Namaku Angga. Aku anak kedua dari tiga bersaudara.
Kami tiga bersaudara semuanya laki-laki.
Saat ini aku sedang kuliah, usiaku kurang lebih 21 tahun.
Abangku sudah menikah dan sudah punya seorang putra.
Adikku masih SMA.
Ayahku seoranng pegawai pemerintahan, sedangkan ibuku seorang pedagang pakaian.
Aku berasal dari kampung. Abang dan adikku serta kedua orangtuaku tinggal di kampung.
Tapi aku kuliah di kota, dan tinggal di sebuah rumah yang sengaja dibelikan oleh ayahku.
Aku tinggal sendirian, meski kadang-kadang adikku juga sering datang ke kota.
Jarak dari kampungku ke kota sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya sekitar satu jam perjalanan naik motor.
Sejak SMP, aku sudah menyadari kalau aku berbeda.
Aku lebih tertarik pada sosok lelaki dari pada perempuan.
Namun selama bertahun-tahun, aku selalu memendam semua itu sendiri.
Aku tidak berani bercerita kepada siapapun. Aku selalu berusaha bersikap normal.
Pada saat SMA, aku pernah jatuh cinta dengan kakak kelasku.
Namanya Rama. Dia memang tampan dan juga sangat ramah.
Tapi aku tidak pernah benar-benar dekat dengannya.
Hingga ia lulus dan aku tidak pernah bertemu dia lagi sejak saat itu.
Perlahan rasaku pun memudar, aku tak lagi memikirkan Rama.
Saat kuliah, aku juga pernah jatuh cinta.
Aku jatuh cinta lagi pada seorang seniorku.
Namanya Riki, pria kekar yang memiliki senyum yang manis. Hidungnya mancung dengan bola mata yang indah.
Aku dan Riki bisa kenal dan dekat, karena kami kebetulan punya hobi yang sama.
Aku dan Riki memang sama-sama suka membaca, jadi saat jam istirahat, biasanya kami sering jumpa di perpustakaan kampus.
Apa lagi Riki, orangnya sangat ramah dan sedikit humoris.
Aku diam-diam menaruh hati pada Riki. Mengaguminya dalam hening hatiku.
Meski saat di dekatnya aku, selalu berusaha bersikap sewajarnya.
Setahun kami dekat dan sering ngobrol bersama. Riki jadi kian terbuka padaku.
Kalau biasanya kami hanya ngobrolin tentang buku-buku yang kami baca.
Sekarang Riki, juga sering bercerita tentang kehidupan pribadinya.
Riki memang lahir dan besar di kota itu. Ia tinggal bersama ibunya, karena sang ayah sudah meninggalkan mereka berdua, saat Riki masih sangat kecil.
"ayahku kawin lagi..." cerita Riki suatu hari, saat kami ngobrol lagi di perpustakaan.
"ibuku tak terima, dan meminta cerai dari ayah. Sejak saat itu mereka berpisah, dan aku tidak pernah bertemu ayahku lagi.." lanjut Riki, dengan suara sedikit parau.
Aku menatap pemuda tampan dengan rasa iba.
"sejak kepergian ayah, Ibu berjuang sendiri untuk membesarkanku dan juga untuk biaya hidup kami." Riki melanjutkan ceritanya.
"ibuku seorang guru, jadi secara ekonomi kehidupan kami boleh dibilang masih selalu tercukupi.." Riki mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas.
"kamu gak berusaha untuk mencari tahu keberadaan ayah kamu saat ini?" tanyaku, setelah kami terdiam beberapa saat.
"entahlah, Ngga. Sampai saat ini,sepertinya aku masih belum bisa memaafkan ayahku..." balas Riki terdengar lirih.
Kami kembali terdiam. Suasana kembali hening. Perlahan kami mulai membaca buku yang sejak tadi hanya kami pegang.
Kami memang duduk di meja yang paling sudut dalam perpustakaan tersebut, sedikit agak jauh dari pengunjung lainnya.
Sepertinya tempat itu, tanpa sengaja, sudah menjadi tempat favorit kami setiap kali kami berkunjung kesana.
Tempat tersebut, sepertinya juga menjadi saksi, ketika akhirnya kami menjadi kian akrab.
Keakraban kami itu, justru membuat, perasaan yang tumbuh di hatiku untuk Riki, kian berkembang.
Aku tak bisa mencegah hadirnya rasa itu. Setiap kali aku berusaha menepisnya, setiap kali pula rasa itu kian jelas kurasakan.
"kamu sudah punya pacar?" tanya Riki tiba-tiba, yang membuatku sedikit kaget.
Aku menatap sejenak kearah Riki. Aku cukup heran, kenapa Riki tiba-tiba bertanya seperti itu.
Namu segera aku menggeleng.
Kulihat Riki tersenyum tipis.
"kamu kenal Anisa? Dia teman sekelas kamu.." Riki berucap lagi.
Sekali lagi aku menatapnya. Kemudian mengangguk ringan.
Aku tahu Anisa, gadis manis yang cukup populer di kampus. Selain karena Anisa memang cantik, ia juga terkenal sebagai mahasiswi yang pintar.
Anisa memang satu jurusan denganku, dan satu kelas. Tapi aku tidak begitu dekat dengannya.
"sepertinya aku naksir sama dia..." suara Riki pelan, seolah dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Namun aku mendengarnya cukup jelas. Sejelas rasa sakit yang kurasakan menggores hatiku, karena menyadari kalau Riki ternyata menyukai perempuan.
Ah, haruskah aku cemburu?
Punya hak apa aku akan hal itu?
Riki bukan siapa-siapa aku. Dia berhak untuk tertarik pada siapa pun.
Aku menahan napas sejenak, dan segera berpura-pura membaca buku lagi. Berpura-pura tidak mendengar ucapan Riki barusan.
"kamu mau bantu aku gak, Ngga?" suara Riki mengagetkanku lagi.
"hah.. bantu apa?" tanyaku berlagak bego.
"bantu aku buat dekat sama Anisa..." balas Riki terdengar tegas.
"oh..." aku membulatkan bibir, berusaha sekuat mungkin untuk bersikap biasa saja.
Hatiku memang sakit, saat mengetahui kalau Riki ternyata menyukai perempuan. Namun akan semakin sakit lagi, jika aku harus menjadi mak comblangnya dengan Anisa.
"aku ... aku .. tidak terlalu dekat sama Anisa, Rik. Aku juga jarang, ketemu dia.." ucapku mencoba mencari alasan, untuk menghindari rasa sakitku sendiri.
Kalau pun Riki suka sama Anisa, dan bahkan jika mereka akhirnya jadian, aku tidak harus berperan di dalamnya. Aku sudah pasti tidak sanggup.
"oke, gak apa-apa. Mungkin aku harus usaha sendiri kali, ya..?!" balas Riki akhirnya, yang membuatku sedikit lega.
Meski hatiku tetap merasa sakit.
*****
Beberapa minggu kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Riki dan Anisa akhirnya memang berpacaran.
"akhirnya Anisa menerima aku, Ngga." cerita Riki.
Belakangan ini, Riki memang semakin sering bercerita tentang Anisa padaku.
Dia selalu cerita tentang perjuangannya untuk mendekati dan mendapatkan hati Anisa.
Aku selalu berpura-pura tertarik mendengarnya. Berpura-pura kalau perasaanku baik-baik saja.
"selamat, ya.." ucapku dengan nada standar.
"iya, makasih, Ngga.." balas Riki, dengan senyum sumringah penuh kebahagiaan.
Sejak saat itu, Riki jadi semakin jarang ke perpustakaan. Aku jadi jarang ngobrol sama dia. Sepertinya Riki sudah terlalu sibuk bersama Anisa.
Aku kembali dengan kesendirianku. Selain Riki, aku memang tidak punya banyak teman.
Tidak banyak orang yang mau berteman dengan orang yang pendiam dan hobi baca sepertiku. Jika pun ada, itu hanya sekedar minta tolong mengerjakan tugas mereka.
Aku juga tidak terlalu pandai bergaul. Status-ku sebagai seorang gay, membuat aku kurang percaya diri untuk dekat dengan siapapun. Meski sebenarnya tidak seorang pun yang tahu.
Tapi aku merasa takut untuk dekat dengan seseorang. Aku takut mereka akan mengetahui siapa aku sebenarnya, jika terlalu dekat denganku.
Untuk menjaga jati diriku, aku memang harus selalu menjaga jarak dengan siapapun.
Namun Riki adalah sesuatu yang beda. Aku dekat dengannya, karena aku memang menyukainya dari awal.
Apa lagi sejak awal, Riki yang selalu berusaha mengajak aku ngobrol.
Namun sekarang Riki sudah mulai menjauh. Dan aku kembali merasa kesepian.
*****
Dua bulan kemudian, tiba-tiba Riki nongol lagi di perpustakaan.
"maaf ya, Ngga. Aku lama gak kesini, nemenin kamu.." ucap Riki, memulai pembicaraan.
Aku menatapnya.
Untuk apa Riki harus meminta maaf? bathinku.
"gak apa-apa, Rik. Kamu kan memang lagi sibuk sama Anisa.." balasku pelan.
"aku sudah putus..." Riki berucap, dengan nada sedih.
"oh.." desahku ringan. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu.
Entah aku merasa senang atau harus berpura-pura ikut bersedih.
"kenapa?" tanyaku berlagak santai. Sambil berpura-pura fokus pada buku yang aku baca.
"sepertinya kami gak cocok, Ngga..." jawab Riki pelan.
Aku tak menanggapinya lagi, aku masih berpura-pura sibuk membaca. Kulihat Riki juga melakukan hal yang sama.
Sejak hari itu, Riki kembali rajin datang ke perpustakaan. Ia kembali rajin mengajakku ngobrol.
Terus terang aku merasa bahagia dengan semua itu. Hari-hariku kembali terasa penuh warna. Kehadiran Riki, benar-benar memberi sesuatu yang berbeda.
"aku lagi jatuh cinta, Ngga." ucap Riki, suatu saat, setelah hampir sebulan ini, ia kembali menghiasi hari-hariku dengan senyum dan tawanya yang renyah. Dengan senda guraunya, yang selalu membuatku tersenyum.
"oh, ya? sama siapa?" tanyaku berlagak penuh semangat.
Padahal sebuah goresan kembali menyayat hatiku. Jika Riki jatuh cinta, dan akhirnya pacaran lagi, aku pasti akan kembali kehilangan dia.
"kamu pasti gak kenal, Ngga." jawab Riki, "tapi kami sudah mulai dekat. Hanya tunggu waktu yang tepat untuk aku mengungkapkan perasaanku padanya..." lanjutnya.
Aku terdiam. Rasa sakit perlahan mulai menggores hatiku kembali.
Dan akhirnya semua terjadi lagi. Riki kembali menghilang. Tak pernah lagi datang ke perpustakaan.
Aku kembali merasa kesepian. Dan kali ini rasanya kian sakit.
Namun dua minggu kemudian, Riki datang lagi menemuiku.
"aku minta maaf ya, Ngga." ucapnya memulai pembicaraan. "aku udah dua minggu gak kesini.." lanjutnya sambil menatapku sekilas.
"kamu gak perlu minta maaf, Rik." balasku berusaha tegas.
"oh, ya. gimana kabar pacarmu itu?" tanyaku melanjutkan.
"pacar? pacarku yang mana?" Riki balik nanya, yang membuatku kembali menatapnya.
"yang kemarin kamu bilang, kalau kamu lagi jatuh cinta.." ucapku menjelaskan.
"oh, itu. ternyata ia gak suka sama aku, Ngga." jawab Riki tanpa semangat.
Hari-hari selanjutnya, Riki kembali rutin menemaniku di perpustakaan.
Seperti biasa, kehadirannya kembali mampu memberi warna tersendiri di setiap hari-hariku.
Namun itu hanya terjadi tidak sampai satu bulan, karena selanjutnya Riki kembali dengan kebiasaannya yang sudah mulai aku hafal.
"aku lagi jatuh cinta, Ngga." begitu ucapnya. Dan ini sudah untuk ketiga kalinya, sejak kami dekat, Riki mengatakan sedang jatuh cinta padaku.
Aku mulai terbiasa dengan kehadiran Riki yang tiba-tiba, dan juga hilang dengan tiba-tiba.
Aku berusaha untuk tidak menanggapinya. Karena seperti biasa, Riki kembali menghilang. Dia tak lagi pernah datang ke perpustakaan.
Sampai beberapa minggu kemudian, Riki datang lagi menemuiku di perpustakaan.
Ia kembali menemani hari-hariku.
Berkali-kali hal itu terus terjadi. Riki datang dan pergi seperti sesukan hatinya.
Aku mulai terbiasa dengan semua itu. Aku tak lagi terlalu peduli dengan kepergian dan kedatangannya yang tiba-tiba.
Entah sudah berapa kali hal itu terjadi. Aku tidak bisa lagi menghitungnya. Sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi Riki.
Dan aku harus menerima perlakuannya tersebut.
Meski hatiku selalu merasa sakit karenanya.
****
Beriring berjalannya waktu dan dengan kebiasaan Riki yang datang dan pergi tiba-tiba.
Hingga suatu saat, aku tanpa sengaja bertemu kembali dengan cinta pertamaku. Rama!
Iya. Rama. Kakak kelasku saat SMA dulu, yang sempat membuatku jatuh cinta. Yang sudah aku ceritakan dari awal tadi.
Kami sebenarnya bertemu melalui media sosial. Meksi awalnya kami tidak saling kenal, karena sama-sama menggunakan akun palsu.
Hingga kami membuat kesepakatan untuk saling bertemu.
"kak Rama?" ucapku dalam kekagetan, ketika akhirnya kami bertemu di sebuah kafe.
"iya. Kamu tahu saya?" tanya Rama dengan kening berkerut.
"iya, dulu kita satu sekolahan. Tapi aku satu tingkat di bawah kak Rama." jawabku sedikit kecewa.
Ternyata Rama tidak mengenalku saat SMA dulu, padahal aku sangat mengaguminya.
"oh.." desahnya, "maaf ya, aku gak ingat. Apa kita pernah ngobrol waktu SMA?" ucapnya kemudian.
"itu dia masalahnya, aku kenal kak Rama, karena kak Rama cukup populer waktu SMA. Tapi aku hanya pengagum rahasia waktu itu. Kak Rama sudah pasti gak kenal aku ..." jawabku polos.
Rama tersenyum manis. Senyumnya masih semanis dulu.
Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan Rama. Dan lebih tak kusangka lagi, ternyata Rama juga seorang gay.
"aku jadi malu. Padahal waktu SMA aku sering gonta ganti pacar. Kamu pasti tahu itu. Tapi ternyata aku hanya seorang homo..." Rama memelankan suaranya.
Aku tersenyum tipis. Yah, dulu waktu SMA, Rama memang terkenal punya banyak pacar. Tapi ternyata itu hanya untuk menutupi siapa dia sebenarnya.
"gak apa-apa kak Rama. Kan cuma aku yang tahu.." balasku ringan.
"kamu jangan panggil kak lah. Jadi berasa tua aku.." ucap Rama lagi.
Akhirnya aku dan Rama pun jadian. Aku yang memang telah jatuh cinta pada Rama sejak dulu, tentu saja merasa sangat bahagia bisa bersamanya.
Namun jujur saja, ada bayangan Riki melintas di benakku. Biar bagaimana pun sudah hampir dua tahun ini, Riki memang telah bersarang di hatiku.
Tapi Riki tidak pernah peduli akan hal itu. Dia terlalu sibuk dengan pacar-pacarnya.
Dia terlalu sibuk dengan kebiasaannya yang datang dan pergi tiba-tiba dalam hidupku.
Sekarang ada Rama disini, dengan pesonanya yang masih sama.
Dan Rama juga ternyata tertarik padaku.
Setelah berpacaran dengan Rama, tentu saja, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya.
Aku jadi jarang ke perpustakaan.
Hingga suatu hari ...
"kamu kemana aja, Ngga?" tanya Riki, setelah hampir dua bulan kami tak bertemu.
"gak kemana-mana, kok. Kamu nya aja yang sibuk sama pacar kamu.." jawabku beralasan. Aku juga tidak mungkin menceritakan tentang Rama pada Riki.
Biar bagaimanapun hubunganku dengan Rama adalah sebuah rahasia.
"tapi kamu udah lama gak ada di perpustakaan, Ngga. Aku setiap hari kesini, kamu nya gak ada.." ucap Riki lagi, ia semakin manatapku tajam.
Kenapa Riki, jadi begitu pedulinya denganku? tanyaku membathin.
Tapi aku pura-pura cuek. Aku pura-pura sibuk membaca buku. Aku enggan menjelaskan apapun pada Riki. Selama ini ia suka datang dan pergi secara tiba-tiba, aku juga tidak pernah protes.
Namun yang pasti sejak hari itu, Riki kembali dengan kebiasaannya, yang kembali rajin datang ke perpustakaan.
Aku sendiri memang sudah punya jadwal khusus untuk bertemu dengan Rama. Kami sudah punya kesepakatan.
Jadi aku masih bisa sering-sering datang ke perpustakaan.
"kita jalan yuk, Ngga." ajak Riki suatu hari.
"jalan kemana?" tanyaku bingung, sejak kami saling kenal, baru kali ini, Riki mengajakku jalan keluar dari perpustakaan ini.
"kemana aja. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu..." balas Riki.
"kenapa gak ngomong disini aja?" tanyaku lagi.
"ini penting, Ngga. Gak bisa diomongkan disini." balas Riki lagi.
"kita ngomongnya di rumahku aja, kebetulan ibuku sedang keluar kota.." lanjut Riki lagi.
Sesaat aku terdiam. Mempertimbangkan tawaran Riki.
Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang ingin diomongkan Riki padaku.
Jadi gak ada salahnya aku main ke rumahnya Riki, toh selama ini aku juga belum pernah ke rumahnya.
Dan kami berangkat menuju rumah Riki dengan memakai motornya.
Sepanjang perjalanan dadaku berdegup tak karuan. Karena sejak kenal Riki, baru kali ini aku naik motor bersamanya.
Sesampai di rumahnya, Riki mempersilahkan aku masuk, dan kami ngobrol di dalam kamarnya.
"mau ngomong apa, sih, Rik. Sampai ngajak aku ke rumahmu segala?" tanyaku.
Riki memutar tubuh menatapku, kami duduk saling berhadapan di tepian ranjang milik Riki yang hanya bermuatan satu orang itu.
"aku suka sama kamu, Angga." meski terdengar bergetar, suara itu cukup tegas keluat dari mulut Riki.
"aku suka sama kamu, Ngga. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu.." Riki melanjutkan, kali ini ia dengan cukup berani meraih kedua tanganku.
Dadaku yang memang sejak tadi mulai berdebar, semakin berdebar tak karuan.
Aku memang kaget, tapi aku membiarkan Riki melakukan aksinya dan menyelesaikan ceritanya.
"sebenarnya selama ini, aku selalu membohongi kamu, Ngga. Aku selalu mengatakan kalau aku jatuh cinta sama perempuan. Seperti Anisa dan cewek-cewek lainnya."
"padahal aku mengatakan itu semua, berharap kamu cemburu. Tapi ternyata kamu terlihat biasa saja, yang membuatku semakin tersiksa dengan perasaanku.."
"aku juga sudah coba menghindarimu berkali-kali, tapi justru aku semakin tersiksa karenanya.."
"untuk itu, aku beranikan diri hari ini, untuk mengungkapkan perasaanku padamu.." kudenngar Riki menghela napas panjang.
"aku tahu, mungkin kamu jijik mendengar ini, Ngga." Riki melanjutkan, "tapi setidaknya sekarang aku lega, bisa mengungkap ini semua sama kamu.."
"kamu boleh membenci aku setelah ini, Ngga. Kamu boleh menjauhi aku, karena aku yang ternyata seorang gay.."
"tapi setidaknya aku sudah berusaha jujur sama kamu. Aku sudah berusaha jujur tentang perasaanku.." Riki menarik napas lagi, kali ini semakin panjang.
Aku menarik tanganku tiba-tiba.
"maaf, Rik. Aku gak bisa..." ucapku perlahan. Aku takut membuat Riki terluka, karena itu pasti sakit.
Bukan karena Riki tidak menarik lagi di mataku. Riki sangat menarik.
Tapi, sekelebat bayangan senyum tulus Rama melintas. Rama terlalu tulus, aku tak mungkin mengkhianatinya.
"iya, gak apa-apa, Ngga. Aku ngerti, kok. Pasti ini sangat aneh buat kamu. Tapi begitulah kenyataanya, aku jatuh cinta sama kamu, Ngga.." suara itu mulai terdengar parau.
Kamu terlambat, Rik. bisikku dalam hati.
Seandainya saja, kamu melakukan ini semua, sejak dulu. Mungkin ceritanya akan beda.
Sekarang aku sudah jadi milik orang lain, Rik.
Aku terus membathin.
Kulihat raut kecewa di wajah tampan itu.
Seandainya saja Riki tahu, apa yang terjadi sebenarnya...
Tapi ya sudahlah! Riki tidak harus tahu.
"kita tetap berteman kan, Ngga?" suara Riki semakin kelu.
Aku mengangguk pelan. Tidak tahu juga, apa aku mampu tetap berteman dengan Riki, setelah semua yang terjadi.
****
Part 2
Rama menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Setelah ia berhasil membuat kami mencapai pendakian yang indah bersama.
Ini sudah untuk yang kesekian kalinya, kami melakukan hal tersebut.
Aku dan Rama, memang sudah berpacaran sejak dua bulan yang lalu.
Rama selalu mampu membuatku terbuai dalam buaian cintanya yang indah. Ia selalu membuatku merasakan sensasi sebuah rasa, yang tak terkira.
"yang kemarin itu siapa?" tanya Rama tiba-tiba, dengan suara yang sedikit serak.
Aku menoleh sekilas, mencoba memahami maksud dari pertanyaan tersebut.
"yang mana?" tanyaku balik.
"yang naik motor bareng kamu kemarin.." balas Rama, masih dengan nada parau.
Aku mengernyitkan kening. Kejadian, saat Riki memboncengku dua hari yang lalu melintas lagi.
Ya, dua hari yang lalu Riki memang mengajakku ke rumahnya, dengan menaiki motornya. Aku hanya tidak menyangka, kalau Rama akan melihat hal tersebut.
Dua hari yang lalu, Riki, mengajakku ke rumahnya dan mengungkapkan perasaan sukanya padaku.
Aku memang menyukai Riki, namun karena kebiasaannya yang datang dan pergi tiba-tiba dari hidupku, membuatku, memilih untuk menyambut cinta Rama.
Dan ketika aku tahu, kalau selama ini ternyata Riki juga menyukaiku, dia sudah terlambat. Aku sudah terlanjur bersama Rama. Meski tidak bisa aku pungkiri, kalau aku juga masih memendam rasa pada Riki.
"siapa dia?" Rama mengulang pertanyaannya, melihat aku hanya terdiam.
"oh, dia seniorku di kampus, kebetulan kami punya minat baca yang sama." jawabku jujur.
"lalu kemarin lusa kalian kemana?" Rama melanjutkan pertanyaannya.
Aku menoleh lagi. Seingintahu itukah Rama? bathinku.
"Riki mengajakku ke rumahnya..." jawabku masih berusaha jujur.
"ngapain ke rumahnya?" tanya Rama lagi, kali ini dengan nada tidak senangnya.
"kami ngobrol soal buku-buku yang kami baca." jawabku, "emang kenapa sih, Ram?" tanyaku melanjutkan.
Kudengar Rama menarik napas berat.
"aku gak suka kamu dekat-dekat sama laki-laki lain.." suara Rama tegas.
Aku mendongak kaget. Kenapa Rama tiba-tiba jadi se-posesif itu? aku membathin lagi.
"aku dan Riki gak ada hubungan apa-apa, Ram. Kamu jangan jadi posesif gini, dong." balasku, suaraku sedikit mengeras.
Rama menatapku tajam, yang membuat aku jengah.
Sebenarnya, aku memang menyukai Riki, dan Riki juga sudah jujur, kalau ia juga menyukaiku. Tapi memang tidak terjadi apa-apa diantara kami.
Aku berusaha menolak Riki, karena aku dan Rama memang sudah jadian.
Tapi mengapa Rama justru mencurigaiku dengan Riki.
"aku ingin kamu menjauhi Riki...!" suara Rama semakin tegas, yang membuatku semakin terdiam.
*****
Dengan perasaan berat, aku pun memenuhi permintaan Rama, untuk menjauhi Riki.
Aku tak lagi datang ke perpustakaan, karena takut tidak bisa menghindari Riki.
Menurutku, ada baiknya juga aku menghindari pertemuan dengan Riki. Selain untuk menjaga perasaan Rama, aku juga takut, kalau aku tidak bisa lagi menahan perasaanku sendiri terhadap Riki.
Berbulan-bulan hal itu terjadi. Aku tak pernah lagi bertemu Riki, bahkan ketika ia mencoba menghubungiku, aku selalu tidak menanggapinya.
Hingga akhirnya, Riki pun menyerah, dan tak pernah lagi menghubungiku.
Namun belakangan, aku mendengar kabar tak sedap tentang Riki.
"Riki kemarin ketangkep, karena ketahuan memakai narkoba.." ucap salah seorang teman Riki, ketika aku sarapan di kantin. Aku mendengar pembicaraan mereka dari kejauhan, namun suara mereka cukup jelas.
Aku menoleh ke arah sekelompok anak muda, yang juga sedang menikmati sarapan mereka. Aku mencoba untuk tidak percaya, namun sepanjang sarapan mereka terus menceritakan hal tersebut.
Karena penasaran, aku pun diam-diam mendatangi rumah Riki, dan bertemu dengan Ibunya.
"yah, begitulah, nak Angga. Riki sekarang sudah berubah. Ia sekarang bergaul dengan para preman. Tante tidak bisa lagi mengendalikannya, ia seperti lepas kontrol." begitu jelas Ibu Riki padaku, yang membuatku terenyuh.
"sekarang, Riki harus menjalani hukuman di penjara. Tapi tante sudah menyewa pengacara, untuk bisa membebaskannya, atau paling tidak mengurangi masa hukumannya." lanjutnya menjelaskan.
Aku merasa perihatin, mendengar semua cerita tentang Riki. Terus terang, ada rasa bersalah merasuki pikiranku. Biar bagaimana pun, bisa saja, segala perubahan yang terjadi pada Riki, adalah karena aku yang tidak bisa menerima cintanya dan justru menjauhinya.
Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Hubunganku dan Rama juga semakin serius. Meski jujur saja, kadang aku merasa Rama terlalu mengekangku. Namun aku tahu, semua itu karena Rama memang sangat menyayangiku.
Suatu hari, aku coba mengunjungi Riki di penjara. Sekedar ingin tahu keadaannya, dan sekaligus ingin meminta maaf padanya.
"aku tidak pernah ingin terlahir seperti ini, Ngga. Aku tak pernah ingin terlahir sebagai seorang gay. Aku juga tidak pernah berkeinginan untuk harus jatuh cinta padamu, Ngga. Tapi aku juga tidak bisa menghindari ini semua begitu saja..." begitu Riki memulai pembicaraannya denganku.
"semakin aku mencoba menghindari semua ini, semakin aku terjerumus di dalamnya. Aku capek, Ngga. Aku lelah dengan hidupku. Aku sudah menyerah. Hingga akhirnya, aku justru terjerumus dan tenggelam dalam dunia narkoba." Riki menghela napas berat, matanya memerah.
"karena hanya pada saat aku dalam pengaruh narkoba, aku justru bisa melupakan segala kepedihanku. Hingga akhirnya aku justru menjadi ketagihan dan... disini lah aku sekarang, masih dengan kejenuhan yang sama.." Riki melanjutkan ceritanya, yang membuatku kian terenyuh.
"aku benci pada diriku sendiri, Ngga. Aku benci hidupku.." Riki mengakhiri kalimatnya.
Aku menatap wajah tampan yang sekarang terlihat muram dan kusut. Aku menatap Riki dengan perasaan iba.
"maafkan aku, Rik." desahku pelan.
"kamu gak perlu minta maaf, Ngga. Apa yang terjadi dalam hidupku, sama sekali bukan salah kamu. Ini semua kemauanku sendiri. Tak ada yang salah dalam hal ini, kecuali aku yang tidak bisa menerima kenyataan siapa aku sebenarnya." balas Riki, terlihat menahan napas.
Andai saja Riki tahu, siapa aku sebenarnya? Bathinku.
Tapi aku memang tidak berani, untuk berterus terang pada Riki. Bukan karena aku takut, Riki tahu tentang aku. Tapi, ada banyak hal yang harus aku jaga disini.
Lagi pula, sekalipun Riki tahu, kalau aku juga seorang gay, aku juga tidak mungkin bisa bersamanya. Karena hubunganku dan Rama sudah sangat dalam.
Sejak saat itu, aku jadi sering mengunjungi Riki, tentu saja tanpa sepengetahuan Rama.
Aku hanya ingin memberi dukungan untuk Riki. Memberi ia semangat kembali.
Tiga tahun, Riki di penjara, selaam itulah kami mulai dekat kembali, hingga akhirnya Riki keluar.
Aku sudah lulus kuliah dan bekerja menjadi seorang tenaga honorer di sebuah sekolah swasta. Demikian juga Rama, ia sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan.
Hubunganku dan Rama terus berlanjut. Sementara, Riki sudah mulai sering menghubungiku lagi, semenjak ia kembali ke rumahnya.
Riki sering mengajakku jalan, meski aku harus bisa mengatur waktu dan tempat, agar Rama tidak mengetahuinya.
Hingga akhirnya suatu malam, aku dengan sedikit terpaksa harus menginap di rumah Riki, karena hujan yang tak kunjung reda.
Malam itu, Riki mencoba membujukku, agar mau melakukan hal tersebut dengannya.
Aku awalnya coba menolak. Namun Riki terlalu menggoda. Aku tidak mampu menahannya.
Aku terbuai dengan rayuan hangat Riki. Aku akhirnya pasrah, dan mencoba menikmati hal tersebut.
Riki mampu membuatku terbuai dalam lautan kehangatan penuh cinta. Segala yang ia lakukan padaku malam itu, benar-benar membuatku terlena dan membuatku sejenak melupakan sosok Rama.
Tentu saja rasanya berbeda. Bukan soal kualitasnya, tapi ini adalah pertama kalinya aku melakukan hal tersebut, dengan laki-laki yang berbeda, setelah Rama.
Namun, saat aku terbangun, justru rasa bersalah datang menghantuiku. Bayangan sosok Rama melintas dalam pikiranku, yang membuatku buru-buru pamit dan meninggalkan Riki, yang kebingungan melihat tingkahku pagi itu.
*****
Sejak saat itu, aku mulai menjauhi Riki lagi. Aku takut, setiap kali bertemu dengannya, aku tidak bisa menolak pesonanya.
Riki berusaha menghubungiku dan bahkan mendatangi rumahku. Tapi aku selalu punya alasan untuk menghindarinya.
Sampai akhirnya suatu hari, Riki memergokiku sedang bermesraan di dalam rumahku bersama Rama.
Sebenarnya, aku dan Rama memang sering melakukan hal tersebut di rumahku, terutama saat kami sama-sama libur kerja.
Aku hanya tidak menyangka, kalau Riki hari itu, akan datang ke rumahku.
Riki tidak bereaksi apa-apa saat itu, ia hanya memperlihatkan tatapan penuh kekecewaan, dan lalu pamit pergi.
"kamu masih sering ketemu dia?" suara Rama mengagetkanku, saat Riki sudah berlalu dari hadapan kami.
"gak, kok. Mungkin ia hanya kebetulan lewat dan sekedar ingin mampir..." jawabku beralasan.
Rama hanya terdiam, mendengarkan ucapanku barusan. Aku tahu, Rama tidak seratus persen percaya.
Namun, karena hubungan kami yang memang sudah lama, sepertinya Rama, mencoba untuk mengerti.
Kami pun melanjutkan kemesraan kami, yang tadi sempat terhenti oleh kehadiran Riki.
Pagi itu, untuk kesekian kalinya, aku dan Rama pun mendaki puncak bersama. Tapi kali ini, tiba-tiba bayangan wajah penuh kekecewaan milik Riki, terus menghantuiku selama pendakian.
Ada rasa bersalah yang tiba-tiba aku rasakan. Biar bagaimana pun, secara tidak langsung, Riki mulai menyadari, kalau aku ternyata juga seorang gay.
****
Esoknya, aku mencoba menemui Riki di rumahnya. Ada banyak hal yang harus ku jelaskan padanya.
Riki menyambutku dengan senyum sinis.
"jadi selama ini, kamu berbohong sama saya?!" suara Riki lantang, saat kami sudah berada di dalam kamarnya.
"aku gak pernah bohong sama kamu, Rik." jawabku mencoba sedatar mungkin.
"tapi nyatanya, kamu juga pacaran dengan sesama laki-laki, kan?" suara Riki masih ketus.
"iya. Aku memang pacaran dengan Rama, dan aku juga seorang gay. Tapi apa kamu pernah mempertanyakan hal tersebut?" balasku dengan nada mulai meninggi.
"aku sudah berkali-kali mengungkapkan perasaanku padamu, Ngga. Bahkan kita sudah melakukan hal tersebut. Tapi kamu bersikap seolah-olah, kalau kamu itu laki-laki normal..." ucap Riki lagi.
"aku berusaha bersikap apa adanya, Rik. Dan karena aku telah menjalin hubungan dengan Rama, karena itu aku tidak bisa menerima kamu. Maafkan aku jika itu menurutmu sebuah kesalahan.." suaraku tertahan, menahan perasaanku sendiri.
Riki mencengkeran kedua bahuku.
"apa kamu mencintaiku?" tanya Riki tajam, setajam tatapannya yang menghujam mataku.
Aku terdiam dan tertunduk. Tak berani lebih lama lagi manatap mata tajam itu.
"jawab aku, Ngga." ucap Riki lagi, "aku tahu, kamu sangat menikmati kejadian malam itu denganku. Aku hanya perlu meyakinkan diriku, apa kamu sebenarnya juga mencintaiku?" Riki melanjutkan, masih dengan erat memegang kedua bahuku.
Aku menepis kedua tangan Riki, lalu dengan berat berucap.
"maaf, Rik. Aku tak punya perasaan apa-apa sama kamu. Kejadian malam itu, hanya karena aku terbawa suasana...."
Setelah berucap demikian, aku segera melangkah keluar dari kamar Riki. Aku tak sanggup lebih lama lagi berada di sana.
Aku tahu Riki kecewa. Tapi aku juga tidak ingin membuat keadaan semakin memburuk. Biar bagaimana pun, aku harus bisa menyelamatkan hubunganku dan Rama.
Aku harus membohongi Riki, tentang perasaanku padanya. Setidaknya aku tidak ingin memberi harapan apa pun pada Riki.
Aku ingin Riki menjauhiku. Aku ingin ia melupakanku, karena aku sudah milik Rama. Aku tidak mungkin meninggalkan Rama.
*****
Pagi itu aku terbangun mendengar suara dering ponselku.
Aku coba mengabaikannya, karena kupikir itu dari Riki. Tapi ternyata ibunya Riki yang menghubungiku.
"Riki masuk rumah sakit, Ngga.." suara itu terisak. Aku terlonjak seketika, dan segera bangun dari rebahanku.
"Riki kenapa, tante?" tanyaku akhirnya.
"tadi malam Riki keluar, hingga larut ia belum pulang, tante merasa khawatir dan mencoba mencarinya. Namun seorang temannya mengabari tante, kalau Riki mengalami over dosis obat-obatan, Ngga." jelas Ibu Riki, masih dengan suara terisak.
"sekarang ia berada di rumah sakit, dan keadaannya makin kritis." lanjutnya, yang membuatku kian terhenyak.
Aku bersegera mandi dan dengan terburu menuju rumah sakit tempat Riki dirawat.
Namun sampai di rumah sakit, ternyata aku sudah terlambat.
Riki tidak berhasil terselamatkan. Ia akhirnya meninggal, karena over dosis parah.
Rasa bersalah kian membebaniku. Aku tak menyangka, kalau Riki akan nekat melakukan semua ini.
Aku tak menyangka jika lukanya sebegitu parah.
Ini bukan salah Riki, yang harus jatuh cinta padaku.
Tapi aku juga tidak salah, karena tidak bisa menerima cintanya, karena aku sudah bersama Rama.
Dan Rama juga tidak salah, karena membuatku harus menolak kehadiran Riki.
Tidak ada yang salah dalam hal ini.
Jika pun harus dipersalahkan, mungkin takdir yang tidak pernah benar-benar bersahabat dengan orang-orang seperti kami.
Dengan orang-orang yang terlahir berbeda.
Seperti kata Riki, kami tidak pernah ingin terlahir seperti ini.
Semua ini, bukan keinginan kami. Tapi sebagai manusia, kami juga tidak mampu menolak hadirnya semua rasa itu.
Bukan untuk dimengerti. Hanya saja, saya berharap, dengan menceritakan ini semua, ada kelegaan yang saya rasakan.
Dan semoga saja, ada hikmah yang bisa dipetik dari kisah sederhana ini.
Terima kasih sudah mendengar kisah ini sampai selesai.
Salam santun untuk kalian semua..
Aku menyayangi kalian, lebih dari sekedar sebuah ungkapan.
Semoga silahturrahmi diantara kita tetap terjalin dengan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar