Gejolak cinta sang mandor

Namaku Fhandi. Dan aku adalah seorang mandor.

Kisah ini berawal dari pertemuanku dengan seorang kuli bangunan yang berasal dari desa.

Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kami empat bersaudara semuanya laki-laki. Ketiga kakak-kakakku semuanya sudah berkeluarga.

 

cerpen sang penuai mimpi

Papaku adalah seorang pengusaha sukses, dan punya perusahaan di bidang properti.

Sebagai anak bungsu aku memang dipercaya ayah untuk memegang beberapa proyek.

Aku seorang sarjana lulusan luar negeri. Saat ini aku sudah berusia 26 tahun lebih.

Sejak masih SMP, aku sudah menyadari kalau aku adalah seorang homo.

Aku bahkan pernah berpacaran beberapa kali dengan laki-laki, terutama saat aku kuliah di luar negeri.

Namun sudah hampir dua tahun ini, aku tidak lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Selain karena aku memang sudah kembali ke Indonesia, tapi juga karena aku merasa selalu dikhianati oleh pacar-pacarku.

Sejak bertemu dan berkenalan dengan Ken, si kuli bangunan tersebut, aku mulai jatuh hati padanya.

Awalnya aku merasa cukup ragu untuk mendekati Ken. Selain karena aku yakin Ken adalah laki-laki normal, aku juga melihat Ken sebagai sosok yang pendiam dan sedikit pemalu.

Tapi perasaanku pada Ken kian hari kian berkembang. Aku semakin mengagumi sosok Ken.

Ken adalah salah seorang kuli bangunan yang bekerja bersamaku.

Papa memang sedang membangun sebuah proyek bangunan sebuah perumahan elite, dan aku dipercaya papa untuk menjadi mandor dalam proyek besar tersebut.

Karena itulah aku akhirnya bertemu Ken.

Ken dan para pekerja lainnya, disediakan tempat tinggal sebuah rumah kosong yang berada tak jauh dari tempat proyek perumahan tersebut dibangun.

Ada banyak para pekerja dan juga beberapa orang tukang yang tinggal di rumah kosong tersebut.

Namun dari semuanya hanya Ken yang mampu menarik perhatianku.

Ken memang terlihat kekar dan gagah, meski wajahnya tidak terlalu tampan. Kulitnya sedikit gelap, namun cukup bersih dan terawat.

Ken jarang tersenyum, namun setiap kali ia tersenyum aku selalu merasa salah tingkah dibuatnya. Senyum Ken memang manis.

Karena rasa penasaran dan juga karena aku tidak bisa lagi menahan keinginanku untuk bisa dekat-dekat dengan Ken. Hingga pada suatu malam, saat itu malam minggu, aku nekat mendatangi rumah kediaman Ken dan para pekerja lainnya.

Beruntunglah malam itu, Ken hanya sendirian di rumah tersebut. Karena menurut keterangan Ken, para pekerja lainnya, ada yang pulang kampung dan ada juga yang bermalam mingguan dengan cara mereka sendiri.

"kamu sendiri gak malam mingguan, Ken?" tanyaku, saat itu kami sudah duduk di sebuah bangku yang berada di halaman depan rumah tersebut.

Ken memang dua tahun lebih muda dariku.

"saya hanya lagi pengen istirahat aja di rumah, bang Fhandi.." balas Ken ringan.

"jadi saya ganggu gak nih?" tanyaku lagi.

"gak lah, bang. Kan cuma ngobrol-ngobrol di sini doang.." Ken memabalas.

"emangnya bang Fhandi mau ngobrol tentang apa?" tanya Ken melanjutkan.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelasku beralasan.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, aku bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Dari Ken aku akhirnya tahu, kalau ia berasal dari kampung dan sudah bertahun-tahun menjadi seorang kuli bangunan.

"aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku." Ken melanjutkan ceritanya.

"orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan." cerita Ken lagi.

"sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Membuat aku jadi tidak punya waktu untuk memikirkan tentang pacaran.." Ken manarik napas berat, ia seperti mencoba melepaskan beban di hatinya.

"sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung. Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku." Ken mengakhiri ceritanya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran, Ken..." ujarku pelan, setelah kami terdiam beberapa saat.

Ken hanya tersenyum. Ia seperti tak begitu berniat untuk meyakinkanku akan hal tersebut.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjutku lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini aku melanjutkan, dengan tersenyum manis menatap Ken.

Aku melihat Ken jadi sedikit tersipu mendengar kalimat pujianku barusan. Jika memang Ken belum pernah pacaran, tentu saja ia sangat jarang dipuji seperti itu.

"bang Fhandi sendiri gimana?" tanya Ken tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanyaku dengan kening berkerut.

"maksud saya, bang Fhandi sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanya Ken lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawabku dengan nada datar. Aku memang tidak terlalu tertarik untuk membicarakan tentang kisah cintaku.

******

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Ken pun menjadi dekat dan akrab. Aku semakin sering mengajak ken mengobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, aku lebih sering datang ke tempat tinggal Ken. Aku bahkan sering mengajak Ken jalan-jalan berdua naik mobil, sekedar berkeliling kota.

Aku juga sering mentraktir Ken makan-makan di restoran-restoran mewah, mengajaknya nonton di bioskop berdua. Dan bahkan aku cukup berani mengajak Ken menginap di kamarku.

Sebenarnya selain untuk membuat Ken merasa terkesan dengan kebaikanku padanya, aku juga merasa cukup perihatin mendengar cerita perjalanan hidup Ken. Untuk itu aku ingin Ken juga bisa merasakan kehidupan yang mewah. Dan terlebih dari itu semua, aku memang membutuhkan Ken untuk menemaniku, mengingat aku juga tidak punya banyak teman di kota ini.

Semakin hari, aku dan Ken pun semakin akrab dan dekat. Aku merasa cukup bahagia dengan semua itu, meski aku tidak begitu yakin, kalau aku akan bisa memiliki Ken lebih dari sekedar teman biasa.

Hingga suatu hari, Ken mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepala Ken. Cukup parah. Ia hampir kehabisan darah, kalau saja aku tidak segera membawanya ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawa Ken masih terselamatkan.

Dan aku juga sempat menyumbangkan darahku, untuk bisa menyelamatkan ken.

Aku juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu Ken dirawat. Aku selalu setia menemaninya.Meski aku harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya berobat Ken, namun aku merasa sangat senang melakukannya. Aku bahagia bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk orang yang aku cintai.

Aku memang sangat mencintai Ken. Dan aku rela melakukan apa saja untuknya.

"makasih ya, bang Fhandi." ucap Ken, ketika aku mengantarnya pulang dari rumah sakit, "bang Fhandi sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjut ken lagi.

Aku hanya tesenyum. Aku berusaha terlihat tulus.

Meski sejujurnya aku berharap, Ken akan merasa berhutang budi padaku, dan dengan begitu ia pasti tidak akan mampu menolak saat aku punya keberanian mengungkapkan perasaanku padanya.

Meski aku sudah menyarankan agar Ken untuk pulang ke kampung sementara menjelang lukanya pulih kembali, tapi Ken bersikeras untuk tetap berada di kota.

Aku tahu, Ken enggan untuk pulang, karena ia tidak ingin membuat orangtuanya menjadi cemas. Dan mungkin juga Ken memang sudah tidak punya ongkos untuk pulang. Ken bahkan berpesan kepada mang Rohim, untuk tidak mengabarkan kejadian tersebut kepada orangtuanya di kampung.

"lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi, kok." ucap Ken yakin.

****

Selama Ken sakit, hampir setiap pagi aku selalu datang mengunjunginya dan juga sambil membawakan sarapan untuknya.

Pada suatu pagi, seperti biasa aku datang untuk menemui Ken dan juga membawakan sarapan untuknya. Ken hanya memakai celana pendek kaos waktu itu, dengan baju kaos oblong warna biru.

Meski dengan penampilannya yang sangat sederhana, Ken selalu terlihat menarik di mataku.

"bang Fhandi sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucap Ken terdengar sedikit gugup. Ia baru saja menghabiskan sarapan yang aku bawa tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tampa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Aku duduk di samping Ken.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucapku memberanikan diri.

Ken hanya menatapku sekilas.

"bang Fhandi mau jujur tentang apa?" tanya Ken dengan nada ingin tahunya.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin abang, apa lagi sampai marah sama abang...." balasku, kali ini aku menatap Ken kembali, dengan raut sedikit memohon.

Ken terlihat semakin penasaran. Matanya menyiratkan sebuah tanda tanya besar.

"saya mana berani marah sama bang Fhandi.." ucap Ken, "bang Fhandi sudah terlalu baik sama saya.." ia melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." aku berujar lagi, suaraku sedikit mengecil.

"iya. Bang Fhandi ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balas Ken meyakinkan.

Aku berusaha mengumpulkan keberanianku untuk bisa mengungkapkan tentang perasaanku pada Ken.

Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam, lalu kemudian berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suaraku tergagap. Namun cukup mampu membuat Ken terlihat sangat kaget.

"maksud bang Fhandi?" tanya Ken akhirnya, keningnya berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku mencintai kamu..." aku berujar lagi, suaraku masih terbata.

"tapi saya, kan...."

"iya, saya tahu. Kita sama-sama cowok." aku memotong ucapan Ken cepat. "tapi kamu pernah dengarkan? Tentang percintaan sesama jenis. Tentang cowok gay atau homo?" kali ini aku melanjutkan dengan cukup lancar. "saya gay, Ken. Dan saya menyukai kamu sejak lama. Kamu mau kan pacaran sama saya?" aku melanjutkan lagi. Terdengar semakin berani.

Ken terdiam. Benar-benar terdiam. Ia seperti orang yang kebingungan dan kehabisan kata-kata.

Aku yakin, Ken sama sekali tidak menyangka kalau aku akan berucap demikian. Meski pun selama ini perlakuanku pada Ken, sudah cukup mewakili perasaanku. Tapi berdasarkan pengalaman hidup Ken, ia pasti tidak menyangka kalau aku adalah seorang gay.

Tapi aku sudah berterus terang pada Ken. Aku dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaanku.

Aku tahu, Ken terdiam bukan saja karena ia tidak menyangka semua ini, tapi juga karena ia bahkan belum pernah pacaran, sekali pun dengan perempuan. Tentu saja hal itu membuat ia sedikit kagok.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suaraku sedikit membuat Ken kaget lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." aku melanjutkan kalimatku, melihat Ken yang hanya terdiam.

Tak lama kemudian, aku pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." aku mengakhiri kalimatku, lalu melangkah pelan keluar.

******

Antara lega dan cemas, aku pun mencoba menjalani hari-hariku lagi. Lega karena aku telah mampu mengungkapkan perasaanku pada Ken. Namun aku merasa cukup cemas, karena takut kehilangan Ken.

Setelah mengetahui siapa aku sebenarnya, Ken bisa saja menghindariku dan bahkan membenciku. Dan itu berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa dekat-dekat lagi dengan sang kuli kekar itu.

Aku sengaja selama beberapa hari ini tidak lagi menemui Ken. Meski Ken sudah mulai bekerja lagi.

Aku hanya memberanikan diri menatap Ken dari kejauhan saat ia bekerja. Aku hanya ingin memberi Ken waktu untuk berpikir.

Aku yakin, segala kebaikanku selama ini pasti telah menyentuh hati Ken. Ia pasti merasa telah berhutang budi padaku. Dan aku berharap, hal itu setidaknya bisa menjadi pertimbangan bagi Ken, untuk menerima cintaku.

Namun di sudut hatiku yang lain, aku juga tidak ingin berharap terlalu banyak pada Ken. Biar bagaimana pun, Ken berhak menentukan sikapnya terhadapku. Aku tidak akan pernah mendesak ataupun memaksanya, meski pun aku sebenarnya punya kemampuan untuk itu.

Tapi aku ingin Ken bisa menerimaku, benar-benar dari hatinya.

*****

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanyaku akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, aku datang sekitar setengah jam yang lalu. Dirumah memang hanya ada Ken sendirian. Seperti biasa, teman-teman kulinya yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." aku berujar lagi, melihat Ken hanya terdiam.

Aku yakin, Ken masih merasa berat untuk membuat keputusan. Ia pasti tidak ingin membuatku merasa kecewa, tapi sepertinya ia juga tidak bisa berpura-pura menyukaiku.

"saya bingung, bang. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada bang Fhandi, selain perasaan sebagai teman.." Ken berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin bang Fhandi kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama bang Fhandi. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." Ken berkata cukup panjang, suaranya semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanyaku sekedar untuk meyakinkan diriku sendiri.

Ken tidak menjawab, namun repleks ia pun mengangguk. Meski masih terlihat ragu-ragu.

Aku pun tersenyum senang, memperlihatkan gigi putihku yang tersusun rapi. Aku yakin, mukaku pasti merona saat itu, memperlihatkan kebahagiaan dihatiku. Meski pun Ken hanya mengatakan bahwa akan mencoba, tapi setidaknya aku jadi punya banyak kesempatan untuk terus bersamanya.

Aku menyentuh lembut tangan Ken. Ia terlihat kaget. Namun ia tetap membiarkannya, meski ia terlihat berusaha menahan rasa gelinya.

Tangan Ken terasa hangat mengalir hingga ke jantungku.

*****

Dengan sikap Ken yang masih sangat kaku, kami pun akhirnya menjalin hubungan asmara.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamarku, atau pun di hotel-hotel yang sengaja aku sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmaraku dan Ken terjalin.

Lama kelamaan Ken semakin terlihat mulai menikmati hubungan terlarang tersebut.

Ia mulai lebih berani dan sedikit agresif. Ia juga sudah berterus terang akan perasaannya yang mulai jatuh cinta padaku. Tentu saja aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Ternyata segala perjuangan dan pengorbananku untuk mendapatkan Ken tidak sia-sia.

Sejak pacaran, aku memang semakin lebih perhatian pada Ken. Aku berusaha untuk tidak membuatnya kecewa dan selalu tersenyum. Aku juga sering memberi Ken kejutan, dengan memberinya beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat Ken semakin menyayangiku.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan cintaku tercurah hanya untuk Ken, aku pun semakin menyayanginya. Aku semakin takut kehilangan Ken.

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Ken harus berpisah untuk sementara, karena Ken harus kembali ke kampung halamannya.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

 

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Ken. Begitu juga yang dirasakan Ken.

Tapi Ken memang harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama ia tidak pulang. Dan lagi pula, ia juga tidak punya pekerjaan lagi di kota ini.

Aku berusaha menahankan Ken, dan mengajaknya untuk tinggal bersamaku. Namun Ken bersikeras menolak.

"aku harus pulang, bang. Sudah lama aku tidak bertemu orangtuaku. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi disini. Untuk tetap tinggal bersama bang Fhandi aku merasa tidak enak hati, bang. Aku harap abang mengerti ya.." begitu alasan Ken menolak tawaranku. Aku pun mencoba untuk memahaminya, dan merelakan kepergian Ken. Toh, kami masih tetap saling berhubungan.

*****

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan Ken berada di kampung. Selama itu, aku dan Ken, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Aku pernah sekali datang ke kampung Ken, untuk mengunjunginya dan sekaligus melepas rasa rinduku. Tapi aku tidak bisa berlama-lama, karena aku harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampung Ken dengan kota tempat aku tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk aku bisa sampai ke kampung Ken.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, aku pun dijodohkan oleh papa dan mama dengan salah seorang gadis anak rekan bisnis papaku.

Aku berusaha menolak awalnya, mengingat aku tidak mungkin meninggalkan Ken. Dan juga karena aku sangat mencintai Ken. Tapi papa dan mama sangat bersikeras untuk segera menikahkanku, mengingat usiaku sendiri yang sudah cukup matang dan juga karena kau sudah punya pekerjaan yang mapan.

Dan lagi pula sebenarnya papa dan mama mengancamku, jika aku tidak menikah dengan gadis pilihan mereka, maka aku tidak akan mendapatkan warisan apa pun dari mereka.

Aku yang memang cukup manja sejak kecil, dan juga sudah terbiasa hidup mewah, tentu saja merasa takut akan ancaman tersebut.

Dengan perasaan berat, aku pun menceritakan hal tersebut kepada Ken. Aku tahu Ken terluka, tapi andai saja ia tahu, bahwa luka yang aku rasakan jauh lebih menyakitkan.

Biar bagaimana pun, hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankan hubungan terlarang itu. Apa lagi jarak kami yang begitu jauh.

Pada akhirnya, aku memang harus menikah dengan seorang perempuan. Demikian juga Ken tentunya.

Meski berat rasanya menerima semua itu.

Sebenarnya aku mencoba memberi Ken pilihan, untuk tetap menjalin hubungan denganku meskipun aku sudah menikah. Tapi Ken dengan terang-terangan menolak.

"aku tidak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan bang Fhandi.." begitu alasan Ken padaku.

Aku pun berusaha menerima keputusannya tersebut.

Jujur, ada rasa bersalah yang terus bersarang di hatiku hingga saat ini. Biar bagaimana pun, aku lah orang yang telah membawa Ken masuk ke dalam duniaku. Tapi sekarang, aku dengan sangat terpaksa harus meninggalkannya.

Aku hanya berharap, semoga Ken akhirnya bisa menemukan kebahagiaan hidupnya.

Aku selalu berdo'a untuk Ken. Ia adalah cinta terindah yang pernah singgah di perjalanan hidupku.

Semoga saja Ken tidak membenciku. Semoga saja Ken bisa memaafkanku.

Meski hubungan kami kini hanya tinggal kenangan. Sebuah kenangan terindah dalam hatiku.

Kan ku simpan nama Ken di sudut hatiku yang terdalam.

*****

Sekian...

Kisah cowok kampung (part 3)

 Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!

Yaps, kalimat itu masih terus membayangiku. Meski pun saat ini aku sudah bisa kuliah lagi dan masih terus bekerja sore harinya di supermarket.

Namun sebagai imbalannya, saya harus menjadi teman tidur pak Anwar, sang manager supermarket, yang seorang duda dan juga merupakan salah seorang teman ayahku.

Sang penuai mimpi

Walau pun sejujurnya aku juga menyukai pak Anwar dan sangat menikmati hubungan kami tersebut.

Tapi sampai kapan semua itu akan terus terjadi?

Sampai kapan aku mampu menjalani kehidupan seperti ini?

Pak Anwar bisa kapan saja membuangku dari kehidupannya. Atau bisa saja hubungan kami lambat laun diketahui oleh orang lain. Bisa saja hubungan kami diketahui oleh putra pak Anwar.

Sudah hampir tiga tahun jalinan asmaraku dengan pak Anwar terjalin.

Sekarang putranya yang bernama Indra itu, sudah mulai tumbuh dewasa. Ia sekarang sudah mulai kuliah.

Jarak usiaku dengan Indra memang cukup jauh, sekitar enam tahunan. Aku dulu sempat berhenti kuliah, karena kasusku dengan om Zainan dan tante Ratna, dan terpaksa mengulang lagi dari awal.

Jadi meski pun aku masih kuliah di semester enam, namun usiaku sendiri sudah hampir 25 tahun.

Jika aku tidak sempat terhenti untuk kuliah, seharusnya aku sudah meraih gelar sarjana-ku.

Tapi beginilah perjalanan hidupku.

Dan hubunganku sendiri dengan pak Anwar sudah semakin parah dan kadang tak terkendali.

Hampir tiada malam yang kami lewati tanpa kebersamaan.

Sampai suatu ketika, saat itu sore minggu. Aku memang tidak ada jadwal kerja, tapi pak Anwar sendiri memang sedang berada di supermarket untuk bekerja.

"saya tahu bang Sabri sering masuk kamar papa, terutama kalau malam hari saat bang Anwar pulang kerja.." ucapan lugu Indra mengagetkanku tiba-tiba.

Saat itu aku sedang memasak makanan di dapur.

Aku memang suka memasak. Sejak tinggal bersama pak Anwar, aku selalu masak setiap harinya. Untuk makan kami bertiga.

Aku dan Indra sebenarnya juga sudah sering ngobrol, tapi selama ini yang kami bicarakan hanyalah tentang pelajaran sekolah Indra.

Indra sering meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

"maksud kamu apa, Ndra?" tanyaku berlagak bodoh.

"awalnya aku tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Namun lama kelamaan aku jadi penasaran. Hingga suatu malam aku mencoba mengintip kalian..." Indra berucap lagi, seakan mengabaikan pertanyaan bodohku barusan.

Aku sendiri mulai menghentikan kegiatan memasakku, sepertinya Indra terdengar serius ingin membicarakan hal tersebut.

aku mengajak Indra untuk duduk di teras belakang rumah.

"saya merasa syok mengetahui kalau papaku melakukan perbuatan tak senonoh tersebut di rumah kami, dan saya semakin syok lagi menyadari kalau ternyata papaku adalah seorang homo.." Indra berucap lagi, setelah ia duduk di sampingku.

Indra memang telah tumbuh dewasa, sudah sewajarnya ia mengetahui hal tersebut. Apa lagi selama ini aku dan pak Anwar tidak terlalu berhati-hati dan agak sedikit susah menahan diri.

"saya ingin marah pada papa.." lanjut Indra lagi, "tapi saya tidak pernah berani. Saya terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Hingga saya tetap membiarkan hal tersebut terjadi selama bertahun-tahun."

"namun satu hal yang tidak saya sadari. Saya justru merasa ketagihan untuk terus mengintip kalian setiap malam. Saya terus melakukannya hampir setiap malam. Dan hal itu justru menumbuhkan sesuatu yang aneh dalam hatiku."

"sesuatu yang aku rasakan mulai tumbuh perlahan di dalam hatiku. Sesuatu yang pada akhirnya aku ketahui bahwa itu adalah cinta. Ya, aku akhirnya sadar, kalau aku diam-diam telah jatuh cinta pada bang Sabri."

"semua yang bang Sabri lakukan pada papa, rasanya ingin sekali aku juga merasakannya. Segala khayalku selama ini selalu tentang bang Sabri. Aku sangat menginginkan bang Sabri.."

Ungkapan kejujuran Indra barusan benar-benar membuatku jadi sedikit merasa syok. Tiba-tiba saja ada rasa bersalah menyentuh hatiku seketika.

"lalu sekarang kamu mau nya gimana?" tanyaku tanpa mengerti maksud dari pertanyaanku sendiri.

"seperti yang aku katakan, aku menginginkan bang Sabri.." suara Indra pelan.

"kamu tahu, Ndra. Jelas hal itu tidak mungkin. Bukan saja karena kita sama-sama laki-laki. Tapi juga karena aku punya hubungan dengan papa kamu. Bagaimana nanti kalau papa kamu tahu? Beliau pasti akan marah besar sama saya. Dan itu artinya saya akan kehilangan pekerjaan saya dan juga kesempatan saya untuk kuliah.." ucapku akhirnya setelah berpikir cukup panjang.

"papa gak harus tahu, bang. Kita bisa melakukannya diam-diam. Kita bisa melakukannya saat papa tidak sedang di rumah, atau kita juga bisa buat janji bertemu di luar rumah saat jam kuliah. Papa pasti gak bakal curiga.." ujar Indra membalas.

"tapi resikonya terlalu besar, Ndra. Abang gak sanggup. Abang takut, Ndra.." suaraku lirih.

"Indra mohon, bang. Beri saya kesempatan untuk bisa merasakan hal tersebut bersama abang. Aku sudah terlanjur jatuh cinta pada bang Sabri.." suara Indra memelas.

Secara fisik Indra sebenarnya cukup menarik. Sama seperti papanya, Indra juga terlihat kekar dan tampan. Indra memang suka memanfaatkan waktu luangnya untuk berolahraga menggunakan alat olahraga papanya di rumah.

Dan lagi pula aku juga belum pernah melakukan hal tersebut dengan laki-laki yang lebih muda dariku.

Aku malah jadi penasaran ingin merasakan hal tersebut. Berhubung Indra juga terus bersikeras membujukku agar mau bersamanya.

Tapi aku juga merasa khawatir. Aku takut hubungan kami nantinya akan diketahui oleh pak Anwar, papanya Indra, yang juga merupakan kekasihku itu.

Dan dalam kewas-wasanku itu, aku akhirnya menerima tawaran Indra.

Sore itu, aku dan Indra untuk pertama kalinya mencoba melakukan hal tersebut.

Dan seperti yang aku bayangkan, hal itu memang terasa berbeda. Indra jauh lebih baik dari pada papanya.

Sejak saat itulah, aku dan Indra pun menjalin hubungan secara diam-diam.

Sementara aku dan pak Anwar juga masih terus berhubungan.

Jika pak Anwar mendapatkan jatah dariku setiap malam sebelum tidur, maka Indra mendapat giliran ketika pagi sebelum kami sama-sama berangkat kuliah. Karena pak Anwar sendiri selalu berangkat kerja lebih pagi setiap harinya.

Dan kadang Indra juga sering mengajakku melakukan hal tersebut saat jam kuliah, dengan menyewa sebuah penginapan murah.

Hal itu terus terjadi. Aku pun menikmatinya. Hari-hari terasa lebih berwarna sejak kehadiran Indra dalam hatiku.

Cinta segitiga itu terus berlanjut hingga berjalan hampir setahun.

Dan setelah hampir setahun, bangkai yang aku simpan itu akhirnya tercium juga oleh pak Anwar.

Suatu pagi, pak Anwar dengan sengaja memergoki kami di dalam kamar Indra.

Sepertinya pak Anwar memang sudah lama mencurigai hubungan kami, sehingga ia sengaja mencari waktu yang tepat untuk bisa memergoki kami secara langsung.

Dan terjadi lagi. Peristiwa beberapa tahun silam yang pernah aku alami kini terulang kembali.

Kalau dulu aku dipergoki oleh tante Ratna, tanteku sendiri, sedang memadu kasih dengan suaminya, om Zainan.

Sekarang, aku dipergoki oleh papanya Indra, pak Anwar, yang merupakan kekasihku juga, sedang menuju puncak bersama anaknya.

Tragis sekali rasanya. Tapi aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Ini murni kesalahanku sendiri, yang selalu tidak bisa menahan diri.

Pak Anwar tentu saja sangat marah. Aku dan pak Anwar sempat bertengkar hebat. Sementara Indra sendiri lebih memilih untuk pergi dari rumah.

Pak Anwar mengusirku dengan kasar. Ia bukan saja marah karena mengetahui kalau aku telah berselingkuh dengan anaknya sendiri, tapi ia juga kecewa karena mengetahui kalau anak semata wayangnya ternyata juga mengikuti jejaknya menjadi seorang gay.

Pak Anwar juga sudah memastikan kalau aku akan dipecat dari pekerjaanku. Dengan kekuasaannya saat ini, aku percaya pak Anwar pasti bisa melakukannya.

Aku pergi dari rumah itu, dengan perasaan campur aduk.

Esok adalah misteri, hari ini adalah kenyataan dan kejadian lalu tidak mungkin terulang. Namun hari ini aku ragu, kejadian lalu bisa saja terjadi kembali. Dan hal itu yang terbukti padaku saat ini.

Aku kehilangan tempat tinggal, aku kehilangan pekerjaanku. Tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk kuliah.

Biar bagaimana pun caranya, aku harus tetap melanjutkan kuliahku.

Aku tidak ingin kembali lagi ke kampung. Aku harus segera mencari pekerjaan lain.

Meski aku tidak begitu yakin, namun aku tahu pasti kalau pak Anwar tidak akan berani menceritakan kejadian tersebut kepada ayahku.

Tapi bisa saja, sih. Ia menceritakan kebohongan kepada ayahku, seperti yang dilakukan tante Ratna dulu.

Namun apa untungnya hal tersebut bagi pak Anwar?

Dan aku juga tidak tahu, apa yang terjadi dengan Indra selanjutnya setelah peristiwa tersebut.

Aku juga tidak tahu, bagaimana hubungan ayah dan anak itu selanjutnya.

Aku juga tidak peduli saat ini.

Yang harus aku pikir sekarang ialah bagaimana caranya supaya aku bisa mendapatkan tempat tinggal dan juga segera menemukan pekerjaan.

Sementara uang tabunganku tidak seberapa. Gaji yang aku terima selama ini, sebagiannya memang aku kirim ke kampung, untuk membantu ayah dan ibuku.

Selebihnya juga untuk membiayai kuliahku sendiri. Jadi sebenarnya aku tidak bisa menyimpan uang terlalu banyak setiap bulannya.

Untuk sekedar membayar kost satu atau dua bulan, aku yakin uangku masih cukup. Tapi bagaimana dengan kebutuhanku sehari-hari dan juga untuk membayar uang kuliahku.

Satu-satunya jalan adalah aku harus segera mencari pekerjaan baru.

Tapi pekerjaan apa yang bisa aku lakukan saat ini. Aku hampir tidak punya keahlian apa-apa.

Untuk kedua kalinya aku kembali terhempas oleh kehidupan ini.

Dan masa depan itu kembali seperti hantu. Menakutkan...

*****

Bersambung ...

Curahan hati seorang duda keren ...

Namaku Dodi dan aku seorang duda.

Istriku meninggal sekitar setahun yang lalu, dengan meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil.

Anak pertamaku perempuan masih berusia 10 tahun dan yang kedua laki-laki masih berusia 6 tahun.

Aku sendiri sudah berusia 40 tahun, dan bekerja di sebuah perusahaan kontraktor.

sang penuai mimpi

Setahun istriku meninggal, aku memutuskan untuk pindah rumah agak sedikit jauh dari kota tempat aku berasal.

Salah satu alasanku untuk pindah ialah agar aku dan anak-anakku tidak lagi dibayang-bayangi oleh almarhumah istriku.

Aku berharap, denganp indah kami bisa memulai kehidupan kami yang baru.

Kami pindah ke sebuah komplek perumahan yang berada di pinggiran kota.

Jarak dari kantor tempat aku bekerja memang cukup jauh, setidaknya butuh perjalanan setengah jam naik mobil.

Kedua anak-anakku sudah sekolah, tempat sekolah mereka berada tepat di jalan menuju kantor tempat aku bekerja.

Setiap hari, aku mengantar anak-anakku ke sekolah, lalu kemudian aku langsung menuju kantorku.

Beruntunglah sekolah tersebut juga menyediakan tempat penitipan anak, hingga sore.

Jadi kedua anak-anakku sekalian aku titipkan di sana, menjelang aku pulang kerja.

Kecuali pada hari sabtu dan minggu, karena aku libur kerja dan juga anak-anak libur sekolah.

Hari sabtu dan minggu kami menghabiskan waktu di rumah.

Aku punya seorang tetangga, seorang laki-laki yang masih lajang.

Namanya Ari, masih muda dan sepengakuannya ia juga bekerja di sebuah perusahaan.

Aku dan Ari sering mengobrol, terutama saat belanja sayur-sayuran di warung dalam komplek perumahan tersebut.

Karena sama-sama lajang, meski dengan status yang berbeda, aku dan Ari jadi lebih cepat untuk akrab.

Apa lagi Ari sendiri sering main ke rumah kami, terutama saat malam hari menjelang tidur.

Ari sendiri adalah seorang perantau. Orangtua dan semua keluarganya tinggal di kampung.

Menurut cerita Ari, ia memang sudah terbiasa hidup merantau sejak kuliah.

Sebenarnya rumah yang Ari tempati tersebut adalah rumah sewaan.

"mas Dodi gak berniat untuk menikah lagi, nih?" tanya Ari pada suatu malam, saat kami ngobrol berdua seperti biasa.

Sesaat aku hanya terdiam, namun segera aku menjawab,

"untuk saat ini sih belum. Saya harus memikirkan anak-anak. Mereka baru saja kehilangan Ibunya. Takkan mudah bagi mereka untuk menerima kehadiran orang baru dalam hidup mereka." ucapku terdengar bijak.

"tapi apa mas Dodi gak kesepian tidur sendirian? Apa mas Dodi gak kerepotan mengurus pekerjaan rumah sendirian? Mas Dodi, kan harus kerja juga...." Ari bertanya lagi, cukup blak-blakan, sih, menurut saya. Namun karena kami memang sudah dekat, aku tidak harus mempermasalahkan hal tersebut.

"Kesepian sih pasti, ya. Kadang suka kangen juga, pengen ngerasain lagi, tidur bareng seseorang. Tapi demi anak-anak, saya harus kuat menahannya..." jawabku, lalu kemudian ia menarik napas panjang.

"kalau soal kerepotan mengurus pekerjaan rumah, gak juga ya. Karena ketika almarhum istri saya masih hidup, saya juga sering membantu ia menyelesaikan pekerjaan rumah. Apa lagi sekarang, semuanya serba pakai mesin. Dan lagi pula kalau lagi malas masak, saya tinggal pesan online. Begitu juga kalau mau cuci pakaian, kan sudah ada loundry..." aku melanjutkan kalimatku, yang membuat Ari manggut-manggut setuju.

******

Hari berlalu, bulan pun berganti. Hingga tibalah saatnya musim liburan sekolah. Tentu saja hal ini membuat aku jadi sedikit kesulitan, karena anak-anak tidak bisa dititipkan di sekolah seperti biasa. Sekolah libur, tempat penitipan itu pun libur.

Aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Hampir semua keluargaku dan keluarga almarhumah istriku tinggal di kota lain, yang cukup jauh.

"bagaimana kalau anak-anak dititip sama saya aja, mas?" tawar Ari, ketika aku menceritakan kesulitan yang aku alami tersebut.

"tapi kamu kan kerja, Ri..." balasku.

"sebenarnya saya udah berhenti kerja, mas. Saya di PHK, pengurangan karyawan katanya..." jawab Ari terdengar jujur.

Saya sedikit kaget mendengar hal tersebut, karena Ari tidak pernah cerita tentang hal tersebut.

"saya memang sudah dipecat, beberapa hari yang lalu, mas. Saat ini, saya sudah mencoba mengajukan lamaran ke beberapa tempat, tapi belum ada panggilan. Untunglah uang tabungan dan uang pesangon saya masih ada. Setidaknya cukuplah untuk saya bertahan hidup beberapa bulan ke depan. Sebelum saya mendapatkan pekerjaan yang baru." lanjut Ari menjelaskan.

"kok kamu gak cerita?" tanyaku dengan nada keheranannya.

"ini saya cerita, mas..." jawab Ari, dengan nada sedikit bercanda. "sekarang saya lagi nunggu panggilan kerja. Jadi sekarang saya nganggur..." lanjutnya lagi, seakan mencoba menebak pertanyaanku selanjutnya.

"oh..." ucapku membulatkan bibir. "tapi kamu gak apa-apa kan? Saya titipkan anak-anak?" lanjutku.

"udah, gak apa-apa, mas. Santai aja kali..." balas Ari terdengar sangat akrab.

Jadilah Ari selama hampir dua minggu, jadi pengasuh anak-anakku. Ari sepertinya sangat menyukai anak-anak. Ia dan anak-anak menjadi sangat dekat, dan aku merasa sangat terbantu dengan kehadiran Ari di rumah kami.

"makasih ya, Ri. Kamu sudah sangat membantu saya..." ucapku suatu malam, setelah masa liburan anak-anak usai.

Malam itu aku hanya memakai celana pendek dan baju singletnya. Kali ini kami mengobrol di ruang tamu rumahku. Anak-anak sudah tertidur. Kalau tak salah saat itu sudah hampir jam sepuluh malam.

"udah... santai, mas. Saya malah senang dititipi anak-anak. Jadi ada teman saya. Dari pada bengong sendirian di rumah..." balas Ari ringan.

Saya sempat memergoki Ari yang menatap saya dengan pandangan yang tidak aku mengerti.

"jadi kamu udah ada panggilan kerja?" tanyaku, setelah kami terdiam sesaat.

"belum sih, mas. Tapi saya yakin, sebentar lagi pasti ada, kok.." jawabnya, lebih terdengar seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Kemudian aku merogoh saku celana pendekku dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu.

"ini, sebagai tanda ucapan terima kasih saya..." ucapku, sambil menyerahkan uang tersebut, "gak seberapa sih, dibanding kerepotan kamu, mengurusi anak-anak.." lanjutku.

Ari terlihat menatap lembaran uang yang berwarna merah transparan itu. Ada beberapa lembar.

Aku memang berniat untuk memberi Ari sedikit upah, sebagai ucapan terima kasih karena telah mengurusi anak-anak, apa lagi yang aku tahu, saat ini Ari sudah tidak bekerja, ia pasti sangat butuh uang.

"aduh... gak usah, mas..." ucap Ari akhirnya, sambil sedikit mendorong tanganku.

"udah... gak apa-apa. Terima aja..ya..!" ujarku dengan nada sedikit memohon.

Namun Ari dengan lebih memohon, terus menolaknya.

"saya gak tahu lagi, bagaimana caranya lagi berterima kasih sama kamu, Ri..." ucapku akhirnya menyerah.

"gak harus pake uang, mas..." balas Ari, dengan sedikit menekan suaranya.

"kalau gak pake uang? Lalu harus pake apa saya membayar kamu?"tanyaku merasa sedikit bingung.

Ari tidak menjawab, ia memperlihatkan senyum dan tatapan yang masih tidak aku mengerti.

"kamu yakin?" tanyaku kemudian, melihat Ari hanya terdiam.

"yakin maksudnya?" Ari malah balik bertanya, yang membuatku semakin bingung, dan sedikit mengerutkan kening.

"kamu yakin, gak mau terima uang ini..?" tanyaku lagi lebih jelas.

"iya, saya yakin, mas. gak apa-apa..." suara Ari sedikit parau.

"lalu saya harus bayar kamu pakai apa?" aku mengulangi pertanyaan itu kembali.

Tiba-tiba Ari terlihat sedikit salah tingkah. Entah mengapa aku melihat Ari agak sedikit berbeda.

Padahal kami sudah biasa ngobrol-ngobrol seperti ini setiap malam.

Tapi malam ini Ari terlihat agak sedikit gelisah dan terkesan cukup aneh.

Dia sering menatapku diam-diam, terutama di bagian dadaku yang hanya memakai baju singlet tersebut.

Dan saat aku memergokinya, Ari akan kelihatan salah tingkah.

Aku jadi tidak mengerti, ada apa dengan Ari sebenarnya?

*****

Lama suasana hening. Kulihat Ari menghirup kopi yang memang sengaja saya hidangkan sejak tadi. Kopi itu sudah mulai dingin, sebenarnya. Ari menghirupnya beberapa kali. Sikapnya terlihat sangat grogi.

"saya boleh menginap malam ini disini, mas?" tanya Ari akhirnya setelah ia menghabiskan kopi tersebut.

"menginap? kenapa emangnya? kok, kamu tiba-tiba ingin menginap disini?" tanyaku dengan kening berkerut.

"lampu di rumah mati, mas. Pulsa PLN-ku habis, lupa tadi belinya..." jawab Ari, dengan nada tidak begitu yakin.

"oh, ya. gak apa-apa, sih. Tapi kamu mau tidur dimana? Rumah ini cuma punya dua kamar, satu kamar anak-anak satu kamar saya..." aku berujar sambil menatap Ari.

"saya tidur di kamar mas Dodi aja. Gak apa-apa kan, mas?" ucap Ari, suaranya sedikit bergetar.

"emang kamu mau tidur sekamar dengan saya?" tanyaku lagi, tanpa mengalihkan tatapanku.

Ari terlihat semakin salah tingkah mendengar pertanyaanku barusan. Entah apa yang salah dengan pertanyaan tersebut.

"iya. Mau, mas. Kalau mas Dodi gak keberatan, sih..." ucap Ari akhirnya.

"ya udah, mari kita masuk. Udah ngantuk juga ini..." balasku ringan, tak sengaja aku melihat Ari tersenyum senang. Entah apa maknanya?

Aku mulai menutup dan mengunci pintu kamar. Kulihat Ari langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.

"kamu tidur seperti itu aja? Maksud saya, kamu bisa tertidur dengan pakaian lengkap seperti itu?" aku bertanya sambil aku mulai membuka singlet dan celana pendekku.

Aku hanya memakai celana dalam yang berwarna hitam. Aku memang terbias tidur seperti itu.

"saya...saya... saya gak apa-apa, buka pakaian ini?" tiba-tiba Ari berucap dengan suara sedikit tergagap.

"yah, terserah kamu, sih. Senyamannya kamu aja..." balasku, sambil mulai merebahkan tubuhku.

Ari segera bangkit dan membuka baju kaos dan celana jeans-nya. Ia hanya memakai celana pendek kaos warna pink, sebuah pilihan warna yang cukup aneh menurutku.

Lalu ia berbaring kembali di samping ku, yang hanya berjarak tidak lebih dari sejengkal.

"badan kamu bagus juga ya, Ri..." ucapanku tanpa sadar mengungkapkan kekagumanku dengan postur tubuh Ari yang memang terlihat atletis dan berotot. Selain itu kulitnya putih, bersih dan terawat.

Wajah Ari juga tampan sebenarnya, hanya saja selama ini aku memang tidak memperhatikan hal tersebut.

Matanya bening, hidungnya mancung dengan belahan tipis di dagunya, yang membuat ia jadi semakin manis saat tersenyum.

"gak ah, mas. Biasa aja. Justru badan mas Dodi yang bagus banget. Padat, berotot dan kekar." balas Ari, terdengar sedikit polos.

Aku tersenyum mendengar pujian tersebut. Ari tiba-tiba memutar kepalanya menatapku.

"kamu udah punya pacar, Ri?" tanyaku sekedar berbasa-basi.

"belum, mas." jawab Ari terdengar jujur.

"kenapa belum? Padahal kamu cakep, lho!" kali ini aku berujar, sambil memutar kepala menatapnya. Mata kami bersirobok pandang. Entah mengapa kali ini, jantungku tiba-tiba berdegup tak karuan.

"entahlah, mas. Aku masih ingin fokus untuk memikirkan masa depanku.." jawab Ari seadanya.

Mata kami masih saling tatap, Ari seakan enggan mengalihkan pandangannya, demikian juga aku.

Aku yang sudah sangat lama tidak tidur berdua dengan siapa pun, semenjak istriku meninggal, tiba-tiba merasa kehadiran Ari malam itu membuatku jadi sedikit tak karuan.

Ari terbaring di sampingku dengan tatapannya yang penuh senyum, yang membuatku merasakan sesuatu yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

Tiba-tiba saja keinginan itu muncul. Rasa kesepianku selama ini, seakan butuh tempat untuk diLtumpahkan, dan malam itu Ari seakan memberiku kesempatan untuk menumpahkannya.

Segala pikiran liar mulai menghantuiku. Sebagai seseorang yang sudah lama menduda, aku memang selalu berusaha memendam segala keinginan tersebut.

Namun kehadiran Ari selama ini, mampu membuatku seakan menemukan sesuatu yang baru dalam hidupku. Ari sangat baik padaku dan juga kepada kedua anakku.

Aku tahu, selama ini Ari sering memperhatikanku diam-diam. Menatapku dari kejauhan.

Aku juga tahu, kalau Ari sebenarnya berbuat baik padaku hanya untuk menarik perhatianku padanya.

Mana ada seorang laki-laki setampan Ari yang belum punya pasangan?

Mana ada seorang laki-laki yang rela menghabiskan waktunya hanya untuk menjaga anak-anakku?

Apa lagi selama ini, Ari sangat perhatian padaku dan juga anak-anakku.

Aku juga tidak cukup bodoh untuk bisa menebak apa yang Ari inginkan dariku.

Dan sebagai seorang duda kesepian, tak ada salahnya aku memberi Ari kesempatan.

"kamu suka gak sama saya, Ri?" ucapku akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

Tatapan mataku semakin tajam menghujam mata Ari, yang terlihat sedikit gugup mendengar pertanyaanku barusan. Aku yakin, Ari tidak akan menyangka kalau aku akan bertanya demikian.

"maksud... maksud mas Dodi apa?" tanya Ari tergagap, antara terdengar polos atau takut salah paham.

"saya kesepian, Ri. Sejak istri saya meninggal, kamu satu-satunya orang yang paling dekat dengan saya. Selain anak-anak tentunya. Setiap hari ngobrol sama kamu, entah mengapa saya semakin merasa nyaman. Kamu orang yang baik..." aku berucap lagi, kali ini aku mulai menyentuh pipi mulus milik Ari.

Kulihat Ari tersenyum menang. Aku tahu, Ari pasti sangat bahagia mendengar ucapanku barusan.

Aku tahu, Ari selama ini diam-diam menyukaiku.

Meski awalnya aku merasa sedikit risih akan kehadiran Ari, tapi lama-kelamaan aku mulai merasa nyaman, terlebih karena aku memang membutuhkan Ari.

Dan lagi pula anak-anak juga menyukainya. Jadi tak ada salahnya, aku memberi Ari kesempatan. Toh aku juga diuntungkan disini. Aku bisa menumpahkan segala kesepianku selama ini kepada Ari.

"aku... aku memang menyukai mas Dodi sejak lama..." ucap Ari akhirnya, sambil ia meraih tanganku kemudian menggenggamnya erat.

Malanm itu, aku mencoba mengikuti segala keinganan Ari. Memberinya sebuah keindahan, setidaknya sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kebaikannya selama ini.

Kalau aku tidak bisa membayarnya dengan uang, mungkin dengan inilah aku bisa membayarnya.

Dan Ari terlihat sangat bahagia malam itu.

******

Sejak kejadian malam itu, aku dan Ari jadi semakin dekat dan sangat akrab. Ari yang sudah resmi jadi pengangguran, karena tak kunjung jua mendapatkan panggilan kerja, jadi sering menghabiskan waktu bersama keluarga kecilku.

Ari juga jadi sering menginap di rumahku. Ari hanya mandi dan berganti pakaian di rumah, lalu kemudian akan kembali ke rumahku. Ari juga memasak untuk aku dan anak-anak, membersihkan rumah dan sesekali mencuci pakaian.

"sudah lebih dari dua bulan aku menggangur, mas. Aku merasa sangat beruntung bisa mengenal keluarga mas Dodi, setidaknya aku jadi punya kesibukan setiap harinya. Namun sekarang uang tabunganku sudah menipis. Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya bisa mendapatkan pekerjaan, atau setidaknya bisa menghasilkan uang."

"sudah dua bulan aku tidak membayar sewa rumah. Kalau sampai bulan depan aku belum juga dapat membayar, mau tidak mau, aku harus pindah dari rumah tersebut, mas.." cerita Ari suatu malam padaku.

"udah.. kamu tinggal di rumahku aja dulu..." ucapku, ketika Ari menceritakan semuanya padaku. Ari memang semakin terbuka kepadaku, bukan cuma pakaiannya saja yang dibuka di depanku, tapi juga seluruh cerita kehidupannya.

"tapi aku gak mau jadi beban buat mas Dodi dan anak-anak.." balas Ari dengan nada sedih.

"kamu bukan beban, Ri. Justru saya merasa sangat terbantu, dengan adanya kamu di rumah ini. Nanti kamu bisa sekalian antar jemput anak-anak ke sekolah, kan motormu masih ada. Jadi saya gak perlu lagi membayar lebih untuk menitipkan anak-anak di sekolah." aku berucap lagi, kali ini dengan nada yang sangat serius.

"kalau mas Dodi gak keberatan, aku mau, mas.." balas Ari setuju.

"tapi aku gak bisa bayar kamu pakai uang, loh.." ucapku lagi.

"gak apa-apa, mas. Gak di bayar pakai uang, tapi bayar pakai itu aja, ya.." ucap Ari dengan nada menggoda, sambil menunjuk sesuatu di bawah perutku.

"ah, kamu bisa aja. Kalau untuk itu, saya selalu siap buat kamu, Ri. Kapan pun..." aku membalas dengan nada lebih menggoda lagi. Ari hanya tersenyum.

Jadilah sejak saat itu, Ari tinggal satu atap denganku, tentu saja dengan anak-anakku juga. Kami harus bisa juga menjaga sikap, terutama saat di depan anak-anak. Kami tak ingin mereka curiga, kalau aku ada apa-apa dengan Ari. Setiap hari Ari mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah.

Setiap hari Ari memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Dan hampir setiap malam, Ari juga melayaniku di ranjang. Aku dan Ari sudah hidup, bak sepasang suami istri.

Sungguh sebuah kehidupan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dulu waktu kecil, aku bercita-cita menjadi seorang pengusaha sukses dan hidup bahagia dengan sebuah keluarga kecil. Tapi itu dulu, sebelum saya mengenal Ari. Tapi semenjak kehadiran Ari, aku tidak lagi memikirkan tentang masa depanku, aku hanya ingin menikmati setiap keindahan yang diberikan Ari padaku.

Mungkin ini bukanlah kehidupan yang baik yang harus aku jalani, namun saat ini kehadiran Ari benar-benar membuatku terlena.

Hubungan kami mungkin memang indah, bahkan sangat indah bagiku. Menjadi bagian dari kehidupan Ari, si pria tampan tersebut, adalah sebuah keindahan. Ia memasak untukku, dan melayaniku di ranjang, adalah sesuatu yang luar biasa. Aku begitu menikmati hal tersebut.

Namun, harus aku akui, ini semua adalah sebuah kesalahan. Kami mungkin saja tetap bisa menutupi hubungan kami di depan orang-orang. Tapi sampai kapan?

Sampai kapan, kami mampu menjaga rahasia ini?

*****

Waktu masih terus bergulir, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Ari masih saja terus melakukan semua aktivitasnya bersama keluarga kecilku. Berbulan-bulan, Ari masih belum juga mendapatkan pekerjaan. Aku memang selalu memberi Ari sejumlah uang, untuk kebutuhannya.

Meski pun aku merasa bahagia dengan semua itu, tapi tetap saja, aku mulai merasa kurang nyaman tinggal serumah dengan Ari.

Berita-berita tak sedap tentang kami, sudah mulai menyebar. Aku dan Ari, sepakat untuk mengabaikan hal tersebut. Namun yang aku pikirkan, efeknya bisa saja mempengaruhi anak-anak.

Hinga suatu saat, kedua orangtuaku datang berkunjung. Mereka begitu gembira bertemu denganku dan juga cucu-cucunya. Setelah lebih dari setahun mereka tidak bertemu.

Aku terpaksa memperkenalkan Ari kepada orangtuaku, sebagai pengasuh anak-anakku.

"kalau pengasuhnya perempuan, takutnya malah dicurigai, karena aku yang seorang duda.." jelasku, ketika orangtuaku mempertanyakan kenapa pengasuh anak-anak justru seorang laki-laki.

Orantuaku, menginap beberapa malam di rumah kami. Selama itu, aku harus bisa menjaga sikap. Terutama pada malam hari, aku harus bisa menahan keinginanku untuk bisa tidur bersama Ari.

Setelah orangtuaku pulang, keadaan kembali seperti sedia kala. Malam itu, aku pun memanfaatkan kesempatan untuk bisa tidur dengan Ari lagi. Setelah beberapa malam tak mendapatkan 'jatah', Ari menjadi sangat liar di ranjang, yang membuatku sedikit kewalahan.

Kami sama-sama menumpahkan segala kerinduan kami selama beberapa hari ini.

Harus aku akui, kalau Ari memang sangat mahir melakukan hal tersebut, aku selalu saja dibuatnya terbuai dan terlena dengan segala permainan indahnya.

Dan sebenarnya hal itulah yang membuatku semakin menyukai Ari. Ia selalu mampu membuatku merasa puas dan lega.

*******

Setahun kemudian berlalu, Ari pun akhirnya mendapatkan sebuah pekerjaan. Hal itu tentu saja, merubah semua rutinitasnya. Anak-anak kembali aku titipkan di sekolah.

Ari pun memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri. Aku pun dengan terpaksa menyetujuinya.

"Aku bukannya gak mau, tetap tinggal seatap dengan mas Dodi, tapi kecurigaan para tetangga membuatku harus bisa menjaga jarak dari keluarga mas Dodi. Apa lagi sekarang aku sudah punya kerja, jika terus tinggal bersama mas Dodi, jelas hal itu, akan membuat orang-orang semakin curiga." begitu alasan Ari untuk segera pindah dari rumah kami.

Dan dengan perasaan berat aku pun harus merelakan kepindahan Ari.

Terus terang aku memang merasa kehilangan, tak ada lagi yanga akan memasak untuk kami, mencuci pakaian kami dan juga membersihkan rumah.

Tapi biar bagaimana pun itu adalah pilihan hidup Ari, aku tak mungkin mencegahnya.

Ari masih rutin mengunjungiku, terutama pada malam hari. Tapi tentu saja, ia tidak pernah lagi menginap. Ari dirumahku hanya beberapa jam, hanya sekedar untuk melaksanakan kegiatan rutinitas malam kami. Dan aku akan menyambutnya dengan perasaan senang.

Hal itu terus berlanjut. Aku dan Ari masih terus menjalin hubungan. Aku mungkin telah jatuh cinta pada Ari. Tapi untuk tetap berharap agar selalu bersamanya, rasanya itu terasa mustahil.

Biar bagaimana pun, aku dan Ari sama-sama laki-laki, kami tidak mungkin bisa menikah. Kalau boleh jujur, seandainya saja bisa, aku ingin menjadikan Ari sebagai pengganti istriku.

Tapi siapa yang bisa melawan takdir, tak satu pun. Tak terkecuali kami berdua.

Aku memang menyayangi Ari, tapi aku juga harus realisistis. Ari tidak akan sepenuhnya bisa menggantikan sosok istriku, meski sebenarnya kami berdua sangat menginginkannya.

Di satu sisi, aku harus menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang laki-laki, dan menjadi ayah bagi anak-anakku. Apa lagi sekarang kedua anakku hanya mengandalkanku sebagai satu-satunya orangtua mereka.

Namun di sisi lain, aku juga membutuhkan Ari. Aku juga mencintainya. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku ingin selalu bersamanya. Menikmati setiap keindahan yang terjadi diantara kami. Meski aku sendiri tidak pernah tahu pasti, seperti apa sebenarnya perasaan Ari padaku.

Selama ini ia hanya melayaniku, meski aku tahu ia sangat menyayangiku, tapi Ari tak pernah benar-benar mengungkapkan perasaannya padaku.

Aku tak tahu pasti, apa ia benar-benar mencintaiku. Atau ia hanya sekedar memanfaatkan kesepianku selama ini? Atau sebenarnya ia hanya kasihan padaku?

Pada awalnya aku memang tidak peduli tentang perasaan Ari padaku, tapi sekarang aku justru semakin tenggelam dengan rasa yang hadir dihatiku untuknya.

******

Namun beginilah takdir, kita tidak terkadang tak bisa menebaknya. Semua yang terjadi terkadang di luar kendali kita.

Ari bercerita padaku, bahwa ia akan dinikahkan dengan gadis pilihan orangtuanya di kampung.

Terus terang aku sangat kecewa mendengar hal tersebut. Tapi sebagai laki-laki tentu saja aku tidak ingin terlihat lemah. Karena itu aku berusaha bersikap sewajar mungkin, dan memberi dukungan penuh atas pernikahan Ari.

Biar bagaimana pun Ari memang harus menjalankan takdirnya sebagai seorang laki-laki, menikah, punya anak dan menjadi kepala rumah tangga.

Ari berhak untuk bahagia, meski bukan denganku.

Antara kecewa dan pasrah, aku pun berusaha menghadiri pesta pernikahan Ari. Aku jauh-jauh datang ke kampungnya hanya untuk mengucapkan selamat padanya.

Namun saat aku kembali ke kota, aku akhirnya memutuskan untuk pindah.

Aku tidak ingin lagi terus berada di rumah ini, terlalu banyak kenangan di rumah ini.

Aku tidak ingin lagi mengingatnya. Biar bagaimana pun Ari sekarang sudah punya seorang istri, dan aku harus belajar untuk melupakannya.

Namun jika aku terus disini, aku pasti tidak akan bisa menghindari pertemuanku dengan Ari nantinya, ketika ia kembali ke kota.

Karena itu aku pindah rumah, pindah kota dan bahkan juga pindah tempat kerja.

Aku sebenarnya diam-diam terus mencari info tentang kehidupan Ari setelah ia menikah. Dan menurut kabar yang aku terima, Ari sudah bahagia dengan hidupnya yang baru.

Ia bahkan sudah mempunyai seorang anak perempuan.

Meski hatiku terasa perih, tapi aku turut bahagia untuknya.

Sampai akhirnya aku pun memutuskan untuk menikah lagi, kali ini dengan seorang janda tanpa anak.

Meski sebenarnya aku tidak mencintainya, tapi biar bagaimana pun anak-anakku butuh kasih sayang seorang ibu, dan aku berharap wanita yang aku nikahi ini mampu memberikannya pada anak-anakku.

Aku dan Ari, memang tidak pernah bertemu lagi. Tapi segala kenangan yang terjadi diantara kami, selalu kusimpan rapi di sudut hatiku.

Ari adalah salah satu hal terindah yang pernah singgah di perjalanan hidupku. Dan aku yakin, Ari, juga merasakan hal yang sama.

Tapi kami harus menjalani hidup kami, sebagaimana kodrat kami sebagai seorang laki-laki.

*****

Aku yakin mungkin ada dari kalian yang pernah mendengar tentang kisah ini dengan versi yang berbeda. Versi cerita dari sudut pandang Ari sendiri.

Karena ini memang balasan untuk kisah Ari tersebut. Aku hanya ingin Ari tahu, bahwa aku juga mencintainya. Meski ia tahu hanya melalui sebuah tulisan.

Terima kasih, telah sudi mendengarkan kisah ini. Semoga terhibur, dan semoga ada hikmah yang bisa diambil dari kisah sederhana ini.

Salam santun dari saya...

*****

Selesai ...

Nasib cowok kampung (part 1 & 2)

Masa depan itu seperti hantu! Menakutkan!

Kalimat itu terus membayangiku setiap saat.

Aku memang merasa sudah tidak punya masa depan lagi, terutama sejak aku berhubungan dengan om Zainan suami tante Ratna.

Siapa sebenarnya om Zainan?

Bagaimana kami bisa terjerat hubungan terlarang?

Dan bagaimana pula hubungan kami akhirnya?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya, bagi yang baru mampir jangan lupa untuk subscribe channel ini dan klik tanda lonceng untuk menyaksikan video-video menarik lainnya.

Buat seluruh subscriber setia CKP channel, terima kasih atas segala saran, masukan dan dukungannya selama ini.

Terima kasih atas kesetiaannya dan selamat menikmati.

*****

Namaku Sabri. Saat kisah ini terjadi aku masih kuliah semester tiga.

Aku berasal dari kampung. Orangtua dan kakak-kakakku tinggal di kampung.

Aku seorang anak bungsu, karena itu juga kedua orangtuaku sangat ingin aku kuliah.

Karena ketiga kakak-kakakku semuanya perempuan dan sudah menikah. Tak satu pun dari mereka yang sempat duduk di bangku kuliah.

"anak perempuan, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga.." begitu ucapan ayahku, sebagai alasan kenapa ketiga kakak-kakakku tidak diperbolehkan untuk kuliah.

"dan kamu Sabri, sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita, kamu harus bisa mengangkat derajat keluarga ini. Karena itu ayah ingin kamu kuliah dan sukses nantinya.." ucap ayah melanjutkan.

Tak satu pun dari kami yang bisa membantah setiap ucapan yang terlontar dari mulut ayah.

Ayah memang terkenal sangat tegas kepada kami, anak-anaknya.

Dan terus terang aku memang selalu merasa takut kepada ayah. Terutama aku merasa takut untuk mengecewakannya.

Karena itu, aku selalu berusaha belajar dengan sungguh-sungguh, supaya bisa memenuhi permintaan ayah.

Hingga akhirnya aku bisa lulus SMA dengan hasil yang memuaskan, dan juga mendapatkan bantuan beasiswa untuk kuliah.

Namun untuk kuliah aku memang harus tinggal di kota, karena jarak kampus tempat aku kuliah sangat jauh dari kampung halamanku.

Beruntunglah ayahku punya seorang adik perempuan yang tinggal di kota. Aku memanggilnya tante Ratna.

Tante Ratna punya seorang suami yang bekerja sebagai security di kampus tempat aku kuliah.

Suami tante Ratna namanya om Zainan. Ia sudah bekerja sebagai security sudah lebih sepuluh tahun.

Rumah mereka juga tidak begitu jauh dari kampus, bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki.

Rumah tante Ratna tidak terlalu besar, hanya ada dua kamar tidur, ruang tengah dan sebuah dapur kecil di bagian belakang.

Namun mereka, walau sudah lebih sepuluh tahun menikah, belum juga mempunyai seorang anak.

Tante Ratna sendiri juga bekerja di sebuah mini market tak seberapa jauh dari rumahnya.

"karena belum punya anak, tante sering merasa kesepian di rumah, karena itu juga om kamu mengizinkan tante untuk tetap bekerja.." jelas tante Ratna suatu hari.

Usia tante Ratna sudah 33 tahun lebih, sedangkan om Zainan sudah berumur 38 tahun.

Harapan mereka untuk bisa punya keturunan sebenarnya masih cukup banyak, tapi sepertinya mereka berdua sudah pasrah akan keadaan mereka saat ini.

Apa lagi kesibukan kerja membuat mereka berdua, seakan bisa melupakan hal tersebut.

Tante Ratna dan om Zainan terlihat sangat senang, ketika aku akhirnya tinggal bersama mereka.

Sebuah kamar kosong, yang selama ini tidak ditempati, mereka berikan padaku, untuk tempat aku tinggal.

"kamu anggap aja ini seperti rumah kamu sendiri.." begitu ucap om Zainan, ketika pertama kali aku tinggal disana.

Karena keterbukaan mereka berdua menerima aku disana, aku menjadi cukup betah dan merasa nyaman.

Setidaknya hal ini cukup mengurangi biaya untuk tempat tinggalku, karena tidak perlu lagi menyewa sebuah kost.

Biar bagaimana pun, penghasilan ayahku di kampung memang terbilang cukup pas-pasan.

"kalau untuk makan dan tempat tinggal, kamu gak usah khawtir. Selama kami masih bekerja, kami akan menanggung semuanya. Tapi untuk biaya kuliah, tante dan om gak bisa banyak membantu.." ucap tante Ratna.

"iya, tante. Saya udah dikasih tempat tinggal dan makan aja, udah lebih dari cukup kok, tante.." balasku.

*****

 Hari berlalu, bulan berganti, sudah hampir satu semester aku tinggal bersama tante Ratna dan om Zainan.

Awalnya semua berjalan dengan sangat baik. Tante Ratna dan om Zainan sangat baik padaku.

Aku dan mereka berdua sudah semakin dekat dan akrab, terutama dengan om Zainan.

Bukan saja karena kami sama-sama laki-laki, tapi juga karena hampir setiap hari kami pergi ke kampus bersama-sama, meski dengan tujuan yang berbeda.

Om Zainan ke kampus untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang security, dan aku sendiri ke kampus untuk kuliah.

Aku dan om Zainan jadi sering ngobrol.

Sikap om Zainan sangat lembut padaku, jauh berbeda dengan perlakuan ayahku padaku.

Ayahku sangat tegas dan terkesan sedikit kasar, sementara om Zainan begitu perhatian dan memperlakukanku dengan baik.

Aku mulai menyukai sosok om Zainan, setidaknya sebagai sosok yang mampu melindungiku.

Kasih sayang yang om Zainan berikan, membuatku merasa nyaman dan merasa diperhatikan.

Om Zainan selalu bertanya tentang segala kegiatanku di kampus, dan selalu memberikan aku supprot saat aku merasa kehilangan semangat.

Perhatian dan kasih sayang yang om Zainan berikan, semakin lama ternyata semakin menumbuhkan rasa sayang di hatiku kepada om Zainan.

Perlahan benih cinta pun tumbuh di hatiku untuknya.

Ya, tanpa pernah aku sangka sebelumnya aku ternyata telah jatuh cinta pada om Zainan.

Sebenarnya om Zainan memang menarik secara fisik. Tubuhnya padat berisi dan berotot.

Perutnya sedikit membuncit, namun hal itu justru membuatnya terlihat gagah.

Wajahnya cukup tampan, meski sudah sedikit mengerut karena termakan usia.

Saya suka memperhatikannya diam-diam. Memikirkannya di hampir setiap malamku.

Aku seakan menemukan sosok yang aku kagumi pada diri om Zainan.

Semakin hari perasaan cintaku pada om Zainan semakin tumbuh dan kian membesar.

Aku tak sanggup lagi menahannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu hanya aku dan om Zainan yang berada di rumah.

Sementara tante Ratna masih di mini market, ia mendapat giliran shift malam.

"om Zainan sangat baik padaku, om Zainan juga tampan dan gagah. Saya.. saya.. jadi suka.. sama om.." suaraku terbata, saat itu kami sedang duduk di ruang tamu rumah tersebut.

Om Zainan repleks menatapku tajam. Keningnya mengerut, ia seperti mencoba memahami maksud dari pernyataanku barusan.

"sebenarnya om sudah tahu, meski om belum begitu yakin.. tapi dari sikapmu akhir-akhir ini, om mulai percaya kalau kamu memang menginginkan om.." om Zainan berucap juga akhirnya setelah cukup lama ia menatapku.

Meski merasa sedikit kaget akan pengakuan om Zainan barusan, tapi aku berusaha bersikap setenang mungkin.

Aku percaya, bahwa tingkahku selama ini kepada om Zainan sebenarnya cukup menggambarkan perasaanku padanya.

Hanya saja aku tidak menyangka kalau om Zainan akan berucap begitu santai akan hal tersebut.

Aku kira awalnya, om Zainan akan marah karena pengakuanku.

Tapi...

"om juga suka sama kamu, Sab..." tegas suara om Zainan, yang membuatku semakin merasa kaget.

"selama ini om selalu berusaha memberi perhatian lebih sama kamu. Om berharap kamu bisa mengerti akan hal tersebut..." om Zainan melanjutkan kalimatnya.

"dan sekarang setelah pengakuan jujur kamu barusan, om jadi sangat berani untuk mengungkapkan perasaan om padamu.." lanjutnya lagi, sambil terus menatapku.

"lalu... sekarang kita harus bagaimana, om?" tanyaku kemudian.

"kalau memang kita saling suka, bukankah sebaiknya kita mencoba menjalin hubungan yang lebih serius?!" balas om Zainan dengan nada sedikit bertanya.

"tapi bagaimana dengan tante Ratna, om?" tanyaku lagi.

"biar bagaimana pun hubungan kita adalah sebuah rahasia, Sab. Kita harus menjalin hubungan secara diam-diam tanpa diketahui siapa pun, terutama oleh tante kamu.." jawab om Zainan.

Aku mengangguk setuju.

Dan tak lama berselang, om Zainan pun mengajak masuk ke kamarku.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku pun melakukan hal tersebut bersama om Zainan.

Hatiku terasa berbunga. Semuanya terasa indah malam itu.

Om Zainan benar-benar membuatku terlena akan sebuah hubungan cinta yang indah.

Apa lagi aku yang baru pertama kali merasakan hal tersebut.

Aku merasa terkesan. Sungguh sebuah pengalaman yang begitu indah dalam hidupku.

*****

"sebenarnya om menikah dengan tante kamu, bukan karena om jatuh cinta padanya. Tapi karena kodrat om sebagai laki-laki." cerita om Zainan, saat suatu malam kami kembali melakukan hal tersebut.

Aku dan om Zainan memang selalu berusaha mengatur waktu agar kami bisa berduaan, terutama saat tante Ratna pergi bekerja.

"om sudah berusaha sekuat mungkin untuk bisa mencintai tante kamu, tapi om tetap merasa biasa saja. Meski tentu saja om harus tetap menjalankan kewajiban om sebagai seorang suami."

"bertahun-tahun menikah, kami belum juga dikaruniai anak. Dan hal itu membuat om jadi sering merasa frustasi dan kesepian. Hingga kehadiran kamu di rumah ini, mampu mengubah segalanya.."

"om jadi punya teman untuk bercerita. Dan semakin hari om jadi semakin suka sama kamu. Karena itu juga om berusaha bersikap sebaik mungkin sama kamu, dan berharap kamu juga bisa menyukai om.."

"sekarang semua mimpi om tentang kamu telah menjadi nyata. Om merasa bahagia saat ini. Selama ini hidup om terasa hampa."

"sejak menikah dengan tante kamu, om tidak pernah lagi berhubungan dengan laki-laki, meski keinginan itu selalu ada. Tapi om selalu berusaha menepisnya.."

"namun ketika bersama kamu, om tidak bisa lagi menahannya. Apa lagi ketika om tahu, kalau kamu juga menyukai om.." cerita om Zainan panjang lebar.

Aku tidak begitu peduli tentang masa lalu om Zainan. Tapi terus terang ada rasa bersalah, ketika aku ingat akan tante Ratna.

Biar bagaimana pun, aku tanpa sengaja telah merebut om Zainan darinya.

Meski hubungan mereka berdua tetap terlihat baik-baik saja.

****

Waktu tetap terus berlalu, sudah hampir setahun hubungan terlarangku dengan om Zainan terjalin.

Setahun hubungan kami, semua berjalan baik-baik saja. Aku merasa bahagia dengan semua itu.

Karena biar bagaimana pun, om Zainan lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.

Tapi sepandai apa pun kami menyimpan bangkai, pada akhirnya akan tercium juga.

Suatu malam, saat kami sedang bermesraan, tiba-tiba tante Ratna datang dan memergoki kami yang sedang mendaki bersama.

Tante Ratna tertegun. Ia terlihat sangat syok.

Kami berdua segera saling melepaskan diri, dan dengan tergesa memakai pakaian kami lagi.

Tapi tante Ratna sudah terlanjur jatuh pingsan. Tubuhnya ambruk tiba-tiba, beruntunglah om Zainan dengan cekatan segara menyambut tubuh itu, sehingga tidak sampai menyentuh lantai.

Aku sendiri tidak tahu, bagaimana perasaanku saat itu.

Antara malu, takut, dan merasa sangat bersalah.

Om Zainan membaringkan tante Ratna di ranjang, kemudian berusaha membuat tante Ratna sadar dari pingsannya.

Separuh hatiku tidak ingin tante Ratna segera sadar, aku belum siap menghadapinya.

Tapi tentu saja ada kekhawatiran, bagaimana kalau tante Ratna benar-benar tidak siuman lagi?

Rasa bersalah pasti akan menghantuiku sepanjang hidupku.

"sebaiknya kamu pergi aja dulu dari rumah ini, Sab. Biar om yang akan menjelaskan semuanya pada tantemu kalau ia sadar nanti.." ucap om Zainan, sambil memegang kedua pundakku.

"tapi saya takut, om. Bagaimana kalau tante Ratna cerita pada ayah? Habislah aku, om.." balasku terdengar pilu.

"kamu tenang ya, Sab. Kita akan lewati semua ini bersama-sama. Tapi sekarang kamu harus pergi dulu, om akan berusaha meyakin tante kamu, agar tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun, terutama kepada ayahmu.." ucap om Zainan lagi, kali ini ia melepaskan tangannya.

Mungkin memang sebaiknya aku menghindar dulu dari sini, karena jika tante Ratna siuman, dan ia melihatku disini, ia pasti akan meluahkan semua kekecewaannya pada kami.

Mungkin memang sebaiknya, aku biarkan om Zainan yang akan menjelaskan semuanya.

Karena itu, aku pun perlahan mulai melangkah meninggalkan rumah tersebut, walau perasaanku sendiri masih terasa tak karuan.

*****

Antara perasaan malu, takut dan rasa bersalah aku melangkah dalam kegelapan malam.

Pikiranku melayang jauh, memutar kembali kejadian tragis yang baru saja aku alami.

Entah bagaimana keadaan tante Ratna saat ini. Aku berharap ia akan baik-baik saja.

Meski dengan begitu, resikonya sangat besar bagiku. Tante Ratna bisa saja menceritakan hal tersebut kepada ayah dan ibuku.

Dan jika hal itu terjadi, aku tidak akan pernah sanggup lagi untuk pulang.

Sementara om Zainan sendiri, belum mengabari sampai saat ini.

Aku duduk di sebuah bangku taman, dengan pikiranku yang kacau balau.

Hingga pagi menjelang aku bahkan tidak tidur sedetik pun.

Aku ingin segera menghubungi om Zainan, aku ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi aku merasa takut.

Ahk... aku benar-benar merasa bingung.

Mengapa hal ini harus terjadi padaku?

Tiba-tiba rasa penyesalan menyeruak ke dalam rongga dadaku.

Aku menyesal mengapa aku tidak bisa menahan perasaanku.

Mengapa aku dengan begitu saja menerima kehadiran om Zainan di dalam hatiku?

Sementara aku tahu, kalau ia adalah suami dari tanteku sendiri.

Aku merasa jahat. Aku merasa tak berguna. Dan masa depan sudah semakin tidak jelas.

Masa depanku benar-benar seperti hantu. Menakutkan!

Apa jadinya kehidupanku ke depannya?

Bagaimana masa depanku?

Akankah semuanya akan baik-baik saja?

Mungkinkah om Zainan bisa mengatasi ini semua?

Beribu pertanyaan berserakan di benakku.

Aku tak sanggup lagi memikirkannya.

Aku putus asa...!

****

Dering handphone mengagetkanku tiba-tiba. Aku menatap layar handphone itu.

Itu nomor ayahku!

Tiba-tiba perasaan takut kembali menghantuiku.

Mungkin tante Ratna sudah menghubungi ayahku dan menceritakan semuanya. Pikirku.

Aku tidak ingin menjawab telepon tersebut. Aku takut. Aku takut menghadapi kenyataan.

Handphone-ku kembali berdering untuk yang ketiga kalinya. Masih dari ayah.

Aku masih tidak mengangkatnya. Aku bahkan berniat untuk mematikan handphone segera.

Saat sebuah pesan masuk ke wa-ku.

'angkat telepon dari ayahmu, Sabri. Kamu tenang aja, semuanya baik-baik saja, kok..'

pesan itu berasal dari om Zainan.

Meski aku tidak begitu mengerti arti maksud dari kalimat baik-baik saja tersebut, tapi setidaknya aku merasa sedikit lega.

Karena itu juga, aku pun segera mengangkat telepon dari ayahku, ketika untuk keempat kalinya ia menghubungiku.

"kamu dimana?" itu kalimat pertama ayahku tanpa basa-basi, suaranya terdengar sangat marah.

"saya... saya.. saya di rumah teman, Yah.." jawabku terbata.

"kamu kembali ke rumah tante kamu sekarang dan kemasi semua barang-barang kamu dan segera kamu pulang ke kampung.." suara Ayah terdengar sangat tegas.

Kemudian tanpa basa-basi ia pun menutup telepon-nya.

Seperti biasa aku tidak pernah berani membantah permintaan ayah. Aku segera kembali ke rumah tante Ratna.

Sesampainya disana aku tidak menemukan siapa-siapa disana. Tidak ada tante Ratna dan juga tidak ada om Zainan.

Beribu pertanyaan kembali menghantui pikiranku.

Kemana mereka berdua? Dan apa yang terjadi sebenarnya?

Tapi aku segera mengabaikan segala pertanyaan tersebut. Aku bergegas mengemasi beberapa barangku dan segera keluar dari rumah tersebut.

Aku segera menuju terminal dan mencari kendaraan umum yang menuju kampungku.

Meski perasaanku sangat terasa tidak nyaman, tapi aku memang harus pulang.

Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti. Tak peduli sekali pun ayah membunuhku.

Aku memang bersalah dan aku pantas untuk dihukum.

Aku tak ingin lari lagi. Aku harus menghadapi kenyataan ini, meski terasa begitu menyakitkan.

*****

Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang serba salah.

Ayah menatapku dengan tatapan penuh kemarahan.

"ayah kecewa sama kamu, Sabri! Kamu satu-satunay harapan ayah untuk bisa mengubah nasib kita. Tapi apa yang kamu lakukan benar-benar membuat ayah merasa malu." suara ayah terdengar sangat tajam di telingaku.

"padahal selama ini ayah selalu membanggakan kamu di depan orang-orang. Tapi apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu harus melakukan hal yang sangat memalukan tersebut?!" suara ayah semakin ketus.

Aku hanya tertunduk. Aku tak sanggup menatap wajah kemarahan ayah. Sementara ibuku hanya menatapku dengan perasaan iba.

Aku tahu, betapa malunya ayah dan juga keluargaku saat ini, karena telah mengetahui perbuatanku.

"kita memang miskin, nak. Tapi Ibu dan ayah tidak pernah mengajarkan kalian untuk jadi seorang pencuri.." ibu berucap dengan suara terisak.

Sementara ayah masih menatapku dengan tajam.

"mencuri?" suaraku pelan, penuh dengan tanda tanya.

"kamu tidak usah mengelak lagi, Sabri. Tante kamu udah cerita semuanya. Kamu telah mencuri uang tabungan tante kamu.." kali ini ayah yang berbicara lagi.

Oh, antara lega dan kecewa aku mendengar semua itu.

Lega, karena ternyata tante Ratna tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kecewa karena aku harus kehilangan kesempatan untuk kuliah.

"ayah tahu, uang yang ayah kirimkan tidak cukup untuk biaya kamu kuliah. Tapi bukan berarti kamu harus mencuri, Sab. Setidaknya kamu bisa cerita sama ayah atau sama ibu kamu, kalau kamu memang butuh uang.." ayah berucap lagi.

Untuk selanjutnya aku tidak begitu menyimak setiap kalimat dari ayah mau pun dari ibuku.

Mereka sangat marah karena aku yang dikatakan telah mencuri oleh tante Ratna. Tapi itu tidak masalah. Setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada mereka mengetahui cerita yang sebenarnya.

Aku biarkan mereka memarahiku habis-habisan. Aku tidak begitu peduli.

Namun yang menjadi tanda tanya bagiku, apa yang sebenarnya terjadi, hingga tante Ratna harus menceritakan kejadian bohong kepada ayah?

Berhasilkah om Zainan membujuk tante Ratna untuk tidak menceritakannya kepada ayah?

Jika benar, lalu mengapa aku harus dipaksa kembali ke kampung?

Lalu bagaimana dengan hubungan tante Ratna dan Om Zainan?

Akankah mereka masih hidup bersama?

Dan bagaimana pula dengan hubunganku dan om Zainan selanjutnya?

Akankah aku masih punya kesempatan untuk bertemu om Zainan kembali?

Setidaknya untuk mendapatkan penjelasan dari semua pertanyaan yang ada di benakku saat ini...

******

Part 2

(Bersama sang duda)

Jumpa lagi dengan saya, masih di channel yang sama dan dengan kisah yang berbeda.

Terima kasih udah mampir, udah subscribe, udah like dan udah komen.

Buat seluruh subscriber setia saya, terima kasih atas segala masukannya, terima atas saran dan dukungannya selama ini.

Bagi yang baru mampir, seperti biasa jangan lupa Subscribe channel ini dan klik tanda lonceng untuk menyaksikan video-video menarik lainnya di channel ini.

Sekali lagi terima kasih dan selamat menikmati.

****

 Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!

Huh.. aku menghembuskan napas berat.

Sekarang aku mau tidak mau harus berhenti kuliah, dan harus bekerja di kampung.

Setelah semua yang terjadi.

Yah, akhirnya aku tahu. Aku tahu semuanya. Setiap pertanyaan yang tersimpan di dalam benakku akhirnya terjawab.

Setelah kejadian tragis yang menimpaku di rumah tante Ratna, dimana ia memergoki-ku sedang bercumbu dengan suaminya om Zainan, hingga beliau pingsan.

Kemudian ayahku menghubungiku untuk memintaku segera pulang. Aku pulang dengan perasaan berat.

Dan bersiap dicaci maki ayahku, yang ternyata hanya mengetahui kalau aku dilaporkan oleh tante Ratna telah mencuri di rumahnya.

Tante Ratna memang tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya, tapi aku tidak lagi bisa kuliah dan harus kembali tinggal di kampung.

Seminggu setelah kejadian tersebut, aku pun memberanikan diri untuk menghubungi om Zainan dan mengajaknya bertemu.

Meski berat, om Zainan pun menyetujuinya.

Saat itulah om Zainan menceritakan semuanya.

Om Zainan ternyata berhasil membujuk tante Ratna untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada ayahku, dengan syarat om Zainan harus menceraikannya.

Om Zainan dan tante Ratna bercerai dan berpisah, sehingga aku tidak bisa lagi tinggal di rumah mereka untuk melanjutkan kuliah.

Sebagai pelajarannya untukku atas keinginan tante Ratna, ia melaporkan kepada ayahku kalau aku telah mencuri di rumahnya.

"tante kamu tak ingin kamu terus kuliah dan tinggal di kota, karena menurutnya jika kamu masih tinggal di kota, kamu akan terus berhubungan dengan om, dan tante kamu tidak ingin masa depanmu rusak karena om.."

"lagi pula menurutnya, sekalipun kita tidak lagi berhubungan, akan banyak laki-laki homo lain yang akan menjalin hubungan dengan kamu, Sab."

"dan menurut tante kamu juga, jika kamu kembali tinggal di desa, kamu tidak akan lagi terjerumus dalam hubungan sesama jenis, karena kamu akan selalu diawasi oleh ayahmu.."

Begitu penjelasan om Zainan padaku. Yang membuatku tertegun.

Ternyata tante Ratna tidak marah padaku. Ia tetap memikirkan pilihan terbaik untuk hidupku.

Meski pun aku tidak bisa lagi untuk kuliah, tapi setidaknya ia berharap jika aku tinggal bersama keluargaku, aku pasti akan lebih hati-hati dalam melangkah.

Menurutku, ada benarnya juga tindakan dari tante Ratna padaku. Aku menganggapnya sebagai sebuah hukuman.

Jika aku tetap tinggal di kota, aku tidak akan bisa menahan keinginanku untuk bertemu dengan om Zainan. Atau setidak-tidaknya, akan banyak kesempatan bagiku untuk terus tenggelam dalam dunia gay.

Dan lagi pula, tante Ratna sudah memutuskan untuk bercerai dari om Zainan dan menjual rumah mereka. Dengan begitu, jika aku tetap kuliah aku harus mencari tempat kost sendiri.

Sementara aku cukup tahu, kalau ayah tidak akan sanggup membiayai itu semua, tanpa bantuan dari tante Ratna.

Jadilah aku sekarang, berada kembali di kampung halamanku, dengan cap seorang pencuri dari mata ayah dan keluargaku.

Tapi sekali lagi, itu jauh lebih baik dari pada mereka mengetahui, kalau aku adalah seorang gay.

*****

Waktu terus berlalu, dan aku masih dalam ketakutan akan sebuah masa depan yang tak pasti.

Aku mulai belajar untuk melupakan sosok om Zainan.

Biar bagaimana pun aku tidak mungkin bisa lagi mengharapkan om Zainan tetap bersamaku.

Selain karena itu adalah salah satu syarat dari tante Ratna, tapi juga karena jarak diantara kami terlalu jauh.

Meski sebenarnya aku tidak sepenuhnya berubah. Tidak mudah untuk berubah, apa lagi aku sudah merasakan manisnya hal tersebut.

Hanya saja aku harus selalu bisa memendam setiap kali keinginan itu datang. Karena untuk saat ini, ayahku masih terus mengawasi setiap tindakanku.

Berbulan-bulan pun berlalu, aku sudah tidak memikirkan tentang om Zainan.

Hubunganku dengan om Zainan berakhir begitu saja. Semua bagiku hanyalah seuntai cerita yang telah menjadi masa lalu.

Sekarang aku harus menjalani kehidupanku kembali. Ayah juga sudah mulai mempercayaiku lagi, ia terlihat yakin kalau aku sudah tidak akan melakukan kesalahan lagi.

Karena itu ia akhirnya memberi aku izin untuk ikut bersama pak Anwar untuk bekerja di kota menjadi seorang pegawai di sebuah supermarket.

Pak Anwar adalah seorang manager di supermarket tersebut, dan ia sedang mencari karyawan-karyawan baru untuk dipekerjakan di supermarket tersebut.

Kebetulan pak Anwar dan ayah sudah kenal sejak lama, sehingga pak Anwar menawarkanku untuk bekerja bersamanya di kota.

Di kota aku tinggal bersama pak Anwar, yang ternyata adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya.

Pak Anwar hanya tinggal berdua bersama putranya yang masih remaja. Karena itu ia menawarkanku untuk tinggal bersamanya.

Pak Anwar sangat baik padaku, mungkin karena ia adalah teman ayahku.

Pak Anwar sudah berusia sekitar 42 tahun, namun ia masih terlihat tampan dan gagah.

Pak Anwar memang selalu rajin berolahraga. Bahkan di rumahnya terdapat beberapa alat olahraga, yang ia pakai ketika waktu senggangnya.

Diam-diam aku mulai mengagumi sosok pak Anwar.

Wajahnya yang tampan dan postur tubuhnya yang berotot membuatku jadi sering mengkhayalkannya.

Tapi aku selalu berusaha untuk bersikap wajar di hadapan pak Anwar. Aku tidak ingin pak Anwar tahu, kalau adalah seorang gay.

Karena jika ia tahu, aku sudah pasti akan diusirnya dari rumah dan akan dipecat dari pekerjaanku. Dan yang lebih parahnya, ia bisa saja menceritakan hal tersebut kepada ayahku.

Untuk itu aku tidak berani berharap banyak pada pak Anwar. Aku hanya bisa memendam perasaanku padanya.

Menikmati setiap khayalan indahku tentangnya.

Menjadikannya salah satu inspirasiku untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Aku hanya berharap, semoga masa depanku tak lagi seperti hantu.

Aku harus bekerja keras, agar bisa menjadi orang yang suskes seperti harapan ayah.

"apa kamu gak berniat untuk kuliah lagi, Sab?" tanya pak Anwar suatu malam, saat kami sedang duduk-duduk berdua di ruang tamu rumahnya.

"pengen sih, pak. Tapi kalau aku kuliah pasti butuh biaya besar dan aku juga tidak bisa lagi bekerja seperti ini.." jawabku pelan.

"kamu kan bisa kuliah sambil kerja, Sab. Banyak loh, orang yang bisa sukses dengan kuliah sambil kerja.." ucap pak Anwar lagi.

"iya sih, pak. Tapi kan jadwal kerja-ku cukup padat, aku takut tidak bisa mengatur waktu dengan baik.." balasku.

"kalau kamu mau, saya bisa ajukan agar kamu masuk kerjanya hanya sore sampai malam, jadi paginya kamu bisa fokus kuliah.." pak Anwar berujar sambil kali ini ia menatapku.

"emang bisa seperti itu, pak?" tanyaku.

"sebenarnya sih gak bisa, Sab. Tapi saya akan usahakan, jika kamu memang benar-benar berniat untuk kuliah lagi.." balas pak Anwar.

Setelah berpikir cukup panjang, aku akhirnya menyetujui tawaran dari pak Anwar.

"saya bisa bantu kamu, Sab. Tapi saya punya satu permintaan padamu..." ucap pak Anwar kemudian.

"permintaan? permintaan apa, pak?" tanyaku penasaran.

"saya.... saya... ingin kamu mulai malam ini menemani saya tidur...." terbata suara pak Anwar, namun mampu membuatku sedikit membelalakkan mata.

"maksud... maksud pak Anwar apa?" tanyaku.

"aku sudah lama menduda, Sab. Dan selama ini aku selalu merasa kesepian. Ingin rasanya aku menikah lagi. Tapi aku sudah terlanjur berjanji pada almarhumah istriku, bahwa aku tidak akan menikah lagi sampai setidaknya anakku kuliah nanti.." pak Anwar berujar.

"dan jika aku menjalin hubungan dengan perempuan tanpa menikah, aku takut ia akan menuntutku untuk segera menikahinya. Sementara aku belum bisa untuk itu."

"dan ketika aku tahu, kalau kamu diam-diam sering memperhatikanku. Aku jadi tertarik untuk bisa mencobanya bersama kamu. Setidaknya dengan begitu, jelas sangat tidak mungkin kamu bisa hamil dan menuntutku untuk menikahimu.."

"walau pun aku tidak tahu, apa aku bisa menikmati hal tersebut, tapi setidaknya dengan begitu segala kesepianku selama ini akan tercurahkan.."

pak Anwar mengakhiri kalimatnya, yang membuatku kian tertegun.

Sebenarnya aku memang menyukai pak Anwar. Aku sudah tertarik padanya. Dan aku memang ingin bersamanya.

Tapi ...

"bagaimana dengan anak pak Anwar sendiri? Apa ia gak bakal curiga kalau kita tidur sekamar?" tanyaku akhirnya.

"kamu hanya akan masuk kamarku, jika anakku sudah tertidur dan akan keluar sebelum ia bangun.." jelas pak Anwar.

Aku pun kemudian menyetujui tawaran dari pak Anwar tersebut.

Bukan saja karena aku memang menyukainya, tapi juga karena aku berharap, agar aku segera bisa kuliah kembali.

Jadilah semenjak saat itu, aku dan pak Anwar menjalin hubungan asmara secara diam-diam.

Aku juga mulai kuliah kembali dan sambil tetap bekerja di supermarket.

Seperti janji pak Anwar, aku bisa kuliah di pagi harinya dan masuk kerja dari sore hingga malam.

Saat aku pulang kerja, otomatis anak pak Anwar sudah masuk ke kamarnya dan tertidur.

Saat itulah aku akan menyelinap masuk ke dalam kamar pak Anwar.

Hubunganku dengan pak Anwar terasa begitu indah bagiku.

Aku sangat menikmati hal tersebut, demikian juga dengan pak Anwar sendiri.

Hingga berbulan-bulan hal itu terus terjadi.

Sampai akhirnya aku mengetahui sebuah rahasia.

Pak Anwar ternyata sebenarnya memang seorang gay sejak awal.

Aku mengetahuinya dari salah seorang rekan kerjaku.

"kamu terlihat nyaman tinggal serumah dengan pak Anwar.." ucap temanku itu.

"iya. Kenapa emangnya?" balasku bertanya.

"aku tahu siapa pak Anwar. Dulu ia pernah mengajakku tinggal di rumahnya. Tapi setelah sebulan, tiba-tiba ia menawarkanku untuk kuliah dan menjanjikanku untuk bisa mengatur jadwal kerjaku."

"aku merasa senang awalnya. Tapi kemudian ia mengajukan sebuah syarat, jika aku memang ingin kuliah sambil kerja, aku harus bersedia menemaninya tidur setiap malam.."

begitu cerita dari temanku tersebut.

"tapi karena aku yang masih normal, tentu saja merasa jijik mendengar hal tersebut dan memutuskan untuk menolak tawarannya." lanjutnya lagi.

"pak Anwar sempat marah karena aku menolaknya dan juga mengusirku dari rumahnya. Ia juga mengancam akan memecatku jika aku menceritakan tentang dirinya pada siapa pun.." temanku melanjutkan ceritanya.

"lalu mengapa sekarang kamu cerita sama saya?" tanyaku berusaha bersikap seolah-olah aku baru mengetahui hal tersebut.

"karena aku tidak ingin kamu menjadi korban selanjutnya, Sab. Jadi sebelum hal itu terjadi, sebaiknya kamu pindah saja dari sana.." balas lelaki yang berwajah cukup tampan itu.

Untuk selanjutnya aku hanya terdiam.

Terus terang aku memang merasa kaget mendengar cerita temanku tersebut. Setidaknya aku baru tahu, kalau pak Anwar adalah seorang gay.

Tapi hal tersebut tidak akan mengubah apa pun bagiku.

Karena pada dasarnya aku memang menyukai pak Anwar, terlepas dia seorang gay atau bukan.

Terlepas ia berbohong atau tidak padaku, aku juga tidak peduli.

Yang penting saat ini, aku bisa kuliah sambil kerja, dan sekaligus bisa menikmati malam bersama laki-laki yang aku cintai.

Setidaknya aku sedikit punya harapan tentang masa depan yang lebih baik.

Semoga saja masa depanku tidak seperti hantu. Menakutkan..

Ya, semoga saja..

****

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate