Aku melangkah gontai dalam kegelapan malam. Pikiran ku kacau. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus kemana. Aku kehilangan arah. Aku hampir kehilangan semuanya.
Berawal dari aku yang di pecat dari pekerjaan ku sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku bekerja di sana sebenarnya baru sekitar satu tahun. Namun karena pendemi yang sedang melanda, perusahaan tempat aku bekerja harus melakukan pengurangan karyawan. Dan aku salah satu korbannya.
Dulu aku merantau ke kota, karena sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi sekarang aku sudah tidak punya pekerjaan lagi. Semua uang tabungan ku pun sudah terkuras, karena sudah hampir empat bulan aku menganggur.
Aku sudah berusaha mencari pekerjaan lain, namun tidak satu pun pekerjaan yang aku dapatkan.
Terpikir untuk pulang ke kampung halaman ku, namun di kampung aku sudah tidak punya siapa-siapa. Selain kak Hana, kakak ku satu-satunya. Kehidupan kak Hana juga sangat sulit di kampung, karena itu aku tak ingin menambah bebannya.
Sekarang ini, aku bahkan sudah tidak punya tempat tinggal. Ibu kost sudah mengusir ku dari tempat kost, karena sudah lebih dari dua bulan aku tidak membayar uang kost. Aku terpaksa pergi dari sana, walau sebenarnya aku tidak punya tujuan yang jelas.
****
Aku duduk di depan sebuah ruko yang tertutup, untuk beristirahat. Tubuhku terasa lelah.
Saat itulah seorang wanita paroh baya keluar dari ruko tersebut. Wanita itu menatap ku sesaat, kemudian melangkah mendekat.
"kamu siapa?" tegurnya lembut.
Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku memang tidak tahu harus menjawab apa.
Aku justru berusaha untuk berdiri, aku berniat untuk pergi dari tempat itu.
"kamu jangan pergi dulu." cegah wanita itu, "saya bisa minta tolong?" lanjutnya bertanya.
"minta tolong apa?" tanya ku akhirnya, sambil tetap berdiri.
"keran air di dapur ku sepertinya tersumbat, tadinya aku berniat untuk memanggil tukang. Tapi karena melihat kamu tadi, aku jadi berubah pikiran. Mungkin kamu bisa membantu ku memperbaikinya, sepertinya kerusakannya hanya sedikit." jelas wanita itu panjang lebar.
"baiklah.." ucapku setuju.
Wanita itu tersenyum. Kemudian ia segera mengajak aku masuk ke dalam rukonya.
Ruko itu ternyata adalah sebuah toko pakaian khusus perempuan. Di bagian tengah ruko, terdapat banyak berbagai jenis pakaian wanita dewasa.
"mbak tinggal sendiri?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"namaku Nita, panggil aja mbak Nita." balas wanita itu, seperti mengabaikan pertanyaan ku.
"aku sudah bertahun-tahun membuka usaha toko pakaian di sini, dan sudah bertahun-tahun juga, aku tinggal sendiri, sejak aku bercerai dari suamiku." cerita mbak Nita terdengar sangat terbuka.
Aku hanya manggut-manggut ringan mendengar penjelasannya tersebut. Hingga kemudian kami pun sampai di dapur, setelah melewati sebuah kamar, yang aku yakin di kamar itulah mbak Nita tinggal.
Aku pun segera memeriksa keran air yang tersumbat tersebut. Dan setelah dengan cukup susah payah, aku pun berhasil memperbaikinya. Ada plastik yang menyumbat bagian ujung keran tersebut.
"seperti sudah lancar kembali." ucapku, dengan tangan ku yang basah kuyup.
Mbak Nita segera memberiku sebuah handuk kecil.
"keringkan dulu tangannya." ucap mbak Nita.
Aku mengambil handuk kecil tersebut, lalu segera mengeringkan tangan ku.
"sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau kita makan malam dulu. Kebetulan tadi aku masak cukup banyak." ucap mbak Nita menawarkan.
Saat itu mungkin sudah hampir jam sepuluh malam. Perut ku memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan mendengar tawaran mbak Nita, aku pun jadi tergiur.
"baiklah, mbak. Kalau mbak Nita memaksa." ucapku akhirnya.
Mbak Nita pun tersenyum kembali, sambil ia mengajak ku melangkah menuju meja makan yang berada tidak terlalu jauh dari situ.
"ini sudah jam sepuluh, mbak Nita belum makan malam?" tanya ku berbasa-basi.
"maklumlah, karena hidup sendiri, makan kadang juga gak teratur." balas mbak Nita, sambil mempersilahkan aku duduk.
"oh, ya. Dari tadi kita ngobrol, aku belum tahu nama kamu, loh." ucap mbak Nita lagi, saat kami sudah mulai makan.
"namaku Taufik Riza, tapi orang-orang biasa memanggil ku Fikri." balas ku ringan.
"nama yang cukup keren, sama seperti orangnya." ucap mbak Nita lugas
Aku tersenyum tersipu mendengar pujian tersebut.
"jadi sebenarnya kamu mau kemana?" tanya mbak Nita kemudian, setelah untuk beberapa saat kami sibuk mengunyah makanan kami masing-masing.
"aku gak tahu harus kemana, mbak. Aku baru saja kehilangan tempat tinggal." jelasku apa adanya.
"loh, kenapa emangnya?" tanya mbak Nita sedikit heran.
Aku pun dengan sedikit berat menceritakan secara singkat tentang kejadian yang menimpa ku akhir-akhir ini, terutama tentang aku yang kehilangan pekerjaan.
****
"bagaimana kalau untuk sementara, kamu bantu-bantu aku kerja di sini dulu. Kebetulan aku baru saja kehilangan seorang karyawan yang biasa membantu ku, karena dia harus pulang kampung. Dan jika kamu mau, kamu juga bisa tinggal di sini. Di atas ada kamar kosong." tawar mbak Nita, setelah ia mendengarkan cerita ku dengan seksama.
"apa itu gak terlalu berlebihan, mbak. Kita baru saja saling kenal loh. Mbak gak merasa takut?" balasku pelan.
"aku percaya kamu orang baik, Fik. Lagi pula aku juga merasa kesepian tinggal sendirian di sini." balas mbak Nita.
"aku bukannya gak mau, mbak. Tapi aku takut jadi omongan orang-orang, kalau kita tinggal berdua." ucapku lagi.
"udah, kamu tenanga aja. Kita ini tinggal di kota besar. Hal seperti itu, sudah menjadi hal yang biasa. Orang-orang juga gak bakal peduli. Lagi pula, kalau ada yang bertanya, katakan saja kalau kamu itu saudara ku dari kampung." balas mbak Nita terdengar yakin.
Aku pun tak punya alasan untuk menolak tawaran mbak Nita. Selain karena aku memang butuh pekerjaan dan tempat tinggal, mbak Nita juga kelihatannya orang yang baik.
*****
Sejak saat itulah, aku dan mbak Nita tinggal satu atap. Aku juga bekerja dengannya. Membantunya melayani pelanggan yang datang ke toko nya untuk berbelanja pakaian.
Rata-rata yang datang ke toko pakaian mbak Nita semuanya perempuan. Hal itu ternyata cukup membantu penjualan mbak Nita. Karena semenjak kerja di sana, semakin banyak pembeli yang datang ke toko mbak Nita.
"makasih ya, Fik. Karena kamu udah bantu aku kerja, pelanggan ku jadi semakin banyak. Penjualan ku pun semakin meningkat." ucap mbak Nita, suatu malam, saat kami makam malam bersama.
"aku yang makasih, mbak. Aku sudah di terima kerja di sini. Aku juga di terima tinggal di sini." balasku ringan.
"iya, Fik. Semoga kamu betah tinggal di sini, ya." ucap mbak Nita kemudian.
Dan seperti biasa, sehabis makan malam, aku pun segera naik ke lantai atas untuk tertidur. Selama hampir dua bulan ini, aku memang tidur lebih awal. Aku ingin bangun pagi-pagi, dan membantu mbak Nita membuka toko.
Saat aku sudah berada di dalam kamar, dan sudah merebahkan tubuhku di ranjang kecil itu, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan di pintu kamar.
Aku segera bangkit dan membuka pintu. Aku melihat mbak Nita sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum mengembang. Ia hanya memakai pakaian tidur yang cukup transparan.
Aku terkesima melihatnya, karena biasanya aku melihat mbak Nita selalu berpakaian tertutup.
Meski pun mbak Nita sudah berusia hampir 40 tahun, namun ia masih terlihat cantik. Tubuhnya cukup seksi. Kulitnya bersih terawat. Terus terang secara fisik, mbak Nita memang masih cukup menarik.
"ada apa, mbak?" tanya ku sedikit tergagap.
"saya boleh masuk?" tanya mbak, mengabaikan pertanyaan ku.
"iya, boleh, mbak. Ini kan memang rumah mbak Nita." balas ku pelan.
Mbak Nita pun melangkah masuk ke kamar, aku mengikutinya dari belakang. Mbak Nita kemudian duduk di tepian ranjang kecil tersebut. Aku berdiri sedikit jauh darinya.
"kamu jangan berdiri di situ. Kamu duduk saja dekat saya." ucap mbak Nita.
Dengan sedikit sungkan, aku pun melangkah mendekat dan duduk di samping mbak Nita.
"ada apa ya, mbak?" tanyaku cukup heran.
Tak biasanya mbak Nita masuk ke kamar ku. Meski pun aku sudah tinggal dengannya lebih dari dua bulan. Meski pun kami sebenarnya sudah cukup dekat, karena memang hampir setiap hari kami bersama.
"aku sudah bercerai dari suami ku lebih dari lima tahun. Kami bercerai, karena suami ku lebih memilih hidup dengan selingkuhannya. Kami memang sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, tapi kami belum punya keturunan."
"karena itulah, suami ku mencari wanita lain di luar sana, dan ternyata wanita selingkuhannya itu hamil. Jadi suami ku memilih untuk menikahinya dan meninggal aku sendirian."
"beruntunglah aku sudah punya usaha ini sejak lama, jadi aku punya kesibukan untuk melupakan semua kejadian pahit itu. Tapi sebagai seorang wanita normal, kadang aku juga merasa kesepian."
"banyak sih, laki-laki yang coba mendekati ku selama lima tahun belakangan ini. Tapi tidak satu pun dari mereka yang membuat aku merasa tertarik. Lagi pula aku juga masih merasa trauma untuk dekat dengan laki-laki mana pun."
"namun entah mengapa, sejak pertama kali melihat kamu, aku merasa tertarik sama kamu. Karena itulah, aku nekat untuk menawarkan kamu pekerjaan, dan juga untuk tinggal di sini bersama ku. Aku berharap, kita bisa bertemu setiap hari."
"dan semakin hari perasaan ku sama kamu kian berkembang, Fik. Aku mungkin telah jatuh cinta sama kamu. Keinginan ku untuk bisa memiliki kamu, tidak bisa aku pendam lagi. Aku benar-benar menyayangi kamu, Fik. Sudikah kau menjalin hubungan yang lebih serius dengan ku?"
Cerita mbak Nita yang panjang lebar itu, cukup membuat aku terkesima. Sungguh tidak aku sangka sama sekali, kalau mbak Nita akan berkata demikian.
"tapi aku... aku sudah menganggap mbak Nita seperti kakak ku sendiri." ucapku akhirnya terbata.
"aku tahu, ini gak mudah bagi kamu, Fik. Apa lagi jarak usia kita yang cukup jauh. Tapi aku harap kamu bisa memikirkan hal ini lebih dalam lagi. Karena aku benar-benar menginginkan kamu. Dan jika kamu bersedia, kita bisa menikah, Fik." mbak Nita berucap, sambil mulai berdiri.
"kamu pikirkan aja dulu, kamu gak harus jawab sekarang." ucapnya lagi.
Dan sesaat kemudian, mbak Nita pun melangkah keluar kamar meninggalkan aku dalam kebingungan.
****
Terus terang. aku jadi merasa dilema.
Di satu sisi, aku memang bisa menerima ungkapan cinta mbak Nita. Bukan karena dia tak menarik, tapi karena jarak usia kamu cukup jauh, hampir lima belas tahun.
Namun di sisi lain, aku juga gak mungkin menolaknya. Selain mbak Nita memang masih cantik dan seksi, dia juga selama sangat baik padaku. Jika aku menolak, itu berarti aku harus siap kehilangan kehidupan ku yang sekarang. Dan aku tidak mau hidup di jalanan.
Setelah berpikir cukup panjang dan penuh pertimbangan, aku pun membuat sebuah keputusan.
Sebuah keputusan yang sangat penting dalam hidup ku.
Mbak Nita adalah sosok wanita yang baik, lembut dan yang pasti dia adalah wanita yang sukses. Hidup ku akan baik-baik saja, jika aku tetap tinggal bersamanya. Apa lagi kalau sampai aku menikah dengannya.
Karena itu, aku pun menerima tawaran mbak Nita.
Kami pun akhirnya menikah, dan hidup satu rumah sebagai pasangan suami istri yang sah.
Begitulah kisah ku, yang akhirnya memilih untuk menikah dengan wanita yang usia nya jauh lebih tua dari ku.
Dan sejujurnya aku cukup merasa bahagia dengan semua itu. Apa lagi mbak Nita sangat berpengalaman, yang membuat ku kian terkesan dengannya.
****
Selesai..