mana?" pak Hafis bertanya.
"oh, saya dari desa M, pak. gak terlalu jauh dari kota ini." jawab saya.
"capek kali.." ucap pak Hafis, setelah lama kami terdiam.

"Pak Hafis mau saya pijitin?" tanya saya menawarkan diri.
"emangnya Abe bisa mijit..?" tanya pak Hafis.
"Sedikit bisa lah, pak..." jawab saya, "bakat warisan..he...he..he.." lanjut saya mencoba sedikit akrab.
"maksudnya..?" pak Hafis bertanya lagi, keningnya berkerut.
"Iya. Ayah saya seorang tukang urut di kampung. Beliau cukup terkenal dalam dunia pijit.." jelas saya.

"oh." pak Hafis manggut-manggut, "ya udah, boleh dicoba.." lanjutnya.
Pak Hafis berdiri dan membuka baju dan celananya. Saya melihat tubuh pak Hafis yang atletis itu dengan jelas. Dadanya berotot dan perutnya ramping, lengannya juga bagus. Kekar. Benar-benar pria idaman saya. Saya kemudian membuka baju dan celana saya juga. Saya memakai celana pendek favorit saya yang sering saya pakai untuk tidur. Sementara pak Hafis hanya memakai CD.
  

 Pak Hafis tengkurap. Dan saya mulai mengurut bagian punggungnya. Kulit pak Hafis bersih dan terawat. "Pijitan enak.." ujar pak Hafis.
"oh, ya. Makasih pak.." balas saya sedikit bangga.  Karena saya memang sering ikut dengan ayah saya memijat pelanggan. Saya tahu sedikit banyak tahu teknik memijit yang baik.

Saya melanjutkan pijitan saya di badan pak Hafis. Dari punggung saya pindah ke paha dan betisnya. Mengurutnya dengan lembut. Kemudian saya meminta pak Hafis untuk telentang. Saya mulai mengurut bagian kakinya lagi. Kaki pak Hafis dipenuhi bulu-bulu halus yang rapi.

"Pak hafis sudah berapa anaknnya?" tanya saya, mencoba memecah keheningan.
"belum punya.."jawab pak Hafis. "Saya udah hampir 4 tahun menikah, tapi belum punya anak.." lanjutnya lagi.
Saya manggut-manggut.
"kamu? udah nikah?" tanyanya kemudian.
"belum pak.." jawab saya jujur.
"Kenapa?" tanyanya lagi, "kamu kan cakep gini.." lanjutnya memuji. dan saya tersanjung.

"mungkin belum ketemu yang cocok pak.." jawab saya. "umur pak Hafis berapa?" lanjut saya bertanya.
"tahun ini udah 33 tahun.." jawabnya. Saya terus mengurut bagian kaki pak Hafis.
Kemudian saya melanjutkan mengurut bagian dada pak Hafis. Mata kami saling bertatapan dan pak Hafis tersenyum lagi. Senyum yang begitu manis.

Dada saya berdegup sangat kencang, namun segera saya pun memalingkan wajah. Saya takut terlalu lama menatap wajah manis pak Hafis. Saya takut tidak bisa menahan perasaan saya. Untuk itu saya pun segera mengakhiri pijitan saya di badan pak Hafis.
"udah selesai?" tanya pak Hafis, melihat saya mulai berdiri.
"udah pak..." jawab saya ringan.
"oh. Oke... makasih ya..." ucap pak Hafis lagi.
 "ya, pak. sama-sama..." balasku sambil menuju kamar mandi, untuk membersihkan tangan saya yang terkena minyak urut.

Malam itu saya lihat pak Hafis tertidur pulas. Mungkin beliau capek atau mungkin juga merasa  enakan karena habis saya pijit.

Saya hanya bisa menatap wajah manis pak Hafis yang sedang tertidur dan membayangkan senyum manisnya hingga saya pun tertidur dengan pulas....

************

Beberapa hari setelah kegiatan pelatihan itu usai, tiba-tiba pak Hafis menghubungiku lagi.

Ia memintaku untuk datang ke sebuah hotel di kota.

Terus terang aku merasa cukup kaget, kenapa tiba-tiba saja pak Hafis ingin bertemu lagi denganku, dan lebih kagetnya lagi, ia mengajakku bertemu di sebuah hotel.

Namun karena aku yang memang dari awal sangat mengagumi sosok pak Hafis, aku pun berangkat ke kota untuk menemuinya.

Sepanjang perjalanan, aku terus bertanya-tanya. Ada apa gerangan pak Hafis mengajakku ketemuan?

Mungkinkah ia ingin aku memijatnya lagi, seperti pada malam itu?

Mungkin ia ketagihan dengan pijatanku yang memang enak, sih.

Atau mungkin ada hal lain?

Aku tak tahu, dan tak berani juga untuk bertanya ketika di telpon.

Namun yang pasti, hatiku begitu gembira, bisa bertemu lagi dengan pria idamanku itu.

Sesampai di hotel, aku langsung menuju kamar yang sudah disebutkan pak Hafis tadi.

"hei. Apa kabar kamu?" tanya pak Hafis mengawali pembicaraan kami, ketika aku sudah berada di depan kamarnya. Lalu kemudian ia pun mempersilahkan aku masuk.

Dengan perasaan tak karuan, aku masuk ke kamar hotel itu. Dadaku berdebar hebat.

Bukan saja, karena melihat senyum pak Hafis yang memang manis itu, tapi juga melihat tubuhnya yang bertelanjang dada.

"baik, pak Hafis. Bapak sendiri gimana kabarnya?" ucapku, saat aku sudah duduk di sisi ranjang.

"baik, sih. Cuma agak capek.." jawab pak Hafis, sambil terus tersenyum.

"oh.." desahku membulatkan bibir.

"jadi ada apa, nih. Kok, tiba-tiba pak Hafis meminta saya untuk datang kesini?" tanyaku melanjutkan.

"ada dua hal yang menyebabkan saya ingin bertemu kamu malam ini." jawab pak Hafis, masih dengan senyum khas-nya.

"yang pertama, aku pengen dipijat kamu lagi. Pijatan kamu enak." lanjutnya.

Aku masih terdiam, dengan perasaan sedikit bangga. Sambil menunggu pak Hafis melanjutkan kalimatnya, aku melihat jam di hp-ku, sudah jam delapan malam.

"yang kedua, saya ingin ngomong sesuatu sama kamu." pak Hafis melanjutkan lagi.

"ngomong apa, pak?" tanyaku spontan.

"tapi sebelumnya kamu jangan panggil bapak lah, usia kita juga gak terpaut begitu jauh. Panggil abang aja..." pak Hafis berucap, sambil sedikit bergeser mendekat.

Kami duduk di sisi ranjang dengan jarak yang cukup dekat.

"oke, pak. Eh, bang Hafis..." balasku ragu, terus terang aku merasa cukup canggung, karena sudah terbiasa memanggilnya pak. Tapi pak Hafis memang masih muda, sih.

"jadi mau pijit saya dulu, atau mau dengar cerita saya?" tanya pak eh, bang Hafis kemudian.

"bagaimana kalau sekali jalan. Maksud saya, bang Hafis cerita sambil saya pijitin..." ucapku menyarankan.

"ide yang bagus. Tapi kamu gak apa-apa kan mijitin saya?" balas bang Hafis lagi.

"gak apa-apa, bang. Buat bang Hafis apa sih yang gak..." ucapku dengan nada berkelakar.

"ah, kamu bisa aja.." bang Hafis berujar, sambil mulai tengkurap di ranjang.

Aku segera berdiri, dan mulai memijat kaki bang Hafis.

"bang Hafis mau cerita apa?" tanyaku ringan, sambil terus memijat kaki bang Hafis.

"tapi kamu jangan marah, ya.." balas bang Hafis.

"udah, tenang aja, bang. Saya gak bakal bisa marah sama abang.." ucapku mulai merasa akrab.

"sebenarnya sejak malam kita tidur sekamar saat pelatihan minggu lalu, entah mengapa saya jadi sering mikirin kamu. Kamu orang yang menarik dan juga tampan." bang Hafis memulai kalimatnya, yang membuatku merasa tak karuan.

"aku suka sama kamu, Be. Mungkin ini terdengar aneh bagi kamu. Tapi.... saya memang seorang gay. Walau saya udah menikah, tetap saja rasa tertarik saya sama laki-laki selalu datang. Selama ini, saya selalu bisa menahan perasaan saya, kepada laki-laki yang menarik perhatian saya. Tapi semenjak kenal sama kamu, saya... tidak mampu menahannya lagi. Kamu terlalu menarik buat saya..."

Ucapan bang Hafis barusan, benar-benar membuatku merasa tersanjung. Ternyata bang Hafis, juga seorang gay. Dan yang paling membuatku bahagia, ternyata dia juga tertarik padaku.

Aku masih terus memijat kaki bang Hafis, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung, sih, mau ngomong apa saat itu.

"kamu kok diam, Be? Kamu merasa jijik ya mendengarnya?" tiba-tiba bang Hafis berucap lagi, saat suasana tiba-tiba hening.

"ha? gak kok, bang. Justru saya .... saya merasa senang mendengarnya. Sebenarnya saya.... saya juga gay, bang. Dan saya juga sangat menyukai bang Hafis..." walau dengan suara terbata, aku pun merasa lega, setelah mengungkapkan hal itu. Setidaknya itulah yang aku rasakan terhadap bang Hafis.

Mendengar kalimat itu, tiba-tiba bang Hafis memutar tubuhnya hingga telentang, lalu ia duduk bersila di depanku. Mata kami saling tatap, wajah kami hanya berjarak kurang lebih sejengkal.

Pak Hafis tersenyum lagi, senyum yang sangat manis. Aku memang sangat mengagumi senyum manis bang Hafis. Senyum itu terlalu manis.

"bang Hafis manis..." ucapku tanpa sadar, mengungkapkan kekagumanku.

"kamu juga tampan.." balas bang Hafis terdengar lirih.

Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aku memejamkan mata, merasakan sensasi keindahan yang luar biasa itu. Jiwaku terasa melayang. Aku merasa seakan terbang di angkasa yang penuh bintang-bintang yang indah.

Sungguh malam yang teramat indah bagiku. Malam yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.

Bang Hafis benar-benar lelaki yang luar biasa. Aku dibuatnya terlena dalam buaian cinta yang indah.

Aku pun berusaha membuat bang Hafis terbuai dengan caraku.

Hingga kami pun sama-sama melayang dalam buaian mimpi yang sempurna.

Cinta kami memang terasa sempurna malam itu.

Hingga kami pun terlelap dalam tidur yang begitu pulas.

************

Sejak malam itu, aku dan bang Hafis jadi sering bertemu. Setidaknya sekali dalam seminggu, kami selalu membuat janji bertemu di hotel.

Hubungan kami terjalin indah. Bang Hafis, mampu menyempurnakan hidupku.

Walau aku tahu, dia sudah beristri. Namun itu tidak menghalangi kesempurnaan cintaku untuknya.

Aku sangat mencintai bang Hafis. Dia begitu berarti bagiku. Aku bahagia bisa melewati hari-hari bersamanya. Selain membuat janji bertemu setiap minggunya, kami juga sering saling telpon-telponan.

"kamu mau abang bikinin anak gak?" kelakar bang Hafis, suatu malam ketika kami bertemu lagi di hotel, seperti biasa.

"emang bisa?" tanyaku, meski aku sudah tahu pasti, bang Hafis hanya becanda.

Bang Hafis tertawa ringan, kemudian berujar,

"seandainya saja bisa, Be..." balas bang Hafis, lebih terdengar seperti sebuah keluhan.

Aku terdiam. Aku tahu, bang Hafis sangat ingin sekali segera mempunyai keturunan. Setelah sekian tahun ia menikah dengan istrinya, namun istrinya belum juga kunjung hamil.

Aku juga kadang sering berandai-andai, ingin bisa memberi keturunan untuk bang Hafis.

Tapi, ya sudahlah.

Ada takdir yang tak bisa ku lawan, yakni takdir ku sebagai laki-laki.

Hingga setahun kemudian, bang Hafis bercerita kalau istrinya sudah hamil sekarang. Sudah empat bulan.

Aku merasakan kebahagiaan bang Hafis saat menceritakan hal tersebut. Dan terus terang, sebagai orang yang sangat mencintai bang Hafis, tentu saja ada rasa cemburu di hatiku.

Namun aku coba mengabaikannya. Jika hal itu bisa membuat bang Hafis bahagia, aku harusnya juga turut bahagia.

Semenjak kehamilan istrinya, aku jadi jarang bertemu bang Hafis lagi. Dia selalu punya alasan untuk tidak bisa bertemu denganku.

"minggu ini aku harus menemani istriku ke rumah sakit. Jadi maaf, ya. Kita gak bisa bertemu dulu.." begitu ucap bang Hafis di telpon, saat suatu ketika aku mengajaknya ketemuan seperti biasa.

Dan hal itu terus terjadi dari minggu ke minggu. Ada saja alasannya untuk menolak ajakanku.

Awalnya aku coba mengerti. Mungkin saat ini, istri bang Hafis memang lagi sangat membutuhkannya. Karena kehamilannya yang kian membesar.

Tapi lama-kelamaan aku merasa bang Hafis semakin berubah. Ia tak lagi semanis dulu, saat ditelpon. Bahkan ia semakin jarang mengangkat telponku.

Hingga kemudian bahkan nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku sudah tidak bisa menghubunginya.

Aku kecewa dengan bang Hafis. Jika memang ia tidak lagi ingin bersamaku, mengapa ia tidak berterus terang saja. Mengapa ia harus menghilang begitu saja?

Mengapa ia harus menggantungku seperti ini?

Aku ikhlas, jika bang Hafis memutuskanku karena ingin bersama istrinya. Tapi setidaknya beri aku kepastian, jangan biarkan aku menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.

Namun kepada siapa aku harus menyampaikan pesan itu?

Aku hanya bisa memendamnya sendiri.

Tanpa ada siapapun yang tahu.

Hubungan indahku dengan bang Hafis berakhir begitu saja. Tanpa ada penjelasan dan tanpa ada keputusan.

Namun bagiku semuanya sudah cukup jelas.

Bang Hafis tidak lagi ingin berhubungan denganku. Dan aku harus belajar untuk bisa melupakannya.

Namun segala kenangan indahku bersama bang Hafis, akan selalu kusimpan di relung hatiku yang terdalam.

Kan ku jadikan bang Hafis sebagai kenangan yang terindah....

****
Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate