Sebuah CERPEN Jadul : Tak Ada Yang Berubah

Lampu merah lagi. Nana mengumpat kesal dalam hati. Diturunkannya kaca mobil setengah, untuk mengurangi panas dimobil. Ia menggerutu panjang – pendek. Bakalan telat lagi, nih! Padahal minggu lalu dia juga terlambat untuk mata kuliah yang satu ini. Sehingga dengan amat terpaksa ia mengikuti kuliah kewiraan dari luar kelas.


“Majalah, Mbak!”
Nana tersentak kaget. Hampir saja memaki cowok penjual majalah dan koran dilampu merah itu. Kalau saja ia tidak melihat tampang cowok itu.
“Jeff...?” desisnya tak percaya. Kekucelan cowok itu sedikit meragukan Nana.
Cowok itu menatapnya sesaat. Lalu tergesa meninggalkan Nana. Hal tersebut semakin meyakinkan Nana. Kalau cowok tersebut memang Jeff. Tapi, kenapa penampilan Jeff begitu berbeda. Kurus, hitam dan tak terawat. Dua tahun memang bukan waktu yang singkat, rentang waktu selama itu bisa merubah penampilan seseorang, tapi tidak sedrastis itu.
“Jeff! Jeff!” teriak Nana, mengeluarkan separoh badan dari mobil. Tapi Jeff menolehpun tidak. Justru langkahnya semakin lebar.
Sayang sudah lampu hijau. Kalau tidak, Nana akan nekat mengejar Jeff.

*******
Siang ini, Nana tidak ada kuliah. Diputuskannya untuk datang lagi keperempatan kemarin. Agar lebih mudah, sengaja ia tak membawa mobil. Semalaman Nana tak bisa tidur. Pertemuannya dengan Jeff kemarin telah membangkitkan kenangan lama yang dengan susah payah ia timpah didasar hatinya. Tapi pertemuan tak terduga itu, telah mengobrak-abrik semuanya
Siapa sangka mereka justru bertemu disini; saat Jeff menghilang, seluruh pelosok Bandung sudah ia jelajahi. Pantas tak ketemu. ‘Gak tahunya ia ada di Medan.
Nana berbaur diantara pedagang asongan yang banyak itu. Matanya jelalatan mencari Jeff. Matahari tepat berada diatas kepala. Tapi Nana tak peduli, asal ia dapat bertemu dengan Jeff.
Nah, itu dia!

Langkah Nana lebar. Jeff berdiri dipinggir jalan dengan tumpukan majalah dan koran ditangan. Menunggu lampu merah tiba, lalu akan bergerak cepat menjajakan dagangannya dari mobil ke mobil begitu lampu kuning berganti merah.
Sekarang Jeff ada didepannya. Lampu merah. Nana urung memanggil. Diperhatikannya Jeff yang menawarkan dagangannya kebeberapa mobil yang kacanya terbuka. Bukan membeli, justru kaca itu semakin menutup penuh.
Tak satupun dagangan yang terjual. Jeff mengusap peluh diwajahnya yang hitam. Tersentuh hati Nana. Ia tahu siapa Jeff, cowok pemalu yang tak biasa hidup keras dan susah.
“Jeff ...”
Jeff menatap Nana. Mengernyit sesaat lalu membuang muka. Langkahnya berbalik menjauhi Nana.
Nana mengejar dari belakang. “Jeff!”
Disentuhnya pundak Jeff dari belakang. Cowok itu berbalik menatapnya.
“Maaf, kamu salah orang. Aku bukan Jeff!”
“Kalau bukan Jeff, lalu kamu siapa?”
“Kurasa itu bukan urusan kamu,” ujarnya tanpa menatap Nana. Berbalik dan berjalan menjauh.
“Kamu pengecut, Jeff! Pergi tanpa pamit. Lalu sekarang, kamu pura-pura ‘gak kenal. Apa salahku?!” teriak Nana parau.
Diluar dugaan, Jeff berhenti, berbalik menatap Nana.
“Kamu ‘gak salah. Aku juga tak bersalah. Keadaanlah yang memaksaku harus pergi.” Perlahan suara Jeff. Mereka duduk dihalte tak jauh dari lampu merah tersebut.
“Berarti kamu tak mengenal aku seutuhnya. Perbuatan papamu itu tak akan mengubah hubungan kita.”
“Bagimu mungkin. Tapi tidak dengan keluargamu.”
“Apa maksudmu?”
“Lupakan saja.”
“Jangan membuatku bingung, Jeff.”
“Tak ada gunanya, Na! Jika kukatakan, tak akan merubah apapun yang sudah terjadi.”
“Tapi setidaknya bisa membuatku mengerti mengapa kamu pergi tanpa pamit.”
“Aku tak ingin mengingat semua itu lagi. Bagiku itu merupakan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam.”
Miris hati Nana mendengarnya. Tragis sekali. Bagi Jeff dirinya cuma masa lalu yang sudah terkubur. Sementara dia selalu mengais-ngais masa lalu itu. Berharap suatu hari mereka kembali bertemu.
“Semudah itu kamu melupakanku?”
“Kita sudah jauh berbeda, Na! Lihat saja, aku bagai gelandangan dekil. Sementara kamu bagai putri raja.”
“Semua mungkin sudah berubah. Tapi tidak dengan hatiku.”
“Waktu akan mengubah segalanya.”
“Takkan ada yang mampu merubahnya.”
Jeff menghela nafas. Mencintai Nana adalah hal yang sangat menyenangkan, dan memiliki cinta gadis itu merupakan hal terindah dalam hidupnya.
Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berubah.

Bukan salah orangtua Nana jika menentang hubungan mereka. Juga bukan salah papa karena memanipulasi uang perusahaan, yang menyebabkan Jeff menjadi hina dimata siapa saja.
Jeff tak berhak menghakimi papa. Sudah begitu banyak yang menghakimi papa. Apalagi papa sudah menebusnya dengan masuk bui. Lalu pergi jauh ke istana Tuhan karena tidak tahan hidup menderita didalam sel.
Juga bukan salah mama, jika memilih mengakhiri hidup dan meninggalkan Jeff sendirian, dari pada melarat dan malu.
Bukan salah siapa-siapa. Kalau ada yang harus disalahkan, mungkin cintanya yang salah berlabuh.
Dia dan Nana memang sudah tak sebanding. Tapi mereka mencoba mengabaikan itu. Hingga papa Nana merasa perlu turun tangan. Dengan wajah memelas memohon. “Tolong tinggalkan Nana. Dia anak om satu-satunya. Om ingin dia mendapat pria yang pantas dan sepadan dengannya.”
Jeff tak berhak tersinggung. Untuk sakit hati saja ia tak pantas. Karena benar yang dikatakan papa Nana. Tapi Jeff masih punya harga diri, dan dia harus menyelamatkannya, karena hanya itu yang ia punyai.
 
Kebersamaan memang kebahagiaan. Tapi jika mereka tetap bersama, Jeff hanya akan memberi kesedihan bagi Nana, disuatu hari nanti. Dan jika memang perpisahan membuat Nana kelak akan bahagia, Jeff memilih untuk pergi. Diam-diam. Tanpa ada kata perpisahan, juga penjelasan mengapa ia harus memilih jalan itu.
Semua sudah berakhir. Yang tersisa hanyalah setumpuk masa lalu yang terlalu sakit untuk dikenang, walau terlalu manis untuk dicampakkan.
“Aku sayang kamu, Jeff! Selalu dan untuk selamanya.”
Jeff menggeleng dengan pandangan miris.
“Jangan ucapkan itu, Na. Terlalu sakit buatku.”
“Kenapa?”
Jeff menggeleng. Mundur tiga langkah, lantas berbalik dan berjalan tergesa meninggalkan Nana.
*************

Lebih seminggu Nana tak lagi pernah melihat Jeff berjualan dilampu merah tempatnya biasa berjualan.
Pikiran Nana mulai tak enak. Memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Jeff.
“Kamu kenal Jeff?” Nana bertanya pada seorang penjual rokok dilampu merah itu.
“Yang hitam tinggi itu?”
“Yang agak kurusan,” tambah Nana. “Kamu ada liat dia?”
Remaja itu menggeleng.
“Kamu tahu rumahnya?”
“Dia kost di Juanda baru. Dekat jembatan itu.”
“Bisa antar saya. Saya temannya di Bandung dulu.”
Remaja pria itu membulatkan bibir.
Mereka hanya berjalan kaki. Karena katanya tempat kost Jeff tak jauh dari situ. Lagipula jalannya sempit dan becek, hingga mobil takkan bisa masuk.
Mereka melewati rumah-rumah kecil dan sembrawut. Tiang-tiang jemuran melintang tak teratur. Beberapa bocah bertelanjang dada penuh ingus dihidung saling berlarian.
“Masih jauh?”
“Itu rumahnya. Yang cat hijau.”
“Yang paling pinggir?” mengernyit kening Nana. Yang ditunjuk remaja itu merupakan rumah paling jelek dari rumah lainnya.
“Perlu saya tunggu, Mbak?”
Nana mengangguk. Ia merasa tak nyaman berada sendirian ditempat seperti ini.
“Assalamualaikum ..”
Tak ada sahutan. Nana mengetuk pintu yang terbuat dari tripleks itu pelan, sambil mengucapkan salam. Sepi.
Nana menoleh kebelakang. Ketempat remaja pria itu berdiri. “Benar ini rumahnya?”
“Benar, Mbak! Coba panggil lebih keras.”
“Assalamu .....”
“Cari siapa?” belum usai salam Nana, seorang Ibu keluar dari rumah sebelahnya.
“Ada Jeff, Bu?”
Wanita tua itu menatap Nana dengan mata memicing. Membuat Nana berdiri kian kikuk.
“Benar ini tempat kost Jeff, Buk?” ulang Nana memastikan.
“Jeff udah pergi seminggu yang lalu.”
Nana tercekat, “pergi kemana?”
“Ibu kurang tahu. Tapi dia bilang ingin mencoba mengadu nasib ke Batam atau Jakarta.”
Lemas seluruh tubuh Nana. Untuk kedua kalinya Jeff pergi tanpa kata perpisahan. Teganya! Padahal, asanya yang selama ini sudah berkarat, baru saja diasahnya kembali. Tapi ternyata ...
Setelah mengucapkan kata permisi, Nana berbalik langkah. Sekuat hati, ia menahan agar tangisnya tak tumpah.
“Nak, tunggu dulu!” wanita tua itu menahan langkah Nana. “Ibu sepertinya sering melihat kamu. Tapi entah dimana,“ wanita itu terlihat berpikir keras, lantas mengambil sebuah kunci dari balik bajunya yang usang.
“Kemari, nak!” panggilnya setelah membuka pintu kamar kost Jeff. Nana melangkah masuk. Matanya terbelalak. Photo-photonya yang ia berikan pada Jeff sewaktu di Bandung, tertempel disegala sisi.
“Ini photo-photomu, kan?”
Nana hanya mengangguk.
“Jeff pernah cerita, karena gadis diphoto inilah dia tetap semangat untuk hidup.”
“Tapi kenapa dia pergi lagi?” serak suaru Nana.
“Ibu juga heran. Jeff pergi begitu tiba-tiba. Ketika Ibu tanya kenapa dia tak membawa photo-photo ini, dia bilang; dia juga pergi untuk melupakannya. Karena dia semakin sadar, katanya bagai mengharap bintang untuk kembali memiliki gadis itu.”
Nana terisak. Berkelebat bayangan wajah Jeff dimatanya. Tak ada yang berubah, Jeff. Andai saja kamu terbuka padaku, rintih Nana dalam hati.

Sekian..

Mentulik, 27 April 2005
NB       :     Tetaplah menjadi yang terbaik, Meski tak lagi denganku ...

Sebuah Cerpen jadul : LAURA

Hari ini, tanggal 7 Mei 2005. Hari ulang tahunku. Dan itu berarti usiaku genap 23 tahun. Usia yang cukup matang. Harusnya aku sudah cukup dewasa.


Aku jadi ingat setahun yang lalu. Pada tanggal dan bulan yang sama. Aku pernah berkenalan dengan seorang gadis, yang berlibur di rumah neneknya, disebuah desa tak jauh dari desa tempat aku tinggal.
Desa tersebut hanya dibatasi oleh sebuah sungai, dengan desaku. Diatas sungai itu dibangun sebuah jembatan yang menghubungkan antara desa kami.
Aku ingat, waktu itu aku melihat seorang gadis manis, berjalan bersama temanku sekaligus tetanggaku, Dhea. Mungkin itu temannya Dhea, bathinku waktu itu. Rumah Dhea bersebelahan dengan rumah kakakku, tempat aku tinggal selama ini. Jadi aku bisa melihat kedatangan mereka dengan jelas, saat itu aku duduk diteras depan rumahku.
Aku juga ingat, waktu itu Dhea yang memanggilku untuk datang kerumahnya. Aku langsung aja datang. Karena aku dan Dhea sudah seperti saudara. Dan lagi pula, aku sudah sering datang kerumah Dhea. Jadi ga’ terlalu jadi masalah kurasa, kalau saat itu, aku datang menghampiri Dhea dan temannya itu.
“ Laura....” begitu ia menyebut namanya padaku, saat kami saling berjabat tangan. Setelah Dhea mempersilahkan kami berkenalan.
“ Rian ...” balasku tersenyum.
“ Laura ini adalah teman baruku, Yan..” Dhea ikut berbicara menjelaskan kepadaku. Yang membuatku menatapnya penuh tanda tanya.
“ Kalau mau tahu lebih jelasnya, tanya aja langsung sama Laura.” Dhea bicara lagi, kemudian melanjutkan, “ Aku mau pergi ke pasar dulu, ya. Sebentar, kok. Kalian ngobrol aja dulu di sini.” Tiba-tiba Dhea ngeloyor pergi, meninggalkan kami berdua diteras rumahnya. Orang tua Dhea juga tak di rumah, pergi ke kebun kali. Biasalah, kerjaan rutin. Bercocok tanam..!!
“ Masih sekolah?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang tercipta sesaat setelah Dhea pergi tadi. Aku duduk disebuah kursi, Laura juga. Ada meja kecil yang membatasi kursi kami. Dari samping, aku bisa melihat kesempurnaan gadis ini. Cantik. Bathinku. Apalagi rambutnya yang dibiarkan terurai panjang, mencerminkan seorang wanita yang keibuan. Kulitnya putih.
“ Aku udah kuliah disalah satu Universitas dikota, disana aku tinggal bersama orangtuaku. Saat ini aku lagi liburan dirumah nenekku, didesa seberang.
“ Ooh...” aku mengangguk mengerti. “ jadi, kamu ketemu Dhea dimana?” tanyaku.
“ Nenekku tinggal sendirian didesa seberang, dan kebetulan pamannya Dhea rumahnya bersebelahan dengan rumah nenekku.” Ucapnya sopan. Lalu tersenyum padaku. Manis.
“ Jadi kamu ketemu Dhea, dirumah nenekmu?” tebakku.
“ Ya...” Jawabnya sambil mengangguk. “ Kebetulan tadi malam Dhea tidur dirumah pamannya, kami berkenalan dan berbagi cerita. Kemudian Dhea mengajakku kesini..” jelasnya, yang membuatku jadi mengerti, kenapa ia sampai kesini.
“ Kalau boleh tahu, berapa lama liburannya?..”
“ Satu bulan..” jawabnya singkat.


Beberapa saat kami terdiam. Dhea belum juga kembali. Tampaknya ia memang sengaja, membiarkan kami berdua ngobrol lebih lama. Sialan juga!
“ Kalau kamu?” tiba-tiba Laura membuka suara lagi, “ boleh dong, aku tahu? Yaa... setidak-tidaknya sedikit tentang kamu, aku pengen tahu ... kalau kata Dhea sih, kamu orang yang baik. Tapi aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu, bolehkan..?” tanyanya, cukup panjang lebar menurutku. Yang membuatku, terdiam sesaat. Ternyata Dhea udah cerita lebih dulu, tentang aku pada Laura. Mungkin itu sebabnya Laura datang kerumah Dhea, karena Dhea udah pasti mempromosikan aku pada Laura. Karena beberapa hari sebelumnya, aku pernah minta tolong sama Dhea, untuk dicariin pacar. Padahal waktu itu, aku Cuma bercanda ...
“ Oh, ya... kamu mau tahu ceritaku bagian yang mana dulu, nih ..? tanyaku, mencoba sedikit akrab.
“ Ya... hmm..” sesaat Laura terdiam seperti berpikir. “ oke, aku pengen tahu, kamu tuh kuliah dimana? Kegiatan sehari-harinya apa aja...? “ ucapnya, yang membuatku semakin merasa akrab.
“ Jadi, dulu tu aku sempat sekolah Cuma sampai kelas dua SMA, kemudian aku terpaksa berhenti, karena udah gak ada biaya.” Sejenak aku menarik nafas, lalu mencoba melanjutkan, “ sejak berhenti sekolah, aku mulai kerja seperti layaknya kebanyakan penduduk disini, kalau gak cari ikan disungai, ya kerja dikebun.”
“ Sampai sekarang?” tanyanya lagi.
“ Yap..!” jawabku.
Kemudian Laura menatapku sejenak, kemudian berkata, “ maaf sebelumnya, kalau boleh tahu, orangtua kamu dimana?”
“ Ibuku meninggal, pada saat aku masih berumur enam tahun, dua tahun kemudian ayahku menyusul.” Aku berhenti sejenak, “ sejak saat itu, aku tinggal bersama kakakku yang paling tua, sampai sekarang ...”
“ Oh, maaf ya..” katanya seperti merasa bersalah.
“ Ouh, gak apa-apa kok, lagian itu udah sangat lama, aku udah terbiasa..” ujarku lagi, sambil kuberanikan diri untuk menatap matanya, yang menurutku sangat indah. Dia balik menatapku juga, kemudian kami sama-sama tersenyum.
Itulah awalnya. Awal pertemuan kami dan juga awal perasaan sukaku hadir.

************

Hampir satu bulan, setelah pertemuan itu. Kami sering bersama-sama. Laura sering datang ketempatku, sekedar cerita-cerita atau juga jalan-jalan disekitaran sungai di desa kami. Kemudian kami pergi makan bakso diwarung ujung desa. Saling mengenal pribadi masing-masing, membuat kami semakin dekat.
Sadar atau tidak, aku mulai merasakan kenyamanan yang selama ini sempat hilang dalam hidupku. Hari-hariku bersama Laura, terasa indah dan penuh makna. Dan entah mengapa, aku juga yakin bahwa Laura juga merasakannya.
“ Aku bahagia bisa mengenal kamu, Ri..” ucap Laura, waktu itu kami sedang duduk-duduk ditepi sungai, sambil menyaksikan anak-anak kecil berlarian dipinggiran sungai.
“ Aku juga ....” kataku jujur.
“ Kamu pernah pacaran, Ri?” tanyanya tiba-tiba, yang membuatku kaget.
“ Dulu ...” kataku sedikit berat, “ aku pernah pacaran, sekitar dua tahun yang lalu. Gadis sini juga, sekarang dia udah menikah dengan pria pilihan orang tuanya, ibunya tak merestui hubungan kami ...” ceritaku saat itu.
Aku melihat Laura tiba-tiba tertunduk. Diam. Wajahnya tiba-tiba muram. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Laura? Apa kata-kataku tadi menyinggungnya? Aku tak berani bertanya. Aku biarkan kami larut dengan pikiran masing-masing.

****************
Ini hari terakhir Laura berada dikampung neneknya. Sore nanti ia akan pulang kekota. Kerumah orang tuanya, ketempat dimana teman-teman dan orang-orang yang menyayanginya udah pasti menanti kehadirannya. Dan aku akan merasa kehilanga.
Laura datang pagi tadi kerumah Dhea.
“ Jadi kamu pulang, Ra?” tanyaku membuka pembicaraan. Ketika kami hanya duduk berdua di teras rumah Dhea.
“ Ya ...” jawabnya ringan.
“ Aku pasti akan sangat merindukanmu ...” kataku jujur.
Karena meskipun hubungan kami hanya sebatas teman biasa, tapi bagiku Laura itu istimewa. Laura yang baik, manis, ramah dan juga pintar. Jujur, aku juga sempat berharap hubungan kami lebih dari sekedar teman biasa. Namun aku sengaja mengubur harapan itu, karena aku cukup tahu ada perbedaan yang dalam diantara kami. Laura adalah gadis terpandang, yang tak mungkin begitu saja menyerahkan hatinya untuk orang biasa seperti aku. Dan kalaupun hal itu mungkin, aku yakin orang tuanya akan sangat menentang hubungan kami. Aku yakin akan hal itu.
Untuk alasan itulah aku berusaha kuat memendam rasa yang sudah terlanjur hadir direlung hatiku. Karena bagiku, menjadi temannya saja itu sudah cukup membuatku bahagia.
“ aku rasa setelah aku pergi, kamu akan melupakanku. Kamu mungkin saja akan sibuk dengan teman-temanmu dan juga dengan pacarmu tentunya ... “ ucapnya kemudian, setelah tadi sesaat kami terdiam.
“ siapa bilang aku punya pacar ..” jawabku.
“ ya, setidaknya mungkin ada seseorang yang diam-diam menyukai kamu, seperti ... Dhea misalnya .”
“ aku dan Dhea cuma berteman, lagi pula Dhea udah punya cowok...” selaku menjelaskan.
Kemudian kami terdiam, entah mengapa kami jadi kaku. Padahal kami selama beberapa minggu ini, sudah sangat dekat.
“ atau mungkin kamu yang akan sibuk dengan cowok kamu disana...? “ ucapku kemudian, mencoba menebak apa yang ada dalam pikirannya.
“ udah lama aku gak punya cowok ..”
“ tapi banyak kan, cowok yang suka sama kamu ?”
“ ah, gak juga ..., kalau pun ada, aku tak pernah terlalu menghiraukannya. Saat ini, aku lebih mementingkan studyku..” ungkapnya tegas.
“ oh ya, ngomong-ngomong kapan kamu kesini lagi ?” tanyaku kemudian.
“ gak tahu ....” jawabnya lemah.
Tiba-tiba aku melihat sekelebat kesedihan dari matanya yang indah. Sedih? Benarkah Laura juga sedih dengan perpisahan ini? Atau hanya perasaan ku saja? Ah, sudahlah, aku tak ingin untuk berharap. Aku diam.
*****

Sore itu Laura benar-benar pergi. Aku merasa ada yang hilang dari hatiku. Entah apa? Kebersamaan memang indah. Tapi bila semuanya harus berakhir, terasa sakit. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi.
“Hai, Rian!” Suara Dhea mengagetkanku tiba-tiba. “Ngelamun aja sih, sedih ya ...?! Gadisnya udah pergi ...” lanjutnya, sengaja mengolokku. Tapi bagaimana lagi, kenyataannya aku memang sedih. “ Nih!” Dhea mengulurkan sebuah amplop surat kepadaku.
“Dari siapa?” tanyaku, seraya mengambil surat itu dari tangan Dhea.
“Laura titip surat ini buatmu, sebelum dia berangkat tadi ..”
“Oh, makasih ya ..! Tapi apa isinya?”
“Tau ah, baca aja ndiri ..” ucap Dhea sambil berlalu pergi.
Akhirnya kubuka dan kubaca juga surat itu. Aku tak tahu, setelah membacanya apa aku harus bahagia atau sebaliknya.
Tapi yang pasti aku ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

********
Hari ini, tanggal 07 Mei 2005. Setahun sudah berlalu, sejak aku berkenalan dengan Laura. Hampir setahun pula, kami tak pernah bertemu. Namun selama ini tak ada kabar apapun tentang Laura.
“Aku juga tidak tahu, semenjak pulang waktu itu, Laura tak pernah kasih kabar lagi kepadaku ...” jawaban Dhea, ketika hal itu kupertanyakan kepadanya.
“Apa kamu tahu alamatnya yang baru ?”
“Gak. Semenjak ia pindah rumah, aku gak pernah ada komunikasi lagi sama dia ..”
“Gimana dengan neneknya?”
“Neneknya udah gak ada lagi disini. Kata pamanku neneknya juga ikut kekota, karena disini tidak ada yang mengurusnya ...”
Malam ini, tiba-tiba aku teringat Laura. Kangen dengan tawanya yang manja. Walau aku sudah berjanji dalam hati, untuk melupakannya. Tapi rasanya sulit. Sudah setahun, aku masih juga mengingatnya bahkan mungkin merindukannya. Dan aku tahu, Laura tak mungkin lagi kembali kesini, karena disuratnya Laura sudah menjelaskan semuanya. Aku buka lagi surat itu, dan untuk kesekian kalinya aku membacanya.


Dear, Rian yang baik .....

Hampir satu bulan lamanya kita bersama. Aku hampir mengenali dirimu seutuhnya. Kamu orang yang sabar, perhatian dan cakep lagi. Andai aku membuka hatiku lebih dalam lagi, andai masih ada waktu ... aku yakin, aku takkan sanggup lagi menahan perasaanku padamu.

Namun aku sadar, sekalipun perasaan kita sama. Takkan ada hal yang bisa membuat kita bisa bersatu.

Rian, aku minta maaf. Selama ini aku tak berani berterus terang padamu. Namun aku juga tak mau membuat berharap.

Sebenarnya jauh sebelum kita berkenalan, aku sudah dijodohkan oleh orangtuaku, dengan anak rekan bisnisnya. Aku tak bisa menolak, aku tak ingin mengecewakan orangtuaku. Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti.

Sekali lagi, maafkan aku ....

Kebersamaan kita yang singkat, mampu membuatku sangat bahagia. Dan aku sadar, aku mulai mencintaimu. Namun kita tak mungkin bersatu.

Selamat tinggal, Rian....

Semoga kamu temukan gadis yang pantas untukmu, gadis yang jauh lebih baik dari pada aku. Gadis yang bisa membuatmu bahagia.

Mungkin dalam tahun ini, aku akan menikah. Dan aku takkan mengundangmu, karena itu akan sangat menyakitkan bagi kita, terutama bagi diriku. Aku mungkin takkan pernah lagi datang ke desamu. Aku harap kamu bisa mengerti, posisi ku saat ini ...

Lupakan aku, lupakan tentang kita.

Aku tahu, ini egois. Tapi jika kita tetap memaksakan diri untuk tetap bersama, akan ada orang-orang yang kita kecewakan.

Untuk itu, aku ingin kamu tidak lagi mengaharapkan apapun dariku. Karena kisah tentang kita, hanyalah sebuah warna. Yang akan pudar oleh waktu ...

Sekali lagi, selamat tinggal ...

Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang lain. Meski tidak denganku...

Wassalam,

Temanmu,


LAURA

Kulipat lagi surat itu, surat yang penuh dengan makna bagiku. Aku bahagia, bahwa ternyata Laura juga mencintaiku. Namun aku sedih, karena Laura harus menikah dengan orang yang tidak ia inginkan. Mungkin memang harus begini. Cinta tak selalu harus menyatu.

Aku hanya ingin tahu, apakah Laura sudah menikah sekarang? Apakah dia bahagia? Aku tak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu ... Namun satu yang pasti, Laura akan menjadi kenangan paling manis sepanjang perjalanan hidupku.
Jujur, aku masih berharap bisa bertemu dengan Laura. Sekali saja! Meskipun itu hanya dalam mimpi terindahku ...
Oh, Laura ...!!

Mentulik, 03 Agustus 2005

Sebuah Cerpen Jadul : Tak Seindah Asa

Cukup lama cowok itu menatap Dhena. Kemudian ia tertunduk. Tak sanggup lebih lama lagi, menatap mata gadis yang sejak tadi berada di samping nya. Berdebat cukup panjang, lalu berakhir dengan permintaan Dhena yang ia rasa tidak akan sanggup untuk melakukannya.


“Maafkan aku Dhen, aku ga’ sanggup…..” ucap cowok itu pelan. Sambil mencabuti rumput hijau yang ada disekitar tempat ia duduk.
“Kamu ga’ sanggup..? Tapi kenapa Man?...” Tanya Dhena spontan.
Cowok yang di panggil, Man, oleh Dhena itu mengusap wajah nya satu kali. Lalu berujar lagi, “Dari awal aku sudah katakan sama kamu, bahwa aku ini bukanlah apa-apa…!”
“Iya…Tapi Kenapa, Man..?” Tanya Dhena lagi yang semakin tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Man, cowok yang ia cintai itu.
“Dhena..” ucap Man, seraya menatap kembali mata gadis yang ia sayangi itu, kemudian memegang kedua lengan gadis itu penuh perasaan, ”Kita harus realistis, orang tua kamu ga’ akan begitu saja memberikan anak gadis nya, pada seseorang seperti diriku…” lanjut nya.
“Tapi kita harus mencoba, Man..!” Dhena berusaha meyakinkan.
“Mencoba? Meski kita tahu bahwa kita akan gagal?! Tapi kita harus juga mencoba? Ga’ Dhen, aku ga’ sanggup. Aku benar-benar ga’ sanggup. Mengertikah kamu..?!” Man memalingkan wajah nya dan melepaskan pegangan nya. Hati nya kacau.
“Mengapa kamu begitu yakin, kalau kita tidak akan berhasil..? Padahal kita belum mencobanya?!..” Suara Dhena bergetar, menahan gejolak di dalam hatinya.
“Lalu, apa kamu berani menjamin. Bahwa kita akan berhasil meyakinkan orang tua kamu, kalau kamu akan bahagia bersamaku?” Man berhenti sejenak mengatur nafas, hatinya sedikit perih dengan kata-kata yang ia lontarkan barusan, ”Aku rasa, kamu lebih tahu siapa orang tua kamu Dhen? Kamu tahu, bagaimana watak ayahmu? Harusnya kamu yang lebih dulu membuka mata…..” Suara Man makin pelan dan lirih terdengar di telinga Dhena yang sedari tadi tertunduk mendengarkan penuturan Man, yang membuatnya semakin pedih.

Dhena menarik nafas panjang, kemudian menghempaskannya perlahan. Ia ikut mencabuti rumput-rumput hijau yang tumbuh liar di sekitar lapangan bola kaki tempat mereka biasa bertemu, sebuah lapangan bola kaki yang sederhana, berada di desa yang sederhana. Desa dimana tempat Man dilahirkan dan di besarkan, seperti yang di ceritakan Man kepadanya. Desa yang indah dan nyaman. Tapi sore ini, Dhena tidak merasakan lagi kenyamanan di Desa ini, hati nya terlalu sakit. Semua karna Man. Cowok sederhana yang membuat ia jatuh cinta, tapi...
“Mungkin lebih baik kita akhiri saja semua ini, Dhen..” Terdengar suara parau Man yang begitu tegas, membuat Dhena menatap tajam kearah Man, ia masih tak percaya kata-kata itu keluar dari seseorang yang selama ini mengisi hari-hari indahnya. Dua tahun pacaran bukan waktu yang singkat, untuk saling mengenali. Tapi kali ini Man keterlaluan.
“Perdebatan ini sudah sering terjadi, Dhen. Walau aku tahu, aku semakin mencintai mu karenanya. Tapi, sampai kapan kita akan bertahan seperti ini.?” Lanjut Man.
“Kita akan menghadapi nya bersama-sama, Man..” Dhena masih mencoba untuk berbicara lembut, meski hati nya sakit.
“Aku mencintai kamu, Dhena. Bahkan sangat mencintai kamu. Tapi rasanya terlalu egois bagi ku, untuk tetap bersama kamu, sementara aku sadar orang tua mu pasti akan melarang keras hubungan kita…” ucap Man lagi. ”Aku mohon, Dhen. Sebelum semua nya makin terlambat…” lanjut Man, penuh harap.
“Tapi, Man…Kenapa kita tidak mencobanya? Kenapa kita tidak mencoba datang pada keluarga aku, lalu membicarakan ini semua..” Dhena berujar dengan hati-hati, ia tidak mau Man tersinggung.
“Aku telah berjuang. Bahkan dari kecil, aku sudah berjuang untuk hidup. Aku tak takut apa pun, apalagi kalau cuma menemui keluarga kamu. Tapi kamu sendiri pasti tahu apa yang akan terjadi, jika aku tetap nekat menemui orang tua kamu…” Man mencabuti kembali rumput-rumput itu, seakan menumpahkan kekesalannya.
“Lalu. apa kamu tidak mau berjuang untuk cintamu. Cinta yang tumbuh di hati mu, Man..?” Tanya Dhena, sekedar meyakin kan hati nya sendiri, kalau Man benar-benar mencintainya.
“Sejak kecil, aku terbiasa hidup susah. Kerja keras, banting tulang. Tapi selalu saja nasib tak memihak padaku. Cita-citaku, keinginanku tenggelam, karena aku kurang beruntung sebagai seorang Man di dunia ini. Tapi untuk tetap hidup dan sebagai laki-laki tentu saja aku harus kuat menghadapi kegagalan demi kegagalan yang aku alami. Namun sekarang aku hampir tak yakin pada diriku sendiri, kalau aku masih mampu meraih sedikit saja dari impian ku..” Man menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudia ia tersenyum kecil, mengingat kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Tiba-tiba ia merasa seperti seorang pujangga. Namun kemudian senyum itu hilang, ada yang begitu pedih di hatinya.
“Dan kamu juga lelah berjuang untuk cinta kita, Man..?" suara Dhena sedikit meninggi. Dia berusaha menahan tangisnya.
“Entah lah, Dhen. Seandainya saja bukan kamu, aku akan berusaha. Meski kami harus hidup menderita…”
“Aku siap…”
“Ga’, Dhen. Kamu takkan pernah siap. Sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup dalam kesenangan dan kemewahan.” Potong Man cepat.
“Tapi aku bahagia bisa mendampingi kamu, Man..”
“Yah…Aku tahu itu. Aku juga bahagia. Tapi sampai kapan? Cinta saja belum cukup untuk menjamin kita akan bahagia selama nya, karena hidup tidak hanya butuh cinta…”
Dhena tercenung, mendengarkan penuturan Man. Hatinya bimbang.


Dhena ingat, betapa acuhnya Man padanya, waktu pertama kali bertemu. Ketika dengan sangat terpaksa Dhena ikut dengan Papanya untuk melihat keadaan salah satu toko papanya, yang berada di desa tempat Man tinggal. Dan Man adalah salah seorang kuli di toko papa Dhena. Papa memang sengaja membuka cabang tokonya di desa itu, karena desa itu sangat maju. Seseorang telah dipercaya papa untuk mengelolanya, dan papa sekali dalam seminggu datang kesana untuk melihat pembukuannya.
Dan untuk pertama kali Dhena kesana, ia bertemu Man yang ketika itu tengah mengangkuti barang-barang dari mobil ke dalam toko. Man begitu acuh dengan kehadiran Dhena disitu, dan juga ketika Dhena mencoba menegurnya.
Sikap cuek dan acuh tak acuh Man itulah yang membuat Dhena penasaran dan membuat Dhena semakin rajin menemani papanya pergi ke desa itu, walau pun dulunya Dhena paling tidak mau di ajak papanya.
“Tumben kamu jadi rajin, menemani papa ke toko sekarang…?” Tanya papa suatu ketika.
“Ya. Dhena kasian aja, membiarkan papa pergi sendirian…” begitu alasan Dhena untuk bisa bertemu dengan Man. Dan pertemuan itu semakin sering terjadi. Dhena mulai tertarik pada Man. Tapi Man tetap dengan sikap cueknya, Man tak pernah memberinya harapan.
Hingga suatu hari, Dhena nekat pergi ke desa itu sendirian.  Ia menemui Man di tokonya, “Kalau kamu masih saja acuh padaku, aku akan suruh papa untuk memecat kamu..” begitu ancamannya, dalam usahanya untuk mendekati Man.
“Aku hanya seorang kuli. Kamu harus sadari itu..” ucap Man.
“Aku tidak peduli.!”
“Tapi…”
“Aku tetap tak peduli. Bagiku kamu adalah seorang cowok yang membuat aku penasaran.”

Begitulah awalnya. Ia merasa kalau kehadiran Man telah membuka hatinya. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai Man, meski Man sendiri sering mengingatkannya.
Dan mereka lebih sering bersama. Man berusaha menghapus segala perbedaan yang ada, walau hati kecil nya tetap tidak bisa menerima hubungan itu. Dhena mampu meluluhkan hati Man untuk tetap bertahan. Meski perdebatan kecil sering terjadi. Namun mereka mencoba merajut kasih, mencuri-curi waktu untuk dapat bertemu.
Lebih dari dua tahun mereka bersama, Dhena sangat bahagia dengan semua itu.
Namun sekarang.
“Aku ga’ sanggup menghadapi orang tua kamu, Dhen. Mereka pasti akan sangat marah sekali..”
“Kamu pengecut, Man!” ketus suara Dhena.
“Ya…Aku memang pengecut.” Man menarik nafas panjang. Ada yang teriris di hati nya. “Mungkin kamu akan lebih bahagia, kalau hidup bersama teman kuliahmu itu..” lanjut nya.
“Izul maksudmu?” Dhena bertanya sambil menatap Man, yang tetap saja memalingkan wajahnya.
“Iya. Aku yakin dia sangat mencintaimu.”
“Dia baik. Bahkan sangat baik. Tapi aku tidak pernah merasakan bahagia yang utuh saat bersamanya. Aku tak pernah ingin mengorbankan apa saja untuknya. Seperti yang dilakukan seseorang yang sangat mencintai kekasihnya…”
“Setelah hampir lima tahun lamanya..?”
“Aku tidak memikirkan berapa lama kami berteman. Seandainya saja aku tidak bertemu kamu, mungkin aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dicintai orang yang kita cintai..”
“Lama-lama kamu juga akan mencintainya..”
“Itu tidak mungkin, Man. Aku tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak aku cintai…”
  Man berdiri tiba-tiba. Ia memandangi Dhena yang tetap saja duduk menatapi rerumputan hijau lapangan bola kaki sederhana itu.
“Tapi kamu juga tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak bisa memberikan kamu apa-apa, Dhen. Kecuali cinta dan sebuah gubuk derita…” Man tersenyum kecil mendengar ucapannya sendiri, yang hampir mirip syair itu. Kemudian senyum itu lenyap, ada yang tiba-tiba terasa sangat sakit di hatinya.
“Kita akan berjuang, Man..!”
“Ya…Tentu saja. Aku pasti akan terus berjuang untuk hidup ku. Tapi aku tidak yakin, kalau kita akan berhasil. Papa kamu tidak akan pernah membiarkan anak gadis semata wayangnya hidup menderita. Kamu harus menyadari hal itu, Dhen..” Kata-kata Man terdengar lemah. “Bahkan untuk minta restu saja, aku sudah tidak sanggup, Dhen. Apa laki-laki seperti ini yang akan kamu banggakan pada papamu, Dhen..” ucapan Man makin lirih, namun mampu membuat Dhena meneteskan air mata, yang sejak tadi ia tahan. ”Apa kata keluarga mu nanti, kalau tahu anak yang mereka sayangi punya calon suami seorang kuli…”
“Cukup, Man!” Dhena histeris, ”Aku mohon, jangan pernah kamu berkata seperti itu lagi..” lanjutnya sedikit tenang. ”Lalu.., apa aku salah, jika aku mencintai seorang laki-laki yang mungkin jauh lebih lemah dari pada Izul..?”
“Oh, tidak. Kamu ga’ salah. Aku juga ga’. Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, mungkin cinta kita yang salah berlabuh…” Kata-kata Man membuat Dhena semakin terluka. Ia akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri memunggungi Man. Menghapus tetesan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Kalau kamu memang tidak mau lagi berjuang untuk cinta kita. Lebih baik aku pergi dan kita tidak akan bertemu lagi…” Dhena melangkah meninggalkan Man yang berusaha menahan air matanya sendiri. Man tak tahu lagi harus berbuat apa. Semua memang harus terjadi.

Hembusan angin senja itu, terasa sangat dingin menyentuh kulit Man. Lapangan bola kaki sederhana yang sejak tadi menjadi saksi perdebatan mereka, kian gelap. Sinar sang surya yang tadi benderang kini mulai tenggelam. Siang telah berlalu, berganti malam. Sang rembulan pun sudah mulai menampakkan keindahannya. Senja yang indah sebenarnya. Tapi bagi dua hati yang sedang terluka, semua nya jadi lebih menyakitkan.

Mentulik, 27 September 2005
Special to my friend….moga bahagia selalu.

Sebuah Cerpen Jadul : Biarkan Cinta Bercerita

Mata Mita menerawang sesaat, merasakan apa yang baru saja dialaminya tadi sore. Sakit sekali rasanya. Setega itukah Afis menyakiti hatinya? Gadis itu tergugu sendiri dikamarnya. Kepercayaan yang dibangunnya pada Afis, kini mulai goyah. Gadis mana yang bisa bertahan dengan kondisi seperti ini?
Kalau saja Mita tidak mendengarkan kejadian tadi sore... ketika ia sudah tak sabar lagi menunggu Afis yang sedang menelpon pak Nasrun, akhirnya gadis itu naik kelantai dua. Disana ia mendengar segalanya.

“Masa sih, aku ngelupain kamu. Aku selalu merindukan kamu, sayang... Apa? Ada yang lain? Kata siapa, sih? Hahaha... kamu masih percaya sama aku, kan..? ‘Gak percaya? Wulan... kenapa kamu selalu meragukan kesetiaanku? ‘Gak semua cowok. Kapan? Oh ... dia itu cuma teman biasa. Bener. Kamu pengen denger lagi? Aku selalu cinta kamu, Wulan. Sampai kapan pun ...”
Susah payah Mita, menahan gejolak didadanya. Ia merasa tak sanggup lagi mendengar percakapan memuakkan itu. Ingin rasanya ia beranjak pergi dari tempat itu. Tapi sisi hatinya yang lain menuduhnya pengecut. Haruskah aku berlari sambil menangis karena orang yang selama ini aku cintai, kini telah menghianatiku? Tentu saja semua itu tindakan pengecut. Mita mencoba membentengi dirinya, agar bendungan dimatanya tidak pecah.
Akhirnya dengan langkah goyah, Mita melangkah masuk. Selanjutnya wajah Afis pucat pasi, dan suaranya mulai terbata begitu Mita muncul tiba-tiba didepannya. Wajah Afis persis seperti seorang maling yang tertangkap basah, sesaat sedang beraksi.
“Afis...?” Mita muncul didepan Afis dengan wajah memerah. Ada letup api yang mengaris dimatanya.
“Mita..” Afis mendadak menjadi salah tingkah. Ia buru-buru menutup telpon. “teman cowok saya, kebetulan udah lama ‘gak ketemu, Ta ...”
“Begitu?!” Mita tersenyum mencibir. “dengan seorang teman cowok kamu bisa ngomong dengan penuh kemesraan? Penuh bahasa rindu dan cinta ...?!”
“Mita ...” wajah Afis tambah pucat.
“Aku ‘gak nyangka, kamu setega itu, Fis !”
“Mita ...”
“Lima menit aku mendengarnya, Fis. Cukup banyak. Sampai aku ‘gak sanggup mendengarnya lagi ..”
“Jadi ..” Afis berdiri, terkejut, dan ‘gak tahu harus ngomong apa lagi?
“Saya udah curiga sejak awal, kamu ternyata bukan menelpon pak Nasrun, kan?”
Selesai dengan kalimatnya, Mita langsung bergegas meninggalkan Afis yang masih terpaku ditempatnya. Namun dengan sigap, ia mengejar langkah Mita yang menuruni tangga.
“Mita ... biar kujelaskan!” dilantai bawah, Afis berhasil mengejar langkah Mita.
Namun ketika Afis hendak meraih tangan Mita, gadis itu menepis tangannya dengan kasar. “tak ada yang perlu dijelaskan lagi! Semuanya sudah cukup jelas, Fis!”.
“itu semua tadi cuma main-main, Ta. Aku orangnya suka iseng. Kamu masih percaya aku, kan ...”
“Saya ..”
Plak! Sebuah tamparan diwajah Afis. Mita berdiri dan melangkah keluar.
Afis mengusap pipinya. Seakan tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Belum pernah sebelumnya ia menerima tamparan dari seorang gadis. Cepat tersadar dari lamunannya, Afis menyusul keluar. Bersamaan dengan itu didepan kantor sebuah taksi berhenti. Dan tubuh Mita lenyap didalam taksi itu.
Afis terlongong sendiri. Sekali lagi ia mengusap pipinya.




***************
Mita mengusap pipinya yang basah. Tak ada yang perlu dipertahankan lagi, bathinnya nelangsa. Ini adalah kedua kalinya ia dikecewakan cowok. Dan itu betapa sangat menyakitkan.
Mita bangkit dari rebahannya. Langkahnya menuju kearah laci meja belajar. Diputarnya kunci sekali kekanan. Tangan gadis itu meraih segopok sampul surat. Sedetik kemudian, surat-surat itu telah bertumpuk diatas meja belajar. Lalu matanya beralih keujung meja. Disana matanya menangkap seraut wajah dengan rahang kukuh, yang dibingkai dengan warna kuning gading. Seraut wajah seorang cowok, Al Hafis dalam ukuran 5R, tersenyum kearahnya. Senyum itu begitu memikat. Namun, Mita merasakan senyum itu kini berubah bagai seringai yang paling menjijikkan. Mita benci sekali.
Diraihnya photo itu. Tangan mungilnya terangkat keudara, dan ketika siap menghempaskannya ke lantai ...
“Mita .. ada telpon buat kamu. Cepatan gih!” suara bang Bas menghentikan gerakan tangan Mita. Bingkai photo yang masih ada ditangannya, dicampurkan keatas tumpukan surat. Buk!
“Dari siapa, sih!” tanya Mita kesal. Walaupun hatinya telah menebak bahwa yang menelpon pasti ...
“Siapa lagi. Biasa ... Arjuna kamu!”
“Afis!” nada suara Mita meninggi. Biasanya, begitu mendengar nama itu disebut sama orang rumah, ia bagai seekor kijang yang sedang berlari dihutan. Langsung menyambar gagang telpon. Lalu percakapan pun, seringkali tidak pernah dibawah 15 menit. Hal ini pula yang sering bikin orang rumah ngedumel. Tidak kurang dari papa yang biasanya orang yang paling sabar, harus berdehem-dehem kalau sudah kelewat lama. Sebab papa sering menunggu telpon dari para relasi.
“Bilang aku ‘gak ada!” sahut Mita enggan.
“Hei ... jangan bilang kamu ‘gak suka lagi kedia!”
“Memang!”
Bang Bas terdiam sesaat. Ditatapnya wajah adik semata wayangnya itu. “Ada masalah?”
“Tolong, bang. Katakan aku ‘gak ada!” mohon Mita.
“Oke, aku ‘gak ngerti masalah kalian.”
“Terima kasih, bang.”
“Jangan gembira dulu. Aku ‘gak katakan kamu ‘gak ada. Tapi kamu menolak menerimanya.”
“Kumohon. Sekali ini saja, bang!” suara itu mengandung iba.
Bang Bas melangkah kemeja telpon. “Halo, besok kita bicara, Fis. Dikantin kampus, pukul 10 pagi. Mita lagi sakit, oke?”
“Jangan campuri urusan kami, bang Bas!” Mita yang mendengar percakapan itu jadi meradang. Ditutupnya pintu kamar dengan keras.
Bang Bas terbengong didepan pintu. “separah inikah keadaannya?”






************
Dua cowok itu duduk berhadap-hadapan. Mereka sengaja duduk dipojok kantin. Afis berkali-kali menyeka keringat dikeningnya. Bastian meneguk es colanya.
“Aku ‘gak ingin melihat Mita kecewa, Fis.” Bastian menatap Afis.
“Aku juga!”
“Tapi tadi malam Mita marah sekali. Sejak kalian berhubungan, baru tadi malam Mita semarah itu. Jangan bilang kamu ‘gak punya salah, Fis!”
“Bas ... aku. Mita cuma salah pengertian!”
“Apa yang terjadi, Fis? Aku pengen kamu jujur!”
Afis menghela nafas panjang. Meneguk minumannya.
“Kita sudah lama berteman, Fis. Kamu ‘gak ingin kita jadi musuh, kan?”
“Aku ‘gak mungkin mutusin Mita, itu jawabanku.”
“Jawab dulu pertanyaanku, Fis!”
“Oke. Mestinya aku bisa menyelesaikan persoalan ini dengan Mita sendiri ...”
“Dia adikku. Aku punya tanggungjawab padanya.”
Akhirnya Afis menceritakan semua yang terjadi. Wajah Bastian mengeras. Tapi ia menahan gejolak emosinya untuk tidak meledak. Hati kecilnya tidak bisa menerima apa yang dilakukan Afis terhadap adiknya. Lama ia terdiam.
Ponsel disaku Afis berbunyi. Terjadi percakapan singkat.
“Maaf, aku harus pergi, Bas. Ada keperluan mendadak!” ucap Afis ringan.
“Aku juga!” Bastian bangkit dari duduknya. Berjalan kekasir.

**************
Telah dua kali Afis gagal mengajak Mita bicara. Pertama ketika ia menjumpai gadis itu dikampus lima hari lalu. Mita langsung menghindar, begitu melihat Afis muncul.
Kedua, ketika ia nekat datang kerumah. Mita mengurung dirinya dikamar. Papa yang berusaha membujuknya untuk keluar juga gagal.
Dan ini kali ketiga, Afis ‘gak mau gagal lagi. Ia sengaja mengekori Mita keperpustakaan fakultas. Walaupun sebenarnya hari ini ‘gak ada mata kuliah, tapi Afis kekampus juga. Dikantorpun, ia mencari alasan, kalau hari ini ada mata kuliah. Padahal kemarin Afis sudah bilang ke pak Nasrun, kalau hari ini tidak ada kuliah.
Ketika Afis melihat Mita pergi keperpustakaan sendirian, hatinya sedikit menjadi lega. Berarti tidak banyak rintangan yang bakal dihadapinya. Tak ada alasan buat gadis itu, untuk mengajak temannya hengkang nanti.
Afis berada dibalik rak Kesusastraan Daerah. Dari sana sambil memilih-milih buku, tapi matanya tak pernah lepas dari Mita yang berada tepat dibalik rak buku Afis.
Nah, sekarang saatnya, pikir Afs, penuh pertimbangan. Dengan lagak seorang yang tengah serius mengamati isi buku, ia terus melangkah kearah meja baca panjang. Bersamaan dengan itu, Mita juga tengah melangkah sambil membolak-balik buku ditangan menuju kemeja baca.
Bruk!
“Eh ... maaf ..!” refleks Mita mundur kebelakang selangkah, begitu menyadari ia telah menabrak orang.
“Maaf juga ..”
“Kamu ...!” Mita mendongak, menatap siapa orang yang tegak dihadapannya. Wajahnya bersemu merah. Ia siap memutar langkah, ketika dengan sigap, Afis mencekal lengannya.
“Kita harus bicara, Mita!” sergah Afis.
“Lepaskan tanganku, kalau kamu ‘gak ingin aku berteriak.”
“Terserah kamu. Aku cuma minta waktu lima menit. Disini mungkin lebih bagus!”
“Jangan nekat, Fis. ‘Gak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya sudah jelas. Kita ‘gak ada hubungan apapun lagi!”
“Kamu punya waktu lima menit?”
Mita menghela nafas dalam. “Tiga menit!” akhirnya Mita mengalah. Ia juga tak ingin ada anak-anak yang memergoki adegan konyol ini. Sebab, sejauh ini, teman-temannya, masih menganggap ia dan Afis masih pacaran.
“Oke, tiga menit!” hati Afis bersorak girang. Sudut bibirnya mengukir senyum. Mita melangkah terlebih dahulu kemeja baca yang terletak dipojok. Kalau biasanya Afis selalu memilih duduk disamping Mita. Tapi untuk kali ini ia duduk diseberang meja.
“Tiga menit. Selesai ‘gak aku pergi dari sini!” ingat Mita.
“Baru juga dua puluh detik.”
“Jangan melucu, Fis.”
“Oke. Kalau kamu percaya. Aku bakal mengatakan yang sebenarnya. Wulan sekarang ada dikantin. Akan kukenalkan kalian ...”
“Bukan urusanku!”
“Aku belum selesai!” Afis menatap bola mata gadis didepannya. Ia melihat ada letup cemburu disana. “yang kutelpon hari itu, Wulan. Dia adik kandungku. Baru kemarin tiba dikota ini, aku sengaja ingin memancing kecemburuan kamu. Aku ingin melihat , gimana reaksi orang yang kusayangi, kalo lagi cembokor. Cuma itu. Dan nyatanya aku berhasil. Kamu marah dan benci keaku. Aku tahu, kamu ada dibalik pintu saat itu. Dan yang menelpon kekantor Wulan. Bukan aku. Makanya aku terus mengajak ngomong ngalor-ngidul dengan Wulan. Maksudnya cuma pengen memancing reaksi kamu.”
Mita masih menjadi pendengar. Wajahnya merunduk. Sedangkan hatinya mencoba untuk menarik satu kesimpulan tentang cerita Afis tadi. Cowok yang dikenalnya hampir setahun yang lalu. Afis yang sebelum kejadian itu selalu jujur berkata, kesetiaannya juga terjaga. Mita merasakan, selama hampir setahun hubungan mereka, cowok yang nyambi kerja sebagai wartawan ini, belum pernah menyakiti hatinya. Tak pernah terjadi perselisihan yang berarti diantara mereka.
Gadis itu terkadang juga heran dengan hubungan mereka yang begitu mulus. Tanpa riak, apalagi gelombang yang mampu memporak-porandakan kisah kasih mereka. Kadang kala, Mita juga merindukan ada saat-saat tertentu, ia ingin Afis marah padanya. Lalu mereka bertengkar. Lalu tak jumpa selama beberapa hari. Empat lima hari mungkin cukup, lalu bertemu kembali dengan saling meminta maaf. Bukankah semua itu akan lebih punya warna?
“Itulah maksudku yang sesungguhnya, Mita.” Afis mengulirkan tangan diatas meja. Menyentuh jemari lentik milik Mita. “kadang aku juga rindu suasana yang kian hadir diantara kita. Sehingga hubungan kita ‘gak melulu datar dan lurus. Tapi juga ada kelokan dan tanjakan. Tapi, yang terpenting adalah gimana kita saling menjaga kesetiaan dan kejujuran kita.” Afis meremas jemari Mita lembut.
Mita membiarkan tangannya berada dalam rangkuman tangan Afis.
“Maaf, kalo kamu masih merasa marah, benci dan juga mungkin pengen mengakhiri hubungan kita. Aku mengaku salah. Katakan sekarang, Mita, apakah kamu memang pengen memutuskan hubungan kita?”
Mita mendongak. Menatap sepasang telaga teduh milik Afis.
“Kita sudah lebih sepuluh menit malah disini. Kamu pergi?!”
“Aku pengen berkenalan sama Wulan, adik kamu. Mungkin aku dan dia bisa lebih akrab nantinya. Astaga, sudah berapa lama ia menunggu sendiri disana, Fis?” Mita tidak mengubris pertanyaan Afis. “aku mengusulkan, gimana kalo kita makan siang bersama di Resto Lamnyong? Disana kupikir tempatnya lebih romantis.”
Afis mengangguk mantap. “Wulan pasti setuju!”


Mentulik, 21 Juli 2005.
Terima kasih buat sesorang disana ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate