Mengenal istilah TOP, BOT dan VERS.

 Kali ini, mimin tidak akan menceritakan sebuah kisah.

Tapi, mimin akan mencoba mengupas, beberapa istilah dalam dunia gay.

Apa-apa saja istilah tersebut? Simak tulisan ini sampai tuntas.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa dalam dunia gay, kita mengenal dan mendengar berbagai istilah-istilah, yang hanya kaum gay itu sendiri yang mengerti dengan istilah tersebut.

Dari sekian banyak istilah-istilah tersebut, ada tiga istilah yang paling sering kita dengar.

Yaitu istilah, TOP, BOT dan VERS.

Apa sebenarnya makna dari istilah TOP, BOT dan VERS tersebut?

Berikut ulasannya.

Mungkin teman-teman disini, juga banyak yang sudah mengetahui, istilah-istilah tersebut.

Tapi tidak ada salahnya juga, untuk menyimak tulisan ini sampai selesai.

Siapa tahu, ada hal-hal baru, yang teman-teman akan temukan disini.

Atau bisa bantu mimin, dengan meninggalkan komentar di kolom komentar dibawah ini.

Dari pada semakin penasaran, mari langsung kita simak saja.

Istilah yang pertama, yakni, TOP.

TOP adalah istilah untuk kaum gay, yang memposisikan dirinya sebagai “laki-laki”. Artinya, kaum Top dalam berhubungan badan dengan kaum gay lainnya, adalah berperan sebagai si laki-laki. Untuk lebih jelasnya, Para Top ini adalah yang suka “nusuk” tapi tak suka “ditusuk”.
Para Top ini, biasanya terlihat lebih jantan, kekar dan berotot. Dalam kehidupan sehari-hari para Top akan terlihat sangat normal seperti kebanyakan pria-pria lainnya.
Para Top akan mencari pasangan gay-nya yang Bot atau pun Vers.

Sesuai dengan namanya, yang berarti diatas, pria gay yang berperan sebagai seorang TOP, memang akan terlihat lebih dominan, dalam sebuah hubungan. Baik itu hubungan fisik, maupun hubungan perasaan.

Secara umum, pria TOP ini, sangat sulit ditemui.

Karena, selain selalu terlihat maskulin, pria TOP, juga sebenarnya, sangat jarang.

Kebanyakan TOP adalah pria macho dan maskulin. Meski tidak semua pria gay yang terlihat maskulin adalah TOP. Tapi biasanya, pria TOP, memang terlihat seperti laki-laki normal.

Selanjutnya, ada istilah, BOT.

BOT adalah istilah untuk para kaum gay, yang memposisikan dirinya sebagai “perempuan”. Artinya, para Bot dalam berhubungan badan dengan kaum gay lainnya, adalah berperan sebagai si Perempuan. Atau lebih jelasnya, Para Bot lebih suka “ditusuk” dan tidak suka “nusuk”.
Para Bot biasanya lebih mudah diketahui, karena kebanyakan para Bot pada umumnya lebih feminim dan melambai. Meski ada beberapa Bot yang tetap terlihat jantan, namun kebanyakan para Bot memang sedikit kemayu.
Dan para Bot ini akan mencari pasangan gay-nya yang Top atau Vers.
 
BOT adalah kebalikan dari TOP. Meski tidak semua pria feminim adalah BOT, dan tidak semua BOT itu feminim. Namun faktanya, pria BOT memang sering terlihat kemayu.
 
Selanjutnya ada istilah, Vers.
Adalah posisi yang memiliki peran ganda. Para Vers bisa memerankan kedua posisi lainnya (Top ataupun Bot). Vers akan berperan sesuai dengan pasangannya. Jika pasangannya Top, maka ia akan berperan menjadi Bot. Begitu juga sebaliknya, jika pasangannya Bot, maka ia bisa diandalkan menjadi Top. Artinya lagi, dalam berhubungan badan dengan kaun gay lainnya, Vers suka “nusuk” dan juga suka “ditusuk”.
Vers ini terbagi menjadi dua jenis, yakni :
Vers Top, dan Vers Bot.
Vers Top ialah para Vers yang lebih suka menjadi Top dan lebih suka “nusuk”, namun pada kondisi tertentu Vers Top juga bisa menjadi Bot. Namun biasanya, Vers Top lebih sering menjadi Top. Dan lebih suka mencari pasangannya yang berperan sebagai Bot.
Vers Bot adalah kebalikan dari Vers Top. Vers Bot lebih sering dan lebih suka berperan sebagai Bot. Namun pada saat-saat tertentu, ia juga bisa diandalkan untuk menjadi Top. Dan biasanya Vers Bot lebih menyukai dan mencari pasangannya yang berperan sebagai Top.
 
Dari ketiga istilah diatas, sebenarnya yang paling diuntungkan ialah para Vers, karena bisa merasakan dua hal yang berbeda.
Dan dari ketiga jenis kaum gay tersebut, berdasarkan pengalaman saya pribadi, terutama di Indonesia, sebenarnya kebanyakan kaum gay lebih banyak yang berperan sebagai Bot. Karena para Bot lebih mudah ditemui. Sedangkan para Top agak jarang dan sedikit susah dijumpai.
Sementara Vers sendiri sangat sulit diketahui, karena perannya sendiri yang ganda, dan memang sedikit susah ditebak.
 
Istilah TOP, BOT dan VERS, biasanya lebih sering digunakan oleh kaum gay, ketika melakukan hubungan.
 
Jika Bot bertemu BOT, maka mereka jarang saling tertarik.
Begitu juga, saat Top bertemu Top, mereka biasanya tidak akan melakukan apa-apa.
Namun jika keduanya bertemu pria Vers, maka Vers akan segera menyesuaikan diri.
 
Demikianlah pembahasan tentang istilah TOP, BOT dan Vers, dalam dunia gay.
Semoga penjabaran sederhana ini, bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang dunia gay. Terutama bagi mereka yang baru masuk dan mengenal dunia gay.
 
Lebih dan kurangnya, mimin mohon maaf.
Terima kasih sudah membaca sampai selesai.
Salam hangat untuk kalian semua.
Sampai jumpa lagi, dengan pembahasan lainnya. 
 
*****

Cinta untuk Riki ...

Namaku Angga. Aku anak kedua dari tiga bersaudara.

Kami tiga bersaudara semuanya laki-laki.

Saat ini aku sedang kuliah, usiaku kurang lebih 21 tahun.

Abangku sudah menikah dan sudah punya seorang putra.

Adikku masih SMA.

Ayahku seoranng pegawai pemerintahan, sedangkan ibuku seorang pedagang pakaian.

Aku berasal dari kampung. Abang dan adikku serta kedua orangtuaku tinggal di kampung.

Tapi aku kuliah di kota, dan tinggal di sebuah rumah yang sengaja dibelikan oleh ayahku.

Aku tinggal sendirian, meski kadang-kadang adikku juga sering datang ke kota.

Jarak dari kampungku ke kota sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya sekitar satu jam perjalanan naik motor.

Sejak SMP, aku sudah menyadari kalau aku berbeda.

Aku lebih tertarik pada sosok lelaki dari pada perempuan.

Namun selama bertahun-tahun, aku selalu memendam semua itu sendiri.

Aku tidak berani bercerita kepada siapapun. Aku selalu berusaha bersikap normal.

Pada saat SMA, aku pernah jatuh cinta dengan kakak kelasku.

Namanya Rama. Dia memang tampan dan juga sangat ramah.

Tapi aku tidak pernah benar-benar dekat dengannya.

Hingga ia lulus dan aku tidak pernah bertemu dia lagi sejak saat itu.

Perlahan rasaku pun memudar, aku tak lagi memikirkan Rama.

Saat kuliah, aku juga pernah jatuh cinta.

Aku jatuh cinta lagi pada seorang seniorku.

Namanya Riki, pria kekar yang memiliki senyum yang manis. Hidungnya mancung dengan bola mata yang indah.

Aku dan Riki bisa kenal dan dekat, karena kami kebetulan punya hobi yang sama.

Aku dan Riki memang sama-sama suka membaca, jadi saat jam istirahat, biasanya kami sering jumpa di perpustakaan kampus.

Apa lagi Riki, orangnya sangat ramah dan sedikit humoris.

Aku diam-diam menaruh hati pada Riki. Mengaguminya dalam hening hatiku.

Meski saat di dekatnya aku, selalu berusaha bersikap sewajarnya.

Setahun kami dekat dan sering ngobrol bersama. Riki jadi kian terbuka padaku.

Kalau biasanya kami hanya ngobrolin tentang buku-buku yang kami baca.

Sekarang Riki, juga sering bercerita tentang kehidupan pribadinya.

Riki memang lahir dan besar di kota itu. Ia tinggal bersama ibunya, karena sang ayah sudah meninggalkan mereka berdua, saat Riki masih sangat kecil.

"ayahku kawin lagi..." cerita Riki suatu hari, saat kami ngobrol lagi di perpustakaan.

"ibuku tak terima, dan meminta cerai dari ayah. Sejak saat itu mereka berpisah, dan aku tidak pernah bertemu ayahku lagi.." lanjut Riki, dengan suara sedikit parau.

Aku menatap pemuda tampan dengan rasa iba.

"sejak kepergian ayah, Ibu berjuang sendiri untuk membesarkanku dan juga untuk biaya hidup kami." Riki melanjutkan ceritanya.

"ibuku seorang guru, jadi secara ekonomi kehidupan kami boleh dibilang masih selalu tercukupi.." Riki mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas.

"kamu gak berusaha untuk mencari tahu keberadaan ayah kamu saat ini?" tanyaku, setelah kami terdiam beberapa saat.

"entahlah, Ngga. Sampai saat ini,sepertinya aku masih belum bisa memaafkan ayahku..." balas Riki terdengar lirih.

Kami kembali terdiam. Suasana kembali hening. Perlahan kami mulai membaca buku yang sejak tadi hanya kami pegang.

Kami memang duduk di meja yang paling sudut dalam perpustakaan tersebut, sedikit agak jauh dari pengunjung lainnya.

Sepertinya tempat itu, tanpa sengaja, sudah menjadi tempat favorit kami setiap kali kami berkunjung kesana.

Tempat tersebut, sepertinya juga menjadi saksi, ketika akhirnya kami menjadi kian akrab.

Keakraban kami itu, justru membuat, perasaan yang tumbuh di hatiku untuk Riki, kian berkembang.

Aku tak bisa mencegah hadirnya rasa itu. Setiap kali aku berusaha menepisnya, setiap kali pula rasa itu kian jelas kurasakan.

"kamu sudah punya pacar?" tanya Riki tiba-tiba, yang membuatku sedikit kaget.

Aku menatap sejenak kearah Riki. Aku cukup heran, kenapa Riki tiba-tiba bertanya seperti itu.

Namu segera aku menggeleng.

Kulihat Riki tersenyum tipis.

"kamu kenal Anisa? Dia teman sekelas kamu.." Riki berucap lagi.

Sekali lagi aku menatapnya. Kemudian mengangguk ringan.

Aku tahu Anisa, gadis manis yang cukup populer di kampus. Selain karena Anisa memang cantik, ia juga terkenal sebagai mahasiswi yang pintar.

Anisa memang satu jurusan denganku, dan satu kelas. Tapi aku tidak begitu dekat dengannya.

"sepertinya aku naksir sama dia..." suara Riki pelan, seolah dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Namun aku mendengarnya cukup jelas. Sejelas rasa sakit yang kurasakan menggores hatiku, karena menyadari kalau Riki ternyata menyukai perempuan.

Ah, haruskah aku cemburu?

Punya hak apa aku akan hal itu?

Riki bukan siapa-siapa aku. Dia berhak untuk tertarik pada siapa pun.

Aku menahan napas sejenak, dan segera berpura-pura membaca buku lagi. Berpura-pura tidak mendengar ucapan Riki barusan.

"kamu mau bantu aku gak, Ngga?" suara Riki mengagetkanku lagi.

"hah.. bantu apa?" tanyaku berlagak bego.

"bantu aku buat dekat sama Anisa..." balas Riki terdengar tegas.

"oh..." aku membulatkan bibir, berusaha sekuat mungkin untuk bersikap biasa saja.

Hatiku memang sakit, saat mengetahui kalau Riki ternyata menyukai perempuan. Namun akan semakin sakit lagi, jika aku harus menjadi mak comblangnya dengan Anisa.

"aku ... aku .. tidak terlalu dekat sama Anisa, Rik. Aku juga jarang, ketemu dia.." ucapku mencoba mencari alasan, untuk menghindari rasa sakitku sendiri.

Kalau pun Riki suka sama Anisa, dan bahkan jika mereka akhirnya jadian, aku tidak harus berperan di dalamnya. Aku sudah pasti tidak sanggup.

"oke, gak apa-apa. Mungkin aku harus usaha sendiri kali, ya..?!" balas Riki akhirnya, yang membuatku sedikit lega.

Meski hatiku tetap merasa sakit.

*****

Beberapa minggu kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Riki dan Anisa akhirnya memang berpacaran.

"akhirnya Anisa menerima aku, Ngga." cerita Riki.

Belakangan ini, Riki memang semakin sering bercerita tentang Anisa padaku.

Dia selalu cerita tentang perjuangannya untuk mendekati dan mendapatkan hati Anisa.

Aku selalu berpura-pura tertarik mendengarnya. Berpura-pura kalau perasaanku baik-baik saja.

"selamat, ya.." ucapku dengan nada standar.

"iya, makasih, Ngga.." balas Riki, dengan senyum sumringah penuh kebahagiaan.

Sejak saat itu, Riki jadi semakin jarang ke perpustakaan. Aku jadi jarang ngobrol sama dia. Sepertinya Riki sudah terlalu sibuk bersama Anisa.

Aku kembali dengan kesendirianku. Selain Riki, aku memang tidak punya banyak teman.

Tidak banyak orang yang mau berteman dengan orang yang pendiam dan hobi baca sepertiku. Jika pun ada, itu hanya sekedar minta tolong mengerjakan tugas mereka.

Aku juga tidak terlalu pandai bergaul. Status-ku sebagai seorang gay, membuat aku kurang percaya diri untuk dekat dengan siapapun. Meski sebenarnya tidak seorang pun yang tahu.

Tapi aku merasa takut untuk dekat dengan seseorang. Aku takut mereka akan mengetahui siapa aku sebenarnya, jika terlalu dekat denganku.

Untuk menjaga jati diriku, aku memang harus selalu menjaga jarak dengan siapapun.

Namun Riki adalah sesuatu yang beda. Aku dekat dengannya, karena aku memang menyukainya dari awal.

Apa lagi sejak awal, Riki yang selalu berusaha mengajak aku ngobrol.

Namun sekarang Riki sudah mulai menjauh. Dan aku kembali merasa kesepian.

*****

Dua bulan kemudian, tiba-tiba Riki nongol lagi di perpustakaan.

"maaf ya, Ngga. Aku lama gak kesini, nemenin kamu.." ucap Riki, memulai pembicaraan.

Aku menatapnya.

Untuk apa Riki harus meminta maaf? bathinku.

"gak apa-apa, Rik. Kamu kan memang lagi sibuk sama Anisa.." balasku pelan.

"aku sudah putus..." Riki berucap, dengan nada sedih.

"oh.." desahku ringan. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu.

Entah aku merasa senang atau harus berpura-pura ikut bersedih.

"kenapa?" tanyaku berlagak santai. Sambil berpura-pura fokus pada buku yang aku baca.

"sepertinya kami gak cocok, Ngga..." jawab Riki pelan.

Aku tak menanggapinya lagi, aku masih berpura-pura sibuk membaca. Kulihat Riki juga melakukan hal yang sama.

Sejak hari itu, Riki kembali rajin datang ke perpustakaan. Ia kembali rajin mengajakku ngobrol.

Terus terang aku merasa bahagia dengan semua itu. Hari-hariku kembali terasa penuh warna. Kehadiran Riki, benar-benar memberi sesuatu yang berbeda.

"aku lagi jatuh cinta, Ngga." ucap Riki, suatu saat, setelah hampir sebulan ini, ia kembali menghiasi hari-hariku dengan senyum dan tawanya yang renyah. Dengan senda guraunya, yang selalu membuatku tersenyum.

"oh, ya? sama siapa?" tanyaku berlagak penuh semangat.

Padahal sebuah goresan kembali menyayat hatiku. Jika Riki jatuh cinta, dan akhirnya pacaran lagi, aku pasti akan kembali kehilangan dia.

"kamu pasti gak kenal, Ngga." jawab Riki, "tapi kami sudah mulai dekat. Hanya tunggu waktu yang tepat untuk aku mengungkapkan perasaanku padanya..." lanjutnya.

Aku terdiam. Rasa sakit perlahan mulai menggores hatiku kembali.

Dan akhirnya semua terjadi lagi. Riki kembali menghilang. Tak pernah lagi datang ke perpustakaan.

Aku kembali merasa kesepian. Dan kali ini rasanya kian sakit.

Namun dua minggu kemudian, Riki datang lagi menemuiku.

"aku minta maaf ya, Ngga." ucapnya memulai pembicaraan. "aku udah dua minggu gak kesini.." lanjutnya sambil menatapku sekilas.

"kamu gak perlu minta maaf, Rik." balasku berusaha tegas.

"oh, ya. gimana kabar pacarmu itu?" tanyaku melanjutkan.

"pacar? pacarku yang mana?" Riki balik nanya, yang membuatku kembali menatapnya.

"yang kemarin kamu bilang, kalau kamu lagi jatuh cinta.." ucapku menjelaskan.

"oh, itu. ternyata ia gak suka sama aku, Ngga." jawab Riki tanpa semangat.

Hari-hari selanjutnya, Riki kembali rutin menemaniku di perpustakaan.

Seperti biasa, kehadirannya kembali mampu memberi warna tersendiri di setiap hari-hariku.

Namun itu hanya terjadi tidak sampai satu bulan, karena selanjutnya Riki kembali dengan kebiasaannya yang sudah mulai aku hafal.

"aku lagi jatuh cinta, Ngga." begitu ucapnya. Dan ini sudah untuk ketiga kalinya, sejak kami dekat, Riki mengatakan sedang jatuh cinta padaku.

Aku mulai terbiasa dengan kehadiran Riki yang tiba-tiba, dan juga hilang dengan tiba-tiba.

Aku berusaha untuk tidak menanggapinya. Karena seperti biasa, Riki kembali menghilang. Dia tak lagi pernah datang ke perpustakaan.

Sampai beberapa minggu kemudian, Riki datang lagi menemuiku di perpustakaan.

Ia kembali menemani hari-hariku.

Berkali-kali hal itu terus terjadi. Riki datang dan pergi seperti sesukan hatinya.

Aku mulai terbiasa dengan semua itu. Aku tak lagi terlalu peduli dengan kepergian dan kedatangannya yang tiba-tiba.

Entah sudah berapa kali hal itu terjadi. Aku tidak bisa lagi menghitungnya. Sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi Riki.

Dan aku harus menerima perlakuannya tersebut.

Meski hatiku selalu merasa sakit karenanya.

****

Beriring berjalannya waktu dan dengan kebiasaan Riki yang datang dan pergi tiba-tiba.

Hingga suatu saat, aku tanpa sengaja bertemu kembali dengan cinta pertamaku. Rama!

Iya. Rama. Kakak kelasku saat SMA dulu, yang sempat membuatku jatuh cinta. Yang sudah aku ceritakan dari awal tadi.

Kami sebenarnya bertemu melalui media sosial. Meksi awalnya kami tidak saling kenal, karena sama-sama menggunakan akun palsu.

Hingga kami membuat kesepakatan untuk saling bertemu.

"kak Rama?" ucapku dalam kekagetan, ketika akhirnya kami bertemu di sebuah kafe.

"iya. Kamu tahu saya?" tanya Rama dengan kening berkerut.

"iya, dulu kita satu sekolahan. Tapi aku satu tingkat di bawah kak Rama." jawabku sedikit kecewa.

Ternyata Rama tidak mengenalku saat SMA dulu, padahal aku sangat mengaguminya.

"oh.." desahnya, "maaf ya, aku gak ingat. Apa kita pernah ngobrol waktu SMA?" ucapnya kemudian.

"itu dia masalahnya, aku kenal kak Rama, karena kak Rama cukup populer waktu SMA. Tapi aku hanya pengagum rahasia waktu itu. Kak Rama sudah pasti gak kenal aku ..." jawabku polos.

Rama tersenyum manis. Senyumnya masih semanis dulu.

Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan Rama. Dan lebih tak kusangka lagi, ternyata Rama juga seorang gay.

"aku jadi malu. Padahal waktu SMA aku sering gonta ganti pacar. Kamu pasti tahu itu. Tapi ternyata aku hanya seorang homo..." Rama memelankan suaranya.

Aku tersenyum tipis. Yah, dulu waktu SMA, Rama memang terkenal punya banyak pacar. Tapi ternyata itu hanya untuk menutupi siapa dia sebenarnya.

"gak apa-apa kak Rama. Kan cuma aku yang tahu.." balasku ringan.

"kamu jangan panggil kak lah. Jadi berasa tua aku.." ucap Rama lagi.

Akhirnya aku dan Rama pun jadian. Aku yang memang telah jatuh cinta pada Rama sejak dulu, tentu saja merasa sangat bahagia bisa bersamanya.

Namun jujur saja, ada bayangan Riki melintas di benakku. Biar bagaimana pun sudah hampir dua tahun ini, Riki memang telah bersarang di hatiku.

Tapi Riki tidak pernah peduli akan hal itu. Dia terlalu sibuk dengan pacar-pacarnya.

Dia terlalu sibuk dengan kebiasaannya yang datang dan pergi tiba-tiba dalam hidupku.

Sekarang ada Rama disini, dengan pesonanya yang masih sama.

Dan Rama juga ternyata tertarik padaku.

Setelah berpacaran dengan Rama, tentu saja, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya.

Aku jadi jarang ke perpustakaan.

Hingga suatu hari ...

"kamu kemana aja, Ngga?" tanya Riki, setelah hampir dua bulan kami tak bertemu.

"gak kemana-mana, kok. Kamu nya aja yang sibuk sama pacar kamu.." jawabku beralasan. Aku juga tidak mungkin menceritakan tentang Rama pada Riki.

Biar bagaimanapun hubunganku dengan Rama adalah sebuah rahasia.

"tapi kamu udah lama gak ada di perpustakaan, Ngga. Aku setiap hari kesini, kamu nya gak ada.." ucap Riki lagi, ia semakin manatapku tajam.

Kenapa Riki, jadi begitu pedulinya denganku? tanyaku membathin.

Tapi aku pura-pura cuek. Aku pura-pura sibuk membaca buku. Aku enggan menjelaskan apapun pada Riki. Selama ini ia suka datang dan pergi secara tiba-tiba, aku juga tidak pernah protes.

Namun yang pasti sejak hari itu, Riki kembali dengan kebiasaannya, yang kembali rajin datang ke perpustakaan.

Aku sendiri memang sudah punya jadwal khusus untuk bertemu dengan Rama. Kami sudah punya kesepakatan.

Jadi aku masih bisa sering-sering datang ke perpustakaan.

"kita jalan yuk, Ngga." ajak Riki suatu hari.

"jalan kemana?" tanyaku bingung, sejak kami saling kenal, baru kali ini, Riki mengajakku jalan keluar dari perpustakaan ini.

"kemana aja. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu..." balas Riki.

"kenapa gak ngomong disini aja?" tanyaku lagi.

"ini penting, Ngga. Gak bisa diomongkan disini." balas Riki lagi.

"kita ngomongnya di rumahku aja, kebetulan ibuku sedang keluar kota.." lanjut Riki lagi.

Sesaat aku terdiam. Mempertimbangkan tawaran Riki.

Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang ingin diomongkan Riki padaku.

Jadi gak ada salahnya aku main ke rumahnya Riki, toh selama ini aku juga belum pernah ke rumahnya.

Dan kami berangkat menuju rumah Riki dengan memakai motornya.

Sepanjang perjalanan dadaku berdegup tak karuan. Karena sejak kenal Riki, baru kali ini aku naik motor bersamanya.

Sesampai di rumahnya, Riki mempersilahkan aku masuk, dan kami ngobrol di dalam kamarnya.

"mau ngomong apa, sih, Rik. Sampai ngajak aku ke rumahmu segala?" tanyaku.

Riki memutar tubuh menatapku, kami duduk saling berhadapan di tepian ranjang milik Riki yang hanya bermuatan satu orang itu.

"aku suka sama kamu, Angga." meski terdengar bergetar, suara itu cukup tegas keluat dari mulut Riki.

"aku suka sama kamu, Ngga. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu.." Riki melanjutkan, kali ini ia dengan cukup berani meraih kedua tanganku.

Dadaku yang memang sejak tadi mulai berdebar, semakin berdebar tak karuan.

Aku memang kaget, tapi aku membiarkan Riki melakukan aksinya dan menyelesaikan ceritanya.

"sebenarnya selama ini, aku selalu membohongi kamu, Ngga. Aku selalu mengatakan kalau aku jatuh cinta sama perempuan. Seperti Anisa dan cewek-cewek lainnya."

"padahal aku mengatakan itu semua, berharap kamu cemburu. Tapi ternyata kamu terlihat biasa saja, yang membuatku semakin tersiksa dengan perasaanku.."

"aku juga sudah coba menghindarimu berkali-kali, tapi justru aku semakin tersiksa karenanya.."

"untuk itu, aku beranikan diri hari ini, untuk mengungkapkan perasaanku padamu.." kudenngar Riki menghela napas panjang.

"aku tahu, mungkin kamu jijik mendengar ini, Ngga." Riki melanjutkan, "tapi setidaknya sekarang aku lega, bisa mengungkap ini semua sama kamu.."

"kamu boleh membenci aku setelah ini, Ngga. Kamu boleh menjauhi aku, karena aku yang ternyata seorang gay.."

"tapi setidaknya aku sudah berusaha jujur sama kamu. Aku sudah berusaha jujur tentang perasaanku.." Riki menarik napas lagi, kali ini semakin panjang.

Aku menarik tanganku tiba-tiba.

"maaf, Rik. Aku gak bisa..." ucapku perlahan. Aku takut membuat Riki terluka, karena itu pasti sakit.

Bukan karena Riki tidak menarik lagi di mataku. Riki sangat menarik.

Tapi, sekelebat bayangan senyum tulus Rama melintas. Rama terlalu tulus, aku tak mungkin mengkhianatinya.

"iya, gak apa-apa, Ngga. Aku ngerti, kok. Pasti ini sangat aneh buat kamu. Tapi begitulah kenyataanya, aku jatuh cinta sama kamu, Ngga.." suara itu mulai terdengar parau.

Kamu terlambat, Rik. bisikku dalam hati.

Seandainya saja, kamu melakukan ini semua, sejak dulu. Mungkin ceritanya akan beda.

Sekarang aku sudah jadi milik orang lain, Rik.

Aku terus membathin.

Kulihat raut kecewa di wajah tampan itu.

Seandainya saja Riki tahu, apa yang terjadi sebenarnya...

Tapi ya sudahlah! Riki tidak harus tahu.

"kita tetap berteman kan, Ngga?" suara Riki semakin kelu.

Aku mengangguk pelan. Tidak tahu juga, apa aku mampu tetap berteman dengan Riki, setelah semua yang terjadi.

****

Part 2

Rama menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Setelah ia berhasil membuat kami mencapai pendakian yang indah bersama.

Ini sudah untuk yang kesekian kalinya, kami melakukan hal tersebut.

Aku dan Rama, memang sudah berpacaran sejak dua bulan yang lalu.

Rama selalu mampu membuatku terbuai dalam buaian cintanya yang indah. Ia selalu membuatku merasakan sensasi sebuah rasa, yang tak terkira.

"yang kemarin itu siapa?" tanya Rama tiba-tiba, dengan suara yang sedikit serak.

Aku menoleh sekilas, mencoba memahami maksud dari pertanyaan tersebut.

"yang mana?" tanyaku balik.

"yang naik motor bareng kamu kemarin.." balas Rama, masih dengan nada parau.

Aku mengernyitkan kening. Kejadian, saat Riki memboncengku dua hari yang lalu melintas lagi.

Ya, dua hari yang lalu Riki memang mengajakku ke rumahnya, dengan menaiki motornya. Aku hanya tidak menyangka, kalau Rama akan melihat hal tersebut.

Dua hari yang lalu, Riki, mengajakku ke rumahnya dan mengungkapkan perasaan sukanya padaku.

Aku memang menyukai Riki, namun karena kebiasaannya yang datang dan pergi tiba-tiba dari hidupku, membuatku, memilih untuk menyambut cinta Rama.

Dan ketika aku tahu, kalau selama ini ternyata Riki juga menyukaiku, dia sudah terlambat. Aku sudah terlanjur bersama Rama. Meski tidak bisa aku pungkiri, kalau aku juga masih memendam rasa pada Riki.

"siapa dia?" Rama mengulang pertanyaannya, melihat aku hanya terdiam.

"oh, dia seniorku di kampus, kebetulan kami punya minat baca yang sama." jawabku jujur.

"lalu kemarin lusa kalian kemana?" Rama melanjutkan pertanyaannya.

Aku menoleh lagi. Seingintahu itukah Rama? bathinku.

"Riki mengajakku ke rumahnya..." jawabku masih berusaha jujur.

"ngapain ke rumahnya?" tanya Rama lagi, kali ini dengan nada tidak senangnya.

"kami ngobrol soal buku-buku yang kami baca." jawabku, "emang kenapa sih, Ram?" tanyaku melanjutkan.

Kudengar Rama menarik napas berat.

"aku gak suka kamu dekat-dekat sama laki-laki lain.." suara Rama tegas.

Aku mendongak kaget. Kenapa Rama tiba-tiba jadi se-posesif itu? aku membathin lagi.

"aku dan Riki gak ada hubungan apa-apa, Ram. Kamu jangan jadi posesif gini, dong." balasku, suaraku sedikit mengeras.

Rama menatapku tajam, yang membuat aku jengah.

Sebenarnya, aku memang menyukai Riki, dan Riki juga sudah jujur, kalau ia juga menyukaiku. Tapi memang tidak terjadi apa-apa diantara kami.

Aku berusaha menolak Riki, karena aku dan Rama memang sudah jadian.

Tapi mengapa Rama justru mencurigaiku dengan Riki.

"aku ingin kamu menjauhi Riki...!" suara Rama semakin tegas, yang membuatku semakin terdiam.

*****

Dengan perasaan berat, aku pun memenuhi permintaan Rama, untuk menjauhi Riki.

Aku tak lagi datang ke perpustakaan, karena takut tidak bisa menghindari Riki.

Menurutku, ada baiknya juga aku menghindari pertemuan dengan Riki. Selain untuk menjaga perasaan Rama, aku juga takut, kalau aku tidak bisa lagi menahan perasaanku sendiri terhadap Riki.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Aku tak pernah lagi bertemu Riki, bahkan ketika ia mencoba menghubungiku, aku selalu tidak menanggapinya.

Hingga akhirnya, Riki pun menyerah, dan tak pernah lagi menghubungiku.

Namun belakangan, aku mendengar kabar tak sedap tentang Riki.

"Riki kemarin ketangkep, karena ketahuan memakai narkoba.." ucap salah seorang teman Riki, ketika aku sarapan di kantin. Aku mendengar pembicaraan mereka dari kejauhan, namun suara mereka cukup jelas.

Aku menoleh ke arah sekelompok anak muda, yang juga sedang menikmati sarapan mereka. Aku mencoba untuk tidak percaya, namun sepanjang sarapan mereka terus menceritakan hal tersebut.

Karena penasaran, aku pun diam-diam mendatangi rumah Riki, dan bertemu dengan Ibunya.

"yah, begitulah, nak Angga. Riki sekarang sudah berubah. Ia sekarang bergaul dengan para preman. Tante tidak bisa lagi mengendalikannya, ia seperti lepas kontrol." begitu jelas Ibu Riki padaku, yang membuatku terenyuh.

"sekarang, Riki harus menjalani hukuman di penjara. Tapi tante sudah menyewa pengacara, untuk bisa membebaskannya, atau paling tidak mengurangi masa hukumannya." lanjutnya menjelaskan.

Aku merasa perihatin, mendengar semua cerita tentang Riki. Terus terang, ada rasa bersalah merasuki pikiranku. Biar bagaimana pun, bisa saja, segala perubahan yang terjadi pada Riki, adalah karena aku yang tidak bisa menerima cintanya dan justru menjauhinya.

Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Hubunganku dan Rama juga semakin serius. Meski jujur saja, kadang aku merasa Rama terlalu mengekangku. Namun aku tahu, semua itu karena Rama memang sangat menyayangiku.

Suatu hari, aku coba mengunjungi Riki di penjara. Sekedar ingin tahu keadaannya, dan sekaligus ingin meminta maaf padanya.

"aku tidak pernah ingin terlahir seperti ini, Ngga. Aku tak pernah ingin terlahir sebagai seorang gay. Aku juga tidak pernah berkeinginan untuk harus jatuh cinta padamu, Ngga. Tapi aku juga tidak bisa menghindari ini semua begitu saja..." begitu Riki memulai pembicaraannya denganku.

"semakin aku mencoba menghindari semua ini, semakin aku terjerumus di dalamnya. Aku capek, Ngga. Aku lelah dengan hidupku. Aku sudah menyerah. Hingga akhirnya, aku justru terjerumus dan tenggelam dalam dunia narkoba." Riki menghela napas berat, matanya memerah.

"karena hanya pada saat aku dalam pengaruh narkoba, aku justru bisa melupakan segala kepedihanku. Hingga akhirnya aku justru menjadi ketagihan dan... disini lah aku sekarang, masih dengan kejenuhan yang sama.." Riki melanjutkan ceritanya, yang membuatku kian terenyuh.

"aku benci pada diriku sendiri, Ngga. Aku benci hidupku.." Riki mengakhiri kalimatnya.

Aku menatap wajah tampan yang sekarang terlihat muram dan kusut. Aku menatap Riki dengan perasaan iba.

"maafkan aku, Rik." desahku pelan.

"kamu gak perlu minta maaf, Ngga. Apa yang terjadi dalam hidupku, sama sekali bukan salah kamu. Ini semua kemauanku sendiri. Tak ada yang salah dalam hal ini, kecuali aku yang tidak bisa menerima kenyataan siapa aku sebenarnya." balas Riki, terlihat menahan napas.

Andai saja Riki tahu, siapa aku sebenarnya? Bathinku.

Tapi aku memang tidak berani, untuk berterus terang pada Riki. Bukan karena aku takut, Riki tahu tentang aku. Tapi, ada banyak hal yang harus aku jaga disini.

Lagi pula, sekalipun Riki tahu, kalau aku juga seorang gay, aku juga tidak mungkin bisa bersamanya. Karena hubunganku dan Rama sudah sangat dalam.

Sejak saat itu, aku jadi sering mengunjungi Riki, tentu saja tanpa sepengetahuan Rama.

Aku hanya ingin memberi dukungan untuk Riki. Memberi ia semangat kembali.

Tiga tahun, Riki di penjara, selaam itulah kami mulai dekat kembali, hingga akhirnya Riki keluar.

Aku sudah lulus kuliah dan bekerja menjadi seorang tenaga honorer di sebuah sekolah swasta. Demikian juga Rama, ia sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan.

Hubunganku dan Rama terus berlanjut. Sementara, Riki sudah mulai sering menghubungiku lagi, semenjak ia kembali ke rumahnya.

Riki sering mengajakku jalan, meski aku harus bisa mengatur waktu dan tempat, agar Rama tidak mengetahuinya.

Hingga akhirnya suatu malam, aku dengan sedikit terpaksa harus menginap di rumah Riki, karena hujan yang tak kunjung reda.

Malam itu, Riki mencoba membujukku, agar mau melakukan hal tersebut dengannya.

Aku awalnya coba menolak. Namun Riki terlalu menggoda. Aku tidak mampu menahannya.

Aku terbuai dengan rayuan hangat Riki. Aku akhirnya pasrah, dan mencoba menikmati hal tersebut.

Riki mampu membuatku terbuai dalam lautan kehangatan penuh cinta. Segala yang ia lakukan padaku malam itu, benar-benar membuatku terlena dan membuatku sejenak melupakan sosok Rama.

Tentu saja rasanya berbeda. Bukan soal kualitasnya, tapi ini adalah pertama kalinya aku melakukan hal tersebut, dengan laki-laki yang berbeda, setelah Rama.

Namun, saat aku terbangun, justru rasa bersalah datang menghantuiku. Bayangan sosok Rama melintas dalam pikiranku, yang membuatku buru-buru pamit dan meninggalkan Riki, yang kebingungan melihat tingkahku pagi itu.

*****

Sejak saat itu, aku mulai menjauhi Riki lagi. Aku takut, setiap kali bertemu dengannya, aku tidak bisa menolak pesonanya.

Riki berusaha menghubungiku dan bahkan mendatangi rumahku. Tapi aku selalu punya alasan untuk menghindarinya.

Sampai akhirnya suatu hari, Riki memergokiku sedang bermesraan di dalam rumahku bersama Rama.

Sebenarnya, aku dan Rama memang sering melakukan hal tersebut di rumahku, terutama saat kami sama-sama libur kerja.

Aku hanya tidak menyangka, kalau Riki hari itu, akan datang ke rumahku.

Riki tidak bereaksi apa-apa saat itu, ia hanya memperlihatkan tatapan penuh kekecewaan, dan lalu pamit pergi.

"kamu masih sering ketemu dia?" suara Rama mengagetkanku, saat Riki sudah berlalu dari hadapan kami.

"gak, kok. Mungkin ia hanya kebetulan lewat dan sekedar ingin mampir..." jawabku beralasan.

Rama hanya terdiam, mendengarkan ucapanku barusan. Aku tahu, Rama tidak seratus persen percaya.

Namun, karena hubungan kami yang memang sudah lama, sepertinya Rama, mencoba untuk mengerti.

Kami pun melanjutkan kemesraan kami, yang tadi sempat terhenti oleh kehadiran Riki.

Pagi itu, untuk kesekian kalinya, aku dan Rama pun mendaki puncak bersama. Tapi kali ini, tiba-tiba bayangan wajah penuh kekecewaan milik Riki, terus menghantuiku selama pendakian.

Ada rasa bersalah yang tiba-tiba aku rasakan. Biar bagaimana pun, secara tidak langsung, Riki mulai menyadari, kalau aku ternyata juga seorang gay.

****

Esoknya, aku mencoba menemui Riki di rumahnya. Ada banyak hal yang harus ku jelaskan padanya.

Riki menyambutku dengan senyum sinis.

"jadi selama ini, kamu berbohong sama saya?!" suara Riki lantang, saat kami sudah berada di dalam kamarnya.

"aku gak pernah bohong sama kamu, Rik." jawabku mencoba sedatar mungkin.

"tapi nyatanya, kamu juga pacaran dengan sesama laki-laki, kan?" suara Riki masih ketus.

"iya. Aku memang pacaran dengan Rama, dan aku juga seorang gay. Tapi apa kamu pernah mempertanyakan hal tersebut?" balasku dengan nada mulai meninggi.

"aku sudah berkali-kali mengungkapkan perasaanku padamu, Ngga. Bahkan kita sudah melakukan hal tersebut. Tapi kamu bersikap seolah-olah, kalau kamu itu laki-laki normal..." ucap Riki lagi.

"aku berusaha bersikap apa adanya, Rik. Dan karena aku telah menjalin hubungan dengan Rama, karena itu aku tidak bisa menerima kamu. Maafkan aku jika itu menurutmu sebuah kesalahan.." suaraku tertahan, menahan perasaanku sendiri.

Riki mencengkeran kedua bahuku.

"apa kamu mencintaiku?" tanya Riki tajam, setajam tatapannya yang menghujam mataku.

Aku terdiam dan tertunduk. Tak berani lebih lama lagi manatap mata tajam itu.

"jawab aku, Ngga." ucap Riki lagi, "aku tahu, kamu sangat menikmati kejadian malam itu denganku. Aku hanya perlu meyakinkan diriku, apa kamu sebenarnya juga mencintaiku?" Riki melanjutkan, masih dengan erat memegang kedua bahuku.

Aku menepis kedua tangan Riki, lalu dengan berat berucap.

"maaf, Rik. Aku tak punya perasaan apa-apa sama kamu. Kejadian malam itu, hanya karena aku terbawa suasana...."

Setelah berucap demikian, aku segera melangkah keluar dari kamar Riki. Aku tak sanggup lebih lama lagi berada di sana.

Aku tahu Riki kecewa. Tapi aku juga tidak ingin membuat keadaan semakin memburuk. Biar bagaimana pun, aku harus bisa menyelamatkan hubunganku dan Rama.

Aku harus membohongi Riki, tentang perasaanku padanya. Setidaknya aku tidak ingin memberi harapan apa pun pada Riki.

Aku ingin Riki menjauhiku. Aku ingin ia melupakanku, karena aku sudah milik Rama. Aku tidak mungkin meninggalkan Rama.

*****

Pagi itu aku terbangun mendengar suara dering ponselku.

Aku coba mengabaikannya, karena kupikir itu dari Riki. Tapi ternyata ibunya Riki yang menghubungiku.

"Riki masuk rumah sakit, Ngga.." suara itu terisak. Aku terlonjak seketika, dan segera bangun dari rebahanku.

"Riki kenapa, tante?" tanyaku akhirnya.

"tadi malam Riki keluar, hingga larut ia belum pulang, tante merasa khawatir dan mencoba mencarinya. Namun seorang temannya mengabari tante,  kalau Riki mengalami over dosis obat-obatan, Ngga." jelas Ibu Riki, masih dengan suara terisak.

"sekarang ia berada di rumah sakit, dan keadaannya makin kritis." lanjutnya, yang membuatku kian terhenyak.

Aku bersegera mandi dan dengan terburu menuju rumah sakit tempat Riki dirawat.

Namun sampai di rumah sakit, ternyata aku sudah terlambat.

Riki tidak berhasil terselamatkan. Ia akhirnya meninggal, karena over dosis parah.

Rasa bersalah kian membebaniku. Aku tak menyangka, kalau Riki akan nekat melakukan semua ini.

Aku tak menyangka jika lukanya sebegitu parah.

Ini bukan salah Riki, yang harus jatuh cinta padaku.

Tapi aku juga tidak salah, karena tidak bisa menerima cintanya, karena aku sudah bersama Rama.

Dan Rama juga tidak salah, karena membuatku harus menolak kehadiran Riki.

Tidak ada yang salah dalam hal ini.

Jika pun harus dipersalahkan, mungkin takdir yang tidak pernah benar-benar bersahabat dengan orang-orang seperti kami.

Dengan orang-orang yang terlahir berbeda.

Seperti kata Riki, kami tidak pernah ingin terlahir seperti ini.

Semua ini, bukan keinginan kami. Tapi sebagai manusia, kami juga tidak mampu menolak hadirnya semua rasa itu.

Bukan untuk dimengerti. Hanya saja, saya berharap, dengan menceritakan ini semua, ada kelegaan yang saya rasakan.

Dan semoga saja, ada hikmah yang bisa dipetik dari kisah sederhana ini.

Terima kasih sudah mendengar kisah ini sampai selesai.

Salam santun untuk kalian semua..

Aku menyayangi kalian, lebih dari sekedar sebuah ungkapan.

Semoga silahturrahmi diantara kita tetap terjalin dengan indah.

****

Semua karena ayah tiriku ...

Aku seorang yatim. Ayahku meninggal pada saat aku masih berusia 10 tahun, karena mengalami kecelakaan kerja. Ayahku bekerja sebagai seorang buruh pabrik.

Saat itu, aku belum merasa kehilangan. Aku hanya menganggap kepergian ayah, hanyalah sesuatu yang biasa.

Namun beriring bertambahnya usiaku, perlahan rasa kehilangan itu mulai menyelinap.

Apa lagi melihat ibuku, yang harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, dan juga untuk membiayai sekolahku.

 

Sang penuai mimpi

Ibuku seorang penjahit biasa, yang penghasilannya hanya pas-pasan. Terkadang ibu harus berhutang di warung, hanya untuk agar kami dapat makan.

Ditambah lagi sampai saat itu, kami masih tinggal di rumah kontrakan.

Kadang yang punya kontrakan sering datang, untuk menagih, karena ibu yang selalu terlambat membayar.

Aku merasa kasihan melihat ibu. Namun pada usiaku yang masih remaja saat itu, aku tak bisa berbuat banyak.

Pernah pada suatu ketika, aku menyarankan ibu untuk menikah lagi, namun ibu spontan menolak.

"Ibu akan menikah lagi, kalau kamu sudah cukup dewasa dan sudah bisa mandiri..." ucap Ibu waktu itu beralasan.

Aku juga pernah bekerja menjadi pengamen di lampu merah, setelah pulang sekolah. Namun tak lama, ibu pun mengetahuinya, dan beliau marah besar padaku.

"tugasmu hanyalah sekolah dan belajar yang rajin, Ndri..!" tegas suara Ibu waktu itu, "kamu gak usah ikut-ikutan memikirkan soal keuangan. Itu semua tanggungjawab ibu..." lanjutnya.

"kamu sekolah aja yang benar, biar nanti bisa jadi orang yang sukses..." ibu melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan suara yang sedikit serak, matanya kulihat mulai berkaca.

Aku hanya tertunduk, tak sanggup menatap wajah ibu yang tiba-tiba menjadi sedih.

Sejak saat itu, aku hanya melakukan tugasku, yakni belajar dengan giat, agar nanti bisa sukses dan membuat ibuku bangga.

Aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk belajar dan belajar, hingga aku hampir tak punya waktu lagi, untuk melakukan hal lainnya, seperti bermain atau pun berkumpul dengan teman-teman sebayaku.

Hal itu juga membuatku tidak punya waktu untuk sekedar dekat dengan para gadis, apa lagi berpacaran.

Hingga akhirnya aku lulus dari SMA, dengan hasil yang sangat memuaskan.

Ibuku pun tersenyum bangga melihatku.

Aku juga akhirnya berhasil kuliah di salah satu kampus ternama di kota itu. Tentu saja dengan bantuan beasiswa yang aku dapat, karena prestasiku.

Sampai saat itu, ibu masih belum mengizinkan aku untuk bekerja. Padahal dengan ijazah SMA yang aku punya dan juga kemampuan otakku, aku bisa saja mendapatkan sebuah pekerjaan.

Tapi ibu tidak setuju, kalau aku bekerja sambil kuliah. Ia hanya ingin agar aku fokus untuk kuliah.

Sampai akhirnya, satu tahun aku kuliah, ibuku pun memutuskan untuk menikah lagi.

"sesuai janji ibu, Ndri. Ibu akan menikah, kalau kamu sudah cukup dewasa..." ujar ibu beralasan.

Sebagian hatiku memang tidak rela, kalau ibu punya suami lagi. Biar bagaimana pun kasih sayang Ibu pasti akan terbagi. Dan aku tak ingin kehilangan kasih sayang ibu.

Namun sebagian hatiku yang lain, juga tidak mempermasalahkan keinginan ibu untuk menikah lagi. Toh, ibu sudah cukup lama hidup menjanda. Biar bagaimanapun, ibu juga butuh seorang pendamping. Setidaknya untuk mengurangi beban ibu dalam mencari nafkah. Apalagi usia ibu masih 42 tahun.

Akhirnya ibu pun menikah, dengan seorang pria yang dua tahun lebih tua darinya.

Namanya om Johan, ia seorang laki-laki yang ternyata cukup sukses. Om Johan, punya sebuah toko pakaian yang cukup besar.

Selain itu, ia juga sudah punya sebuah rumah mewah di kawasan sebuah perumahan elit.

Om Johan mengajak Ibu dan aku pindah kesana.

Om Johan seorang duda, ia bercerai dengan istrinya sudah lebih dari tiga tahun yang lalu.

Menurut cerita ibu, om Johan bercerai dengan istrinya, karena mereka sudah lebih sepuluh tahun menikah, namun belum juga dikaruniai anak.

Dan ternyata istri om Johan ketahuan berselingkuh, om Johan pun menceraikannya.

Singkat cerita, aku pun tinggal satu atap dengan ibuku dan juga ayah tiriku.

Om Johan dan ibuku sangat jarang berada di rumah. Mereka setiap pagi berangkat ke toko dan selalu pulang hampir larut malam.

Aku semakin jarang bertemu dengan ibu, aku semakin jarang mengobrol dengannya. Entah mengapa, aku merasa om Johan telah benar-benar merebut ibu dariku.

Tapi aku segera menepis semua perasaan itu. Biar bagaimanapun, ibu berhak untuk bahagia dan menikmati hidupnya.

******

Pada suatu hari, setelah hampir tiga bulan, Ibu tiba-tiba mendapat kabar dari kampung, kalau salah seorang kerabat kami di kampung mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal.

Ibu berangkat senidirian kesana. Aku tidak bisa ikut, karena di kampus memang sedang sibuk ujian.

Dan om Johan, juga tidak ikut, karena keadaan toko sedang ramai-ramainya kalau menjelang akhir tahun seperti ini.

Malam itu, setelah selesai mandi dan makan malam, aku bersantai menonton TV di ruang keluarga.

Saat tiba-tiba, aku melihat om Johan pulang.

Tumben ia pulang cepat. Bathinku.

"hari mau hujan, dan toko juga lumayan sepi..." seru om Johan, seperti bisa membaca jalan pikiranku, ketika ia berlalu di sampingku menuju kamarnya.

Aku hanya terdiam, seolah mengabaikan penjelasannya.

Selama ini, aku dan om Johan memang jarang mengobrol. Selain karena ia jarang di rumah, aku juga merasa om Johan itu adalah rivalku, untuk mendapatkan perhatian ibu.

Setengah jam kemudian, tiba-tiba om Johan muncul lagi di ruang keluarga. Ia kelihatan habis mandi. Ia hanya memakai baju kaos dan celana pendek.

Hujan di luar sudah mulai turun, meski tak begitu lebat.

Om Johan duduk di sampingku dengan cukup santai.

"kamu udah makan?" tanyanya berbasa-basi. Padahal ia tahu persis, kalau aku sudah makan.

"udah.." jawabku singkat.

"kamu nonton apaan, sih?" tanya om Johan, setelah kami terdiam beberapa saat.

Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaan basa-basi itu lagi.

"kita nonton DVD aja, yuk. Ada film yang belum saya tonton.." om Johan berujar lagi, ia kemudian berdiri dan melangkah ke kamarnya.

Tak lama berselang, ia pun kembali dengan membawa sebuah kaset DVD di tangannya.

Ia lalu memasang DVD tersebut dan segera memutarnya.

"film perancis, katanya sih bagus..." om Johan berujar, sambil ia melangkah dan lalu duduk lagi di sampingku. Tapi kali ini ia duduk sangat dekat, tubuh kami hampir berdempetan.

Film itu pun mulai tayang. Sebuah film dewasa ternyata. Adegan awalnya aja sudah cukup panas.

Om Johan menatapku, lalu tersenyum.

"kamu sudah pernah nonton film seperti ini?" tanya om Johan.

Saat itu adegan film semakin panas.

Aku hanya menggeleng lugu.

Sejujurnya aku memang belum pernah menonton film dewasa seperti itu.

Film itu terlalu vulgar, aku pun mulai merasa risih dan tak nyaman.

Bagaimana mungkin aku bisa menonton film yang begitu vulgar, bersama ayah tiriku?

Aku tak tahu, apa maksud dari om Johan, memutar film tersebut.

Namun yang pasti aku merasa aneh dan sangat tidak nyaman.

"kamu kenapa gelisah begitu?" suara om Johan mengagetkanku, apa lagi ia berucap, sambil meletakkan tangannya di atas pahaku yang hanya memakai celana pendek.

Tangan itu bahkan kurasakan mulai mengelus-elus pahaku yang terbuka.

Sebenarnya aku sendiri memang mulai bergairah menyaksikan adegan film panas tersebut.

Karena seumur-umur, ini pertama kalinya aku menonton film seperti ini.

Tapi...

Aku kemudian menepis tangan om Johan dari pahaku. Aku mulai merasa ada yang salah dengan semua itu.

Om Johan justru semakin merapatkan tubuhnya. Hingga tubuh kami, benar-benar sudah tidak berjarak lagi.

Aku menggeser posisi dudukku, agak menjauh. Adegan di layar sudah berganti posisi, dengan gaya yang semakin membuatku bergairah.

Om Johan terus berusaha mendekatiku, tangannya sekali lagi menyentuh bagian pahaku, kali ini lebih keatas.

"Om Johan mau ngapain?" tanyaku akhirnya dengan sedikit meronta.

Om Johan terlihat kaget, namun kemudian ia kembali tersenyum menatapku.

"kamu mau gak melakukan seperti itu..." ujar pak Johan, yang membuatku sedikit terperangah.

"maksud om Johan apa?" tanyaku semakin berani. Posisiku sudah benar-benar tersudut.

"ya, itu. Kita melakukan hal itu berdua..." balas om Johan, "udah gak usah malu, di rumah ini cuma ada kita berdua, kok..." lanjutnya dengan nada mesum.

Aku tiba-tiba merasa mual.

"om Johan gay?" tanyaku setengah tak percaya.

"menurut kamu?" om Johan balik bertanya.

Lama aku terdiam, memikirkan hal tersebut. Aku tidak bisa begitu saja menyimpulkannya.

Namun perlakuan om Johan malam ini padaku, cukup membuatku yakin, kalau ada yang salah dengannya.

Aku berdiri tiba-tiba, lalu bergerak dengan sedikit berlari menuju kamarku.

Aku tak pedulikan reaksi om Johan yang terpelongo menatapku.

********

Sejak malam itu, aku mulai menjauh dari om Johan. Aku selalu berusaha menghindar, setiap kali harus bersirobok dengannya. Rasanya aku mulai jijik melihatnya.

Namun om Johan terlihat biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia melakukan segala sesuatu seperti biasanya, terutama bila di depan Ibu.

Hingga beberapa minggu kemudian, pada suatu malam, saat aku sedang mengambil minuman di dapur. Tiba-tiba om Johan datang. Aku melirik jam di tanganku, jam sembilan malam.

"saya sengaja pulang cepat, dan Ibumu masih berada di toko..." ucap om Johan memulai kalimatnya. Sekali lagi ia berhasil menebak jalan pikiranku.

Aku hanya terdiam, berdiri tepat di hadapan om Johan. Om Johan menatapku tajam, dengan tatapan yang tidak bisa aku terjemahkan.

"kamu kenapa akhir-akhir ini selalu menghindari saya?" tanya om Johan, "kamu marah sama saya?" lanjutnya.

Aku tetap terdiam. Tak berniat juga untuk menjawab pertanyaannya.

"saya minta maaf, ya. Tentang kejadian malam itu..." om Johan berujar lagi, melihat saya hanya terdiam.

"saya gak ada maksud apa-apa, kok. Saya hanya .... saya hanya ... ya ... kamu tahu lah ... saya hanya terbawa suasana malam itu ..." lanjut om Johan.

Ia menarik napas ddan tertunduk.

"sebenarnya saya memang seorang gay. Sudah sejak lama, bahkan jauh sebelum saya menikah dengan istri pertama saya. Dan sebenarnya juga, saya bercerai dengan istri pertama saya, itu karena ia memergoki saya bersama laki-laki. Namun saya memintanya untuk tutup mulut. Jika tidak, saya tidak akan bersedia menceraikannya. Ia setuju, dan saya pun meminta ia untuk pindah dari kota ini, sehingga saya bebas mengarang cerita, kalau ia selingkuh..." cerita om Johan panjang lebar.

Namun bagi saya, itu tidak merubah apapun.

"sebenarnya saya sudah berusaha untuk berubah, saya juga ingin menjalani hidup ini, sebagaimana layaknya seorang laki-laki. Salah satu usaha saya ialah dengan menikah, meski saya tak pernah mencintainya. Saya hanya berharap, dengan menikah, saya bisa berubah. Namun kenyataannya, setiap kali saya mencoba mengubur keinginan saya terhadap laki-laki, setiap kali pula keinginan itu semakin kuat menghantui saya. Hingga saya tak bisa menghindarinya lagi. Saya bahkan semakin sering melakukannya, hingga istri saya memergokinya dan meminta bercerai ..." Om Johan menarik napas panjang.

"saat sudah bercerai dengan istri saya, justru saya semakin menggila dengan dunai gay saya. Saya semakin sering melakukannya. Saya sering menyewa laki-laki bayaran untuk memenuhi keinginan saya tersebut." om Johan mengakhiri kalimatnya, kemudian ia memutar tubuh memunggungi saya.

"sampai akhirnya saya melihat kamu. Saat itu kamu sedang berbelanja peralatan menjahit di toko saya. Melihat kamu yang sangat tampan dan atletis, saya merasa sangat tertarik. Lalu saya pun mulai mencari tahu, tentang kamu. Seperti apa kehidupan kamu dan bagaimana keluarga kamu. Hingga akhirnya saya tahu, kalau Ibumu seorang janda. Saya pun mulai berpikir untuk menikahi Ibumu ...." om Johan melanjutkan ceritanya, ia masih terus membelakangiku.

"jadi maksud, Om. Om Johan menikahi Ibu, hanya untuk bisa dekat dengan saya?" aku akhirnya mengeluarkan suara, dengan nada cukup lantang.

"iya. Begitulah lebih tepatnya." suara om Johan tegas.

"lagi pula gak ada yang salah dengan itu semua, kok. Ibumu bahagia dengan semua ini. Rumah mewah, hidup berkecukupan, punya suami. Sungguh sebuah kehidupan yang didambakan oleh banyak perempuan lain di luar sana. Dan segala kebutuhan Ibumu juga saya penuhi, termasuk juga kebutuhan bathinnya. Walaupun saya tidak mencintainya..." om Johan mengakhiri lagi kalimatnya, sambil ia memutar tubuhnya kembali menatapku.

Aku pun melangkah mendekat.

"kamu itu laki-laki brengsek..." ucapku semakin kasar.

"terserah kamu, mau bilang saya ini apa. Tapi yang pasti saya melakukan ini semua, karena saya telah tergila-gila sama kamu. Semua kemewahan ini, sebenarnya hanya untuk kamu, Andri..." om Johan berujar sambil berusaha menyentuh bahuku. Namun aku segera menepisnya kasar.

"saya akan ceritakan hal ini kepada Ibu..." suaraku bergetar, menahan amarah.

"silahkan, Andri! Tapi apa kamu yakin, Ibumu bakal percaya?" suara om Johan masih sangat lembut, namun begitu menyakitkan bagiku.

Aku mengeram menahan amarah. Kebencianku pada laki-laki itu semakin memuncak. Teganya ia mempermainkan perasaan Ibu, hanya untuk bisa mendekatiku.

Sungguh sebuah perbuatan yang sangat tidak masuk akal. Perbuatan yang tidak bisa diterima logikaku.

Sekali lagi, laki-laki itu mencoba menyentuh bahuku. Sekali lagi aku menepisnya, kali ini sangat kasar.

"kamu gak usah melawan, Andri!" suara om Johan mulai kasar. "kamu terima saja nasibmu. Saya sudah melakukan banyak hal untuk kalian. Saya angkat kalian dari lembah kemiskinan dan bisa menikmati semua kemewahan ini. Harusnya kamu berterima kasih sama saya.." suara laki-laki itu semakin lantang.

Tanganku mengepal, berniat untuk menghantam wajah laki-laki brengsek itu dengan sebuah pukulan. Namun tangan laki-laki itu cukup cekatan untuk menangkap pergelangan tanganku. Ia memgang tanganku sangat erat. Aku meronta melepaskan diri.

Tenaga om Johan cukup kuat, namun aku sekuat mungkin berusaha melepaskan diri. Hingga tanganku terlepas, lalu kemudian dengan penuh emosi, aku berlari mengambil sebatang kayu balok yang berada di sudut dapur.

Om Johan melongo menatap gerakanku. Lalu ia mencoba mengejarku. Tapi aku tak mempedulikannya. Aku meraih kayu balok tersebut, kemudian dengan tenaga yang penuh emosi, aku ayunkan kayu tersebut kearah om Johan yang berusaha menangkapku.

Kayu itu mengenai kepala om Johan. Ia terjerit lantang. Tubuhku bergetar, kayu itu pun terlepas dari peganganku. Namun aku melihat dari kepala om Johan memuncrat darah segar hingga mengenai tubuhku. Om Johan terus mengerang menahan sakit.

Aku mulai panik, kepalaku terasa pusing tiba-tiba. Aku merasa mual dan hendak muntah melihat pemandangan mengerikan di depanku. Mataku berkunang. Tatapanku tiba-tiba menjadi kelam. Dan akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri.

*************

Setelah proses yang panjang, akhirnya saya dijebloskan ke penjara. Om Johan tak berhasil diselamatkan. Ia tewas.

Tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang terjadi antara aku dan om Johan malam itu.

Cerita yang beredar, justru aku sengaja membunuh om Johan, untuk menguasai hartanya.

Aku tak peduli. Aku tak berbicara sepatah kata pun, bahkan kepada Ibuku. Selain karena trauma, karena kejadian tersebut. Aku juga tidak ingin menjelaskan apapun, kepada siapapun.

Aku rela dipenjara, asal Ibuku terbebas dari laki-laki bajingan itu.

Sedikitpun aku tak merasa menyesal telah membunuhnya. Meskipun resikonya, aku harus kehilangan kebebasanku. Bahkan aku juga harus kehilangan Ibuku.

Selama di penjara, Ibu tak pernah menjengukku sekalipun. Aku tahu, Ibu pasti marah dan sangat kecewa padaku.

Tapi seandainya ia tahu, alasan dari semua kejadian itu?

Namun, ya sudahlah! Tidak ada yang harus tahu. Tak seorangpun. Karena sudah pasti tidak akan ada yang percaya padaku. Om Johan selama ini terkenal sebagai laki-laki baik.

Aku sekarang benar-benar sendiri. Tak siapa pun yang peduli lagi denganku. Aku sebatang kara, di dalam penjara yang panuh kekejaman ini.

Dan di penjara inilah, kisahku terus berlanjut. Ternyata di penjara juga ada laki-laki homo yang haus seks. Dan saya harus berhadapan dengan mereka hampir setiap hari.

**********

Aku satu ruangan bersama empat orang penghuni penjara lainnya. Aku tahu, Ibu sudah membayar untuk ruangan ini, meskipun ia tak sudi untuk menjengukku sekalipun.

Teman sekamarku yang pertama bernama mas Roki, seorang preman yang dipenjara karena kasus narkoba. Dan sudah hampir lima tahun ia berada disini. Usianya kira-kira udah hampir 40 tahun.

Kemudian ada mas Dori, pria berusia 33 tahun, yang dipenjara karena kasus pelecehan seksual. Ia sudah lebih tiga tahun berada disini.

Selanjutnya ada Deden, masih muda, sekitar 24 tahun. Kasusnya pencurian motor, ia baru beberapa bulan di penjara.

Kemudian yang terakhir ada om Kandar, yang paling senior, ia sudah lebih dari sepuluh tahun dipenjara. Kasusnya cukup parah, yakni perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan.

Mereka semua sudah punya anak istri. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana mereka bisa bertahan selama bertahun-tahun hidup dipenjara.

Aku sendiri yang baru beberapa minggu disini, rasanya sudah sangat bosan.

"udah! dinikmatin aja..." ucap mas Roki suatu hari, melihat aku yang selalu murung.

Terus terang aku merasa sangat rindu dengan Ibu. Pasti saat ini beliau sangat membenciku.

*********

Dipenjara ini, aku bertemu dengan seorang sipir. Namanya Arifin. Perawakannya tinggi besar. Tampangnya terlihat sangar, dengan brewoknya. Usianya mungkin sekitar 36/37 tahun.

Arifin ini yang biasanya yang membuka dan megunci sel kami. Melayani kami dan beberapa penghuni ruangan lainnya.

Sebenarnya mas Arifin orangnya baik, meski ia jarang tersenyum. Dia sering memberi rokok pada para napi yang memintanya.

Aku mengenal mas Arifin, karena memang hampir setiap hari bertemu. Terutama saat ia tugas piket malam. Kami sering ngobrol dengannya.

Hingga pada suatu sore, mas Arifin memintaku untuk menemaninya ke ruang kerjanya.

Awalnya aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba mas Arifin memintaku ikut ke ruang kerjanya.

Sesampai di dalam ruangan tersebut, mas Arifin justru menutup dan mengunci pintu. Kami hanya berdua di dalam ruangan itu.

"mas Arifin mau apa?" tanyaku hati-hati.

Mas Arifin tersenyum. Karena memang jarang tersenyum, senyumnya justru terlihat manis.

"saya mau kamu, memenuhi keinginan saya.." jawabnya ringan.

"keinginan mas Arifin apa?" tanyaku lagi, terdengar lugu.

"saya seorang suami. Tapi istri saya tinggal jauh di kampung. Saya biasanya pulang hanya dua bulan sekali. Jadi selama dua bulan, saya harus bisa menahan keinginan saya untuk berhubungan intim. Karena itu, saya ingin kamu memenuhi keinginan saya tersebut. Saya sudah tidak bisa menahannya lagi. Karena kamu baru, saya memilih kamu hari ini. Terus terang saya hampir setiap hari melakukan ini, dengan para napi lainnya. Dan mereka tidak ada yang berani menolak. Selain karena takut, kita sebenarnya juga saling membutuhkan..." jelas mas Arifin panjang lebar.

Terus terang aku merasa kaget mendengarnya. Tapi aku juga merasa takut.

"tapi.. saya... saya ... bukan homo.." ucapku bergetar.

"iya. Saya tahu. Semua napi yang saya bawa kesini juga bukan homo. Tapi kamu harus percaya sama saya. Kamu akan bisa menikmatinya, seperti para napi lainnya." jawab mas Arifin lagi.

"tapi... saya gak bisa, mas..." ujarku pelan dengan perasaan takut.

"udah.. kamu tenang saja, kalau kamu mau, saya akan perlakukan kamu dengan baik. Tapi jika kamu menolak, saya tetap akan paksa kamu. Dan kamu tak akan bisa melawan. Kamu tinggal pilih, mau saya melakukannya secara kasar atau secara lembut...?" balas mas Arifin terdengar tegas.

Kali ini aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Biar bagaimanapun aku memang tidak akan bisa melawan. Jika aku menolak, aku pasti akan diperlakukan buruk selama di penjara ini.

Saat aku sedang memikirkan hal tersebut, tiba-tiba mas Arifin melangkah mendekat. Ia mulai merangkul tubuhku.

Aku sedikit risih dan berusaha mendorong tubuh kekar mas Arifin. Tapi ia justru semakin kuat mendekapku. Hingga tubuhku terasa lemas. Aku tak bisa melawan lagi.

Akhirnya aku hanya bisa pasrah, saat mas Arifin mulai menyalurkan keinginannya padaku.

Sore itu, dengan perasaan jijik dan sangat terpaksa, aku harus memenuhi keinginan mas Arifin yang sangat garang.

Itulah pertama kalinya dalam hidupku merasakan hal tersebut. Aku tak menyangkan aku akan terjebak seperti ini. Padahal aku di penjara justru karena berusaha menghindari hal tersebut. Namun dipenjara ini, aku justru akhirnya harus melakukan hal itu.

Dan hal itu terus terjadi, hampir setiap sore. Mas Arifin selalu mengajakku setiap sorenya. Bukan hanya mas Arifin, seorang sipir penjara lainnya, Mahdi, juga sering melahap tubuhku.

Dan parahnya lagi, teman-teman sekamarku, juga pernah melakukannya denganku berkali-kali.

Aku benar-benar terjebak disini. Aku terjebak dalam lumpur penuh dosa.

Aku terus mengalami hal tersebut selama bertahun-tahun aku dipenjara. Mereka bahkan pernah menggilirku beberapa kali. Aku tak kuasa melawan, aku terlalu lemah. Terutama karena aku merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

Hingga tujuh tahun aku pun keluar dari penjara tersebut. Selama tujuh tahun itu, Ibu tidak sekalipun menjengukku. Bahkan tak seorang pun pernah menjengukku.

Selama tujuh tahun, aku justru jadi pelampiasan dari beberapa orang sipir dan juga para penghuni penjara lainnya. Aku merasa hidupku telah hancur berantakkan. 

Mungkin ini adalah hukuman atas pembunuhan yang telah aku lakukan. Aku mencoba menjalaninya dengan tabah.

Hingga keluar penjara pun, aku pun mencoba menemui Ibuku. Namun menurut cerita seorang tetangga, Ibu ternyata sudah meninggal enam tahun lalu. Ibu mengalami sakit, mungkin karena kekcewaannya padaku. Hingga akhirnya beliau wafat.

Sekarang aku hidup terlunta-lunta dijalanan. Tidak seorangpun yang aku kenal saat ini. Aku juga tidak tahu, harus kemana lagi. Hidupku benar-benar hancur dan berantakan.

*****

Part 2 

(Bersama sang Dosen...)

Tujuh tahun aku di penjara. Menjalani kehidupan yang keras. Menjadi pelayan bagi para sipir dan juga para napi, untuk melampiaskan hasrta mereka.

Kadang hadir rasa menyesal dalam hatiku.

Mengapa aku harus mengalami itu semua?

Aku tahu aku salah, karena telah melenyapkan nyawa ayah tiriku.

Tapi itu semua terjadi, karena ayah tiriku berusaha berbuat mesum padaku, dan juga karena ia mencoba mempermainkan perasaan ibuku.

Ia menikah dengan ibuku, hanya karena ia ingin mendapatkan aku. Padahal ibuku sangat menyayanginya.

Aku benar-benar terpaksa melakukannya.

Tapi tetap saja, aku tidak berani menceritakan semua itu pada siapa pun, bahkan pada ibuku.

Hingga beliau akhirnya sakit, dan meninggal, karena aku yakin, ibuku sangat kecewa padaku.

Semua peristiwa pahit yang aku alami, kembali melintas di pikiranku.

Aku tidak menyesal karena telah menghabisi nyawa ayah tiriku, karena aku tahu, aku benar.

Namun penyesalan itu justru terjadi saat aku di penjara. Saat aku dipaksa melayani sipir penjara dan  juga para napi.

Aku tidak melawan. Aku terlalu lemah.

Menjadi korban pelecehan selama di penjara, benar-benar membuat aku menyesal.

Dan penyesalan itu semakin dalam, saat aku keluar dari penjara. Justru aku mendapat kabar, kalau ibuku sudah bertahun-tahun meninggal.

Aku baru menaydarinya, kenapa ibu tidak pernah menjengukku selama di penjara.

Semua penyesalan itulah yang membuat hatiku kian perih.

Sekarang aku hidup dijalanan. Tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa lagi.

Sungguh sebuah kehidupan yang tidak pernah aku harapkan sama sekali.

Namun semua sudah terjadi. Aku harus bisa menerimanya.

Aku harus bisa memulai perjalanan hidupku lagi.

Hanya saja aku bingung, harus memulainya dari mana.

Langkahku terasa buntu. Aku rapuh dan tak berdaya.

"hei.. kamu Andri, kan?!" sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba. Saat aku duduk di sebuah bangku taman, dengan pikiranku yang kacau.

Aku menoleh dengan lemah kearah suara itu.

Di hadapanku berdiri seorang laki-laki paroh baya, yang tersenyum tipis padaku.

"pak Irul?" suaraku tertahan.

Aku ingat pak Irul, dia salah satu dosenku di kampus dulu. Sudah tujuh tahun, namun sepertinya beliau masih mengingatku.

Aku memang dulu, sangat aktif di kampus. Aku juga terkenal sebagai anak yang pintar. Bahkan ketika lulus SMA, aku mendapat nilai terbaik, hingga aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah.

Tapi semua itu kini tiada berarti lagi. Aku bukan  lagi Andri yang dulu. Hidupku telah hancur, masa depanku semakin suram.

"iya, pak. Saya Andri. Bapak masih ingat saya?" ucapku selanjutnya dengan nada tanpa gairah.

"bapak pasti ingat kamu, Ndri. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di kampus.." balas pak Irul, sambil ia duduk di sampingku.

"bapak udah dengar sebagian dari kisah kamu, Ndri. Bapak turut prihatin, ya.." pak Irul melanjutkan kalimatnya, kali ini ia menatapku penuh hiba.

"iya, pak. Makasih.." balasku lemah.

Aku bukannya tidak senang bertemu pak Irul. Tapi kondisiku saat ini, benar-benar membuatku malu bertemu dengannya. Aku salah satu mahasiswanya yang gagal.

"jadi kamu kapan keluar dari penjara?" tanya pak Irul kemudian.

Pertanyaan itu, seperti menyayat hatiku.

"seminggu yang lalu, pak.." jawabku ringan.

"jadi sekarang kamu tinggal dimana?" pak Irul bertanya lagi.

Aku menggeleng ringan. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku merasa ragu untuk berterus terang pada pak Irul. Biar bagaimanapun, aku merasa tidak begitu dekat dengan pak Irul.

Tapi aku juga tidak bisa berbohong. Aku dengan cukup berat, mencoba menceritakan keadaanku saat ini pada pak Irul.

Pak Irul terlihat semakin merasa iba, setelah mendengar ceritaku.

"kamu udah makan?" tanyanya kemudian.

Aku menggeleng lagi. Karena aku memang belum makan seharian. Hari sudah mulai sore, perutku sebenarnya sudah melilit dari tadi.

Selama seminggu ini, aku makan dari sisa-sisa makanan yang aku pungut dari tong sampah.

seminggu ini, aku benar-benar jadi gelandangan. Tidur di bangku-bangku taman, dan makan makanan sisa. Pakaian dan tubuhku benar-benar lusuh.

"jadi apa rencanamu ke depannya, Ndri?" sebuah pertanyaan terlontar lagi dari bibir pak Irul.

Saat itu kami sudah berada di sebuah warung makan pinggir jalan.

Pak Irul bersikeras mengajakku ikut makan dengannya, walau aku sudah berusaha untuk menolaknya.

Sebenarnya aku merasa benar-benar tidak enak. Namun rasa lapar yang sejak tadi aku tahan, membuatku akhirnya bersedia menerima tawaran pak Irul, mantan dosenku itu.

"aku gak tahu, pak. Aku tidak punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa saat ini. Aku merasa telah gagal.." jawabku masih dengan nada sedih.

"kamu masih mudah, Ndri. Perjalananmu masih panjang. Kamu jangan menyerah ya.." ucap pak Irul, mencoba memberi aku semangat. Walau aku tidak tahu, apa kalimat itu benar-benar bisa menumbuhkan semangat dalam jiwaku yang telah rapuh oleh keadaan.

"aku punya tawaran buat kamu.." pak Irul berujar lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

Aku mengangkat kepala, mencoba manatap wajah pak Irul.

Pak Irul, kalau ku perkirakan mungkin sudah berusia sekitar empat puluh enam tahunan.

Namun wajahnya masih terlihat segar. Hidungnya sedikit mancung, dengan matanya yang bulat dan berbinar di balik kacamata putihnya.

Pak Irul juga punya senyum yang lumayan manis, menurutku.

Tubuhnya gempal berisi, dan terlihat berotot. Badannya tegap, meski perutnya sedikit membuncit.

 "bagaimana kalau untuk sementara, kamu tinggal di rumahku dulu? Ya... setidaknya sampai kamu punya pekerjaan ...." pak Irul melanjutkan kalimatnya.

Aku mendengar nada keraguan dalam kalimat tawaran pak Irul barusan.

Aku tidak tahu, entah apa yang membuat pak Irul merasa ragu, dengan tawarannya sendiri.

Mungkin ia merasa takut padaku, karena aku seorang pembunuh dan juga mantan nara pidana.

Atau sebenarnya ia ragu, karena takut aku tersinggung dan menolak tawarannya.

Namun aku yakin, penyebabnya adalah karena yang pertama.

"tapi saya..." ucapku tertahan.

"udah kamu tenang aja. Bapak tinggal sendirian, kok. Kamu gak usah khawatir..." pak Irul berucap, melihat aku yang tiba-tiba tergagap.

Kembali aku menatap wajah tampan itu. Ada raut ketulusan disana.

Lagi pula, saat ini aku memang tidak punya pilihan lain. Tidak banyak pilihan untuk orang-orang sepertiku.

Hanya saja, aku merasa pak Irul terlalu baik padaku. Rasanya aku tidak pantas menerimanya.

"kamu itu pintar, Ndri." pelan suara pak Irul, "bapak yakin, dengan kepintaranmu itu, pasti ada sesuatu yang bisa kamu lakukan, untuk merubah hidupmu." lanjutnya.

"bapak yakin, kamu pasti bisa bangkit, Ndri. Hanya saja kamu mungkin butuh dorongan. Kamu gak perlu merasa sungkan sama bapak." kali ini pak Irul menatapku tajam.

"bapak akan bantu kamu, Ndri. Kamu bisa anggap bapak, sebagai keluarga baru kamu." pak Irul melanjutkan lagi.

Kali aku tertunduk. Aku tidak tahu, harus berkata apa. Jika pak Irul bisa menaruh kepercayaan yang begitu besar padaku. Seharusnya aku juga bisa menaruh kepercayaan pada diriku sendiri.

******

Sudah sebulan aku tingal bersama pak Irul.

Pak Irul benar-benar memperlakukanku dengan baik. Ia ternyata memang tinggal sendirian.

Dan ternyata pak Irul belum menikah, meski sudah berusia sangat matang dan sudah kehidupan yang layak.

"saya tidak suka terikat. Saya sangat menikmati kebebasan saya..." ucap pak Irul memberi alasan, ketika aku dengan cukup berani mempertanyakan hal tersebut.

Aku dan pak Irul, memang terasa mulai dekat dan akrab. Aku menganggapnya seperti abangku sendiri.

Sebulan ini, aku menghabiskan waktu, dengan hobi lamaku. Yakni membaca dan menulis.

Selama di penjara aku telah kehilangan semua itu.

Kini aku punya kesempatan untuk mengembangkan bakatku.

Sejak kecil aku memang suka menulis. Tapi selama ini, aku hanya menulis untuk sekedar hobi semata.

Aku suka menulis puisi atau pun menulis cerita, hasil dari imajinasiku sendiri.

"ceritanya bagus.." sebuah pujian keluar dari mulut pak Irul, ketika aku memperlihatkan sebuah hasil karya ku padanya.

"kamu benar-benar punya bakat disini, Ndri. Tinggal bagaimana kamu mengembangkannya.." lanjut pak Irul lagi.

Aku tersenyum puas. Bagiku itu sebuah apresiasi yang menumbuhkan semangat bagiku.

"tapi ini belum selesai loh, pak. Aku memang berencana membuat sebuah novel..." balasku ringan.

Pak Irul tersenyum manis.

Kami duduk di ranjang dalam kamarku. Pak Irul memang menyediakan sebuah kamar untukku. Walau pak Irul justru sering mengajakku tidur di kamarnya.

Selama sebulan ini semua berjalan normal. Hubunganku dengan pak Irul, benar-benar seperti hubungan dua orang saudara kandung.

Pak Irul juga punya hobi memasak. Dan harus aku akui, kalau masakannya memang enak. Dia selalu rajin memasak setiap hari.

Sepintas kehidupan pak Irul terlihat normal. Tidak ada hal-hal aneh yang terjadi selama aku tinggal dengannya.

Namun setelah hampir tiga bulan aku tinggal disana, aku mulai merasa ada sesuatu yang beda.

Pak Irul, sering mendekapku saat tidur dengannya. Entah ia sengaja atau tidak, namun yang pasti ia mulai sering melakukannya.

Aku, karena merasa tidak enak hati, selalu membiarkannya.

Terus terang aku juga menikmati hal tersebut. Aku merasa nyaman aja, di perlakukan demikian.

Pengalamanku selama di penjara, membuatku merasa biasa saja, saat di dekap oleh seorang laki-laki.

Aku sendiri bingung sebenarnya dengan diriku. Tujuh tahun di penjara, dan sering berhubungan dengan para lelaki disana, seperti telah mengubah sebagian dari jati diriku.

Aku sudah sangat jarang memikirkan perempuan. Tidak ada lagi khayalan indah tentang sosok wanita dalam pikiranku, seperti saat-saat aku belum di penjara dulu.

Perlakuan tak senonoh para sipir penjara dan juga para napi, sepertinya telah mengubah sesuatu di dalam diriku.

Namun selama ini, aku berusaha bersikap wajar. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Aku labih fokus pada hobi-ku saat ini. Aku lebih memikirkan masa depanku.

Tapi, sikap dan perlakuan pak Irul akhir-akhir ini, seperti membangkitkan semua kenangan itu.

Aku mulai mencurigai pak Irul, selain karena perlakuannya padaku, juga karena sampai saat ini, pak Irul belum juga menikah. Bukankah hal terlihat aneh. Dia juga tidak pernah bercerita soal wanita denganku.

Tapi aku tidak cukup berani untuk sekedar berprasangka.

Hingga suatu malam. Seperti biasa, pak Irul mengajakku tidur di kamarnya.

"aku suka sama kamu, Ndri." ucap pak Irul, dengan suara bergetar.

"aku tidak mampu lagi memendamnya. Kamu terlalu menarik bagiku. Aku ingin kita menjalin hubungan yang lebih...." pak Irul melanjutkan, yang membuatku terdiam.

Meski aku sudah menduga hal ini sebelumnya, tetap saja aku merasa terkejut.

"aku gak akan memaksa kamu, Ndri. Hanya saja, aku berharap, kamu jangan membenciku dan manjauhiku karena ternyata aku seorang gay.." pak Irul memelankan suaranya.

Aku beranikan diri menatapnya. Pak Irul tertunduk.

"aku sudah berusaha untuk menjadi laki-laki normal, Ndri. Tapi tetap saja aku tidak mampu. Dan ini adalah salah satu alasanku, mengapa saat ini aku belum menikah.." ia berucap lagi, kali ini suaranya terdengar lirih di telingaku.

Tiba-tiba rasa iba, menyeruak dalam rongga dadaku.

Aku menghabiskan nyawa ayah tiriku, karena berusaha menolak keinginannya untuk mendapatkanku.

Hingga aku di penjara karenanya. Dan saat di penjara, aku tidak bisa menolak, saat para sipir mencoba mendapatkan tubuhku.

Dan sekarang ...

Sekarang pak Irul, mantan dosenku itu, orang yang telah berusaha membantuku bangkit dari keterpurukan. Orang yang selama beberapa bulan ini, sangat baik padaku.

Meski akhirnya aku tahu, bahwa kebaikan pak Irul selama ini, adalah karena ia menginginkanku.

Mengapa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang seperti itu?

Seakan dunia ini tidak begitu luas, untukku bertemu dengan orang-orang yang lebih tepat.

Mungkin inilah takdirku. Dan aku tidak mampu menghindarinya.

Ah... pak Irul, dia yang awalnya ku pikir adalah sosok laki-laki tulus, tapi ternyata semua itu hanya modus.

Setengah hatiku kecewa menyadari itu semua. Namun sebagian hatiku yang lain, mencoba mengabaikannya.

Mungkin memang lebih baik, aku nikmati saja semua ini. Karena sekuat apapun aku menghindar, aku masih saja dipertemukan dengan laki-laki yang punya selera terhadap sesama jenis.

Kalau pun aku harus lari dari pak Irul, aku juga tidak tahu, harus kemana lagi.

Karena hingga sekarang, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Tidak mudah mencari pekerjaan hanya bermodal ijazah SMA. Apa lagi aku adalah mantan nara pidana.

Sementara tulisanku sendiri masih selesai. Masih butuh waktu yang panjang untuk bisa menyelesaikannya.

Mungkin memang lebih baik, aku jalani semua ini dan belajar menikmatinya.

Setidaknya sampai aku bisa menyelesaikan tulisanku. Setidaknya untuk saat ini, aku masih bisa makan dan tidur enak. 

Kalau pak Irul bisa memanfaatkan keterpurukanku saat ini, untuk mendapatkanku.

 Kenapa aku juga tidak bisa memanfaatkannya.

Aku sudah lelah berlari, mungkin sudah saatnya aku singgah.

"jadi gimana, Ndri? Kamu mau..?" suara pak Irul membuyarkan lamunanku yang sempat melayang beberapa saat.

Aku menarik napas panjang. Sekedar menenangkan pikiranku yang tiba-tiba kacau.

"pak Irul sudah terlalu baik padaku." ucapku pelan, "aku akan mencobanya, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan perasaanku saat ini..." aku melanjutkan, kemudian menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.

"aku ngerti, Ndri. Tapi setidaknya beri aku kesempatan, untuk membuktikan bahwa aku tidak akan pernah membuatmu kecewa..." pak Irul berucap, sambil perlahan tangannya menyentuh dadaku.

Aku merinding sesaat, namun pengalamanku selama di penjara, membuatku bisa segera mengatasi rasa geliku.

Aku memejamkan mata, mencoba menikmati hal terssebut.

Pak Irul pun semakin berani. Ia seperti mencoba menumpahkan segala keinginannya yang selama ini telah ia pendam.

Aku membiarkannya. Dan perlahan aku pun mencoba mengimbanginya.

Meski sudah cukup berumur, namun pak Irul masih cukup segar.

Ia mampu memberikanku sesuatu yang kurasa luar biasa malam itu. Sepertinya pak Irul memang berusaha untuk membuatku terkesan.

Ia seperti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Dan  akhirnya kami pun terhempas bersama.

Jujur, itu adalah sebuah pengalaman yang berbeda bagiku. Ada kesan yang mendalam yang aku rasakan.

Mungkin karena pak Irul melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan perasaan cinta.

Selama ini yang aku alami, aku hanya sebagai pelampiasan semata.

Tapi dengan pak Irul, jelas terasa berbeda. Dan aku mulai menyukainya.

******

Sejak malam itu, secara otomatis aku dan pak Irul jadi kian dekat. Kami semakin sering melakukan hal tersebut.

Perlahan namun pasti, aku pun mulai merasa nyaman menjalani semua itu.

Hari-hari mulai terasa berwarna bagiku. Apa lagi pak Irul memperlakukanku dengan sangat istimewa.

"aku sangat menyayangi kamu, Ndri..." bisik pak Irul suatu malam padaku, saat kami baru saja menyelesaikan sebuah pendakian bersama.

Aku hanya tersenyum pasrah. Aku belum berani untuk berterus terang tentang perasaanku yang sebenarnya terhadap pak Irul.

Namun setidaknya dari perlakuanku padanya, pak Irul sudah bisa menebak isi hatiku.

Dan beriring berjalan waktu jua, akhirnya menyadarkanku, bahwa kehadiran pak Irul dalam hidupku, benar-benar telah merubah diriku.

Aku jadi punya semangat baru dalam hidup.

Aku juga mulai menyelesaikan novel pertamaku. Dan dengan bantuan penuh dari pak Irul, akhirnya novel pertamaku sudah bisa dipasarkan.

Dan itulah sepenggal cerita hidupku, bagaimana akhirnya aku bisa punya hubungan dengan sesama laki-laki.

Ceritaku tak indah. Kisahku terlalu biasa.

Namun aku percaya, selalu ada pelajaran berharga di balik sebuah kisah yang terjadi.

Hingga saat ini, aku masih terus menjalin hubungan dengan pak Irul. Meski akhirnya aku pindah rumah dan aku pun menikah serta punya keturunan.

Namun hubunganku dengan pak Irul, adalah sesuatu yang berbeda.

Kisah cintaku bersama pak Irul, mantan dosenku itu, merupakan sebuah kisah yang tersembunyi dari semua kehidupan normalku.

Pak Irul punya peran sangat penting dalam hidupku, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya, walau dengan alasan apapun.

*****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate