Hidup serumah dengan janda kaya

Aku melangkah gontai dalam kegelapan malam. Pikiran ku kacau. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus kemana. Aku kehilangan arah. Aku hampir kehilangan semuanya.

Berawal dari aku yang di pecat dari pekerjaan ku sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku bekerja di sana sebenarnya baru sekitar satu tahun. Namun karena pendemi yang sedang melanda, perusahaan tempat aku bekerja harus melakukan pengurangan karyawan. Dan aku salah satu korbannya.

Dulu aku merantau ke kota, karena sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi sekarang aku sudah tidak punya pekerjaan lagi. Semua uang tabungan ku pun sudah terkuras, karena sudah hampir empat bulan aku menganggur.

Aku sudah berusaha mencari pekerjaan lain, namun tidak satu pun pekerjaan yang aku dapatkan.

Terpikir untuk pulang ke kampung halaman ku, namun di kampung aku sudah tidak punya siapa-siapa. Selain kak Hana, kakak ku satu-satunya. Kehidupan kak Hana juga sangat sulit di kampung, karena itu aku tak ingin menambah bebannya.

Sekarang ini, aku bahkan sudah tidak punya tempat tinggal. Ibu kost sudah mengusir ku dari tempat kost, karena sudah lebih dari dua bulan aku tidak membayar uang kost. Aku terpaksa pergi dari sana, walau sebenarnya aku tidak punya tujuan yang jelas.

****

Aku duduk di depan sebuah ruko yang tertutup, untuk beristirahat. Tubuhku terasa lelah.

Saat itulah seorang wanita paroh baya keluar dari ruko tersebut. Wanita itu menatap ku sesaat, kemudian melangkah mendekat.

"kamu siapa?" tegurnya lembut.

Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku memang tidak tahu harus menjawab apa.

Aku justru berusaha untuk berdiri, aku berniat untuk pergi dari tempat itu.

"kamu jangan pergi dulu." cegah wanita itu, "saya bisa minta tolong?" lanjutnya bertanya.

"minta tolong apa?" tanya ku akhirnya, sambil tetap berdiri.

"keran air di dapur ku sepertinya tersumbat, tadinya aku berniat untuk memanggil tukang. Tapi karena melihat kamu tadi, aku jadi berubah pikiran. Mungkin kamu bisa membantu ku memperbaikinya, sepertinya kerusakannya hanya sedikit." jelas wanita itu panjang lebar.

"baiklah.." ucapku setuju.

Wanita itu tersenyum. Kemudian ia segera mengajak aku masuk ke dalam rukonya.

Ruko itu ternyata adalah sebuah toko pakaian khusus perempuan. Di bagian tengah ruko, terdapat banyak berbagai jenis pakaian wanita dewasa.

"mbak tinggal sendiri?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"namaku Nita, panggil aja mbak Nita." balas wanita itu, seperti mengabaikan pertanyaan ku.

"aku sudah bertahun-tahun membuka usaha toko pakaian di sini, dan sudah bertahun-tahun juga, aku tinggal sendiri, sejak aku bercerai dari suamiku." cerita mbak Nita terdengar sangat terbuka.

Aku hanya manggut-manggut ringan mendengar penjelasannya tersebut. Hingga kemudian kami pun sampai di dapur, setelah melewati sebuah kamar, yang aku yakin di kamar itulah mbak Nita tinggal.

Aku pun segera memeriksa keran air yang tersumbat tersebut. Dan setelah dengan cukup susah payah, aku pun berhasil memperbaikinya. Ada plastik yang menyumbat bagian ujung keran tersebut.

"seperti sudah lancar kembali." ucapku, dengan tangan ku yang basah kuyup.

Mbak Nita segera memberiku sebuah handuk kecil.

"keringkan dulu tangannya." ucap mbak Nita.

Aku mengambil handuk kecil tersebut, lalu segera mengeringkan tangan ku.

"sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau kita makan malam dulu. Kebetulan tadi aku masak cukup banyak." ucap mbak Nita menawarkan.

Saat itu mungkin sudah hampir jam sepuluh malam. Perut ku memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan mendengar tawaran mbak Nita, aku pun jadi tergiur.

"baiklah, mbak. Kalau mbak Nita memaksa." ucapku akhirnya.

Mbak Nita pun tersenyum kembali, sambil ia mengajak ku melangkah menuju meja makan yang berada tidak terlalu jauh dari situ.

"ini sudah jam sepuluh, mbak Nita belum makan malam?" tanya ku berbasa-basi.

"maklumlah, karena hidup sendiri, makan kadang juga gak teratur." balas mbak Nita, sambil mempersilahkan aku duduk.

"oh, ya. Dari tadi kita ngobrol, aku belum tahu nama kamu, loh." ucap mbak Nita lagi, saat kami sudah mulai makan.

"namaku Taufik Riza, tapi orang-orang biasa memanggil ku Fikri." balas ku ringan.

"nama yang cukup keren, sama seperti orangnya." ucap mbak Nita lugas

Aku tersenyum tersipu mendengar pujian tersebut.

"jadi sebenarnya kamu mau kemana?" tanya mbak Nita kemudian, setelah untuk beberapa saat kami sibuk mengunyah makanan kami masing-masing.

"aku gak tahu harus kemana, mbak. Aku baru saja kehilangan tempat tinggal." jelasku apa adanya.

"loh, kenapa emangnya?" tanya mbak Nita sedikit heran.

Aku pun dengan sedikit berat menceritakan secara singkat tentang kejadian yang menimpa ku akhir-akhir ini, terutama tentang aku yang kehilangan pekerjaan.

****

"bagaimana kalau untuk sementara, kamu bantu-bantu aku kerja di sini dulu. Kebetulan aku baru saja kehilangan seorang karyawan yang biasa membantu ku, karena dia harus pulang kampung. Dan jika kamu mau, kamu juga bisa tinggal di sini. Di atas ada kamar kosong." tawar mbak Nita, setelah ia mendengarkan cerita ku dengan seksama.

"apa itu gak terlalu berlebihan, mbak. Kita baru saja saling kenal loh. Mbak gak merasa takut?" balasku pelan.

"aku percaya kamu orang baik, Fik. Lagi pula aku juga merasa kesepian tinggal sendirian di sini." balas mbak Nita.

"aku bukannya gak mau, mbak. Tapi aku takut jadi omongan orang-orang, kalau kita tinggal berdua." ucapku lagi.

"udah, kamu tenanga aja. Kita ini tinggal di kota besar. Hal seperti itu, sudah menjadi hal yang biasa. Orang-orang juga gak bakal peduli. Lagi pula, kalau ada yang bertanya, katakan saja kalau kamu itu saudara ku dari kampung." balas mbak Nita terdengar yakin.

Aku pun tak punya alasan untuk menolak tawaran mbak Nita. Selain karena aku memang butuh pekerjaan dan tempat tinggal, mbak Nita juga kelihatannya orang yang baik.

*****

Sejak saat itulah, aku dan mbak Nita tinggal satu atap. Aku juga bekerja dengannya. Membantunya melayani pelanggan yang datang ke toko nya untuk berbelanja pakaian.

Rata-rata yang datang ke toko pakaian mbak Nita semuanya perempuan. Hal itu ternyata cukup membantu penjualan mbak Nita. Karena semenjak kerja di sana, semakin banyak pembeli yang datang ke toko mbak Nita.

"makasih ya, Fik. Karena kamu udah bantu aku kerja, pelanggan ku jadi semakin banyak. Penjualan ku pun semakin meningkat." ucap mbak Nita, suatu malam, saat kami makam malam bersama.

"aku yang makasih, mbak. Aku sudah di terima kerja di sini. Aku juga di terima tinggal di sini." balasku ringan.

"iya, Fik. Semoga kamu betah tinggal di sini, ya." ucap mbak Nita kemudian.

Dan seperti biasa, sehabis makan malam, aku pun segera naik ke lantai atas untuk tertidur. Selama hampir dua bulan ini, aku memang tidur lebih awal. Aku ingin bangun pagi-pagi, dan membantu mbak Nita membuka toko.

Saat aku sudah berada di dalam kamar, dan sudah merebahkan tubuhku di ranjang kecil itu, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan di pintu kamar.

Aku segera bangkit dan membuka pintu. Aku melihat mbak Nita sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum mengembang. Ia hanya memakai pakaian tidur yang cukup transparan.

Aku terkesima melihatnya, karena biasanya aku melihat mbak Nita selalu berpakaian tertutup.

Meski pun mbak Nita sudah berusia hampir 40 tahun, namun ia masih terlihat cantik. Tubuhnya cukup seksi. Kulitnya bersih terawat. Terus terang secara fisik, mbak Nita memang masih cukup menarik.

"ada apa, mbak?" tanya ku sedikit tergagap.

"saya boleh masuk?" tanya mbak, mengabaikan pertanyaan ku.

"iya, boleh, mbak. Ini kan memang rumah mbak Nita." balas ku pelan.

Mbak Nita pun melangkah masuk ke kamar, aku mengikutinya dari belakang. Mbak Nita kemudian duduk di tepian ranjang kecil tersebut. Aku berdiri sedikit jauh darinya.

"kamu jangan berdiri di situ. Kamu duduk saja dekat saya." ucap mbak Nita.

Dengan sedikit sungkan, aku pun melangkah mendekat dan duduk di samping mbak Nita.

"ada apa ya, mbak?" tanyaku cukup heran.

Tak biasanya mbak Nita masuk ke kamar ku. Meski pun aku sudah tinggal dengannya lebih dari dua bulan. Meski pun kami sebenarnya sudah cukup dekat, karena memang hampir setiap hari kami bersama.

"aku sudah bercerai dari suami ku lebih dari lima tahun. Kami bercerai, karena suami ku lebih memilih hidup dengan selingkuhannya. Kami memang sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, tapi kami belum punya keturunan."

"karena itulah, suami ku mencari wanita lain di luar sana, dan ternyata wanita selingkuhannya itu hamil. Jadi suami ku memilih untuk menikahinya dan meninggal aku sendirian."

"beruntunglah aku sudah punya usaha ini sejak lama, jadi aku punya kesibukan untuk melupakan semua kejadian pahit itu. Tapi sebagai seorang wanita normal, kadang aku juga merasa kesepian."

"banyak sih, laki-laki yang coba mendekati ku selama lima tahun belakangan ini. Tapi tidak satu pun dari mereka yang membuat aku merasa tertarik. Lagi pula aku juga masih merasa trauma untuk dekat dengan laki-laki mana pun."

"namun entah mengapa, sejak pertama kali melihat kamu, aku merasa tertarik sama kamu. Karena itulah, aku nekat untuk menawarkan kamu pekerjaan, dan juga untuk tinggal di sini bersama ku. Aku berharap, kita bisa bertemu setiap hari."

"dan semakin hari perasaan ku sama kamu kian berkembang, Fik. Aku mungkin telah jatuh cinta sama kamu. Keinginan ku untuk bisa memiliki kamu, tidak bisa aku pendam lagi. Aku benar-benar menyayangi kamu, Fik. Sudikah kau menjalin hubungan yang lebih serius dengan ku?"

Cerita mbak Nita yang panjang lebar itu, cukup membuat aku terkesima. Sungguh tidak aku sangka sama sekali, kalau mbak Nita akan berkata demikian.

"tapi aku... aku sudah menganggap mbak Nita seperti kakak ku sendiri." ucapku akhirnya terbata.

"aku tahu, ini gak mudah bagi kamu, Fik. Apa lagi jarak usia kita yang cukup jauh. Tapi aku harap kamu bisa memikirkan hal ini lebih dalam lagi. Karena aku benar-benar menginginkan kamu. Dan jika kamu bersedia, kita bisa menikah, Fik." mbak Nita berucap, sambil mulai berdiri.

"kamu pikirkan aja dulu, kamu gak harus jawab sekarang." ucapnya lagi.

Dan sesaat kemudian, mbak Nita pun melangkah keluar kamar meninggalkan aku dalam kebingungan.

****

Terus terang. aku jadi merasa dilema.

Di satu sisi, aku memang bisa menerima ungkapan cinta mbak Nita. Bukan karena dia tak menarik, tapi karena jarak usia kamu cukup jauh, hampir lima belas tahun.

Namun di sisi lain, aku juga gak mungkin menolaknya. Selain mbak Nita memang masih cantik dan seksi, dia juga selama sangat baik padaku. Jika aku menolak, itu berarti aku harus siap kehilangan kehidupan ku yang sekarang. Dan aku tidak mau hidup di jalanan.

Setelah berpikir cukup panjang dan penuh pertimbangan, aku pun membuat sebuah keputusan.

Sebuah keputusan yang sangat penting dalam hidup ku.

Mbak Nita adalah sosok wanita yang baik, lembut dan yang pasti dia adalah wanita yang sukses. Hidup ku akan baik-baik saja, jika aku tetap tinggal bersamanya. Apa lagi kalau sampai aku menikah dengannya.

Karena itu, aku pun menerima tawaran mbak Nita.

Kami pun akhirnya menikah, dan hidup satu rumah sebagai pasangan suami istri yang sah.

Begitulah kisah ku, yang akhirnya memilih untuk menikah dengan wanita yang usia nya jauh lebih tua dari ku.

Dan sejujurnya aku cukup merasa bahagia dengan semua itu. Apa lagi mbak Nita sangat berpengalaman, yang membuat ku kian terkesan dengannya.

****

Selesai..

Gejolak istri ke dua

Namaku Edo. Aku sudah menikah, meski pun usia ku masih 26 tahun sebenarnya.

Aku menikah bukan atas keinginan ku sendiri, melainkan karena aku di jodohkan oleh orangtua ku.

Aku di jodohkan dengan seorang gadis yang bernama Aida. Seorang gadis cantik yang merupakan seorang muslim yang taat. Aida memang lulusan sebuah pesantren. Usianya masih 20 tahun sebenarnya. Namun Aida juga di paksa menikah oleh kedua orangtua nya dengan ku.

Intinya pernikahan kami adalah keinginan kedua orangtua kami, bukan keinginan kami berdua.

Kami ternyata telah di jodohkan sejak kecil. Papa ku dan ayah Aida sudah bersahabat sejak lama, sejak mereka masih muda. Persahabatan mereka cukup erat, sehingga mereka punya kesepakatan untuk menikahkan anak-anak mereka.

Aida memang masih sedang kuliah, sedangkan aku baru lulus sekitar dua tahun yang lalu. Aku sudah bekerja di perusahaan papa ku. Sebagai anak tunggal, aku memang di persiapkan untuk mewarisi perusahaan papa ku.

Aida merupakan anak pertama, dia masih mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Keluarga Aida memang termasuk keluarga yang taat beragama. Bertolak belakang dengan keluarga ku, yang boleh di bilang cukup modern.

Sejak menikah, aku dan Aida memang tinggal di rumah sendiri. Rumah yang sebenarnya memang sudah di persiapkan untuk kami, sebagai hadiah pernikahan kami.

Ayah Aida adalah seorang ulama yang cukup tepandang di kota kami. Sementara papa ku adalah seorang pengusaha sukses.

Secara fisik sebenarnya cukup menarik, selain itu ia juga wanita yang baik, sopan dan taat beragama. Sedangkan aku seseorang yang cukup jauh dari agama. Salah satu tujuan papa ku menjodohkan aku dengan Aida, ialah agar aku bisa belajar agama dari Aida.

Namun aku tidak bisa menerima pernikahan itu begitu saja. Meski pun aku tetap menikahi Aida, karena desakan dari papa ku, namun aku tidak benar-benar bahagia dengan semua itu. Aku merasa telah kehilangan masa depan ku.

Menikah muda bukanlah impian ku, apa lagi aku harus menikah dengan gadis yang tidak aku cintai. Karena itu, aku tidak benar-benar menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah.

Aku masih terus menjalani kehidupan ku sebagai mana saat aku belum menikah dulu. Berhura-hura, berpesta, dan kadang mabuk-mabukan. Pulang selalu tengah malam, dan bahkan aku juga sering tidak pulang ke rumah.

Aida juga tidak pernah menghiraukan hal tersebut. Namun ia tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Memasak makanan untuk ku, meski pun hampir tak pernah aku makan. Mengurusi rumah dengan baik, juga mempersiapkan segala keperluan ku setiap hari.

Selama menikah, kami hampir tidak berbicara sama sekali. Aida hanya diam dan tak pernah menegur ku, saat aku pulang dalam keadaan mabuk. Atau saat aku tidak pulang sama sekali.

Saat berkunjung ke rumah orangtua ku atau ke rumah orangtua Aida, kami selalu berusaha untuk bersikap kalau semuanya baik-baik saja. Kami bersikap, kalau rumah tangga kami berjalan dengan baik, seperti yang di harapkan oleh orangtua kami.

****

Berbulan-bulan, bahkan hingga hampir setahun pernikahan ku dengan Aida berjalan. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya.

Namun orangtua ku, terutama mama, sudah mulai mempertanyakan tentang kehamilan Aida.

"sudah setahun kalian menikah, tapi Aida belum juga hamil." ucap mama suatu saat aku berkunjung sendirian ke rumahnya.

"Mungkin belum saatnya, Ma. Aida juga masih cukup muda." balasku beralasan.

"tapi mama sudah pengen gendong cucu loh, Do." ucap mama lagi.

"Edo juga pengen punya keturunan, Ma. Tapi kalau sampai saat ini Aida belum hamil, kita bisa apa?" balas ku berusaha membuat mama percaya dengan ucapan ku tersebut.

"kamu yakin, sudah memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang suami dengan baik?" ucap mama lagi.

Kali ini aku tidak menjawab. Aku merasa tidak harus menjawabnya. Meski pun aku tahu maksud dari pertanyaan mama barusan. Biar bagaimana pu, mama cukup tahu, kalau aku tidak mencintai Aida. Jadi wajar, kalau mama mencurigai ku.

"pernikahan itu sesuatu yang sakral loh, Do. Kamu jangan berniat untuk mempermainkannya." ucap mama kemudian, melihat keterdiaman ku.

"iya, Ma. Edo ngerti. Tapi mama jangan menuntut Edo terus dong. Mama harusnya lebih sabar." balasku akhirnya.

Untuk selanjutnya mama tidak berucap apa-apa lagi. Beberapa saat kemudian, aku pun pamit untuk pulang. Aku juga tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

Namun jujur saja, permintaan mama tersebut, cukup mengganggu pikiran ku. Aku juga ingin melihat mama bahagia. Tapi rasanya saat ini, aku belum bisa memenuhi hal tersebut. Aku belum bisa melakukan kewajiban ku sebagai suami terhadap Aida.

Apa lagi sepertinya Aida juga tidak menginginkan hal tersebut.

****

Kehidupan ku di luar rumah memang cukup bebas. Apa lagi pergaulan ku yang tidak terbatas. Aku punya banyak teman, terutama teman cewek, yang sering aku ajak berhura-hura dan berpesta bersama.

Pernah pada suatu malam, seorang teman ku memperkenalkan ku dengan seorang gadis. Namanya Nadya. Dia gadis yang cantik dan juga sangat seksi. Apa lagi Nadya sangat suka berpakain minim dan cukup ketat.

Saat berkenalan dengan Nadya, aku tidak mengaku kalau aku sudah menikah. Semua teman-teman ku pun mengetahui hal itu. Tapi mereka memang tidak peduli. Karena mereka juga tahu, kalau aku menikah bukan karena cinta.

Nadya pun percaya kalau aku belum menikah. Kami pun kemudian menjadi dekat. Kami saling bertukar nomor handphone. Dan hal itu cukup membuat kami jadi sering berkomunikasi.

Aku pun mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh di hati ku untuk Nadya. Karena itu, aku pun nekat mengajak Nadya berkencan dan mengungkapkan perasaan ku padanya.

Gayung pun bersambut, Nadya dengan sangat terbuka pun menerima cintaku. Dan sejak malam itu, kami pun resmi berpacaran.

Nadya cukup agresif orangnya. Dia sangat terbuka dengan perasaannya padaku. Hubungan kami pun bahkan sudah melampaui batas. Aku sudah melakukan hal yang seharusnya aku lakukan dengan istri ku. tapi aku justru memilih untuk melakukannya dengan Nadya, pacar ku.

Hal itu terus terjadi. Berkali-kali. Bahkan sudah teramat sering. Sementara hubunganku dengan Aida, istriku, justru semakin renggang dan kian berjarak.

Sampai akhirnya Nadya mengabarkan padaku, kalau ia hamil.

"kenapa bisa sih, Nad?" tanya ku setengah tak percaya.

"ya, bisalah, Do. kenapa gak? Kan kita sudah terlalu sering melakukan hal tersebut." balas Nadya setengah marah.

"iya. Maksud ku, kenapa kamu gak hati-hati, sih?" ucapku lagi.

"ya mau gimana lagi, Do. Kita kan pernah melakuk4nnya tanpa peng4man." balas Nadya.

"lalu sekarang gimana?" tanya ku tiba-tiba merasa linglung.

"ya kamu nikahi aku lah." balas Nadya lugas.

"aku mungkin bisa menikahi kamu, Nad." ucapku tegas.

"kenapa?" suara Nadya berat, keningnya mengerut, "bukankah selama ini kita memang saling cinta. Dan ini adalah buah dari cinta kita, Do." lanjut Nadya, sambil sedikit menunjuk ke arah perutnya.

"kamu jangan lari dari tanggungjawab gitu, dong." Nadya berucap lagi.

"aku bukannya mau lari dari tanggungjawab, Nad. Tapi untuk saat ini, aku benar-benar tidak bisa." suara ku mulai serak.

"kenapa?" tanya Nadya lagi, matanya melotot menatap ku.

"aku... aku ... sebenarnya... aku sudah punya istri, Nad." ucapku terbata.

"maksud kamu?" tanya Nadya dengan nada tak percaya.

"sebelum kita kenal, sebenarnya aku sudah menikah. Namun aku menikah bukan karena cinta, tapi karena di jodohkan. Karena itu, aku tak pernah mau mengakui pernikahan tersebut." ucapku menjelaskan.

"ya udah, kamu ceraikan saja istri mu itu." balas Nadya terdengar santai.

"gak semudah itu lah, Nad." ucapku pelan.

"kenapa gak, kata mu kamu tidak mencintainya." balas Nadya tajam.

"aku memang tidak mencintai istri ku, tapi seperti yang aku katakan, kami di jodohkan oleh orangtua kami. Jika aku menceraikan istri ku sekarang, orangtua ku pasti akan marah besar padaku." jelasku parau.

"lalu sekarang gimana?" kali ini Nadya yang bertanya.

"bagaimana kalau kita gugur kan saja." tawarku yakin.

"kamu jangan gila, Do. Kamu pikir hal itu gampang. Resikonya terlalu besar. Aku takut." balas Nadya.

"lalu kamu mau nya gimana?" tanya ku.

"aku maunya kita menikah. Gak apa-apa aku jadi istri kedua. Yang penting anak ini lahir ada ayahnya." ucap Nadya serak.

"kamu mau menikah diam-diam? Menikah bawah tangan? Tanpa di ketahui keluarga kita?" tanya ku bertubi.

"apa pun caranya, Do. Yang penting kamu harus bertanggungjawab." tegas suara Nadya membalas.

****

Dan aku pun menikah dengan Nadya secara diam-diam. Nikah bawah tangan. Hanya di hadiri dua orang saksi dan seorang wali.

Karena Nadya memang seorang yatim piatu. Dia tinggal sendirian di kota ini. Semua keluarganya ada di kampung. Sementara kedua orangtua nya sudah lama meninggal.

Nadya sebenarnya bekerja di sebuah perusahaan, sebagai karyawan biasa. Dan dia tinggal sendirian di sebuah kamar kost.

Setelah menikah, aku pun mencari rumah kontrakan untuk tempat kami tinggal. Dan aku juga meminta Nadya untuk berhenti kerja. Aku tidak mau, kalau teman-teman kerjanya tahu, kalau Nadya sudah menikah dan sedang hamil.

Sejak saat itu, aku pun mulai menjalani kehidupan yang tidak wajar. Aku sudah mempunyai dua orang istri sekarang. Dan aku harus bisa membagi waktu dengan baik. Apa lagi sekarang, hubungan ku dengan Aida justru kian membaik.

Bukan karena aku mulai jatuh cinta padanya, tapi karena tuntutan dari kedua keluarga kami, agar kami segera punya keturunan. Dan karena, sebenarnya aku merasa bersalah terhadap Aida. Aku merasa telah mengkhiantainya.

Sebagai penebus rasa bersalah ku, aku pun mulai menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami terhadap Aida. Aku pun memberikan kesempatan untuk Aida, untuk menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Yang membuat Aida akhirnya pun hamil.

Kehamilan Aida membuat bahagia kedua keluarga kami, namun tidak dengan ku. Kehamilan Aida justru membuat aku semakin sulit untuk membagi waktu ku.

Karena sama-sama hamil, kedua istri ku pun sangat membutuhkan kehadiran ku.

Namun biar bagaimana pun, aku harus tetap menjalani kehidupan ku seperti saat sekarang ini. Meski pun sebenarnya aku merasa terjebak. Aku terjebak oleh perbuatan ku sendiri.

Di satu sisi, Aida adalah istri ku yang sah, yang di restui oleh keluarga ku. Namun di sisi lain, Nadya adalah gadis yang aku cintai, meski pernikahan kami hanyalah sbeuah rahasia. Dan Nadya bisa menerima semua itu dengan lapang dada.

Entah sampai kapan semua ini akan terus berlanjut. Entah semua ini akan bertahan selamanya, atau justru semua akan berakhir dan aku harus kehilangan kedua istri ku.

Aku tidak tahu, dan aku enggan untuk memikirkannya. Yang pasti saat ini, aku berusaha untuk menjalankannya.

Mempunyai dua istri bukanlah impian ku, namun keadaan lah yang memaksa aku untuk melakukannya.

Meski pun aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Tidak juga takdir.

Tapi begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini. Aku hanya berharap, semoga semuanya berjalan dengan baik-baik saja dan seperti yang aku inginkan.

Ya, semoga saja.

*****

Bersambung...

Awal mula menjadi tukang pijat

Namaku Hadi. Dan aku adalah seorang tukang pijat atau biasa disebut terapis.

Aku menjalani profesi seorang tukang pijat sudah hampir dua tahun. Berawal dari ketika aku harus berhenti bekerja di sebuah supermarket, karena saat itu pandemi sedang melanda, sehingga supermarket tempat aku bekerja harus gulung tikar alias bangkrut.

Karena hidup sendiri di rantau orang, aku harus tetap bekerja agar aku bisa bertahan hidup. Dan satu-satunya keahlian yang aku punya ya hanya memijat orang. Keahlian itu aku dapat dari ayah ku yang memang telah menjadi tukang pijat di kampung sejak lama.

Saat sudah berhenti bekerja, aku pun mulai membuka praktek pijat. Aku mulai mempromosikannya di media sosial. Meski pun awalnya tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pelanggan. Namun aku tidak pernah patah semangat. Aku terus mempromosikannya, hingga akhirnya satu persatu aku pun mendapatkan pelanggan pijat.

Aku tinggal di sebuah kamar kost. Dan di sana lah aku membuka praktek pijat ku. Selain itu, aku juga siap sedia untuk di panggil ke rumah-rumah pelanggan, atau pun ke tempat kost mau pun hotel.

Dengan tarif yang relatif murah, aku terus menjalani profesi tersebut, agar aku tetap punya penghasilan.

Meski pun upah yang aku dapat dari memijat, tidaklah selalu cukup. Namun setidaknya aku tidak harus menjadi pengemis, hanya untuk sekedar bisa makan.

Sebagai tukang pijat, tentu saja aku sudah punya pelanggan.

Pelanggan-pelanggan ku tersebut berasal dari berbagai golongan dan juga berbagai karakter. Ada perempuan ada laki-laki, ada yang tua ada yang muda. Ada dari golongan orang kaya dan ada juga yang dari golongan orang menengah ke bawah.

Awalnya aku menjalani profesi itu, benar-benar hanya sebatas memijat. Namun pada suatu kesempatan, aku mendapat seorang pelanggan wanita paroh baya. Usianya mungkin sudah mencapai 40 tahun. Namun wanita itu masih kelihatan cantik dan seksi.

Namanya Wanda. Aku memanggilnya mbak Wanda. Dari pengakuannya ia adalah istri salah seorang pejabat. Waktu itu mbak Wanda meminta aku untuk datang ke sebuah hotel yang cukup mewah.

Mbak Wanda awalnya meminta aku untuk memijatnya seperti para pelanggan-pelanggan ku sebelumnya. Hanya pijat.

Namun setelah hampir separoh aku memijatnya, tiba-tiba mbak Wanda menawarkan aku sesuatu.

Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh ku sebelumnya. Sesuatu yang di luar dugaan ku.

"kamu mau aku bayar lebih banyak gak?" tanya mbak Wanda waktu itu.

"bayar sesuai tarif aja, mbak." jawab ku polos.

"tapi aku bersedia membayar kamu mahal. Asal kamu bisa memenuhi keinginan ku malam ini." ucap mbak Wanda lagi.

"keinginan apa, mbak?" tanya ku masih terdengar polos.

"emangnya selama ini, kamu hanya sekedar memijat? Tidak ada lay4nan plus nya?" tanya mbak Wanda kemudian.

"oh, gak, mbak. Saya hanya menerima jasa pijat, tidak lebih dari itu." balas ku apa adanya.

"ya rugilah kamu. Padahal kamu punya tampang yang sangat tampan, kamu juga terlihat kekar dan gagah. Kenapa gak sekalian aja memberi pelay4nan plus kepada pelanggan kamu? Kan lumayan hasilnya, jauh lebih banyak dari pada kamu hanya sekedar memijat." ucap mbak Wanda lagi.

"tapi itu kan artinya sama saja saya ju4l diri, mbak. Saya gak mau." balas ku pelan.

"kamu gak usah sok jual mahal. Kamu jadi tukang pijat kan karena memang kamu butuh uang. Jadi kalau ada cara yang lebih gampang, kenapa kamu harus capek-capek mijat orang tapi hasilnya hanya sedikit. Lagi pula dengan memberi pelay4nan plus, kamu dapat dua keuntungan sekaligus. Kamu dapat uangnya, juga dapat en4knya kan?" ucap mbak Wanda terdengar lugas.

"iya, sih, mbak. Tapi bagi saya resikonya terlalu besar. Dan lagi pula tidak semua pelanggan saya mau menerima hal tersebut. Kebanyakan dari mereka, memang hanya sekedar pijat biasa." balasku.

"ya, kamu gak harus menawarkannya kepada semua pelanggan kamu. Kamu bisa memberikan pelay4nan plus nya kepada siapa yang mau aja. Tapi aku yakin, kalau kamu memberi kesempatan tersebut, pasti banyak pelanggan kamu yang mau. Soalnya kamu memang menarik secara fisik. Dan aku bisa jadi pelanggan pertama kamu. Bahkan mungkin aku akan menjadi pelanggan tetap kamu." ucap mbak Wanda selanjutnya.

"dan sebagai pelanggan pertama kamu yang mendapatkan pelay4nan plus nya, aku akan memberi kamu bonus yang banyak." lanjut mbak Wanda lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

Dan aku masih terus terdiam. Berpikir.

Jika aku ingat-ingat, hasil yang aku dapat dari memijat orang memang tidak seberapa. Apa lagi aku juga tidak setiap hari mendapatkan pelanggan. Padahal saat itu, hanya memijat orang lah satu-satunya sumber pendapatan ku.

Aku mulai berpikir untuk menerima tawaran mbak Wanda. Jika hal itu bisa menghasilkan uang yang lebih banyak, kenapa tidak? Pikirku.

Lagi pula aku juga bukan laki-laki baik-baik. Aku bukan laki-laki suci. Meski pun selama ini, aku selalu berusaha mencari uang dengan cara yang baik. Tapi mendengar penjelasan dan penawaran mbak Wanda tadi, aku jadi ingin mencobanya. Lagi pula, bukan aku yang menginginkan hal tersebut, tapi justru mbak Wanda sendiri yang menginginkannya.

Setelah berpikir tidak terlalu matang, dan juga tidak terlalu panjang. Aku pun menerima tawaran dari mbak Wanda.

Mbak Wanda tentu saja merasa senang mendengar hal tersebut. Dan dia pun akhirnya menjadi pelanggan pertama ku yang aku beri kesempatan untuk mendapatkan pelay4nan plus dari ku.

Aku yang belum punya pengalaman apa-apa dalam hal tersebut, tentu saja merasa sedikit kesulitan menghadapi tingkah liy4r mbak Wanda.

Mbak Wanda memberi aku pelajaran dan pengalaman yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dia berhasil menaklukan ku dengan baik. Dan aku merasa semua itu terlalu indah untuk tidak aku nikm4ti.

Aku pun mulai terbiasa. Aku pun mulai terh4nyut dengan perm4inan indah mbak Wanda. Perlahan namun pasti, aku semakin m4hir melakukannya.

Hingga aku benar-benar terlen4 dan terbu4i dalam perm4inan mbak Wanda yang memang sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut.

Dan setelah aku selesai menjalankan tugas ku tersebut, seperti janjinya, mbak Wanda pun memberi aku sejumlah uang. Uang yang di berikan mbak Wanda lebih banyak dari yang aku harapkan.

"kenapa sebanyak ini, mbak?" tanya ku heran.

"udah kamu terima aja. Uang bukan masalah bagi ku. Dan hal yang kamu lakukan tadi, sungguh luar biasa bagi ku. Meski pun kamu baru pertama kali melakukannya, tapi kamu cukup hebat dalam mengimbangi ku. Jadi wajar kalau aku memberi bayaran yang lebih." balas mbak Wanda.

"kalau begitu terima kasih banyak, mbak. Semoga ini bukan yang terakhir." ucapku berharap.

"kamu tenang aja. Nanti aku pasti akan menghubungi kamu lagi." balas mbak Wanda yakin.

Setelah mandi dan membersihkan diri, aku pun segera pamit untuk pulang.

Mbak Wanda melepaskan ku dengan senyum penuh kelegaan. Sepertinya ia benar-benar terkesan dengan ku. Dan begitu juga sebaliknya, aku juga merasa terkesan dengan mbak Wanda. Biar bagaimana pun itu adalah pengalaman pertama ku.

Dan seperti yang mbak katakan, aku memang mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Uang dan keindahan.

*****

Sejak saat itulah, aku jadi punya dua profesi pada satu kesempatan. Meski pun tidak semua pelanggan pijat ku yang mau menerima tawaran pelay4nan plus dari ku. Namun kebanyakan dari mereka, justru merasa senang dengan tawaran ku tersebut.

Hasil yang aku dapatkan pun jauh lebih banyak dari biasanya. Bahkan jumlah pelanggan ku semakin meningkat. Terkadang ada beberapa orang dari mereka, tidak ingin aku pijat, tapi justru hanya sekedar meminta pelay4nan plus dari ku.

Dan hal itu terus terjadi, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Aku mulai terlena dengan semua itu. Aku mulai lupa diri. Yang aku pikirkan hanyalah uang dan uang. Semakin besar bayaran yang aku terima, semakin aku memberikan pelay4nan yang terbaik.

Namun ternyata semua itu tidak selamanya berjalan lancar. Praktek pijat ku tersebut, mulai di curigai. Hingga akhirnya ada yang melaporkannya ke pihak berwajib.

Dan pada suatu kesempatan, aku dan salah seorang pelanggan ku di grebek di sebuah kamar hotel. Aku tak bisa menghindari hal tersebut. Karena aku memang bersalah.

Akhirnya pihak berwajib membawa aku ke kantornya, untuk di proses secara hukum.

Setelah melalui berbagai pemeriksaan dan penyelidikan, aku pun harus mendekam di penjara selama lebih kurang empat tahun.

Aku mencoba menerima hukuman tersebut dengan lapang dada. Karena aku merasa pantas untuk menerimanya.

Selama di penjara, aku berusaha bersikap baik dan mulai memperbaiki diri. Hal itu membuat hukuman ku pun di kurangi. Aku tak harus menjalani hukuman selama empat tahun tersebut. Aku hanya berada di penjara selama dua tahun lebih. Lalu selama setahun, aku harus menjalani wajib lapor atau tahanan luar.

Setelah masa hukuman ku itu pun berakhir, aku pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman ku. Aku ingin memulai hidupku yang baru, dan melupakan semua kejadian di masa lalu ku.

Kesalahan-kesalahan yang aku lakukan di masa lalu, akan aku jadikan pelajaran untuk melangkah ke depannya. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang.

Semoga saja, aku benar-benar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Setiap orang pernah berbuat salah, setiap orang pernah melakukan kesalahan. Dan setiap orang juga berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Semoga saja aku bisa memanfaatkan kesempatan kedua ku ini dengan sebaik-baiknya.

Ya, semoga saja.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate