Kisah cinta gadis miskin (part 3)

"kamu kenapa sih, Nur?!" suara Yudhi terdengar cukup lantang di meja kasir, setelah akhirnya ia menerobos masuk, saat pelanggan sudah tidak terlalu ramai. Aku terkesiap, namun segera kutatap wajah Yudhi tajam.
"sudah seminggu kamu gak ngomong apa-apa. Kamu hanya diam dan murung. Kamu bahkan gak mau lagi aku antar pulang. Kamu marah sama aku? Atau kamu lagi ada masalah? Kamu cerita ya.." lanjut Yudhi dengan suara yang semakin pelan, melihat aku yang melotot menatapnya.


"tolong, Yud. Aku lagi kerja..." ucapku sangat pelan, memohon ia untuk segera keluar.
"tapi aku perlu bicara sama kamu, Nur. Aku mohon..." suara Yudhi memelas.
"aku lagi kerja, Yud. Aku gak mau dipecat, kalau pak Darman melihatku berbicara sama kamu saat sedang bekerja..." balasku.
"aku gak peduli. Aku hanya butuh penjelasan.." Yudhi berujar dengan sedikit sengit.
"kamu bisa gak peduli, Yud. Tapi kamu tahu, kalau aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Jadi aku mohon, kamu keluar sekarang.." kali ini aku memelas.
"aku akan keluar. Asal kamu janji, sepulang kerja nanti kita bicara..." Yudhi berkata dengan sedikit memohon.
Aku tak tega melihat wajah tampan milik Yudhi yang terlihat bersungguh-sungguh. Perlahan aku pun mengangguk.
Yudhi pun segera keluar dengan wajah penuh kemenangan.

"aku butuh penjelasan, Nur." ucap Yudhi, saat kami berjalan menuju gang tempat aku tinggal. Sebenarnya Yudhi mengajakku untuk mengobrol di sebuah kafe, namun segera aku menolaknya. Aku merasa enggan sebenarnya untuk berbicara dengan Yudhi saat ini. Rasa sakit yang aku rasakan karena kebohongannya, telah membuatku membencinya.
"aku yang seharusnya menuntut penjelasan sama kamu, Yud.." ucapku akhirnya, dengan nada sedikit ketus.
"maksud kamu?" kulihat Yudhi mengerutkan kening.
"oke! Aku akan ngomong, Yud." jawabku, aku menghentikan langkah.
"aku tahu, aku miskin. Tapi bukan berarti, kamu bisa membohongiku dengan seenaknya." suaraku bergetar menahan gejolak.
"membohongi kamu? kamu ngomong apa sih, Nur?"
"kamu gak usah berpura-pura lagi, Yud. Aku sudah tahu, siapa kamu sebenarnya. Aku tahu, kamu hanya berpura-pura jadi tukang parkir, kan? Aku tahu, kamu sebenarnya.... seorang yang kaya raya.." suaraku tiba-tiba terbata. Hatiku terlalu sakit bila mengingat itu semua.

Cukup lama Yudhi terdiam mendengar ucapanku. Ia seolah-olah terguncang, mukanya memerah. Mata kami bertemu pandang, namun Yudhi terlebih dulu menunduk.
"kamu tahu dari mana?" tanyanya, suaranya serak. Hatiku justru terasa makin sakit. Dengan bertanya demikian, itu artinya segala yang aku dengar dari gadis tak dikenal itu adalah benar. Sebenarnya aku sangat berharap Yudhi membantahnya, dan mengatakan kalau semua itu tidak benar. Tapi...
"itu tak penting, Yud. Dari siapa aku tahu, itu tidak penting. Yang jelas cerita itu benar, dan kamu telah membohongiku selama ini. Kamu telah merusak semua kepercayaanku. Aku kecewa sama kamu, Yud. Sangat kecewa. Aku ingin kamu pergi dari hidupku dan jangan pernah menemuiku lagi..." aku berkata sambil memutar tubuhku, hendak melangkah pergi. Sekuat mungkin aku menahan isakku.
"Nur. Tunggu!" Yudhi mencekal tanganku, "aku bisa jelaskan semua ini.."
"gak ada lagi yang ingin aku dengar dari kamu, Yud. Aku tidak tahu, entah bagian mana dari semua ceritamu yang masih bisa aku percaya.." kataku ketus, tanpa menoleh.
Yudhi memegang tanganku semakin erat, "aku mohon, Nur. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya. Setelah itu terserah kamu, mau menilai aku bagaimana.." suara Yudhi menghiba lagi.

Sebagian kecil hatiku tak tega mendengar suara penuh hiba itu. Tapi rasa sakit dihatiku segera meronta. Tanpa mengucap sekata pun, aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Yudhi, lalu melangkah dengan terburu meninggalkan Yudhi yang masih saja berusaha mengejarku.
"Nur! Dengarkan aku dulu!" suara Yudhi lantang, ia melangkah cepat mengikuti langkahku yang tergesa. "aku memang berbohong sama kamu, Nur. Tapi tidak tentang perasaanku padamu. Aku benar-benar mencintai kamu, Nur. Sebenarnya aku sudah berencana untuk menceritakan siapa aku sebenarnya sama kamu. Tapi aku takut, Nur. Aku takut kamu akan pergi setelah kamu tahu siapa aku..."
"sekarang semua sudah jelas, Yud. Apa pun caranya, aku memang harus pergi. Aku tak pantas buat kamu, dan yang paling penting aku tidak bisa terima semua kebohonganmu, apa pun alasannya!" aku berucap juga akhirnya, tanpa mengurangi laju langkahku.
"tapi aku mencintai kamu, Nur! Aku melakukan ini, hanya untuk memastikan bahwa kamu bisa menerima aku apa adanya...."
"maksud kamu?" kali ini aku menghentikan langkah, "kamu pikir aku sama dengan semua cewek yang pernah kamu dekati. Kamu pikir aku cewek matrealistis yang bakal tergila-gila dengan semua hartamu?" kataku tajam, mataku menghujam wajah merasa bersalah milik Yudhi. Tapi aku tak peduli, ucapan Yudhi barusan benar-benar telah membuatku tersinggung.

"justru itu, Nur. Kamu beda! Kamu membuatku telah menemukan arti cinta sejati. Arti cinta yang sesungguhnya. Aku menemukan ketulusan darimu, Nur." Yudhi memegang kedua lenganku, aku berusaha menepisnya. Namun Yudhi memegangnya sangat kuat.
"aku mohon, Nur. Jangan pergi. Aku sangat membutuhkanmu...." lanjutnya, pegangannya semakin erat.
"lepaskan aku, Yud.." aku meronta lagi. Saat ini rasanya kepercayaanku telah punah. Terutama untuk laki-laki seperti Yudhi. "biarkan aku pergi..."lanjutku sedikit memelas, tanganku terasa sakit.
Yudhi seperti tak tega melihatku yang hampir menangis, perlahan ia melepaskan tangannya. Segera aku memacu langkah kembali. Air mataku pun tumpah. Aku tak berani menoleh ke belakang. Namun aku tahu pasti, kalau Yudhi sudah tidak berusaha mengejarku.
Aku merasa lega, namun juga merasa sakit.

************

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan Bunda. Saat-saat seperti ini, aku begitu membutuhkannya. Air mataku mengalir tak henti. Hidupku terasa semakin berat, bahkan berlipat-lipat jauh lebih berat dari sebelum Yudhi hadir dalam hidupku.
Aku menghembuskan napas dan menghapus air mataku perlahan. Aku tak ingin berlarut-larut dalam kesedihanku. Apa yang telah Yudhi lakukan padaku, mungkin telah meninggalkan sebuah luka yang teramat dalam. Namun hidup akan terus bergulir. Aku percaya, bahwa waktu akan menyembuhkan semua luka. Rasa pahit itu telah mengajarkanku, untuk lebih kuat dan sabar.
Tidak mudah memang, tapi setidaknya aku akan berusaha menerima semuanya dengan lapang dada.

"kak, dua minggu lagi Lala sudah mulai ujian. Kata Bu guru, jika pembayaran sekolah belum lunas, Lala tidak bisa ikut ujian..." suara Lala mengagetkanku, ia masuk tanpa mengetuk pintu kamar. "ini ujian akhir sekolah lho, kak. Kalau Lala gak ikut ujian, Lala gak lulus..." lanjutnya dengan nada menghiba.
Hatiku semakin terhiris mendengar itu semua. Uang gajianku bulan ini, sudah kubayarkan untuk angsuran bank. Sisanya untuk belanja dapur. Aku hanya punya beberapa puluh ribu uang tersisa. Itu pun untuk pembayaran listrik bulan ini. Sebenarnya Lala sudah mengingatkanku sebulan yang lalu, namun banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Aku menghela napas lagi, "iya, La. Minggu besok kak Nur usahakan uangnya..." jawabku pelan.

Sekelebat bayangan senyum manis Yudhi melintas, biasanya dia yang akan menanggulangi keadaan darurat seperti ini. Dia selalu punya cara untuk bisa membantuku.
"aku gak bantu kamu, kok. Aku cuma mau bantu Lala dan Andi, adik-adik kamu itu..." ucap Yudhi beralasan, setiap kali aku berusaha menolak bantuannya.
"lagian apa salahnya sih, Nur. Kan kalau kita nikah nanti, aku juga ikut membiayai adik-adik kamu.." lanjutnya dengan pandangan menggoda. Spontan aku pun mencubit ringan lengannya.
Aku tersenyum kecut mengingat semua itu. Lalu dengan segera menepis segala bayangan yang justru terasa sakit saat aku mengingatnya.
Walau tak bisa aku pungkiri, jauh dari dasar hatiku, aku sangat membutuhkan Yudhi. Bukan saja karena aku mencintainya, tapi juga karena dia laki-laki yang baik.
Aku belum pernah pacaran sebelumnya, bahkan aku belum pernah begitu dekat dengan seorang laki-laki. Kehadiran Yudhi telah menumbuhkan kesan yang sangat dalam di hatiku.
Dan kini dia bukan siapa-siapaku lagi. Meski aku yakin, Yudhi belum menyerah. Dia pasti akan datang lagi. Kecuali jika sebenarnya ia tak benar-benar mencintaiku.

****

Bersambung ...

Kisah cinta gadis miskin (part 2)

"jadi gimana, Nur? Kamu sudah punya jawabannya?" tanya Yudhi, seminggu kemudian. Aku terdiam beberapa saat. Selama seminggu, aku memang telah memikirkan tentang keinginan Yudhi yang ingin menjalin hubungan yang serius denganku.
Meski ada sedikit keraguan, namun aku mencoba meyakinkan hatiku, jika Yudhi memang benar-benar serius denganku. Selama ini Yudhi selalu baik padaku dan juga kepada kedua adikku. Dia selalu punya cara untuk membuat aku tersenyum dan melupakan semua persoalan hidup yang harus aku hadapi setiap harinya.


"kamu yakin, Yud?" tanyaku akhirnya.
Yudhi mengangguk pelan, "ya. Saya sangat yakin..." ucapnya.
"saya hanya seorang cewek miskin dan tak punya apa-apa. Saya takut kamu akan menyesal pada akhirnya, Yud..." aku berkata sambil melirik kearah Yudhi yang berjalan tegap disampingku.
"saya justru menyukai segala kesederhanaanmu, Nur. Bagiku kamu spesial. Beda dengan cewek-cewek jaman sekarang, yang suka manja dan masih mengandalkan harta orangtua. Kamu cewek yang kuat..." Yudhi menghentikan langkah, aku turut berhenti disampingnya. Untuk sesaat kamu saling tatap.
"asal kamu mau berjanji untuk tidak akan membuat saya kecewa, saya mau, Yud.." aku berujar dengan suara bergetar.
Yudhi tersenyum, wajahnya memperlihatkan keceriaan.
"saya janji, saya gak bakal bikin kamu kecewa, Nur. Saya sangat mencintai kamu, dan saya akan berusaha untuk membuatmu selalu tersenyum..." ucapnya lembut.
Sejak saat itu, aku dan Yudhi semakin dekat. Kami saling menyayangi dan saling mencintai. Hubungan kami sungguh indah. Kehadiran Yudhi telah memberi warna tersendiri dalam hidupku. Aku merasa bahagia, hari-hariku terasa lebih indah. Yudhi semakin sering membantuku, terutama soal keuangan. Meski aku lebih sering menolaknya. Aku tak ingin terlalu melibatkan Yudhi dalam persoalan hidupku. Dengan hanya bisa menghibur dan memberikan aku motivasi, semua itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku mencintai Yudhi dan aku juga percaya kalau Yudhi juga benar-benar mencintaiku. Namun itu bukan alasan bagiku untuk membiarkannya mengorbankan apa saja untukku.

"kamu gak harus selalu membantuku, Yud..." ucapku suatu hari, saat kami makan disebuah warung dipinggir jalan. "aku gak ingin terlalu membebani kamu. Insya Allah aku masih mampu untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup kami.." lanjutku pelan.
"ya, aku tahu. Kamu wanita yang mandiri dan kuat. Tapi sebagai pacar, tidak ada salahnya aku mencoba membantu kamu, Nur. Aku hanya ingin melihat kamu selalu tersenyum. Aku tak ingin kamu terlalu larut dalam persoalan kehidupan ini..." balas Yudhi penuh perasaan.
"tapi aku merasa gak enak, Yud. Sebagian besar uang hasil kerja kamu, justru kamu habiskan untuk membantuku. Kamu kan juga punya kebutuhan, kamu juga punya keluarga.."
"selagi aku mampu, aku pasti bantu kamu, Nur. Bukankah itu salah satu makna dari sebuah hubungan, untuk saling menguatkan dan saling membantu.."
"tapi selama ini, justru aku gak pernah bantu kamu apa-apa. Kamu yang selalu berkorban untukku.."
"dengan hanya melihat kamu tersenyum, kamu sudah membantuku untuk menikmati hari-hari yang indah.." ucap Yudhi terdengar meyakinkan.
Aku hanya tersenyum tersipu.

************
Berbulan-bulan hubungan kami berjalan dengan indah. Hingga suatu hari...
Saat itu, aku sedang berjalan sendirian, untuk pergi berbelanja beberapa kebutuhan dapur, ke pasar yang berada tidak terlalu jauh dari rumah tempat kami tinggal.
Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, seorang gadis dengan pakaian yang seksi menghampiriku.
"kamu Nur, kan?" tanya gadis itu, terdengar sedikit kasar.
Aku mengangguk pelan, menatap gadis itu dengan penuh tanya.
"kamu siapa?" tanyaku.
"siapa aku itu tidak terlalu penting. Yang harus kamu tahu, siapa Yudhi sebenarnya..." gadis itu menatapku tajam.
"maksud kamu apa?"
"kamu harus tahu siapa Yudhi sebenarnya. Yudhi gak seperti yang kamu lihat. Dia bukan tukang parkir, sepeti yang kamu tahu.." ucap gadis yang memang berparas cantik itu.
Aku semakin penasaran. Namun aku hanya terdiam.

"sebenarnya Yudhi adalah seorang anak pengusaha kaya. Dia hanya berpura-pura miskin. Saya gak tahu pasti, kenapa ia harus melakukan itu. Tapi yang pasti ia sudah membohongi kamu selama ini, dengan berpura-pura menjadi tukang parkir. Padahal ia sebenarnya anak orang kaya. Anak tunggal dari seorang pengusaha yang sangat sukses." ucapan gadis itu, benar-benar membuatku kaget dan tak percaya.
"kamu boleh tidak percaya dengan ucapanku. Tapi aku bisa membuktikannya.." gadis itu berucap lagi. Ia mengambil handphone dari dalam tas yang terselempang di bahunya. Membuka handphone itu, lalu memperlihatkan beberapa buah gambar padaku.

Di dalam handphone gadis itu, terdapat beberapa buah gambar Yudhi yang sedang berada di rumah yang sangat mewah, juga ada gambar Yudhi yang sedang berada di dalam mobil mewah. Gambar-gambar Yudhi yang sedang berada di tempat liburan, bahkan ada yang di luar negeri.
Semula aku mencoba untuk tidak percaya, namun gadis itu juga memperlihatkan sebuah video singkat, dimana Yudhi sedang bersama keluarga dan teman-temannya di sebuah pesta ulang tahun.
Aku terkesima melihat itu semua. Setengah tak percaya, aku membekap mulutku sendiri, menahan rasa sakit yang tiba-tiba mengoyak hatiku.
Kenapa Yudhi membohongiku? Untuk apa ia melakukan semua itu? Berbagai pertanyaan bermunculan di benakku. Tapi aku berusaha untuk terlihat tidak terlalu kaget, terutama karena gadis yang tidak aku kenal itu masih berdiri menatapku dengan senyum sinis.

"lalu apa maksud kamu memperlihatkan ini semua padaku..?" tanyaku kemudian dengan suara serak, setelah dengan susah payah menahan air mataku agar jangan tumpah saat itu juga.
"yah, seperti yang saya katakan, saya merasa kasihan sama kamu. Kamu gadis miskin yang dengan begitu mudahnya dibohongi. Walau sebenarnya, itu semua sudah tidak penting lagi bagi kamu. Karena yang terpenting sekarang, kamu harus sadar diri. Yudhi sangat tidak pantas untuk gadis miskin seperti kamu..." jawab gadis itu dengan nada mengejek.

Aku terdiam menahan hatiku yang terhiris. Bukan karena ucapan gadis itu yang telah dengan sengaja menghinaku. Jelas bukan karena itu, aku sudah terlalu terbiasa mendengar penghinaan seperti itu. Namun aku merasa sangat sakit, karena merasa sudah dibohongi selama ini oleh Yudhi. Padahal aku sudah terlanjur percaya padanya. Dan yang paling menyakitkan dari itu semua, aku sudah terlanjur mencintainya. Aku sudah terlanjur memberikan seluruh hatiku padanya.
Tiba-tiba saja semua perasaan cinta itu berubah menjadi sebuah kebencian. Aku akhirnya meneteskan air mataku. Aku tak sanggup lagi menahannya. Setelah tentu saja, gadis itu pergi berlalu meninggalkanku sendiri.
Langkahku gontai menuju rumah. Air mataku mengalir begitu saja tanpa bisa aku bendung. Rasanya sangat sakit. Aku yang sudah terlanjur berharap banyak pada Yudhi. Tapi akhirnya harus menelan kekecewaan. Dan hal ini yang aku takutkan dari awal. Meski tentu saja, aku tak pernah menduga, justru aku kecewa oleh hal yang terasa sangat rumit.

Yudhi membohongiku! Tapi untuk apa? tanyaku membathin. Setelah aku berada di dalam kamar sendirian. Adik-adikku sudah berangkat sekolah. Untunglah hari ini aku masuk kerja siang, hingga aku masih punya waktu untuk meratapi kepedihanku.
Memikirkan alasan apa yang paling mungkin, untuk membuat Yudhi berbohong padaku.
Selama ini ia sangat baik dan terlihat sangat jujur. Bagaimana mungkin seorang Yudhi, yang sudah aku kenal lebih dari setahun itu, bisa menutupi semua tentang dirinya yang sebenarnya.
Dia selalu bekerja jadi tukang parkir, hampir setiap harinya. Tidak ada sedikit kemungkinan pun yang bisa memperlihatkan kalau ternyata Yudhi adalah anak orang kaya.

Lalu untuk apa Yudhi berbohong dan harus berpura-pura menjadi seorang tukang parkir? Pertanyaan itu muncul lagi di benakku. Aku benar-benar dibuat tidak mengerti.
Namun apa pun alasannya, perbuatan Yudhi padaku benar-benar tidak bisa diterima. Aku merasa dipermainkan. Hatiku tergores sangat sakit. Aku benci laki-laki itu!

*********

Bersambung ...

Kisah cinta gadis miskin

Aku menelan ludah pahit. Kerongkonganku serasa kering. Ucapan terakhir Bunda masih terngiang jelas di telingaku. Aku memejamkan mata sambil menarik napas panjang.
"bunda ingin kamu menjaga adik-adikmu dengan baik, Nur. Merawat mereka... Maafkan Bunda, ya. Bunda belum bisa menjadi Ibu yang baik untuk kalian..."
Setelah berucap demikian, mata Bunda pun terpejam. Perlahan nafasnya mulai melambat. Tak lama kemudian, aku pun menjerit, melepaskan kepergian Bunda untuk selama-lamanya.
Kupeluk kedua adikku, yang ikut terisak. Mereka mungkin belum begitu paham, apa yang terjadi. Namun melihat aku yang histeris, mereka juga ikut menangis.
Kaum kerabat dan para tetangga, mulai menenangkanku.
Ini bukan pertama kalinya aku harus kehilangan orang yang aku sayang. Enam tahun yang lalu, ayahku juga telah meninggal dunia. Beliau meninggal karena mengalami kecelakaan di tempat kerja.
Sejak saat itu, otomatis Bunda menjadi satu-satunya tempat tumpuan kami adik beradik.
Bunda yang hanya seorang penjahit, berusaha keras untuk bisa membiayai hidup kami sekeluarga.

Sebagai anak sulung, tentu saja, aku harus ikut banting tulang membantu Bunda. Sepulang sekolah, aku harus ikut membantu Bunda, menjahit beberapa pakaian. Pesanan jahitan Bunda memang tidak seberapa, namun Bunda masih mampu menyekolahkanku hingga lulus SMA.
Dua adikku masih kecil. Adik laki-laki ku, sekarang sudah kelas dua SMP, sedangkan adik bungsu perempuanku sekarang sudah kelas lima SD.
Setelah kepergian Bunda, tentu saja mereka sekarang menjadi tanggungjawabku.
Aku sekarang bekerja menjadi seorang kasir, di sebuah mini market. Upah yang kuperoleh tidaklah seberapa. Sementara adik-adikku masih butuh biaya besar, terutama untuk sekolah mereka.

Sudah dua bulan semenjak Bunda pergi. Aku mulai merasa beban ini semakin berat. Tidak ada warisan apa pun yang Bunda atau pun Ayahku tinggalkan, kecuali sebuah rumah kecil.
Di rumah kecil inilah kami tinggal dan tumbuh. Ayah membelinya secara kredit, sejak mereka baru setahun menikah. Dan Alhamdulillah, dua tahun yang lalu, rumah ini sudah lunas dan sudah resmi menjadi milik kami.
Namun untuk bertahan hidup dan juga untuk biaya sekolah adik-adikku, aku harus bekerja keras.
Sebagai seorang perempuan dan juga hanya lulusan SMA, tentu saja tidak banyak hal yang bisa aku lakukan. Bekerja di mini market, tidaklah cukup untuk biaya hidup kami. ditambah lagi, saat Bunda sakit, kami sempat meminjam uang pada pihak Bank, dengan menggadaikan surat tanah kami. Sekarang, aku harus membayar angsuran pinjaman setiap bulan.

"kak, baju putih saya sudah lusuh. Bajunya juga sudah kekecilan. Ini kan baju yang Bunda beli saat saya masih kelas satu..." ucap Lala, adik bungsuku.
"saya juga kak, sepatu saya sudah tidak bisa lagi dipakai, karena sudah bolong-bolong..." Andi, adik laki-lakiku ikut menimpali. Yang membuatku semakin getir.
"sabar ya, dik. Nanti jika kakak udah punya uang lebih, pasti kakak belikan, ya. Sekarang kalian pakai aja apa yang ada. Kalian juga harus ngerti, sekarang kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kakak hanya berusaha sendiri, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.." balasku, dengan suara yang tertekan.
Mendengar hal itu, kedua adikku hanya terdiam. Sebenarnya aku sangat kasihan melihat mereka, namun hingga saat ini, aku belum bisa berbuat apa-apa.
Mereka berdua sekarang adalah tanggungjawabku, sesuai dengan pesan terakhir Bunda.

*********

Waktu terus berlalu, dengan kehidupan kami yang masih saja sama.
"saya mau berhenti sekolah saja, kak Nur. Saya mau bantu kakak cari uang.." ucap Andi, adik laki-lakiku, suatu hari.
Aku terhenyak mendengarkannya. Aku tahu, alasan Andi untuk berhenti sekolah, bukan sekedar karena ingin membantuku. Namun karena ia merasa malu, harus pergi ke sekolah dengan memakai sepatu yang sudah tidak layak pakai lagi. Andi mungkin juga tidak tahan, karena setiap hari harus menahan diri untuk tidak jajan. Aku memang tidak punya uang yang cukup untuk memberi jajan kedua adikku.
Mereka ke sekolah hanya membawa bekal ala kadarnya dari rumah, dan tentu saja mereka akan mendapat cibiran dari teman-teman sekolahnya.

"maafkan kak Nur ya, Ndi. Kak Nur tahu apa yang kamu rasakan. Tapi kamu harus sabar. Kamu harus kuat, apa lagi kamu seorang laki-laki. Kamu belajar aja yang rajin, biar nanti bisa jadi orang sukses.." aku berbicara dengan lembut, berusaha membuat Andi mengerti.
"tapi Andi malu, kak..." ucap Andi lagi, dengan wajah murung.
"kamu gak usah malu. Yang penting kita gak minta-minta. Jangan terlalu kamu pikirkan ucapan teman-teman kamu. Suatu saat mereka pasti bakal ngerti, kok..."
"terkadang mereka juga keterlaluan, kak. Andi gak sanggup lagi..."
Aku menahan napas, kemudian menghembuskannya dengan berat. Aku tahu, betapa beratnya ini semua bagi adik-adikku. Terutama bagi Andi, ia sudah tumbuh remaja.
Rasanya aku ingin menjerit mengingat itu semua.
"kita harus sabar. Kita tidak boleh menyerah. Perbanyaklah berdo'a dan jangan pernah kamu tinggalkan sholat, ya.." ucapku akhirnya, lebih kepada diriku sendiri.

"kalian harus saling jaga, saling menguatkan.." kata-kata Bunda terngiang lagi. "jangan pernah berhenti berdo'a. Dan yakinlah, bahwa kelak, do'a-do'a kalian akan dikabulkan..."
Aku meneteskan air mata lagi. Rasa kangenku kepada Bunda, benar-benar sudah tidak bisa aku bendung. Ingin rasanya aku mengadukan ini semua kepada Bunda, bercerita padanya. Aku rindu belaian lembut bunda, rindu ingin bersandar dibahunya.
Segera kutarik napas, kemudian mengambil wudhu'. Disaat-saat seperti ini, aku hanya bisa berdo'a. Meratap dalam sujud.

***************

Setahun lebih kepergian Bunda. Aku berkenalan dengan seorang pemuda, namanya Yudhi Burnama. Dia laki-laki yang baik. Kami berkenalan, karena Yudhi adalah seorang tukang parkir baru di mini market tempat aku bekerja. Yudhi tiga tahun lebih tua dariku, saat ini usianya sudah 23 tahun.
Berawal dari kenalan, kemudian sering ngobrol, membuat kami semakin dekat.
Aku merasa nyaman bersama Yudhi. Aku menyukai sosok Yudhi, bukan hanya karena wajahnya yang tampan. Aku menyukai keterbukaannya padaku, sikapnya yang ramah dan sangat baik.
Namun tentu saja, aku tidak berani berharap lebih padanya.
Aku takut, harapanku justru akan membuatku terluka. Meski tidak bisa aku pungkiri, ada getar-getar aneh saat aku bersamanya.

Menurut cerita Yudhi, ia pernah pacaran beberapa kali, namun hubungan cintanya selalu kandas.
"susah mencari perempuan yang benar-benar bisa menerima saya apa adanya. Saat mereka tahu, keadaan saya seperti ini, mereka pun mundur dan menjauh..." ucap Yudhi, saat kutanyakan alasan apa yang membuat hubungannya selalu kandas.
"kamu sendiri gimana?" tanya Yudhi melanjutkan.
"gimana apanya?" tanyaku balik. Aku meneguk minuman dingin yang kami beli di warung tadi. Kami berjalan beriringan di sebuah gang menuju rumahku, saat itu kami baru saja pulang kerja. Seperti biasa Yudhi berniat hendak mengantarku pulang.
Yudhi sangat baik padaku dan juga adik-adikku. Ia sering membelikan adik-adikku beberapa jajanan. Meski ia hanya seorang tukang parkir, namun Yudhi sangat menikmati hidupnya.
Saya tidak tahu pasti latar belakang keluarga Yudhi. Ia tidak terlalu terbuka tentang keluarganya padaku. Namun hal itu tidaklah begitu penting bagiku. Yudhi mungkin punya alasan sendiri, untuk sedikit menutupi tentang keluarganya.

"kamu pernah pacaran?" tanya Yudhi memperjelas pertanyaannya padaku.
Aku terdiam sesaat, lalu menghela napas.
"saya belum pernah pacaran..." jawabku jujur, "dengan kondisi kehidupan saya seperti ini, pacaran bukanlah merupakan suatu prioritas bagiku..." lanjutku.
Yudhi menyunggingkan senyum tipis, yang aku sendiri tidak tahu apa maksudnya.
"kamu cantik, baik dan juga seorang gadis yang mandiri. Pasti banyak laki-laki yang ingin dekat sama kamu.." ucap Yudhi kemudian, yang membuatku sedikit tersipu.
"gak juga, kok. Seperti katamu, susah nyari orang yang benar-benar bisa menerima kita apa adanya. Tidak ada laki-laki yang mau dekat dengan cewek miskin seperti saya..."
"siapa bilang? Ada, kok. Misalnya saya...?" potong Yudhi menyela ucapanku.
"bedalah..." balasku sekenanya.
"beda apanya? Saya kan juga seorang laki-laki. Saya mau kok dekat sama kamu. Merasa sangat senang malah, bisa dekat dengan gadis secantik kamu.." Yudhi berujar, sambil memainkan bola matanya melirikku.
"ah, kamu bisa aja..." ucapku, kali ini benar-benar tersipu. Aku yakin, mukaku memerah saat itu.

*************

Kedekatanku dengan Yudhi, telah menumbuhkan rasa indah yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Hingga akhirnya Yudhi-pun memintaku untuk menjadi pacarnya.
"aku belum bisa jawab sekarang, Yud.." ucapku bergetar.
"kenapa?"
"saya butuh waktu, Yud. Seperti yang pernah saya katakan, pacaran bukanlah hal utama bagiku saat ini...." jawabku.
"oke. Gak apa-apa, kok. Saya akan tunggu sampai kamu benar-benar siap. Tapi kita tetap bisa bertemankan?"
Aku spontan mengangguk. Biar bagaimana pun, Yudhi adalah sosok cowok yang baik. Aku memang menyukainya. Namun untuk menjalin hubungan yang lebih serius, aku merasa takut untuk memulainya. Aku takut, Yudhi tak benar-benar bisa menerima segala kekuranganku. Walaupun sebagian besar, Yudhi sudah tahu, bagaimana kisah kehidupanku. Tapi tetap saja, aku merasa belum siap.

****

Bersambung ...

Islam-kan saya karena Allah ....

Nama saya Baskoro, orang-orang biasa memanggil saya Bas.
Saya adalah seorang penganut Katholik. Saya seorang Katholik karena kedua orang tua dan seluruh keluarga saya merupakan penganut Katholik secara turun temurun.
Namun kedua orang tua saya bukanlah Katholik yang taat, mereka jarang sekali beribadah seperti penganut Katholik pada umumnya.
Mereka juga orang-orang yang modern, dimana agama bukan lagi menjadi tolak ukur dalam kehidupan.
Mereka tidak pernah memberatkan kami, anak-anaknya, dalam hal beribadah.
Jadi saya pun tumbuh dengan tidak begitu mengenal agama. Saat kecil dulu, ayah dan ibu, sering mengajak saya untuk datang ke gereja setiap minggu. Namun setelah menjadi dewasa, saya hampir tak pernah lagi datang ke gereja.


Saya lulus kuliah saat masih berusia sekitar 23 tahun. Mengambil jurusan pendidikan, membuat saya akhirnya menjadi seorang guru.
Pada suatu waktu saya mencoba mengikuti tes CPNS yang diselenggarakan secara umum oleh pemerintah. Saya pun lulus dengan hasil memuaskan.
Singkat cerita, saya pun akhirnya ditugaskan disebuah desa yang cukup jauh dari kota. Saya ditugaskan menjadi seorang guru SD di sana.
Awalnya kehadiran saya di desa itu, tidak bisa diterima dengan baik oleh penduduk disana, karena saya yang seorang Katholik. Penduduk desa tersebut seratus persen menganut agama Islam. Mereka orang-orang yang taat.
Kehadiran saya, yang non muslim, benar-benar sesuatu yang baru bagi mereka.
Mereka tidak terima, jika saya harus mengajarkan anak-anak mereka di sekolah. Mereka takut saya akan mengajarkan sesuatu yang diluar agama mereka, kepada anak-anak mereka.
Namun dengan drama yang cukup panjang, dan tentu saja penjelasan yang panjang lebar dari kepala desa dan juga orang-orang yang berpendidikan disana, akhirnya mereka bisa mengerti dan menerima kehadiran saya. Meski tentu saja tidak sepenuh hati, dan tidak semua masyarakat bisa menerima semua penjelasan tersebut.

Sebagai seorang guru dari luar daerah, saya memang diharuskan tinggal dan menetap disana. Sebuah perumahan guru tersedia disana. Saya tinggal di salah satu perumahan guru tersebut. Selain saya, ada empat orang guru lainnya yang tinggal disana, mereka juga berasal dari daerah lain. Mereka sudah menetap disana selama bertahun-tahun. Mereka juga telah berkeluarga. Selain itu, ada tiga orang guru lagi yang merupakan penduduk setempat.
Secara ekonomi, kehidupan penduduk disana, cukup sejahtera. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Karena memang desa tersebut berada tidak jauh dari sungai. Sebagian lagi ada yang menjadi petani dan bekerja di kebun-kebun sawit milik para pengusaha.
Masyarakat disana sangat taat beragama, banyak kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan untuk memperingati hari-hari besar Islam.

Disana terdapat sebuah mesjid yang cukup megah. Mesjid tersebut selalu ramai setiap harinya, terutama pada hari jum'at.
Pada hari jum'at, biasanya semua penduduk meliburkan diri dari bekerja. Kecuali bagi mereka yang bekerja di pemerintahan, termasuk guru tentunya.
Bagi mereka, hari jum'at adalah hari dimana mereka bisa berkumpul dengan keluarga dan bercengkerama dengan tetangga dan sanak saudara.
Selain itu, biasanya mereka pada hari jum'at, melaksanakan kegiatan semacam majelis ta'lim. Dimana setiap jum'at-nya secara bergiliran, mereka berkumpul di salah satu rumah penduduk, untuk membaca surat yasin bersama dan melakukan kegiatan ibadah ringan lainnya.
Kegiatan rutin ini terbagi dalam tiga kelompok, yakni ada kelompok wirid yasin remaja putri, ada kelompok wirid yasin ibu-ibu dan ada juga kelompok wirid yasin pemuda dan bapak-bapak.
Kegiatan-kegiatan seperti itu memang sangat sering mereka lakukan.

Hampir setahun tinggal disana, saya mulai mengenal beberapa orang, terutama rekan-rekan guru. Saya mulai hafal rutinitas kegiatan masyarakat disana. Mengenal beberapa orang penduduk disana dan juga para pemuda dan pemudinya.
Saya sering ikut kegiatan pemuda disana, karena memang usia saya masih tergolong muda.
Meskipun kegiatan pemuda disana lebih sering dilakukan di Mesjid, saya tetap mencoba berbaur dengan mereka.
Dari situlah saya akhirnya berkenalan dengan seorang gadis, yang dua tahun lebih muda dari saya. Dia gadis yang cantik, namanya Aisyah, anak salah seorang tokoh agama yang cukup disegani. Aisyah lulusan sebuah pesantren, namun ia tidak kuliah. Karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan dan juga Aisyah lebih memilih untuk merawat kedua orangtuanya yang memang sudah tua, serta untuk mengabdikan diri ke masyarakat, dalam mengajarkan ilmu agama melalui kegiatan majelis ta'lim.

Mengenal Aisyah, membuat saya seperti menemukan hal baru dalam hidup. Gadis yang selalu berhijab itu, telah mampu mengetuk pintu hati saya. Sikapnya yang sopan, ramah dan pintar, menumbuhkan rasa kagum saya yang besar padanya.
Namun Aisyah sendiri selalu menjaga jarak dengan saya. Saya tahu, itu semua karena latar belakang kepercayaan kami yang berbeda.
Sebagai satu-satunya orang yang berbeda agama disana, tentu saja, tindakan yang bisa saya lakukan sangat terbatas. Saat berkumpul pun, saya lebih memilih untuk banyak diam. Karena pembicaraan mereka yang lebih sering membahas soal agama mereka.
Meski sebenarnya, sebagian besar dari mereka, lebih terbuka menerima kehadiran saya disana. Karena selama tinggal disana, sikap saya cukup baik terhadap mereka.
Mereka juga memperlakukan saya dengan cukup baik.

**********

Dua tahun saya berada disana, saya belajar banyak hal. Terutama tentang Islam. Saya jarang sekali pulang ke kota, karena saya merasa sangat nyaman berada di desa tersebut.
Orang tua saya tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Seperti yang pernah saya ceritakan, orang tua saya telah memberikan kebebasan penuh kepada saya, untuk memilih jalan hidup saya sendiri.
Lagi pula, di kota, masih ada adik dan kakak saya yang tinggal dan bekerja disana.
Adik laki-laki saya, masih kuliah, dia masih tinggal bersama orang tua kami.
Kakak saya yang perempuan, sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah orang tua kami.
Sementara kakak sulung saya, laki-laki, juga sudah menikah dan bekerja disebuah perusahaan.
Jadi Ayah dan Ibu saya, tidak terlalu mempersoalkan, jika pun saya sampai berbulan-bulan tak pulang.

Dua tahun berada di desa tersebut dan mengenal Aisyah, perlahan telah membuka hati saya untuk mengenal Islam lebih dalam. Diam-diam, saya mencoba mendatangi seorang ustadz yang berada di desa tersebut. Namanya ustadz Salman, beliau merupakan salah seorang ustadz yang senior di desa tersebut, usianya sudah hampir enam puluh tahun. Namun beliau masih terlihat segar dan energik. Ilmu agamanya sudah tidak diragukan lagi.
Saya mendatangi beliau, mencoba bertanya-tanya tentang Islam lebih dalam.
Saya pun membeli dan membaca beberapa buah buku tentang Islam.
Sampai akhirnya, hati saya merasa terbuka, untuk menerima Islam sebagai agama yang benar.
Ajaran Islam terasa sangat masuk akal bagi saya.
Apa lagi selama ini, saya sering ngobrol dengan Aisyah, meski hanya melalui telepon genggam. Aisyah banyak mengajarkan saya tentang nilai-nilai kebaikan dalam ajaran Islam.
Kedekatan saya dengan Aisyah semakin membuka hati dan pikiran saya.
Kecerdasan Aisyah dalam menyampaikan ilmu-ilmu Islam mampu membuat saya terkagum-kagum.
Dan sejujurnya harus saya akui, kalau Aisyah telah mampu mencuri hati saya. Aisyah telah benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya.

Tak sanggup memendam semua perasaan cinta tersebut, saya pun dengan cukup berani mengungkapkannya kepada Aisyah.
"maaf, Bang. Dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran atau pun cinta-cintaan. Kami hanya mengenal istilah taaruf..." ucap Aisyah dari telepon genggamnya. Setelah dengan susah payah saya mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan perasaan saya.
"taaruf? apa itu?" tanya saya penasaran.
"taaruf itu, semacam kegiatan perkenalan diri dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan juga sebaliknya. Taaruf harus dilakukan di dalam rumah, dan harus di depan kedua orang tua atau pun keluarga." jelas Aisyah.
Saya terdiam, mencoba memahami hal tersebut.
"nanti jika kedua belah pihak sudah saling kenal dan saling suka, baru lah lamaran bisa dilakukan. Jadi gak ada yang namanya pacaran..." lanjut Aisyah lagi.

Saya tidak terlalu mengerti dengan apa yang Aisyah jelaskan barusan. Saya hanya menyimpulkan, bahwa jika saya memang mencintai Aisyah, saya harus segera melamarnya.
Namun bagaimana mungkin saya bisa melamar Aisyah. Sementara saya bukan seorang muslim. Sudah jelas saya akan ditolak mentah-mentah oleh keluarga Aisyah.
Sekalipun Aisyah juga mencintai saya, dia jelas tidak akan bisa menerima kehadiran saya yang bukan seorang Islam.
Menyadari hal tersebut, saya pun lebih mendalami Islam. Belajar lebih banyak, baik dari Ustadz maupun dari Aisyah sendiri, dan juga dari buku-buku yang sengaja saya beli.
Sampai akhirnya, saya pun memutuskan untuk memeluk Islam secara utuh.
Saya menyampaikan niat tersebut kepada kedua orang tua saya dan keluarga saya, mereka tidak keberatan dan mengizinkan saya untuk melakukan apa yang terbaik buat saya.

Saya pun segera menemui ustadz Salman, ustadz yang selama ini mengajarkan saya tentang Islam, untuk memintanya membantu saya memeluk agama Islam.
Tentu saja dengan senang hati ustadz Salman bersedia untuk membantu dan meng-Islam-kan saya. Hal ini pun saya ceritakan kepada Aisyah, sebagai salah satu bukti keseriusan saya padanya.

******
Bersambung ...

Islam-kan saya karena Allah (Part 2)

Setelah masuk Islam, saya merasa lebih tenang, sebuah ketenangan yang selama ini belum pernah saya rasakan. Saya merasa lebih percaya diri, terutama dalam pergaulan saya dengan masyarakat. Saya semakin rutin mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan, pengajian-pengajian dan juga majelis ta'lim. Saya rutin melaksanakan sholat lima waktu di mesjid. Masyarakat desa sangat terbuka menerima saya sebagai seorang muslim yang baru. Saya semakin mengenal Islam lebih baik.
Apa lagi dengan terang-terangan, Aisyah mendukung dan memberikan motivasi kepada saya. Kami semakin sering ngobrol, meski tentu saja hanya lewat telepon genggam.
Kami jarang bertemu, kecuali ada kegiatan-kegiatan pemuda di desa tersebut. Namun hal tersebut tidak mengurangi rasa cinta saya pada Aisyah, meski Aisyah sendiri tidak pernah benar-benar terbuka dengan perasaannya.


Setelah hampir enam bulan menjadi seorang mu'alaf, akhirnya saya memberanikan diri untuk datang menemui kedua orang tua Aisyah. Saya memberanikan diri untuk menyatakan keinginan saya, untuk melamar Aisyah, kepada orang tua Aisyah.
Mereka cukup kaget mendengar hal tersebut, namun mereka tak segera menjawab. Mereka meminta waktu kepada saya selama beberapa hari, untuk bisa memberikan jawaban.
Saya pun memakluminya dan segera mohon izin pulang.
Setelah beberapa hari kemudian, orang tua Aisyah pun meminta saya untuk datang kerumahnya. Saya pun dengan sedikit tak sabar segera menuju kesana. Saya hanya ingin tahu jawaban dari mereka.
"maaf, nak Bas.." begitu awalnya sang ayah memulai pembicaraan, setelah saya dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Disana hanya ada saya, ayah dan ibunya Aisyah.
"kami tahu, niat nak Bas baik. Namun kami harus berterus terang mengenai hal ini. Sebenarnya, Aisyah telah lama kami jodohkan dengan ustadz Lukman. Tentu saja atas permintaan dari ayah ustadz Lukman." lanjut sang ayah.
Saya pun tertunduk lesuh mendengar hal tersebut. Saya terhenyak!

Saya tahu ustadz Lukman. Dia anak dari kepala desa. Seorang sarjana agama lulusan dari Mesir. Ilmu agamanya sangat tinggi, orangnya juga shaleh dan taat. Selain tentu saja, ia memiliki kebun sawit yang sangat luas, warisan dari orang tuanya yang memang cukup kaya.
Ustadz Lukman sosok yang ramah, baik dan rajin beribadah. Beliau sering memberi pengajian-pengajian di mesjid, bahkan sampai keluar desa.
Dibandingkan dengan saya, tentu saja Ustadz Lukman jauh lebih baik, bahkan dalam segala hal.
Saya yang baru saja memeluk Islam, tidak ada apa-apanya jika harus dibandingkan dengan ustadz Lukman yang sejak kecil memang sudah di didik tentang Islam, bahkan hingga kuliah ke Mesir.
Setelah merasa sedikit tenang, karena syok menyadari hal tersebut, saya pun pamit pulang.
Disepanjang jalan pulang, saya hanya menggerutu tak jelas. Saya sangat terpukul mendengar semua itu. Saya sangat mencintai Aisyah. Dan berharap bisa memilikinya.
Namun semua harapan saya hancur berantakan.
Saya merasa perjuangan dan usaha saya selama ini sia-sia, saya merasa putus asa. Saya telah berjuang begitu lama, untuk bisa mendapatkan Aisyah. Saya belajar Islam dan bahkan sampai memeluk Islam, hanya demi bisa mewujudkan mimpi saya tentang Aisyah.
Namun semuanya hanya sia-sia belaka.

"tidak ada yang sia-sia, nak Bas..." begitu ucap ustadz Salman, ketika akhirnya saya menceritakan hal tersebut padanya.
"semua tergantung dari segi mana kamu menilainya. Pertanyaannya adalah, apakah niat kamu untuk masuk Islam adalah murni dari hati nuranimu? Apakah kamu masuk Islam karena kamu benar-benar telah jatuh cinta pada Islam itu sendiri? Apakah kamu memeluk Islam hanya karena Allah semata? Atau justru kamu masuk Islam hanya karena kamu ingin menjadi suami dari Aisyah?" lanjutnya lagi.
Saya terdiam mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya membuat saya akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam.
"jika kamu masuk Islam karena Allah, maka kamu akan ikhlas menerima segala ketentuan Allah yang berlaku terhadapmu. Namun jika niatmu masuk Islam hanya karena kecintaanmu kepada ciptaan-Nya, saran saya, sebaiknya kamu perbaiki lagi niatmu itu..." ustadz Salman berujar lagi.

"lalu sekarang saya harus bagaimana ustadz?" tanya saya, dengan nada putus asa.
"Islam adalah agama yang benar, nak Bas. Dan Allah adalah sebaik-baiknya tempat minta petunjuk dan pertolongan. Memohonlah pada-Nya dengan ikhlas. Semoga Allah memberikan jalan terbaik dari persoalanmu." ustadz Salman menjawab ringan, "namun yang paling terpenting dari semua itu ialah, kamu harus bisa ikhlas menerima apa pun yang akan terjadi. Kamu harus percaya, bahwa jika memang kamu dan Aisyah ditakdirkan untuk berjodoh, maka Allah akan mempermudah segalanya. Namun jika tidak, maka kamu harus ikhlas. Karena Allah hanya akan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Mintalah yang terbaik kepada Allah, bukan sekedar meminta apa yang kamu inginkan.." kali ini ustadz Salman berbicara sambil menepuk-nepuk ringan pundak saya.
Entah mengapa saya merasa sedikit tenang setelah ustadz Salman melakukan hal tersebut.
Kalimat dan tepukannya itu seakan memberikan saya sebuah energi baru.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun izin pulang....

Saya kembali merenungi semua ucapan ustadz Salman. Saya kembali bertanya kepada hati saya sendiri. Benarkah saya masuk Islam hanya karena ingin mendapatkan cintanya Aisyah?
Saya telah belajar Islam begitu banyak, sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Saya mengagumi ajaran-ajaran Islam yang begitu indah dan sempurna. Kitab suci Al-Qur'an telah melukiskan keindahan Islam dengan begitu sempurna. Segala yang ada di bumi Allah ini, sudah tertulis jelas dalam Al-Qur'an. Segala ketentuan Allah adalah baik, kecuali bagi mereka yang tidak pandai bersyukur. Jodoh, maut dan rejeki adalah sebagian dari ketentuan-ketentuan Allah. Dan tidak ada seorang manusia pun yang bisa merubah ketentuan tersebut, kecuali atas izin Allah.
Menyadari hal tersebut, saya pun mencoba menjalankan apa yang telah ustadz Salman sarankan.
Saya bangun tengah malam, berwudhu' dan melakasanakan sholat malam dengan khusyu', kemudian saya berdo'a dengan sepenuh hati. Meminta kepada Allah, agar saya diberi kesabaran dan keikhlasan, untuk bisa menerima segala ketentuan-Nya.

************

Siangnya, saya pun menghubungi Aisyah melalui telepon genggam. Saya hanya ingin meyakinkan, tentang bagaimana sebenarnya perasaan Aisyah kepada saya.
"saya tidak tahu pasti, apa yang saya rasakan terhadap bang Bas. Tapi sejujurnya, saya memang merasa nyaman, ketika berbicara dengan bang Bas. Saya kagum dengan perjuangan bang Bas untuk mempelajari Islam. Keingintahuan bang Bas tentang Islam. Hingga saya pun semakin kagum, ketika bang Bas memutuskan untuk memeluk Islam. Tapi saya tidak bisa mendefenisikan rasa kagum tersebut sebagai cinta. Karena cinta yang sesungguhnya hanyalah milik Allah." ucap Aisyah diujung telpon.
"jika bang Bas mencintai ciptaan Allah, maka mintalah pada-Nya. Karena sesungguhnya saya dan siapa pun itu, adalah milik Allah. Jika benar bang Bas mencintai saya, cintailah saya karena Allah. Mencintai makhluk Allah, sering membuat manusia terluka. Namun cinta karena Allah, tidak mengenal kata kecewa. Dan bang Bas harus meyakini hal itu..." lanjut Aisyah lagi.

Saya tergugu mendengar semua itu. Sungguh sebuah kalimat yang luar biasa. Aisyah memang gadis yang shaleha. Akhlaknya sungguh membuat saya semakin mengaguminya.
"mengenai perjodohan saya dengan ustadz Lukman, sejujurnya saya sendiri tidak bisa menerimanya. Namun sebagai anak yang berbakti, saya juga tidak bisa menolaknya. Saya tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Sebagai anak, saya hanya ingin membuat kedua orang tua saya bahagia." Aisyah berbicara lagi, saat saya hanya terdiam.
"meski kamu harus mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri..?" tanyaku pelan.
Kudengar Aisyah menghembuskan napas berat,
"kebahagiaan adalah dambaan setiap orang. Namun apa arti kebahagiaan itu, jika harus menyakiti perasaan orang yang kita sayang. Jika kita melakukan sesuatu karena Allah, maka kebahagiaan itu akan mengikuti. Begitu juga ketika kita dengan ikhlas membuat orang lain bahagia, maka kebahagiaan itu juga akan hadir dalam hati kita..." jawaban Aisyah kian membuatku semakin terperangah.
Aisyah adalah contoh gadis yang memiliki akhlak yang mulia, pemikiran yang cerdas dan hati yang tulus.

Aisyah sudah sepatutnya untuk diperjuangkan. Bukan hanya karena ia gadis yang cantik secara fisik, tapi ia juga memiliki hati yang jauh lebih indah dari parasnya.
Tapi apa yang bisa kuperbuat saat ini?
Ustadz Lukman bukan laki-laki sembarangan. Ia juga memiliki akhlak yang indah, tutur bahasa yang sopan dan ilmu Islam yang tinggi. Tiba-tiba saya merasa, mereka adalah pasangan yang cocok. Mereka memang sudah ditakdirkan untuk bersama.
Tidak ada lagi yang harus saya perjuangkan. Saya hanya harus belajar ikhlas melepaskan sesuatu yang memang tidak ditakdirkan untuk saya.
Tapi bagaimana dengan Aisyah sendiri. Akankah dia bahagia?
 
******
Bersambung ....

Cari Blog Ini

Layanan

Translate