Namaku Candra. Saat ini aku sudah berusia 32 tahun lebih. Aku sudah menikah dan sudah memiliki 2 orang anak.
Anak
pertama ku perempuan, sudah berusia 7 tahun. Sedangkan anak bungsu ku
laki-laki, ia baru berusia 3 tahun. Saat ini istri ku sedang mengandung anak ketiga kami, usia kandungannya baru 4 bulan.
Aku memang menikah pada saat usia ku masih 24 tahun waktu itu. Sementara istri ku sendiri saat itu masih 22 tahun usianya.
Aku dan istri ku menikah atas dasar saling cinta. Kami sempat pacaran selama hampir tiga tahun.
Setamat SMA, aku tidak melanjutkan kuliah, karena kondisi ekonomi orangtua ku yang memang hanya pas-pasan. Di tambah pula ketiga orang adik-adik ku masih butuh biaya banyak waktu itu.
Sementara istri ku sendiri juga tidak kuliah, ia hanya lulusan SMA, sama seperti ku. Orang tua istri ku juga termasuk golongan orang yang tidak mampu.
Sebenarnya aku dan istri ku berasal dari kampung yang sama, karena itulah kami sudah saling kenal sejak lama. Namun setelah menikah, kami memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Karena di kampung aku hanya bekerja sabagai buruh tani.
Pindah ke kota, ternyata tak seindah yang kami bayangkan. Bahkan kehidupan tidak kunjung membaik, meski telah berbagai usaha kami lakukan, untuk mengubah nasib kami.
Di kota aku hanya bisa menjadi seorang kuli bangunan. Tak jarang aku lebih sering menganggur, karena tidak ada proyek yang harus aku kerjakan. Beruntunglah istri ku punya usaha katering kecil-kecilan, sehingga kami masih bisa bertahan hingga saat ini.
Sebagai seorang kuli, aku memang sering tidak berada di rumah. Mengingat, kadang, tempat kerja ku cukup jauh. Sehingga mau tidak mau, aku harus sering menginap di proyek tempat aku bekerja sebagai kuli.
Tak jarang pula, aku harus menginap di tempat kerja ku, selama berminggu-minggu, agar bisa menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu.
Sebenarnya aku, istri ku dan anak-anak ku, sudah terbiasa dengan hal tersebut. Kami sudah terbiasa terpisah beberapa hari bahkan hingga berbulan-bulan. Apa lagi jika lokasi tempat aku bekerja berada jauh di luar kota.
Berada jauh dari istri dan anak-anak ku, sudah menjadi hal yang biasa bagi ku. Meski kadang, aku harus kuat menahan kerinduan ku kepada mereka.
Beurntunglah, aku punya banyak rekan kerja, sesama kuli. dan sama-sama jauh dari keluarga. Sehingga aku tidak terlalu merasa kesepian.
Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini.
*****
Pada suatu waktu, aku dan rekan-rekan sesama kuli ku, mendapatkan sebuah proyek pembangunan perumahan, di daerah yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal. Perjalanan untuk sampai kesana bisa memakan waktu satu hari lebih, naik bis.
Karena berada cukup jauh, kami semua memang dianjurkan untuk tinggal sementara di tempat pembangunan perumahan tersebut. Ada rumah khusus tempat kami para kuli tinggal sementara di sana.
Menurut keterangan dari mandor kami waktu itu, proyek perumahan tersebut, baru akan selesai sekitar 3 atau 4 bulan ke depan. Dan selama itu, kami hanya boleh pulang sekali dalam sebulan.
Sebenarnya hal itu tidak terlalu jadi masalah bagi kami, terutama bagi ku. Karena kami sudah terbiasa berpisah berbulan-bulan dengan istri dan anak kami.
Namun sebagai laki-laki yang sudah menikah, kadang ada kerinduan tersendiri akan istri di rumah. Sebagai seorang laki-laki normal, kami juga punya kebutuhan biologis yang harus disalurkan. Namun karena sering berada jauh dari istri, kadang kami hanya bisa menyelesaikannya sendirian.
Aku sendiri sering merindukan istri ku, terutama ketika malam mulai menjelang. Aku hanya bisa membayangkan wajah istri ku, saat menjelang tidur.
Hingga pada suatu sore, setelah selesai mandi sepulang kerja, aku sengaja berjalan kaki sendirian keliling kompleks perumahan yang masih sepi tersebut.
Tepat di depan sebuah rumah, yang merupakan satu-satunya rumah yang berpenghuni waktu itu, aku sengaja memelankan langkah ku, sambil memperhatikan rumah yang terbuka tersebut.
Tiba-tiba sesosok wanita , yang masih cukup muda, keluar dari rumah tersebut. Wanita itu pun terlihat sedikit kaget, melihat kehadiran ku di depan rumahnya. Tapi buru-buru aku mengalihkan pandangan ku ke arah jalan.
"mau kemana, mas?" di luar dugaan ku, wanita itu menegur ku.
Aku memutar kepala untuk kembali melihat ke arah wanita tadi, sambil menghentikan langkah ku. Aku pun tersenyum ramah, menatap wanita itu kembali.
"hmmm... anu.. anu mbak.. saya mau keliling-keliling aja.." balasku terbata, karena ku lihat wanita itu menatapku dengan tersenyum.
"disini sepi loh, gak takut keliling-keliling sendirian?" tanya wanita itu lagi.
"mbak sendiri gak takut sendirian di rumah?" balasku balik bertanya, mencoba untuk terndengar ramah.
"saya gak sendirian kok tinggal di rumah ini, tapi sekarang suami saya memang sedang pergi ke kota, untuk berbelanja keperluan kami.. yah... mungkin pulangnya malam.." jelas wanita itu kemudian.
"oh.. gitu.." balasku sedikit membulatkan bibir, "sekarang mbak sendirian?" tanyaku melanjutkan.
"jangan panggil mbak lah, panggil aja Nurma.." ucap wanita itu, seakan mengabaikan pertanyaanku barusan.
"oh, ya.. mas siapa namanya?" tanya wanita, yang mengaku bernama Nurma itu melanjutkan, "mampir dulu sebentar gak apa-apa kok, mas.." lanjutnya lagi menawarkan.
Aku yang memang sedang merasa haus, tentu saja tidak menolak tawaran tersebut. Mumung dia juga lagi sendiri di rumah, kan.
Nurma memang masih terlihat muda, mungkin baru berusia 25 tahun. Dia juga seorang wanita yang cukup cantik, dengan postur tubuh yang ramping.
Tanpa sungkan aku pun singgah di rumah tersebut. Nurma mempersilahkan aku duduk di kuris teras depan rumahnya itu.
"namaku Candra..." ucapku, setelah aku duduk di samping Nurma, yang hanya memakai baju daster.
"mas Candra yang kerja jadi kuli di situ ya?" tanya Nurma kemudian.
"kok dek Nurma tahu?" aku balik bertanya lagi.
"yah.. kan yang tinggal di perumahan ini, baru cuma kalian para kuli loh. Selain kami juga. Tapi ngomong-ngomong, mas Candra gak tahu ya, kalau saya ini istrinya pak Imam, mandor kalian." jelas Nurma, sambil ia sedikit melirik padaku.
"oh.." sekali lagi aku membulatkan bibir, aku benar-benar tidak tahu, kalau pak Imam, mandor kami tersebut tinggal bersama istrinya di sini. Karena selama lebih kurang satu minggu kerja disini, aku gak pernah melihat Nurma sebelumnya.
"jadi gimana, mas? Rasanya jauh dari istri? Merasa kesepian gak tuh?" tiba-tiba Nurma bertanya demikian padaku.
Aku beranikan diri untuk menatap Nurma, mata kami pun saling tatap untuk beberapa saat. Nurma tersenyum penuh arti padaku.
"yah.. pasti kesepian lah dek Nurma, namanya juga lagi jauh dari istri. Apa lagi kalau malam menjelang tidur, pasti keingat istri terus." balasku apa adanya, dan dengan niat tertentu.
"apa lagi udah lama juga gak nyetor ya?" ucap Nurma, sambil sedikit menekan suara, dengan maksud tertentu.
"yah itu masalahnya, mau nyetor jauh, ya udah... kadang terpaksa di buang-buang aja.." balasku pelan.
"mubazir loh, mas Candra. Mending nyetor nya sama saya aja.." Nurma berucap dengan senyum yang cukup menggoda.
"emang dek Nurma mau?" tanyaku penasaran.
"kalau performa mas Candra bisa lebih baik dari suami saya, saya mau aja.. itung-itung cari pengalaman baru, iya.. kan?" balas Nurma blak-blakan.
"ya udah, ayuk kita coba. Saya jamin performa saya pasti lebih baik.." ucapku dengan penuh ambisi.
"sekarang?" tanya Nurma dengan raut heran.
"iya.. sekarang... sebelum suami kamu pulang, kan?" balasku merasa tertantang.
"oke,,, ayok kita ke dalam.." ucap Nurma, sambil ia mulai berdiri perlahan.
Aku pun dengan spontan ikut berdiri dan melangkah mengikuti Nurma dari belakang, sambil menutup pintu dengan perlahan.
******
"gimana performa saya?" tanya ku setelah pertempuran kami selesai tiga ronde.
"yah... gimana ya... sangat bagus... jauh lebih baik dari performa suami saya.. " balas Nurma terlihat tersipu.
"jadi untuk selanjutnya, saya masih bisa nyetor sama kamu kan?" tanyaku ingin tahu.
"kalau suami ku gak ada di rumah boleh aja.." balas Nurma lagi.
"kalau suami mu ada di rumah, nanti kita cari tempat lain aja. Gak usah di rumah ini." ucapku membujuk.
"gak bisa. Kalau suami ku ada disini, aku mana boleh keluar.." balas Nurma pelan.
"yah..." desahku sedikit kecewa, "semoga suami kamu sering-sering ke kota ya.." lanjutku lirih.
"biasanya sekali seminggu sih, ia belanja ke kota. Tapi kadang-kadang ia juga sering ke kota untuk menemui bos nya.." ucap Nurma kemudian.
"ya udah gak apa-apa. Yang penting kamu masih mau kan?" balasku sedikit bertanya.
"kalau performa mas Candra sebagus itu, aku pasti mau lah.." ucap Nurma lagi.
"oke. Kalau gitu saya pamit dulu, takut suami mu keburu pulang.." ucapku kemudian, sambil mulai bangkit berdiri, dan memakai pakaian ku kembali.
****
Dan begitulah, selama masa aku bekerja di proyek perumahan tersebut, aku jadi tidak merasa kesepian lagi. Setidaknya aku punya tempat untuk mencurahkan rasa kesepian ku tersebut.
Suami Nurma, pak Imam, mandor ku tersebut, memang sering pergi ke kota. Paling tidak sekali seminggu, ia pasti tidak berada di rumah. Dan aku mulai hafal akan hal tersebut. Setiap kali, pak Imam pergi ke kota, aku akan segera diam-diam menemui Nurma di rumahnya.
Hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan, setidaknya selama aku bekerja di proyek perumahan tersebut.
Sebenarnya ada rasa bersalah yang bersarang di hatiku, setiap kali aku bersama Nurma. Tapi aku mencoba mengabaikan hal tersebut. Aku sadar, jika apa yang aku lakukan bersama Nurma, adalah sebuah kesalahan. Aku telah mengkhianati istri dan anak-anak ku.
Kadang aku berusaha untuk menolak keinginan tersebut, tapi setiap kali aku berusaha untuk menolaknya, setiap kali pula keinginan itu terus memaksa ku untuk melakukannya lagi.
Aku hanya laki-laki biasa. Aku tak bisa melawan keinginan tersebut. Apa lagi keadaan ku saat ini, yang berada jauh dari istri ku.
Tapi aku berjanji dalam hati ku, semua ini hanya akan terjadi, selama aku bekerja di sini. Nanti jika aku sudah kembali ke rumah, aku akan mengakhiri semuanya. Ini hanya bersifat sementara.
Dan aku berharap, hal ini tidak akan pernah terjadi lagi. Semoga saja aku mampu menahan godaan tersebut, dimana pun aku akan bekerja nantinya.
Yah.. semoga saja..
*****