Bersama sang tutor yang manis ...

Umur saya 26 tahun. Saya sudah 2 tahun lulus kuliah dan bekerja sebagai seorang tenaga honorer di sebuah sekolah swasta. Saya sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh dinas Pendidikan. Dan kali ini, saya juga mengikuti pelatihan di sebuah hotel di kota P. Saya berangkat pagi tadi dari rumah. Dan sampai di hotel sekitaran jam 1 siang.

 

sang penuai mimpi

 

Saat itu, sudah banyak peserta yang datang dari berbagai daerah. Saya langsung menuju kamar yang telah di sediakan oleh panitia. Berdasarkan keterangan dari resepsionis tadi teman satu kamar saya tidak bisa datang. Jadi selama pelatihan ini, saya hanya sendirian di kamar ini.
Pelatihan dibuka jam 4 sore nanti, jadi saya masih punya waktu untuk istirahat sejenak.

Pelatihan dilaksanakan selama seminggu. Dari pagi sampai malam setiap hari. Ada beberapa orang tutor yang hadir pada saat pelatihan itu. Tapi mereka semua tidak ada yang menginap, kecuali bagi yang dapat jadwal menjadi tutor pada malam hari. Pelatihan pada malam hari selesai setiap jam 10 malam.

Pada malam keempat pelatihan. Tutornya seorang laki-laki yang menurut saya manis banget. Wajahnya biasa saja, namun ada lesung pipi tipis yang membuatnya enak dilihat, apa lagi ketika ia tersenyum. Namanya pak Hafis. Badannya juga bagus. Saya suka lihat pria seperti itu. Pria idaman saya banget.

Pelatihan selesai pas jam 10 malam. Saya melihat pak Hafis keluar ruang aula dengan santai. Ngobrol dengan beberapa orang peserta lainnya. Tanpa sengaja mata kami bertatapan, ia tersenyum. Saya sedikit grogi, tapi berusaha membalas senyumnya. Sebagian peserta sudah banyak yang masuk ke kamarnya masing-masing. Mungkin karena udah capek mengikuti pelatihan seharian.

Tiba-tiba pak Hafis memanggil saya dari kejauhan. "Hei! Kamu Abe, kan?" tanyanya kemudian setelah ia berdiri disamping saya.
"iya, pak.." jawab saya sedikit bingung, dari mana pak Hafis tahu nama saya.
"Jadi gini." ucap pak Hafis lagi. "tadi teman-teman bilang, kalau kamu sendirian aja di kamar itu..." lanjutnya.
"Iya, pak..." jawab saya lagi. "teman sekamar saya gak jadi datang. Katanya istrinya melahirkan." lanjut saya menjelaskan.
 
"Oh. Jadi saya bisa numpang nginap malam ini di kamar kamu, kan? Soalnya mau pulang udah larut gini.." katanya.
"bisa pak.." jawab saya cepat.
"oke. yuk kita langsung ke kamar aja.." ajak nya.
"yuk, pak..." balas saya sambil mulai melangkah menuju kamar saya yang berada dilantai 3 hotel itu.
Pak Hafis mengikuti saya berjalan disamping.

Sesampainya di kamar, pak Hafis langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Ranjang itu cukup luas untuk dua orang. Saya menaruh berkas dan laptop saya di meja. Kemudian duduk di sisi ranjang.
"Abe berasal dari mana?" pak Hafis bertanya.
"oh, saya dari desa M, pak. gak terlalu jauh dari kota ini." jawab saya.
"capek kali.." ucap pak Hafis, setelah lama kami terdiam.

"Pak Hafis mau saya pijitin?" tanya saya menawarkan diri.
"emangnya Abe bisa mijit..?" tanya pak Hafis.
"Sedikit bisa lah, pak..." jawab saya, "bakat warisan..he...he..he.." lanjut saya mencoba sedikit akrab.
"maksudnya..?" pak Hafis bertanya lagi, keningnya berkerut.
"Iya. Ayah saya seorang tukang urut di kampung. Beliau cukup terkenal dalam dunia pijit.." jelas saya.

"oh." pak Hafis manggut-manggut, "ya udah, boleh dicoba.." lanjutnya.
Pak Hafis berdiri dan membuka baju dan celananya. Saya melihat tubuh pak Hafis yang atletis itu dengan jelas. Dadanya berotot dan perutnya ramping, lengannya juga bagus. Kekar. Benar-benar pria idaman saya. Saya kemudian membuka baju dan celana saya juga. Saya memakai celana pendek favorit saya yang sering saya pakai untuk tidur. Sementara pak Hafis hanya memakai CD.
  

 Pak Hafis tengkurap. Dan saya mulai mengurut bagian punggungnya. Kulit pak Hafis bersih dan terawat. "Pijitan enak.." ujar pak Hafis.
"oh, ya. Makasih pak.." balas saya sedikit bangga.  Karena saya memang sering ikut dengan ayah saya memijat pelanggan. Saya tahu sedikit banyak tahu teknik memijit yang baik.

Saya melanjutkan pijitan saya di badan pak Hafis. Dari punggung saya pindah ke paha dan betisnya. Mengurutnya dengan lembut. Kemudian saya meminta pak Hafis untuk telentang. Saya mulai mengurut bagian kakinya lagi. Kaki pak Hafis dipenuhi bulu-bulu halus yang rapi.

"Pak hafis sudah berapa anaknnya?" tanya saya, mencoba memecah keheningan.
"belum punya.."jawab pak Hafis. "Saya udah hampir 4 tahun menikah, tapi belum punya anak.." lanjutnya lagi.
Saya manggut-manggut.
"kamu? udah nikah?" tanyanya kemudian.
"belum pak.." jawab saya jujur.
"Kenapa?" tanyanya lagi, "kamu kan cakep gini.." lanjutnya memuji. dan saya tersanjung.

"mungkin belum ketemu yang cocok pak.." jawab saya. "umur pak Hafis berapa?" lanjut saya bertanya.
"tahun ini udah 33 tahun.." jawabnya. Saya terus mengurut bagian kaki pak Hafis.
Kemudian saya melanjutkan mengurut bagian dada pak Hafis. Mata kami saling bertatapan dan pak Hafis tersenyum lagi. Senyum yang begitu manis.

Dada saya berdegup sangat kencang, namun segera saya pun memalingkan wajah. Saya takut terlalu lama menatap wajah manis pak Hafis. Saya takut tidak bisa menahan perasaan saya. Untuk itu saya pun segera mengakhiri pijitan saya di badan pak Hafis.
"udah selesai?" tanya pak Hafis, melihat saya mulai berdiri.
"udah pak..." jawab saya ringan.
"oh. Oke... makasih ya..." ucap pak Hafis lagi.
 "ya, pak. sama-sama..." balasku sambil menuju kamar mandi, untuk membersihkan tangan saya yang terkena minyak urut.

Malam itu saya lihat pak Hafis tertidur pulas. Mungkin beliau capek atau mungkin juga merasa  enakan karena habis saya pijit.

Saya hanya bisa menatap wajah manis pak Hafis yang sedang tertidur dan membayangkan senyum manisnya hingga saya pun tertidur dengan pulas....

************

Beberapa hari setelah kegiatan pelatihan itu usai, tiba-tiba pak Hafis menghubungiku lagi.

Ia memintaku untuk datang ke sebuah hotel di kota.

Terus terang aku merasa cukup kaget, kenapa tiba-tiba saja pak Hafis ingin bertemu lagi denganku, dan lebih kagetnya lagi, ia mengajakku bertemu di sebuah hotel.

Namun karena aku yang memang dari awal sangat mengagumi sosok pak Hafis, aku pun berangkat ke kota untuk menemuinya.

Sepanjang perjalanan, aku terus bertanya-tanya. Ada apa gerangan pak Hafis mengajakku ketemuan?

Mungkinkah ia ingin aku memijatnya lagi, seperti pada malam itu?

Mungkin ia ketagihan dengan pijatanku yang memang enak, sih.

Atau mungkin ada hal lain?

Aku tak tahu, dan tak berani juga untuk bertanya ketika di telpon.

Namun yang pasti, hatiku begitu gembira, bisa bertemu lagi dengan pria idamanku itu.

Sesampai di hotel, aku langsung menuju kamar yang sudah disebutkan pak Hafis tadi.

"hei. Apa kabar kamu?" tanya pak Hafis mengawali pembicaraan kami, ketika aku sudah berada di depan kamarnya. Lalu kemudian ia pun mempersilahkan aku masuk.

Dengan perasaan tak karuan, aku masuk ke kamar hotel itu. Dadaku berdebar hebat.

Bukan saja, karena melihat senyum pak Hafis yang memang manis itu, tapi juga melihat tubuhnya yang bertelanjang dada.

"baik, pak Hafis. Bapak sendiri gimana kabarnya?" ucapku, saat aku sudah duduk di sisi ranjang.

"baik, sih. Cuma agak capek.." jawab pak Hafis, sambil terus tersenyum.

"oh.." desahku membulatkan bibir.

"jadi ada apa, nih. Kok, tiba-tiba pak Hafis meminta saya untuk datang kesini?" tanyaku melanjutkan.

"ada dua hal yang menyebabkan saya ingin bertemu kamu malam ini." jawab pak Hafis, masih dengan senyum khas-nya.

"yang pertama, aku pengen dipijat kamu lagi. Pijatan kamu enak." lanjutnya.

Aku masih terdiam, dengan perasaan sedikit bangga. Sambil menunggu pak Hafis melanjutkan kalimatnya, aku melihat jam di hp-ku, sudah jam delapan malam.

"yang kedua, saya ingin ngomong sesuatu sama kamu." pak Hafis melanjutkan lagi.

"ngomong apa, pak?" tanyaku spontan.

"tapi sebelumnya kamu jangan panggil bapak lah, usia kita juga gak terpaut begitu jauh. Panggil abang aja..." pak Hafis berucap, sambil sedikit bergeser mendekat.

Kami duduk di sisi ranjang dengan jarak yang cukup dekat.

"oke, pak. Eh, bang Hafis..." balasku ragu, terus terang aku merasa cukup canggung, karena sudah terbiasa memanggilnya pak. Tapi pak Hafis memang masih muda, sih.

"jadi mau pijit saya dulu, atau mau dengar cerita saya?" tanya pak eh, bang Hafis kemudian.

"bagaimana kalau sekali jalan. Maksud saya, bang Hafis cerita sambil saya pijitin..." ucapku menyarankan.

"ide yang bagus. Tapi kamu gak apa-apa kan mijitin saya?" balas bang Hafis lagi.

"gak apa-apa, bang. Buat bang Hafis apa sih yang gak..." ucapku dengan nada berkelakar.

"ah, kamu bisa aja.." bang Hafis berujar, sambil mulai tengkurap di ranjang.

Aku segera berdiri, dan mulai memijat kaki bang Hafis.

"bang Hafis mau cerita apa?" tanyaku ringan, sambil terus memijat kaki bang Hafis.

"tapi kamu jangan marah, ya.." balas bang Hafis.

"udah, tenang aja, bang. Saya gak bakal bisa marah sama abang.." ucapku mulai merasa akrab.

"sebenarnya sejak malam kita tidur sekamar saat pelatihan minggu lalu, entah mengapa saya jadi sering mikirin kamu. Kamu orang yang menarik dan juga tampan." bang Hafis memulai kalimatnya, yang membuatku merasa tak karuan.

"aku suka sama kamu, Be. Mungkin ini terdengar aneh bagi kamu. Tapi.... saya memang seorang gay. Walau saya udah menikah, tetap saja rasa tertarik saya sama laki-laki selalu datang. Selama ini, saya selalu bisa menahan perasaan saya, kepada laki-laki yang menarik perhatian saya. Tapi semenjak kenal sama kamu, saya... tidak mampu menahannya lagi. Kamu terlalu menarik buat saya..."

Ucapan bang Hafis barusan, benar-benar membuatku merasa tersanjung. Ternyata bang Hafis, juga seorang gay. Dan yang paling membuatku bahagia, ternyata dia juga tertarik padaku.

Aku masih terus memijat kaki bang Hafis, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung, sih, mau ngomong apa saat itu.

"kamu kok diam, Be? Kamu merasa jijik ya mendengarnya?" tiba-tiba bang Hafis berucap lagi, saat suasana tiba-tiba hening.

"ha? gak kok, bang. Justru saya .... saya merasa senang mendengarnya. Sebenarnya saya.... saya juga gay, bang. Dan saya juga sangat menyukai bang Hafis..." walau dengan suara terbata, aku pun merasa lega, setelah mengungkapkan hal itu. Setidaknya itulah yang aku rasakan terhadap bang Hafis.

Mendengar kalimat itu, tiba-tiba bang Hafis memutar tubuhnya hingga telentang, lalu ia duduk bersila di depanku. Mata kami saling tatap, wajah kami hanya berjarak kurang lebih sejengkal.

Pak Hafis tersenyum lagi, senyum yang sangat manis. Aku memang sangat mengagumi senyum manis bang Hafis. Senyum itu terlalu manis.

"bang Hafis manis..." ucapku tanpa sadar, mengungkapkan kekagumanku.

"kamu juga tampan.." balas bang Hafis terdengar lirih.

Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aku memejamkan mata, merasakan sensasi keindahan yang luar biasa itu. Jiwaku terasa melayang. Aku merasa seakan terbang di angkasa yang penuh bintang-bintang yang indah.

Sungguh malam yang teramat indah bagiku. Malam yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.

Bang Hafis benar-benar lelaki yang luar biasa. Aku dibuatnya terlena dalam buaian cinta yang indah.

Aku pun berusaha membuat bang Hafis terbuai dengan caraku.

Hingga kami pun sama-sama melayang dalam buaian mimpi yang sempurna.

Cinta kami memang terasa sempurna malam itu.

Hingga kami pun terlelap dalam tidur yang begitu pulas.

************

Sejak malam itu, aku dan bang Hafis jadi sering bertemu. Setidaknya sekali dalam seminggu, kami selalu membuat janji bertemu di hotel.

Hubungan kami terjalin indah. Bang Hafis, mampu menyempurnakan hidupku.

Walau aku tahu, dia sudah beristri. Namun itu tidak menghalangi kesempurnaan cintaku untuknya.

Aku sangat mencintai bang Hafis. Dia begitu berarti bagiku. Aku bahagia bisa melewati hari-hari bersamanya. Selain membuat janji bertemu setiap minggunya, kami juga sering saling telpon-telponan.

"kamu mau abang bikinin anak gak?" kelakar bang Hafis, suatu malam ketika kami bertemu lagi di hotel, seperti biasa.

"emang bisa?" tanyaku, meski aku sudah tahu pasti, bang Hafis hanya becanda.

Bang Hafis tertawa ringan, kemudian berujar,

"seandainya saja bisa, Be..." balas bang Hafis, lebih terdengar seperti sebuah keluhan.

Aku terdiam. Aku tahu, bang Hafis sangat ingin sekali segera mempunyai keturunan. Setelah sekian tahun ia menikah dengan istrinya, namun istrinya belum juga kunjung hamil.

Aku juga kadang sering berandai-andai, ingin bisa memberi keturunan untuk bang Hafis.

Tapi, ya sudahlah.

Ada takdir yang tak bisa ku lawan, yakni takdir ku sebagai laki-laki.

Hingga setahun kemudian, bang Hafis bercerita kalau istrinya sudah hamil sekarang. Sudah empat bulan.

Aku merasakan kebahagiaan bang Hafis saat menceritakan hal tersebut. Dan terus terang, sebagai orang yang sangat mencintai bang Hafis, tentu saja ada rasa cemburu di hatiku.

Namun aku coba mengabaikannya. Jika hal itu bisa membuat bang Hafis bahagia, aku harusnya juga turut bahagia.

Semenjak kehamilan istrinya, aku jadi jarang bertemu bang Hafis lagi. Dia selalu punya alasan untuk tidak bisa bertemu denganku.

"minggu ini aku harus menemani istriku ke rumah sakit. Jadi maaf, ya. Kita gak bisa bertemu dulu.." begitu ucap bang Hafis di telpon, saat suatu ketika aku mengajaknya ketemuan seperti biasa.

Dan hal itu terus terjadi dari minggu ke minggu. Ada saja alasannya untuk menolak ajakanku.

Awalnya aku coba mengerti. Mungkin saat ini, istri bang Hafis memang lagi sangat membutuhkannya. Karena kehamilannya yang kian membesar.

Tapi lama-kelamaan aku merasa bang Hafis semakin berubah. Ia tak lagi semanis dulu, saat ditelpon. Bahkan ia semakin jarang mengangkat telponku.

Hingga kemudian bahkan nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku sudah tidak bisa menghubunginya.

Aku kecewa dengan bang Hafis. Jika memang ia tidak lagi ingin bersamaku, mengapa ia tidak berterus terang saja. Mengapa ia harus menghilang begitu saja?

Mengapa ia harus menggantungku seperti ini?

Aku ikhlas, jika bang Hafis memutuskanku karena ingin bersama istrinya. Tapi setidaknya beri aku kepastian, jangan biarkan aku menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.

Namun kepada siapa aku harus menyampaikan pesan itu?

Aku hanya bisa memendamnya sendiri.

Tanpa ada siapapun yang tahu.

Hubungan indahku dengan bang Hafis berakhir begitu saja. Tanpa ada penjelasan dan tanpa ada keputusan.

Namun bagiku semuanya sudah cukup jelas.

Bang Hafis tidak lagi ingin berhubungan denganku. Dan aku harus belajar untuk bisa melupakannya.

Namun segala kenangan indahku bersama bang Hafis, akan selalu kusimpan di relung hatiku yang terdalam.

Kan ku jadikan bang Hafis sebagai kenangan yang terindah....

****
Sekian ...

Cinta pemuda desa yang harus berakhir tragis ...

Namanya Hans. Terasa tak mau hilang nama itu dari hati ku. Nama seorang pemuda kampung yang kekar dan tampan.
Sebenarnya ia seorang lelaki normal, dia juga sudah punya tunangan waktu itu.
Kisah ini terjadi sekitar dua tahun yang lalu.
Kisah ini berawal ketika aku melaksanakan kegiatan KKN di sebuah desa yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal dan kuliah.
Sebuah desa yang terbilang sudah cukup maju dan berkembang. Sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai nelayan di sungai yang memang berada tidak jauh dari desa. Sebagian lagi ada yang bertani dan berkebun.
Penduduk desa sangat ramah dan sangat senang kami berada di sana.

 

Cerita gay sang penuai mimpi

 

Kami melaksanakan KKN selama dua bulan disana. Kami berjumlah sembilan orang, empat orang laki-laki dan lima orang perempuan.
Kami yang laki-laki tinggal di sebuah rumah kosong milik warga, yang memang sudah lama tidak berpenghuni, karena yang punya rumah, kabarnya sudah pindah ke rumah nya yang baru.
Sedangkan yang perempuan, tinggal di salah satu rumah warga yang tidak jauh dari tempat kami tinggal.
Para pemuda di sana sangat aktif membantu segala kegiatan kami di sana.
Dan disana lah aku berkenalan dengan Hans.

Hans seorang pemuda yang cukup pendiam, dia tak banyak bicara. Tapi ia cukup banyak membantu kami selama di sana.
Hans sendiri bekerja sebagai nelayan. Dia anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya sudah lama meninggal. Adiknya yang paling bungsu perempuan masih duduk di kelas 2 SMA waktu itu, sedangkan adiknya yang nomor dua laki-laki sudah kuliah di kota.
Hans baru berusia 25 tahun waktu itu. Setamat SMA dia tidak bisa kuliah, karena harus bekerja untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Ibu nya yang sudah cukup tua, sudah sering sakit-sakitan. Jadilah Hans tulang punggung keluarga nya.
Hans di kenal sebagai pemuda yang baik dan juga soleh.
Ia bertunangan dengan seorang gadis yang berasal dari desa itu juga.
Menurut cerita Hans, pertunangan itu bukan lah atas keinginannya sendiri. Ibunya lah yang memaksa ia untuk bertunangan dengan gadis itu. Dan sebagai anak yang patuh, Hans tak ingin menolaknya.
Apalagi kedua orang tua gadis itu, begitu menginginkan Hans untuk jadi menantu nya.

Karena sering melakukan kegiatan bersama, aku dan Hans menjadi dekat dan cukup akrab.
Hans mengajarkan banyak hal padaku selama aku disana.
Hans juga sering mengajak ku, untuk ikut dengan nya menangkap ikan di sungai. Hans bahkan sering mengajak aku makan dan tidur di rumah nya. Ibu nya juga sangat baik padaku.
Kami menjadi sangat akrab dan lama kelamaan aku menjadi tertarik pada Hans.
Aku merasa bahagia setiap kali bersama nya. Hidup menjadi begitu indah bagiku.
Dan tanpa aku sadari aku pun jatuh cinta pada Hans.
Segala kesederhanaan Hans membuat aku begitu memuja nya.
Dia menjadi begitu berarti bagi ku. Kadang aku merasa begitu kesepian jika sehari saja tak jumpa dengan nya.
Aku selalu memikirkan Hans di setiap malam ku. Aku selalu teringat canda dan tawa nya yang begitu renyah.
Sikap nya yang santun dan sederhana, membuat aku semakin memuja nya.
Hans yang baik dan ramah, Hans yang selalu berhasil membuat aku selalu tersenyum.
Ia selalu hadir saat aku membutuhkannya.

Cinta memang telah bersarang di hati ku. Menumbuhkan benih-benih yang kian hari kian mekar kurasakan. Namun aku tahu, sangat tak mungkin bagi Hans, merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan pada nya.
Biar bagaimana pun, Hans adalah lelaki normal. Dan ia juga akan segera menikah.
Tapi semua rasa cinta ku pada nya begitu tulus. Aku tak berharap bisa memilikinya. Karena aku cukup sadar siapa diriku. Namun kedekatan kami sudah lebih dari cukup bagi ku.
Mengenal Hans dan menjadi dekat dengannya, merupakan sebuah anugerah bagiku.
Dan mencintai nya adalah sebuah kebahagiaan.
Aku tak berharap apa pun dari semua itu. Cukuplah bagi ku mencintainya dalam diam ku.
Mengaguminya dengan setulus hati ku.

*****************

Pada saat malam terakhir kami disana, kami dan pemuda disana melaksanakan kegiatan semacam acara perpisahan. Malam itu, setelah selesai acara, Hans mengajak ku tidur di rumahnya, sebagai malam terakhir katanya.
Aku dan Hans mengobrol cukup lama, sebelum akhirnya kami tertidur.
Sebelum waktu subuh, aku terbangun. Aku tatap wajah tampan milik Hans, sangat lama. Aku tatap seakan ingin menciumi lembut pipi itu.
Hans tidur tanpa baju, badan nya yang kekar dan cukup atletis terpapar jelas di mata ku.
Aku menatapi tubuh itu. Menatapi nya dengan penuh hasrat. Ingin rasa nya aku memeluk tubuh itu, mendekapnya dan menyandarkan wajah ku ke dalam dada bidangnya.
Tapi segera ku tepis segala keinginan ku, aku tak ingin merusak hubungan pertemanan kami.
Aku tak ingin, pada malam terakhir aku di sana, justru meninggalkan kesan yang buruk pada Hans.
Buru-buru ku pejamkan lagi mata ku, mencoba untuk tertidur kembali.

Tiba-tiba aku merasakan, tangan Hans berada di dadaku. Tangan itu terasa hangat dan menenangkan. Aku mencoba membuka mata ku kembali. Aku lihat Hans masih dalam kondisi tertidur. Aku tak tahu, apakah Hans sengaja meletakkan tangannya disitu atau itu terjadi hanya kebetulan saja. Namun terlepas dari itu semua, aku menikmatinya. Aku membiarkan tangan Hans tetap berada di dada ku.

Terpikir untuk menarik tangan itu lebih dekat dan memeluk tubuh Hans. Tapi sekali lagi, perasaan tak enak menghantui ku. Dan aku hanya membiarkannya.

************************

Sebulan setelah kepulangan ku dari desa Hans. Tiba-tiba aku mendapat telpon dari Hans, ia mengabarkan kalau ia sekarang berada di kota. Ia di kota karena harus mengantarkan uang belanja adiknya yang sedang kuliah. Hans memang pernah cerita, kalau biasanya ia sebulan sekali datang ke kota untuk mengantar uang kepada adiknya.
Selama sebulan ini, aku memang tidak berusaha menghubungi Hans. Walau keinginan itu ada, tapi aku takut.

Aku pun meminta Hans untuk datang ke rumah ku. Dan Hans pun bersedia untuk datang.
Aku bertemu Hans kembali setelah sebulan kami tak berjumpa. Perasaan ku masih saja sama, aku masih saja begitu mengaguminya. Aku masih mencintainya.
Selama sebulan ini, sebenarnya aku berusaha menghapus segala rasa itu. Berusaha melupakan Hans. Melupakan segala kenangan ku dengan Hans.
Walau aku tahu, itu tidak akan pernah berhasil. Karena aku begitu mencintai Hans.
Dan sekarang Hans disini, dengan segala pesona nya.


Aku mengajak Hans masuk ke  kamar ku, setelah ku perkenalkan dengan mama dan papa ku.
Kami ngobrol seperti biasa, saling menanyakan kabar.
Adik Hans sebenarnya kost di kota, dan biasanya Hans menginap di sana selama satu malam, kemudian esok nya Hans baru pulang kembali ke desa.
Aku pun menawarkan Hans untuk menginap di kamar ku malam itu. Dengan sedikit sungkan Hans pun setuju.
Menjelang malam, aku mengajak Hans berkeliling kota. Sambil sedikit menghilangkan kejenuhan.
Setelah cukup lelah kami pun kembali ke rumah ku.
Aku merasa sangat bahagia hari itu. Sebulan aku coba menahan kerinduan ku pada Hans. Dan hari ini Hans hadir di sini. Segala rindu ku seakan sirna. Aku kembali bisa melihat senyum Hans, mendengar canda nya, dan mendengar tawa renyah nya lagi.

Selesai makan malam, kami pun kembali ke kamar. Hans sangat berterima kasih pada ku, karena mau mengajak nya tidur di rumahku dan juga mengajaknya jalan-jalan.
Aku hanya tersenyum menatap wajah tampan itu. Dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya. Hans terlihat begitu sempurna di mata ku.
Aku tak bisa lagi menahan semua rasa ini. Cinta ku terlalu besar untuk bisa aku tutupi.
Namun aku tak bisa berbuat apa-apa.

Haruskah aku mengungkapkan semua ini pada Hans, yang resiko nya tentu saja Hans akan membenci ku dan akan semakin jauh dariku. Dan  aku tak ingin hal itu terjadi. Aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat dengan Hans. Karena hanya menatapnya saja aku sudah merasa cukup bahagia.
Atau ku biarkan saja rasa ini, terpendam selamanya tanpa ada siapa pun yang tahu. Yang tentu saja itu semua akan membuat aku merasa sakit, setiap kali aku mengingat asa ku. asa untuk memilikinya.

********************
 

Tapi di luar dugaan ku, ternyata Hans malam itu dengan sangat bergetar mengungkapkan, kalau ia sebenar nya suka padaku, bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Dan beriring berjalannya waktu, ia pun semakin sayang padaku.
Namun ia sangat takut untuk mengatakannya. Ia takut salah paham dengan segala sikap baik ku pada nya selama ini. Dan sekarang ia tak bisa lagi memendam rasa itu, untuk itu ia beranikan diri untuk mengatakannya pada ku.
Katanya, aku harus tahu apa yang ia rasakan padaku, sebelum ia nanti nya menikah dengan gadis pilihan Ibu nya.

Aku sangat kaget, dan sungguh ini semua di luar dugaan ku. Hatiku bersorak gembira, meski tak sepenuhnya kuperlihatkan pada Hans.
Aku pun dengan cukup berani, mengatakan pada Hans kalau aku juga telah jatuh cinta padanya.
Hans tersenyum dan menatapku lama, seakan tak percaya.
Kemudian Hans pun memeluk ku erat. Aku merasa begitu hangat dan damai berada dalam pelukan tubuh kekar itu.
Tak ku sangka aku bisa memeluk tubuh Hans malam itu. Meski sudah sangat lama aku menginginkannya.

 Sejak malam itu kami pun resmi berpacaran. Meski aku tahu, hubungan kami tidak akan berlangsung lama. Karena biar bagaimana pun beberapa bulan lagi Hans akan menikah.
Meski Hans mengakui kalau ia tak pernah mencintai gadis pilihan Ibunya itu. Namun ia juga tidak bisa membatalkan begitu saja pernikahan itu. Selain akan membuat malu keluarga, Ibu nya juga dalam keadaan sakit yang cukup parah saat ini. Ia tak bisa menolak keinginan terakhir Ibunya.
Ia hanya mencoba menjadi anak yang berbakti.

Menyadari itu semua, hati ku terasa begitu sakit. Untuk pertama kali nya aku bisa merasakan bahagia bersama orang yang aku cintai, tapi semua harus segera berakhir.
Tapi kami tetap bersama. Hans lebih sering datang ke kota, untuk bertemu dengan ku.
Kami berusaha menikmati setiap detik kebersamaan kami, sebelum kami akhirnya harus terpisah.
Kami sering saling telpon-telponan jika Hans berada di kampung.
Sejujurnya aku sangat bahagia dengan semua itu. Aku bahagia dengan hubungan kami.
Cinta kami begitu indah.
Hans telah menghiasi hari-hari ku dengan cinta nya yang begitu besar.

Sampai hari pernikahan itu pun tiba. Hans mengabarkan pada ku, kalau beberapa hari lagi ia akan menikah. Untuk itu ia tidak bisa lagi datang ke kota sebagai mana biasa.
Aku sangat terpukul. Begitu sakit rasanya. Meski dari awal aku sudah mengingatkan diri ku sendiri, kalau hubungan ku dan Hans hanya bersifat sementara.
Tapi tetap saja, semua ini begitu menyakitkan bagi ku.
Aku mencoba menghubungi Hans, mungkin untuk terakhir kalinya. Aku menangis di telpon, mengungkapkan semua kekecewaan ku. Dan aku pun mendengar Hans menangis. Ia minta maaf, karena tidak bisa berbuat banyak.

******************

 Aku menghempaskan tubuh ku ke ranjang, mencoba menghalau bayangan Hans yang melintas di benak ku.Hati ku hancur. Tapi aku tidak bisa menyalahkan Hans.
Aku pun tak bisa menyalahkan diri ku sendiri, karena jatuh cinta pada Hans.
Jika pun harus ada yang di persalahkan, mungkin cinta kami yang salah berlabuh.
Hari ini harus nya Hans sedang melangsungkan pernikahannya.
Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

Tiba-tiba handphone ku berbunyi. Aku mencoba mengangkatnya meski dengan sedikit berat. Di seberang aku mendengar suara adik Hans dengan sedikit tersedu.
Ia dengan terbata mengabarkan bahwa Hans, mengalami kecelakaan pagi itu. Kecelakaan yang cukup parah, yang mengakibatkan nyawa Hans melayang.
Aku tersedak. Kabar itu jauh lebih menyakitkan dari sekedar kabar pernikahan Hans.
Aku bersegera bangkit dan berangkat menuju desa Hans.
Sepanjang perjalanan aku menangis. Entah mengapa air mata ini enggan untuk berhenti.
Aku tak bisa menahan kesedihan ku.
Hans pergi begitu cepat. Ia pergi dengan meninggalkan sejuta kenangan. Dia pergi dengan membawa cinta ku yang masih utuh untuk nya.


Sesampai disana, aku berusaha untuk bersikap tegar. Biar bagaimana pun, di mata orang-orang kami hanyalah teman biasa.
Tapi hatiku menangis melihat jasad Hans masuk ke liang lahat. Itu adalah kali terakhir aku melihatnya.
Semua orang bersedih. Semuanya menangis, terutama Ibu nya.


Menurut cerita seorang teman, Hans telah membatalkan pernikahannya. Ibu nya pun marah besar pada nya. Hans pun mencoba pergi dari rumah dengan mengendarai motornya. Hans mengendarai nya cukup kencang, hingga ia mengalami kecelakaan.
Aku pun terhenyak mendengar cerita itu. Aku buru-buru pulang, tanpa sempat pamit pada Ibu Hans.
Aku ingin segera berada di rumah. Aku ingin menumpahkan segala kesedihan ku sendiri, tanpa terlihat siapa pun.
Tak pernah aku duga, kalau Hans akan nekat membatalkan pernikahannya. Dan lebih menyakitkannya lagi, aku tahu, ia melakukan semua itu, demi aku. Demi cinta kami.

Sesampai di rumah aku langsung menuju kamarku, tanpa peduli kan beberapa pertanyaan dari mama ku. Hatiku hancur. Ini jauh lebih menyakitkan.
Aku masih tak percaya, kalau Hans telah tiada.
Aku menangis lagi. Aku begitu terluka.
Aku belum siap kehilangan Hans. Benar-benar belum siap.
Hans begitu berharga bagiku.
Dia adalah hal terindah yang pernah aku miliki dalam perjalanan hidupku.
Aku tak akan pernah melupakannya.
 
Bertahun-tahun aku menjalani hidup ku dengan segala penyesalan ku. Biar bagaimana pun, kematian Hans adalah karena ku. Meski tiada siapa pun yang tahu.
Namun bagi ku, aku adalah penyebab kematian Hans.
Aku sering mendatangi kuburan Hans, mencoba meminta maaf padanya.
Meski aku tahu, semua itu kini tiada berguna lagi.
Hans telah pergi dan ia tidak akan pernah kembali lagi.
Dan aku selalu menangis bila mengingat semua itu.
Aku hanya berharap semoga Hans mau memaafkan aku, dan semoga Hans tenang di alam sana.

****

Sekian ...

Love, Simon...

Simon adalah seorang mahasiswa baru di sebuah universitas swasta.
Tiga bulan yang lalu Simon telah melepaskan seragam putih-abunya. Kemudian dengan nilai yang pas-pasan ia mencoba mendaftar ke beberapa universitas.
Seminggu yang lalu ia dinyatakan lulus di salah satu universitas.
Dan hari itu adalah hari pertama bagi Simon memasuki kampus barunya.
Dengan perasaan canggung dan sedikit kikuk, Simon melangkah masuk melewati gerbang kampus.
Meski masa orientasi mahasiswa baru sudah lewat beberapa hari yang lalu, tapi Simon tidak dapat mengikutinya karena dalam kondisi sakit.

 Love simon
 
Setelah melewati gerbang kampus, Simon mengarahkan langkahnya menuju salah satu gedung yang ia yakin adalah pusat kantor dari kampus tersebut. Simon ingin mengurus beberapa hal disana.
Namun sebelum langkahnya sepenuhnya terarah kesana, sebuah suara memaku langkahnya.
"hei anak baru ya..?" suara itu berasal dari belakangnya, untuk itu Simon segera memutar tubuhnya.
Di belakangnya telah berjalan dengan santai seorang laki-laki yang memakai baju kemeja belang-belang hitam. Laki-laki itu tersenyum kearah Simon dan berhenti tepat kira-kira satu meter dari posisi Simon berdiri.
Simon membalas senyum laki-laki itu lalu mengangguk dengan pelan.
"kenapa baru kelihatan sekarang?" tanya laki-laki itu lagi.
"kemarin saya sakit, jadi baru hari ini bisa hadir ke kampus.." balas Simon sedikit kaku.
"oh ya, saya Heri.." ucap laki-laki itu lagi, ia mengacungkan tangan kanannya.
"saya Simon.." balas Simon, sambil menjabat tangan laki-laki itu.

Begitulah awalnya. Awal perkenalan Simon dengan Heri.
Heri ternyata adalah seniornya. Heri seorang mahasiswa tingkat akhir. Tapi Heri sangat baik padanya, yang membuat mereka lebih cepat akrab.
"kak Heri kok mau berteman dengan saya? Padahal saya hanya anak baru disini, dan lagi pula jarak usia kita terlalu jauh..." tanya Simon suatu hari.
"kenapa? kamu malu berteman dengan orang yang jauh lebih tua dari kamu?" Heri justru balik nanya.
"gak. Bukan itu maksud saya. Tapi kan kak Heri punya banyak teman yang se angkatan. Kenapa justru dekat sama saya?" ucap Simon lagi.
Tapi Heri hanya diam. Dia enggan menjelaskannya.

Hari-hari terus berlalu, Simon dan Heri pun semakin dekat dan akrab.
Hingga suatu hari, Heri mengajak Simon untuk main ke kost-nya. Selama ini Simon memang belum pernah ke kost Heri. Mereka hanya bertemu ketika di kampus.
"kamu mau gak nginap tempat saya?" tanya Heri ketika mereka sudah berada di dalam kamar kost.
"mumpung malam minggu, loh. Kamu kan bisa minta izin sama orangtua kamu.." lanjutnya.
Sesaat Simon hanya terdiam.
"mau gak?" tanya Heri lagi.
"emangnya kak Heri gak mau ketemu pacarnya malam minggu begini?" tanya Simon.
"saya gak punya pacar.." jawab Heri cukup tegas.
"oh." Simon membulatkan bibir. "kalau begitu saya telpon ke rumah dulu ya.." ucapnya.
"oke.." balas Heri, sambil menautkan jari telunjuk dengan jempolnya membuat angka nol.

***********

Setelah berjalan-jalan memutari kota, Simon dan Heri kemudian kembali lagi ke kost. Malam sudah menunjukkan jam sebelas.

Sesampai di dalam kost, Heri membuka baju dan celana yang ia pakai. Ia hanya mengenakan sebuah celana pendek berwarna biru.
Tubuhnya terlihat kekar, dengan otot dada yang bidang dan perutnya yang six pack.
Sesaat Simon merasa kurang nyaman melihat hal tersebut, namun ia berusaha bersikap biasa.
Meski harus ia akui dari dalam hatinya, ia begitu mengagumi sososk Heri. Selain memiliki wajah yang tampan, Heri juga mempunyai tubuh yang atletis. Benar-benar sosok laki-laki yang sangat di dambakan para kaum hawa.
Heri juga seorang yang humoris dan pintar. Teman-teman kampus hampir semuanya suka dengan Heri. Selain ramah, Heri juga sangat supel.

Di kamar kost itu, hanya terdapat sebuah dipan berukuran kecil. Dipan itu seharusnya hanya muat untuk satu orang. Simon duduk di pinggiran dipan tersebut dengan perasaan campur aduk. Biar bagaimana pun, ini adalah kali pertamanya ia menginap di tempat orang lain. Selama ini Simon selalu tidur di rumah. Meski kedua orangtuanya selalu memberi kebebasan untuk Simon.
Sementara itu Heri masuk ke kamar mandi sekedar buang air kecil. Ia keluar dengan mengibas-ngibaskan tangannya yang basah.
Kemudian ia duduk di samping Simon.
"kenapa?" tanya Heri, melihat Simon hanya bengong.
Simon menggeleng.
"gak kenapa-kenapa, kok. Hanya tidak terbiasa saja dengan kondisi seperti ini.." jawabnya.
"maksudnya kondisi seperti apa?" tanya Heri lagi.
Kali ini Simon hanya diam. Dia bingung harus menjelaskannya kepada Heri.
 
 
"saya mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi kamu jangan marah ya..." ucap Heri yang duduk di samping Simon.
"kak Heri mau ngomong apa?" tanya Simon terdengar lugu.
"kak Heri suka sama Simon. Kak Heri gak tahu entah kapan rasa suka itu datang. Simon orang yang baik dan juga perhatian. Kak Heri merasa dihargai. Kak Heri pengen menjalin hubungan serius dengan Simon, lebih dari sekedar teman dekat..." ucap Heri penuh perasaan.
Simon terkesima. Tak disangkanya Heri akan mengatakan hal tersebut padanya.
Selama ini Heri selalu menunjukkan sikap biasa-biasa saja terhadap Simon.
Di dalam hati Simon merasa sangat bahagia mendengar hal itu. Tentu saja, karena sudah berbulan-buan Simon hanya bisa memendam perasaannya pada Heri.

"kamu mau gak?" tanya Heri lagi, yang membuat Simon kaget.
"tapi saya...."
"iya, saya tahu." potong Heri cepat, "ini salah. Apa yang saya rasakan sama kamu adalah sebuah kesalahan. Namun saya tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau saya benar-benar telah jatuh cinta padamu. Yang ada dalam pikiran saya hanya kamu seorang..." lanjutnya lagi.
Simon semakin terperangah.
"iya. Saya mau, kak..." jawab Simon cepat. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Biar bagaimanaoun Heri adalah cinta pertama Simon.
"selama ini saya juga suka sama kak Heri." lanjut Simon lagi. "kak Heri orang yang baik dan juga sangat tampan. Tapi apa kak Heri gak menyesal nantinya karena menjalin hubungan dengan orang seperti saya?"
"untuk apa saya harus menyesal?"
"ya, karena kak Heri kan orang yang ganteng dan juga pintar. Sementara saya hanya orang biasa..."
"sudahlah, Simon. Kamu gak usah ngomong seperti itu lagi. Bagi saya kamu itu istomewa. Saya menyukai apa adanya dirimu..."
Kembali Simon terdiam.

Sejak saat itu mereka pun menjalin hubungan yang serius. Mereka semakin sering bersama. Simon sungguh bahagia dengan semua itu. Cintanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Heri juga mencintainya, bahkan sangat menyayanginya. Simon merasa sangat beruntung bisa berpacaran dengan Heri. Meski hubungan mereka dilakukan secara diam-diam. Hanya mereka berdua yang tahu, tentang hubungan terlarang tersebut.
 
****
Sekian ...

Kisah cinta segi tiga ...

Ini adalah kisahku. Kisah tentang hubunganku dengan sepasang suami istri.

Saat itu aku masih berumur 23 tahun.

Kisah ini berawal, ketika aku mulai bekerja dengan seorang pengusaha muda yang kaya raya.
Aku bekerja sebagai sopir pribadinya, waktu itu, sudah hampir sebulan.
Setiap pagi aku mengantarkan si pengusaha ke kantornya, lalu aku diperbolehkan pulang kerumahnya, karena istrinya kadang-kadang membutuhkan aku untuk mengantarkannya belanja ataupun pergi arisan.

Mereka memang belum memiliki anak. Meski pun mereka sudah menikah hampir lima tahun.
Usia mereka pun masih cukup muda, si pengusaha berusia kira-kira 35 tahun, dan sang istri berusia sekitar 28 tahun.

Aku sering mengantar sang istri belanja atau pun arisan.
Sang pengusaha biasanya pulang kerja sore hari, aku akan di telponnya apa bila sudah harus menjemputnya ke kantor.
Awalnya semula semua berjalan biasa saja. Sampai suatu ketika, aku diminta oleh sang istri mengantarnya bertemu temannya di sebuah cafe. Aku disuruh menunggunya, karena urusannya hanya sebentar, katanya.
Sepulang dari situ, ia tidak langsung mengajakku pulang, tapi justru ia mengajakku singgah di sebuah hotel.

Waktu itu aku hanya berpikir, kalau dia hanya ingin bertemu dengan temannya.
Tapi rupanya sang istri justru mengajakku masuk ke dalam hotel tersebut.

Waktu itu, sekitar jam satu siang.
Aku mengikuti langkah kaki sang istri menuju kamar hotel, dengan perasaan yang campur aduk. Sesampai di hotel, sang istri mengajakku masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam.
Aku hanya berdiri di dekat pintu. Sampai akhirnya sang istri menarik tanganku dan mengajakku duduk di ranjang
Jantungku berdegup cukup kencang waktu itu. Sebagai laki-laki normal, aku mulai paham apa yang di inginkan sang istri padaku.

Dan dugaanku benar, sang istri memintaku untuk melakukan hal tersebut dengannya.
Aku sedikit kaget dan mencoba untuk menolak. Tapi sang istri berjanji akan memberiku sejumlah uang. Dan lagi pula jika aku menolak, ia akan meminta suaminya untuk memecatku.
Sementara aku sangat membutuhkan pekerjaan tersebut.
Dengan sangat terpaksa, aku pun memenuhi keinginan sang istri.
Jujur, itu adalah pengalaman pertamaku melakukan hal tersebut.

Aku memang pernah pacaran beberapa kali, namun aku belum pernah sampai melampaui batas dengan pacarku.

Harus aku akui, kalau sang istri memang memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang seksi. 

Aku pun sebenarnya menyukai sang istri.

Sesuai perjanjian, aku pun diberinya uang yang cukup banyak. Dan ia memintaku untuk bisa memenuhi keinginannya kapan pun ia mau, dan ia akan memberiku uang setiap kali ia menginginkan hal tersebut.
Aku mengangguk setuju. Bukan hanya karena aku diberi uang, tapi juga aku sangat menikmati hal tersebut.

waktu terus bergulir, aku menjalani aktivitasku seperti biasa. Sampai beberapa hari kemudian, sang istri kembali mengajakku di sebuah hotel yang berbeda.

Kami pulang, ketika akhirnya si pengusaha menelponku untuk minta di jemput ke kantor.
Hari memang sudah sore, sudah hampir jam enam.
 
Aku segera mengantar sang istri pulang, lalu langsung ke kantor untuk menjemput si pengusaha, meski badanku terasa begitu capek dan lelah.

Saat diperjalanan pulang, si pengusaha mengatakan, kalau ia lusa akan mengajakku ikut melihat salah satu proyeknya di luar daerah.

Biasanya si pengusaha pergi keluar daerah sendirian naik pesawat.
Tapi kali ini, ia memintaku ikut dan memakai mobil. Katanya sekalian jalan-jalan, karena ia butuh sedikit refreshing.
Sampai hari keberangkatan, kami pun pergi dengan memakai mobil. Kami berangkat pagi dan sampai kira-kira jam 3 sore.
Sesampainya disana, kami langsung menuju sebuah hotel untuk menginap beberapa malam disana.
Aku cukup heran, karena si pengusaha hanya memesan satu kamar. Aku kira, ia akan menyuruhku tidur di mobil atau di tempat lain.
Tapi ternyata, ia memintaku tidur di kamar yang sama dengannya.
Jujur, aku merasa sedikit canggung, harus satu kamar dengan bosku sendiri.
Tapi karena si pengusaha yang meminta, aku menurutinya saja.
 
Malam itu, setelah selesai mandi dan makan malam kami masih berada di kamar.
Katanya besok pagi ia baru akan pergi melihat proyeknya.
Karena sedikit sungkan, aku hanya duduk di kursi dalam kamar hotel tersebut, dan berencana untuk tidur di kursi itu.
Tapi tak lama kemudian, si pengusaha memintaku, untuk duduk dekatnya di atas ranjang.
Aku pun menurutinya.
Si pengusaha berkata, kalau ia ingin menceritakan sesuatu kepadaku.
Aku sedikit gugup, aku pikir si pengusaha sudah tahu hubunganku dengan istrinya.

Tapi ternyata si pengusaha bercerita, kalau sebenarnya ia tidak bahagia dengan pernikahannya sekarang.
Katanya, ia menikah dengan istrinya hanya karena di jodohkan oleh orang tuanya. Ia tak pernah mencintai istrinya, begitu juga sebaliknya.
Aku hanya diam mendengarkan ceritanya, sambil terus menyimak dengan serius. Aku jadi tahu sekarang, kenapa sang istri begitu mudah berselingkuh denganku.
Kehidupan sang istri memang mewah, bergelimang harta, tapi sebenarnya sang istri sangat kesepian.

Setelah bercerita tentang rumah tangganya yang rumit. Si pengusaha, mulai menceritakan siapa dia sebenarnya.
Ya, ternyata si pengusaha adalah seorang gay. Si pengusaha adalah penyuka sesama jenis.
Menurut ceritanya, dulu ia pernah pacaran dengan laki-laki, tapi hubungannya kandas, karena ia harus menikah dengan wanita pilihan orang tuanya.

Sebenarnya aku cukup kaget mendengar ceritanya, begitu juga tentang kejujurannya padaku malam itu. Padahal ia baru beberapa bulan mengenalku.

Ia juga mengatakan, bahwa selama ia menikah, ia masih sering melakukan hal tersebut dengan sesama laki-laki. Ia membayar laki-laki panggilan, untuk bisa memenuhi keinginannya.

Sampai akhirnya ia berkata, kalau sebenarnya ia sangat tertarik padaku, sejak awal aku mulai bekerja dengannya. Dan ia pun mengakui, kalau ia menerimaku bekerja dengannya adalah karena menurutnya aku lelaki yang sangat tampan dan juga kekar.

Aku mulai merasa tidak enak. Pikiranku pun menerawang. Aku sedikit gelisah.
Namun si pengusaha masih terus bercerita.

Dan malam itu, ia memintaku untuk melakukan hal tersebut dengannya. Ia bersedia membayar sangat mahal, agar aku mau melakukannya.
Katanya lagi, dari pada ia harus membayar orang lain, lebih baik ia membayar saya, yang sebenarnya sangat disukainya dari awal.

Aku termenung cukup lama, memikirkan tawarannya. Disatu sisi, aku adalah lelaki normal yang hanya menyukai perempuan. Namun di sisi lain, uang yang ditawarkannya cukup banyak.
Dan lagi pula, jika seandainya aku menolak, sudah pasti aku akan kehilangan pekerjaanku.

Aku masih terdiam. Tapi si pengusaha rupanya sudah mulai beraksi.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, meski awlnya aku merasa sangat geli dan sedikit jijik.
Namun lama-kelamaan, aku mulai menikmati hal tersebut.
Ternyata si pengusaha sangat pandai membuatku melayang.
Malam itu kami pun tertidur sangat pulas karena keletihan setelah perjalanan jauh, dan juga setelah melakukan hal tersebut sebanyak dua kali.

Esoknya kami pun pergi melihat proyek si pengusaha yang berada tidak begitu jauh dari hotel tempat kami menginap.
Malam berikutnya, kami masih menginap di hotel. Dan si pengusaha meminta aku untuk mengulanginya lagi malam itu.
Bahkan malam itu, kami melakukannya berkali-kali.
Dan si pengusaha, memberi aku uang yang sangat banyak.
Aku hanya tersenyum menerima uang tersebut. Aku tidak tahu, apa yang aku rasakan saat itu.
 
Esoknya kami pun pulang, karena urusan si pengusaha sudah selesai di sana.
Diperjalanan, si pengusaha meminta aku untuk selalu menemaninya setiap kali ia ada kegiatan di luar daerah.
Katanya, ia sangat suka dengan apa yang aku lakukan padanya selama dua malam tersebut.
Dan ia sangat menginginkannya.
Aku hanya tersenyum penuh kebanggaan.

Hari-hari pun berlalu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengantar si pengusaha ke kantor, mengantar sang istri belanja atau arisan dan menjemput si pengusaha lagi sore harinya.
Mungkin yang berbeda hanyalah, kalau biasanya aku hanya mengantar sang istri belanja, sekarang akan ada saatnya sang istri mengajakku mampir sebentar di hotel. Dan memenuhi keinginannya. Aku pun mendapatkan sejumlah uang.

Sekarang kalau si pengusaha pergi ke luar daerah, aku akan selalu dimintanya untuk ikut. Kami menginap di hotel, dan selalu melakukan hal tersebut. Aku pun mendapatkan imbalan berupa uang.
Aku merasa sangat beruntung sekarang. Aku mendapatkan keuntungan dari sang istri dan juga keuntungan lain dari si pengusaha.
Serta tentu saja mendapatkan sejumlah uang dari mereka berdua

Ya, begitulah kehidupanku saat ini.
Sampai suatu saat, sang istri bercerita kepadaku, kalau ia sudah hamil sekarang. Sudah tiga bulan lebih.
Aku sedikit kaget, karena sang istri yakin, kalau anak yang ia kandung, adalah anakku.
Katanya, ia sangat jarang berhubungan dengan si pengusaha. Lagi pula katanya, si pengusaha tidak mungkin bisa membuatnya hamil.
 
Sebenarnya aku juga percaya, kalau sang istri memang mengandung anakku. Apa lagi beberapa hari yang lalu, si pengusaha juga bercerita padaku, kalau ia curiga dengan sang istri. Ia curiga kalau sang istri sedang selingkuh dengan pria lain. Ia juga sudah tahu, kalau sang istri hamil bukan karena dia, tapi karena selingkuhannya.
Namun ia tidak begitu peduli dengan semua itu, si pengusaha justru senang istrinya akhirnya hamil, meski bukan anaknya. Karena itu akan membuat orang tuanya bahagia.
Lagi pula si pengusaha, sangat menikmati hubungan kami.

Jadi saat itu, posisiku masih sangat aman. Aku tidak harus bertanggungjawab atas kehamilan sang istri saat ini. Dan aku masih bisa mendapatkan keuntungan serta uang dari mereka berdua.
Sungguh sebuah kehidupan yang luar biasa, bagiku saat itu.

Namun kehidupan yang bergelimang harta dan dosa itu tidak berlangsung lama. 

Aku dan sang istri semakin jarang bertemu, apa lagi semenjak kehamilannya yang kian membesar hingga ia melahirkan anak pertamanya.

Sementara aku dan si pengusaha masih terus berhubungan, apa lagi semenjak istrinya hamil, si pengusaha semakin sering mengajakku ke luar kota.

Karena terlalu sering ke luar kota bersama, membuat sang istri menjadi curiga. Ternyata sang istri sengaja menyuruh seseorang untuk memata-matai kami.

Hingga akhirnya hubungan kami pun diketahui oleh sang istri. Dan saat itu juga, sang istri pun mengungkapkan kepada si pengusaha, bahwa aku adalah ayah dari anak yang ia lahirkan.

Tentu saja hal ini membuat si pengusaha marah besar. Ia memecat dan mengusir saya dari rumahnya.

Dalam keadaan penuh ketakukan, saya pun meninggalkan rumah si pengusaha tersebut.

Namun saya yakin, si pengusaha tidak akan berani berbuat macam-macam. Biar bagaimana pun, hubungannya denganku selama ini, adalah sesuatu yang harus selalu ia tutupi.

Saya tidak tahu, apa yang dilakukan si pengusaha terhadap sang istri. Mungkin saja ia juga menceraikan sang istri. Tapi saya sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan mereka.

Semua mereka yang memulai. Saya hanya mencoba menuruti keinginan mereka selama ini. Walau akhirnya saya harus terjebak dalam hidup yang penuh dengan gelimang dosa.

Kini saya sadar, apapun alasannya, saya telah melakukan kesalahan. Sebuah kesalahan besar yang memberikan banyak pelajaran bagi saya ke depannya, agar lebih berhati-hati lagi dan tidak hanya memikirkan kesenangan sesaat saja.

Semua kisah itu menjadi pengalaman yang berharga dalam hidupku. Bahwa kesenangan sesaat tidak akan membawa kita kemana-mana, kecuali kepada kehancuran.

Setidaknya saya pernah mempunyai hubungan dengan sepasang suami istri.

Dan saat ini, aku akan menata hidupku kembali. Memullainya lagi dari awal. Semoga saja, aku tidak akan pernah terjebak lagi dalam hubungan cinta terlarang.

****
Sekian ...

Sejuta cinta untuk Jeff.

Ini ketiga kalinya, aku merasakan sakitnya ditinggal mentah-mentah oleh seorang cewek. Dikhianati tanpa aku melakukan kesalahan. Rasanya begitu sakit. Meski sudah beberapa kali merasakannya, tetap saja, dikhianati itu terasa menyakitkan.

Dulu, ketika aku masih di SMA, aku pernah pacaran dengan seorang gadis, adik kelasku. Dia gadis yang cantik dan cukup populer di sekolah. Banyak cowok lain yang mengincarnya. Namun setelah perjuangan yang panjang, akhirnya aku mampu menaklukan hati gadis seksi itu. Namanya Sinta, dia menjadi pacar pertamaku, sekaligus cinta pertamaku.

Enam bulan pacaran dengan Sinta, aku merasa begitu bahagia. Banyak teman-teman yang merasa iri melihat kemesraan kami. Tapi semua kebahagiaan itu sirna dalam sekejap. Saat aku tahu, ternyata diam-diam, Sinta juga menjalin hubungan dengan salah seorang teman sekelasku. Awalnya aku mencoba untuk tidak percaya, saat gosip itu beredar. Sampai akhirnya aku mendengar sendiri kata putus dari Sinta. Ia memutuskanku tanpa alasan. Dan seminggu kemudian, aku melihat Sinta berjalan dengan teman sekelasku itu. Sungguh sebuah penghiantan yang luar biasa.

Hal itu tentu saja, membuatku merasa terpukul dan sakit. Sinta telah mengkhianati cinta suciku. Dia bahkan terlihat santai dan tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Aku seperti kehilangan separoh napasku. Semangat hidupku memudar. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya berpacaran, namun semua harus berakhir dengan sebuah pengkhianatan.

Setahun berlalu, aku pun lulus dari sekolah itu. Rasa sakit dihatiku karena dikhinati sudah memudar. Aku sudah bisa menerima semuanya. Apalagi aku tahu, ternyata Sinta pada akhirnya juga ditinggalkan cowoknya itu. Sebuah pengkhianatan akan selalu berbalas pengkhianatan pula, meski bukan oleh orang sama.

Saat kuliah, aku bertemu dan berkenalan dengan Novi. Dia gadis yang cantik dan juga sangat ramah. Sejak pertama bertemu dengan Novi, aku mulai menyukainya. Kami pun akhirnya dekat, dan aku pun jatuh cinta padanya. Gayung bersambut, ternyata Novi juga punya perasaan yang sama denganku. Kami pun akhirnya pacaran. Dunia kembali penuh warna bagiku. Maklum, sejak pengkhianatan Sinta. Hatiku seakan membeku. Namun sejak Novi hadir, hatiku mulai mencair kembali.

Aku sangat mencintai Novi. Dan aku berharap, Novi juga merasakan hal yang sama. Kami pacaran hingga hampir dua tahun. Dua tahun, hubungan kami berjalan dengan baik. Meski tentu saja, selalu ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi. Namun kami berusaha untuk saling mengerti dan untuk saling memaafkan.

Setelah dua tahun, akhirnya aku tahu, kalau ternyata Novi sudah mengkhianatiku. Aku tak sengaja memergokinya sedang berjalan dengan cowok lain. Aku tak mengenal cowok itu, tapi saat aku melihat mereka, mereka begitu mesra. Hatiku berkecamuk melihatnya. Aku tak bisa menahan kesabaranku, sampai akhirnya aku menghampiri mereka.

Novi terlihat kaget. Mukanya pucat pasi, bak seorang pencuri yang tertangkap basah. Saat itu juga, aku langsung memutuskan Novi. Hatiku terasa tercabik-cabik. Hubungan yang sudah dua tahun terbina, harus berakhir dengan amat sangat menyakitkan bagiku.

Sejak saat itu, aku tak ingin bertemu Novi lagi. Meski berkali-kali Novi berusaha menemuiku. Aku tak ingin mendengarkan apa-apa lagi dari Novi. Apa pun alasannya, Novi telah mengkhianatiku. Dan ini adalah kedua kalinya, aku dikhianati oleh seorang cewek.

Untunglah Novi tidak satu jurusan denganku, hingga kesempatanku untuk menghindarinya sangat besar.

Sekuat apapun aku mencoba menabahkan hatiku, tapi tetap saja sebuah pengkhianatan itu akan terasa begitu menyakitkan. Aku kehilangan semangatku lagi. Tak mudah bagiku sebenarnya, untuk melupakan sosok Novi dalam hidupku. Biar bagaimanapun, aku sudah terlanjur menyayanginya. Aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Dan itu terasa sangat berat bagiku.

Setelah berbulan-bulan, aku akhirnya berhasil melupakan Novi. Bagiku dia hanyalah sepenggal cerita di masa lalu. Aku mulai menikmati kesendirianku lagi.

Dan setahun kemudian, aku berkenalan dengan Rara. Seorang gadis manis, yang memiliki lesung pipi di kedua pipinya. Kami berkenalan melalui media sosial. Saat kami bertemu, aku pun mulai tertarik kepada Rara. Kian hari kami pun kian dekat. Hingga beberapa bulan kemudian, kami pun jadian. Rara menerima cintaku dengan penuh kebahagiaan.

Kami pacaran cukup lama. Hingga aku lulus kuliah dan mendapatkan sebuah pekerjaan. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sementara Rara sendiri juga sudah bekerja di sebuah rumah sakit, karena Rara memang kuliah di jurusan keperawatan.

Setelah memiliki pekerjaan, aku dan Rara jadi jarang bertemu. Kami mulai sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Meski kami tetap berusaha menjaga komunikasi diantara kami.

Hubunganku dengan Rara sudah cukup serius sebenarnya, terutama bagiku. Aku bahkan telah memperkenalkan Rara kepada keluargaku. Dan aku sendiri juga sudah bertemu dengan kedua orangtua Rara. Aku sering datang ke rumahnya, terutama bila malam minggu.

Empat tahun kami pacaran. Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Hatiku sendiri sudah merasa mantap, untuk menjadikan Rara pendamping hidupku kelak.

Namun itu semua, ternyata hanya impianku semata. Rara ternyata tidak memiliki impian yang sama denganku. Karena setelah empat tahun itu, akhirnya Rara memilih untuk memutuskanku. Entah apa salahku padanya, hingga dengan begitu mudahnya Rara memutuskanku. Ia memutuskanku tanpa alasan dan tanpa penjelasan, meski aku sudah berusaha meminta penjelasnannya.

"aku capek, Dul. Aku ingin kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Aku ingin mengakhiri semua ini..." begitu ucap Rara, setiap kali aku meminta penjelasannya.

Sebulan kemudian, sebuah undangan melayang di meja kerjaku. Seorang teman menyampaikannya padaku. Dalam undangan tersebut, sudah tertulis nama Rara dan calon suaminya. Aku merasa langit runtuh saat itu. Ternyata ini alasan Rara untuk mengakhiri hubungannya denganku. Aku merasa hatiku hancur berantakan. Tak kusangka Rara tega melakukan hal itu padaku. Padahal hubungan sudah berjalan empat tahun. Padahal aku tak pernah menyakitinya. Aku selalu menjaga kesetiaanku. Tapi semua itu tidak ada artinya bagi Rara. Ia justru menikah dengan orang lain.

Untuk ketiga kalinya, aku dikhianati lagi oleh seorang cewek....!!!

****

Kisah cintaku memang selalu berakhir menyakitkan. Sudah tiga kali aku dikhiantai oleh gadis yang aku cintai. Rasanya kepercayaan diriku hilang. Aku bahkan tidak percaya lagi dengan yang namanya perempuan. Bagiku wanita itu terlalu egois. Mereka tak pernah memikirkan perasaan pasangannya.

Pengkhianatan-pengkhianatan yang aku alami, membuatku lebih berhati-hati dalam mengenal wanita. Hingga bahkan aku menutup rapat hatiku, untuk kehadiran seorang wanita pun. Aku tak percaya lagi dengan yang namanya cinta sejati. Bagiku semua wanita itu sama. Sama-sama hanya bisa bikin sakit hati.

Kekecewaanku kian mendalam. Rasa sakit yang harus kutanggung terlalu besar.

Aku mulai berpikir, mungkin ada yang salah dengan diriku. Mungkin aku tidak lagi harus terlalu serius dalam menjalin sebuah hubungan.

Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seorang rekan kerja baruku. Namanya Jeff, begitu biasa ia dipanggil. Dia seorang cowok.

Aku memang sudah bekerja sekarang. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Usiaku sendiri sudah 28 tahun. Sebenarnya aku sudah ingin mencari pasangan hidup saat ini. Tapi karena sudah terlalu sering dikhianati cewek, aku jadi merasa ragu untuk memulai lagi semuanya.

Aku berkenalan dengan Jeff, dan kemudian menjadi akrab dan dekat. Jeff emang orangnya baik. Dia ramah dan pengertian.

Jeff lebih muda tiga tahun dariku. Dia seorang perantau. Ia tinggal di sebuah kost, yang berada tidak begitu jauh dari kantor tempat kami bekerja.

Karena sudah begitu dekat, aku jadi sering main ke kost Jeff. Meski hanya sekedar mampir, untuk melepas lelah sepulang kerja. Sebelum akhirnya aku pulang ke rumah.

Kadang-kadang aku juga sanpai larut malam di kost Jeff. Karena di rumah aku selalu mendengar pertanyaan yang sama hampir setiap hari dari kedua orangtuaku, terutama dari Ibu.

Pertanyaan yang membuatku merasa bosan mendengarnya.

Pertanyaan yang sama, yakni, "kapan kamu nikah, Dul?"

Rasanya aku sudah bosan menjawab pertanyaan itu, kadang aku malah sering mengabaikannya.

Padahal usiaku masih cukup muda. Tapi entah mengapa ayah dan Ibu ingin aku segera menikah.

Mungkin karena aku adalah anak mereka satu-satunya.

"kami juga pengen gendong cucu, loh, Dul." ucap Ibu lagi, untuk yang kesekian kalinya.

"Dul juga pengen nikah, Buk. Tapi Ibu sendiri kan tahu, menemukan wanita baik-baik itu susah.." balasku beralasan.

Aku jadi sering menghabiskan waktu bersama Jeff. Bukan saja saat kami di kantor, tapi juga saat hari libur, aku pun sering berjalan-jalan bersama Jeff.

Entah mengapa aku merasa nyaman saat bersamanya. Jeff memang memperlakukanku dengan baik. Dia selalu punya cara untuk membuatku selalu tersenyum.

"bang Dul orangnya baik, cakep lagi. Mungkin cewek-cewek yang ninggalin bang Dul, memang bukan cewek baik-baik. Yang tidak bisa menilai abang secara utuh..." ucap Jeff suatu ketika, saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah mall.

"udahlah, jangan ngomongin soal cewek, saya lagi mood.." balasku sedikit malas.

"oke. Jadi kita ngomongin soal apa, nih?" tanya Jeff kemudian.

"apa aja, asal jangan tentang cewek. Bagaimana kalau kita ngomongin tentang kamu aja.." jawabku seadanya.

"tentang aku? Gak ada yang menarik tentang aku, bang.." balas Jeff terdengar kalem.

"ada, lah. pasti ada. Misalnya tentang hubungan asmara kamu..?" ucapku lagi.

"tapi abang katanya gak mau ngomongin soal cewek.." balas Jeff lagi.

"iya. Tapi ini tentang kamunya, bukan tentang ceweknya.." aku berujar pelan.

Sebenarnya aku juga tidak tahu, apa persisnya yang ingin aku ketahui tentang Jeff. Tapi...

"kamu pernah pacaran?" tanyaku akhirnya, hanya sekedar ingin tahu.

"pernah dulu waktu SMA, tapi gak bertahan lama. Namun kemudian saya lebih fokus pada study saya, jadi gak pacaran lagi, hingga sekarang.." jawab Jeff santai.

"sebenarnya aku punya rahasia, bang. Dan aku belum pernah menceritakan rahasiaku itu pada siapa pun.." ucap Jeff memecah keheningan, saat kami sudah kembali ke kost-nya.

Aku memang berencana untuk menginap di kost Jeff malam itu. Selain karena malam minggu, aku juga lagi malas di rumah.

"rahasia apa?" tanyaku pelan.

"tapi abang jangan marah ya." balas Jeff, "abang juga jangan ceritakan hal ini kepada siapapun." lanjutnya.

"iya. Abang bisa jaga rahasia, kok." ujarku lagi, sembari aku membaringkan tubuh di samping Jeff, yang sudah terbaring dari tadi di ranjang kecil itu.

Ranjang dalam kost Jeff memang cukup kecil, hingga saat kami berbaring bersama, tubuh kami sudah pasti berdempetan.

Malam itu karena gerah, aku dan Jeff memang sama-sama hanya memakai celana pendek, dan bertelanjang dada.

"gak jadilah, bang.." ucap Jeff tiba-tiba, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

"kenapa gak jadi?" tanyaku, keningku berkerut. Sejujurnya aku mulai penasaran, rahasia apa yang dimaksud Jeff.

"takutnya nanti kalau abang tahu, bang Dul justru akan menjauh dariku.." jawab Jeff, kali ini ia menatap lurus ke arah langit-langit kost.

"ya udah, gak apa-apa. Kalau kamu nya belum siap untuk cerita sekarang gak apa-apa.." balasku seadanya. Walau sebenarnya aku juga penasaran, tapi aku gak mungkin maksa Jeff untuk cerita.

Beberapa saat kemudian, kami pun mulai tertidur. Ini pertama kalinya aku sampai menginap di kost Jeff, karena selama ini aku selalu pulang sebelum jam dua belas.

Menjelang subuh aku terbangun, suasana sudah sangat dingin. Namun aku enggan mengambil baju atau pun selimut. Rasa kantukku, membuatku berusaha menahan rasa dingin itu.

Saat beberapa menit kemudian, dalam keadaan setengah tertidur, aku merasakan tangan Jeff melingkar di tubuhku. Posisiku saat itu, memang miring kearah Jeff.

Tubuhku dan Jeff bertautan. Aku merasa hangat, untuk itu aku membiarkannya.

Namun semakin lama, Jeff semakin erat memelukku. Tangannya bahkan aku rasakan mulai mengelus-elus punggungku. Untuk sesaat aku masih membiarkannya.

Sampai akhirnya aku merasakan hembusan napas Jeff begitu dekat dengan hidungku. Dengan cukup berat aku membuka mata, dan kulihat wajah Jeff sudah berjarak hampir satu centi dari mukaku.

Segera aku dorong tubuh Jeff ringan, lalu aku memutar tubuh membelakanginya. Rasa kantuk, tidak membuatku berpikir macam-macam. Mungkin saja, Jeff hanya sedang bermimpi.

Aku kembali memejamkan mata, dan menikmari rasa kantukku yang memang terasa berat subuh itu.

Apa lagi, biasanya setiap hari minggu, aku memang selalu bangun kesiangan.

Tapi tak lama kemudian, Jeff kembali mendekapku dari belakang. Kali ini aku meronta dan bersegera untuk duduk. Aku mulai merasa ada yang salah. Jeff tak mungkin melakukan hal itu tanpa sengaja.

Melihat aku yang tiba-tiba duduk, Jeff membuka matany, lalu menatapku dengan tatapan yang tidak aku pahami.

"kamu ngapain?" tanyaku akhirnya, nada suaraku cukup tinggi.

"aku ... aku .. aku hanya ingin .. memeluk abang..." jawab Jeff terbata, ia tak berani menentang tatapanku lagi.

"kamu suka sama saya?" tanyaku spontan, terus terang aku sendiri tidak tahu, mengapa aku harus mempertanyakan hal tersebut. Tapi aku memang butuh jawaban, mengapa Jeff tiba-tiba memelukku.

"itulah rahasia saya, bang. Saya seorang gay. Dan Saya suka sama abang..." Jeff berujar, ketika akhirnya ia ikut duduk.

Aku menatapnya setengah tak percaya. Namun jika kuingat-ingat lagi, kebersamaan kami selama ini, harus aku akui, kalau Jeff memperlakukanku selama ini memang cukup istimewa.

Perlakuannya padaku, jauh berbeda dari pada ia memperlakukan teman-teman kantor yang lain. Namun selama ini aku hanya menganggapnya hal biasa. Karena diantara teman-teman yang lain, aku boleh dibilang paling dekat dengan Jeff. Jadi rasanya wajar, kalau ia memperlakukanku beda.

Tapi sekarang...

"maafkan aku, bang..." ucap Jeff kemudian, setelah kami terdiam beberapa saat, "aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak bisa lagi memendam semua perasaan ini. Aku terlalu sayang sama abang. Cintaku pada abang terlalu besar, untuk bisa terus aku pendam." Jeff melanjutkan kalimatnya, lalu kemudian ia menarik napas panjang.

"sejak awal, aku tahu ini salah. Karena itu aku tidak pernah berani untuk mengungkapkannya. Namun lama kelamaan kita semakin dekat dan akrab, yang membuatku justru semakin mencintai abang. Perasaanku semakin besar kepada abang." suara Jeff mulai terdengar lirih.

"lebih dari setahun kita dekat, bang. Aku bahagia dengan semua itu. Tapi aku juga ingin, hubungan kita lebih dari sekedar sahabat. Karena aku benar-benar mencintai abang, walau aku tahu, abang bukan cowok seperti aku. Namun aku hanya berharap, abang mau memberikan aku kesempatan. Setidaknya beri aku kesempatan untuk membuktikan, kalau cintaku pada abang, bukanlah cinta biasa. Kalau aku akan selalu setia sama abang dan tidak akan pernah meninggalkan abang, seperti yang dilakukan cewek-cewek abang dulu...." ucap Jeff panjang lebar, yang membuatku terus terdiam.

Jeff memang baik. Dan jujur aku pun merasa nyaman, saat bersamanya. Tapi jika ia begitu menginginkanku, aku tidak akan merasakan kenyamanan itu lagi.

Aku masih terdiam, sambil mulai memakai pakaianku satu persatu. Aku memang tidak tahu harus berkata apa saat itu. Segala perasaan berkecamuk di otakku. Tiba-tiba aku merasa aneh.

"maafkan aku, bang..." lirih suara itu terdengar di telingaku, saat aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku mengabaikan permintaan maaf Jeff barusan, aku terus saja melangkah keluar dari kamar kost itu.

*****

Dulu, dulu sekali. Saat itu aku masih sangat remaja. Itu adalah hari pertama aku masuk SMP. Seorang senior cowok, melakukan pelecehan padaku secara kasar.

Itu adalah kejadian terpahit sepanjang perjalanan hidupku. Kejadian yang terus menghantuiku selama beberapa tahun.

Aku tak pernah menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Bahkan aku sendiri berusaha untuk melupakannya. Mencoba menganggap hal itu tidak pernah terjadi.

Aku mungkin telah berhasil melupakan hal tersebut. Namun kejadian malam itu bersama Jeff, telah mampu mengungkit kembali kenangan pahit itu. Kenangan yang sudah sekian tahun aku lupakan.

Dan aku membenci Jeff karena itu. Aku membenci Jeff, karena telah membuatku mengingat kembali kejadian menyakitkan itu.

Aku memutuskan untuk tidak lagi berhubungan apapun dengan Jeff, bahkan untuk bertegur sapa saja, aku sudah tak ingin.

Terus terang kami menjadi sangat canggung saat di kantor. Ada banyak hal berbeda yang terjadi.

Berkali-kali Jeff berusaha menghubungiku, namun aku selalu mengabaikannya.

Aku tidak membenci Jeff, karena ia seorang gay. Sama sekali tidak, itu tentang pilihan hidupnya.

Namun yang membuat aku risih, ia justru menaruh rasa suka padaku.

Tapi salahkah Jeff, bila ia jatuh cinta padaku?

Cinta memang sesuatu yang rumit. Terkadang sangat sulit untuk dipahami. Namun terkadang, justru semua hanya butuh kejujuran kepada diri sendiri.

Dan itu yang aku rasakan saat ini. Andai saja aku lebih jujur pada diriku sendiri, aku memang membutuhkan Jeff. Setidaknya sebagai sahabat.

Selama ini Jeff selalu ada untukku. Ia selalu siap menampung semua curhat dan ceritaku. Ia selalu saja punya alasan untuk membuatku selalu tersenyum.

Dan sejujurnya, aku merasa kehilangan. Hidupku terasa sepi dan begitu hampa.

Tidak bisa aku pungkiri, hampir setiap malam aku selalu memikirkan Jeff. Bukan saja tentang rasa cintanya padaku, tapi juga tentang sosok Jeff yang baik dan ramah.

Jeff orangnya cukup tampan, tubuhnya lumayan atletis. Kulitnya putih, bersih terawat. Secara fisik, Jeff memang cukup menarik.

Tapi...

Ahk, aku bingung.

Aku memang menyukai perempuan. Tapi bukan berarti aku benar-benar normal. Aku bisa saja punya kemungkinan menjadi seorang gay, mengingat aku pernah dilecehkan saat remaja oleh cowok.

Namun selama ini, setidaknya sebelum aku bertemu Jeff, aku memang selalu berfantasi tentang seorang perempuan. Dan aku bahkan sudah berkali-kali jatuh cinta dan pacaran dengan perempuan. Meski aku belum pernah melakukan hubungan intim dengan mereka.

Kejadian dengan Jeff malam itu, justru jadi sering menghantuiku. Yang membuat aku semakin sadar, kalau aku sebenarnya juga menyukai Jeff.

Namun saat aku menyadari semua itu. Jeff tiba-tiba menghilang.

Jeff tidak lagi bekerja di kantor seperti biasa. Tidak ada yang tahu, kenapa Jeff tiba-tiba berhenti bekerja. Dan tidak yang tahu juga kemana Jeff pergi. Kontak Jeff pun sudah tidak bisa dihubungi satupun. Termasuk media sosialnya.

Jeff benar-benar menghilang.

Aku yang selama ini cukup dekat dengan Jeff, juga tidak pernah tahu, dimana kampung halaman Jeff. Aku juga tidak tahu, seperti apa kehidupan Jeff, sebelum kami saling kenal.

Jeff yang menghilang tiba-tiba, membuat rasa bersalah menyelinap di hatiku. Biar bagaimanapun, aku tahu, Jeff pergi karena aku yang tak kunjung menegurnya.

Jeff pergi, karena kekecewaannya padaku.

Dan sekarang aku justru semakin merasa kehilangan.

************

Hari-hari terus berlalu, dengan perasaan bersalah yang terus menghantuiku. Aku masih terus mengingat Jeff. Bahkan aku sangat merindukannya.

Kini hari-hariku semakin terasa hampa. Aku kehilangan semangat.

Aku sudah berusaha, mencari tahu dimana Jeff berada saat ini. Tapi tidak ada satu info pun yang bisa menjelaskan dimana Jeff.

Aku hanya ingin Jeff tahu, bahwa aku juga mencintainya.

Namun aku mulai putus asa untuk menemukannya. Aku berusaha untuk tidak lagi memikirkannya.

Sudah setahun Jeff menghilang, aku tidak lagi terlalu memikirkannya. Hingga suatua saat...

"kamu Dul, kan?" sebuah suara mengagetkanku, saat aku sedang termenung sendirian di sebuah kafe.

Seorang laki-laki paroh baya, berdiri di hadapanku.

Aku mengangguk dengan sedikit mengerutkan kening. Mencoba menebak-nebak siapa laki-laki tersebut.

"boleh saya duduk?" tanya laki-laki itu lagi.

Karena penasaran, aku mempersilahkannya duduk.

"aku om Darto, dan aku pamannya Jeff. Bukan paman kandung, sih. Tapi aku dan Jeff cukup dekat..." jelas laki-laki itu, saat ia sudah duduk dihadapanku.

Mendengar nama Jeff, terus terang hatiku bergejolak.

"Jeff banyak cerita tentang kamu. Dia bahkan menyimpan poto-poto kamu di handphone-nya. Kamu gak usah kaget, aku tahu Jeff 'sakit' sudah sejak lama. Tapi aku selalu mendukungnya selama ini. Karena itu adalah pilihan hidup Jeff. Dan aku harus menghargainya..." laki-laki itu, om Darto, melanjutkan kalimatnya.

Begitu banyak yang ingin aku tanyakan pada om Darto, tentu saja semua tentang Jeff. Tapi entah mengapa bibirku rasanya kelu.

"Jeff sebenarnya sakit, Dul. Maksud saya, bukan sakit homo-nya. Tapi benar-benar sakit. Dia menderita kanker otak, sudah bertahun-tahun. Namun Jeff orangnya keras, dia tetap berusaha untuk hidup secara normal. Dia tidak ingin orang-orang merasa kasihan karena penyakitnya itu..." om Darto menghentikan ceritanya, saat seorang pelayan mengantarkan minuman yang tadi ia pesan.

Om Darto meneguk minumannya beberapa kali, lalu kemudian berujar lagi,

"semakin lama, penyakit Jeff semakin parah. Ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Ia harus dirawat di rumah sakit. Dan ia seharusnya di operasi. Namun Jeff selalu menolak untuk di operasi. Hingga kanker itu semakin menggerogoti otaknya. Dan Sebulan yang Jeff pun meninggal...."

Om Darto menarik napas dalam, wajahnya murung.

Aku bukan saja kaget, tapi juga syok, mendengar hal itu.

Bagaimana mungkin seorang Jeff terlihat begitu kuat, ternyata menyimpan penyakit yang begitu parah. Kenapa Jeff tak pernah cerita padaku?

Kenapa Jeff harus menutupi penyakitnya?

"Jeff tahu, umurnya tak lama, karena itu, ia dengan cukup berani mengungkapkan perasaannya padamu. Meski ia tahu, kamu laki-laki normal. Dan jeff menceritakan semua itu padaku, sebelum akhirnya ia meninggal..." om Darto melanjutkan ceritanya.

"ia menitipkan pesan padaku, untuk menyampaikan permintaan maafnya..." setelah berucap demikian, om Darto meneguk minuman terakhirnya. Lalu kemudian pamit.

Aku masih terpaku dalam diam. Hatiku yang tadinya sudah mulai mengikhlaskan kepergian Jeff. Tiba-tiba semakin terluka.

Kali ini bukan lagi karena Jeff yang menghilang tiba-tiba, tapi lebih karena aku akhirnya memang harus kehilangan Jeff untuk selama-lamanya.

Jeff pergi, tanpa ia tahu perasaanku yang sebenarnya padanya. Jeff pergi dengan meninggalkan rasa bersalah yang begitu besar padaku.

Ia pergi, padahal aku punya sejuta cinta untuknya disini....

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate