RINO
Aku punya seorang teman. Lebih tepatnya, sih, sahabat.
Aku biasa memanggilnya Ben.
Aku
dan Ben sudah berteman sejak awal-awal kami masuk SMA. Sekarang kamu
sudah kuliah semester empat. Kami kuliah di kampus dan fakultas yang
sama.
Ben orangnya baik, perhatian dan juga kami punya hobi yang sama. Makanan favorit kami juga sama.
Kami memang punya banyak kesamaan. Mungkin karena itu juga, kami menjadi sangat akrab.
Ben
selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia rela meluangkan waktunya
berhari-hari, hanya untuk menemaniku dan juga menghiburku dikala aku
sedang galau.
Aku memang sering galau, terutama soal cewek. Aku
sudah teramat sering dikhianati dan diselingkuhi cewek. Dan Ben selalu
ada untuk menghiburku.
Selain baik, Ben juga punya tampang yang lumayan, loh. Badannya juga bagus. Atletis.
Namun
yang selalu menjadi tanda tanya bagiku, aku belum pernah mendengar atau
pun melihat Ben pacaran. Padahal Ben orangnya sangat menarik dan banyak
juga cewek yang suka sama dia.
Tapi Ben memang belum pernah pacaran.
"pacaran itu bikin ribet aja, Rin." jawab Ben beralasan, ketika suatu saat aku mempertanyakan hal tersebut.
"buktinya kamu sering galau, kan? karena cewek." lanjutnya.
Kalau dipikir, benar juga sih, kata Ben.
"tapi bukannya pacaran itu adalah warna dalam hidup.." balasku tanpa sadar, gak tahu juga kalimat itu datang dari mana.
"hidup
terlalu banyak warna juga gak bagus, Rin. Lagi pula hidupku sudah penuh
warna, kok. Apa lagi semenjak ada kamu di hidupku." balas Ben, dengan
nada sedikit berkelakar.
Aku dan Ben memang sudah sangat akrab.
Jadi kalimat-kalimat seperti itu sudah biasa terlontar dari mulut kami.
Aku tidak akan terlalu menanggapinya.
Ben sering menginap di
rumahku, begitu juga sebaliknya. Semua keluarga kami sudah tahu tentang
persahabatan kamu. Aku justru sangat dekat dengan Ibunya Ben.
Ben anak tunggal. Ayahnya seorang satpam, dan Ibunya punya usaha kue di rumahnya.
Kehidupan Ben boleh dibilang cukup sederhana. Namun keluarga mereka terlihat bahagia.
Aku
sendiri anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahku sudah meninggal
beberapa tahun silam. Ketiga kakakku sudah berkeluarga dan sudah punya
rumah sendiri.
Jadi aku tinggal hanya berdua dengan Ibu di rumah.
Ibuku punya usaha kafe yang cukup maju. Sebenarnya kafe itu, peninggalan ayahku. Sekarang dikelola oleh Ibu dan kakak tertuaku.
Secara
ekonomi, kehidupanku memang cukup terpenuhi. Meski jujur, kadang aku
juga sering merasa kesepian. Ibu lebih serig berada di kafe. Di rumah
aku lebih sering sendirian.
Karena itulah mungkin, aku jadi suka gonta-ganti pacar. Sebagai pelarian dari rasa kesepianku.
Dan kehadiran Ben cukup membantu menutupi sebagian besar rasa kesepianku.
"kamu
kenapa, Rin? Diputusin lagi?" tanya Ben suatu malam padaku. Aku sengaja
menghubunginya malam-malam dan memintanya untuk datang ke rumahku.
"tapi kali ini lebih parah, Ben..." jawabku parau.
"parah? parahnya seperti apa?" Ben bertanya lagi, kalau sudah seperti ini, Ben jarang sekali bercanda.
"aku
bukan cuma diputusin, Ben. Tapi juga ditinggal nikah.." balasku
mengadu, "dan parahnya lagi, dia ngundang aku, Ben.." lanjutku dengan
suara iba.
"ya udah, gak usah datang..." jawab Ben simpel.
"ya gak semudah itu juga, Ben. Kalau aku gak datang, berarti aku pengecut, dong..." balasku sedikit ngotot.
"ya udah, kalau gitu datang aja..." Ben menjawab lagi, dengan nada yang sangat santai. Mungkin sesantai hidupnya.
Ben
memang selalu terlihat santai, dia tidak pernah terlihat punya masalah.
Saking santainya, aku terkadang susah membedakan, kapan waktu ia serius
dan kapan waktu ia becanda.
"tapi aku gak sanggup, Ben. Lihat dia bersanding dengan orang lain..." ucapku sedikit lebai, sih.
"terus kamu maunya gimana?" tanya Ben.
"ya,
gak tahu. Aku bingung, Ben. Makanya aku butuh kamu disini..." balasku
ringan, tanpa sadar aku pun menyandarkan kepalaku di pundak Ben.
"emangnya pernikahannya kapan, sih?" tanya Ben lagi.
"minggu depan.." jawabku manja, aku masih menyandarkan kepalaku, rasanya nyaman.
"berarti
kamu masih punya waktu seminggu lagi, untuk menguatkan hatimu, agar
tetap tegar melihat kenyataan..." ucap Ben lagi, sambil ia mendorong
ringan kepalaku. Aku duduk tegak lagi di sampingnya.
Begitulah
Ben. Ia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Kehadiran Ben,
benar-benar mampu memberi warna tersendiri dalam hidupku.
Hingga
suatu malam, aku memang sengaja mengajak Ben nginap di rumahku. Sorenya,
kami baru saja menghadiri pesta pernikahan mantanku. Seperti saran Ben,
aku memang sudah menguatkan hatiku, untuk melihat kenyataan. Sakit sih,
sebenarnya. Namun aku berusaha tegar.
Dan malam itu, aku masih meminta Ben untuk menemaniku. Entah mengapa rasanya bebanku berkurang, setiap ada Ben di dekatku.
"makasih ya, Ben. Udah setia menemaniku selama ini..." ucapku pelan. Kami sama-sama terbaring telentang di ranjang.
"iya, sama-sama. Makasih juga udah mempercayaiku untuk menemani kamu..." balas Ben, terdengar sendu.
"kamu
sangat baik padaku, Ben. Kamu sahabat terbaikku..." aku berucap lagi,
meski kalimat itu sudah ribuan kali aku ucapkan pada Ben.
"biasa aja, Rin. Itulah gunanya sahabat..." balas Ben, kali ini ia melirikku sekilas.
"kenapa ya Ben? Aku tidak pernah beruntung dalam percintaan?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri.
"kamu
bukan gak beruntung, Rin. Hanya saja, mungkin kamu belum bertemu orang
yang tepat." Ben membalas ucapanku yang terdengar bijak.
"coba saja ada seseorang yang mencintaiku dengan tulus..." aku berujar lagi.
"ada kok, Rin. Kamunya aja yang belum menyadarinya..." balas Ben cepat.
Aku terdiam. Tidak mengerti juga dengan apa yang barusan diucapkan Ben.
Bagiku sekarang, semua cewek itu sama saja. Mereka tidak bisa menghargai perasaan cowok yang mencintai meraka.
Sudah
berkali-kali, lebih dari enam kali, aku dikhiantai cewek. Rasanya
kepercayaanku mulai memudar. Rasanya aku takut untuk berpacaran lagi.
Aku takut terluka lagi.
Tiba-tiba Ben duduk, ia memutar tubuhnya untuk menatapku yang masih terbaring. Kedua tangan ben menyilang di dadanya.
"aku mau ngomong jujur sama kamu, Rin. Tapi kamu jangan marah, ya..." Ben berujar, tatapannya terlihat sendu.
"mau ngomong apa sih, Ben? Serius amat..." balasku sekenanya.
"tapi kamu janji dulu, gak bakal marah ..." ujar Ben lagi.
Aku mengangguk ringan. Selain penasaran, aku juga yakin, Ben gak bakal ngomong yang macam-macam.
Kulihat Ben manarik napas dalam. Ia memejamkan mata. Kedua tangannya mengepal.
Aku semakin panasaran. Sepertinya, apa yang ingin disampaikan Ben sangat penting dan serius.
"aku...aku...aku suka sama kamu, Rin..." suara Ben bergetar dan terbata, aku hampir tidak mendengarnya dengan jelas.
"maksudku, aku ... suka sama kamu, lebih dari sekedar sahabat ..." Ben melanjutkan lagi.
Aku tiba-tiba merinding.
"entah
kapan perasaan itu datang, Rin. Aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti,
aku merasa sangat nyaman saat bersama kamu. Aku bahagia bisa bersama
kamu. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak sanggup lagi memendamnya. Aku
... aku jatuh cinta sama kamu, Rin. Aku sangat menyayangimu..."
Ben terus berujar, kali ini cukup lancar. Ia bahkan cukup berani menatap mataku.
Aku terkesima. Berbagai perasaan berkecamuk seketika.
Ben ternyata gay!
Oh, tidak...!!
Kemana saja aku selama ini?
Kenapa selama ini aku tidak pernah curiga?
Tidak ada sekalipun tingkah pola Ben yang menunjukkan kalau ia seorang gay.
Pantas Ben tak pernah pacaran.
"kamu
boleh membenciku, Rin. Kamu boleh tidak mau lagi berteman denganku.
Tapi setidaknya, aku merasa lega sekarang, karena sudah mengungkapkan
semuanya."
Selepas berkata demikian, Ben bangkit, lalu melangkah pelan menuju pintu.
"kamu... kamu mau kemana?" tanyaku, aku merasakan suaraku ikut bergetar.
Ada yang terasa asing bagiku. Tiba-tiba saja, ada jarak yang membentang diatara kami.
"aku pulang, Rin. Aku tak seharusnya berada disini..." jawab Ben, sambil ia membuka pintu dan melangkah keluar.
Aku terpaku menatap kepergian Ben. Aku yakin setelah ini, hubungan kami akan terasa berbeda.
Tidak akan ada lagi hari-hari indah dengan tawa Ben. Jarak itu akan semakin melebar.
Tapi aku tidak tahu, apa yang aku rasakan sebenarnya saat ini.
Di
satu sisi, aku sangat membutuhkan Ben sebagai sahabat. Namun di sisi
lain, aku jelas tidak akan merasa nyaman lagi, jika terus bersama Ben.
Ben, Ben...
Kenapa sih kamu?
Kenapa kamu harus jatuh cinta padaku?
Jadi bingung, kan saya?
Hidup yang awalnya terasa begitu santai dan ringan. Sekarang tiba-tiba terasa berat.
*****
Esoknya
aku tidak melihat batang hidung Ben di kampus. Sepertinya ia memang
tidak datang. Aku tidak berani bertanya, tidak berniat juga untuk
menghubunginya.
Sepertinya Ben memang sengaja membuat jarak diantara kami kian terbentang luas.
Sebenarnya aku tidak marah pada Ben. Aku juga tidak membencinya.
Hanya saja ada perasaan aneh yang menghantuiku setiap kali aku mengingat Ben. Apa lagi mengingat kedekatan kami selama ini.
Lebih
dari seminggu Ben tidak menampakkan dirinya di kampus. Aku mulai
penasaran. Dan perlahan rasa kehilangan muncul tiba-tiba dihatiku.
Aku yang biasanya selalu bersama Ben, kini harus melangkah sendiri. Rasanya ada yang kurang.
Namun aku tak berniat untuk menghubunginya.
Bukankah seharusnya dia yang menghubungiku? tanya egoku dalam hati.
Aku tidak tahu, kenapa Ben tiba-tiba menghilang, setelah ia mengungkapkan perasaannya padaku.
Mungkin saja dia malu untuk bertemu lagi denganku.
Hampir sebulan aku tidak pernah lagi bertemu dengan Ben. Dia tidak pernah terlihat lagi di kampus.
Berbagai
pertanyaan muncul di benakku. Antara penasaran rasa khawatir, aku pun
mencoba menghubungi Ben. Tapi nomornya tidak aktif.
Aku semakin penasaran. Aku hubungi nomor telepon rumahnya.
"ya, mau berbicara dengan siapa?" suara Ibu Ben terdengar di seberang sana.
"Ben... Ben-nya ada, tante?" tanyaku terbata.
"Ben? Kamu siapa?" tanya suara itu balik.
"saya Rino, tante..." jawabku cepat.
"oo nak Rino. Apa kabar kamu? udah lama gak ke rumah.." suara Ibu Ben terdengar lembut.
"iya, tante. Maklum, lagi banyak tugas di kampus." jawabku sekenanya.
"Ben-nya ada tante?" tanyaku lagi.
"emangnya Ben gak cerita sama kamu?" Ibu Ben justru balik bertanya lagi.
"cerita soal apa ya, tante?" tanyaku penasaran.
"aduh,
Ben masa' gak cerita sama sahabatnya sendiri.." balas Ibu Ben,
terdengar geram. "jadi Ben itu pindah kuliah ke Bandung, ia ikut
pamannya disana. Sudah dua minggu ini, ia pindah kesana. Masa' Rino gak
tahu?" lanjutnya lagi.
"oh, iya, tante. Saya yang lupa..." jawab saya asal, kemudian buru-buru menutup telepon.
Bandung? Ngapain Ben harus pindah ke Bandung?
Ben benar-benar membuatku semakin bingung.
*******
BEN
Aku
harus pergi. Aku sudah terlanjur malu pada Rino. Aku sudah terlanjur
jujur padanya. Saat ini mungkin Rino sudah membenciku. Aku takut bertemu
dengan dia lagi.
Untunglah ayah dan Ibu setuju aku pindah, karena
memang dari awal mereka sebenarnya ingin aku kuliah di Bandung. Tapi
karena aku yang ingin selalu bersama Rino, tetap ngotot untuk kuliah di
kota kelahiranku.
Sudah hampir dua bulan aku disini. Rasa rinduku kian berat. Tapi aku harus bisa menahannya.
Perasaanku terhadap Rino adalah sebuah kesalahan. Aku harus bisa memupusnya, meski terasa berat.
Rino terlalu sempurna untuk bisa aku lupakan. Rasa cintaku terlalu besar padanya. Aku takkan mampu menghapusnya.
Rino yang tampan dengan senyum manisnya. Matanya yang teduh dan hidungnya yang mancung, selalu menghiasi anganku.
Tubuh kekarnya selalu melintas di benakku.
Cinta ini terlalu dalam, bahkan teramat dalam.
Namun justru kedalamannya itu, yang membuat aku sakit.
Sakit karena tidak bisa memilikinya.
Aku
tak menyalahkan Rino, karena telah membuatku jatuh cinta padanya. Aku
juga tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Bahkan aku tidak ingin
menyalahkan takdir.
Jika pun ada yang harus kupersalahkan, mungkin cintaku yang salah berlabuh.
Disini aku harus belajar mandiri. Belajar hidup tanpa ada Rino di sampingku.
Aku harus kuat, aku harus bisa.
Meski rasa rindu, menyayat-nyayat hatiku, setiap saat.
Ting tong! Ting tong!
Suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bergegas keluar kamar dan menuju ruang tengah untuk membukakan pintu.
Mungkin paman atau bibi sudah pulang. Bathinku.
Namun saat pintu terbuka, aku terperanjat.
Berkali-kali aku kucek mataku sendiri, hanya sekedar untuk meyakinkan, bahwa cowok yang berdiri di depanku adalah Rino.
"Rino?" ucapku setengah tak percaya.
"ngapain kamu disini? dari mana kamu tahu aku disini?" tanyaku beruntun.
"satu-satu dong, pertanyaannya. Aku jadi bingung mau jawab yang mana..." balas Rino, ia terlihat santai.
"tapi
pertama-tama, aku gak dipersilahkan masuk nih?" lanjut Rino. Ia
tersenyum. Seperti yang aku bilang, senyumnya itu manis banget.
"oh, iya. Mari masuk, Rin..." jawabku bergetar, karena grogi tiba-tiba.
"sepi, ya..." ucap Rino, ketika kami sudah duduk di ruang tamu rumah pamanku.
"iya.
Aku sendirian di rumah. Paman dan Bibi memang setiap hari selalu kerja,
dan mereka juga belum punya anak. Karena itu, mereka sangat senang aku
pindah kesini. Biar ada yang jaga rumah katanya.." jawabku panjang
lebar.
Kulihat Rino hanya manggut-manggut, ia masih saja tersenyum manis.
"kamu
belum jawab pertanyaanku, Rin." ucapku kemudian, setelah kami terdiam
sesaat. Aku tak sanggup menentang tatapan Rino, karena itu aku hanya
tertunduk.
"oh, iya, lupa." balas Rino, "aku tahu kamu disini,
sudah pasti dari Ibumu-lah Ben. Dan kenapa aku disini, itu karena....
aku..... aku kangen sama kamu, Ben..." Rino melanjutkan dengan suara
tiba-tiba terbata.
Kali ini aku mendongak, mencoba membalas tatapan mata Rino. Mencari setitik kejujuran disana.
"kamu kangen?" tanyaku penasaran.
"iya.
Aku kangen kamu, Ben. Aku kangen ceritamu, aku kangen tawamu, aku
kangen menghabiskan hari-hari bersamamu. Kamu balik ya, Ben. Aku ingin
kita bersama-sama lagi. Hidupku tanpa kamu kacau, Ben. Aku kesepian. Aku
... aku juga sayang sama kamu, Ben." Rino berucap sambil terus
menatapku. Aku melihat mata itu berkaca-kaca.
"kamu balik ya, Ben..." lanjut Rino, kali ini dengan nada sedikit memohon.
"tapi
aku gak bisa, Rin. Aku gak mungkin balik kesana. Aku sudah terlanjur
janji sama Ibu dan Ayah, akan menyelesaikan kuliahku disini..." balasku.
"kalau begitu, aku yang akan pindah kesini..." suara Rino tegas.
"kamu jangan main-main, Rin.." balasku lagi.
"aku
gak main-main. Aku serius. Begitu juga dengan perasaanku padamu. Aku
hanya ingin selalu bersama kamu. Hidupku hampa tanpa kamu, Ben."
"tapi bagaimana dengan Ibumu, Rin?"
"Ibu pasti setuju aku pindah kesini. Lagi pula di rumah aku juga selalu sendiri. Ibu terlalu sibuk dengan bisnisnya."
"lalu disini kamu mau tinggal dimana" tanyaku.
"aku bisa kost..." jawab Rino, terdengar begitu yakin.
"maafkan aku ya, Rin. Seharusnya tak seperti ini.." aku berucap dengan nada menyesal.
Sejujurnya,
setelah tahu seperti ini, aku memang menyesal, karena buru-buru
memutuskan untuk pindah. Seandainya aku bisa sedikit lebih sabar...
"gak,
Ben. Kamu gak salah. Aku yang salah. Aku yang terlambat menyadari
perasaanku sendiri. Aku yang terlalu egois, untuk menutupi hatiku
sendiri. Setelah kamu pergi, aku baru sadar, jika aku sangat
membutuhkanmu..." Ben berucap, sambil ia berpindah duduk di sampingku.
"sekarang aku disini, Ben. Tolong jangan tinggalkan aku lagi." lanjut Rino, sambil menyentuh lembut jemariku.
"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Rin. Aku akan selalu mencintai kamu..." balasku.
Tiba-tiba Rino melingkarkan tangannya di tubuhku. Ia mendekapku erat. Aku membalas dekapan itu, tubuh Rino terasa begitu hangat.
"I
Love You..." bisik Rino di telingaku, yang membuat perasaanku berbunga.
Segala rasa bahagia menyeruak di hatiku. Rino, sekarang bukan lagi
sekedar sahabatku, tapi ia telah menjadi kekasih hatiku.
"I love you too..." balasku lembut.
"kita
ke kamar, yuk.." ajakku, "takutnya nanti paman atau bibiku pulang..."
lanjutku lagi, sambil berdiri dan melangkah menuju kamar.
Rino mengikuti langkahku. Sesampai di dalam, aku segera menutup dan mengunci pintu. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bertahun-tahun aku hanya bisa memendam perasaanku. Bertahun-tahun aku hanya bisa berkhayal tentang Rino.
Dan malam ini, dia ada disini. Dihadapanku. Nyata. Bukan sekedar khayalan belaka.
Pria tampan dengan senyum manisnya dan tubuhnya yang kekar itu, sekarang bukan lagi sekedar sahabat bagiku.
Aku bebas melakukan apa saja padanya mulai malam ini dan selanjutnya.
Aku
akan berusaha menjadi pasangan yang baik untuknya. Aku akan membuat
Rino tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk berpacaran denganku.
Aku akan menjaga cinta kami. Membuatnya selalu merasa bahagia...
****
Selesai...