Kisah cinta sang Penyanyi (lanjutan kisah sang pengamen)

Hampir empat bulan, usia pernikahan mas Taslim dan Devina.

Aku masih berusaha untuk sabar menunggu.

Aku masih sabar menunggu mas Taslim untuk menepati janjinya.

Kisah cinta sang pengamen

 

"aku janji, Al.. Setelah beberapa bulan pernikahanku dengan Devina, aku akan segera menceraikannya.." begitu ucap mas Taslim waktu itu.

Sebuah janji yang ia ucapkan tepat di hari persandingannya dengan Devina, yang membuatku akhirnya luluh.

Aku memutuskan untuk tetap mempertahankan hubunganku dengan mas Taslim, yang sudah terjalin lebih dari enam tahun.

Seperti yang dikatakan mas Taslim padaku, bahwa ia menikahi Devina bukan karena ia mencintai Devina, tapi hanya sekedar untuk sebuah status.

Sebagai seorang penyanyi terkenal dan juga sudah berusia hampir kepala tiga, status mas Taslim memang selalu jadi sorotan publik.

Karena itu, mas Taslim memutuskan untuk menikahi Devina, seorang penyanyi baru yang sedang naik daun. Salah satu tujuannya adalah untuk popularitas.

Aku sempat ingin kembali ke kota ku dan meninggalkan mas Taslim. Namun Mas Taslim berhasil mencegahku dan meyakinkan untuk tetap bertahan, setidaknya sampai ia bercerai dari Devina nantinya.

"sudah lebih dari tiga bulan, mas. Sampai kapan lagi aku akan menunggu?" suaraku parau, ketika suatu malam mas Taslim masuk ke kamarku.

Selama tiga bulan belakangan ini, mas Taslim memang terlihat semakin mesra dengan Devina.

Apa lagi mereka tetap tinggal di rumah yang sama denganku. Aku harus selalu memendam rasa cemburuku setiap kali melihat mereka bermesraan.

Meski mas Taslim masih rutin mengunjungiku malam-malam, setidaknya satu atau dua kali dalam seminggu. Aku masih mendapatkan jatah dari mas Taslim.

Namun aku tidak selamanya harus kuat. Aku tidak selalu sanggup melihat mas Taslim bersama Devina.

"kamu sabar ya, Al. Ini gak semudah yang kamu bayangkan.." ucap mas Taslim ringan.

"aku sudah cukup sabar, mas. Tapi sampai kapan?" balasku lagi.

Mas Taslim kembali terdiam. Sebenarnya aku juga tidak tega membuat mas Taslim berada dalam dilema tersebut.

Namun aku juga tidak ingin menyiksa diriku lebih lama lagi.

"mas harus segera mengambil keputusan. Aku tidak ingin selalu jadi yang kedua.." aku berucap lagi, sambil mulai memejamkan mata untuk tertidur.

Namun tiba-tiba mas Taslim mengecup pipiku lembut. Tangannya mulai menarik tubuhku untuk berada dalam dekapan hangatnya.

Aku selalu tidak bisa menolak, setiap kali mas Taslim menginginkan hal tersebut.

Aku pun mulai melakukan aksi ku sebagaimana biasa. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa menikmati permainanku dengan mas Taslim.

Mas Taslim selalu berhasil membuatku terbuai dengan permainan indahnya.

Kami kembali berlayar dalam lautan kemesraan penuh cinta.

Hingga kami pun akhirnya terhempas di dermaga keindahan duniawi itu.

Seperti biasa, setelah melakukan tugasnya, mas Taslim pun akan kembali ke kamarnya untuk menemui sang istri.

******

"ini udah lima bulan loh, mas. Mas Taslim malah terlihat semakin mesra dengan Devina.." suaraku cukup meninggi.

Kali ini kami bertemu di sebuah kamar hotel. Aku yang memintanya.

Karena jika di rumah, perdebatan kami pasti akan terdengar keluar.

"aku gak bisa sekarang, Al.." pelan suara mas Taslim membalas ucapanku.

"Devina sekarang sedang hamil. Aku baru tahu kemarin.." lanjutnya lagi.

Aku bak mendengar suara petir, mendapatkan kabar tersebut.

Rasanya sangat sakit. Tak ku sangka mas Taslim tega melakukan hal itu padaku.

"aku dan Devina itu suami istri, Al. Wajar kalau dia hamil.." mas Taslim berucap lagi, melihat aku yang tiba-tiba tertunduk lemas.

"bagi Devina ini adalah hal yang penting. Pernikahan kami bukan sesuatu yang bisa dipermainkan." mas Taslim melanjutkan.

"sekarang mas jadi lebih membela Devina.." suaraku tiba-tiba parau.

Aku berusaha sekuat mungkin menahan air mataku.

"aku gak peduli Devina hamil atau tidak. Aku hanya ingin mas menepati janjimu, mas. Jika mas tidak menceraikan Devina, aku akan pergi. Aku beri mas waktu seminggu untuk memutuskan ini semua." aku melanjutkan lagi, tanpa menatap mas Taslim sedetik pun.

"kamu jangan bodoh, Al. Selama kita masih bisa tetap bersama, gak ada bedanya antara aku punya istri atau tidak..." balas mas Taslim.

"aku memang bodoh, mas. Dan kebodohanku yang paling besar ialah jatuh cinta pada mas Taslim." ucapku, kali ini aku coba menatap wajah mas Taslim.

"pilihannya hanya dua, mas. Aku atau Devina?" lanjutku berusaha tegas.

Aku tidak ingin lagi menjadi orang kedua. Jika aku tidak bisa memiliki mas Taslim seutuhnya, maka aku lebih memilih untuk tidak memilikinya sama sekali. Sekali pun hal itu pasti sangat menyakitkan bagiku.

"aku mohon, Al. Kita bisa tetap menjalani ini semua.." suara mas Taslim mulai terdengar parau.

"mudah bagi mas berucap demikian, karena di sini aku yang jadi korban, mas. Bukan mas Taslim.." timpalku cepat.

"kamu jangan membuat keadaan ini semakin rumit bagiku, Al. Ini bukan pilihan yang mudah bagiku. Seandainya saja, hubungan kita diperbolehkan, mungkin aku tidak akan merasakan dilema seperti saat ini.." mas Taslim berucap lagi.

"aku tidak mempersulit apa pun, mas. Aku hanya ingin mas Taslim menepati janji." balasku.

"maafkan aku, Al. Aku belum bisa menepatinya saat ini.." suara mas Taslim pelan.

"aku benci sama kamu, mas. Aku tidak ingin bertemu mas lagi.."

Setelah berucap demikian, aku segera bangkit dan berjalan dengan terburu menuju pintu keluar.

Mas Taslim dengan cepat mencoba mencegahku.

Aku berusaha meronta, namun tenaga mas Taslim lebih kuat.

Mas Taslim berusaha menarik tubuhku dalam pelukannya.

"aku menginginkanmu malam ini, Al. Kamu jangan pergi, ya." ucapnya, sambil terus mendekapku erat.

Ia mengecup lembut pipiku. Lalu kemudian, memopong tubuhku ke atas ranjang.

Aku yang tadinya berusaha meronta, tiba-tiba jadi terhanyut.

Mas Taslim memang selalu bisa membuatku pasrah.

Ia pun mulai melakukan aksinya. Kali ini mas Taslim terasa lebih brutal dari biasanya.

Bayangan mas Taslim sedang bergumul dengan istrinya melintas tiba-tiba di pikiranku, yang membuatku jadi kehilangan selera.

"maaf, mas. Aku tidak sedang berselera saat ini..." ucapku terengah.

Mas Taslim tak pedulikan ucapanku, ia terus saja melakukan aksi brutalnya.

"aku sangat menginginkan kamu, Al. Kamu selalu buat aku bergejolak. Aku tidak bisa menahannya lagi.." ucap mas Taslim, di sela-sela usahanya untuk menjamahku.

Akhirnya aku tidak kuasa melawan. Namun aku tidak memberikan reaksi apa-apa, kecuali sebuah kepasrahan.

*****

Seminggu kemudian, aku dengan sedikit tergesa mengemasi pakaianku.

Aku harus pergi dari rumah ini. Aku harus pergi dari kehidupan mas Taslim.

Aku tidak menyiksa diriku lebih lama lagi.

Jika mas Tasli tak bersedia menceraikan Devina, maka aku yang harus pergi dari hidupnya.

"kamu mau kemana?" suara tinggi mas Taslim mengagetkanku, saat aku sedang memasukkan beberapa pakaianku ke dalam koper.

"aku harus pergi, mas. Aku gak sanggup lagi melanjutkan hidup seperti ini. Aku selalu jadi yang kedua buat, mas. Aku tidak bisa setiap hari melihat kemesraan mas dan Devina." suaraku bergetar, sambil terus menyusun pakaianku di dalam koper besar itu.

"kamu jangan bodoh, Al. Kamu tidak boleh melakukan hal ini." mas Taslim berucap sambil mulai melangkah mendekat.

"aku memang bodoh, mas. Tapi aku akan lebih bodoh lagi, jika terus menyiksa perasaanku di sini.." balasku, sambil menutup koper yang sudah terisi penuh itu.

"aku sangat membutuhkanmu, Al. Aku gak bisa hidup tanpa kamu.." mas Taslim duduk di ranjang.

"kalau begitu ceraikan Devina, mas.." ucapku tegas.

"aku gak mungkin menceraikannya sekarang, Al." balas mas Taslim.

"kalau begitu, temui aku, jika mas sudah bisa menceraikannya. Namun untuk sekarang aku memang harus pergi, mas..." 

Setelah berkata demikian, aku segera mengangkat koper ku, untuk segera keluar dari kamar itu.

Mas Taslim dengan cekatan memegang tanganku.

"aku mohon, Al. Kamu jangan pergi, ya.." suara mas Taslim memohon.

Kali ini aku mengabaikan suara penuh iba itu. Aku tidak ingin lagi terlena oleh bujukan mas Taslim. Aku harus tegas.

Jika mas Taslim memang benar-benar menginginkanku, ia harus rela kehilangan Devina.

"sebagai laki-laki, aku juga ingin merasakan hidup yang normal, Al. Aku juga ingin punya keturunan. Tapi aku juga tidak bisa, berpisah dari kamu, Al.." suara itu semakin menghiba.

"aku juga pengen punya keturunan, mas. Tapi aku rela kehilangan itu semua, hanya untuk bisa hidup bersama mas Taslim. Aku korbankan hidupku, mas. Aku rela berpisah dari keluargaku, hanya untuk bisa selalu bersamamu, mas." Aku berucap, sambil kembali melangkah menuju pintu.

Mas Taslim kembali mencegahku.

"jika mas memang mencintaiku, biarkan aku pergi, mas. Jika mas tidak bisa membuat pilihan dalam hidup ini, aku yang akan memberi mas pilihan.." lanjutku berucap lagi.

"kita harus jujur, mas. Kita harus jujur pada diri kita sendiri, kalau kita ini bukan seperti laki-laki pada umumnya. Dan sebagai seorang gay, kita tidak di haruskan untuk menikah dan punya keturunan. Kita harus menerima itu sebagai sebuah takdir, mas."

"dan jika mas ingin hidup bersamaku lebih lama lagi, mas harus tetap memilih.."

Kali ini mas Taslim terdiam. Aku melanjutkan langkah lagi.

Aku segera keluar dari kamar itu. Aku terus saja melangkah keluar dari rumah yang penuh kenangan itu.

Dina dan Devina terlihat menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku mengabaikan mereka. Tidak ada yang harus aku jelaskan kepada mereka.

Aku memang harus pergi. Karena begitulah takdir yang harus aku jalani.

Aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai. Aku tidak bisa terus bersamanya.

Tujuh tahun, aku dan mas Taslim menjalin hubungan yang penuh makna.

Sudah sangat banyak kenangan yang kami lalui bersama.

Penuh air mata dan juga senyum kebahagiaan.

Kenangan demi kenangan melintas kembali di benakku, sepanjang perjalanan menuju kota ku.

Sekuat mungkin aku menahan perasaanku, agar tidak terlarut dalam kenangan indah itu.

*****

Sudah sebulan aku kembali ke rumahku.

Mas Taslim pernah beberapa kali mencoba menghubungiku, namun aku selalu mengabaikannya.

Bahkan aku dengan sengaja mengganti nomorku, agar mas Taslim tidak bisa lagi menghubungiku.

Setelah bertahun-tahun tidak pulang, ternyata ayah dan ibu sudah pindah ke rumah yang lebih besar.

"uang yang kamu kirimkan setiap bulan itu, ibu kumpulkan, dan kemudian ibu jadikan tambahan biaya untuk membeli rumah baru ini. Rumah lama kita sudah kami jual.." jelas ibu, saat aku pertama kali sampai ke rumah baru itu.

Rumah itu memang cukup besar, aku jadi punya kamar sendiri sekarang.

Tidak lagi satu kamar dengan adik-adikku yang sudah mulai tumbuh dewasa.

Satu bulan aku hanya berdiam diri di rumah. Dan aku mulai bosan, hidup tanpa ada kegiatan.

Aku berencana untuk membuka sebuah usaha. Uang tabunganku masih cukup untuk aku jadikan modal usaha.

Di halaman rumah yang masih kosong itu, aku membangun sebuah ruko kecil, untuk tempat aku membuka toko pakaian.

Setidaknya sekarang aku jadi punya kegiatan, dan tidak terlarut lagi dengan segala kenanganku bersama mas Taslim.

Aku ingin memulai hidup baru di sini. Aku ingin melupakan segala yang terjadi di masa laluku.

"jadi kapan kamu akan berumah tangga, Al.?" tanya Ibu suatu pagi, saat aku baru saja membuka toko.

Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut. Karena aku juga tidak tahu, sampai kapan aku akan terus hidup melajang.

Aku tidak yakin, kalau aku akan bisa jatuh cinta pada perempuan.

"Ibu punya kenalan seorang gadis di tempat pengajian. Namanya Nurma. Ia gadis yang baik dan juga saleha." Ibu melanjutkan kalimatnya, melihat aku hanya terdiam.

"Ibu berharap bisa menimang cucu, sebelum ibu meninggalkan dunia ini.." lanjut Ibu lagi.

"ibu jangan berkata seperti..." balasku singkat.

"tapi Ibu serius, Al. Kamu juga sudah cukup dewasa. Sudah saatnya kamu mulai memikirkan hal tersebut.." ucap Ibu kemudian.

Aku kembali terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa pada Ibu.

Sebagai seorang Ibu, wajar rasanya jika ibu menginginkan hal tersebut. Apa lagi aku adalah anak sulungnya.

Tapi rasanya begitu berat untuk memenuhi permintaan ibu tersebut.

Aku tidak ingin menikah, jika hanya untuk menyenangkan perasaan orang lain. Sementara perasaanku  sendiri akan tersiksa.

****

Sudah hampir lima bulan, aku menjalani hidup baruku.

Bayangan mas Taslim sudah sangat jarang melintas di pikiranku. Aku bahkan hampir bisa melupakannya.

Saat tiba-tiba suatu siang, seraut wajah tampan nan manis itu, muncul di depan toko ku.

"aku kesini, bukan untuk meminta kamu untuk ikut denganku lagi. Tapi aku ke sini, untuk meminta maaf padamu atas segalanya, Al." lembut suara mas Taslim berucap, saat kami akhirnya sepakat untuk mengobrol di sebuah kafe.

"aku minta maaf, karena tidak bisa memenuhi janjiku padamu, Al." mas Taslim melanjutkan.

"kita memulainya dengan cara baik-baik, Al. Karena itu, aku juga ingin ini semua berakhir dengan cara yang baik pula. Aku tidak ingin ada dendam diantara kita. Aku tidak ingin ada rasa sakit hati yang tersisa."

"jika kita tidak bisa menyatu sebagai sepasang kekasih. Setidaknya biarkan kita tetap bisa menjalin hubungan persaudaraan.." ucap mas Taslim lagi.

Aku masih terdiam. Aku tidak membenci mas Taslim. Sama sekali tidak.

Tapi aku masih merasakan sakitnya hingga saat ini.

Mungkin mas Taslim benar. Aku tidak harus menyimpan dendam padanya. Aku tidak mungkin selamanya memendam rasa sakit hati padanya.

Biar bagaimana pun, mas Taslim tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini.

Dan aku juga tidak mengakui kalau aku bersalah dalam hal ini.

Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, sekali lagi, mungkin cinta kami yang salah berlabuh.

Tidak semua kisah cinta harus berakhir bahagia.

Kebahagiaan sebuah cinta, tidak selalu tentang menyatunya dua hati dan dua raga.

Tapi kebahagiaan yang sesungguhnya, ialah ketika kita mampu merelakan orang yang kita cintai, hidup bersama orang lain.

Tidak mudah memang, mengubah kenyataan pahit menjadi sesuatu yang manis.

Namun jika kita berbicara soal realita, cintaku dan cinta mas Taslim hanyalah bagai sebuah dongeng.

Rasa itu ada, keinginan itu juga sangat kuat. Tapi semuanya sungguh tidak mungkin diwujudkan, walau dengan cara apa pun.

Jalan satu-satunya ialah merelakan.

Meski cinta itu terkadang egois.

Kisah cintaku dengan mas Taslim itu, seperti menggenggam sebuah belati tajam.

Jika kami menggenggamnya terlalu kuat, kami akan terluka parah.

Namun jika kami melepaskannya, kami akan kehilangan belati tersebut.

Bukan pilihan yang mudah sebenarnya. Tapi begitulah kehidupan, dimana segala yang terjadi terkadang tidak selalu seperti yang kita inginkan.

Bisa jadi, saat kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan saat kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu.

Takdir Tuhan tidak pernah salah. Segala yang datang dalam kehidupan ini, baik atau buruknya, tak lebih hanya sekedar ujian kehidupan belaka.

Seperti kata mas Taslim, kami memulainya dengan cara yang baik-baik, dan seharusnya kami juga bisa mengakhirinya dengan cara yang baik pula.

Aku mulai bisa merasakan makna cinta yang sesungguhnya dalam hidupku.

Karena itu juga, aku akhirnya menerima perjodohanku dengan Nurma, gadis manis pilihan ibuku.

Aku menikahi Nurma, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Ibu. Tapi aku juga ingin belajar, hidup sebagai laki-laki normal.

Mas Taslim hadir pada acara pernikahanku tersebut.

Tapi ia hadir sebagai seorang sahabat, sebagai seorang saudara.

Dan ternyata hubungan sebuah persahabatan, jauh lebih indah dari pada hubungan cinta yang terlarang.

Aku dan mas Taslim, memang sudah sepakat untuk saling memaafkan dan saling menghapus segala perasaan cinta kami.

Kini hubungan kami hanya sekedar hubungan persahabatan. Seperti yang orang-orang percayai selama ini.

Setidaknya itu lah yang kami jalani sampai saat ini.

Aku tidak tahu, seberapa lama hubungan persahabatan kami akan mampu bertahan, saat sisa-sisa cinta masih melekat di hati kami berdua.

Semoga saja, kami selalu mampu mengendalikan perasaan kami. Agar tidak terjebak lagi, pada yang namanya cinta terlarang.

Semoga saja.

****

Bersama mas Adam

Vino...

Namaku Alvino.

Aku anak tunggal dari sepasang suami istri yang sangat sibuk bekerja.

Papaku seorang pengusaha kaya, dan mama seorang wanita karir.

Mereka berdua sangat jarang berada di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu bersama pembantu di rumah kami, bahkan sejak aku kecil.

cerpen gay

Setelah beranjak remaja, aku justru lebih sering menghabiskan waktu di luar.

Segala kebutuhanku memang selalu terpenuhi. Hidupku boleh dibilang sangat mewah.

Setamat SMA, aku semakin jarang berada di rumah. Aku mulai bergaul dengan orang-orang yang jauh lebih dewasa dariku.

Sampai akhirnya aku pun terjerumus dalam dunia hitam penuh dosa.

Ya, aku menjadi seorang pecandu obat-obatan terlarang.

Pergaulan bebas sudah menjadi duniaku. Aku tidak lagi memikirkan masa depanku.

Aku banyak menghabiskan uang untuk mabuk-mabukan dan berpesta pora.

Aku punya banyak teman dalam dunia hitam yang aku jalani.

Namun demikian, segala kesepian yang aku rasakan sejak dulu, selalu menyelimuti hatiku.

Aku memang kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari mama dan papa, yang membuatku terkadang menjadi tidak terkendali.

Aku selalu merasa kesepian, meski segala kebutuhanku selalu terpenuhi.

Dan untuk melampiaskan kesepianku itulah, aku jadi sering mabuk-mabukan dan berhura-hura.

Aku sering tertidur di jalanan dalam keadaan mabuk parah.

Mama papa sebenarnya sudah mengetahui tabiatku tersebut. Mereka sering memarahiku, tapi aku selalu mengabaikannya.

"mama udah capek nasehatin kamu, Vin. Sampai kapan kamu akan seperti ini?!" suara mama meninggi, ketika suatu malam melihat aku pulang dalam keadaan mabuk.

"aku akan terus seperti ini, ma. Sampai papa dan mama tidak lagi menjadi manusia yang super sibuk.." jawabku ketus.

Itu bukan pertama kalinya, aku melontarkan kalimat-kalimat tajam kepada mama dan papa. Bahkan aku pernah hampir berkelahi dengan papa.

"kalau kamu masih seperti ini, papa akan usir kamu dari rumah ini, dan jangan harap kamu bisa mendapatkan uang lagi dari papa atau pun mama kamu.." papa ikut menimpali. Suaranya jauh lebih tinggi dari suara mama tadi.

Mereka berdua berdiri berkacak pingang menatapiku.

"tanpa papa usir pun, aku juga bakal pergi dari rumah ini! Rumah ini bagai neraka bagiku.." balasku tak ingin kalah.

Setelah berkata demikian, aku segera berlari ke lantai atas menuju kamarku.

Aku kemasi beberapa helai pakaianku ke dalam tas. Aku memang bertekad untuk pergi dari rumah itu.

Aku ingin memberi pelajaran kepada mama dan papa. Aku hanya ingin mereka sadar, bahwa segala kesibukan mereka selama ini lah, yang telah membuatku menjadi seperti ini.

Mama berusaha mencegahku, saat aku dengan terburu berjalan menuju keluar.

Tapi aku berusaha mengabaikannya.

"biarkan dia pergi, ma. Papa ingin tahu, seberapa lama ia mampu ia bertahan di luar sana, tanpa uang dari kita.." suara papa berteriak.

"ingat Vino, kamu pergi jangan membawa apapun dari rumah ini, termasuk mobil maupun motor." papa melanjutkan teriakannya.

Untuk sesaat aku terdiam. Aku tadinya memang berniat untuk pergi dengan memakai mobil. Tapi mendengar teriakan papa barusan, aku pun mengurungkan niatku.

Aku melanjutkan langkah dengan terburu, menuju gerbang pagar rumah kami.

Saat keluar dari pagar tersebut, aku mulai berpikir kemana aku akan pergi.

Uang di dalam saku celanaku hanya tersisa beberapa ratus ribu. Semoga saja cukup untuk aku bertahan hidup beberapa hari ke depan.

Malam sudah semakin larut. Aku terus saja melangkah tanpa arah.

Setelah merasa sudah cukup jauh dari rumah, aku pun beristirahat di sebuah bangku taman.

Aku mulai merasakan kakiku begitu lelah, setelah berjalan hampir satu jam.

Cuaca sudah mulai dingin, aku segera memasang kancing jaketku.

Ku perkirakan hari sudah jam dua dini hari waktu itu. Suasana kota itu sudah mulai sepi. Kendaraan sudah sangat jarang berlalu lalang.

Aku membaringkan tubuhku di atas bangku panjang itu.

Pengaruh alkohol dan rasa lelah membuatku jadi cepat terlelap.

*****

Paginya aku terbangun. Suasana kota sudah mulai ramai. Orang-orang sudah mulai sibuk.

Kendaraan semakin ramai berlalu lalang.

Rasa lapar mulai menyerang perutku. Tubuhku terasa gerah dan kucel.

Aku mengeluarkan uang dari dalam saku celanaku. Kuhitung ada sekitar tiga ratus ribu lebih.

Setidaknya aku tidak akan kelaparan selama beberapa hari ke depan.

Setelah mencuci muka di sebuah toilet umum, aku pun segera mencari tempat untuk sarapan.

Sehabis sarapan, aku mulai berpikir tentang rencanaku ke dapannya.

Aku tadinya kabur dari rumah hanya karena ingin memberi pelajaran kepada papa dan mama.

Aku berharap mereka segera mencariku dan membujukku untuk pulang.

Tapi sepertinya mereka tak berniat untuk mencariku. Karena jika mereka ingin mencariku, seharusnya mereka sudah menemukanku.

Papa punya banyak anak buah yang bisa ia perintahkan untuk mencariku. Dan jika hal itu ia lakukan, aku sudah pasti di temukan di sini, karena aku masih belum begitu jauh dari rumah.

Namun papa memang tak berniat mencariku. Ia mungkin masih sangat marah padaku.

Sementara aku terlalu gengsi untuk pulang sekarang. Papa pasti akan mentertawakanku, karena hanya sanggup kabur selama satu hari.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalananku lebih jauh lagi.

Aku sampai ke daerah pinggiran kota, saat hari sudah siang.

Aku beristirahat di sebuah warung makan pinggir jalan, sambil menikmati makan siang.

Setelah merasa cukup kuat, aku kembali melanjutkan perjalananku.

Aku tidak begitu yakin, kemana tujuanku sebenarnya. Namun yang pasti, aku ingin pergi dari kota itu.

Aku terus melangkah mengikuti jalan lintas menuju luar kota. Rumah-rumah sudah mulai jarang aku temukan di sepanjang jalan.

Setengah hatiku masih berharap, salah seorang anak buah papa menemukanku, dan memaksaku untuk pulang.

Setengah hatiku lagi, ingin memutar langkah untuk kembali.

Namun ego-ku tetap memaksaku untuk terus melangkah. Hingga hari pun perlahan mulai gelap.

Aku beristirahat di depan sebuah mesjid yang berada di pinggir jalan. Orang-orang terlihat ramai memasuki pekarangan mesjid, karena suara adzan magrib sudah berkumandang sejak tadi.

Seumur hidup aku belum pernah sholat. Aku tidak pernah berdo'a.

Aku tidak pernah diajarkan agama oleh kedua orangtuaku. Aku hanya belajar agama ketika di sekolah, itupun aku sering bolos.

Aku tidak tahu apa-apa soal agama, namun aku selalu percaya bahwa Tuhan itu ada.

"gak sholat, mas." sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba.

Aku menoleh ke arah suara itu. Seorang pemuda berdiri tepat di samping kananku.

Pemuda itu memakai sarung dengan baju koko berwarna abu-abu. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum manis.

Aku tersenyum tipis membalasnya, sambil sedikit menggeleng menjawab pertanyaan pemuda tersebut.

Orang-orang mulai ramai berhamburan ke luar dari mesjid, setelah selesai melaksanakan sholat.

Pemuda tadi pun ikut duduk di sampingku.

"mas dari mana?" tanya pemuda itu ramah.

Aku tidak segera menjawab. Aku tidak mungkin menceritakan tentang siapa aku sebenarnya pada orang yang tidak aku kenal itu.

"aku dari kota mas.." jawabku akhirnya.

"dan mas mau kemana sekarang?" pemuda itu bertanya lagi.

Aku terdiam kembali. Aku jadi bingung harus menjawab apa. Karena aku memang tidak tahu hendak kemana sebenarnya.

Melihat aku yang terdiam dan seperti enggan untuk menjawab pertanyaannya, pemuda tadi pun segera berdiri dan berlalu pergi dari situ.

Aku menarik napas berat. Rasa menyesal mulai menggerogoti perasaanku.

Tiba-tiba aku ingin segera pulang. Aku jadi kangen dengan rumahku.

Namun sekali lagi, ego-ku terus menahanku untuk tetap berada di sana.

Malam semakin larut, aku membeli beberapa makanan ringan untuk mengganjal rasa laparku malam itu.

Aku harus bisa berhemat sekarang. Uangku sudah mulai menipis.

Aku masih duduk di bangku depan mesjid tadi, sambil menyantap roti yang tadi aku beli dengan sebotol air mineral.

Saat tiba-tiba pemuda tadi datang lagi menghampiriku. Ia kembali duduk di sampingku.

"mas lagi nunggu seseorang?" tanya pemuda itu kemudian.

Aku menggeleng ringan.

"aku tidak tahu harus kemana sekarang.." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

Pemuda berkulit gelap itu menatapku. Ia seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun kemudian ia urungkan.

Untuk beberapa saat kami saling terdiam kembali.

"namaku Adam. Aku tinggal di samping mesjid itu." tiba-tiba pemuda itu bersuara kembali.

"kalau mas memang tidak tahu harus kemana, mas bisa istirahat di tempatku untuk sementara.." lanjutnya lagi.

"aku kerja sebagai petugas kebersihan mesjid ini. Jadi aku tinggal di sini sudah sejak lama, dan aku tinggal sendirian..." pemuda itu, Adam, melanjutkan kalimatnya.

Aku menatap Adam cukup lama.

Aku memang butuh tempat istirahat. Aku juga butuh teman untuk bercerita. Saat ini aku benar-benar merasa sendiri. Dan kehadiran Adam malam itu, membuatku merasa sedikit nyaman.

"mas Adam gak keberatan, kalau aku numpang istirahat di tempatnya?" tanyaku sekedar meyakinkan.

"mau tinggal lama juga gak apa-apa, mas. Saya juga butuh teman." balas Adam pelan.

"oh, ya. Nama mas siapa?" tanya Adam kemudian, saat kami akhirnya melangkah menuju tempat tinggalnya.

"Vino, mas." jawabku singkat.

Kami memasuki sebuah ruangan kecil, berukuran 3x4. Ruangan itu berjarak kurang lebih 10 meter dari mesjid.

Di dalam ruangan tersebut, terdapat sebuah dipan kecil dan sebuah lemari pakaian. Di sudut ruangan ada sebuah meja kecil tempat memasak.

"beginilah keadaannya mas. Kalau mas Vino mau mandi, nanti mandinya di toilet mesjid aja. Saya juga biasanya mandi di situ.." ucap Adam sambil mempersilahkan aku untuk duduk di atas dipan tua itu.

Aku memang pengen mandi, sudah seharian aku tidak mandi.

Aku segera minta izin pada Adam untuk pergi mandi.

****

Aku membaringkan tubuhku di atas dipan tersebut. Sehabis mandi rasanya tubuhku jadi lebih segar. Pikiranku juga sedikit tenang.

Adam turut berbaring di sampingku. Tubuh kami saling bersentuhan, karena dipan itu cukup kecil untuk kami berdua.

Adam mulai bercerita beberapa hal tentang dirinya.

Adam ternyata lebih tua dua tahun dariku. Ia dulunya di besarkan di panti asuhan. Setelah lulus dari pesantren, ia pun mulai bekerja di mesjid itu.

Perjalanan hidup Adam membuatku merasa iba melihatnya.

Kehidupan yang di jalaninya cukup berat. Sementara aku, justru pergi meninggalkan orangtuaku.

Tapi aku tidak menceritakan siapa aku sebenarnya kepada Adam. Aku hanya mengatakan, kalau aku seorang perantau yang sedang mencari kerja di kota.

Setelah cukup lama saling bercerita, rasa kantuk mulai menyerang kami berdua.

Beberapa kali aku harus menguap, karena kantuk yang menyerangku sejak tadi.

Perlahan, aku mulai memejamkan mata. Rasa capek karena berjalan seharian, membuatku tertidur dengan lelap.

Tengah malam aku terbangun. Aku merasa gerah. Di dalam ruangan itu, tidak ada kipas angin sama sekali. Aku membuka baju kaos yang aku pakai, kemudian membuka celana jeans-ku. Aku hanya memakai celana boxer.

Kulihat Adam juga terbangun. Ia juga melakukan hal sama denganku.

"biasanya aku memang tidur hanya memakai celana dalam. Tapi tadi aku merasa sungkan." jelas Adam dalam keadaan setengah mengantuk

Aku tidak menanggapi ucapan Adam barusan. Aku kembali berbaring dan memejamkan mata.

Tubuhku dan Adam kembali berdempetan. Kulit kami saling bersentuhan.

Aku memiringkan tubuhku membelakangi Adam. Setidaknya mengurangi rasa gerahku.

Saat menjelang subuh aku terbangun. Kali ini bukan lagi, karena gerah. Tapi karena aku merasakan tangan Adam melingkar di atas dadaku.

Suasana subuh itu memang mulai dingin. Tangan Adam yang berada di atas dadaku terasa begitu hangat.

Aku kembali memejamkan mata, membiarkan tangan itu tetap berada di sana.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara radio di putar dari mesjid.

Adam segera menarik tangannya dan segera bangkit dari tidurnya.

"kamu gak sholat?" tanya Adam, sambil berusaha membangunkanku.

Aku mengabaikan pertanyaan Adam, dan berpura-pura masih tertidur.

Aku mendengar langkah Adam keluar dari ruangan tersebut. Aku juga masih mendengar suara pintu dibuka kemudian tertutup kembali.

Adam pasti sudah keluar dari ruangan tersebut. Pikirku.

Aku melanjutkan tidurku lagi, meski tak lama kemudian, suara adzan mulai terdengar dari toa mesjid.

*****

Aku terbangun sudah hampir jam delapan pagi. Adam sepertinya sengaja tak membangunkanku.

Saat aku terbangun, aku melihat Adam sudah menyajikan sepiring sarapan untukku.

"kamu mau mandi dulu atau sarapan dulu?" tanya Adam.

"aku mau mandi dulu.." jawabku masih dalam keadaan setengah mengantuk.

Aku segera bangkit dan keluar untuk mandi.

Sehabis mandi, aku pun menyantap sarapan yang sudah di sediakan Adam sejak tadi.

"sekarang rencana kamu mau kemana?" Adam bertanya saat aku mulai menyantap sarapanku.

"gak tahu, mas. Aku juga bingung mau kemana." jawabku jujur.

"kalau begitu, kamu disini aja dulu. Sampai kamu benar-benar yakin mau kemana." balas Adam ringan.

"apa nantinya gak merepotkan mas Adam, kalau saya tinggal di sini?" tanyaku, sambil terus menikmati sarapanku.

"selama kamu betah dengan keadaan seperti ini, gak ada masalah kalau kamu mau tinggal lama disini.." balas Adam lagi.

Entah mengapa aku merasa lega mendengar hal tersebut.

Setidaknya untuk sementara, aku punya tempat untuk tinggal.

Meski aku tidak tahu, seberapa lama aku akan bertahan disini.

****

Sejak saat itu, aku pun tinggal bersama Adam, si marbot mesjid tersebut.

Setiap hari, aku ikut membantu Adam untuk membersihkan dan merapikan mesjid.

Aku juga mulai belajar agama dari Adam. Aku juga mulai ikut sholat berjemaah di mesjid tersebut.

Adam selalu baik padaku. Ia yang membiayai aku makan dan minum selama aku disana.

Aku mulai menyukai sosok Adam. Pemuda sederhana yang baik dan rajin.

"mas Adam gak pengen cari pekerjaan lain?" tanyaku suatu sore pada Adam.

Kami memang sudah semakin akrab.

"aku merasa nyaman berada disini, meski gajiku hanya cukup untuk makan, tapi setidaknya aku tidak harus jadi pengemis. Dan lagi pula di sini saya juga bisa lebih fokus beribadah." ucap Adam menjelaskan.

Ya, harus aku akui, aku juga merasakan hal tersebut. Meski aku berada di sini, baru sekitar dua bulan. Tapi rasanya hatiku begitu tenang.

Kadang-kadang aku juga rindu dengan rumah. Aku rindu omelan mama dan papa. Aku rindu dengan bi Ijah, pengasuhku sejak kecil.

Tapi sepertinya mereka semua sudah melupakanku. Aku seperti di biarkan menghilang.

Beruntunglah aku bertemu Adam, setidaknya rasa rindu dan rasa kesepianku selama ini, jadi sedikit berkurang.

"makasih ya, mas Adam. Mas udah sangat baik padaku selama ini.." ucapku suatu malam menjelang kami tertidur.

Adam, seperti biasa sudah terbaring di sampingku. Ia melirikku sekilas.

"tolong menolong adalah sebuah kewajiban bagi kita sebagai sesama manusia. Jadi kamu gak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Dan lagi pula, kamu juga cukup membantu selama disini." balas Adam terdengar bijak.

Kami memang selalu tidur dalam keadaan bertelanjang dada. Karena merasa sudah saling akrab, hal itu bukan lagi menjadi sesuatu yang ganjil bagi kami berdua.

Setiap malam, tubuh kami selalu saling berdempetan dan bersentuhan.

Awalnya aku merasakan semua itu, sebagai sesuatu yang biasa saja.

Namun lama kelamaan, aku mulai merasa berdebar-debar, setiap kali kulit kami saling bersentuhan.

Aku mulai merasa nyaman dengan kehangatan tubuh mas Adam.

Kadang aku bahkan dengan sengaja merapatkan tubuh kami.

Apa lagi ketika menjelang subuh, cuaca dingin membuatku kadang dengan sengaja mendekap tubuh mas Adam.

Mas Adam sepertinya juga tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia tetap membiarkanku melakukannya.

Selama hampir empat bulan kami tidur seranjang dan saling berdempetan. Aku jadi semakin sering memeluk tubuh mas Adam.

Aku selalu ingin melakukannya, apa lagi sepertinya mas Adam juga menyukainya.

Setiap malam aku semakin berani. Semua kesepianku selama ini, seperti menemukan tempat berlabuh.

Aku yang selama ini selalu merasa kurang perhatian, kesepian dan kurang kasih sayang.

Mulai merasa menemukan tempat dimana aku diperhatikan, dibutuhkan, dan disayangi.

Hampir 24 jam selalu bersama mas Adam, membuatku seperti menemukan tempat untuk singgah.

Seumur hidup aku belum pernah begitu dekat dengan seseorang. Bahkan aku belum pernah pacaran sama sekali.

Meski sebenarnya banyak cewek yang coba mendekatiku.

Namun karena kehidupanku yang tidak seperti yang aku inginkan, aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut selama ini.

Kehadiran mas Adam benar-benar menumbuhkan rasa yang dalam di hatiku.

Yah, akhirnya harus aku akui, kalau aku telah jatuh cinta pada mas Adam.

Dunia menjadi begitu berwarna bagiku. Aku selalu merasa nyaman saat berada di samping mas Adam.

"aku sayang sama mas Adam.." bisikku suatu malam, sambil berbaring di samping laki-laki manis itu.

Wajah mas Adam sebenarnya biasa saja. Ia tidak tampan tapi juga tidak bisa dibilang jelek.

Kulitnya gelap, namun senyumnya cukup manis.

Suaranya merdu, terutama saat ia melantunkan ayat Al-Qur'an atau saat ia mengumandangkan adzan.

Kini, dimataku mas Adam jadi begitu sempurna.

"mas juga sayang sama kamu, Vin.." balas mas Adam, dengan suara sedikit bergetar.

"tapi.. kita sama-sama tahu, kalau kita tidak boleh saling jatuh cinta, Vin.." lanjutnya.

"tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta pada mas Adam.." balasku cepat.

Mas Adam tiba-tiba terdiam. Ia bangkit dari rebahannya, kemudian duduk di sisi ranjang membelakangiku.

"ini gak boleh terjadi, Vin. Ini sebuah kesalahan.." ucapnya kemudian.

"aku juga tahu ini salah, mas. Tapi aku tidak bisa lagi membohongi hatiku sendiri. Kalau aku memang benar-benar mencintai mas Adam." aku membalas lagi.

Mas Adam menopang dagunya dengan kedua tangannya, ia terlihat sedang berpikir keras.

"kita tidak mungkin melanjutkan sesuatu yang sudah jelas salah dari awal, Vin. Kita harus berhenti!" ucapnya kemudian.

Aku perlahan duduk di belakang mas Adam. Aku lingkarkan tanganku dari belakang, ke tubuh kekar milik mas Adam.

"aku tidak bisa berhenti mas. Aku sudah terlanjur berharap banyak pada mas Adam." ucapku pelan.

Mas Adam membiarkanku mendekapnya dari belakang.

"aku mohon, Vin. Sebelum semuanya semakin terlambat.." suara mas Adam serak.

"sudah terlambat untuk mengakhiri ini, mas. Perasaan dan hatiku tidak bisa dibohongi lagi.." balasku masih dengan suara pelan.

Mas Adam berusaha melepaskan tanganku, lalu ia bangkit untuk berdiri.

"cukup, Vin! Aku takut, kita tidak bisa mengendalikan diri..." suara mas Adam justru terdengar bergetar.

Ia berdiri sambil menatapku.

Aku yakin, mas Adam juga merasakan hal yang sama. Tapi ia berusaha sekuat mungkin untuk menutupi semua rasa itu.

Karena itu aku turut berdiri tepat di hadapannya.

Aku tarik tangan mas Adam agar melingkar di tubuhku.

Mas Adam sekali lagi membiarkannya, ia terlihat memejamkan mata.

Aku kemudian melingkarkan tanganku di tubuhnya, lalu menyandarkan kepalaku di dada bidang mas Adam yang masih terbalut baju kaos tipis itu.

Aku merasa begitu hangatnya tubuh itu. Aku merasa sangat nyaman.

"jangan hancurkan kebahagiaan ini, mas. Jangan hancurkan harapanku." ucapku sambil memejamkan mata menikmati hal tersebut.

"aku sayang sama mas Adam. Aku sangat menyayangimu, mas. Aku mohon, biarkan aku tetap bersandar dalam dekapanmu, mas.." suaraku mulai parau, menahan gejolak di hatiku.

Di luar dugaanku, mas Adam justru mempererat dekapannya. Ia kecup lembut rambutku.

"kamu sudah aku anggap seperti adikku sendiriku, Vin. Dan aku harap kamu juga bisa menganggapku sebagai kakakmu..." mas Adam akhirnya berucap lembut.

Antara kecewa dan bahagia aku mendengar hal tersebut.

Kecewa karena mas Adam ternyata hanya menganggapku sebagai seorang adik. Dan bahagia karena setidaknya, mas Adam masih memberikan aku kesempatan untuk selalu dekat dengannya.

****

 Part 2

Vino...

Buru-buru ku langkahkan kaki ku cepat untuk segera membukakan pintu ruangan kecil, tempat dimana aku dan mas Adam sudah tinggal bersama beberapa bulan belakangan ini.

Suara ketukan pintu itu sudah dari tadi aku dengar, tapi aku mencoba mengabaikannya. Namun suara ketukan itu semakin keras ku dengar.

Mas Adam tidak sedang berada di rumah, ia sudah sejak tadi pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan kami.

Aku terkaget, saat seraut wajah yang sudah cukup aku kenal, muncul di ambang pintu, ketika pintu itu akhirnya aku buka dengan perasaan malas.

"pak Narto?!" ucapku dengan kening berkerut.

Pak Narto adalah salah satu orang kepercayaan papa.

"dari mana pak Narto tahu, saya disini?" tanyaku selanjutnya.

"itu tidak penting mas. Sekarang mas ikut saya pulang ya.." balas pak Narto sopan.

"aku belum mau pulang, pak. Papa dan mama juga tak ingin aku pulang, kan?" aku berujar dengan nada sedikit kecewa.

Aku berharap, mama atau papa sendiri yang menjemputku ke sini.

"nyonya masuk rumah sakit, mas. Sudah dua bulan ini beliau sakit. Sejak mas pergi dari rumah, nyonya jadi sering melamun dan jarang makan. Dan akhirnya ia harus di rawat di rumah sakit. Tuan yang memerintahkan saya, untuk bisa menemukan mas. Bagaimana pun caranya, saya harus bisa membawa mas segera pulang.." jelas pak Narto panjang lebar.

Aku cukup kaget mendengar hal tersebut. Biar bagaimana pun aku sebenarnya sangat menyayangi mama. Tiba-tiba aku merasa kasihan dengan mama.

Aku berniat untuk segera ikut dengan pak Narto untuk pulang. Tapi aku ingat mas Adam tidak sedang di rumah.

Kalau aku pergi tanpa pamit padanya, ia pasti akan kehilangan. Tapi aku sudah tidak punya waktu untuk menunggunya pulang.

Karena itu, aku hanya menulis sebuah pesan singkat di secarik kertas, untuk mas Adam.

'mas, aku pergi. Terima kasih untuk semua yang telah mas berikan padaku selama beberapa bulan ini. Mas gak usah khawatir, aku pasti kembali untuk menemui mas lagi.'

Begitu kira-kira kalimat yang aku tulis di kertas tersebut.

Setelah mengemasi barang-barangku, aku segera berangkat bersama pak Narto untuk pulang.

Berat rasanya harus meninggalkan tempat tersebut. Terlalu banyak kenangan disana.

Apa lagi aku harus terpisah dari mas Adam, yang telah membuatku jatuh cinta padanya.

Namun aku bertekad dalam hatiku, jika aku punya kesempatan, aku akan datang lagi untuk menemui mas Adam.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam, kami akhirnya sampai di rumah sakit tempat mama di rawat.

Penyakit mama sebenarnya tidak begitu parah, dan kehadiranku di sana cukup mampu membuat mama tersenyum bahagia.

Mama dan papa menyambutku dengan penuh haru. Mereka berdua dengan sedikit terisak, meminta maaf padaku.

"mama sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Mama ingin menghabiskan waktu lebih banyak di rumah bersama kamu, Vin." ucap mama di sela isaknya.

"papa juga minta maaf, Vin. Papa mungkin selama ini terlalu keras sama kamu.." papa ikut menimpali.

Aku tidak berkata apa-apa. Air mataku sudah tidak bisa aku bendung.

Antara bahagia, menyesal dan merasa bersalah, aku mendekap mereka berdua.

Aku dapat merasakan, bahwa betapa mama dan papa sangat menyayangiku.

Hanya saja mungkin selama ini, mereka menunjukkannya dengan cara yang tidak aku inginkan.

Atau mungkin, justru sebenarnya aku tidak pernah menyadari hal tersebut.

"maafkan Vino juga, ma, pa..." ucapku akhirnya dengan suara terisak.

******

Hari-hari selanjutnya terasa lebih baik bagiku. Mama menepati janjinya, untuk berhenti bekerja dan lebih sering berada di rumah.

Begitu juga papa, beliau selalu pulang lebih awal dari biasanya.

Aku pun menuruti keinginan mereka untuk melanjutkan kuliahku.

Kesibukanku dengan suasana baru di rumah, membuatku sedikit melupakan tentang mas Adam.

Hingga beberapa bulan kemudian, aku pun menceritakan tentang mas Adam kepada mama.

"ia pemuda yang baik, ma. Ia juga rajin sholat. Mas Adam juga yang selama ini memberikanku tempat tinggal dan juga kebutuhanku sehari-hari.." ceritaku pada mama.

"Vino ingin mengajak ia tinggal bersama kita di rumah ini, ma. Vino juga ingin papa membiayai mas Adam untuk kuliah.." lanjutku dengan sedikit memohon.

"mama setuju aja, Vin. Selama ia baik buat pergaulan kamu. Mama gak pengen kamu salah bergaul lagi.." balas mama lembut, yang membuatku tersenyum senang.

"makasih, ma.." ucapku kemudian.

Dan beberapa hari kemudian, aku pun pergi untuk menemui mas Adam.

"aku kangen sama mas Adam.." ujarku, ketika akhirnya aku bertemu mas Adam di tempat tinggalnya.

"aku ingin mengajak mas Adam tinggal bersamaku, dan juga kuliah bersamaku.." aku melanjutkan.

Awalnya mas Adam tidak percaya dengan apa yang aku tawarkan padanya. Sampai akhirnya aku menceritakan semuanya.

Aku menceritakan tentang siapa aku sebenarnya, dan mengapa aku sampai harus kabur dari rumah.

Mas Adam mendengarkan ceritaku dengan raut muka keterkejutannya. Aku yakin, mas Adam tidak pernah menyangka sama sekali, kalau aku anak orang berada.

"maafkan aku, mas. Kalau aku membohongi mas Adam selama ini.." ucapku mengakhiri ceritaku.

Lama mas Adam terdiam. Ia terlihat sedang berusaha untuk mencerna semua yang aku ceritakan padanya.

"jadi gimana, mas. Mas Adam mau, kan?" tanyaku kemudian, setelah kami terdiam beberapa saat.

"aku gak ingin jadi beban buat keluarga kamu, Vin." suara mas Adam serak.

"mas Adam bukan beban, mas. Mas Adam sudah sangat baik padaku selama ini. Dan lagi pula, aku sudah terlanjur sayang sama mas Adam. Aku tidak ingin jauh-jauh dari mas Adam. Aku ingin kita selalu bersama-sama.." ucapku lagi, berusaha meyakinkannya.

"tapi, kamu tahu kan, Vin. Itu sebuah kesalahan. Jika kita tinggal bersama, aku takut, kita tidak bisa lagi menahan diri..." balas mas Adam.

"apa aku salah jika jatuh pada mas Adam?" tanyaku spontan.

"secara kodrat, jelas itu sebuah kesalahan, Vin. Meski kita tidak bisa mengendalikan, apa lagi memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Tapi kita juga tidak boleh terbuai dengan perasaan tersebut. Kita harus bisa mengendalikan diri.." jawab mas Adam terdengar bijak.

"tapi mas Adam kan sudah menganggap aku sebagai adik. Setidaknya biarkan aku menjadi bagian penting dalam hidup mas Adam. Kita bisa tinggal se rumah sebagai dua orang adik kakak yang saling menyayangi..." ucapku masih berusaha meyakinkannya.

"jika kamu memang bersikeras, aku bersedia, Vin. Tapi aku menganggapnya ini sebagai hutang, yang harus aku bayar suatu saat kelak.." ucap mas Adam akhirnya, setelah cukup lama ia berpikir.

"aku juga sebenarnya sudah sangat lama ingin kuliah. Aku juga punya impian, Vin. Hanya saja selama ini, aku berusaha mengubur semua impianku itu. Karena aku tidak yakin, aku masih punya kesempatan untuk meraihnya." mas Adam melanjutkan kalimatnya.

"dan sekaranglah kesempatan mas, untuk mulai mewujudkan semua impian mas itu.." balasku cepat.

Setelah kesepakatan kami, mas Adam segera menemui pengurus mesjid, untuk menyampaikan bahwa ia akan berhenti menjadi marbot mesjid tersebut.

Hatiku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Setidaknya ke depannya, aku akan selalu bisa bersama mas Adam. Sang marbot Mesjid, yang sangat aku cintai itu.

Mas Adam mengemasi beberapa barangnya, sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat tersebut bersamaku.

Sesampai di rumah, aku memperkenalkan mas Adam kepada mama dan papa. Mereka menyambut kehadiran mas Adam dengan perasaan suka.

Mas Adam memang terlihat sopan dan selalu berkata dengan kalimat yang bijak.

Mama dan Papa terlihat mulai menyukai sosok mas Adam.

Mas Adam tinggal sekamar denganku, atas permintaanku.

"bukannya lebih baik, kalau Adam tinggal di kamarnya sendiri, Vin.." itu suara papa.

"saya gak apa-apa, om. Tinggal sekamar bersama Vino.." mas Adam yang menjawab.

"oke. Terserah kalian, sih. Selama kalian merasa nyaman.." balas papa akhirnya.

Jadilah sejak saat itu,aku dan mas Adam tinggal satu rumah, satu kamar dan satu ranjang.

Meski kami sebelumnya pernah tidur seranjang selama beberapa bulan, tapi tetap saja, aku merasa bahagia, karena akhirnya aku kembali bisa merasakan sentuhan hangat tubuh mas Adam.

"kamu udah janji, Vin. Kalau kamu gak bakal macam-macam.." suara mas Adam pelan, ketika suatu malam aku berusaha melingkarkan tanganku di dadanya.

"aku gak macam-macam kok, mas. Aku hanya ingin memeluk mas Adam. Rasanya sangat nyaman, mas.." balasku dengan suara sedikit mendesah.

Sekali lagi, mas Adam hanya bisa pasrah. Ia selalu tidak bisa menolak, keinginanku tersebut.

Aku juga tidak cukup berani, untuk melakukan hal yang lebih dari itu. Mas Adam terlalu alim.

Ia tidak mudah terbujuk.

Setidaknya begitulah penilaianku terhadap mas Adam, sampai saat ini.

*****

 Adam...

Namaku Adam.

Aku tidak tahu dimana aku lahir, dan siapa sebenarnya orangtuaku.

Aku tumbuh dan dibesarkan di sebuah panti asuhan.

Aku di sekolahkan di sebuah pondok pesantren.

Setelah lulus dari pesantren, aku mulai bekerja sebagai seorang marbot Mesjid.

Lebih dari setahun aku bekerja menjadi seorang marbot Mesjid. Hingga suatu saat, tanpa sengaja, aku bertemu dan berkenalan dengan seorang pemuda yang mengaku bernama Vino.

Menurut cerita Vino awalnya, ia adalah seorang perantau, yang mencoba mencari pekerjaan di kota.

Tapi kemudian ia tersesat di dekat mesjid tempat aku bekerja.

Aku merasa kasihan melihat Vino, yang terlihat kusut dan seperti dalam keadaan bermasalah.

Aku mencoba mengajaknya untuk tinggal bersamaku. Kebetulan aku tinggal di dekat mesjid tempat aku bekerja. Sebuah ruangan kecil disediakan untukku.

Sudah lebih dari setahun aku tinggal sendirian di ruangan kecil itu.

Vino terlihat sebagai laki-laki baik di mataku.

Aku bersedia menampungnya dan mengajaknya tinggal bersamaku, setidaknya sampai ia benar-benar punya tujuan.

Vino selalu rajin membantuku membersihkan mesjid.

Meski Vino terlihat sebagai seseorang yang tidak tahu soal agama, tapi ia cukup pintar dalam belajar agama.

Aku berusaha memberinya sedikit ilmu agama, yang aku kuasai.

Berbulan-bulan Vino tinggal bersamaku. Pekerjaanku menjadi sedikit ringan, karena selalu di bantu oleh Vino.

Kami tinggal di dalam satu ruangan, dan tidur satu ranjang setiap malam.

Ranjang yang sempit dan kecil itu, membuat kami selalu tidur berdempetan.

Awalnya aku merasa semuanya biasa saja.

Namun lama-kelamaan, entah mengapa, aku merasa mulai nyaman, tidur di samping Vino.

Vino pemuda yang tampan, kulitnya putih dan bersih.

Meski tubuhnya sedikit kurus, namun terlihat berotot.

Aku merasa hangat, setiap kali kulit kami saling bersentuhan.

Dan Vino pun, kian lama kian berani, untuk sekedar mendekapku.

Walau merasa sedikit risih, namun aku juga menikmati setiap dekapan hangat tubuh Vino. Karena itu aku selalu membiarkannya, selama belum melampaui batas.

Tapi semakin lama Vino semakin berani. Dia bahkan dengan terang-terangan mengungkapkan perasaan suka nya padaku.

Harus aku akui, kalau aku memang mulai menyayangi Vino, setidaknya aku merasa menyayanginya seperti adikku sendiri.

"aku juga sayang sama kamu, Vin. Tapi aku menyayangimu seperti adikku sendiri.." begitu ucapku, ketika Vino suatu malam mengutarakan perasaannya.

Aku tahu, Vino berharap lebih padaku. Namun aku juga sadar, bahwa semua itu jelas adalah sebuah kesalahan.

Dan aku tidak ingin Vino terus terhanyut dengan perasaannya, yang sudah jelas sebuah kesalahan itu.

Aku berusaha memberi pengertian pada Vino, agar tidak lagi bermain dengan perasaannya itu.

Walau terlihat cukup berat,sepertinya Vino berusaha menerima kalau kami tidak mungkin melanjutkan hubungan yang terlarang tersebut.

Hingga suatu saat, Vino tiba-tiba pergi dari tempatku dengan meninggalkan secarik kertas, yang berisi ucapan selamat tinggalnya, dan ia berjanji akan kembali lagi.

Berat rasanya, harus terpisah dari Vino, yang telah menghiasi hari-hariku belakangan ini.

Tapi mungkin itu jauh lebih baik. Karena jika kami terus bersama, aku takut aku tidak bisa lagi membendung perasaanku sendiri.

Sebulan berlalu, ketika Vino tiba-tiba muncul lagi, dengan keadaan yang jauh lebih baik.

Ia datang dengan mengendarai sebuah mobil mewah, yang ia akui adalah milik papanya.

Vino akhirnya jujur, kalau ia sebenarnya adalah anak orang kaya, yang saat itu kabur dari rumah.

Awalnya aku mencoba untuk tidak mempercayainya, namun Vino berusaha kerasa untuk meyakinku.

Vino bahkan menawarkanku untuk tinggal bersamanya, di rumah mewahnya.

Vino juga menawarkan agar aku bisa kuliah, yang semua biayanya ditanggung oleh orangtuanya.

Aku berusaha menolak tawaran tersebut. Meski sebenarnya sudah sangat lama, aku ingin kuliah.

Aku juga punya impian dalam hidup ini. Dan seperti kata Vino, mungkin ini adalah jalan bagiku untuk mewujudkan impianku tersebut.

Meski merasa cukup berat, akhirnya aku setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Vino.

Vino memperkenalkanku kepada mama papanya. Mereka menyambutku dengan sangat baik.

Aku tinggal sekamar dengan Vino, atas permintaan Vino sendiri.

Vino berjanji padaku, bahwa ia tidak akan melakukan hal macam-macam padaku.

Tapi tetap saja, setiap malam Vino selalu berusaha tidur dalam dekapanku.

Seperti biasa, aku selalu membiarkannya. Selama masih dalam batas kewajaran. Bathinku.

Hampir dua bulan aku tinggal di rumah Vino. Mulanya semua berjalan biasa saja.

Vino selalu bersikap baik padaku. Ia menepati janjinya untuk tidak melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan.

Kedua orang tua Vino, juga memperlakukanku dengan baik. Mereka benar-benar menganggapku seperti anak sendiri.

Hingga pada suatu pagi, saat itu aku merasa kurang enak badan. Karena itu aku tidak berangkat kuliah seperti biasa.

Aku hanya berbaring malas di kamar. Vino sudah berangkat kuliah sejak tadi.

Saat tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan sesosok tubuh om Hardi, papanya Vino muncul di ambang pintu.

Om Hardi sangat jarang biasanya masuk ke kamar kami.

"kata Vino, kamu sakit.." lembut suara om Hardi, ketika ia akhirnya duduk di sisi ranjang.

Aku berusaha bangkit dari rebahanku.

"iya, om. Tapi sekarang udah mendingan, kok." ucapku pelan.

Selanjutnya om Hardi mulai bertanya-tanya banyak hal padaku.

Mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga menjurus ke arah pribadi.

Aku memang sudah menganggap om Hardi seperti ayahku sendiri, karena itu aku tidak merasa begitu sungkan untuk bercerita dengannya.

Om Hardi juga sangat baik padaku selama ini. Ia yang telah membiayai aku kuliah dan juga membiayai aku hidup.

Tapi semakin lama, om Hardi semakin membuatku merasa aneh dengan tingkahnya.

Ia tidak segan-segan menyentuh tubuhku yang hanya memakai baju singlet.

Aku berusaha menghindar. Tapi sepertinya om Hardi memang sengaja melakukannya.

"kamu sangat kekar dan tampan, Dam. Om jadi suka melihat kamu.." ucap om Hardi di tengah-tengah usahanya untuk meraba tubuhku.

"maksud om apa?" tanyaku dengan terus berusaha menepis tangannya.

"om ingin sekali berhubungan intim denganmu, Dam. Om akan penuhi apapun permintaan kamu. Dan jika kamu tidak mau, om tidak akan lagi membiayai kuliah kamu. Om bahkan akan mengusir kamu dari rumah ini..." begitu ucap om Hardi akhirnya, melihat aku yang terus berusaha menolaknya.

"om seorang gay?" tanyaku bergetar menahan gejolak.

Hatiku terasa bimbang tiba-tiba.

Baru saja aku akan memulai hidup yang lebih baik. Dan berharap ini semua adalah awal dari terwujudnya semua mimpiku.

Namun sekarang aku harus dihadapi pada kenyataan pahit. Dengan pilihan yang teramat sulit. Jika aku menolak keinginan om Hardi, itu artinya aku harus kehilangan kesempatan untuk meraih impianku.

Namun jika aku memenuhi permintaannya, itu artinya, aku telah menghianati kodratku sebagai laki-laki.

Dan juga aku pasti akan merasa bersalah kepada Vino.

Vino yang selama ini selalu berusaha sabar, menunggu aku siap untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengannya.

Aku mungkin masih bisa memberi pengertian kepada Vino, tapi kepada papanya, jelas hal itu tidak berlaku.

Sementara aku masih terus berpikir, om Hardi ternyata sudah mulai beraksi.

Ia mulai berusaha membuatku mengikuti keinganannya.

Akhirnya aku tak kuasa menolak. Akhirnya aku hanya pasrah, dan membiarkan om Hardi melakukan apapun yang di inginkannya.

Bukan karena aku menginginkannya. Tapi terlebih karena aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk meraih impianku.

Mungkin ini memang harus terjadi. Sebagai bentuk pengorbananku untuk mencapai apa yang aku impikan.

Perlahan namun pasti, om Hardi mulai berhasil membuatku terbuai dengan permainan indahnya.

Apa lagi, ini pertama kalinya, aku merasakan hal tersebut.

Aku berusaha menikmatinya. Aku berusaha mengimbangi permainan om Hardi.

Hingga akhirnya kami sama-sama terhempas.

*****

Berbulan-bulan hal itu terjadi.

Om Hardi selalu punya cara untuk dapat melakukan hal tersebut denganku.

Om Hardi jadi sering masuk ke kamar kami, terutama saat Vino tidak sedang di rumah.

Aku selalu tak kuasa menolak, setiap kali om Hardi menginginkan hal tersebut.

Namun semua tidak berjalan dengan lancar.

Suatu pagi, Vino akhirnya memergoki aku dan om Hardi yang sedang bergumul di atas ranjang.

Vino yang masuk dengan tiba-tiba ke dalam kamar tersebut, terlihat sangat syok.

Dia terlaku cukup lama, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja di saksikannya.

Sebelum kami sempat melakukan apa-apa, Vino tiba-tiba segera memutar tubuh untuk keluar dari kamar itu. Ia menghempaskan pintu kamar dengan sangat keras.

Om Hardi berusaha mengejarnya, namun karena ia harus memakai pakaiannya terlebih dahulu, Vino sudah terlanjur pergi dari rumah itu.

Siangnya kami mendapat kabar, kalau Vino mengalami sebuah kecelakaan berat.

Sebuah mobil tak sengaja menabraknya, yang membuat Vino harus di bawa ke rumah sakit, dan mengalami koma hingga beberapa hari.

Mama dan papa Vino tentu saja sangat terpukul dengan kecelakaan yang menimpa Vino tersebut. Dan aku juga merasa sangat bersalah kepada Vino.

******

Vino...

Aku mencoba untuk tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Tapi kenyataan itu terlalu menyakitkan bagiku.

Mas Adam, orang yang selama ini selalu aku cintai, justru aku temukan sedang bermesraan dengan papaku sendiri.

Hatiku sangat sakit melihat itu semua.

Dan yang paling menyakitkan dari itu semua, ialah ketika aku mengetahui, kalau papa ku ternyata juga seorang gay.

Aku anak seorang pria gay. Mungkin karena itu juga, aku jadi lebih tertarik kepada laki-laki.

Tiba-tiba aku menjadi sangat membenci mas Adam.

Ia yang selalu berusaha menolakku, tapi justru ia melakukannya dengan papaku.

Aku berlari sejauh-jauh nya dari rumah.

Pikiranku benar-benar kacau.

Dalam kekalutan ku itu, tiba-tiba sebuah mobil datang dari arah sampingku. Mobil itu tak sengaja menabrakku, yang membuatku terpental cukup jauh.

Dan tiba-tiba aku tak sadarkan diri.

****

Aku terbangun di dalam sebuah kamar rumah sakit.

Menurut cerita mama belakangan, aku ternyata sudah koma selama beberapa hari.

Saat aku membuka mata, aku melihat wajah mama yang sembab karena habis menangis. Ia duduk di sampingku, dengan terus menggenggam tanganku.

Di ujung kakiku, aku melihat raut muka papa. Ia berdiri tepat di sudut ranjang tempat aku terbaring.

Melihat wajah papa, tiba-tiba aku mengingat semuanya.

Aku mengingat kembali kejadian, ketika melihat papa dan mas Adam sedang bergumul di dalam kamarku.

Hatiku kembali merasakan sakit yang teramat sangat.

Aku ingin melupakan peristiwa itu. Aku ingin menghapus dari ingatanku.

Tapi selalu saja, bayangan itu melintas di benakku.

Tiba-tiba aku berteriak sejadi-jadinya, yang membuat mama dan papa menjadi panik.

"aku dimana? dan kalian ini siapa?" tanyaku terbata.

Aku melihat wajah mama berubah pucat, ketika mendengar ucapanku barusan.

Mama dan saling tatap.

Ya, aku baru saja mendapat ide. Aku ingin pura-pura lupa ingatan.

Aku tidak ingin papa terus merasa bersalah sepanjang hidupnya, karena aku yang telah mengetahui siapa dia sebenarnya.

Dalam kepanikan itu, mama segera memanggil dokter.

Seorang dokter masuk, dan meminta mama dan papa untuk keluar dari ruangan tersebut.

Aku merasa punya kesempatan untuk membujuk sang dokter, agar mendiagnosa ku dan menyatakan kalau aku mengalami geger otak, yang membuatku lupa ingatan.

Tentu saja dokter itu menolak keinganan ku tersebut.

"aku mohon, dok. Ini penting bagi saya.." ucapku menghiba.

"tapi itu melanggar etika ku sebagai seorang dokter.." balas dokter laki-laki itu.

"aku tahu, dok. Karena itu, aku bersedia membayar dokter berapa saja, asal dokter mau berbohong kepada keluargaku, kalau aku mengalami amnesia.." aku berujar lagi.

Aku benar-benar berharap dokter itu mau melakukannya. Aku tidak ingin papa maupun mas Adam merasa malu di hadapanku.

Setelah dengan susah payah aku membujuknya, dokter itu pun akhirnya setuju.

"tapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya, aku tidak mau bertanggungjawab.." ucap dokter itu.

Aku tersenyum menang, setidaknya ini mungkin jauh lebih baik, dari pada aku harus terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Aku mendengar suara tangis histeris mama di luar, ketika sang dokter mengatakan tentang aku yang lupa ingatan.

Papa dan mama segera masuk untuk menengok keadaanku.

Aku berusaha bersikap sedatar mungkin, dan ternyata hal itu tidak mudah.

Tapi aku harus bisa. Aku tidak ingin merusak rencana yang sudah aku buat.

Seminggu aku di rawat di rumah sakit. Luka-luka ku sudah mulai sembuh, tapi yang orang-orang tahu, aku tidak ingat apa-apa sekarang.

Mas Adam juga terkadang ikut menemaniku di rumah sakit. Aku melihat raut wajah merasa bersalah di matanya.

Aku sudah diperbolehkan pulang.

"tentang penyakit amnesia nya, kalian tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Biarkan ia sembuh dengan caranya sendiri. Dan jangan kalian memaksanya untuk mengingat semuanya.." begitu pesan dokter yang sudah aku bayar tersebut, kepada mama dan papa.

******

Om Hardi

Namaku Hardi.

Aku lahir dan dibesarkan dari keluarga sederhana.

Aku anak ketiga dari lima bersaudara. Kami berlima semuanya laki-laki.

Meski kehidupan kami pas-pasan, namun kedua orangtua ku berhasil membuat kami, sekurang-kurangnya, menamatkan sekolah SMA.

Setelah lulus SMA, aku berusaha sendiri untuk membiayai kuliahku.

Aku merantau dan mencari kerja sampingan, untuk biaya kuliah dan juga biaya hidupku.

Aku mulai menyadari kalau aku seorang gay, ketika aku masih SMA.

Aku pernah jatuh cinta kepada guru olahraga. Sebuah cinta yang terpendam.

Ketika kuliah, aku pernah pacaran dengan laki-laki rekan kerjaku.

Dulu aku bekerja sebagai seorang pelayang di sebuah toko, sepulang kuliah.

Namun hubungan percintaan di dunia gay, memang sangat jarang bertahan lama.

Aku juga orangnya sangat tertutup. Jadi aku sangat jarang berhubungan dengan laki-laki sesama gay.

Setelah berhasil lulus kuliah dengan perjuangan yang sangat berat. Aku mulai merintis bisnisku.

Selama proses perjuanganku tersebut, aku pernah beberapa kali pacaran dengan sesama jenis.

Namun selalu hubungan percintaanku mengalami kegagalan.

Aku mulai tidak percaya dengan hubungan cinta sesama jenis. Karena itu, aku lebih sering menyewa orang, saat aku ingin menumpahkan hasratku tersebut.

Sampai akhirnya aku bertemu Tina, yang sekarang menjadi istriku dan juga mamanya Vino.

Aku sebenarnya tidak mencintai Tina, tapi karena usiaku yang sudah kepala tiga, mau tidak mau aku memang harus berumah tangga.

Aku dan Tina akhirnya menikah, dan setahun kemudian Vino pun lahir.

Selama menikah dengan Tina, aku masih sering berhubungan dengan laki-laki. Meski hanya sekedar cinta satu malam, suka sama suka, tanpa ada ikatan apa pun.

Aku masih sering membooking orang untuk menumpahkan hasratku.

Namun semenjak Vino mulai tumbuh remaja, aku mulai mengurangi hal tersebut.

Aku tidak ingin Vino tumbuh dalam asuah seorang ayah yang ternyata seorang gay.

Bertahun-tahun aku berhasil, memendam hasratku sebagai seorang gay.

Aku tidak pernah lagi, berhubungan dengan dunia gay.

Tapi semenjak kehadiran Adam, teman barunya Vino, di rumah kami. Tiba-tiba hasratku tergugah kembali.

Adam terlalu menggoda. Adam sangat sempurna sebagai seorang laki-laki.

Bahkan semua laki-laki yang pernah aku booking, tidak mampu mengalahkan sosok Adam.

Meski Adam berkulit sedikit gelap, namun tubuhnya yang kekar dan berotot membuat ia punya daya tarik yang kuat.

Mulanya aku mencoba bersikap biasa saja. Aku mencoba memendam keinginanku untuk merasakan kehangat tubuh Adam.

Namun ternyata aku tidak sekuat itu.

Setiap hari bertemu Adam, dan sering melihatnya bertelanjang dada, justru membuatku semakin penasaran.

Karena penasaran dan juga karena aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut, aku akhirnya memberanikan diri, untuk memaksa Adam.

Aku bahkan mengancam Adam, agar mau melayaniku.

Meski dengan perasaan yang berat, Adam akhirnya menyerah.

Sejak pertama kali melakukannya dengan Adam, aku justru menjadi sangat terkesan.

Adam laki-laki yang luar biasa. Belum pernah aku bertemu laki-laki setangguh Adam.

Ia mampu membuatku melayang berkali-kali, hanya dalam waktu beberapa jam.

Aku menjadi ketagihan karena Adam. Karena itu, aku selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk bisa menikmati Adam.

Namun ternyata, karena kecerobohanku, Vino, anakku, akhirnya memergoki kami yang sedang bergumul di dalam kamarnya.

Hal itu tentu saja membuatku sangat terpukul.

Aku berusah mengejar Vino, yang pergi dari rumah dalam keadaan marah besar.

Dan sebuah kecelakaan membuat Vino harus masuk rumah sakit, dan mengalami koma selama beberapa hari.

Saat Vino pertama kali membuka mata, setelah koma-nya, jantungku berdebar tak karuan.

Aku merasa sangat malu pad Vino. Tapi aku juga tidak tega melihatnya seperti itu.

Aku melihat raut kebencian di mata Vino, ketika ia menatapku.

Namun tiba-tiba ia berteriak, lalu berucap...

"aku dimana? dan kalian siapa?" suaranya terbata.

Aku dan istriku saling tatap. Meski dokter mengatakan kalau luka di kepala Vino tidak terlalu parah, namun aku mulai curiga kalau Vino bisa saja mengalami geger otak.

Sampai akhirnya seorang dokter datang memeriksa Vino. Sang dokter meminta kami untuk keluar dan meninggalkan ia dan Vino di dalam ruangan tersebut.

Setengan jam kemudian, dokter tersebut keluar dan mengatakan kepada kami, bahwa Vino mengalami amnesia ringan. Benturan di kepalanya, membuat ia lupa ingatan.

Entah merasa senang atau merasa sakit aku mendengar hal tersebut.

Senang, karena setidaknya untuk sementara rahasiaku aman.

Sakit, karena biar bagaimana pun, Vino adalah putra kami satu-satunya. Dan sebagai seorang ayah, tentu saja aku selalu menginginkan yang terbaik buat Vino.

Seminggu kemudian, Vino pun di perbolehkan pulang. Dengan keadaan dia masih tidak ingat apa-apa.

Sementara aku dan Adam masih terus berhubungan.

Sebenarnya Adam sangat tidak ingin kami masih melakukan hal tersebut. Tapi aku terus saja memaksanya.

Entah mengapa, aku selalu ingin merasakan kehangatan dari Adam.

Adam adalah laki-laki yang berbeda. Aku merasa dia sangat istimewa.

Namun sebulan kemudian, tiba-tiba Adam menghilang.

Dia menghilang tanpa kabar.

Aku merasa terpukul dan sangat merasa kehilangan.

Tapi mungkin itu jauh lebih baik, setidaknya dengan tidak ada lagi Adam di rumah kami, bisa mengurangi keinginanku untuk selalu bersamanya.

*****

Vino...

Kembali ke rumah rasanya sangat aneh.

Aku tidak ingin masuk ke kamarku lagi, terlalu menyakitkan rasanya setiap kali bayangan papa dan mas Adam sedang bercumbu melintas.

Aku kembali ke rumah dengan menjadi orang asing. Aku harus bisa tetap memainkan peranku sebagai orang yang tidak ingat apa-apa.

Rasanya berat, harus setiap hari menjadi orang yang pura-pura lupa.

Aku masih melihat papa dan mas Adam sering bertemu diam-diam. Mereka sepertinya masih terus menjalin hubungan. Apa lagi yang mereka tahu, kalau aku tidak ingat apa-apa tentang hubungan terlarang mereka berdua.

Dan hal itu semakin membuatku merasa sakit.

Hingga sebulan kemudian, aku menemukan selembar surat yang sengaja di letakkan di atas meja belajarku.

Ternyata itu surat dari mas Adam.

"buat Vino..

Dari awal aku sudah tahu, kalau kamu pura-pura lupa ingatan. Jangan tanya kenapa aku mengetahuinya. Namun yang jelas, aku sudah sangat mengenal kamu, Vin.

Aku tidak tahu pasti, alasan apa yang membuat kamu memutuskan untuk menjadi orang yang pura-pura lupa ingatan. Aku juga tidak terlalu memikirkan hal tersebut.

Namun aku hanya ingin kamu tahu, Vino. Bahwa aku sangat ingin meminta maaf padamu.

Aku ingin menjelaskan semuanya. Tapi kamu selalu menghindariku.

Mungkin melalui surat ini, aku akan menceritakan semuanya.

Aku tidak tahu harus memulai dari mana.

Tapi yang pasti, aku sangat terpaksa melakukannya, Vin. Aku tidak punya pillihan lain saat itu.

Namun sekarang aku sadar, bahwa apa pun alasannya, jelas perbuatan kami tersebut adalah sebuah kesalahan.

Dan karena itu, aku ingin mengakhiri semuanya.

Aku pergi, Vin. Sekali lagi maafkan aku...

Dari : Adam.

****

Aku meremas surat itu, dan membuangnya ke dalam tong sampah.

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini.

Sekali pun mas Adam memutuskan untuk menghilang tanpa kabar, itu tidak akan merubah apa pun.

Semuanya telah terjadi.

Aku masih belum bisa menerima, kalau ternyata papaku adalah seorang gay.

Rasanya sakit harus mengakui hal itu.

Tapi sampai kapan, aku mampu hidup dalam ke pura-puraan.?

Karena itu, aku pun memutuskan untuk pindah ke luar negeri.

"aku pengen kuliah dan juga sekalian berobat disana, ma.." ucapku kepada mama, saat aku mengutarakan keinginanku untuk pergi ke luar negeri tersebut.

Mama dan papa tentu saja tidak setuju. Namun aku terus memaksa, yang membuat mereka akhirnya luluh.

Setidaknya itu satu-satunya cara saat ini, agar aku tidak lagi bertemu dengan papa.

***

Cari Blog Ini

Layanan

Translate