Kisah Nyata : Aku terpaksa menjadi isteri simpanan ...

Beberapa tahun lalu, saya pernah bekerja sebagai seorang kasir di sebuah mini market. Waktu itu usia saya masih 19 tahun. Kedua orang tua saya, sudah lama meninggal, sejak saya masih SMP. Kemudian saya tinggal bersama tante Lina, satu-satunya adik perempuan almarhumah Ibu yang masih hidup.Tante Lina dan Om Danu, suaminya, membesarkan saya meski ekonomi mereka hanya pas-pasan. Tambahan pula, mereka punya tiga orang anak yang harus mereka biayai.

Tante Lina hanya mampu menyekolahkan saya sampai tamat SMA. Kemudian saya mulai mencari pekerjaan, untuk biaya hidup saya dan juga untuk membantu keluarga tante Lina.Saya pernah kerja di rumah makan, toko buku dan terakhir menjadi kasir di mini market.Selama ini tante Lina dan om Danu cukup baik kepada saya, sehingga saya tetap tinggal bersama mereka.

Hingga pada suatu malam, saat itu, tante Lina dan ketiga anaknya, pergi ke rumah saudaranya yang lain, karena ada acara pesta keluarga. Saya tidak bisa ikut karena harus kerja, begitu juga om Danu, yang bekerja sebagai seorang satpam di sebuah mall.

Malam itu, seperti biasa, sepulang kerja sekitar jam 9 malam, saya baru saja selesai mandi dan makan malam. Saya masuk ke kamar, hendak tidur.
Tiba-tiba om Danu, yang baru saja pulang kerja, mengikuti saya masuk ke kamar. Saya sedikit kaget, karena biasanya om Danu tidak pernah masuk ke kamar kami. Saya satu kamar dengan anak perempuan satu-satunya tante Lina dan om Danu.

Om Danu langsung mengunci kamar, ketika kami sudah berada di dalam kamar.
"om mau apa?!" tanyaku sedikit santai, biar bagaimana pun, om Danu sudah saya anggap seperti ayah sendiri.
Om Danu hanya diam, sambil terus mendekat. Saya mencoba sedikit mundur, tapi kaki saya sudah mentok ke sisi ranjang. Om Danu langsung mendorong tubuh saya, sehingga saya telentang di ranjang. Om Danu pun kemudian langsung menindih tubuh saya.

Saya berusaha melawan, tapi om Danu terlalu kuat. Saya coba menjerit, tapi tangan om Danu sudah membekap mulut saya dengan kuat.
Dan saya hanya bisa pasrah, ketika akhirnya om Danu berhasil memperkosa saya malam itu. Om Danu berhasil merenggut kesucian saya dengan cara yang sangat kasar.
Saya hanya bisa menangis! Saya menangis sejadi-jadinya.Saya tidak menyangka sama sekali, om Danu tega memperkosa saya. Padahal selama ini, dia begitu baik pada saya.

Tapi semua sudah terjadi. Yang saya rasakan hanyalah rasa sakit yang teramat sangat dan rasa takut yang tiba-tiba datang, ketika om Danu mengancam saya dengan keras. Om Danu mengancam akan membunuh saya, jika saya menceritakan perbuatannya tersebut kepada siapapun, terutama kepada tante Lina. Saya hanya bisa menangis malam itu, menangisi nasib saya. Menangisi semua yang terjadi.


Siangnya, ketika tante Lina sudah pulang, saya berusaha bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Saya tetap berangkat kerja seperti biasa, meski harus menahan rasa sakit.Sejak saat itu, om Danu, sering memaksa saya lagi untuk melayani nafsu bejatnya.

Tante Lina berjualan sarapan di kantin sekolah tak jauh dari rumah kami, sedangkan anak-anaknya ada yang kuliah dan sekolah. Sehingga kalau pagi hari, keadaan rumah sangat sepi.

Saya sendiri bekerja secara shift kerja, kadang shift pagi, shift siang dan kadang shift malam. Begitu juga om Danu, sebagai satpam, dia bekerja secara shift.

Dan apabila jadwal shift kerja kami siang, biasanya kami berangkat jam sebelas. Dan om Danu memanfaatkan kesempatan itu, untuk melampiaskan nafsu birahi nya kepada saya. Saat orang-orang tidak ada di rumah, saat saya akan berangkat kerja.

Saya sudah tidak berani melawan lagi. Saya begitu takut padanya. Saya hanya bisa pasrah.Om Danu selalu mengancam saya, setiap kali ia selesai melampiaskan nafsunya kepada saya.Selama dua bulan lebih hal terjadi, dan saya hanya bisa diam dan pasrah.

Namun akhirnya, saya memutuskan untuk pindah dari rumah itu. Saya membuat alasan kepada tante Lina, kalau tempat kerja saya terlalu jauh dan saya akan ngekost di dekat tempat kerja saya.
Awalnya tante Lina keberatan, tapi setelah saya coba jelaskan dan sedikit membujuknya, akhirnya ia membiarkan saya pergi.Saya sedikit lega, meski cukup berat berpisah dengan tante Lina. Namun itu jauh lebih baik, dari pada saya harus melayani om Danu lagi.

Kamar kost itu cukup kecil, tapi setidaknya disitu saya merasa sedikit aman dan yang pasti saya tidak akan bertemu om Danu lagi.Di tempat kost, saya bertemu dan berkenalan dengan Desi, seorang perempuan yang baik dan juga soleha. Dia seorang guru. Dia kost karena berasal dari luar daerah. Tapi Desi sudah sangat lama tinggal di kost itu.
Desi sering ikut pengajian ibu-ibu, yang diadakan hampir setiap malam, di Mesjid yang tak jauh dari rumah kost kami. Dia sering mengajak saya ikut, ketika saya tidak ada shift malam. Tapi awalnya saya selalu menolak, dengan alasan kecapean.
Namun akhirnya suatu malam, Desi berhasil membujuk saya untuk ikut. Lagi pula saya pikir, apa salahnya?!
Apa lagi mengingat, apa yang telah om Danu lakukan kepada saya selama ini. Saya tidak bisa melupakannya. Saya sering menangis sendirian, bila mengingat itu semua. Hati saya begitu sakit.
Saya akan selalu mengingat kejadian tersebut.

Sesampainya di mesjid, saya melihat begitu banyak ibu-ibu dan juga para remaja putri berkumpul disana. Desi memperkenalkan saya kepada beberapa orang temannya. Meski merasa sedikit canggung, saya mencoba berbaur dengan mereka.
Tak lama kemudian, datanglah seorang Ustadz paroh baya, dan duduk di depan. Kemudian beliau memulai pengajiannya.
"Beliau itu ustadz Jeri..." bisik Desi ditelingaku, "beliau biasnya mengisi pengajian di mesjid ini, dua kali seminggu." lanjutnya.
Aku hanya manggut-manggut, sambil memperhatikan ustadz Jeri. Wajahnya lumayan tampan, meski sudah cukup berumur.
"jangan pikir macam-macam, beliau sudah menikah dan sudah punya dua anak.." suara Desi sedikit mengagetkan ku, seakan mencoba membaca pikiranku.
"ah, kamu apaan, sih..." balasku sekenanya. Meski sejujurnya saya memang suka melihat ustadz Jeri. Senyumnya sangat manis. Dia juga orang yang penuh kharisma. Suaranya sangat merdu dan menenangkan, apa lagi saat ia membacakan surat Al-Qur'an.
Saya kadang tanpa sadar, sering menatapnya lama.

Diakhir pengajian, ustadz Jeri memberikan kesempatan kepada para jemaah untuk bertanya atau menceritakan masalah mereka. Ustadz Jeri menjawab pertanyaan dan memberikan solusinya dengan sangat cerdas.
Ustadz Jeri memang cerdas dan bijaksana.
Sejak malam itu, saya jadi lebih sering ikut pengajian. Bukan hanya karena ingin melihat ustadz Jeri, tapi juga saya merasa sangat nyaman berada disana.
Sampai hampir satu bulan saya mengikuti pengajian itu dan bekerja sebagaimana biasanya, saya merasa ada yang salah dengan saya.

Saya memeriksakan diri ke dokter, dan dokter mengatakan bahwa saya sedang hamil. Saya hamil sudah hampir 4 bulan. Selama ini saya tidak merasakan apa-apa, saya merasa biasa saja.
Sejak pindah dari rumah tante Lina, 2 bulan yang lalu. Satu-satunya keanehan yang saya alami ialah saya memang sudah lama tidak mens (datang bulan).

Memang sempat terpikir waktu itu, kalau saya bisa saja hamil oleh om Danu. Tapi saya takut bertanya kepada orang-orang. Karena itulah saya hanya diam dan selalu berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja.
Tapi hasil pemeriksaan dokter tadi, membuat saya benar-benar syok dan takut. Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Sejak pindah dari rumah tante Lina, saya tidak pernah datang kesana lagi. Saya tidak mau bertemu om Danu lagi. Meski tante Lina sering nelpon dan menyuruh saya datang. Tapi saya selalu membuat alasan kalau saya sibuk kerja. Saya benar-benar bingung, saya tidak tahu ngapain sekarang.

Saya menangis sejadi-jadinya di dalam kamar kost sendirian. Meratapi hidup saya, yang tiba-tiba terasa begitu pahit dan berat.
Suara ketukan di pintu kamar mengagetkan saya.
Saya mencoba menahan tangis dan menghapus air mata, suara ketukan itu semakin keras.
Saya bangkit dan membukakan pintu, Desi sudah berdiri di depan pintu dan menatap saya lama.

"ada apa?" tanya nya.
"gak... gak ada apa-apa..." jawabku sedikit terbata.
"aku dengar kamu nangis," balas Desi, "cerita padaku, ada apa?" lanjutnya, sambil masuk ke dalam.
Aku hanya berdiri terpaku dan membiarkan Desi masuk, lalu mengunci pintu.
Aku memang butuh cerita. Tapi hatiku ragu. Apa Desi bisa pegang rahasia? Bathinku.
Namun aku tak punya pilihan. Lagi pula, Desi selama ini sangat baik padaku.
Dengan sedikit terbata-bata, aku ceritakan semua kejadian yang menimpaku pada Desi.
Desi kelihatan sangat kaget, tapi segera ia mengendalikan diri. Dia memelukku yang sudah terisak-isak.
"aku gak tahu lagi mesti ngapain, Des..." ucapku, masih dalam tangis.
Desi membiarkan ku menangis, untuk melepaskan segala kesedihanku. Aku terus saja terisak, sambil memeluk erat tubuh Desi.

"bagaimana kalau kita menemui ustadz Jeri ..." ujar Desi akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam. Aku sedikit kaget dan berusaha menghentikan tangisku. Ku tatap wajah Desi cukup lama, penuh tanya dan keraguan.
"udah! kamu tenang aja," lanjut Desi menjawab tatapanku. "nanti aku yang ceritakan semuanya. Kamu tahu, kan. Ustadz Jeri, selalu punya solusi dari setiap masalah..." lanjutnya lagi.

Aku sedikit ragu. Tapi apa yang dikatakan Desi, ada benarnya. Aku gak mungkin menyimpan hal ini, lambat laun orang-orang bakal tahu, kalau aku hamil.
Aku setuju untuk menemui ustadz Jeri. Kami pun berangkat, setelah Desi menelpon Ustadz Jeri dan membuat janji temu.

Kami bertemu ustadz Jeri di rumahnya yang ada di kota kami. Menurut Desi, itu rumah kedua Ustadz Jeri. Beliau sebenarnya tinggal di kota lain, bersama anak istrinya.

Rumah yang dikota kami itu, hanyalah rumah persinggahan beliau, ketika dia ada acara di kota kami. Sesampainya di rumah itu, kami dipersilahkan masuk oleh ustadz Jeri sendiri. Ternyata beliau hanya sendirian disitu. Katanya, rumah itu sengaja beliau beli, karena suasananya yang nyaman dan jauh dari keramaian. Rumah itu sengaja tak di jaga siapa pun, jadi setiap kali ustadz Jeri ke rumah itu, beliau selalu sendirian. Beliau suka kesana untuk menenangkan diri.
Setelah di persilahkan duduk dan disuguhkan minuman. Desi mulai menceritakan maksud kedatangan kami. Desi menceritakan semua kejadian yang menimpa saya dan meminta jalan keluarnya kepada ustadz Jeri.
"saat ini, perut saya sudah mulai membesar," kataku, "saya gak mungkin berada di kos ataupun bekerja, apa lagi harus kembali ke rumah tante Lina," lanjutku. "saya pun tak ingin minta pertanggungjawaban om Danu, karena jelas akan sangat melukai hati tante Lina dan anak-anaknya." lanjutku lagi.
"kalau kamu mau," ucap ustadz Jeri akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam, "untuk sementara kamu tinggal saja dulu di rumah ini,"katanya melanjutkan, "sampai kita temukan solusinya, atau bahkan sampai anak kamu lahir..." lanjutnya lagi.
Aku terdiam cukup lama. Kutatap Desi, dia hanya memperlihatkan wajah terserah. Kutatap ustadz Jeri sesaat, lalu tanpa sadar aku mengangguk. Karena menurutku, tidak ada jalan lain, untuk menyembunyikan kehamilanku.

Esoknya aku langsung pindah, tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali Desi. Tapi hari itu, Desi tidak bisa mengantarku, karena harus kerja. Aku berangkat sendiri menuju rumah ustadz Jeri.
Ustadz Jeri menyambutku dengan ramah dan menyuruhku, masuk ke salah satu kamar rumah itu.
"ini kamar mu," jelasnya. "kamu bebas tinggal dirumah ini. Nanti aku bantu biaya hidup kamu, sampai anak kamu lahir..." katanya lagi.
"terima kasih banyak ustadz..." kataku tulus.
"nanti sore aku pulang, besok aku kesini lagi mengurus beberapa hal..." ucapnya.
Sore itu, ustadz Jeri pulang dengan mengendarai mobilnya sendirian.
Aku mencoba beristirahat, sampai akhirnya ketiduran. Saat aku terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, hujan sangat deras di luar. Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras.
Aku menuju pintu dan mengintip dari jendela. Ternyata di luar ada ustadz Jeri. Segera aku bukakan pintu.
"maaf ustadz, saya ketiduran!" ucapku, "ustadz udah dari tadi mengetuk pintu?" tanyaku melanjutkan.
Ustadz Jeri hanya mengangguk. Lalu beliau duduk di kursi tamu. Saya duduk dihadapannya, dengan hanya memakai baju tidur.

"ustadz tidak jadi pulang?" tanyaku memecah keheningan, hujan semakin deras diluar.
"terjadi longsor, jalan putus, saya tidak bisa pulang..." jelasnya.
Karena merasa tidak enak hati, saya berdiri dan hendak pergi tidur.
"tunggu!" cegah ustadz Jeri. "setelah saya pikir-pikir, bagaimana kalau kamu saya nikahi saja!" lanjutnya yang membuat saya sedikit kaget. "kamu mau, kan? jadi istri kedua saya?" tanya nya lagi.
Aku hanya terdiam.
"kamu sedang hamil, dan saya tak ingin terjadi fitnah. Jadi lebih baik kita menikah saja. Dan itu akan jauh lebih aman..." ucapnya lagi.

Aku masih terdiam. Sejujurnya aku memang suka dengan ustadz Jeri. Tapi bukan berarti harus jadi istri kedua.
"tapi saya tidak ingin, pernikahan kita diketahui istri saya. Jadi kita akan nikah sirih..." ustadz Jeri berkata lagi, melihat saya hanya diam.
Aku semakin terpukul. Tapi saat ini, apa aku punya pilihan. Setidaknya dengan menikah dengan ustadz Jeri, anakku nanti punya ayah.
Aku mengangguk, dan berkata, "jika itu memang jalan terbaik bagi ustadz, saya ikut saja..."
Kulihat ustadz Jeri tersenyum. Aku pun melangkah menuju kamar untuk tidur. Pikiran ku kacau. Mataku enggan terpejam, semua kejadian yang menimpaku terlintas di benakku. Hatiku semakin sakit. Tapi aku benar-benar tak berdaya. Aku hanya pasrah dan membiarkan takdir menjalankan tugasnya. Aku yakin, semua yang terjadi adalah yang terbaik!

Akhirnya aku menikah dengan ustadz Jeri. Hanya dihadiri penghulu dan dua orang saksi. Benar-benar bukan pernikahan yang aku impikan. Tapi ini jauh lebih baik, dari pada hamil tanpa suami. Aku dan ustadz Jeri hanya nikah sirih, nikah bawah tangan atau apalah istilahnya. Intinya aku hanya istri simpanan ustadz Jeri. Sebuah status yang tak pernah terpikir kan oleh ku selama ini.

*****
Bersambung...

Lanjutan kisah "Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk" (part 2)

"kamu terlambat, mas.." suara istriku cukup keras, mengimbangi suara gerimis di luar. Kami duduk di teras.
"maksud kamu?" tanyaku heran.
"aku bukan Dewi yang dulu lagi, mas. Aku bukan istrimu lagi. Aku sudah menikah dengan orang lain." balas Dewi dengan sedikit tertunduk.
"kita belum resmi bercerai, Wi..." aku membesarkan volume suaraku.
"secara hukum mungkin belum. Tapi secara agama kita sudah bukan suami istri lagi. Sudah lebih dari enam bulan kita tidak bersama. Sudah lebih dari enam bulan kamu tidak menafkahi aku dan Azzam, mas."
"tapi bukannya kamu yang memilih untuk pergi?"
"iya. Karena aku tidak ingin membebani kamu disana, mas. Aku hanya berharap, jika aku pergi, kamu bisa lebih fokus mencari pekerjaan."
"tapi mengapa kamu tidak menungguku, Wi?" balasku sambil menatap wajah Dewi cukup lama.
"karena ayah dan Ibuku, mas. Mereka bersikeras untuk menikahkan aku dengan mas Dadang. Karena kamu tak kunjung datang, aku terpaksa menerimanya." suara Dewi terdengar parau.
"apa kamu mencintainya?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"cinta tidak menjadi prioritas utama bagiku saat ini, mas. Aku pernah menikah dengan orang yang aku cintai, tapi untuk apa cinta itu, jika hidup kita menderita." Dewi menarik napas, "yang penting mas Dadang bertanggungjawab..." lanjutnya.
"aku juga bertanggungjawab..."
"tapi nyatanya kita menderita, mas."
"hanya beberapa bulan, Wi. Hanya beberapa bulan aku menganggur. Dan kamu tidak sabar menjalani itu semua.."
"bagimu mungkin hanya beberapa bulan, mas. Tapi bertahun-tahun aku harus menahan kerinduanku pada Ibu dan ayahku, pada keluargaku..."
"tapi bukannya kamu yang ingin kita segera menikah, meski tanpa restu dari orangtuamu?!" suaraku meninggi lagi.
"ya. Itu karena aku mencintai kamu. Aku pikir cinta saja sudah cukup membuatku bahagia. Tapi lama kelamaan aku mulai sadar, bahwa cinta bukanlah segalanya. Cintaku padamu telah membuat aku terpisah dari keluargaku, bahkan sampai bertahun-tahun aku masih berharap cinta itu bisa membuat aku kuat. Tapi ternyata aku salah..."

"apa dia menyayangi Azzam?" tanyaku lagi.
"kalau kamu bertanya apa mas Dadang menyayangi Azzam seperti kamu menyayangi Azzam, tentu saja tidak. Tapi yang pasti mas Dadang bertanggungjawab dan dia tidak pernah menyakiti Azzam."
"aku ingin membawa Azzam bersamaku.." ucapku lagi, kali ini aku menatap rintik-rintik hujan yang sudah mulai reda.
"kalau kamu ingin bertemu Azzam kapanpun, aku tidak akan melarang, mas. Tapi jangan harap kamu bisa membawanya pergi.." suara Dewi terdengar tegas.
"dia anakku.."
"dia juga anakku." potong Dewi cepat. "aku yang melahirkannya, aku juga yang merawatnya." kali ini suara Dewi terdengar ketus.
"aku akan tuntut di pengadilan.."
"silahkan, mas. Aku juga tidak takut. Aku bukan sosok Ibu yang tidak bertanggungjawab. Aku merawat Azzam dengan baik. Pengadilan tidak akan membiarkanmu mengambil Azzam dariku, mas. Apa lagi jika mereka tahu, bagaimana kehidupan kita sebelumnya..."
"aku sudah kerja sekarang. Hidupku juga sudah jauh lebih baik. Aku bahkan sudah punya rumah sendiri. Penghasilanku jauh lebih dari cukup untuk membiayai Azzam." ucapku berusaha lembut. Biar bagaimanapun, aku ingin anakku tinggal bersamaku. Meski Dewi telah memilih untuk menikah lagi, setelah lebih dari enam bulan kami tidak bertemu.
Yah, enam bulan sudah peristiwa tragis hidupku telah berlalu. Sekarang aku sudah bekerja dengan Bayu, sahabatku. Aku bahkan dipercaya Bayu untuk menjadi manager di salah satu kafenya, seperti janjinya.
Hidupku sudah jauh lebih baik, berkat Bayu. Aku sudah punya rumah sendiri. Punya kendaraan yang layak. Dan yang pasti aku sudah punya penghasilan yang jauh lebih dari cukup.
Enam bulan, akhirnya aku memutuskan untuk menemui istri dan anakku. Aku ingin mengajak mereka kembali bersamaku. Tapi ternyata, istriku sudah menikah lagi.
Aku sempat terpukul mendengarnya. Tapi sebagai laki-laki aku tak ingin terlihat lemah. Aku harus terlihat tegar. Dan berusaha ikhlas melepas Dewi dari hidupku.
Namun aku tidak bisa ikhlas melepaskan Azzam begitu saja.

"kalau memang hidupmu sudah membaik, kenapa kamu baru datang sekarang?" tanya dewi mengagetkanku.
"aku baru saja mulai kerja, Wi. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Dan baru sekarang aku punya kesempatan untuk bisa datang kesini.." jawabku dengan suara berat.
"tapi tetap saja kamu sudah terlambat, mas. Lebih baik mas pulang. Mungkin kisah kita memang harus berakhir sampai disini.."
Aku terenyuh mendengar semua itu. Tak kusangka Dewi begitu cepat berubah. Kami yang dulu saling mencintai, kini hanya tinggal puing-puing kenangan.
Kutatap mata Dewi tajam. Namun Dewi memalingkan wajahnya cepat. Tak ada lagi cinta. Tak ada lagi kebahagiaan yang dulu sempat mewarnai hari-hari indah kami.
Kini semua telah musnah. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Yah, Dewi benar. Kisah kami memang telah berakhir. Namun Azzam adalah anakku. Aku tetap akan berjuang untuknya.

*******

Ternyata perjuanganku hanya sia-sia. Telah berbagai cara aku lakukan untuk mendapatkan hak asuh anakku. Namun pengadilan memutuskan bahwa istriku lebih berhak mendapatkan hak asuh-nya.
Aku bukan saja kehilangan istriku, tapi aku juga harus kehilangan anakku. Meski pun sewaktu-waktu aku masih bisa mengunjungi Azzam. Tapi tetap saja aku merasa telah kehilangan segalanya.
Usahaku untuk memperbaiki hidup, ternyata tetap tidak mampu membuatku bisa mempertahankan rumah tanggaku, yang sudah terlanjur hancur.

Aku kembali ke kota dengan perasaan hampa. Aku merasa gagal. Kehidupanku memang telah membaik. Tapi apa arti itu semua bagiku saat ini. Jika semua terasa menyakitkan.
Mimpiku untuk membangun kembali rumah tanggaku yang retak, ternyata hanya sia-sia.

Aku menjani hari-hariku dengan berat. Perlahan aku mulai menghapus nama Dewi dari hatiku. Aku tak ingin mengingatnya lagi. Kalau Dewi bisa berubah, kenapa aku tidak. Toh, sekarang hidupku sudah cukup mapan. Aku masih cukup muda. Aku bisa mencari pengganti Dewi dengan mudah. Meski tentu saja, mencari pasangan yang selalu setia menemaniku dalam kondisi apa pun itu tidak mudah. Tapi setidaknya, aku harus bisa membuka hatiku untuk kehadiran wanita lain. Menemukan kembali kebahagiaanku.

"hei. Melamun lagi?" suara Bayu mengagetkanku.
Aku menoleh sejenak ke arah Bayu. Kami duduk di sudut ruangan kafe sore itu. Bayu sengaja mengajakku bertemu disitu.
"masih memikirkan Dewi?" lanjut Bayu lagi.
Aku menggeleng. "bukan Dewi, Bay. Tapi Azzam.." balasku tegas.
Bayu hanya menatapku. Aku tahu, Bayu tidak percaya kalau aku sudah melupakan Dewi. Namun kemudian Bayu tersenyum. Akhir-akhir ini Bayu memang terlihat bahagia. Apa lagi sejak anak pertamanya lahir tiga bulan yang lalu.
"gimana kabar Surya?" tanyaku akhirnya. Surya adalah nama anak Bayu. Dia beri nama Surya, agar bisa selalu bersinar, katanya.
"owh, lagi sedang rewel-rewelnya sekarang, Lif. Rewelnya itu yang bikin aku selalu kangen.."

"ada apa kamu ajak aku kesini, Bay?" tanyaku lagi.
"oh, ya. jadi lupa. Aku mau kenalkan kamu dengan seseorang." balas Bayu ringan.
"siapa?"
"adalah... seseorang. Sebentar lagi ia sampai sini." ucap Bayu dengan sedikit menyunggingkan senyum.
Aku hanya terdiam. Pikirku Bayu pasti akan memperkenalkanku dengan salah seorang rekan bisnisnya. Mungkin untuk mengembangkan usahanya.
Tak lama kemudian, seorang gadis berjalan mendekati meja kami. Gadis itu berjalan dengan anggun, senyumnya mengembang. Wajahnya mulus terawat, bak seorang model sebuah majalah.
"hai! Akhirnya sampai juga.." sapa Bayu kepada gadis itu, sambil mereka berjabat tangan. "oh, ya. Kenalkan! Ini Alif." lanjut Bayu lagi.
Gadis itu menatapku beberapa saat, kemudian tersenyum.
"hei.." sapanya ringan. "saya Airin.." lanjutnya dengan suaranya yang merdu, membuat jantungku berdegup cukup kencang.
Dengan sedikit gugup aku menjabat tangan lembut gadis itu. "Alif.." balasku.

Ternyata Bayu memang sengaja ingin memperkenalkan aku dan Airin. Bayu bahkan dengan sengaja, beberapa saat kemudian, pergi meninggalkan kami berdua disana.
Dari cerita Airin, aku akhirnya tahu, kalau ia seorang dosen. Usianya hanya lebih muda dua tahun dariku. Dia juga masih lajang.
"Bayu sudah cerita banyak tentang kamu.." ucap Airin lembut. "Bayu adalah kakak seniorku, waktu kuliah di Singapur..." lanjutnya.
"oh.." aku membulatkan bibir.

******

Berbulan-bulan aku dan Airin akhirnya sering jalan bareng, makan bareng dan bahkan nonton bareng. Rasanya hatiku mulai menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang sudah lama hilang.
Airin tahu semua kisahku. Selain dari yang ia dengar dari Bayu. Aku juga menceritakan semuanya.
Airin tidak mempermasalahkan tentang statusku.
Kedekatan kami akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta. Airin dengan sangat bahagia, menyambut semua perasaan cintaku padanya.
Kami menjalin hubungan yang serius. Hatiku telah pulih kembali. Kehadiran Airin benar-benar membuatku bangkit.

Setelah hampir setahun pacaran, kami pun akhirnya memutuskan untuk menikah.
Airin gadis yang mandiri. Punya pekerjaan yang mapan. Namun itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk hidup bersama. Meski pun secara pendidikan Airin lebih tinggi dari aku, ia tetap menghormatiku sebagai seorang suami.
Rumah tangga kami berjalan lancar dan bahagia.

Namun ternyata itu semua tidak berlangsung lama. Dua tahun membina rumah tangga yang bahagia, kami belum juga dikarunia anak. Hal itu ternyata membuat hubungan kami kian hari kian renggang. Airin lebih sibuk dengan pekerjaannya. Ia jadi jarang berada di rumah.
Awalnya aku coba memahaminya. Mungkin dia kesepian, pikirku.
Tapi lama kelamaan, sikap Airin justru berubah. Ia tak lagi semanis dulu. Airin lebih sering diam, jika berada di rumah.
"kamu kenapa?" tanyaku suatu hari, mencoba bersikap lembut.
Airin menghela napas, "aku capek, Lif.." jawabnya terdengar lesuh.
"tapi akhir-akhir ini, kamu jadi jarang di rumah, Rin. Dan jika pun di rumah kamu seperti enggan menyapaku.."
"itu hanya perasaan kamu aja, Lif."
"tapi kamu berbeda sekarang, Rin. Udah gak kayak dulu lagi.." aku masih berusaha melembutkan suaraku.
"berbeda apanya!" tiba-tiba suara Airin sedikit meninggu, "kamunya aja yang terlalu perasa.."

Hari-hari berikutnya justru hubungan kami semakin parah. Ada-ada saja hal-hala sepele yang membuat kami sering bertengkar.
"aku capek, Lif. Aku baru pulang kerja. Kamu sih enak, kerja gak seberapa. Gaji juga gak seberapa." suara Airin lantang.
"maksud kamu?" suaraku lebih lantang lagi, kali ini aku benar-benar tersinggung.
"kamu pasti ngerti maksud aku apa.."
"oh. jadi sekarang kamu mempermasalahkan penghasilanku yang tak seberapa dibandingkan dengan penghasilan kamu?" suaraku cukup bergetar menahan amarahku.
Airin hanya menghempaskan kakinya, lalu berjalan tergesa menuju kamar dan menghempaskan pintu dengan keras.
Hatiku semakin terasa pilu.

Keesokan harinya Airin pergi dengan membawa koper. Aku tidak memperdulikannya.
"aku mau ke rumah mama, beberapa hari.." ucapnya sambil menutup pintu. Aku hanya terdiam.
Aku benar-benar tidak tahu, apa yang terjadi. Mengapa Airin tiba-tiba berubah? Mengapa sekarang sikapnya tidak semanis dulu? Bahkan sekarang ia pergi meninggalkan aku sendirian di rumah ini.
Aku benar-benar dibuat bingung. Tak mengerti!

Bersambung lagi....

Cinta Suci untuk Tom....

Mata Tom berkaca. Sekuat mungkin ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia harus terlihat tegar. Ia harus terlihat kuat, terutama di depan keluarga Jeni, tunangannya.
Bayangan kisah cintanya dengan Jeni berkelebat di benaknya. Pikirannya melayang, memutar memori kisah kasihnya yang begitu indah dengan Jeni.
Tiga tahun mereka bersama. Tiga tahun Tom merasa hidupnya begitu sempurna dengan kehadiran Jeni.
Tom menarik napas dalam, bayangan wajah cantik Jeni kembali melintas.
Jeni yang selama ini telah mewarnai hidupnya. Memberikan ia semangat, saat Tom dalam keterpurukan. Jeni selalu ada untuknya. Jeni selalu setia mendampinginya.

"gimana? cantik, gak?" tanya Jeni suatu hari, dengan suara riang. Dia tersenyum bahagia memamerkan gaun pengantin yang ia pesan berbulan-bulan lalu.
Tom hanya tersenyum memperhatikannya. Bagi Tom, Jeni selalu terlihat cantik. Tak peduli baju apa pun yang ia pakai. Tom mengangguk, sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.
Jeni masih tersenyum, sambil sedikit berputar-putar memperhatikan tubuh rampingnya yang memakai gaun pengantinnya. Dia sangat bahagia akhirnya bisa menjadi calon isteri Tom.
Segala persiapan pesta telah mereka persiapan. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Undangan juga sudah disebar.
Tiga tahun mereka pacaran, sudah cukup bagi Tom untuk mengenal sosok Jeni, begitu juga sebaliknya.
Tiga tahun mereka pacaran, mereka akhirnya memutuskan untuk bertunangan. Dan sudah hampir tiga bulan mereka bertunangan saat itu.

"oke! Sekarang kita kemana?" tanya Tom, setelah mereka selesai mencoba baju pengantin tersebut.
Sesaat Jeni terdiam. Mereka melangkah menuju tempat parkir.
"kamu pulang duluan aja, Tom. Aku mau ke rumah Mita, ada beberapa undangan yang harus aku antar kesana." ucap Jeni, setelah mereka berdiri di dekat mobil Tom.
"aku antar ya.." tawar Tom.
"gak usah, sayang. Kamu kan baru pulang kerja, pasti capek. Kamu pulang aja dulu. Istirahat.." balas Jeni dengan senyum manisnya.
Tom menatap Jeni beberapa saat. "kamu?" Tanyanya.
"aku bisa naik taksi, Tom."
"oke. Kamu hati-hati, ya.." Tom berkata sambil melangkah menuju pintu mobilnya.
Jeni melambaikan tangan, sebelum mobil Tom menghilang dari pandangannya. Ia pun segera menghubungi sebuah taksi.

Tom menghempaskan tubuhnya di ranjang. Tubuhnya terasa capek. Akhir-akhir ini ia dan Jeni memang cukup sibuk mempersiapkan pesta pernikahan mereka. Meski yang paling sibuk tentunya Jeni.
Belum sampai setengah jam ia terbaring, tiba-tiba handphone-nya berdering. Segera Tom mengambil handphone-nya. Itu dari papanya Jeni.
"taksi yang Jeni tumpangi mengalami kecelakaan, Tom. Nyawa Jeni tidak bisa terselamatkan. Sekarang kami sedang mengurus jenazahnya di rumah sakit. Sebentar lagi kami menuju rumah. Kamu langsung ke rumah aja ya, Tom." suara papa Jeni terdengar parau di seberang.
Tom menutup handphone-nya. Hatinya terasa perih. Tubuhnya terguncang. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia berharap itu semua hanyalah sebuah mimpi.

Tom memacu mobilnya menuju rumah Jeni. Hatinya berkecamuk. Pikirannya kacau.
Setengah tak percaya ia turun dari mobilnya, orang-orang sudah ramai di rumah Jeni. Isak tangis keluarga mengelilingi jasad Jeni yang terbaring kaku di ruang tamu rumah itu.
Tubuh Tom terasa lunglai. Matanya tiba-tiba berkaca. Tapi ia berusaha tegar. Ia sekuat mungkin menahan air matanya.

******

Dua tahun berlalu. Tom masih setia dengan kesendiriannya. Baginya, setelah kepergian Jeni, hatinya sudah tertutup rapat. Tidak ada lagi peluang siapa pun masuk ke dalamnya. Cintanya kepada Jeni terlalu besar. Tak mudah bagi Tom menghapus semua kenangan indahnya dengan Jeni. Meski Jeni telah tiada. Meski Jeni telah pergi dengan membawa seluruh cintanya. Tapi bagi Tom, Jeni selalu hidup di hatinya.




Sampai suatu saat, ia bertemu Suci. Gadis soleha yang berhijab. Suci yang lembut dan penuh perhatian, mampu membuat Tom tersenyum kembali.
Pelan-pelan Suci berhasil masuk ke relung hati Tom yang beku. Perlahan hati Tom pun mulai terbuka. Mulai menerima kehadiran Suci di dalamnya. Suci berhasil membangkitkan semangat dalam jiwa Tom yang rapuh. Hidup Tom yang berantakan, mulai tertata kembali dengan kehadiran Suci.

"kalau kamu gak mau. Kamu gak usah cerita, Tom." suara Suci lembut.
"tapi kamu harus tahu, Ci. Kamu harus tahu cerita masa laluku." balas Tom. Mereka duduk di sebuah bangku taman kota.
"sudahlah Tom! Yang lalu biarkanlah berlalu. Setiap orang punya masa lalu. Itu sudah tidak penting lagi. Yang penting sekarang, bagaimana kita menatap masa depan."
"aku hanya tidak ingin, hubungan kita kedepannya, dihantui oleh masa laluku yang pahit.."
"aku juga punya masa lalu, Tom. Dan masa laluku juga tidak terlalu manis. Jadi sebaiknya, kita lupakan semua yang telah berlalu. Kita mulai hidup dengan lembaran yang baru..." Suci menarik napas sejenak, ia menatap Tom yang tertunduk. "tapi jika dengan menceritakan itu semua bisa membuatmu tenang dan lega, aku siap mendengarkannya, Tom." lanjutnya.
"yah. Aku hanya ingin kamu tahu, Ci..." ucap Tom dengan suara pelan.
Ia menceritakan semuanya. Ia merasa lega bisa menceritakan kisahnya dengan Jeni. Tom menceritakan itu semua, hanya sekedar untuk meyakini hatinya sendiri, kalau Suci memang benar-benar mencintainya.

***********

"siapa dia?" tanya Tom dengan nada datar. Ia dan Suci sudah menjalin hubungan lebih dari enam bulan.
"maksud kamu?" Suci bertanya dengan kening berkerut.
"cowok yang bersamamu kemarin sore di kafe.." balas Tom.
"oh. kamu melihatnya?" Suci melirik mata Tom, ada gurat cemburu di sana.
"aku melihatnya tak sengaja. Aku ada janji bertemu teman di kafe itu. Tapi karena aku melihat kamu disana, aku membatalkan janjiku. Dan memilih kafe lain." jelas Tom. "siapa dia?" tanyanya lagi.
"dia Delon. Mantan tunanganku." tegas suara Suci.
Tom mengerutkan kening, "mantan tunangan?"
"iya. Beberapa tahun lalu, jauh sebelum kita saling kenal. Aku sempat bertunangan dengan Delon. Tapi pertunangan kami dibatalkan."
"kenapa?"
"karena Delon lebih memilih melanjutkan study S2-nya ke luar negeri. Dia memutuskan pertunangan kami, karena gak mau membuat aku merasa terikat. Begitu juga sebaliknya." Suci menghela napas, "dari situ aku sadar, kalau Delon tak benar-benar mencintaiku. Kuliah ke luar negeri hanyalah sebuah alasan untuk memutuskan pertunangan kami, meski kami bahkan sempat pacaran selama dua tahun. Tapi keputusan Delon untuk mengakhiri pertunangan kami, telah membuat aku sangat terluka.."
Suci melanjutkan dengan suara sedikit bergetar.

"lalu sekarang?"
"sekarang Delon datang kembali, dan berharap aku masih bisa menerimanya."
"kamu mau?" Tom bertanya lagi, kali ini ia tatap wajah manis Suci cukup lama.
"saat Delon pergi. Aku sempat putus asa dan sangat kecewa. Aku tak percaya lagi dengan yang namanya cinta. Hatiku, kututup rapat. Aku lalui hari-hariku dengan penuh kekecewaan. Namun setahun berlalu, aku bertemu kamu. Pelan aku mulai merasa, kalau kehadiranmu telah mampu menyingkap kelamnya hatiku. Goresan luka di hatiku, karena kepergian Delon, perlahan mulai mengering. Entah mengapa saat bersamamu, aku merasa lebih baik dan begitu nyaman. Aku belajar melupakan Delon. Aku belajar melupakan masa laluku. Sampai akhirnya kamu mengungkapkan perasaanmu padaku, aku semakin sadar, bahwa Delon hanyalah sebuah masa lalu, dan kamu adalah masa depanku." kali ini Suci menarik napas cukup lama.
"namun saat Delon datang kembali. Tiba-tiba aku merasa ragu dengan hatiku. Benarkah aku telah mampu menghapus nama Delon di hatiku? Benarkah aku telah jatuh cinta padamu?" lanjutnya dengan sedikit terbata.
"pada akhirnya aku memang harus memilih, Tom. Dan aku harus pergi dari hidupmu. Itu keputusanku...." kali ini Suci berkata tanpa menatap sedikit pun pada Tom. Matanya tiba-tiba berkaca. Hatinya begitu miris.

Tom menghempaskan napas berat. Ia menatap gadis itu sekali lagi.
"itu berarti, bahwa semua ucapanmu tentang 'melupakan masa lalu dan mulai membangun hidup yang baru' adalah sebuah omong kosong.." suara Tom meninggi.
Suci menelan ludah. Ia tahu, Tom akan marah. Ia tahu, ia salah. Tapi ia memang harus pergi. Ia tak mungkin lagi melanjutkan hubungannya dengan Tom. Ada banyak hal yang ia sembunyikan dari Tom. Dan Tom tak harus tahu. Suci tak ingin Tom tahu, setidaknya sampai ia benar-benar siap menerima semuanya.
Begitu banyak yang ingin ia jelaskan pada Tom. Tapi..
"maafkan aku, Tom..." hanya itu yang keluar dari bibirnya yang kering.

************

Tok! tok! tok! suara ketukan di pintu kamarnya mengagetkan Tom.
"Tom! ada tamu!" suara mamanya nyaring.
"siapa, Ma?"
"gak tahu. Penting katanya.."
Tom bangkit dari ranjangnya. Ia segera keluar menuju ruang tamu. Seorang laki-laki sudah duduk disana.
"hai, Tom.." sapa laki-laki itu ringan.
"kamu?" kening Tom berkerut.
"saya Delon. Suci pasti udah cerita.." balas laki-laki itu lagi.
Tom mengernyitkan kening lagi, ia duduk dihadapan laki-laki itu.

"ada apa kamu kemari?" suara Tom datar.
"saya ingin bicara soal Suci. Sebagai sesama laki-laki."
"maksud kamu?"
"ada banyak hal yang kamu tidak tahu tentang Suci, Tom."
"iya. Tentu saja! kamu pasti lebih mengenalinya. Karena kamu mantan tunangannya.." suara Tom terdengar sedikit kasar.
"itu yang ingin saya jelaskan disini, Tom. Sebenarnya Suci berbohong. Tidak semua, sih. Tapi ada beberapaa hal yang Suci tidak ceritakan padamu."
"salah satunya?"
"saya bukan tunangan Suci, Tom. Saya sepupunya. Suci tidak pernah punya tunangan. Suci bahkan tidak pernah punya pacar, selain kamu tentunya."
Kali ini Tom terdiam. Ia mengepalkan tangan. Hatinya bingung.

"saya gak ngerti maksud kamu.." desah Tom.
"Suci sakit, Tom. Suci menderita leukemia sejak kecil. Dokter sudah memvonis, kalau umur Suci tidak akan lama. Adalah sebuah keajaiban, kalau Suci masih bertahan sampai ia dewasa. Tapi ternyata, saat ini, penyakit yang di derita Suci sudah semakin parah dan sepertinya sudah tidak bisa tertolong. Meski pun selama ini, Suci rutin menjalani pengobatan. Tapi tetap saja, kanker itu masih bersarang di tubuhnya." Delon  menarik napasnya.
"Saat ini, Suci sedang menjalani pengobatan di Singapur. Kedua orang tuanya masih berharap Suci masih bisa sembuh. Tapi Suci sendiri tahu, kalau umurnya tidak akan lama lagi."
Tom menatap Delon cukup lama, mencoba memahami cerita Delon barusan. Tom menatap laki-laki itu setengah tak percaya. Tapi untuk apa Delon berbohong. Bathinnya.

"lalu untuk apa Suci berbohong?" tanya Tom akhirnya, setelah beberapa saat mereka terdiam.
"Suci tidak pernah pacaran sebelumnya, Tom. Ia tahu, umurnya tak lama. Makanya ia memilih untuk tidak menjalin hubungan serius dengan laki-laki manapun. Tapi sejak ia mengenal kamu, ia merasa berbeda. Di mata Suci, kamu berbeda, Tom. Kamu mampu membuat Suci akhirnya benar-benar jatuh cinta. Awalnya Suci ingin cerita tentang semua ini, tapi ia gak sanggup. Ia takut kamu akan pergi meninggalkannya. Sementara ia sudah terlanjur mencintai kamu. Namun setelah kamu cerita tentang masa lalu kamu dengan Jeni. Ia justru semakin takut. Ia takut, kalau pada akhirnya kamu juga akan kehilangan dia. Sama halnya seperti Jeni, tapi mungkin dengan cara yang berbeda." Delon menelan ludah.
"untuk itu ia mengarang cerita tentang pertunangannya dengan saya. Pada saat kamu melihat kami di kafe, itulah saat Suci meminta izin saya, untuk berbohong padamu. Ia tahu, kamu akan datang ke kafe itu.." Delon melanjutkan.

Tom menarik napas, hatinya terenyuh. Kenapa Suci melakukan itu padanya? pikir Tom membathin.
"karena ia tidak ingin hubungan kalian semakin dalam, Tom." ucap Delon lagi, seperti bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Tom. "ia tidak ingin, kamu berharap banyak. Karena ia tahu, pada akhirnya ia memang harus pergi. Dan itu pasti akan sangat berat bagimu, Tom."
"lalu untuk apa kamu ceritakan ini semua pada saya sekarang?"
"sebenarnya saya sudah berjanji pada Suci, untuk tidak menceritakan ini sama kamu, Tom." Delon menghembuskan napas. Ia teguk minuman yang sudah dihidangkan mama Tom dari tadi.
"tapi, saya tak ingin kamu berburuk sangka pada Suci. Terutama di sisa-sisa akhir hidupnya.." Delon melanjutkan.
Tom memijit keningnya sendiri. Semua yang diceritakan Delon membuat kepalanya berdenyut. Sungguh ia masih tak percaya, kalau ternyata cerita Suci tentang hubungannya dengan Delon, hanyalah sebuah alasan untuk mengakhiri hubungan mereka.

"besok saya akan ke Singapur, menjenguk Suci. Saya tidak tahu, apakah saya masih bisa bertemu dengannya. Tapi saya sarankan, agar kamu ikut, Tom. Setidaknya beri Suci sedikit kebahagiaan, sebelum ia benar-benar pergi..." suara Delon semakin pelan.
Tom menelan ludah pahit. Ia tak sanggup.
Ia tak sanggup kehilangan orang yang ia cintai kedua kalinya dengan cara yang sama.
Dia sudah ikhlas, ketika Suci memutuskannya dan memilih untuk pergi.
Tapi setelah mendengar semua cerita Delon barusan. Hatinya justru semakin sakit. Tubuhnya gemetar menahan gejolak di dadanya. Kepalanya semakin terasa sakit.
Mengapa orang-orang yang ia cintai, harus pergi dengan cara yang sangat menyakitkan?
Mengapa ia tidak bisa menikmati kebahagiaan lebih lama dengan orang yang ia cintai? bathin Tom merintih...

Sekian...

Sebuah cerpen : Kisah cinta seorang Operator sekolah...

"besok pagi ikut pelatihan ya.." suara sangar pak Lutfi cukup mengagetkanku pagi itu.
"dimana pak?" tanyaku ringan.
Pak Lutfi menyebutkan sebuah alamat. Aku hanya mengangguk.
Ini adalah hari pertama aku mulai bekerja disini. Di sebuah sekolah dasar, tak jauh dari rumahku.
Aku bekerja sebagai seorang Operator sekolah, dan pak Lutfi adalah kepala sekolah kami.
Sebagai seorang yang baru masuk dunia pendidikan, aku masih merasa cukup canggung. Apa lagi pekerjaan yang aku terima adalah merupaka hal baru saat itu.
Tapi aku harus bisa terbiasa dengan semua itu.
Selepas mendapatkan gelar sarjana komputer, aku langsung mengajukan lamaran ke beberapa tempat, dan kebetulan sekali aku di terima di sekolah ini.

Esok, pagi-pagi sekali aku sudah mengendarai motor bututku menuju alamat yang disebutkan pak Lutfi kemarin. Ini adalah kali pertamanya aku ikut pelatihan dan tidak ada satu pun orang yang aku kenal disana.
Sesampainya ditempat pelatihan, aku melihat beberapa orang sudah hadir. Menurut cerita pak Lutfi kemarin, pelatihan diikuti oleh lebih kurang tiga puluh sekolah, yang mana setiap sekolah mengutus satu orang operator.
Pelatihan dilaksanakan di sebuah gedung serba guna milik sebuah sekolah. Aku melangkah pelan dari tempat parkir menuju ruang pelatihan, sambil sedikit memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Aku masuk ke dalam dan duduk di salah satu bangku yang berada tidak terlalu jauh dari depan.
Beberapa orang juga sudah mulai memasuki ruangan. Karena sebentar lagi pelatihan akan segera di mulai.

Pelatihan dimulai dengan beberapa sambutan dari pihak yang berwenang. Aku memperhatikan beberapa orang yang duduk di deretan meja depan. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang pemuda.
Pemuda itu cukup menarik perhatianku, karena sepanjang acara pembukaan ia selalu menebar senyum. Dan senyumannya itu yang membuat aku terpukau, lesung pipi di kedua belah pipinya benar-benar mempesona.
Aku segera menunduk, saat mata kami saling beradu pandang. Jantungku berdegup kencang.
Pemuda dengan senyum manis itu sudah berdiri saat aku mencoba menolehnya lagi. Ternyata pemuda itu lah yang menjadi tutor kami hari itu.


operator sekolah


"nama saya Al-Hafis!" ucapnya setelah mengucapkan salam. Ia berdiri di depan sambil memegang sebuah pengeras suara. "biasa dipanggil Afis." lanjutnya.
"bagi teman-teman operator sekolah yang baru, silahkan save nomor handphone sekaligus nomor whatsapp saya, untuk bertanya seputar pekerjaan kita sebagai operator. Atau bisa juga bergabung dengan group facebook kita. Disana kita bisa saling sharing.."
Pak Afis berbicara sambil menulis di papan tulis yang ada di depan.
Aku segera mencatat di handphone dan menyimpan nomor tersebut, sekaligus mengakses group facebook yang disebutkan pak Afis.

Selanjutnya, pak Afis menjelaskan bagaimana dan apa yang harus kami kerjakan ke depannya.
Ternyata pak Afis orang yang sangat menyenangkan.
Pak Afis adalah Operator dari Dinas Pendidikan Kabupaten, yang artinya ia lah yang menghandle dan bertanggungjawab kepada semua operator sekolah yang ada di kabupaten kami.
Berkali-kali aku menatap senyum manis pak Afis, dadaku berdegup tak karuan. Pak Afis telah menyita perhatianku.
Oh, ya. Jangan salah paham dulu! Sebenarnya pak Afis itu masih sangat muda. Kami memanggilnya pak, karena secara jabatan ia satu tingkat diatas kami. Dan juga merupakan hal yang biasa, dalam dunia pendidikan, saling memanggil pak atau pun Ibuk. Itu juga berlaku buat kami sebagai sesama operator.
Karena sebagian operator juga ada yang sudah berumur diatas 30 tahun.

"baru ya?" sebuah suara mengagetkanku.
Aku melirik ke arah samping kiri ku, seorang laki-laki yang masih cukup muda tersenyum padaku.
Aku mengangguk pelan.
"sama.." ucap laki-laki itu lagi. "saya Fhandi.." lanjutnya, sambil menyebutkan tempat tugasnya.
"oh!" aku membulatkan bibir, "saya Ayu..." balasku.
Laki-laki itu, Fhandi, memang sudah sedari tadi duduk di sampingku. Dan sepertinya sudah dari tadi berusaha menegurku.
Aku dan Fhandi mulai mengobrol tentang pekerjaan baru kami, sambil terus memperhatikan ke depan.
Pak Afis masih berbicara di depan, menjelaskan banyak hal dan meminta kami membuka laptop yang memang sengaja kami bawa. Karena sebagai seorang operator sekolah kami memang diwajibkan mempunyai laptop, dan biasanya laptop memang diberikan oleh pihak sekolah. Bukan laptop pribadi.

"bagaimana? Bisa?" suara merdu pak Afis cukup mengagetkanku, karena aku sibuk mengerjakan tugas yang diberikannya di laptop.
Aku menoleh ke arah pak Afis yang sudah berdiri di sampingku. Gugupku tiba-tiba. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
"belum pak.." jawabku sedikit bergetar.
"gak apa-apa." ucap pak Afis sambil sedikit menunduk, membuat gugupku semakin menjadi. "masih baru, kan?" lanjutnya, kali ini ia tersenyum.
Sumpah! Senyum itu sangat manis. Aku gelagapan, salah tingkah.
"coba aja terus. Pasti bisa, kok.." ucapnya lagi.
"iya, pak.." balasku, masih dengan suara bergetar.
Pak Afis melangkah ke belakang, memperhatikan pekerjaan teman-teman operator lainnya.

Pada saat makan siang, tiba-tiba pak Afis mendekatiku. Aku duduk sendirian di ujung teras ruangan.
"sendirian aja?" tanya pak Afis padaku.
Aku hanya mengangguk. Seperti tadi, gugupku pun datang.
"sudah berapa lama jadi operator?" tanyanya lagi, sambil duduk di sampingku.
"baru dua hari, pak.." jawabku.
"oh. Pantas. Gak pernah kelihatan sebelumnya."
Selanjutnya pak Afis cerita tentang pekerjaannya dan juga memberikanku beberapa masukan agar bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.
Aku sangat senang bercerita dengan pak Afis. Aku jadi tahu, kalau ternyata pak Afis memang masih lajang, seperti dugaanku.
"jangan panggil pak lah. Udah tua kali kesannya.."
"tapi memang begitu panggilan resminya, pak.."
"gak juga ah. Siapa bilang? Kan kita bukan Bapak dan Ibu guru.."
"jadi panggil apa baiknya?"
"karena usia kita hanya beda dua tahun, cukup panggil Afis aja.."
"oke lah kalau begitu," jawabku mulai terasa akrab.
Dia mengangguk dan tersenyum.

***********

Begitulah awalnya. Awal aku mengenal sosok Afis dalam hidupku. sejak saat itu, hampir setiap malam, wajah Afis menghiasi hayalku. Senyum manisnya selalu melintas di pikiranku.
Kami sering berhubungan lewat media sosial, saling koment status dan juga sering telpon-telponan.
Meski kami jarang bertemu secara langsung, karena memang jarak tempat tinggal Afis dengan rumahku cukup jauh. Tapi itu tidak membuat kami menjadi jauh.
Hari-hari berlalu terasa indah bagiku, meski hubungan kami hanya sebatas teman. Tapi setidaknya aku merasa bahagia dengan semua itu.
Aku tak tahu apa yang Afis rasakan padaku, sampai saat itu.

Setahun pertemanan kami. Afis jadi sering datang ke rumah dan mengajakku jalan-jalan, walau hanya sekedar nonton di bioskop atau makan siang di kafe. Tapi aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Aku dan Afis kian dekat dan akrab. Rasanya dunia begitu indah.
Harus kuakui kalau aku telah jatuh cinta pada sosok Afis, walau aku tidak pernah tahu perasaannya padaku. Afis tak pernah membahas soal itu sekalipun. Aku pun tak cukup berani untuk mempertanyakannya.
Aku biarkan saja, persahabatan kami mengalir apa adanya.
Sampai suatu saat....

Tiba-tiba Afis menghilang! Tanpa kabar!
Tidak ada satu pun akun media sosialnya yang aktif, bahkan nomor handphone nya selalu tidak bisa dihubungi. Aku merasa cemas. Aku coba bertanya kepada beberapa orang yang ku kenal, tapi tidak ada satu pun yang tahu.
Sampai akhirnya aku tahu, kalau Afis sudah tidak bekerja lagi di Dinas Pendidikan. Pak Lutfi yang cerita. Tapi tidak ada satu pun yang tahu, kenapa Afis tiba-tiba memutuskan untuk berhenti.
Bahkan ketika pihak Dinas mendatangi rumahnya, Afis juga tidak berada di rumah. Pihak keluarganya juga bungkam, tak ingin bercerita.

Aku benar-benar kehilangan. Aku benar-benar bingung. Kemana Afis? Dimana dia sebenarnya? Apa yang terjadi dengannya, sehingga tiba-tiba ia menghilang? Bahkan saat terakhir kami bertemu pun, Afis baik-baik saja. Seperti biasa, ia selalu tersenyum. Tidak terlihat ada masalah, apa lagi pertanda kalau ia akan menghilang.
Tubuhku terasa lemas. Hatiku menangis pilu. Aku benar-benar terpukul. Sudah hampir sebulan tak ada kabar apa pun dari Afis. Air mataku sering menetes bila mengingat itu semua. Betapa aku merindukan sosok Afis dalam hidupku. Saat ini, aku merasa benar-benar rapuh dan tak berdaya.

*********

Enam bulan. Ya, enam bulan sudah Afis menghilang tanpa kabar. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kehadirannya, tanpa membaca statusnya. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kabar darinya. Meski harus kuakui, kalau terkadang ada saat aku begitu merindukannya. Rindu dengan candanya, ceritanya yang blak-blakan dan juga senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

"hei, melamun aja dari tadi..." suara Fhandi membuyarkan lamunanku.
Fhandi duduk di sampingku, dengan membawa dua buah es krim. Dia berikan satu es krim untukku.
Siang itu Fhandi memang sengaja mengajak ku jalan-jalan ke sebuah obyek wisata alam yang cukup terkenal di daerah kami.
Aku dan Fhandi akhir-akhir ini memang menjadi dekat. Bukan saja karena kami memiliki profesi yang sama. Tapi memang sejak awal kami kenalan waktu pertama kali aku ikut pelatihan dulu, Fhandi memang sering menghubungiku. Namun karena selama ini ada Afis, aku tidak terlalu menanggapinya.
Sejak Afis menghilang, Fhandi bahkan jadi sering datang ke rumah. Karena jarak tempat tinggal kami tidak begitu jauh.

Terus terang, aku merasa sedikit terhibur dengan kehadiran Fhandi di hidupku. Cowok tampan dan jangkung itu, mampu mengisi kekosongan hari-hariku setelah kepergian Afis.
Meski Fhandi tidak benar-benar mampu menggantikan sosok Afis dalam hidupku. Tapi setidaknya Fhandi lebih jelas dan tegas. Terutama soal perasaannya padaku.
"aku jatuh cinta padamu, Yu. Bahkan sejak pertama kita saling kenal.." ucapnya suatu hari.
Saat itu, aku hanya terdiam. Aku bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Sebagian besar hatiku masih tersimpan rapi sosok Afis dengan senyumnya yang begitu manis. Namun sosoknya telah menghilang seperti di telan bumi.
Dan Fhandi hadir, dengan cintanya yang tulus. Dengan segala kesederhanaannya. Ia mampu membuatku tersenyum kembali. Ia mampu membuatku bangkit dari kekecewaan yang mendalam. Meski itu bukan berarti aku telah membuka hatiku untuknya.
Tapi apa mungkin aku bisa menolak kehadirannya di hatiku? Mengabaikan cintanya yang begitu tulus dan jelas?

"kamu belum jawab pertanyaanku yang kemarin, Yu.." ucap Fhandi lagi, sambil membuka bungkusan es krim yang baru ia beli.
"pertanyaan yang mana?" tanyaku, lebih berlagak pura-pura tidak tahu.
Fhandi menolehku. Ia tersenyum. "kamu tahu, pertanyaan yang aku maksud, Yu. Gak usah berlagak pikun.." balasnya.
Aku tertunduk. Merasa jengah ditatap seperti itu. Jujur harus kuakui, kalau Fhandi memang memiliki mata yang indah. Tatapannya begitu teduh, namun mampu menusuk ke relung hatiku yang rapuh.
Aku menjilati es krim dan menelannya pelan. Terasa dingin melewati tenggorokanku. Kutarik napasku perlahan.
"aku... aku tidak tahu harus jawab apa, Fhan." ucapku sedikit terbata. "aku belum bisa jawab sekarang. Aku butuh waktu, Fhan." lanjutku.
"kenapa?" tanya Fhandi. Pandangannya dialihkan kearah kerumanan orang-orang yang ramai di depan kami. Mereka sibuk berpose.
Aku hanya menggeleng lemah. Aku benar-benar tidak bisa menjawabnya.

"aku gak bisa jelaskan sekarang, Fhan. Aku harap kamu mengerti.." ucapku lemah.
Kali ini Fhandi terdiam. Aku tahu ia penasaran dan bingung. Tapi saat ini aku memang belum bisa menjelaskannya. Aku takut, kalau perasaanku pada Fhandi hanyalah sebuah pelarian atas kekecewaanku terhadap Afis.

************

"hei! Tunggu!" sebuah suara memaku langkahku. Hari ini aku tidak masuk kerja. Aku pergi ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten, ada beberapa hal yang aku urus disana.
Seorang laki-laki paroh baya mendekatiku.
"kamu Ayu, kan?" ucap laki-laki itu sambil mengatur napas.
Aku mengangguk. Beberapa langkah lagi aku akan sampai ke pintu masuk. Orang-orang ramai berlalu lalang. Saat ini memang jam sibuk kerja.
"bisa bicara sebentar?" tanya laki-laki itu lagi.
Aku mengernyitkan kening. Aku tak mengenali lak-laki itu.
"maaf. Aku lagi ada urusan di dalam.." balasku ringan.
"ini tentang Afis.." ujar laki-laki itu pelan.
Keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya. "bapak siapa?" tanyaku.
"saya Sabda. Abang Afis. Ada yang harus kamu ketahui tentang Afis.." laki-laki itu menatapku lama.

"Afis sakit, Yu." bang Sabda memulai pembicaraan. Kami duduk di sebuah bangku taman yang ada di depan kantor dinas. Dulu Afis sering mengajakku duduk disini.
"Afis sakit sudah lama. Bahkan jauh sebelum ia mengenal kamu. sebuah kanker telah bersarang di otaknya sudah bertahun-tahun." bang Sabda menarik napas sejenak. Aku terdiam memperhatikannya, mencoba memahami ceritanya barusan.

"awalnya Afis mencoba mengabaikan penyakitnya, karena tidak mengganggu aktivitasnya. Namun setahun belakangan, penyakitnya makin parah. Kami sempat ke luar negeri enam bulan yang lalu, untuk menjalani operasi. Selesai operasi keadaannya mulai membaik. Kami pun pulang ke Indonesia. Namun berselang satu bulan, penyakitnya kambuh lagi." bang Sabda menarik napas lagi, "sebenarnya dokter sudah menjelaskan, kalau kanker itu akan tumbuh lagi. Tapi kami tidak menyangka akan secepat itu. Berbulan-bulan Afis terbaring di rumah sakit, menjalani perawatan. Ia tidak ingin kamu tahu. Ia tidak ingin kamu merasa khawatir..."
"dengan ia menghilang tanpa kabar, itu justru membuatku lebih khawatir.." selaku bergetar. Aku menahan air mataku agar tidak tumpah saat itu.
"iya. Aku tahu, karena itu aku mencari kamu. Tapi aku tidak tahu dimana alamatmu. Sampai tadi aku melihat kamu. Dan aku ingin menceritakan ini semua sama kamu.."
"atas permintaan Afis?" suaraku semakin bergetar.
"tidak. Ini atas inisiatifku sendiri. Aku tak tega melihat Afis. Ia sepertinya sudah menyerah melawan penyakitnya. Aku tahu, ia sangat dekat dengan kamu. Aku berharap kamu mau melihat keadaannya sekarang. Mungkin dengan kehadiran kamu di dekatnya, itu bisa memberinya semangat. Selama ini ia hanya menatapi photo kamu.." ucap bang Sabda lagi, suaranya terdengar parau.

Aku mencoba memahami setiap cerita bang Sabda. Awalnya aku ingin marah. Tapi rasa iba lebih menguasai hatiku. Membayangkan Afis yang terbaring sakit, aku menjadi tak tega.
"sekarang Afis dimana?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.
Bang Sabda menyebutkan rumah sakit tempat Afis dirawat. "keadaannya semakin parah, ia sering tak sadarkan diri.." ucapnya.

**************

Tubuh Afis terbaring lemah di sebuah dipan rumah sakit. Tubuh itu dipenuhi oleh infus. Aku semakin tak tega melihatnya. Senyum manis cowok itu telah hilang. Tubuhnya kurus kering tak berdaya. Tanpa sadar air mataku menetes menatapnya. Cowok itu membuka mata, saat aku mencoba menyentuh tangannya. Pihak keluarga memang sengaja membiarkan aku sendiri di dalam kamar rumah sakit itu.
Mata Afis terlihat kaget melihat aku berdiri di dekatnya. Aku menggenggam jemarinya yang lemah. Air mataku terus bercucuran. Namun aku mencoba tersenyum.
"hei.." suaraku pelan.
"ngapain kamu kesini?" tanya Afis suaranya terdengar lemah. "siapa yang kasih tahu aku disini?' lanjutnya.
"itu gak penting sekarang, Fis. Yang penting kamu harus lekas sembuh, ya. Aku kangen..." ucapku sambil meremas lembut tangannya. "aku kangen melihat senyum kamu lagi. Aku kangen nonton di bioskop bareng kamu lagi, Fis. Aku kangen baca status kamu..." suaraku semakin parau.

"kamu... kamu gak marah?" Afis berucap dengan terbata.
Aku menggeleng. Aku berusaha tersenyum. Aku mengusap pipiku sendiri, menghapus sisa air mataku. Berusaha untuk terlihat tegar.
"kamu harus sembuh, Fis. Kamu gak boleh menyerah. Mulai sekarang aku akan selalu mendampingi kamu..." ucapku, sambil mengelus rambutnya yang mulai memanjang.
"maafkan aku ya, Yu..." ucapnya, bibirnya berusaha menyunggingkan senyum.
Aku mengangguk dan menggenggam tangannya erat.

Hari-hari berikutnya, aku lebih sering menjenguk Afis. Menemaninya dan memberinya semangat. Jarak yang jauh tidak membuatku menyerah. Jauh dari dasar hatiku, aku masih mencintainya. Meski aku tak bisa mengungkapkannya. Bertemu dengannya kembali memberikanku sebuah harapan. Sebuah harapan yang sempat memudar. Kini hari-hari ku terasa lebih bermakna.
Aku semakin menyadari, kalau aku benar-benar mencintai Afis. Dan sosoknya tak pernah bisa tergantikan. Aku tahu, Afis juga mencintaiku. Walau pun dia tidak pernah mengucapkannya. Namun dari semua sikapnya padaku, aku tahu, dia sangat membutuhkanku.

"keadaannya sudah semakin membaik sekarang.." ucap bang Sabda suatu hari. "terima kasih ya, Yu. Sepertinya kehadiranmu benar-benar telah membuat ia bangkit."
"aku mencintai Afis, bang." balasku jujur, "aku ingin dia sembuh. Aku ingin melihat Afis yang dulu. Afis yang selalu tersenyum..."
"yah. Kita sama-sama berdo'a ya, Yu. Semoga Afis bisa sembuh kembali. Aku yakin, Afis juga sangat mencintai kamu." bang Sabda menatapku penuh keyakinan.
"minggu depan Afis akan operasi lagi. Semoga operasi kali ini, benar-benar bisa mengangkat penyakitnya dan tidak akan kambuh lagi." ucap bang Sabda lagi.
"aamiin, bang. Semoga!" jawabku tersenyum.

************

"maafkan aku, Fhan. Aku gak bisa.." aku menatap wajah Fhandi yang memperlihatkan raut kekecewaannya.
"kenapa?" tanya Fhandi lemah.
"karena sudah ada seseorang yang mengisi hatiku, Fhan. Bahkan jauh sebelum kita saling akrab."
"lalu apa arti kedekatan kita selama ini, Yu?"
"maafkan aku, Fhan. Aku tidak bermaksud mempermainkan kamu. Selama ini aku memang menyukai kamu. Tapi perasaanku tak kian berkembang, Fhan. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau sebenarnya aku mencintai orang lain. Meski aku sudah berusaha menerima kehadiranmu, namun tetap saja aku tidak menemukan cinta itu ada untukmu. Sekali lagi, aku minta maaf, Fhan.."
Fhandi menghempaskan napasnya berat. Kedua tangannya mengepal.
Aku tahu Fhandi terluka. Tapi akan lebih menyakitkan lagi, jika aku harus terus berpura-pura bahagia saat dengannya. Akan sangat menyakitkan, jika aku tidak berterus terang padanya.

Aku melangkah meninggalkan Fhandi yang masih duduk termangu di kafe itu. Sekelebat rasa bersalah menghantuiku. Tapi semua memang harus terjadi. Aku memang harus memilih. Dan hatiku begitu yakin, kalau aku sangat mencintai Afis, seperti apa pun kondisinya saat ini.
Hatiku telah memilih, meski harus ada hati yang tersakiti.
Fhandi sosok cowok yang baik dan sederhana. Aku yakin, banyak cewek-cewek lain di luar sana yang mengharapkannya dan bisa membuatnya bahagia.

Sekian...

Sebuah Cerpen : Rahasia Hati Indra...

"kamu kenapa, Ndra?" suara lembut Nela mengagetkanku, yang sejak tadi termenung sendiri. di bangku taman sekolah. Pikiranku menerawang, hingga aku tidak sadar, kalau Nela sudah berdiri di sampingku.
Aku menatap sekilas kearah Nela, "gak kenapa-kenapa, kok.." jawabku sedikit acuh.
"Indra. kita sudah berteman sejak kecil," ucap Nela, sambil ia ikut duduk di sampingku, "aku tahu persis bagaimana kamu. Kalau kamu udah menyendiri seperti ini, itu artinya kamu lagi ada masalah." lanjutnya, mata Nela mengawasiku yang tiba-tiba merasa sedikit kaku.
"aku gak apa-apa kok, Nel. Cuma lagi pengen sendiri aja.." balasku, menghindari tatapan Nela.

"kamu marah sama aku?" tanya Nela, setelah beberapa saat kami terdiam.
"marah? kenapa aku harus marah?" aku justru balik nanya, kali ini aku beranikan untuk menatap kearah Nela. Mata kami bertemu pandang, namun segera aku memalingkan muka.
Kudengar Nela menarik napas, "sejak aku jadian sama Andi, aku perhatikan kamu lebih sering murung dan menyendiri.." ucapnya.
Aku menatap Nela kembali, dengan sedikit susah payah aku tersenyum. "kamu apaan sih, Nel. Aku biasa aja, kok.."
"aku tahu, Ndra. sekarang kita jadi jarang jalan bareng, main bareng, gak kayak dulu lagi. Tapi kita kan tetap sahabatan, Ndra."
"iya, Nel. Kita tetap sahabatan. Gak ada yang berubah, kok. Kalau kita sekarang jadi jarang main bareng lagi, ya gak apa-apa. Kamu kan memang harus punya waktu juga buat Andi. Aku ngerti, kok!" kali ini aku sedikit menunduk. Hatiku meringis.

Cerpen : Rahasia hati Indra


Aku dan Nela, memang sudah berteman sejak kecil. Sejak kami masih sama-sama di Sekolah Dasar. Kami masuk SMP yang sama, dan sudah dua tahun kami berada di SMA yang sama.
Kami sering main bareng dan belajar bareng, karena memang rumah kami satu komplek. Hubungan kami selama ini sangat dekat, meski hanya sebatas sahabat. Aku sering main ke rumah Nela, begitu juga sebaliknya. Kami selalu bersama-sama. Melakukan banyak hal bersama. Kami tumbuh dengan persahabatan yang indah
Nela gadis yang periang, cantik dan pintar. Terus terang aku memang sangat mengagumi sosok Nela. Beranjak remaja, perasaanku justru kian berkembang. Aku bukan lagi sekedar mengagumi Nela. Tapi juga telah jatuh cinta padanya.
Namun aku tak pernah berani mengungkapkan itu semua. Aku selalu berusaha bersikap biasa saja di depan Nela. Aku sadar, kalau hubungan kami, hanya sebatas sahabat. Meski jauh dari lubuk hatiku, aku berharap suatu saat kelak aku dan Nela bisa berpacaran, bukan lagi sebatas sahabat.
Aku sering membayangkan hal itu. Bahkan hampir setiap malam.

"sebenarnya kalian itu pasangan yang cocok, loh.." seru Tina, salah seorang teman sekelas kami. "yang satu pendiam, yang satu lagi suka nyerocos! kenapa kalian gak pacaran aja, sih?" lanjutnya, yang membuat Nela tertawa ngakak. Aku hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Tina.
Banyak sih, teman-teman yang menyangka kami pacaran, saking dekatnya. Tapi kami tak pedulikan hal itu. Terus terang aku senang dibilang pacaran sama Nela. Dan aku berharap Nela juga merasakan hal yang sama.
Nela memang selalu blak-blakan padaku. Mungkin karena ia merasa sudah tidak ada jarak antara kami. Hampir tidak ada rahasia bagi Nela buatku.
Aku yang memang pendiam, justru lebih sering jadi pendengar yang baik buat Nela. Tapi aku suka. Aku suka mendengar cerita Nela yang blak-blakan, jujur dan apa adanya. Justru itu yang membuat aku semakin mengagumi Nela.
Tapi....

"Andi nembak aku, Ndra. Ia ternyata selama ini juga suka sama aku." cerita Nela suatu sore di rumahnya.
Aku bagai mendengar suara petir di siang yang cerah itu. Akhir-akhir ini, Nela memang sering cerita tentang Andi, kakak senior kami di sekolah.
Awalnya aku menanggapinya biasa saja. Namun hampir setiap hari Nela cerita tentang Andi, dan itu membuat aku merasa cemburu. Meski aku selalu berusaha bersikap biasa saja, saat Nela bercerita tentang Andi.
"kamu terima?" tanyaku sedikit penasaran, suaraku terdengar bergetar.
Nela mengangguk dengan senyum mengembang, wajahnya memancarkan kebahagiaan.
"aku kan udah bilang, Ndra. Kalau aku memang suka sama Andi. Dia tuh dewasa banget.." ucapnya, yang semakin membuat hatiku teriris.
"jadi aku gak dewasa?" desahku pelan.
"maksud kamu?" Nela mengerutkan kening.
"gak. Gak apa-apa. Lupakan saja!" balasku, sambil berdiri. "aku pulang, ya.." lanjutku sambil melangkah keluar.

Sejak saat itu, aku memang sengaja menjaga jarak dengan Nela. Hatiku terasa hancur. Aku tak sanggup mendengar cerita Nela tentang Andi.
Tapi sepertinya Nela sangat bahagia. Aku sering memperhatikan mereka berdua.
Rasanya ada sebagian dari diriku yang hilang. Hampa!
Tapi aku harus ikhlas. Nela berhak untuk bahagia, meski bukan denganku.

"kamu benar gak marah, Ndra?" suara Nela mengagetkan aku lagi.
Aku hanya menggeleng. "selama kamu bahagia, aku juga ikut bahagia, Nel. Bukankah itu arti persahabatan, yang sering kamu katakan." balasku ringan. "lagi pula Andi anaknya baik. Dia pasti bisa bikin kamu bahagia.."
Kulihat Nela tersenyum. Senyum yang begitu manis. Matanya berbinar. Aku suka mata itu.
Huh! Aku mendengus. Entah mengapa semuanya terasa begitu berat.
Sadar, Ndra. Sadar! Nela itu hanya menganggap kamu sahabat! Bathinku.
Suara bel terdengar dari kejauhan. Nela segera bangkit dan dengan sedikit berlari ia menuju kelas.

**************

Sudah lebih delapan bulan Nela dan Andi berpacaran. Aku sudah mulai terbiasa dengan kesendirianku. Meratapi kepatah hatianku. Meski cintaku untuk Nela tak pernah luntur.
Kami memang masih bersahabat, meski tak seerat dulu. Nela sudah jarang main ke rumah, begitu juga aku. Setiap kali aku ke rumah Nela, selalu saja ada Andi di sana.
Aku masih bisa menatap Nela dari kejauhan, melihat senyumnya yang selalu mengembang. Membayangkan wajahnya yang cantik dan tatapan matanya yang berbinar indah.
Yah, aku hanya bisa membayangkannya!

Entah mengapa, desakan haru dan rasa kagum itu selalu ada. Setiap kali menatap mata beningnya dan setiap kali mendengar tawanya. Kejujuran, senyuman dan ceria yang tak pernah ia paksakan bagai air segar bagi hatiku yang tawar.
Bicaranya yang ceplas-ceplos, blak-blakan, sederhana dan jujur. Aku seperti memandang setetes embun yang bening, bersih dan belum terkotori. Berada di dekatnya, aku bagai mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Betapa kubutuh dirinya!
Kadang Ingin rasanya aku selalu berada di dekatnya, sekedar mendengar cerita dan candanya. Aku ingin selalu ada di dekatnya.
Menjaga saat suntuk menyergapnya, saat kesunyian menyelimuti hatinya. Menawarkan hatinya yang lagi gusar atau menampung curhat dan candanya, lalu berbagi suka dan duka.

Ah… Mungkinkah itu aku lakukan ..?!
Justru sebaliknya, ia yang selalu berhasil membuatku tertawa dan tersenyum. Ketika aku hampir menyerah oleh kehidupan yang kurasa mulai membosankan dan menggerogoti nafasku perlahan.
Dia selalu jadi penawar, ketika kuanggap hidupku terasa hambar dan datar. Dan ketika kuanggap hidupku sudah tiada berarti, hampa dan tak bergairah…

Dia selalu buat aku tersenyum dan merasa berarti. Kadang ingin ku menjadi bagian dari dirinya dan selalu berada disamping nya.
Tapi mustahil, ada jarak diantara kami.

Aku hanya berharap semoga dia tetap menjadi seseorang yang aku kagumi.
Moga ceria dan sinar itu gak lekang, semoga ia tetap mampu menawarkan hati orang-orang disekelilingnya, yang butuh kasih dan keceriaan.
Seperti ia mampu membuat ku tersenyum, tertawa dan kadang menangis, karena kangen mendengar tawa nya, rindu mendengar cerita nya.

Saat ini, memang ada jarak diantara kami!
Tapi rasanya hatiku selalu dekat, selalu butuh candanya yang kocak, ceritanya yang blak-blakan atau senyumnya yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

Dia seperti cahaya bagi ku ….
Dia selalu menjadi inspirasi bagiku. Masa depannya seperti guratan cat di kanvas, dia bebas mencoretnya dengan warna biru, merah atau putih sekalipun.
Aku bangga bisa menjadi sahabatnya.
Tapi tetap saja, rasa cintaku padanya membuat aku sakit.

***********

Nela menatapku tak percaya. Keningnya berkerut.
"kamu yakin?" tanyanya.
Aku menarik napas pelan, kemudian mengangguk.
"kenapa kamu tak pernah cerita?" tanya Nela lagi.
"maaf, Nel. Tadinya aku ingin cerita. Tapi menurutku percuma. Kamu juga gak bakal peduli.."
"kamu ngomong apa sih, Ndra!" Nela menyela dengan nada tinggi, "kamu pikir dengan aku pacaran sama Andi, akan merubah persahabatan kita?"
"tidak ada yang berubah, Nel. Tapi aku memang harus pergi.." suaraku pelan.
"iya. Tapi mengapa tiba-tiba, Ndra?"
"tiba-tiba apanya?"
"kamu mendadak ingin kuliah ke luar negeri, Ndra. Kamu tak pernah cerita hal ini sebelumnya. Bahkan kita pernah berjanji, kalau kita bakal tetap bersama sampai kita kuliah.."
"itu janji masa kecil, Nel. Waktu itu kita belum tahu, akan jadi apa kita setelah dewasa..."

Nela terdiam. Ia mainkan jemarinya. Aku coba menatap wajah cantik itu. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"kamu sekarang sudah punya Andi, Nel. Kamu gak bakal kesepian tanpa aku." ucapku akhirnya.
"apa karena itu?"
"maksud kamu?"
"karena aku sekarang pacaran dengan Andi. Dan kamu merasa kalau aku telah melupakan persahabatan kita. Kamu merasa kalau aku telah mengabaikan kamu?"
Aku menyunggingkan senyum. Andai saja kamu tahu, Nel. Betapa aku tersiksa selama ini. Sejak kamu jadian sama Andi! Rintihku.
"ini tak ada hubungannya dengan semua itu, Nel. Keputusanku untuk kuliah ke luar negeri adalah karena aku ingin mengejar mimpiku. Ingin mengejar cita-citaku.." ucapku tertahan.
"cita-cita? Bukankah dulu kamu hanya bercita-cita untuk bisa kuliah bersama-sama? Tak pernah sekalipun kamu bercerita tentang ke luar negeri, Ndra!" suara Nela terdengar ketus. "ternyata kamu memang telah berubah, Ndra!"

Kamu yang berubah, Nel. Kamu juga yang membuat aku berubah. Bathinku pilu.
Tapi aku tak mungkin menyalahkan Nela. Aku yang terlalu pengecut untuk mengakui perasaanku. Aku yang terlalu berharap!
Seandainya saja aku tidak jatuh cinta sedalam ini pada Nela. Mungkin semuanya akan baik-baik saja. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini.
Aku yang salah. Telah membiarkan benih-benih cinta itu tumbuh dengan subur di hatiku. Harusnya aku bisa mengatasi ini. Harusnya aku bisa menganggap Nela hanya sebatas sahabat, seperti yang ia lakukan padaku.

Tapi semua sudah terlambat, cinta itu telah tumbuh subur dalam hatiku. Aku tak bisa membunuhnya. Aku tak bisa membunuh perasaanku pada Nela.
Dan lebih menyakitkannya lagi, aku juga tidak bisa mengungkapkannya!
Biarlah semua hanya menjadi rahasia. Tidak akan ada siapa pun yang tahu.
Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa terus disini. Aku harus bisa melupakan Nela. Meski aku tahu, itu butuh waktu bahkan seumur hidup...

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate