Pembantu baru ku yang cantik (bagian 2)

 Marni masih tertunduk. Ia seperti enggan memperlihatkan raut wajahnya padaku.

Aku memang sengaja mengajak Marni bertemu di sebuah kafe, hanya berdua. Untuk membicarakan persoalan yang sedang kami hadapi saat ini. Untuk membicarakan tentang apa yang harus kami lakukan ke depannya, terutama untuk mengatasi masalah kehamilan Marni.

"saya ingin, kamu menggugurkannya, Marni.." ucapku sedikit tegas.

Marni mendongakan kepalanya sejenak, untuk menatap ku, kemudian tertunduk lagi.

"saya akan carikan dokter terbaik, untuk melakukannya.." ucapku lagi.

"saya... saya akan tetap melahirkan anak ini, tuan. Saya tidak akan menggugurkannya.." meski sedikit terbata, Marni berucap cukup tegas.

"kamu ingin menghancurkan hidup saya?" tanya ku sedikit kasar.

"ingat, Marni! Kamu saya bayar. Jadi kehamilan kamu tidak sepenuhnya tanggungjawab saya.." lanjutku lagi.

"saya tidak berniat untuk menghancurkan hidup tuan. Saya juga tidak meminta tuan untuk menikahi saya." kali ini Marni berucap, sambil ia menatapku.

"lalu mau kamu apa?" tanyaku sedikit mengerutkan kening.

"saya akan pulang kampung. Saya akan membesarkan anak ini sendirian. Saya hanya minta agar tuan, mau membiayai hidup kami. Saya ingin tuan mengirimkan uang kepada saya di kampung, sampai anak ini tumbuh dewasa.." jelas Marni panjang lebar.

"lalu apa yang akan kamu katakan sama orangtua kamu? Tentang kehamilan mu ini?" tanya ku sedikit melunak.

"saya tidak akan mengatakan apa pun kepada mereka. Kalau pun mereka mempertanyakan hal ini, saya bisa mengarang cerita.." balas Marni cukup yakin.

"lalu bagaimana dengan masa depan kamu sendiri? Bagaimana dengan hidupmu sendiri? Apa kamu tidak ingin menikah?" tanyaku bertubi.

"tuan tidak perlu memikirkan hal itu. Selama kiriman uang dari tuan lancar, maka rahasia ini akan tersimpan selamanya. Dan tentang kehidupan ku ke depannya, mungkin aku akan menikah, tapi tidak dalam waktu dekat ini." jelas Marni lagi.

"oke.. saya setuju.." ucapku akhirnya.

Aku tidak tahu, apa ini adalah keputusan terbaik atau tidak. Apa ini pilihan terbaik atau tidak. Tapi yang pasti untuk saat ini, aku merasa sedikit lega. Meski pun Marni tidak mau menggugurkan kandungannya, tapi setidaknya tuntutannya padaku tidak terlalu memberatkan ku. Setidaknya untuk saat ini, kehidupan rumah tangga ku terselamatkan.

****

Marni akhirnya pulang ke kampung halamannya, dalam keadaan hamil. Aku gak tahu, bagaimana tanggapan orangtua Marni akan kehamilannya. Aku gak tahu, karangan cerita apa yang Marni sampaikan kepada orangtuanya.

Namun aku berusaha menepati janji ku pada Marni, untuk selalu mengirimkan uang padanya. Dan untuk sementara posisi ku masih aman.

Aku mencoba menikmati kebahagiaanku bersama keluarga kecilku. Bersama istri dan dua anak ku. Kehidupan rumah tangga ku kembali berjalan normal. Hari-hari kembali terasa indah bagi ku. Aku bahagia. Dan aku tetap mengirimkan uang kepada Marni, setiap bulannya.

Tapi ternyata hidup gak semudah itu. Tidak ada kesalahan yang tanpa resiko. Tidak ada kejahatan tanpa balasan. Kalau boleh dibilang mungkin ini adalah karma untuk ku.

Berawal dari anak kedua ku yang sering sakit-sakitan. Sering masuk rumah sakit. Sampai akhirnya anak ku pun menghembuskan napas terakhirnya, di usianya yang belum genap satu tahun. Aku benar-benar merasa kehilangan. Hatiku hancur. Begitu juga istri ku.

Kehidupan keluarga kami kembali bermuram durja. Rasa kehilangan telah membuatku merasa rapuh. Aku terlarut dalam kesedihan ku, hingga untuk beberapa bulan aku lupa mengirimkan uang kepada Marni.

Aku baru menyadarinya, saat akhirnya Marni tiba-tiba datang ke rumah dengan membawa anaknya yang baru berusia beberapa bulan.

"sudah hampir tiga bulan, tuan tidak mengirimkan uang padaku, karena itu saya datang kesini.." ucap Marni memulai pembicaraan di ruang tamu rumah ku, di depan istri ku.

Marni datang beberapa menit yang lalu, dan dia di sambut oleh istri ku. Sehingga aku tidak bisa menghindari lagi, pembicaraan tersebut.

Istri ku menatap Marni tak mengerti, kemudian ia mengalihkan tatapannya padaku, seakan meminta penjelasan ku.

"ada apa ini?" ucap istriku sedikit bergetar, "kenapa suami ku harus mengirimkan uang padamu?" lanjutnya bertanya.

Marni tidak segera menjawab, ia melirik ku beberapa saat. Dan aku hanya bisa tertunduk. Pasrah.

"karena tuan sudah berjanji akan membiayai hidup kami, sampai anaknya ini tumbuh besar." ucap Marni tegas, sambil ia menatap bayi yang di gendongnya.

"anaknya?" suara istriku tercekat. "maksud kamu?" tanyanya melanjutkan.

"saya tidak akan berlama-lama di sini, saya juga tidak punya waktu untuk menjelaskannya, jika nyonya ingin tahu, silahkan tanyakan sama suami nyonya. Saya akan pergi, dan anak ini akan saya tinggalkan disini, karena saya sudah tidak sanggup lagi membiayainya, terutama sejak tuan tidak lagi mengirimkan uang pada ku."

Setelah berkata demikian, Marni segera berdiri dan melangkah pelan menuju arah ku. Ia serahkan bayi yang ada di gendongannya itu padaku.

Dengan perasaan tak karuan dan tubuh gemetar, aku menerima bayi tersebut.

"dia anak tuan, dan dia berhak mendapatkan hidup yang layak.." ucap Marni lagi, sambil mulai melangkah mundur, lalu memutar tubuh menuju pintu keluar.

Istri ku menatap semua adegan itu, dengan tatapan penuh tanya dan tidak percaya nya. Mukanya memerah. Entah ia marah, kecewa, ata entah apa yang ia rasakan saat ini.

Kami baru saja kehilangan anak kedua kami. Rasa sedih masih menghantui hari-hari kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja kabar ini muncul di hadapan istri ku. Hatinya pasti sangat hancur. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

Aku juga tidak bisa menyalahkan Marni dalam hal ini. seperti janjinya, jika kiriman uang dari ku tidak lancar, maka ia akan membongkar rahasia ini.

Dan disini, saat ini. Aku terjebak.

******

Selama beberapa hari ini, istri ku mengurung diri di kamar. Beberapa kali aku coba memanggilnya, dia tak pernah bergeming.

Bayi yang ditinggalkan Marni, terpaksa aku titipkan pada Bi Ijah, pembantu ku. Biar bagaimana pun, sebagai ayah dari anak tersebut, aku memang harus bertanggungjawab. Aku harus membesarkannya. Dan Bi Ijah adalah harapan ku, untuk bisa merawat bayi tersebut.

Aku membiarkan istri ku dalam kesendiriannya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Istri ku sudah tidak mau berbicara dengan ku lagi. Ia bungkam, seolah menganggap aku tak pernah ada.

"aku minta maaf.." ucapku menghiba, saat akhirnya aku punya kesempatan untuk berbicara dengan istri ku, setelah lebih dari sebulan ia mengabaikan ku.

Selama sebulan ini, aku memang jarang berada di rumah. Aku merasa sakit karena diabaikan oleh istri ku sendiri, sebab itulah aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kantor ku.

Dan ternyata diam-diam, seperti yang di ceritakan bi Ijah padaku, istriku sudah mulai memperhatikan bayi yang ditinggalkan Marni tersebut. Ia juga sering memberi bayi tersebut makan, dan memandikannya. Hal itu, cukup membuat aku lega.

"aku juga minta maaf.." ucapku membalas, dengan suara lembutnya.

"mungkin sebagai istri, aku belum bisa memenuhi kebutuhan kamu seutuhnya.." lanjutnya.

"dan aku juga sudah memaafkan kamu. Kita akan mulai semuanya lagi dari awal. Aku juga sudah bertekad, untuk membesarkan anak tersebut. Mungkin anak itu, adalaha titipan Tuhan, sebagai pengganti anak kita yang telah tiada.." istri ku berucap lagi, yang membuatku tiba-tiba saja meneteskan air mata.

Entah terbuat dari apa hati istriku. Dan aku merasa beruntung bisa memilikinya.

Kurangkul pundaknya, dan aku tenggelamnya kepalanya dalam dekapan ku.

"aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan ini lagi. Aku hanya akan mencintai kamu, selamanya..." bisik ku penuh perasaan.

Dan aku hanya berharap, semoga ke depannya, aku lebih bisa menahan diriku, dari segala godaan hidup. Semoga rumah tangga kami, tetap utuh selamanya..

Ya... semoga saja..

****

Sekian..

Pembantu baru ku yang cantik part 1

Cari Blog Ini

Layanan

Translate