Pembantu ku yang cantik (kisah nyata)

Namanya Bi Ijah, dan dia sudah berusia 45 tahun lebih. Bi Ijah juga sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Tapi suami dan anak-anaknya tinggal di kampung. Bi Ijah hanya pulang ke kampungnya, dua kali dalam setahun. Yakni saat lebaran dan juga tahun baru.

Bi Ijah sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja menjadi pembantu di rumah kami. Saat itu, aku masih berusia sembilan tahun. Dan sekarang aku sudah berusia sembilan belas tahun, dan juga sudah kuliah.

Aku dan bi Ijah cukup dekat, karena sejak kecil, aku sudah sering tinggal bersamanya di rumah kami. Papa dan mama ku adalah dua orang yang super sibuk. Bahkan mereka hanya punya satu orang anak, yaitu aku, sebagai anak semata wayang mereka.

Secara ekonomi, kehidupan kami memang terbilang sangat mapan. Bahkan aku sendiri, juga sangat di manja. Segala keinginan ku selalu terpenuhi oelh kedua orangtua ku.

Namun begitu, sebagai seorang anak, aku selalu merasa kesepian. Karena mama dan papa jarang berada di rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Mungkin karena itu juga, aku jadi sangat dekat dengan bi Ijah.

Aku lebih sering ngobrol bersama bi Ijah, dan menceritakan segala keluh kesah ku kepadanya. Bi Ijah juga sangat perhatian padaku. Beliau sudah menganggap ku seperti anak sendiri. Apa lagi bi Ijah juga berada jauh dari keluarganya.

Mulanya kedekatan ku dengan bi Ijah, hanya terkesan biasa saja. Hanya antara seorang pembantu dan anak majikannya. Atau hanya sekedar antara anak dan ibu nya.

Namun belakangan ini, terutama sejak aku mulai kuliah, entah mengapa, aku jadi sering memikirkan bi Ijah. Segala kasih sayang dan perhatiannya selama ini padaku, telah mampu membuat aku jadi mulai menyukainya.

Aku memang menyayangi bi Ijah, sebagai sosok seorang ibu dalam hidup ku. Namun sekarang, rasa itu tidak lagi sama. Aku mulai sering mengkhayalkan hal yang aneh-aneh tentang bi Ijah. Terutama saat malam menjelang aku tertidur.

Secara fisik, bi Ijah memang masih cantik dan juga masih terlihat seksi. Meski pun ia sudah berusia lebih 45 tahun. Tapi bi Ijah masih cukup menarik. Apa lagi bi Ijah, juga cukup pandai merawat diri.

****

Aku berusaha menepis segala rasa suka ku pada bi Ijah. Aku tidak ingin terlarut dalam perasaan tersebut. Karena aku tahu, itu adalah sebuah kesalahan. Lagi pula, bi Ijah juga gak mungkin bakal suka pada ku. Mengingat aku ini masih terlalu muda, dan juga karena aku adalah anak majikannya.

Tapi justru karena itu, aku jadi semakin penasaran dengan bi Ijah. Apa lagi, seumur hidup, aku belum pernah pacaran sama sekali. Tidak ada seorang cewek pun yang mau menjadi pacar ku, meski aku sudah sering berusaha mendekati para cewek-cewek.

Sejujurnya, meski pun aku tergolong anak orang berada, tapi aku kurang beruntung untuk urusan cinta. Karena secara fisik, aku meman kurang menarik. Aku tidak tampan, tidak gagah, dan tidak juga termasuk anak yang pintar.

Selain kehidupan yang mewah, aku tidak punya daya tarik lain, yang membuat cewek-cewek jadi menyukai ku. Bahkan aku juga tidak suka olahraga. Aku juga tidak tergolong seorang kutu buku. Aku benar-benar laki-laki biasa, yang hampir tidak punya daya tarik.

Pernah sih, ada cewek yang mau aku dekati, tapi pada akhirnya aku tahu, kalau dia hanya sekedar memanfaatkan ku saja. Hanya untuk menguras uang saku ku. Dan aku pun memilih untuk meninggalkannya.

Sadar akan segala kekurangan ku, aku pun jadi sering menutup diri. Aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu, untuk sekedar mengobrol bersama bi Ijah di rumah.

Dan karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Perlahan rasa suka itu pun tumbuh di hati ku untuk bi Ijah. Aku bahkan mungkin telah jatuh cinta padanya. Namun aku masih berusaha, untuk bersikap biasa saja, terutama di depan bi Ijah.

Hingga pada suatu pagi. Saat itu, mama dan papa, seperti biasa, sudah berangkat kerja. Di rumah hanya tinggal aku dan bi Ijah. Aku sengaja bangun agak telat pagi itu. Aku merasa lagi malas untuk berangkat kuliah.

Karena aku yang tak kunjung bangun dan keluar dari kamar, tiba-tiba bi Ijah mengetuk pintu kamar ku. Ia mengetuk beberapa kali, sambil terus memanggil dan membangunkan ku.

Aku yang sudah berniat untuk tidak kuliah pagi itu, terpaksa bangun dan segera membuka pintu, karena bi Ijah masih terus berusaha memanggil ku.

"ada apa sih, bik?" tanyaku dengan nada malas.

Saat itu, aku hanya memakai selimut yang aku lilitkan di pinggang ku.

"bangun, Den. Sudah siang.. nanti aden telat loh, kuliahnya.." balas bi Ijah, dengan sedikit tertunduk, karena melihat aku yang tanpa baju.

"saya lagi malas kuliah, bik. Jadi jangan ganggu ya.. saya mau tidur seharian..." ucap ku kemudian, masih dengan nada malas.

"tapi... nanti kalau mama aden nelpon dan nanya, saya harus jawab apa?" balas bi Ijah, dengan sedikit bertanya.

"bilang aja, kalau saya udah berangkat kuliah.." balas ku.

"tapi, den..." bi Ijah berusaha berucap lagi.

"sudahlah, bik... sekali-kali.. gak masuk kuliah gak apa-apa, kan.." balas ku cepat, memotong ucapan bi Ijah.

"ya udah.. terserah aden aja... kalau begtiu saya ke bawah dulu.. Permisi, den.." akhrinya bi Ijah pun segera meninggalkan kamar ku.

Sementara aku, tiba-tiba saja, mulai memikirkan bi Ijah kembali. Aku membayangkan, jika bi Ijah mau aku ajak masuk ke kamar ku, dan .....

Ah.. sudahlah... rasanya hal itu sangat tidak pantas.

Tapi... bukankah saat ini, hanya kami berdua di rumah. Jadi apa salahnya aku mencobanya? Siapa tahu, bi Ijah juga mau. Dan lagi pula, kalau ia menolak, aku kan bisa memaksanya. Aku kan anak majikannya. Mau tidak mau, bi Ijah memang harus mau menuruti keinginan ku.

*****

Akhirnya dengan hanya memakai celana pendek, aku pun segera turun ke bawah, untuk menemui bi Ijah yang sedang berada di dapur. Ia sedang mencuci piring saat itu.

Gejolak jiwa muda ku tengah bergelora saat itu. Setan telah menguasai pikiran ku. Aku tidak lagi berpikir panjang. Aku harus bisa menyalurkan keinginan ku terhadap bi Ijah.

"ada apa, den? Aden mau sarapan?" tanya bi Ijah setengah kaget akan kedatangan ku. Apa lagi aku hanya memakai celana pendek, tanpa baju.

"saya mau bi Ijah.." balasku dengan suara parau.

"maksud den Bima apa?" bi Ijah berucap, sambil menghentikan kegiatannya mencuci piring tersebut.

"bi Ijah sangat cantik sekali. Saya suka sama bi Ijah. Dan saya menginginkan bi Ijah pagi ini.." ucapku, suara ku makin parau.

"den Bima ngomong apa, sih? Saya jadi takut loh, den." balas bi Ijah, dengan sedikit melangkah mundur.

"saya jelek banget ya, bik? Sampai bi Ijah setakut itu sama saya?" tanyaku gusar.

"bukan... bukan itu maksud saya, den. Tapi... saya... saya sudah menganggap den Bima itu seperti anak bibik sendiri.. jadi aden jangan salah paham.." jelas bi Ijah, suaranya terdengar sedikit bergetar.

"saya suka sama bi Ijah. Saya ingin kita menjalin hubungan yang lebih..." ucapku mulai tak karuan.

"den Bima jangan macam-macam. Saya..." ucapan bi Ijah terputus.

"bi Ijah berani menolak saya? Bi Ijah gak mau menuruti keinginan saya?" balasku memotong ucapan bi Ijah barusan.

"tapi, den... ini.. ini gak boleh terjadi. Den Bima jangan memaksa saya.." suara bi Ijah semakin bergetar.

"kalau bi Ijah gak mau, saya akan bilang sama mama, untuk memecat bi Ijah dari sini.." ancam ku akhirnya, setelah tak tahu lagi harus berkata apa. Setan benar-benar telah menguasai ku saat itu.

Apa lagi bi Ijah juga sudah tahu perasaan ku padanya, jadi.. aku harus bisa mendapatkannya, apa pun caranya.

"kenapa harus bibik sih, den. Bibik ini sudah tua.. masih banyak gadis-gadis cantik di luar sana.." ucap bi Ijah kemudian, dalam usahanya menghindari ku.

"aku sudah terlanjur jatuh cinta sama bi Ijah.. aku gak butuh gadis-gadis lain, aku hanya menginginkan bi Ijah... jadi bi Ijah, jangan coba-coba menolak permintaan ku.." aku berucap dengan setengah berteriak. Aku benci penolakan, apapun alasannya.

"tapi.. den... bibik gak bisa... bibik sudah punya suami dan juga sudah punya anak... Saya mohon, den. Jangan paksa saya, ya..." kali ini, suara bi Ijah cukup menghiba.

Tapi aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Aku harus mendapatkannya. Aku harus mendapatkan bi Ijah. Aku sudah tidak bisa menahan diri ku lagi.

"pokoknya bi Ijah harus mau menuruti keinginan saya. Kalau tidak, saya jamin besok bi Ijah akan di pecat, dan saya juga akan katakan, kalau bi Ijah sudah mencuri di rumah ini.. Saya yakin, mama pasti lebih percaya sama saya.." ucapku dengan nada kasar.

Kali ini bi Ijah mulai terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras. Aku yakin, ancarman ku cukup membuat ia merasa takut. Karena bi Ijah, pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Apa lagi saat ini, anak-anaknya sedang butuh biaya banyak, untuk sekolah mereka.

"kalau bi Ijah mau, saya akan berikan uang saku saya buat bi Ijah setiap harinya.." aku berucap lagi, dalam upaya ku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.

"baiklah, den. Kalau den Bima memaksa. Saya juga gak mau kehilangan pekerjaan ini. Dan jika den Bima mau memberi saya uang, saya akan turuti semua keinginan den Bima.." bi Ijah berucap juga akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.

"ya udah... saya tunggu bi Ijah di kamar saya sekarang..." ucapku kemudian, sambil mulai melangkah untuk menuju lantai atas. Menuju kamar ku.

Dan tak lama kemudian, bi Ijah pun datang menyusul dari belakang. Aku sedikit memaksa bi Ijah untuk masuk ke kamar ku. Aku yang sudah di kuasia oleh n4fs* ku, sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku pun segera menarik bi Ijah ke atas r4nj**g.

****

Begitulah awalnya. Dan sejak saat itu, aku selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, untuk bisa bersama bi Ijah. Aku juga selalu memberi bi Ijah uang, setiap kali kamu selesai melakukan hal tersebut.

Semakin hari, aku justru semakin sayang sama bi Ijah. Aku semakin mencintainya. Aku semakin tidak ingin melepaskannya. Meski pun bi Ijah, selalu mengingatkan ku, agar segera mengakhiri hal tersebut.

Tapi aku sudah terlanjur terlena dengan semua itu. Aku merasa hidup ku semakin indah dan penuh warna. Aku jadi punya semangat untuk melanjutkan hidup ku lagi.

Namun.. tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Sesuatu yang indah pun, pada saatnya pasti akan berakhir. Dan demikina dengan semua keindahan yang aku rasa. Semuanya harus berakhir.

Ternyata diam-diam, setelah lebih dari enam bulan, mama dan papa sudah mengetahui hubungan terl4r*ng ku bersama bi Ijah. Mereka pun kemudian, meminta bi Ijah untuk berhenti bekerja di rumah kami. Mereka juga meminta aku untuk pindah kuliah ke luar negeri.

Karena merasa takut akan hukuman yang lebih berat, aku pun terpaksa menuruti keingian kedua orangtua ku. Aku terpaksa pindah kuliah ke luar negeri. Sementara bi Ijah, harus rela kehilangan pekerjaannya, dan kembali ke kampung halamannya.

Terus terang, aku merasa bersalah pada bi Ijah. Biar bagaimana pun, dalam hal ini, bi Ijah tidak bersalah. Aku yang memaksanya.

Aku mencoba menjelaskan hal tersebut pada mama dan papa. Tapi mereka sudah tidak peduli, dengan penjelasan apa pun dari ku. Bagi mereka, kami berdua sama-sama bersalah, dan sama-sama harus mendapatkan ganjarannya.

Aku merasa menyesal. Tapi bukan karena hubungan ku dengan bi Ijah. Aku menyesal, karena telah memaksakan kehendak ku pada bi Ijah. Karena perbuatan ku tersebut, bi Ijah jadi ikut menanggung akibatnya.

Namun semua sudah terjadi. Aku tidak mungkin bisa memutar waktu lagi. Kini aku harus menanggung akibat dari semua perbuatan ku. Meski pun hukuman yang aku terima dari mama dan papa, tidaklah terlalu berat. Tapi tetap saja, aku terus di hantui rasa bersalah pada bi Ijah.

Berada di luar negeri sendirian, tanpa siapa-siapa, merupakan hal yang cukup berat bagiku. Apa lagi, uang yang mama papa kirimkan padaku, sangat terbatas. Hingga aku merasa, kalau aku hampir tidak punya orangtua lagi.

Kini, aku hanya bisa menyesali semuanya. Kejadian tersebut, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi ku. Semoga saja, aku bisa memperbaiki diri. Dan semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama..

Yah.... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Bersama Kakak ipar ku

Bersama mama mertua ku

Kakak Ipar ku (kisah nyata)

Aku seorang suami dari seorang istri, dan seorang ayah dari seorang putri cantik yang merupakan anak pertama kami. Pernikahan kami sudah berlansgsung selama lebih kurang empat tahun.

Istri ku adalah seorang wanita karir, yang saat ini masih bekerja di sebuah perusahaan elite di kota tempat kami tinggal. Sementara aku sendiri hanyalah seorang dosen di sebuah kampus swasta.

Karena sama-sama sibuk bekerja, kami pun sepakat untuk memperkerjakan seorang pembantu di rumah kami, dan juga seorang pengasuh anak.

Istri ku berangkat kerja sebelum jam tujuh pagi, dan selalu pulang lewat jam lima sore. Sementara aku sendiri, biasanya selalu pulang lebih awal. Sekitar jam dua siang, aku sudah kembali ke rumah.

Jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama putri kami, ketimbang istri ku. Tapi hal itu tidak pernah jadi masalah diantara kami.

Satu-satunya hal yang masih selalu mengganggu pikiran ku adalah, tentang pendapatan istri ku yang tentunya jauh lebih besar dari pendapatan ku sendiri. Meski istri ku tidak pernah sama mempermasalahkan hal tersebut, bahkan ia juga tidak pernah mau membahas hal tersebut.

Terlepas dari itu semua, sejujurnya aku merasa bahagia dengan hidup yang aku jalani saat ini, terutama sejak kehadiran putri kecil kami. Hari-hari yang aku lalui jadi lebih berwarna.

Istri ku sendiri, juga sering di tugaskan ke luar kota oleh pihak perusahaan. Terkadang ia harus bermalam di luar kota selama beberapa hari. Kadang ia sengaja membawa putri kami bersama pengasuhnya untuk ikut dengannya ke luar kota.

Saat-saat seperti itulah, yang kadang membuat aku sering merasa kesepian, karena hanya sendirian di rumah.

Hingga pada suatu saat...

*****

Yola, kakak iparku, yang usianya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari istri ku. Tiba-tiba datang ke rumah kami. Katanya ia sedang bermasalah dengan suaminya.

Istri ku tentu saja menerima kehadiran kakaknya tersebut di rumah kami, dengan senang hati. Untuk tinggal sementara bersama kami.

Kak Yola memang sudah menikah lebih dari enam tahun yang lalu. Tapi ia dan suaminya belum memiliki anak. Aku tak tahu pasti penyebabnya. Namun yang pasti, saat ini, pernikahan mereka sedang dalam masalah.

Istri ku dan kak Yola memang cukup dekat. Sejak kecil mereka selalu bersama-sama. Kedua orangtua mereka saat ini, masih tinggal di kampung halamannya.

Kak Yola memang sengaja tidak pulang ke rumah orangtua nya di kampung, karena tidak ingin orangtuanya tahu tentang masalah rumah tangganya. Karena itulah ia memilih untuk tinggal bersama kami sementara waktu. Setidaknya menjelang masalahnya bersama suaminya terselesaikan.

Aku dan kak Yola juga lumayan dekat. Kami sudah sering ngobrol bersama.

Berbeda dengan istriku, kak Yola, bukanlah wanita karir. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Sejak menikah, ia memutuskan untuk berhenti bekerja, adn berupaya menjadi istri yang baik bagi suaminya.

Sejak kak Yola tinggal bersama kami, aku jadi punya teman ngobrol. Terutama saat istri ku belum pulang kerja. Atau bahkan saat istri ku, mendapat tugas ke luar kota.

"suami ku selalu memojokkan ku dan selalu menyalahkan ku karena kami belum juga punya keturunan.." cerita kak Yola, suatu sore.

Saat itu hanya kami berdua di rumah. Istri dan anak ku, juga pengasuhnya sedang berada di luar kota. Pembantu kami satu-satunya juga sedang pulang kampung.

"apa kalian sudah pernah periksa ke dokter?" tanya ku bersimpati.

"suami ku gak mau, kalau harus memeriksakan diri ke dokter. Katanya hanya buang-buang waktu saja. Ia tetap bersikeras, kalau penyebab ketidakhamilan ku adalah diriku sendiri, bukan dia.." jelas kak Yola.

"lalu kak Yola, apa pernah memeriksakan diri ke dokter?" tanya ku lagi.

"pernah.. dan kata dokter, semuanya baik-baik saja. Justru aku jadi curiga, jangan-jangan suami ku yang tidak sehat.." balas kak Yola.

"lalu apa rencana kak Yola sekarang?" aku bertanya lagi.

"gak tahu, Jef.. Aku juga lagi bingung. Aku sebenarnya tidak ingin bercerai dari suami ku. Tapi jika aku memaksakan diri untuk tetap bertahan, aku justru semakin tersiksa karenanya. Seandainya saja, aku bisa memberikan suami ku keturunan, rumah tangga kami pasti akan baik-baik saja.." ucap kak Yola, terdengar sedikit lirih.

"lalu apa kalian gak pengen coba angkat anak misalnya?" tanya ku selanjutnya.

"suami ku gak mau, Jef. Dia ingin punya anak dari kandungan ku sendiri. Sementara dia sendiri, gak mau berusaha untuk berobat atau sekedar mendatangi dokter.. Itu yang membuat aku semakin bingung.." terang kak Yola lagi.

Untuk beberapa saat kami pun hanya saling terdiam. Terus terang aku merasa prihatin melihat kak Yola saat ini. Aku tahu, betapa bingungnya ia saat ini.

"kita main tiktok yuk, Jef.." tiba-tiba kak Yola berucap demikian. Wajahnya yang tadi terlihat murung, kini tiba-tiba ceria kembali.

"aku gak pernah main tiktok, kak.." balasku jujur.

"ayolah.. sekali ini aja... aku tuh butuh hiburan, Jef. Dan biasanya pelarian ku ya hanya main tiktok.." ucap kak Yola, sedikit memohon.

"ya udah.. terserah kak Yola aja.. Saya ikut aja..." balasku akhirnya, tak tega melihat wajah memohon kak Yola.

Lalu sore itu, kami pun bermain tiktok bersama. Tak ku sangka hal itu cukup menyenangkan. Apa lagi kak Yola terlihat sudah mahir bermain tiktok. Ia terlihat sudah jago melakukan goyangan-goyangan yang ada di aplikasi tersebut.

Aku coba mengikutinya, walau pun masih terlihat kaku. Kak Yola, beberapa kali terlihat tertawa melihat goyangan ku yang masih sering salah.

Tapi.. harus aku akui, kalau kak Yola memang jago bergoyang.

****

Malam itu, sehabis bermain tiktok dan mandi, kami pun makan malam berdua. Selama berada di rumah kami, kak Yola memang rajin memasak. Dan harus aku akui, kalau masakannaya juga enak.

"Jef... aku mau ngomong sesuatu... tapi kamu jangan tersinggung.. ya..." tiba-tiba kak Yola berucapa, saat kami baru aja selesai makan.

"kak Yola ngomong aja.. ada apa?" tanya ku jadi penasaran.

"kamu .... kamu mau gak... kalau... aku minta tolong sama kamu..." suara kak Yola sedikit terbata.

"kak Yola mau minta tolong apa?" tanyaku semakin penasaran.

"saya ingin menyelamatkan rumah tangga saya. Karena saya sangat mencintai suami saya. Saya gak ingin kehilangan dia. Tapi... satu-satunya cara, agar saya bisa membuat suami saya bahagia, hanyalah dengan kehamilan saya..." jelas kak Yola, masih sedikit terbata.

"lalu apa yang bisa saya lakukan untuk kak Yola.?" tanya ku lagi.

"saya ingin kamu mengh4mili saya.." balas kak Yola dengan suara lemah.

"apa?" kening ku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"saya tahu ini salah, Jef. Saya tahu ini terdengar bodoh.. tapi... kalau saya bisa hamil, rumah tangga kami pasti akan baik-baik kembali... dan ... saya tidak ingin melakukannya dengan orang lain, karena resiko nya terlalu besar.. karena itu lah saya minta tolong sama kamu..." kak Yola berucap kembali dengan suara terdengar mulai serak.

"tapi... saya ini... suami adik mu loh, kak Yola..." suara ku sedikit bergetar.

"iya.. saya tahu.. justru itu.. saya ingin kamu yang melakukannya... setidaknya saya tidak akan terlalu merasa bersalah..." balas kak Yola.

"tapi.. justru saya yang akan merasa bersalah, Kak. Terutama pada istri ku.." ucapku kemudian.

"aku mohon, Jef... aku... aku gak tahu lagi, bagaimana caranya untuk bisa menyelamatkan rumah tangga ku... hanya kamu satu-satunya harapan ku, Jef... jadi... aku mohon sama kamu..." suara kak Yola semakin menghiba, air matanya pun perlahan mulai berjatuhan, dan aku gak tega melihatnya.

"apa kak Yola yakin, dengan semua ini?" tanya ku akhirnya.

"saya sangat yakin, Jef..." balas kak Yola, masih terdengar terisak.

"baiklah... tapi kalau sendainya hal ini tidak berhasil, aku harap kak Yola tidak akan pernah menyesalinya.." ucapku kemudian.

"apa pun resikonya, Jef. Aku akan siap menanggung semuannya. Dan aku harap, ini hanya akan menjadi rahasia diantara kita berdua.." balas kak Yola, terdengar mulai sedikit tenang.

Dan begitulah, malam itu, aku berusaha untuk memenuhi keinginan kak Yola. Aku tahu ini salah, tapi aku juga tidak tega melihat kak Yola memohon seperti itu.

****

Beberapa kali kami melakukan hal tersebut, terutama saat hanya kami berdua di rumah. Kak Yola juga sudah kembali ke rumahnya. Ia kembali bersama suaminya. Aku tahu, hal itu ia lakukan, hanya agar suaminya tidak curiga. Hanya sewaktu-waktu kak Yola datang ke rumah, untuk melakukan rutinitas kami.

Dan setelah sekian bulan berlalu, akhirnya keinginan kak Yola pun terwujud. Ia pun hamil. Dan kabar itu, membuat perubahan yang sangat besar bagi rumah tangga kak Yola dan suaminya.

Bahkan sejak hamil, kak Yola hampir tidak pernah lagi datang ke rumah kami. Hubungan kami pun terputus begitu saja. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Selama kak Yola bahagia, aku turut bahagia.

Dan kisah itu, hanya menjadi rahasia diantara kami berdua. Kami berusaha bersikap sewajarnya, terutama saat kami harus bertemu kembali. Sejak kehamilan kak Yola, istri ku jadi sering mengajak ku mengunjunginya.

Begitulah kisah ku yang terjadi antara aku dan kakak iparku. Sebuah kisah yang akan tetap aku simpan rapi di dalam lubuk hati ku.

Semoga saja, rahasia itu, tetap terpendam selamanya. Tanpa siapa pun yang akan tahu, kecuali hanya kami berdua.

Yah.... semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Bersama mama mertua ku

Cari Blog Ini

Layanan

Translate