Gelora Cinta (cerita romantis)

 "aku mencintai kamu, Hend. Tapi aku memang harus pergi. Aku tak mungkin terus berada disini. Aku harus ikut orangtuaku ke Thailand. Kamu harusnya ngerti ..."

Risky berucap, sambil terus memainkan kedua jemarinya.

"aku ngerti, Ris. Tapi ..." kalimatku tertahan, berat rasanya harus terpisah dari Risky.

Aku mungkin terlalu mencintainya.

Gelora cinta

 

"kita masih bisa terus berhubungan, kok." uajr Risky lagi, kali ini ia menatapku.

"tapi kita gak bisa bertemu, Ris..." balasku cepat.

"aku pasti pulang, kok." ucap Risky pelan.

"iya. Sampai kapan? Satu tahun? Dua tahun? Terlalu berat, Ris. Aku gak sanggup." balasku sedikit terdengar lirih.

"ayolah, Hend. Kita pasti bisa, kok. Jarak seharusnya tidak akan memudarkan perasaan kita, selagi kita masih terus saling berkomunikasi ..." Risky meremas kedua jemarinya kembali.

"apa artinya sebuah hubungan kalau kita tidak bisa saling bertemu, Ris? Emangnya kamu kuat?" tanyaku.

"aku juga pasti akan sangat merindukan kamu, Hend. Tapi aku juga tidak mungkin terus disini. Sementara kedua orangtuaku haru pindah ke Thailand. Ini juga berat bagiku. Namun aku tidak punya pilihan lain..." Risky berujar sambil ia mulai berdiri.

"aku pergi, Hend. Aku harus pergi ..." Risky melanjutkan kalimatnya, lalu kemudian melangkah keluar dari kamar kost-ku.

Aku hanya terpaku menatap kepergian Risky.

Risky memang akan pindah ke Thailand bersama kedua orangtuanya, karena papanya harus ditugaskan kesana.

Lebih dari dua tahun aku dan Risky menjalin hubungan asmara. Kami pacaran sejak tahun pertama kami mulai kuliah.

Hubungan kami terjalin dengan indah. Risky mampu menghiasi ahri-hariku dengan cintanya yang indah.

Dan aku sangat bahagia dengan semua itu.

Tapi, sekarang ...

Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hariku tanpa Risky.

Tapi aku juga tidak bisa mencegahnya untuk pergi.

*******

Beberapa hari kemudian, Risky dan keluarga akhirnya terbang ke Thailand. Dan aku tidak sanggup mengucapkan kata perpisahan buat Risky. Seharian aku hanya mengurung diri di kamar.

Hari-hari selanjutnya, Rsiky masih terus menghubungiku. Aku berusaha terdengar tegar. Aku tak ingin Risky tahu, bahwa betapa terlukanya aku dengan semua itu.

Awal-awal hubungan kami masih terus berlanjut, meski hanya lewat media sosial dan telpon.

Namun lama-kelamaan, kami jadi semakin jarang berkomunikasi. Rasanya bosan juga menjalin hubungan seperti itu.

Apa artinya sebuah hubungan, bila kita tidak bisa saling bertemu.

Hingga hampir setahun, Risky berada di Thailand. Kami sudah tidak lagi saling memberi kabar.

Hubungan kami terputus begitu saja.

Sepertinya jarak dan waktu, benar-benar mampu mengubah segalanya.

Kini hari-hari ku, lebih sering disibukkan dengan usaha baru ku. Selain kuliah tentunya.

Aku membuka usaha sebuah coffe shop, bersama seorang teman, yang baru aku kenal beberapa bulan yang lalu.

Namanya Kevin, dia senior ku di kampus.

Kami berkenalan tak sengaja di media sosial, dan ternyata kami punya hobi yang sama.

Hingga akhirnya kami bisa bekerja sama, untuk membuka sebuah usaha.

Kevin orangnya baik, ramah dan juga pintar.

Sama seperti diriku, Kevin juga seorang perantau.

Setelah beberapa bulan bekerja sama, kami pun memutuskan untuk tinggal di  sebuah apartemen murah yang kami sewa secara patungan.

Tentu saja itu karena kami sudah punya penghasilan yang lumayan, dari usaha kami bersama.

Usaha kami memang boleh dibilang cukup maju, kami bahkan sudah punya beberapa orang karyawan untuk membantu kami.

Singkat cerita, aku dan Kevin pun kian menjadi mendekat. Kami hampir menghabiskan waktu 24 jam bersama.

Mulai dari di apartemen, di kampus dan di tempat kerja.

Secara fisik, Kevin sebenarnya cukup menarik. Meski tidak terlalu tampan, Kevin memiliki bentuk wajah yang tidak membosankan untuk dilihat.

Meski bertubuh sedikit kurus, namun Kevin cukup berotot dan sedikit terlihat kekar.

Awal-awal hubungan kami benar-benar hanya hubungan dua orang sahabat dan rekan kerja.

Namun akhir-akhir ini, entah mengapa, aku merasa Kevin mulai memberikan perhatian lebih padaku.

Aku sering memergoki Kevin menatapku diam-diam.

Aku mencoba mengabaikan hal tersebut, menganggap semua itu adalah hal biasa.

Namun kian hari Kevin kian berani. Dia jadi sering merangkulku, meski terlihat tanpa sengaja.

Sampai akhirnya pada suatu malam....

"aku suka sama kamu, Hend." begitu ucapan tegas Kevin padaku.

"aku sangat menyayangi kamu. Aku hubungan kita lebih dari pada ini..." Kevin melanjutkan lagi.

Terus terang meski aku sudah menduganya dari awal, namun tetap saja aku merasa kaget mendengarnya.

"aku tahu, kalau kamu juga seorang gay, Hend. Meski aku tidak tahu, bagaimana perasaan kamu terhadap aku..." Kevin berucap lagi.

"dari mana kamu tahu, kalau aku gay?" tanyaku penasaran.

"dari media sosial kamu, Hend. Suatu malam, aku pernah melihat notifikasi sebuah aplikasi di handphone kamu ..." jelas Kevin.

Aku terdiam kembali. Karena menurutku hal itu memang tidak begitu penting untuk dibahas.

"kamu mau gak, Hend? Kalau kita bepacaran." suara Kevin terdengar lagi. Aku mengangkat wajah, mencoba menatap mata Kevin.

Tapi aku tidak merasakan getaran apapun saat itu.

Yang terlintas dalam pikiranku, justru bayangan wajah Risky, dengan senyuman khas-nya.

Risky memang sudah hampir dua tahun berada di Thailand. Dan sudah hampir setahun, kami tidak lagi saling berkomunikasi.

Tapi sejujurnya aku belum benar-benar bisa melupakannya.

"maaf, Vin. Aku belum bisa ..." suaraku lirih.

Kulihat wajah Kevin tiba-tiba muram. Tapi aku memang tidak punya perasaan apa-apa sama Kevin.

"oke. Gak apa-apa, Hend. Tapi kita tetap berteman, kan?" balas Kevin.

Aku hanya mengangguk. Yah, semoga saja aku tetap bisa menjaga hubungan pertemanan kami.

Meski ke depannya, tentu semuanya akan berbeda. Apa lagi aku sudah tahu, kalau Kevin menyukaiku.

Tapi Kevin ternyata tidak menyerah begitu saja. Dia bahkan semakin memperlakukan ku dengan istimewa.

Hingga suatu hari aku sakit, Kevin-lah yang berusaha merawatku. Kevin rela menemaniku seharian, bahkan membawaku ke rumah sakit untuk berobat.

Kevin benar-benar penuh perhatian terhadapku.

Dia selalu berusaha untuk membuatku selalu tersenyum.

Dia berusaha untuk selalu ada untukku.

Segala perhatian Kevin terhadapku sebenarnya telah mampu menyentuh hati kecilku.

Namun bayangan Risky masih terus melintas di benakku. Meski Risky tak pernah lagi menghubungiku.

Semakin lama, aku semakin bingung dengan perasaanku sendiri.

Di satu sisi aku masih sering memikirkan Risky, aku masih merindukannya.

Namun ego-ku, tak ingin memulai untuk menghubunginya. Aku ingin Risky yang seharusnya menghubungiku duluan.

Dan di sisi lain, Kevin sudah terlalu sangat baik padaku. Dia sudah terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku.

Namun aku belum merasakan perasaan istimewa untuk Kevin. Tidak ada getar-getar apapun saat bersamanya. Aku merasa biasa saja.

*******

"hei, Hendra. Apa kabar kamu?" sebuah pesan masuk ke ponsel-ku. Aku melihat si pengirim. Risky!

Antara senang dan kecewa aku membacanya.

Senang karena Risky akhirnya menghubungiku. Tapi aku juga kecewa, karena setelah sekian lama Risky baru menghubungiku.

"aku baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?" aku membalas juga  pesan itu.

"aku juga baik. Aku mau telpon kamu boleh?" balas Risky cepat.

Aku terdiam sesaat. Setelah sekian lama tak berbicara dengan Risky, sejujurnya ada rasa canggung untuk memulainya kembali.

Tapi aku juga penasaran, kenapa tiba-tiba Risky menghubungiku.

"oke.." jawabku singkat.

Setelah beberapa saat, ponsel-ku pun berdering, aku segera mengangkatnya.

"aku minta maaf ya, Hend. Udah lama gak menghubungi kamu..." ujar Risky memulai pembicaraan.

Aku masih terdiam. Karena aku tidak benar-benar tahu, siapa yang salah dalam hal ini.

"tapi aku disini sangat sibuk, Hend. Memulai kehidupan baru, bertemu dengan orang-orang baru dan teman-teman baru." lanjut Risky.

"aku juga sengaja untuk memberi kita waktu, Hend. Memberi kita waktu untuk berfikir, sebesar apa sebenarnya cinta kita? Mampukah kita tetap bertahan, ketika jarak dan waktu memisahkan kita? Mampukah kita tetap setia?" Risky menghentikan kalimatnya. Aku mendengar ia menghempaskan napas berat.

"hingga akhirnya aku sadar, kalau aku sangat membutuhkan kamu dalam hidupku. Hari-hariku terasa hampa disini, Hend. Tapi aku juga harus membuktikan, apakah kamu tetap setia, meski aku tidak pernah mengabarimu?" Risky melanjutkan lagi.

Sampai saat itu aku masih belum berkomentar apa-apa.

"untuk itu aku menghubungi Kevin, sepupuku yang ada disana. Aku menceritakan semuanya kepada Kevin, dan memintanya untuk mendekati kamu. Mencoba untuk merebut hatimu..." lanjut Risky.

"maksud kamu, Kevin Ananta?" tanyaku penasaran, menyebutkan nama lengkap Kevin, yang selama ini tinggal bersamaku.

"iya. Dia sepupuku. Aku sengaja memintanya untuk mendekatimu. Hanya untuk menguji, sebesar apa sebenarnya kamu mencintaiku.." jawab Risky.

"jadi maksud kamu apa? Kamu sengaja ingin mempermainkan perasaanku?" tanyaku dengan suara cukup tinggi.

Menurutku apa yang Risky lakukan, sangat keterlaluan.

"terserah kamu mikirnya bagaimana, Hend. Tapi yang pasti, aku hanya ingin memastikan, bahwa kamu benar-benar mencintaiku. Agar aku tidak akan pernah menyesali keputusanku kelak. Terlalu banyak yang harus aku korbankan, Hend. Aku memang mencintai kamu, dan ingin hidup bersama kamu disana. Tapi itu artinya, aku rela terpisah dari kedua orangtuaku. Untuk itu, aku harus benar-benar yakin, kalau kamu tidak akan pernah meninggalkanku, jika nanti aku kembali kesana untukmu...." ucap Risky panjang lebar.

Untuk beberapa saat, aku terdiam. Mencoba memahami setiap kalimat yang dilontarkan Risky barusan.

Kemudian aku sadar, kalau semua itu sangat masuk akal. Dan itu artinya juga, Risky siap kembali untukku disini.

"oke, aku ngerti. Lalu apa sekarang?" ucapku akhirnya.

"beberapa hari yang lalu, untuk kesekian kalinya, Kevin menghubungiku. Sebenarnya, Kevin memang selalu menghubungiku, untuk mengabarkan semuanya. Dan kemarin Kevin bilang, kalau ia sudah capek dan menyerah, untuk berusaha merebut hatimu. Kevin mengatakan, kalau kamu masih tetap setia dengan perasaanmu padaku ..." jelas Risky.

"jadi?" tanyaku penasaran.

"jadi aku sudah ngomong sama kedua orangtuaku, kalau aku akan kembali ke Indonesia. Meski sedikit berat mereka akhirnya setuju. Aku kembali ke Indonesia, hanya untuk kamu, Hend. Dan jika kamu masih mencintaiku, aku menunggumu sekarang di tempat biasa kita bertemu. Aku sudah semenjak tadi disini...." jawaban Risky benar-benar membuatku terlonjak. Antara bahagia, terharu dan berbagai hal menghantui perasaanku.

Aku memang masih mencintai Risky, aku selalu merindukannya.

Aku pernah berharap, kalau Risky akan kembali untukku. Dan hari ini harapanku telah menjadi nyata.

Antara bahagia dan rasa tak percaya, aku pun bersiap-siap, untuk pergi menuju tempat biasa aku dan Risky memadu kasih.

****

Sekian ...

Romantisme dua sahabat (Rino dan Ben)

 RINO

Aku punya seorang teman. Lebih tepatnya, sih, sahabat.

Aku biasa memanggilnya Ben.

Aku dan Ben sudah berteman sejak awal-awal kami masuk SMA. Sekarang kamu sudah kuliah semester empat. Kami kuliah di kampus dan fakultas yang sama.

Ben orangnya baik, perhatian dan juga kami punya hobi yang sama. Makanan favorit kami juga sama.

Kami memang punya banyak kesamaan. Mungkin karena itu juga, kami menjadi sangat akrab.

Ben selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia rela meluangkan waktunya berhari-hari, hanya untuk menemaniku dan juga menghiburku dikala aku sedang galau.

Cerita gay

 

Aku memang sering galau, terutama soal cewek. Aku sudah teramat sering dikhianati dan diselingkuhi cewek. Dan Ben selalu ada untuk menghiburku.

Selain baik, Ben juga punya tampang yang lumayan, loh. Badannya juga bagus. Atletis.

Namun yang selalu menjadi tanda tanya bagiku, aku belum pernah mendengar atau pun melihat Ben pacaran. Padahal Ben orangnya sangat menarik dan banyak juga cewek yang suka sama dia.

Tapi Ben memang belum pernah pacaran.

"pacaran itu bikin ribet aja, Rin." jawab Ben beralasan, ketika suatu saat aku mempertanyakan hal tersebut.

"buktinya kamu sering galau, kan? karena cewek." lanjutnya.

Kalau dipikir, benar juga sih, kata Ben.

"tapi bukannya pacaran itu adalah warna dalam hidup.." balasku tanpa sadar, gak tahu juga kalimat itu datang dari mana.

"hidup terlalu banyak warna juga gak bagus, Rin. Lagi pula hidupku sudah penuh warna, kok. Apa lagi semenjak ada kamu di hidupku." balas Ben, dengan nada sedikit berkelakar.

Aku dan Ben memang sudah sangat akrab. Jadi kalimat-kalimat seperti itu sudah biasa terlontar dari mulut kami. Aku tidak akan terlalu menanggapinya.

Ben sering menginap di rumahku, begitu juga sebaliknya. Semua keluarga kami sudah tahu tentang persahabatan kamu. Aku justru sangat dekat dengan Ibunya Ben.

Ben anak tunggal. Ayahnya seorang satpam, dan Ibunya punya usaha kue di rumahnya.

Kehidupan Ben boleh dibilang cukup sederhana. Namun keluarga mereka terlihat bahagia.

Aku sendiri anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahku sudah meninggal beberapa tahun silam. Ketiga kakakku sudah berkeluarga dan sudah punya rumah sendiri.

Jadi aku tinggal hanya berdua dengan Ibu di rumah.

Ibuku punya usaha kafe yang cukup maju. Sebenarnya kafe itu, peninggalan ayahku. Sekarang dikelola oleh Ibu dan kakak tertuaku.

Secara ekonomi, kehidupanku memang cukup terpenuhi. Meski jujur, kadang aku juga sering merasa kesepian. Ibu lebih serig berada di kafe. Di rumah aku lebih sering sendirian.

Karena itulah mungkin, aku jadi suka gonta-ganti pacar. Sebagai pelarian dari rasa kesepianku.

Dan kehadiran Ben cukup membantu menutupi sebagian besar rasa kesepianku.

"kamu kenapa, Rin? Diputusin lagi?" tanya Ben suatu malam padaku. Aku sengaja menghubunginya malam-malam dan memintanya untuk datang ke rumahku.

"tapi kali ini lebih parah, Ben..." jawabku parau.

"parah? parahnya seperti apa?" Ben bertanya lagi, kalau sudah seperti ini, Ben jarang sekali bercanda.

"aku bukan cuma diputusin, Ben. Tapi juga ditinggal nikah.." balasku mengadu, "dan parahnya lagi, dia ngundang aku, Ben.." lanjutku dengan suara iba.

"ya udah, gak usah datang..." jawab Ben simpel.

"ya gak semudah itu juga, Ben. Kalau aku gak datang, berarti aku pengecut, dong..." balasku sedikit ngotot.

"ya udah, kalau gitu datang aja..." Ben menjawab lagi, dengan nada yang sangat santai. Mungkin sesantai hidupnya.

Ben memang selalu terlihat santai, dia tidak pernah terlihat punya masalah. Saking santainya, aku terkadang susah membedakan, kapan waktu ia serius dan kapan waktu ia becanda.

"tapi aku gak sanggup, Ben. Lihat dia bersanding dengan orang lain..." ucapku sedikit lebai, sih.

"terus kamu maunya gimana?" tanya Ben.

"ya, gak tahu. Aku bingung, Ben. Makanya aku butuh kamu disini..." balasku ringan, tanpa sadar aku pun menyandarkan kepalaku di pundak Ben.

"emangnya pernikahannya kapan, sih?" tanya Ben lagi.

"minggu depan.." jawabku manja, aku masih menyandarkan kepalaku, rasanya nyaman.

"berarti kamu masih punya waktu seminggu lagi, untuk menguatkan hatimu, agar tetap tegar melihat kenyataan..." ucap Ben lagi, sambil ia mendorong ringan kepalaku. Aku duduk tegak lagi di sampingnya.

Begitulah Ben. Ia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Kehadiran Ben, benar-benar mampu memberi warna tersendiri dalam hidupku.

Hingga suatu malam, aku memang sengaja mengajak Ben nginap di rumahku. Sorenya, kami baru saja menghadiri pesta pernikahan mantanku. Seperti saran Ben, aku memang sudah menguatkan hatiku, untuk melihat kenyataan. Sakit sih, sebenarnya. Namun aku berusaha tegar.

Dan malam itu, aku masih meminta Ben untuk menemaniku. Entah mengapa rasanya bebanku berkurang, setiap ada Ben di dekatku.

"makasih ya, Ben. Udah setia menemaniku selama ini..." ucapku pelan. Kami sama-sama terbaring telentang di ranjang.

"iya, sama-sama. Makasih juga udah mempercayaiku untuk menemani kamu..." balas Ben, terdengar sendu.

"kamu sangat baik padaku, Ben. Kamu sahabat terbaikku..." aku berucap lagi, meski kalimat itu sudah ribuan kali aku ucapkan pada Ben.

"biasa aja, Rin. Itulah gunanya sahabat..." balas Ben, kali ini ia melirikku sekilas.

"kenapa ya Ben? Aku tidak pernah beruntung dalam percintaan?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri.

"kamu bukan gak beruntung, Rin. Hanya saja, mungkin kamu belum bertemu orang yang tepat." Ben membalas ucapanku yang terdengar bijak.

"coba saja ada seseorang yang mencintaiku dengan tulus..." aku berujar lagi.

"ada kok, Rin. Kamunya aja yang belum menyadarinya..." balas Ben cepat.

Aku terdiam. Tidak mengerti juga dengan apa yang barusan diucapkan Ben.

Bagiku sekarang, semua cewek itu sama saja. Mereka tidak bisa menghargai perasaan cowok yang mencintai meraka.

Sudah berkali-kali, lebih dari enam kali, aku dikhiantai cewek. Rasanya kepercayaanku mulai memudar. Rasanya aku takut untuk berpacaran lagi. Aku takut terluka lagi.

Tiba-tiba Ben duduk, ia memutar tubuhnya untuk menatapku yang masih terbaring. Kedua tangan ben menyilang di dadanya.

"aku mau ngomong jujur sama kamu, Rin. Tapi kamu jangan marah, ya..." Ben berujar, tatapannya terlihat sendu.

"mau ngomong apa sih, Ben? Serius amat..." balasku sekenanya.

"tapi kamu janji dulu, gak bakal marah ..." ujar Ben lagi.

Aku mengangguk ringan. Selain penasaran, aku juga yakin, Ben gak bakal ngomong yang macam-macam.

Kulihat Ben manarik napas dalam. Ia memejamkan mata. Kedua tangannya mengepal.

Aku semakin panasaran. Sepertinya, apa yang ingin disampaikan Ben sangat penting dan serius.

"aku...aku...aku suka sama kamu, Rin..." suara Ben bergetar dan terbata, aku hampir tidak mendengarnya dengan jelas.

"maksudku, aku ... suka sama kamu, lebih dari sekedar sahabat ..." Ben melanjutkan lagi.

Aku tiba-tiba merinding.

"entah kapan perasaan itu datang, Rin. Aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti, aku merasa sangat nyaman saat bersama kamu. Aku bahagia bisa bersama kamu. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak sanggup lagi memendamnya. Aku ... aku jatuh cinta sama kamu, Rin. Aku sangat menyayangimu..."

Ben terus berujar, kali ini cukup lancar. Ia bahkan cukup berani menatap mataku.

Aku terkesima. Berbagai perasaan berkecamuk seketika.

Ben ternyata gay!

Oh, tidak...!!

Kemana saja aku selama ini?

Kenapa selama ini aku tidak pernah curiga?

Tidak ada sekalipun tingkah pola Ben yang menunjukkan kalau ia seorang gay.

Pantas Ben tak pernah pacaran.

"kamu boleh membenciku, Rin. Kamu boleh tidak mau lagi berteman denganku. Tapi setidaknya, aku merasa lega sekarang, karena sudah mengungkapkan semuanya."

Selepas berkata demikian, Ben bangkit, lalu melangkah pelan menuju pintu.

"kamu... kamu mau kemana?" tanyaku, aku merasakan suaraku ikut bergetar.

Ada yang terasa asing bagiku. Tiba-tiba saja, ada jarak yang membentang diatara kami.

"aku pulang, Rin. Aku tak seharusnya berada disini..." jawab Ben, sambil ia membuka pintu dan melangkah keluar.

Aku terpaku menatap kepergian Ben. Aku yakin setelah ini, hubungan kami akan terasa berbeda.

Tidak akan ada lagi hari-hari indah dengan tawa Ben. Jarak itu akan semakin melebar.

Tapi aku tidak tahu, apa yang aku rasakan sebenarnya saat ini.

Di satu sisi, aku sangat membutuhkan Ben sebagai sahabat. Namun di sisi lain, aku jelas tidak akan merasa nyaman lagi, jika terus bersama Ben.

Ben, Ben...

Kenapa sih kamu?

Kenapa kamu harus jatuh cinta padaku?

Jadi bingung, kan saya?

Hidup yang awalnya terasa begitu santai dan ringan. Sekarang tiba-tiba terasa berat.

*****

Esoknya aku tidak melihat batang hidung Ben di kampus. Sepertinya ia memang tidak datang. Aku tidak berani bertanya, tidak berniat juga untuk menghubunginya.

Sepertinya Ben memang sengaja membuat jarak diantara kami kian terbentang luas.

Sebenarnya aku tidak marah pada Ben. Aku juga tidak membencinya.

Hanya saja ada perasaan aneh yang menghantuiku setiap kali aku mengingat Ben. Apa lagi mengingat kedekatan kami selama ini.

Lebih dari seminggu Ben tidak menampakkan dirinya di kampus. Aku mulai penasaran. Dan perlahan rasa kehilangan muncul tiba-tiba dihatiku.

Aku yang biasanya selalu bersama Ben, kini harus melangkah sendiri. Rasanya ada yang kurang.

Namun aku tak berniat untuk menghubunginya.

Bukankah seharusnya dia yang menghubungiku? tanya egoku dalam hati.

Aku tidak tahu, kenapa Ben tiba-tiba menghilang, setelah ia mengungkapkan perasaannya padaku.

Mungkin saja dia malu untuk bertemu lagi denganku.

Hampir sebulan aku tidak pernah lagi bertemu dengan Ben. Dia tidak pernah terlihat lagi di kampus.

Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Antara penasaran rasa khawatir, aku pun mencoba menghubungi Ben. Tapi nomornya tidak aktif.

Aku semakin penasaran. Aku hubungi nomor telepon rumahnya.

"ya, mau berbicara dengan siapa?" suara Ibu Ben terdengar di seberang sana.

"Ben... Ben-nya ada, tante?" tanyaku terbata.

"Ben? Kamu siapa?" tanya suara itu balik.

"saya Rino, tante..." jawabku cepat.

"oo nak Rino. Apa kabar kamu? udah lama gak ke rumah.." suara Ibu Ben terdengar lembut.

"iya, tante. Maklum, lagi banyak tugas di kampus." jawabku sekenanya.

"Ben-nya ada tante?" tanyaku lagi.

"emangnya Ben gak cerita sama kamu?" Ibu Ben justru balik bertanya lagi.

"cerita soal apa ya, tante?" tanyaku penasaran.

"aduh, Ben masa' gak cerita sama sahabatnya sendiri.." balas Ibu Ben, terdengar geram. "jadi Ben itu pindah kuliah ke Bandung, ia ikut pamannya disana. Sudah dua minggu ini, ia pindah kesana. Masa' Rino gak tahu?" lanjutnya lagi.

"oh, iya, tante. Saya yang lupa..." jawab saya asal, kemudian buru-buru menutup telepon.

Bandung? Ngapain Ben harus pindah ke Bandung?

Ben benar-benar membuatku semakin bingung.

*******

BEN

Aku harus pergi. Aku sudah terlanjur malu pada Rino. Aku sudah terlanjur jujur padanya. Saat ini mungkin Rino sudah membenciku. Aku takut bertemu dengan dia lagi.

Untunglah ayah dan Ibu setuju aku pindah, karena memang dari awal mereka sebenarnya ingin aku kuliah di Bandung. Tapi karena aku yang ingin selalu bersama Rino, tetap ngotot untuk kuliah di kota kelahiranku.

Sudah hampir dua bulan aku disini. Rasa rinduku kian berat. Tapi aku harus bisa menahannya.

Perasaanku terhadap Rino adalah sebuah kesalahan. Aku harus bisa memupusnya, meski terasa berat.

Rino terlalu sempurna untuk bisa aku lupakan. Rasa cintaku terlalu besar padanya. Aku takkan mampu menghapusnya.

Rino yang tampan dengan senyum manisnya. Matanya yang teduh dan hidungnya yang mancung, selalu menghiasi anganku.

Tubuh kekarnya selalu melintas di benakku.

Cinta ini terlalu dalam, bahkan teramat dalam.

Namun justru kedalamannya itu, yang membuat aku sakit.

Sakit karena tidak bisa memilikinya.

Aku tak menyalahkan Rino, karena telah membuatku jatuh cinta padanya. Aku juga tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Bahkan aku tidak ingin menyalahkan takdir.

Jika pun ada yang harus kupersalahkan, mungkin cintaku yang salah berlabuh.

Disini aku harus belajar mandiri. Belajar hidup tanpa ada Rino di sampingku.

Aku harus kuat, aku harus bisa.

Meski rasa rindu, menyayat-nyayat hatiku, setiap saat.

Ting tong! Ting tong!

Suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bergegas keluar kamar dan menuju ruang tengah untuk membukakan pintu.

Mungkin paman atau bibi sudah pulang. Bathinku.

Namun saat pintu terbuka, aku terperanjat.

Berkali-kali aku kucek mataku sendiri, hanya sekedar untuk meyakinkan, bahwa cowok yang berdiri di depanku adalah Rino.

"Rino?" ucapku setengah tak percaya.

"ngapain kamu disini? dari mana kamu tahu aku disini?" tanyaku beruntun.

"satu-satu dong, pertanyaannya. Aku jadi bingung mau jawab yang mana..." balas Rino, ia terlihat santai.

"tapi pertama-tama, aku gak dipersilahkan masuk nih?" lanjut Rino. Ia tersenyum. Seperti yang aku bilang, senyumnya itu manis banget.

"oh, iya. Mari masuk, Rin..." jawabku bergetar, karena grogi tiba-tiba.

"sepi, ya..." ucap Rino, ketika kami sudah duduk di ruang tamu rumah pamanku.

"iya. Aku sendirian di rumah. Paman dan Bibi memang setiap hari selalu kerja, dan mereka juga belum punya anak. Karena itu, mereka sangat senang aku pindah kesini. Biar ada yang jaga rumah katanya.." jawabku panjang lebar.

Kulihat Rino hanya manggut-manggut, ia masih saja tersenyum manis.

"kamu belum jawab pertanyaanku, Rin." ucapku kemudian, setelah kami terdiam sesaat. Aku tak sanggup menentang tatapan Rino, karena itu aku hanya tertunduk.

"oh, iya, lupa." balas Rino, "aku tahu kamu disini, sudah pasti dari Ibumu-lah Ben. Dan kenapa aku disini, itu karena.... aku..... aku kangen sama kamu, Ben..." Rino melanjutkan dengan suara tiba-tiba terbata.

Kali ini aku mendongak, mencoba membalas tatapan mata Rino. Mencari setitik kejujuran disana.

"kamu kangen?" tanyaku penasaran.

"iya. Aku kangen kamu, Ben. Aku kangen ceritamu, aku kangen tawamu, aku kangen menghabiskan hari-hari bersamamu. Kamu balik ya, Ben. Aku ingin kita bersama-sama lagi. Hidupku tanpa kamu kacau, Ben. Aku kesepian. Aku ... aku juga sayang sama kamu, Ben." Rino berucap sambil terus menatapku. Aku melihat mata itu berkaca-kaca.

"kamu balik ya, Ben..." lanjut Rino, kali ini dengan nada sedikit memohon.

"tapi aku gak bisa, Rin. Aku gak mungkin balik kesana. Aku sudah terlanjur janji sama Ibu dan Ayah, akan menyelesaikan kuliahku disini..." balasku.

"kalau begitu, aku yang akan pindah kesini..." suara Rino tegas.

"kamu jangan main-main, Rin.." balasku lagi.

"aku gak main-main. Aku serius. Begitu juga dengan perasaanku padamu. Aku hanya ingin selalu bersama kamu. Hidupku hampa tanpa kamu, Ben."

"tapi bagaimana dengan Ibumu, Rin?"

"Ibu pasti setuju aku pindah kesini. Lagi pula di rumah aku juga selalu sendiri. Ibu terlalu sibuk dengan bisnisnya."

"lalu disini kamu mau tinggal dimana" tanyaku.

"aku bisa kost..." jawab Rino, terdengar begitu yakin.

"maafkan aku ya, Rin. Seharusnya tak seperti ini.." aku berucap dengan nada menyesal.

Sejujurnya, setelah tahu seperti ini, aku memang menyesal, karena buru-buru memutuskan untuk pindah. Seandainya aku bisa sedikit lebih sabar...

"gak, Ben. Kamu gak salah. Aku yang salah. Aku yang terlambat menyadari perasaanku sendiri. Aku yang terlalu egois, untuk menutupi hatiku sendiri. Setelah kamu pergi, aku baru sadar, jika aku sangat membutuhkanmu..." Ben berucap, sambil ia berpindah duduk di sampingku.

"sekarang aku disini, Ben. Tolong jangan tinggalkan aku lagi." lanjut Rino, sambil menyentuh lembut jemariku.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Rin. Aku akan selalu mencintai kamu..." balasku.

Tiba-tiba Rino melingkarkan tangannya di tubuhku. Ia mendekapku erat. Aku membalas dekapan itu, tubuh Rino terasa begitu hangat.

"I Love You..." bisik Rino di telingaku, yang membuat perasaanku berbunga. Segala rasa bahagia menyeruak di hatiku. Rino, sekarang bukan lagi sekedar sahabatku, tapi ia telah menjadi kekasih hatiku.

"I love you too..." balasku lembut.

"kita ke kamar, yuk.." ajakku, "takutnya nanti paman atau bibiku pulang..." lanjutku lagi, sambil berdiri dan melangkah menuju kamar.

Rino mengikuti langkahku. Sesampai di dalam, aku segera menutup dan mengunci pintu. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bertahun-tahun aku hanya bisa memendam perasaanku. Bertahun-tahun aku hanya bisa berkhayal tentang Rino.

Dan malam ini, dia ada disini. Dihadapanku. Nyata. Bukan sekedar khayalan belaka.

Pria tampan dengan senyum manisnya dan tubuhnya yang kekar itu, sekarang bukan lagi sekedar sahabat bagiku.

Aku bebas melakukan apa saja padanya mulai malam ini dan selanjutnya.

Aku akan berusaha menjadi pasangan yang baik untuknya. Aku akan membuat Rino tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk berpacaran denganku.

Aku akan menjaga cinta kami. Membuatnya selalu merasa bahagia...

****

Selesai...

Bersama sang tutor yang manis ...

Umur saya 26 tahun. Saya sudah 2 tahun lulus kuliah dan bekerja sebagai seorang tenaga honorer di sebuah sekolah swasta. Saya sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh dinas Pendidikan. Dan kali ini, saya juga mengikuti pelatihan di sebuah hotel di kota P. Saya berangkat pagi tadi dari rumah. Dan sampai di hotel sekitaran jam 1 siang.

 

sang penuai mimpi

 

Saat itu, sudah banyak peserta yang datang dari berbagai daerah. Saya langsung menuju kamar yang telah di sediakan oleh panitia. Berdasarkan keterangan dari resepsionis tadi teman satu kamar saya tidak bisa datang. Jadi selama pelatihan ini, saya hanya sendirian di kamar ini.
Pelatihan dibuka jam 4 sore nanti, jadi saya masih punya waktu untuk istirahat sejenak.

Pelatihan dilaksanakan selama seminggu. Dari pagi sampai malam setiap hari. Ada beberapa orang tutor yang hadir pada saat pelatihan itu. Tapi mereka semua tidak ada yang menginap, kecuali bagi yang dapat jadwal menjadi tutor pada malam hari. Pelatihan pada malam hari selesai setiap jam 10 malam.

Pada malam keempat pelatihan. Tutornya seorang laki-laki yang menurut saya manis banget. Wajahnya biasa saja, namun ada lesung pipi tipis yang membuatnya enak dilihat, apa lagi ketika ia tersenyum. Namanya pak Hafis. Badannya juga bagus. Saya suka lihat pria seperti itu. Pria idaman saya banget.

Pelatihan selesai pas jam 10 malam. Saya melihat pak Hafis keluar ruang aula dengan santai. Ngobrol dengan beberapa orang peserta lainnya. Tanpa sengaja mata kami bertatapan, ia tersenyum. Saya sedikit grogi, tapi berusaha membalas senyumnya. Sebagian peserta sudah banyak yang masuk ke kamarnya masing-masing. Mungkin karena udah capek mengikuti pelatihan seharian.

Tiba-tiba pak Hafis memanggil saya dari kejauhan. "Hei! Kamu Abe, kan?" tanyanya kemudian setelah ia berdiri disamping saya.
"iya, pak.." jawab saya sedikit bingung, dari mana pak Hafis tahu nama saya.
"Jadi gini." ucap pak Hafis lagi. "tadi teman-teman bilang, kalau kamu sendirian aja di kamar itu..." lanjutnya.
"Iya, pak..." jawab saya lagi. "teman sekamar saya gak jadi datang. Katanya istrinya melahirkan." lanjut saya menjelaskan.
 
"Oh. Jadi saya bisa numpang nginap malam ini di kamar kamu, kan? Soalnya mau pulang udah larut gini.." katanya.
"bisa pak.." jawab saya cepat.
"oke. yuk kita langsung ke kamar aja.." ajak nya.
"yuk, pak..." balas saya sambil mulai melangkah menuju kamar saya yang berada dilantai 3 hotel itu.
Pak Hafis mengikuti saya berjalan disamping.

Sesampainya di kamar, pak Hafis langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Ranjang itu cukup luas untuk dua orang. Saya menaruh berkas dan laptop saya di meja. Kemudian duduk di sisi ranjang.
"Abe berasal dari mana?" pak Hafis bertanya.
"oh, saya dari desa M, pak. gak terlalu jauh dari kota ini." jawab saya.
"capek kali.." ucap pak Hafis, setelah lama kami terdiam.

"Pak Hafis mau saya pijitin?" tanya saya menawarkan diri.
"emangnya Abe bisa mijit..?" tanya pak Hafis.
"Sedikit bisa lah, pak..." jawab saya, "bakat warisan..he...he..he.." lanjut saya mencoba sedikit akrab.
"maksudnya..?" pak Hafis bertanya lagi, keningnya berkerut.
"Iya. Ayah saya seorang tukang urut di kampung. Beliau cukup terkenal dalam dunia pijit.." jelas saya.

"oh." pak Hafis manggut-manggut, "ya udah, boleh dicoba.." lanjutnya.
Pak Hafis berdiri dan membuka baju dan celananya. Saya melihat tubuh pak Hafis yang atletis itu dengan jelas. Dadanya berotot dan perutnya ramping, lengannya juga bagus. Kekar. Benar-benar pria idaman saya. Saya kemudian membuka baju dan celana saya juga. Saya memakai celana pendek favorit saya yang sering saya pakai untuk tidur. Sementara pak Hafis hanya memakai CD.
  

 Pak Hafis tengkurap. Dan saya mulai mengurut bagian punggungnya. Kulit pak Hafis bersih dan terawat. "Pijitan enak.." ujar pak Hafis.
"oh, ya. Makasih pak.." balas saya sedikit bangga.  Karena saya memang sering ikut dengan ayah saya memijat pelanggan. Saya tahu sedikit banyak tahu teknik memijit yang baik.

Saya melanjutkan pijitan saya di badan pak Hafis. Dari punggung saya pindah ke paha dan betisnya. Mengurutnya dengan lembut. Kemudian saya meminta pak Hafis untuk telentang. Saya mulai mengurut bagian kakinya lagi. Kaki pak Hafis dipenuhi bulu-bulu halus yang rapi.

"Pak hafis sudah berapa anaknnya?" tanya saya, mencoba memecah keheningan.
"belum punya.."jawab pak Hafis. "Saya udah hampir 4 tahun menikah, tapi belum punya anak.." lanjutnya lagi.
Saya manggut-manggut.
"kamu? udah nikah?" tanyanya kemudian.
"belum pak.." jawab saya jujur.
"Kenapa?" tanyanya lagi, "kamu kan cakep gini.." lanjutnya memuji. dan saya tersanjung.

"mungkin belum ketemu yang cocok pak.." jawab saya. "umur pak Hafis berapa?" lanjut saya bertanya.
"tahun ini udah 33 tahun.." jawabnya. Saya terus mengurut bagian kaki pak Hafis.
Kemudian saya melanjutkan mengurut bagian dada pak Hafis. Mata kami saling bertatapan dan pak Hafis tersenyum lagi. Senyum yang begitu manis.

Dada saya berdegup sangat kencang, namun segera saya pun memalingkan wajah. Saya takut terlalu lama menatap wajah manis pak Hafis. Saya takut tidak bisa menahan perasaan saya. Untuk itu saya pun segera mengakhiri pijitan saya di badan pak Hafis.
"udah selesai?" tanya pak Hafis, melihat saya mulai berdiri.
"udah pak..." jawab saya ringan.
"oh. Oke... makasih ya..." ucap pak Hafis lagi.
 "ya, pak. sama-sama..." balasku sambil menuju kamar mandi, untuk membersihkan tangan saya yang terkena minyak urut.

Malam itu saya lihat pak Hafis tertidur pulas. Mungkin beliau capek atau mungkin juga merasa  enakan karena habis saya pijit.

Saya hanya bisa menatap wajah manis pak Hafis yang sedang tertidur dan membayangkan senyum manisnya hingga saya pun tertidur dengan pulas....

************

Beberapa hari setelah kegiatan pelatihan itu usai, tiba-tiba pak Hafis menghubungiku lagi.

Ia memintaku untuk datang ke sebuah hotel di kota.

Terus terang aku merasa cukup kaget, kenapa tiba-tiba saja pak Hafis ingin bertemu lagi denganku, dan lebih kagetnya lagi, ia mengajakku bertemu di sebuah hotel.

Namun karena aku yang memang dari awal sangat mengagumi sosok pak Hafis, aku pun berangkat ke kota untuk menemuinya.

Sepanjang perjalanan, aku terus bertanya-tanya. Ada apa gerangan pak Hafis mengajakku ketemuan?

Mungkinkah ia ingin aku memijatnya lagi, seperti pada malam itu?

Mungkin ia ketagihan dengan pijatanku yang memang enak, sih.

Atau mungkin ada hal lain?

Aku tak tahu, dan tak berani juga untuk bertanya ketika di telpon.

Namun yang pasti, hatiku begitu gembira, bisa bertemu lagi dengan pria idamanku itu.

Sesampai di hotel, aku langsung menuju kamar yang sudah disebutkan pak Hafis tadi.

"hei. Apa kabar kamu?" tanya pak Hafis mengawali pembicaraan kami, ketika aku sudah berada di depan kamarnya. Lalu kemudian ia pun mempersilahkan aku masuk.

Dengan perasaan tak karuan, aku masuk ke kamar hotel itu. Dadaku berdebar hebat.

Bukan saja, karena melihat senyum pak Hafis yang memang manis itu, tapi juga melihat tubuhnya yang bertelanjang dada.

"baik, pak Hafis. Bapak sendiri gimana kabarnya?" ucapku, saat aku sudah duduk di sisi ranjang.

"baik, sih. Cuma agak capek.." jawab pak Hafis, sambil terus tersenyum.

"oh.." desahku membulatkan bibir.

"jadi ada apa, nih. Kok, tiba-tiba pak Hafis meminta saya untuk datang kesini?" tanyaku melanjutkan.

"ada dua hal yang menyebabkan saya ingin bertemu kamu malam ini." jawab pak Hafis, masih dengan senyum khas-nya.

"yang pertama, aku pengen dipijat kamu lagi. Pijatan kamu enak." lanjutnya.

Aku masih terdiam, dengan perasaan sedikit bangga. Sambil menunggu pak Hafis melanjutkan kalimatnya, aku melihat jam di hp-ku, sudah jam delapan malam.

"yang kedua, saya ingin ngomong sesuatu sama kamu." pak Hafis melanjutkan lagi.

"ngomong apa, pak?" tanyaku spontan.

"tapi sebelumnya kamu jangan panggil bapak lah, usia kita juga gak terpaut begitu jauh. Panggil abang aja..." pak Hafis berucap, sambil sedikit bergeser mendekat.

Kami duduk di sisi ranjang dengan jarak yang cukup dekat.

"oke, pak. Eh, bang Hafis..." balasku ragu, terus terang aku merasa cukup canggung, karena sudah terbiasa memanggilnya pak. Tapi pak Hafis memang masih muda, sih.

"jadi mau pijit saya dulu, atau mau dengar cerita saya?" tanya pak eh, bang Hafis kemudian.

"bagaimana kalau sekali jalan. Maksud saya, bang Hafis cerita sambil saya pijitin..." ucapku menyarankan.

"ide yang bagus. Tapi kamu gak apa-apa kan mijitin saya?" balas bang Hafis lagi.

"gak apa-apa, bang. Buat bang Hafis apa sih yang gak..." ucapku dengan nada berkelakar.

"ah, kamu bisa aja.." bang Hafis berujar, sambil mulai tengkurap di ranjang.

Aku segera berdiri, dan mulai memijat kaki bang Hafis.

"bang Hafis mau cerita apa?" tanyaku ringan, sambil terus memijat kaki bang Hafis.

"tapi kamu jangan marah, ya.." balas bang Hafis.

"udah, tenang aja, bang. Saya gak bakal bisa marah sama abang.." ucapku mulai merasa akrab.

"sebenarnya sejak malam kita tidur sekamar saat pelatihan minggu lalu, entah mengapa saya jadi sering mikirin kamu. Kamu orang yang menarik dan juga tampan." bang Hafis memulai kalimatnya, yang membuatku merasa tak karuan.

"aku suka sama kamu, Be. Mungkin ini terdengar aneh bagi kamu. Tapi.... saya memang seorang gay. Walau saya udah menikah, tetap saja rasa tertarik saya sama laki-laki selalu datang. Selama ini, saya selalu bisa menahan perasaan saya, kepada laki-laki yang menarik perhatian saya. Tapi semenjak kenal sama kamu, saya... tidak mampu menahannya lagi. Kamu terlalu menarik buat saya..."

Ucapan bang Hafis barusan, benar-benar membuatku merasa tersanjung. Ternyata bang Hafis, juga seorang gay. Dan yang paling membuatku bahagia, ternyata dia juga tertarik padaku.

Aku masih terus memijat kaki bang Hafis, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung, sih, mau ngomong apa saat itu.

"kamu kok diam, Be? Kamu merasa jijik ya mendengarnya?" tiba-tiba bang Hafis berucap lagi, saat suasana tiba-tiba hening.

"ha? gak kok, bang. Justru saya .... saya merasa senang mendengarnya. Sebenarnya saya.... saya juga gay, bang. Dan saya juga sangat menyukai bang Hafis..." walau dengan suara terbata, aku pun merasa lega, setelah mengungkapkan hal itu. Setidaknya itulah yang aku rasakan terhadap bang Hafis.

Mendengar kalimat itu, tiba-tiba bang Hafis memutar tubuhnya hingga telentang, lalu ia duduk bersila di depanku. Mata kami saling tatap, wajah kami hanya berjarak kurang lebih sejengkal.

Pak Hafis tersenyum lagi, senyum yang sangat manis. Aku memang sangat mengagumi senyum manis bang Hafis. Senyum itu terlalu manis.

"bang Hafis manis..." ucapku tanpa sadar, mengungkapkan kekagumanku.

"kamu juga tampan.." balas bang Hafis terdengar lirih.

Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aku memejamkan mata, merasakan sensasi keindahan yang luar biasa itu. Jiwaku terasa melayang. Aku merasa seakan terbang di angkasa yang penuh bintang-bintang yang indah.

Sungguh malam yang teramat indah bagiku. Malam yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.

Bang Hafis benar-benar lelaki yang luar biasa. Aku dibuatnya terlena dalam buaian cinta yang indah.

Aku pun berusaha membuat bang Hafis terbuai dengan caraku.

Hingga kami pun sama-sama melayang dalam buaian mimpi yang sempurna.

Cinta kami memang terasa sempurna malam itu.

Hingga kami pun terlelap dalam tidur yang begitu pulas.

************

Sejak malam itu, aku dan bang Hafis jadi sering bertemu. Setidaknya sekali dalam seminggu, kami selalu membuat janji bertemu di hotel.

Hubungan kami terjalin indah. Bang Hafis, mampu menyempurnakan hidupku.

Walau aku tahu, dia sudah beristri. Namun itu tidak menghalangi kesempurnaan cintaku untuknya.

Aku sangat mencintai bang Hafis. Dia begitu berarti bagiku. Aku bahagia bisa melewati hari-hari bersamanya. Selain membuat janji bertemu setiap minggunya, kami juga sering saling telpon-telponan.

"kamu mau abang bikinin anak gak?" kelakar bang Hafis, suatu malam ketika kami bertemu lagi di hotel, seperti biasa.

"emang bisa?" tanyaku, meski aku sudah tahu pasti, bang Hafis hanya becanda.

Bang Hafis tertawa ringan, kemudian berujar,

"seandainya saja bisa, Be..." balas bang Hafis, lebih terdengar seperti sebuah keluhan.

Aku terdiam. Aku tahu, bang Hafis sangat ingin sekali segera mempunyai keturunan. Setelah sekian tahun ia menikah dengan istrinya, namun istrinya belum juga kunjung hamil.

Aku juga kadang sering berandai-andai, ingin bisa memberi keturunan untuk bang Hafis.

Tapi, ya sudahlah.

Ada takdir yang tak bisa ku lawan, yakni takdir ku sebagai laki-laki.

Hingga setahun kemudian, bang Hafis bercerita kalau istrinya sudah hamil sekarang. Sudah empat bulan.

Aku merasakan kebahagiaan bang Hafis saat menceritakan hal tersebut. Dan terus terang, sebagai orang yang sangat mencintai bang Hafis, tentu saja ada rasa cemburu di hatiku.

Namun aku coba mengabaikannya. Jika hal itu bisa membuat bang Hafis bahagia, aku harusnya juga turut bahagia.

Semenjak kehamilan istrinya, aku jadi jarang bertemu bang Hafis lagi. Dia selalu punya alasan untuk tidak bisa bertemu denganku.

"minggu ini aku harus menemani istriku ke rumah sakit. Jadi maaf, ya. Kita gak bisa bertemu dulu.." begitu ucap bang Hafis di telpon, saat suatu ketika aku mengajaknya ketemuan seperti biasa.

Dan hal itu terus terjadi dari minggu ke minggu. Ada saja alasannya untuk menolak ajakanku.

Awalnya aku coba mengerti. Mungkin saat ini, istri bang Hafis memang lagi sangat membutuhkannya. Karena kehamilannya yang kian membesar.

Tapi lama-kelamaan aku merasa bang Hafis semakin berubah. Ia tak lagi semanis dulu, saat ditelpon. Bahkan ia semakin jarang mengangkat telponku.

Hingga kemudian bahkan nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku sudah tidak bisa menghubunginya.

Aku kecewa dengan bang Hafis. Jika memang ia tidak lagi ingin bersamaku, mengapa ia tidak berterus terang saja. Mengapa ia harus menghilang begitu saja?

Mengapa ia harus menggantungku seperti ini?

Aku ikhlas, jika bang Hafis memutuskanku karena ingin bersama istrinya. Tapi setidaknya beri aku kepastian, jangan biarkan aku menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.

Namun kepada siapa aku harus menyampaikan pesan itu?

Aku hanya bisa memendamnya sendiri.

Tanpa ada siapapun yang tahu.

Hubungan indahku dengan bang Hafis berakhir begitu saja. Tanpa ada penjelasan dan tanpa ada keputusan.

Namun bagiku semuanya sudah cukup jelas.

Bang Hafis tidak lagi ingin berhubungan denganku. Dan aku harus belajar untuk bisa melupakannya.

Namun segala kenangan indahku bersama bang Hafis, akan selalu kusimpan di relung hatiku yang terdalam.

Kan ku jadikan bang Hafis sebagai kenangan yang terindah....

****
Sekian ...

Cinta pemuda desa yang harus berakhir tragis ...

Namanya Hans. Terasa tak mau hilang nama itu dari hati ku. Nama seorang pemuda kampung yang kekar dan tampan.
Sebenarnya ia seorang lelaki normal, dia juga sudah punya tunangan waktu itu.
Kisah ini terjadi sekitar dua tahun yang lalu.
Kisah ini berawal ketika aku melaksanakan kegiatan KKN di sebuah desa yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal dan kuliah.
Sebuah desa yang terbilang sudah cukup maju dan berkembang. Sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai nelayan di sungai yang memang berada tidak jauh dari desa. Sebagian lagi ada yang bertani dan berkebun.
Penduduk desa sangat ramah dan sangat senang kami berada di sana.

 

Cerita gay sang penuai mimpi

 

Kami melaksanakan KKN selama dua bulan disana. Kami berjumlah sembilan orang, empat orang laki-laki dan lima orang perempuan.
Kami yang laki-laki tinggal di sebuah rumah kosong milik warga, yang memang sudah lama tidak berpenghuni, karena yang punya rumah, kabarnya sudah pindah ke rumah nya yang baru.
Sedangkan yang perempuan, tinggal di salah satu rumah warga yang tidak jauh dari tempat kami tinggal.
Para pemuda di sana sangat aktif membantu segala kegiatan kami di sana.
Dan disana lah aku berkenalan dengan Hans.

Hans seorang pemuda yang cukup pendiam, dia tak banyak bicara. Tapi ia cukup banyak membantu kami selama di sana.
Hans sendiri bekerja sebagai nelayan. Dia anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya sudah lama meninggal. Adiknya yang paling bungsu perempuan masih duduk di kelas 2 SMA waktu itu, sedangkan adiknya yang nomor dua laki-laki sudah kuliah di kota.
Hans baru berusia 25 tahun waktu itu. Setamat SMA dia tidak bisa kuliah, karena harus bekerja untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Ibu nya yang sudah cukup tua, sudah sering sakit-sakitan. Jadilah Hans tulang punggung keluarga nya.
Hans di kenal sebagai pemuda yang baik dan juga soleh.
Ia bertunangan dengan seorang gadis yang berasal dari desa itu juga.
Menurut cerita Hans, pertunangan itu bukan lah atas keinginannya sendiri. Ibunya lah yang memaksa ia untuk bertunangan dengan gadis itu. Dan sebagai anak yang patuh, Hans tak ingin menolaknya.
Apalagi kedua orang tua gadis itu, begitu menginginkan Hans untuk jadi menantu nya.

Karena sering melakukan kegiatan bersama, aku dan Hans menjadi dekat dan cukup akrab.
Hans mengajarkan banyak hal padaku selama aku disana.
Hans juga sering mengajak ku, untuk ikut dengan nya menangkap ikan di sungai. Hans bahkan sering mengajak aku makan dan tidur di rumah nya. Ibu nya juga sangat baik padaku.
Kami menjadi sangat akrab dan lama kelamaan aku menjadi tertarik pada Hans.
Aku merasa bahagia setiap kali bersama nya. Hidup menjadi begitu indah bagiku.
Dan tanpa aku sadari aku pun jatuh cinta pada Hans.
Segala kesederhanaan Hans membuat aku begitu memuja nya.
Dia menjadi begitu berarti bagi ku. Kadang aku merasa begitu kesepian jika sehari saja tak jumpa dengan nya.
Aku selalu memikirkan Hans di setiap malam ku. Aku selalu teringat canda dan tawa nya yang begitu renyah.
Sikap nya yang santun dan sederhana, membuat aku semakin memuja nya.
Hans yang baik dan ramah, Hans yang selalu berhasil membuat aku selalu tersenyum.
Ia selalu hadir saat aku membutuhkannya.

Cinta memang telah bersarang di hati ku. Menumbuhkan benih-benih yang kian hari kian mekar kurasakan. Namun aku tahu, sangat tak mungkin bagi Hans, merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan pada nya.
Biar bagaimana pun, Hans adalah lelaki normal. Dan ia juga akan segera menikah.
Tapi semua rasa cinta ku pada nya begitu tulus. Aku tak berharap bisa memilikinya. Karena aku cukup sadar siapa diriku. Namun kedekatan kami sudah lebih dari cukup bagi ku.
Mengenal Hans dan menjadi dekat dengannya, merupakan sebuah anugerah bagiku.
Dan mencintai nya adalah sebuah kebahagiaan.
Aku tak berharap apa pun dari semua itu. Cukuplah bagi ku mencintainya dalam diam ku.
Mengaguminya dengan setulus hati ku.

*****************

Pada saat malam terakhir kami disana, kami dan pemuda disana melaksanakan kegiatan semacam acara perpisahan. Malam itu, setelah selesai acara, Hans mengajak ku tidur di rumahnya, sebagai malam terakhir katanya.
Aku dan Hans mengobrol cukup lama, sebelum akhirnya kami tertidur.
Sebelum waktu subuh, aku terbangun. Aku tatap wajah tampan milik Hans, sangat lama. Aku tatap seakan ingin menciumi lembut pipi itu.
Hans tidur tanpa baju, badan nya yang kekar dan cukup atletis terpapar jelas di mata ku.
Aku menatapi tubuh itu. Menatapi nya dengan penuh hasrat. Ingin rasa nya aku memeluk tubuh itu, mendekapnya dan menyandarkan wajah ku ke dalam dada bidangnya.
Tapi segera ku tepis segala keinginan ku, aku tak ingin merusak hubungan pertemanan kami.
Aku tak ingin, pada malam terakhir aku di sana, justru meninggalkan kesan yang buruk pada Hans.
Buru-buru ku pejamkan lagi mata ku, mencoba untuk tertidur kembali.

Tiba-tiba aku merasakan, tangan Hans berada di dadaku. Tangan itu terasa hangat dan menenangkan. Aku mencoba membuka mata ku kembali. Aku lihat Hans masih dalam kondisi tertidur. Aku tak tahu, apakah Hans sengaja meletakkan tangannya disitu atau itu terjadi hanya kebetulan saja. Namun terlepas dari itu semua, aku menikmatinya. Aku membiarkan tangan Hans tetap berada di dada ku.

Terpikir untuk menarik tangan itu lebih dekat dan memeluk tubuh Hans. Tapi sekali lagi, perasaan tak enak menghantui ku. Dan aku hanya membiarkannya.

************************

Sebulan setelah kepulangan ku dari desa Hans. Tiba-tiba aku mendapat telpon dari Hans, ia mengabarkan kalau ia sekarang berada di kota. Ia di kota karena harus mengantarkan uang belanja adiknya yang sedang kuliah. Hans memang pernah cerita, kalau biasanya ia sebulan sekali datang ke kota untuk mengantar uang kepada adiknya.
Selama sebulan ini, aku memang tidak berusaha menghubungi Hans. Walau keinginan itu ada, tapi aku takut.

Aku pun meminta Hans untuk datang ke rumah ku. Dan Hans pun bersedia untuk datang.
Aku bertemu Hans kembali setelah sebulan kami tak berjumpa. Perasaan ku masih saja sama, aku masih saja begitu mengaguminya. Aku masih mencintainya.
Selama sebulan ini, sebenarnya aku berusaha menghapus segala rasa itu. Berusaha melupakan Hans. Melupakan segala kenangan ku dengan Hans.
Walau aku tahu, itu tidak akan pernah berhasil. Karena aku begitu mencintai Hans.
Dan sekarang Hans disini, dengan segala pesona nya.


Aku mengajak Hans masuk ke  kamar ku, setelah ku perkenalkan dengan mama dan papa ku.
Kami ngobrol seperti biasa, saling menanyakan kabar.
Adik Hans sebenarnya kost di kota, dan biasanya Hans menginap di sana selama satu malam, kemudian esok nya Hans baru pulang kembali ke desa.
Aku pun menawarkan Hans untuk menginap di kamar ku malam itu. Dengan sedikit sungkan Hans pun setuju.
Menjelang malam, aku mengajak Hans berkeliling kota. Sambil sedikit menghilangkan kejenuhan.
Setelah cukup lelah kami pun kembali ke rumah ku.
Aku merasa sangat bahagia hari itu. Sebulan aku coba menahan kerinduan ku pada Hans. Dan hari ini Hans hadir di sini. Segala rindu ku seakan sirna. Aku kembali bisa melihat senyum Hans, mendengar canda nya, dan mendengar tawa renyah nya lagi.

Selesai makan malam, kami pun kembali ke kamar. Hans sangat berterima kasih pada ku, karena mau mengajak nya tidur di rumahku dan juga mengajaknya jalan-jalan.
Aku hanya tersenyum menatap wajah tampan itu. Dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya. Hans terlihat begitu sempurna di mata ku.
Aku tak bisa lagi menahan semua rasa ini. Cinta ku terlalu besar untuk bisa aku tutupi.
Namun aku tak bisa berbuat apa-apa.

Haruskah aku mengungkapkan semua ini pada Hans, yang resiko nya tentu saja Hans akan membenci ku dan akan semakin jauh dariku. Dan  aku tak ingin hal itu terjadi. Aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat dengan Hans. Karena hanya menatapnya saja aku sudah merasa cukup bahagia.
Atau ku biarkan saja rasa ini, terpendam selamanya tanpa ada siapa pun yang tahu. Yang tentu saja itu semua akan membuat aku merasa sakit, setiap kali aku mengingat asa ku. asa untuk memilikinya.

********************
 

Tapi di luar dugaan ku, ternyata Hans malam itu dengan sangat bergetar mengungkapkan, kalau ia sebenar nya suka padaku, bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Dan beriring berjalannya waktu, ia pun semakin sayang padaku.
Namun ia sangat takut untuk mengatakannya. Ia takut salah paham dengan segala sikap baik ku pada nya selama ini. Dan sekarang ia tak bisa lagi memendam rasa itu, untuk itu ia beranikan diri untuk mengatakannya pada ku.
Katanya, aku harus tahu apa yang ia rasakan padaku, sebelum ia nanti nya menikah dengan gadis pilihan Ibu nya.

Aku sangat kaget, dan sungguh ini semua di luar dugaan ku. Hatiku bersorak gembira, meski tak sepenuhnya kuperlihatkan pada Hans.
Aku pun dengan cukup berani, mengatakan pada Hans kalau aku juga telah jatuh cinta padanya.
Hans tersenyum dan menatapku lama, seakan tak percaya.
Kemudian Hans pun memeluk ku erat. Aku merasa begitu hangat dan damai berada dalam pelukan tubuh kekar itu.
Tak ku sangka aku bisa memeluk tubuh Hans malam itu. Meski sudah sangat lama aku menginginkannya.

 Sejak malam itu kami pun resmi berpacaran. Meski aku tahu, hubungan kami tidak akan berlangsung lama. Karena biar bagaimana pun beberapa bulan lagi Hans akan menikah.
Meski Hans mengakui kalau ia tak pernah mencintai gadis pilihan Ibunya itu. Namun ia juga tidak bisa membatalkan begitu saja pernikahan itu. Selain akan membuat malu keluarga, Ibu nya juga dalam keadaan sakit yang cukup parah saat ini. Ia tak bisa menolak keinginan terakhir Ibunya.
Ia hanya mencoba menjadi anak yang berbakti.

Menyadari itu semua, hati ku terasa begitu sakit. Untuk pertama kali nya aku bisa merasakan bahagia bersama orang yang aku cintai, tapi semua harus segera berakhir.
Tapi kami tetap bersama. Hans lebih sering datang ke kota, untuk bertemu dengan ku.
Kami berusaha menikmati setiap detik kebersamaan kami, sebelum kami akhirnya harus terpisah.
Kami sering saling telpon-telponan jika Hans berada di kampung.
Sejujurnya aku sangat bahagia dengan semua itu. Aku bahagia dengan hubungan kami.
Cinta kami begitu indah.
Hans telah menghiasi hari-hari ku dengan cinta nya yang begitu besar.

Sampai hari pernikahan itu pun tiba. Hans mengabarkan pada ku, kalau beberapa hari lagi ia akan menikah. Untuk itu ia tidak bisa lagi datang ke kota sebagai mana biasa.
Aku sangat terpukul. Begitu sakit rasanya. Meski dari awal aku sudah mengingatkan diri ku sendiri, kalau hubungan ku dan Hans hanya bersifat sementara.
Tapi tetap saja, semua ini begitu menyakitkan bagi ku.
Aku mencoba menghubungi Hans, mungkin untuk terakhir kalinya. Aku menangis di telpon, mengungkapkan semua kekecewaan ku. Dan aku pun mendengar Hans menangis. Ia minta maaf, karena tidak bisa berbuat banyak.

******************

 Aku menghempaskan tubuh ku ke ranjang, mencoba menghalau bayangan Hans yang melintas di benak ku.Hati ku hancur. Tapi aku tidak bisa menyalahkan Hans.
Aku pun tak bisa menyalahkan diri ku sendiri, karena jatuh cinta pada Hans.
Jika pun harus ada yang di persalahkan, mungkin cinta kami yang salah berlabuh.
Hari ini harus nya Hans sedang melangsungkan pernikahannya.
Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

Tiba-tiba handphone ku berbunyi. Aku mencoba mengangkatnya meski dengan sedikit berat. Di seberang aku mendengar suara adik Hans dengan sedikit tersedu.
Ia dengan terbata mengabarkan bahwa Hans, mengalami kecelakaan pagi itu. Kecelakaan yang cukup parah, yang mengakibatkan nyawa Hans melayang.
Aku tersedak. Kabar itu jauh lebih menyakitkan dari sekedar kabar pernikahan Hans.
Aku bersegera bangkit dan berangkat menuju desa Hans.
Sepanjang perjalanan aku menangis. Entah mengapa air mata ini enggan untuk berhenti.
Aku tak bisa menahan kesedihan ku.
Hans pergi begitu cepat. Ia pergi dengan meninggalkan sejuta kenangan. Dia pergi dengan membawa cinta ku yang masih utuh untuk nya.


Sesampai disana, aku berusaha untuk bersikap tegar. Biar bagaimana pun, di mata orang-orang kami hanyalah teman biasa.
Tapi hatiku menangis melihat jasad Hans masuk ke liang lahat. Itu adalah kali terakhir aku melihatnya.
Semua orang bersedih. Semuanya menangis, terutama Ibu nya.


Menurut cerita seorang teman, Hans telah membatalkan pernikahannya. Ibu nya pun marah besar pada nya. Hans pun mencoba pergi dari rumah dengan mengendarai motornya. Hans mengendarai nya cukup kencang, hingga ia mengalami kecelakaan.
Aku pun terhenyak mendengar cerita itu. Aku buru-buru pulang, tanpa sempat pamit pada Ibu Hans.
Aku ingin segera berada di rumah. Aku ingin menumpahkan segala kesedihan ku sendiri, tanpa terlihat siapa pun.
Tak pernah aku duga, kalau Hans akan nekat membatalkan pernikahannya. Dan lebih menyakitkannya lagi, aku tahu, ia melakukan semua itu, demi aku. Demi cinta kami.

Sesampai di rumah aku langsung menuju kamarku, tanpa peduli kan beberapa pertanyaan dari mama ku. Hatiku hancur. Ini jauh lebih menyakitkan.
Aku masih tak percaya, kalau Hans telah tiada.
Aku menangis lagi. Aku begitu terluka.
Aku belum siap kehilangan Hans. Benar-benar belum siap.
Hans begitu berharga bagiku.
Dia adalah hal terindah yang pernah aku miliki dalam perjalanan hidupku.
Aku tak akan pernah melupakannya.
 
Bertahun-tahun aku menjalani hidup ku dengan segala penyesalan ku. Biar bagaimana pun, kematian Hans adalah karena ku. Meski tiada siapa pun yang tahu.
Namun bagi ku, aku adalah penyebab kematian Hans.
Aku sering mendatangi kuburan Hans, mencoba meminta maaf padanya.
Meski aku tahu, semua itu kini tiada berguna lagi.
Hans telah pergi dan ia tidak akan pernah kembali lagi.
Dan aku selalu menangis bila mengingat semua itu.
Aku hanya berharap semoga Hans mau memaafkan aku, dan semoga Hans tenang di alam sana.

****

Sekian ...

Love, Simon...

Simon adalah seorang mahasiswa baru di sebuah universitas swasta.
Tiga bulan yang lalu Simon telah melepaskan seragam putih-abunya. Kemudian dengan nilai yang pas-pasan ia mencoba mendaftar ke beberapa universitas.
Seminggu yang lalu ia dinyatakan lulus di salah satu universitas.
Dan hari itu adalah hari pertama bagi Simon memasuki kampus barunya.
Dengan perasaan canggung dan sedikit kikuk, Simon melangkah masuk melewati gerbang kampus.
Meski masa orientasi mahasiswa baru sudah lewat beberapa hari yang lalu, tapi Simon tidak dapat mengikutinya karena dalam kondisi sakit.

 Love simon
 
Setelah melewati gerbang kampus, Simon mengarahkan langkahnya menuju salah satu gedung yang ia yakin adalah pusat kantor dari kampus tersebut. Simon ingin mengurus beberapa hal disana.
Namun sebelum langkahnya sepenuhnya terarah kesana, sebuah suara memaku langkahnya.
"hei anak baru ya..?" suara itu berasal dari belakangnya, untuk itu Simon segera memutar tubuhnya.
Di belakangnya telah berjalan dengan santai seorang laki-laki yang memakai baju kemeja belang-belang hitam. Laki-laki itu tersenyum kearah Simon dan berhenti tepat kira-kira satu meter dari posisi Simon berdiri.
Simon membalas senyum laki-laki itu lalu mengangguk dengan pelan.
"kenapa baru kelihatan sekarang?" tanya laki-laki itu lagi.
"kemarin saya sakit, jadi baru hari ini bisa hadir ke kampus.." balas Simon sedikit kaku.
"oh ya, saya Heri.." ucap laki-laki itu lagi, ia mengacungkan tangan kanannya.
"saya Simon.." balas Simon, sambil menjabat tangan laki-laki itu.

Begitulah awalnya. Awal perkenalan Simon dengan Heri.
Heri ternyata adalah seniornya. Heri seorang mahasiswa tingkat akhir. Tapi Heri sangat baik padanya, yang membuat mereka lebih cepat akrab.
"kak Heri kok mau berteman dengan saya? Padahal saya hanya anak baru disini, dan lagi pula jarak usia kita terlalu jauh..." tanya Simon suatu hari.
"kenapa? kamu malu berteman dengan orang yang jauh lebih tua dari kamu?" Heri justru balik nanya.
"gak. Bukan itu maksud saya. Tapi kan kak Heri punya banyak teman yang se angkatan. Kenapa justru dekat sama saya?" ucap Simon lagi.
Tapi Heri hanya diam. Dia enggan menjelaskannya.

Hari-hari terus berlalu, Simon dan Heri pun semakin dekat dan akrab.
Hingga suatu hari, Heri mengajak Simon untuk main ke kost-nya. Selama ini Simon memang belum pernah ke kost Heri. Mereka hanya bertemu ketika di kampus.
"kamu mau gak nginap tempat saya?" tanya Heri ketika mereka sudah berada di dalam kamar kost.
"mumpung malam minggu, loh. Kamu kan bisa minta izin sama orangtua kamu.." lanjutnya.
Sesaat Simon hanya terdiam.
"mau gak?" tanya Heri lagi.
"emangnya kak Heri gak mau ketemu pacarnya malam minggu begini?" tanya Simon.
"saya gak punya pacar.." jawab Heri cukup tegas.
"oh." Simon membulatkan bibir. "kalau begitu saya telpon ke rumah dulu ya.." ucapnya.
"oke.." balas Heri, sambil menautkan jari telunjuk dengan jempolnya membuat angka nol.

***********

Setelah berjalan-jalan memutari kota, Simon dan Heri kemudian kembali lagi ke kost. Malam sudah menunjukkan jam sebelas.

Sesampai di dalam kost, Heri membuka baju dan celana yang ia pakai. Ia hanya mengenakan sebuah celana pendek berwarna biru.
Tubuhnya terlihat kekar, dengan otot dada yang bidang dan perutnya yang six pack.
Sesaat Simon merasa kurang nyaman melihat hal tersebut, namun ia berusaha bersikap biasa.
Meski harus ia akui dari dalam hatinya, ia begitu mengagumi sososk Heri. Selain memiliki wajah yang tampan, Heri juga mempunyai tubuh yang atletis. Benar-benar sosok laki-laki yang sangat di dambakan para kaum hawa.
Heri juga seorang yang humoris dan pintar. Teman-teman kampus hampir semuanya suka dengan Heri. Selain ramah, Heri juga sangat supel.

Di kamar kost itu, hanya terdapat sebuah dipan berukuran kecil. Dipan itu seharusnya hanya muat untuk satu orang. Simon duduk di pinggiran dipan tersebut dengan perasaan campur aduk. Biar bagaimana pun, ini adalah kali pertamanya ia menginap di tempat orang lain. Selama ini Simon selalu tidur di rumah. Meski kedua orangtuanya selalu memberi kebebasan untuk Simon.
Sementara itu Heri masuk ke kamar mandi sekedar buang air kecil. Ia keluar dengan mengibas-ngibaskan tangannya yang basah.
Kemudian ia duduk di samping Simon.
"kenapa?" tanya Heri, melihat Simon hanya bengong.
Simon menggeleng.
"gak kenapa-kenapa, kok. Hanya tidak terbiasa saja dengan kondisi seperti ini.." jawabnya.
"maksudnya kondisi seperti apa?" tanya Heri lagi.
Kali ini Simon hanya diam. Dia bingung harus menjelaskannya kepada Heri.
 
 
"saya mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi kamu jangan marah ya..." ucap Heri yang duduk di samping Simon.
"kak Heri mau ngomong apa?" tanya Simon terdengar lugu.
"kak Heri suka sama Simon. Kak Heri gak tahu entah kapan rasa suka itu datang. Simon orang yang baik dan juga perhatian. Kak Heri merasa dihargai. Kak Heri pengen menjalin hubungan serius dengan Simon, lebih dari sekedar teman dekat..." ucap Heri penuh perasaan.
Simon terkesima. Tak disangkanya Heri akan mengatakan hal tersebut padanya.
Selama ini Heri selalu menunjukkan sikap biasa-biasa saja terhadap Simon.
Di dalam hati Simon merasa sangat bahagia mendengar hal itu. Tentu saja, karena sudah berbulan-buan Simon hanya bisa memendam perasaannya pada Heri.

"kamu mau gak?" tanya Heri lagi, yang membuat Simon kaget.
"tapi saya...."
"iya, saya tahu." potong Heri cepat, "ini salah. Apa yang saya rasakan sama kamu adalah sebuah kesalahan. Namun saya tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau saya benar-benar telah jatuh cinta padamu. Yang ada dalam pikiran saya hanya kamu seorang..." lanjutnya lagi.
Simon semakin terperangah.
"iya. Saya mau, kak..." jawab Simon cepat. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Biar bagaimanaoun Heri adalah cinta pertama Simon.
"selama ini saya juga suka sama kak Heri." lanjut Simon lagi. "kak Heri orang yang baik dan juga sangat tampan. Tapi apa kak Heri gak menyesal nantinya karena menjalin hubungan dengan orang seperti saya?"
"untuk apa saya harus menyesal?"
"ya, karena kak Heri kan orang yang ganteng dan juga pintar. Sementara saya hanya orang biasa..."
"sudahlah, Simon. Kamu gak usah ngomong seperti itu lagi. Bagi saya kamu itu istomewa. Saya menyukai apa adanya dirimu..."
Kembali Simon terdiam.

Sejak saat itu mereka pun menjalin hubungan yang serius. Mereka semakin sering bersama. Simon sungguh bahagia dengan semua itu. Cintanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Heri juga mencintainya, bahkan sangat menyayanginya. Simon merasa sangat beruntung bisa berpacaran dengan Heri. Meski hubungan mereka dilakukan secara diam-diam. Hanya mereka berdua yang tahu, tentang hubungan terlarang tersebut.
 
****
Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate